Anda di halaman 1dari 3

Awal Mula Padat Karya

Kebijakan ekonomi Indonesia setelah Orde Lama runtuh dan resmi diambil alih Soeharto sejak 12
Maret 1967 berubah haluan secara frontal. Prinsip Sukarno yang sangat antipati terhadap negara-
negara Barat pemilik modal tidak berlanjut di era Orde Baru. Sebaliknya, Soeharto membawa negara
ini mendekat kepada blok liberal. Awalnya, Soeharto menerapkan Industrialisasi Substitusi Impor (ISI)
dengan tujuan membangun sektor industri manufaktur nasional yang kuat dan berfokus ke dalam.
Menurut Nelson Brian dalam A Comprehensive Dictionary of Economics (2009), ISI adalah kebijakan
ekonomi yang mendukung penggantian barang impor asing dengan barang produksi dalam negeri
(hlm. 88). Maka itu, menurut Deliarnov dalam buku Ekonomi Politik (2006), pengembangan industri
ditujukan terutama terhadap pasar domestik dengan menghasilkan barang-barang pengganti impor.
Salah satu wujud penerapan kebijakan ini adalah dengan memberikan subsidi kepada perusahaan-
perusahaan negara dan membatasi kuota impor (hlm. 87-88). Namun, ISI tidak berjalan optimal
karena pengusaha-pengusaha lokal justru menjadi manja dan terlalu bergantung pada bantuan atau
subsidi dari pemerintah. Hal ini membuat Soeharto terpaksa menghentikan kebijakan ISI. Orde Baru
lantas mengalihkan kebijakan ekonominya ke program Industri Orientasi Ekspor (IOE), atas
rekomendasi Bank Dunia. Tujuannya hampir sama dengan ISI, tapi lebih fokus kepada
pendayagunaan tenaga kerja untuk menghasilkan barang-barang pengganti impor, serta
meminimalisasi penggunaan mesin demi menghemat biaya operasional. Dalam Catatan Keadaan
Hak Asasi Manusia di Indonesia (1994) yang diterbitkan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia,
disebutkan bahwa program IOE termasuk industri padat karya karena tidak memerlukan tenaga
buruh terampil, yang lebih penting adalah jumlah pekerjanya. Potensi keuntungan semakin besar
karena diterapkannya strategi upah rendah untuk menjalankan program ini.

Tidak Sesuai Harapan


Konsep IOE yang diejawantahkan melalui Padat Karya dimulai pada 1968. Orde Baru tentu saja
mengkampanyekan program ini dengan citra terpuji untuk menunjukkan betapa pedulinya
pemerintah terhadap kebutuhan rakyat akan lapangan kerja. Harapannya adalah stok tenaga kerja di
Indonesia yang berjumlah besar bisa dimaksimalkan. Buku 30 Tahun Orde Baru Membangun (1995)
terbitan Departemen Penerangan RI, misalnya, memaparkan bahwa Padat Karya dicetuskan seiring
usaha pendayagunaan dan pemanfaatan potensi tenaga kerja ke arah kegiatan produktif, khususnya
di daerah-daerah tertinggal, padat penduduk, rawan bencana alam, dan berpendapatan rendah (hlm.
322). Perkembangannya kemudian, Padat Karya tidak hanya bertujuan menghasilkan barang-barang
pengganti impor. Melimpahnya tenaga kerja, dengan cukup banyaknya warga usia produktif yang
tidak bekerja atau belum mempunyai pekerjaan, membuat pelaksanaan program ini tidak sesuai
dengan tujuan awal. Pemerintah kesulitan menjalankan Padat Karya sesuai prinsip IOE dalam
Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) I periode 1969-1974. Pada periode ini, seperti
diungkap dalam jurnal Dunia Ekuin dan Perbankan (Volume 4, 1991: 146), tenaga kerja diharapkan
bisa memiliki kemampuan teknik produksi dan membuat barang secara lebih baik. Namun, rivalitas
antar-negara saat itu sangat ketat dan Indonesia rupanya belum mampu untuk bersaing. Maka,
dalam Repelita II (1974-1979), Padat Karya lebih dikonsentrasikan untuk meningkatkan
pembangunan infrastruktur di berbagai daerah, meskipun upaya-upaya di sektor industri juga masih
tetap dijalankan. Pada Repelita II, sebut Gunawan Wiradi dalam Dua Abad Penguasaan Tanah (2008),
program Padat Karya sebagian besar ditujukan untuk mengerjakan rehabilitasi jalan dan saluran
pengairan (hlm. 333). Nama programnya pun sedikit dipermanis menjadi Padat Karya Gaya Baru
(PKGB). Sasaran utama tenaga kerja PKGB adalah kaum buruh tani dari desa-desa. Terlebih, angka
pengangguran di desa masih tinggi, terutama buruh dan tani yang tidak bekerja di luar waktu panen
(Hadi Soesastro, eds., Pemikiran dan Permasalahan Ekonomi di Indonesia dalam Setengah Abad
Terakhir 1966-1982, 2005: 426). Pada Repelita III (1979-1984), arah Padat Karya dikembalikan ke
tujuan semula, yaitu fokus di bidang industri untuk meningkatkan ekspor, karena secara infrastruktur
sudah lebih baik daripada sebelumnya. Namun, lagi-lagi hasilnya masih belum memenuhi harapan,
bahkan mengalami penurunan. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia terbitan Fakultas Ekonomi
Universitas Gadjah Mada (Volume 5, 1990) mencatat, rata-rata pertumbuhansektor industri selama
Repelita I adalah 13,5 persen per tahun, Repelita II sedikit meningkat menjadi 13,7 persen per tahun,
sedangkan untuk Repelita III justru merosot menjadi 8,9 persen per tahun (hlm. 13). Menteri Negara
Riset dan Teknologi saat itu, Bacharuddin Jusuf Habibie, menilai Indonesia masih sulit bersaing jika
hanya mengandalkan industri yang padat sumber daya alam dan padat karya (tenaga kerja yang tidak
terampil), atau dengan kata lain, masih konvensional.
Habibie berpendapat, transformasi perekonomian juga harus melalui pendekatan industrialisasi
berbasis teknologi tinggi yang padat modal dan mengandalkan pada kapasitas sumber daya manusia
yang handal. Namun, menurut Hadi Soesastro, karena kurangnya pengalaman dari sisi pengelolaan,
tujuan tersebut sulit tercapai (hlm. 26).

Masalah Upah Rendah


Program Padat Karya sebenarnya cukup berhasil dalam meningkatkan kuantitas tenaga kerja
manufaktur, meskipun gagal dalam konteks pertumbuhan sektor industrinya, seperti yang
dipaparkan buku Politik Multikulturalisme: Menggugat Realitas Kebangsaan karya Robert W. Hefner
(2008). Hefner menyebut, pada era 1980-an (Repelita III dan IV), pekerja sektor manufaktur
mencapai 12,6 persen dari total tenaga kerja di Indonesia. Persentase ini mengalami peningkatan jika
dibandingkan dengan periode 1970-an (Repelita I dan awal Repelita II) yang hanya menyentuh angka
6,5 persen (hlm. 445). Repelita IV (1984-1989) sendiri mengusung tujuan utama untuk menciptakan
lapangan kerja baru dan industri. Maka itu, Program Padat Karya semakin digalakkan meskipun
belum memenuhi harapan di periode sebelumnya. Selama Repelita IV ini, sebanyak 92.913 lapangan
kerja dapat diciptakan (Departemen Penerangan RI, 1995: 322). Periode ini secara signifikan
menghasilkan lapisan buruh industri. Investor dari Jepang, Hongkong, Korea Selatan, Taiwan, dan
Singapura, masuk ke Indonesia. Dikutip dari Suryadi A. Radjab dalam Praktik Culas Bisnis Gaya Orde
Baru (1999), para investor itu memanfaatkan upah buruh di Indonesia yang murah karena tingkat
upah di negara mereka sudah sangat tinggi (hlm. 29). Situasi ini justru menimbulkan masalah baru:
pembukaan lapangan kerja yang semakin luas namun dengan upah tenaga yang sangat rendah.
Akibatnya, tujuan yang ingin dicapai pun lagi-lagi tidak sesuai harapan. Sebelumnya, masalah upah
rendah belum terlalu mengemuka karena sasaran pembukaan lapangan kerja lebih fokus ke desa-
desa. Saat itu, kompensasi yang diberikan kepada tenaga kerja Padat Karya diistilahkan “imbalan jasa
berupa uang perangsang kerja” yang diakui jumlahnya lebih rendah dari upah minimum regional
(hlm. 324). Sementara pada Repelita IV dan bahkan berlanjut ke Repelita V (1989-1994) hingga era
Orde Baru berakhir, persoalan upah rendah untuk tenaga kerja Padat Karya menjadi salah satu
masalah paling serius yang harus dihadapi pemerintahan Soeharto.

Romusha Versi Orde Baru?


Program Padat Kaya pada era Orde Baru kadang-kadang dibandingkan dengan praktik romushaatau
kerja paksa pada masa pendudukan Jepang di Indonesia (1942-1945). Meski tidak menyamakannya
secara eksplisit, Iwan Kartiwan dan kawan-kawan dalam Ruang-ruang Gelap Jasa Kontruksi
Indonesia (2014) menyebut bahwa praktik romusha pada masa Jepang termasuk model padat karya
(hlm. 16). Tulisan berjudul “Indonesia’s Economy Further Deteriorates” yang dimuat jurnal Indonesia
Tribune (Volume 3-6 edisi 1969) bahkan menyatakan dengan lebih tegas: “Untuk mengintensifkan
pemerasan keringat rakyat Indonesia dan memperkaya penguasa, rezim (Soeharto) telah mengikuti
fasis Jepang dengan menghidupkan kembali sistem romusha” (hlm. 3). Lebih lanjut dituliskan,
“Dengan dalih memanfaatkan tenaga kerja yang menganggur, mereka (pemerintah Orde Baru)
mengintensifkan sistem kerja paksa dalam proyek padat karya di mana orang yang menganggur
dipaksa bekerja dalam proyek konstruksi untuk melayani kepentingan monopoli asing tanpa upah
yang layak.”Hal ini diamini Mochtar Pakpahan dalam Perjuangan Kebebasan Berserikat Buruh di
Masa Orde Baru (2006). Ia menyebut bahwa upah pekerja Padat Karya tidak manusiawi, yakni 1,4
dolar AS per hari. Menurut Pakpahan, ini tergolong upah paling rendah di dunia waktu itu (hlm. 51).
Mirisnya lagi, banyak perusahaan yang tidak membayar upah sesuai yang ditetapkan pemerintah.
Itulah yang memicu terjadinya banyak unjuk rasa buruh. Peningkatan aktivitas buruh pada dekade
1990-an terkait dengan perubahan sosial dan ekonomi yang luas dalam tiga dekade industrialisasi
terus-menerus di bawah rezim Orde Baru (Vedi R. Hadiz, Dinamika Kekuasaan: Ekonomi Politik
Indonesia Pasca-Soeharto, 2005: 66). Selain itu, menurut Ariel Heryanto dalam Menggugat
Otoriterisme di Asia Tenggara (2004), di sektor manufaktur inilah, selama era 1990-an, tampak
semakin jelas gelagat timbulnya keresahan. Wujud keresahan tersebut antara lain maraknya sengketa
perburuhan dan munculnya berbagai organisasi buruh independen (hlm. 180). Setelah rezim
Soeharto jatuh pada 1998, banyak kebijakan yang diterapkan selama Orde Baru dihapus, termasuk
program Padat Karya. Dan mulai awal 2018, pemerintahan Jokowi serius menghidupkan kembali
program yang meninggalkan kesan muram bagi kaum pekerja itu. Menarik untuk dinanti, apakah
Padat Karya ala Jokowi benar-benar mampu menghadirkan kesejahteraan untuk rakyat Indonesia.
Atau justru sebaliknya, sama saja dengan Padat Karya era Soeharto: program menyedihkan, tanpa
hasil maksimal, dan sempat dituding sebagai praktik romusha gaya baru.

Anda mungkin juga menyukai