Anda di halaman 1dari 12

367

PENERAPAN KONVENSI JENEWA 1949 DAN PROTOKOL TAMBAHAN 1977


DALAM HUKUM NASIONAL INDONESIA
(Studi tentang Urgensi dan Prosedur Ratifikasi Protokol Tambahan 1977)
Isplancius Ismail
Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
E-mail: isplancius@gmail.com

Abstract

The Geneva Convention 1949 is an international treaty that regulates the victims of the international
armed conflict and non-international armed conflict. The convention is supplemented by the
Additional Protocol 1977 that governs the victims of international armed conflict (Additional Protocol
I 1977) and victims of non-international armed conflict (Additional Protocol II 1977). Problems
formulated in this study is how the implementation of these treaties in the Indonesian national law.
The method used is normative juridical with secondary data and qualitative descriptive analysis. The
results showed that the implementation of the Geneva Convention 1949 into Indonesia national law is
done by Act No. 59 of 1958 on the Accession of the State of RI to the Geneva Conventions 1949. The
urgency of Indonesia ratified the Additional Protocols of 1977 is in order that there will not have any
doubts in practice. Wherease the practice of ratification in Indonesia is done by external and internal
procedure.

Key words : international treaty, armed conflict, accession, ratification

Abstrak

Konvensi Jenewa 1949 adalah perjanjian internasional yang mengatur tentang korban akibat konflik
bersenjata baik yang bertaraf internasional maupun non internasional. Konvensi tersebut dilengkapi
dengan Protokol Tambahan 1977 yang mengatur ketentuan-ketentuan tentang konflik bersenjata yang
bersifat internasional (Protokol Tambahan I 1977) dan yang bersifat non internasional (Protokol
Tambahan II 1977). Permasalahan yang dirumuskan dalam penelitian ini adalah bagaimana penerapan
kedua perjanjian tersebut di dalam hukum nasional Indonesia. Metode penelitian yang digunakan
adalah yuridis normatif dengan data sekunder dan dianalisis secara deskriptif kualitatif. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa penerapan berlakunya Konvensi Jenewa 1949 di Indonesia dilakukan
dengan Undang-Undang Nomor 59 tahun 1958 tentang Aksesi Negara RI terhadap Konvensi Jenewa
1949. Sedangkan hasil penelitian tentang urgensi Indonesia meratifikasi Protokol Tambahan 1977
adalah agar dalam praktik tidak akan timbul adanya keraguan. Sementara praktik ratifikasi di Indonesia
dilakukan melalui prosedur internal dan eksternal.

KatA kunci: Konvensi Jenewa 1949, Protokol Tambahan 1977, Aksesi, Ratifikasi

Pendahuluan
Berlakunya hukum internasional ke dalam diri, supaya ketentuan hukum internasional da-
hukum nasional terdapat dua teori yaitu dengan pat berlaku secara efektif harus dilakukan proses
teori trasformasi dan teori delegasi. Teori trans- transformasi ke dalam hukum nasional. Ketentu-
formasi, bagi penganut paham dualisme karena an-ketentuan hukum internasional dapat berlaku
hukum internasional dan hukum nasional masing- hanya setelah dilakukan transformasi melalui
masing dianggap sebagai sistem yang berdiri sen- adopsi spesifik menjadi ketentuan-ketentuan hu-

kum nasional. Sedangkan teori delegasi, bagi pe-
Artikel ini merupakan artikel hasil penelitian Hibah Diser-
tasi Doktor, bersumber dari anggaran DIKTI dengan Kon- nganut paham monisme, karena hukum interna-
trak Pelaksanaan Penelitian No. 959/J01.H-FH/I/2008 sional dan hukum nasional merupakan dua aspek
tanggal 25 Maret 2008.
368 Jurnal Dinamika Hukum
Vol. 13 No. 3 September 2013

dari satu sistem hukum yang sifatnya saling me- dilakukan agar dapat terungkap dasar-dasar dan
lengkapi, berlakunya hukum internasional ke da- alasan yang benar tentang penerapan kedua ben-
lam hukum nasional merupakan pendelegasian tuk perjanjian internasional baik yang terdapat
hukum internasional ke dalam konstitusi negara dalam Konvensi Jenewa 1949 maupun dalam Pro-
tentang kapan traktat atau perjanjian internasio- tokol Tambahan 1977 tersebut.
nal berlaku dan dengan cara bagaimana berlaku-
nya ke dalam hukum nasional. Dewasa ini sangat Permasalahan
sulit menemukan suatu sistem hukum suatu nega- Berdasarkan uraian di atas, diajukan dua
ra yang menganut secara mutlak teori/paham permasalahan yang dibahas pada artikel ini. Per-
monisme ataupun dualisme karena dalam praktik tama, bagaimana penerapan Konvensi Jenewa
unsur-unsur kedua teori (monisme dan dualisme) 1949 di Indonesia; dan kedua, apa urgensi Indo-
tersebut dapat dijumpai dalam sistem hukum nesia untuk meratifikasi Protokol Tambahan 1977
yang dianut suatu negara.1 dan bagaimana prosedur ratifikasi Protokol Tam-
Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tam- bahan 1977 di Indonesia.
bahan 1977 merupakan bentuk hukum internasio-
nal, yang lazim disebut dengan perjanjian inter- Metode Penelitian
nasional dan berlaku saat ini di masyarakat inter- Metode yang digunakan untuk menganalisis
nasional khususnya di negara-negara yang telah permasalahan ini adalah yuridis normatif dengan
melakukan ratifikasi atau aksesi terhadap perjan- meneliti bahan pustaka atau data sekunder baik
jian internasional tersebut. Konvensi Jenewa berupa bahan hukum primer, sekunder maupun
1949 mengatur tentang perlindungan korban aki- tersier. Data yang diperoleh akan dianalisis se-
bat konflik bersenjata baik yang bertaraf inter- cara kualitatif yakni semua data yang berhasil di-
nasional maupun non internasional. Sedangkan kumpulkan akan diteliti dan dipelajari secara
Protokol Tambahan 1977 adalah melengkapi ke- utuh, selanjutnya data tersebut akan diuraikan
tentuan-ketentuan yang belum diatur oleh Kon- dalam bentuk penyajian deskriptif analisis yaitu
vensi Jenewa 1949. penjabaran dan penggambaran hal-hal yang ber-
Penerapan Konvensi Jenewa 1949 di Indo- kaitan dengan permasalahan.
nesia berdasarkan hukum perjanjian internasio-
nal masih belum nampak adanya alasan yang je- Pembahasan
las apakah melalui ratifikasi, aksesi maupun ad- Penerapan Konvensi Jenewa 1949 di Indonesia.
hesi sehingga terjadi kesalahann penyebutan Mengenai hubungan sistem hukum interna-
bahwa Indonesia telah meratifikasi konvensi ter- sional degan sistem hukum nasional dikenal pa-
sebut.2 Adapun rencana Indonesia meratifikasi ham atau teori dualisme dan monisme. Menurut
terhadap Protokol Tambahan 1977 yang sering di- paham atau teori dualisme, hukum internasional
kemukakan oleh Pemerintah dalam seminar-se- dan hukum nasional merupakan dua sistem hu-
minar peringatan ulang tahun lahirnya Protokol kum yang berbeda secara intrinsik. Hukum in-
Tambahan 1977 ternyata sampai saat ini belum ternasional bersumber pada kehendak bersama
terealisir.3 Oleh karenanya penelitian ini perlu atau kesepakatan negara-negara sementara hu-
kum nasional bersumber pada kehendak negara
1
Sigit Riyanto, dkk., 2010, Pengantar Hukum Internasional, dan kekuasaan negara. Hukum internasional di-
Yogyakarta: Penerbit Bagian Hukum Internasional Fakultas
Hukum Universitas Gadjah Mada, hlm. 10. landasi prinsip dasar pacta sunt servanda, se-
2
Hikmahanto Juwana, “The Obligation to Ensure the Confor- dangkan hukum nasional dilandasi prinsip dasar
mity of International Treaties with the Constitution”, Jur-
nal Hukum Internasional, Vol. 8 No. 3 Tahun 2011, Jakarta: bahwa peraturan perundang-undangan harus di-
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, hlm. 437. taati. Namun hukum internasional dan hukum na-
3
Heru Susetyo, 2007,” International Humanitarian Law in
Internal Armed Conflict: Implementing Common Article 3
and Additional Protocol II to the Geneva Conventions to In- Hukum Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Menurut Hukum Hu-
ternal and Horizontal Conflicts in Indonesia” dalam Jurnal maniter” dalam Jurnal Hukum Humaniter, Vol. 3 No. 4,
Hukum Humaniter, Vol. 3 No. 4, 2007, Universitas Trisakti, 2007, Pusat Studi Hukum Humaniter dan HAM Universitas
hlm. 754; Arlina Permanasari, 2007, “Analisis Yuridis Status Trisakti, hlm. 789.
Penerapan Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan 1977 dalam Hukum Nasional Indonesia 369

sional keduanya bertujuan menciptakan ketertib- perjanjian tersebut menghendaki adanya ratifi-
an dan keadilan. kasi maka perjanjian tersebut, baru mengikat se-
Paham monisme menganggap bahwa hukum telah negara tersebut meratifikasinya. Istilah ra-
internasioanl dan hukum nasional merupakan sa- tifikasi dapat dibedakan dengan aksesi terhadap
tu sistem hukum pada umumnya. Semua ketentu- suatu perjanjian internasional. Jika negara terse-
an hukum merupakan kesatuan sistem yang ter- but ikut serta dalam negosiasi dan penandatang-
diri dari ketentuan hukum yang mengikat negara, an, maka istilah yang digunakan untuk mengesah-
individu maupun kesatuan bukan negara. Hukum kan perjanjian tersebut di negaranya yaitu de-
nasional dan hukum internasional secara keselu- ngan ratifikasi. Namun apabila negara tersebut
ruhan merupakan dari sistem hukum universal tidak ikut dalam proses pembuatan perjanjian in-
yang mengikat manusia baik secara individual ternasional itu dan menyatakan menerima atau
maupun secara kolektif. Hukum internasional ikut serta dalam perjanjian internasional yang
mengikat individu secara kolektif sedang hukum telah ditandatangani oleh negara-negara lain,
nasional mengikat individu secara perorangan. maka istilah yang digunakan adalah aksesi.
Berlakunya ketentuan-ketentuan hukum interna- Apabila pembuatan perjanjian sudah sam-
sional ke dalam hukum nasional dilakukan dengan pai pada tahap pengikatan diri, haruslah dibeda-
berlandaskan pada teori-teori transformasi dan kan ketentuan-ketentuan internasional dan ke-
delegasi. Adapun dalam praktik negara dikenal tentuan-ketentuan menurut hukum nasional. Hu-
beberapa istilah untuk realisasi penerapan hu- kum internasional hanya menyebutkan keharusan
kum internasional ke dalam hukum nasional se- dan cara-cara pernyataan persetujuan negara.
perti ratifikasi (ratification) dan aksesi (acces- Sedangkan hukum nasional yang harus menentu-
sion). kan kekuasaan-kekuasaan negara yang berwe-
Ratifikasi adalah pernyataan persetujuan nang untuk memberikan persetujuan tersebut
negara untuk mengikatkan diri (consent to be dan yang mengatur prosedurnya. Ketentuan-ke-
bound) terhadap perjanjian internasional yang tentuan internasional ini dibedakan menjadi ke-
telah disepakati bersama. Seperti dikatakan Hik- tentuan yang bersifat umum dan ketentuan yang
mahanto Juwana bahwa, ”Accession and ratifica- bersifat khusus. Mengenai ketentuan umum bagi
tion are two terms differentiated in internatio- semua perjanjian bahwa pernyataan persetujuan
nal law. Accession relates to the process of join- ne-gara untuk mengikatkan diri pada perjanjian
ing a certain international treaty, while ratifi- internasional dapat diberikan dalam berbagai
cation is an act performed by a state participa- macam cara tergantung pada permufakatan para
ting in an international treaty to legalise such pihak pada waktu mengadakan perjanjian. Cara
treaty”.4 Pembuatan perjanjian internasional untuk pernyataan persetujuan untuk mengikat-
dapat dilakukan dengan dua tahap yaitu negosiasi kan diri pada suatu perjanjian adalah dengan pe-
dan penandatanganan atau dapat pula dengan nandatanganan (signature) dan pengesahan (rati-
tiga tahap yaitu negosiasi, penandatanganan dan fication).6
ratifikasi. Hal tersebut tergantung pada pihak- Hubungan antar negara di zaman modern
pihak/negara-negara atau subjek-subjek hukum ini, berlangsung dengan cepat sekali, karena itu
internasional yang terlibat dalam pembuatan dibuatlah suatu prosedur yang cepat untuk per-
perjanjian tersebut. Negara-negara tersebut nyataan persetujuan mengikatkan diri pada per-
mempunyai pertimbangan sendiri manakah per- janjian. Persetujuan ini berasal dari Amerika Se-
janjian yang langsung dapat diberlakukan dalam rikat di mana suatu perjanjian dapat secara defi-
hukum nasional ataukah mana yang perlu pera- nitif mengikat negara segera sesudah penanda-
turan pemerintah setelah diratifikasi.5 Apabila isi
Vol. 5, No. 3, Tahun 2008, Jakarta: Universitas Indonesia,
hlm. 507.
4 6
Hikmahanto Juwana, op.cit, hlm. 439. Boer Mauna, 2000, Hukum Internasional, Pengertian
5
Melda Kamil Ariadno, “Kedudukan Hukum Internasional da- Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, Bandung:
lam Sistem Hukum Nasional”, Jurnal Hukum Internasional, Penerbit Alumni, hlm. 116.
370 Jurnal Dinamika Hukum
Vol. 13 No. 3 September 2013

tanganan. Perjanjian ini disebut executive agree- (termasuk Amerika Serikat tetapi bukan Inggris),
ments atau persetujuan dalam bentuk sederhana Undang-Undang dasarnya mewajibkan Kepala Ne-
dan di banyak negara persetujuan sederhana ini gara untuk memperoleh pengesahan terlebih da-
jumlahnya banyak dan perjanjian-perjanjian me- hulu dari badan legislatif seperti Senat di Ameri-
lalui ratifikasi. Apabila para peserta perjanjian ka Serikat, sebelum meratifikasi perjanjian itu
memang sepakat bahwa perjanjian berlaku tanpa (Lihat Pasal 2 (1) b dan Pasal 16 Konvensi Wina
pengesahan, maka kesepakatan demikian dapat 1969).
dicantumkan dalam perjanjian itu sendiri atau Perjanjian itu sendiri biasanya akan me-
para peserta dengan cara lain telah bersepakat nyebutkan secara khusus apakah penandatangan-
bahwa perjanjian tersebut akan berlaku setelah an itu dapat berpengaruh pada pernyataan kese-
ditandatangai tanpa ratifikasi. Perbedaan cara pakatan sesuatu negara untuk mengikatkan diri
inilah yang sering menimbulkan perdebatan di pada sesuatu perjanjian. Jika perjanjian itu me-
antara para ahli hukum.7 nyatakan bahwa penandatanganan itu berpenga-
Kesepakatan dari negara-negara pihak un- ruh atau tidak ada ketentuan apapun, atau jika
tuk mengikatkan diri pada perjanjian merupakan ketentuan itu bisa dibuat bahwa negara-negara
faktor yang sangat penting, karena negara-nega- perunding menyetujui bahwa penandatanganan
ra tersebut hanya dapat terikat oleh perjanjian itu dapat berpengaruh, maka penandatanganan
tersebut jika mereka telah menyatakan kesepa- yang dilakukan oleh seorang wakil dari negara itu
katan masing-masing. Sehubungan dengan kese- akan berpengaruh, asalkan hal itu sesuai dengan
pakatan ini ada beberapa cara yang dapat dila- surat kuasa penuh yang diberikan kepadanya.
kukan oleh negara dalam menyatakan kesepakat- Akan tetapi jika perjanjian itu sendiri maupun
annya untuk mengikatkan diri pada persetujuan surat kuasa penuh dari wakil negara itu dibuat
atau perjanjian internasional. Mengenai cara- hanya untuk ratifikasi, maka penandatanganan
cara negara menyatakan kesepakatannya untuk itu hanya akan berpengaruh pada tahap perte-
me-ngikatkan diri pada perjanjian dinyatakan da- ngahan saja. Menurut Maryan Green seperti di-
lam Pasal 11 Konvensi Wina 1969 sebagai beri- kutip oleh Sumaryo Suryokusumo bahwa negara
kut:8 kesepakatan negara untuk mengikatkan diri yang menandatangani perjanjian mempunyai ke-
pada perjanjian dapat dinyatakan dengan penan- wajiban untuk tidak melakukan tindakan yang
datanganan, pertukaran instrumen yang mencip- akan menanggalkan maksud dan tujuan perjanji-
takan suatu perjanjian, ratifikasi, penerimaan, an itu sampai negara tersebut menyatakan se-
pengesahan dan aksesi, atau dengan cara-cara cara jelas apakah akan menjadi pihak atau tidak
apapun lainnya yang disetujui. Secara tradisional terhadap perjanjian tersebut sesuai dengan Pasal
penandatanganan dan ratifikasi merupakan cara- 18 Konvensi Wina 1969.9
cara yang paling sering digunakan untuk menya- Sesuatu negara bisa menganggap dirinya
takan kesepakatan. Dalam beberapa kasus para telah memberikan kesepakatannya pada naskah
diplomat yang melakukan perundingan mengenai perjanjian dengan penandatanganan. Penandata-
perjanjian diberikan otoritas untuk mengikatkan nganan semacam ini bisa mengikat secara efektif
negaranya dengan menandatangani perjanjian. dalam beberapa hal. Pertama, adanya ketentuan
Dalam kasus-kasus lainnya kewenangan yang di- tersendiri yang menyatakan bahwa penandata-
berikan oleh negaranya bisa terbatas, dan per- nganan itu bisa mengikat suatu perjanjian; ke-
janjian tersebut tidak bisa mengikat kecuali jika dua, adanya persetujuan sebelumnya dari nega-
sudah dilakukan ratifikasi. Di beberapa negara ra-negara perunding perjanjian itu bahwa penan-
datanganan itu akan mengikat; ketiga, dalam
7
Trihoni Nalesti Harianja, “Pertanggungjawaban Pidana Se- kuasa penuh yang diberikan kepada seseorang
cara Individual bagi Pelanggaran Hukum Humaniter dalam
Konflik Bersenjata Internal” Respublica, Vol. 3, No. 2, wakil negara tertulis didalamnya maksud dari ne-
Tahun 2004, Pekanbaru: Fakultas Hukum Universitas Lanc-
ang Kuning, hlm. 143.
8 9
Sumaryo Suryokusumo, 2005, Diktat Hukum Perjanjian N.A. Maryan Green dalam Sumaryo Suryokusumo, op.cit,
Internasional, Yogyakarta Fakultas Hukum UGM, hlm. 37. hlm. 39.
Penerapan Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan 1977 dalam Hukum Nasional Indonesia 371

garanya bahwa penandatanganan yang dilakukan memperoleh kuasa penuh dari pemerintahnya.
oleh wakil tersebut mengikat perjanjian secara Pertukaran instrumen tersebut dapat mengikat
efektif; keempat, wakil negara di dalam perundi- pada waktu masing-masing pihak yang mempu-
ngan mengenai perjanjian tersebut dapat me- nyai kuasa penuh itu telah menandatangai dan
nyatakan bahwa penandatanganan yang akan mempertukarkan satu sama lain pada waktu dan
dilakukan itu akan mengikat perjanjian secara tempat yang telah disetujui bersama. Instrumen
efektif.10 yang ditandatangani tersebut harus dibuat dalam
Kesepakatan yang dilakukan melalui penan- dua ganda asli, dimana pihak masing-masing akan
datanganan dinyatakan dalam Pasal 12 Konvensi memperoleh satu instrumen aslinya. Dalam kait-
Wina 1969 yang isinya sebagai berikut. Pertama, annya dengan kesepakatan negara untuk mengi-
kesepakatan negara untuk mengikatkan diri pada katkan diri pada suatu perjanjian dengan cara
perjanjian dinyatakan dengan penandatanganan mempertukarkan instrumen tersebut, Pasal 13
oleh wakilnya jika: perjanjian itu menyatakan Konvensi Wina 1969 menyebutkan bahwa Kesepa-
bahwa penandatanganan itu akan mempunyai pe- katan dari negara-negara untuk mengikatkan diri
ngaruh; jika tidak maka akan disebutkan bahwa pada suatu perjanjian yang dilakukan dengan
negara-negara perunding telah menyetujui sebe- mempertukarkan instrumen diantara mereka da-
lumnya bahwa penandatanganan itu harus mem- pat dinyatakan dengan adanya pertukaran terse-
punyai pengaruh atau adanya kehendak dari ne- but jika: instrumen itu menyebut bahwa pertuka-
gara untuk memberikan bahwa pengaruh terha- ran mereka itu akan mengikat secara efektif; jika
dap penandatanganan tersebut muncul dari surat tidak maka harus ditetapkan bahwa negara-nega-
kuasa penuh dari wakilnya atau dinyatakan sela- ra tersebut menyetujui bahwa pertukaran instru-
ma perundingan; kedua, untuk tujuan tersebut, men itu akan mengikat.
tahapan selanjutnya adalah: pemarafan dari se- Sangat tidak praktis dalam perjanjian mul-
buah naskah merupakan sebuah tandatangan dari tilateral untuk melakukan pertukaran instrumen
perjanjian apabila disebutkan bahwa negara-ne- ratifikasi diantara negara-negara yang jumlahnya
gara perunding menyetujuinya; dan penandata- cukup banyak. Oleh karena itu biasanya suatu
nganan suatu perjanjian oleh seorang wakil (de- perjanjian akan menyebutkan bahwa instrumen
ngan catatan menunggu konfirmasi atau pertim- ratifikasi itu akan diserahkan kepada sesuatu ne-
bangan lebih lanjut) ad referendum, dan jika gara atau organisasi internasional yang akan di-
nantinya diberikan konfirmasi oleh negaranya tetapkan oleh perjanjian tersebut dan bertindak
merupakan suatu penandatanganan yang penuh seba-gai penerima (depository). Ketentuan da-
dari perjanjian. lam Pasal 2 (1) poin b Konvensi Wina 1969 sendiri
Kesepakatan negara-negara untuk mengi- memuat definisi bahwa ratifikasi (ratification),
katkan diri pada suatu perjanjian melalui per- penerimaan (acceptance), pengesahan (approval)
tukaran instrumen diantara mereka dapat dinya- dan aksesi (accession) dalam setiap kasus diarti-
takan dengan adanya pertukaran tersebut apabi- kan sebagai tindakan internasional apapun nama-
la instrumen itu sendiri juga menyebutkan bahwa nya dimana suatu negara dalam taraf internasio-
pertukaran itu akan mempunyai kekuatan meng- nal membuat kesepakatannya untuk mengikatkan
ikat atau juga dapat terjadi jika negara-negara diri pada suatu perjanjian. Perjanjian itu sendiri
tersebut telah menyetujui bahwa pertukaran ins- dapat secara khusus memuat ketentuan yang me-
trumen semacam itu mengikat kedua pihak (Pasal nyatakan bahwa perjanjian itu harus diratifikasi
13 Konvensi Wina 1969). atau dapat juga ditetapkan lain atas kehendak
Pertukaran tersebut dapat dilakukan oleh negara-negara perunding.11 Sebagai alternatif,
para Kepala Negara atau Kepala Pemerintahan ratifikasi dapat dimintakan dalam hubungannya
atau diantara para Menteri Luar Negeri atau oleh
11
Pejabat Tinggi Pemerintah lainnya yang telah Yetti, “Aspek Yuridis Keberadaan Ambalat dalam Perspek-
tif Hukum Laut Internasional”, Respublica, Vol. 5, No. 1,
Tahun 2005, Pekanbaru: Fakultas Hukum Universitas Lan-
10
Sumaryo Suryokusumo, ibid., hlm. 40. cang Kuning, hlm. 75.
372 Jurnal Dinamika Hukum
Vol. 13 No. 3 September 2013

dengan suatu negara bersangkutan baik karena tokol tersebut umumnya memiliki karakter khu-
adanya kuasa penuh dari wakilnya yang sudah sus dan memerlukan proses pengesahan yang
menyiapkan maupun karena ia telah menandata- terpisah dari perjanjian induknya. Protokol di-
ngani perjanjian yang memerlukan ratifikasi.12 maksud juga memberikan kesempatan pada be-
Jangka waktu antara penandatanganan dan rati- berapa pihak pada perjanjian untuk membentuk
fikasi dalam kasus ini memberikan peluang13 ke- pe-ngaturan lebih jauh dari perjanjian induk dan
pada negara untuk menilai bahwa wakil-wakil tanpa memerlukan persetujuan seluruh negara
mereka telah bertindak sesuai instruksinya dan pihak. Dengan demikian, protokol ini mencipta-
mengambil langkah-langkah yang perlu untuk kan two-tier system pada perjanjian internasio-
memenuhi persyaratan-persyaratan konstitusio- nal. Contoh dari perjanjian ini adalah Protokol
nal14 sehubungan dengan pelaksanaan perjanjian Tambahan Kovenan Internasional mengenai Hak-
tersebut dalam hukum nasional sebelum meneri- hak Sipil dan Politik Tahun 1966 dan juga Pro-
ma kewajiban-kewajiban internasionalnya.15 tokol Tokyo mengenai Pengelolaan Hutan Indone-
sia.16
Urgensi Ratifikasi Protokol Tambahan 1977 Adapun Protocol based on a framework
Terminologi protokol digunakan untuk per- treaty, merupakan perangkat yang mengatur ke-
janjian internasional yang materinya lebih sempit wajiban-kewajiban khusus dalam melaksanakan
dibanding treaty atau convention. Penggunaan perjanjian induknya. Protokol tersebut umumnya
protokol tersebut memiliki berbagai macam kera- digunakan untuk menjamin proses pembuatan
gaman, yaitu: protocol of signature, optional perjanjian yang berlangsung lebih cepat dan se-
protocol, protocol based on a framework treaty, derhana dan telah digunakan khususnya pada
protokol yang mengubah beberapa perjanjian lingkungan. Contoh atas Protokol ini adalah Mon-
internasional, dan protokol yang merupakan pe- treal Protocol on Substances that Deplete the
lengkap perjanjian sebelumnya. Protokol penan- Ozone Layer yang didasari oleh Pasal 2 dan 8
datangan (protocol of signature) merupakan pe- Vienna Con-vention for the Protection of the
rangkat tambahan suatu perjanjian internasional Ozone layer, 1985. Sedangkan Protokol untuk
yang dibuat oleh pihak-pihak yang sama pada mengubah beberapa perjanjian internasional, se-
perjanjian. Protokol tersebut umumnya berisi- perti Protocol of 1946 amending the Agree-
kan hal-hal yang berkaitan dengan penafsiran pa- ments, Conventions and Protocol on Narcotic
sal-pasal tertentu pada perjanjian dan hal-hal Drugs. Kemudian protokol yang merupakan pe-
yang berkaitan dengan pengaturan teknik pelak- lengkap perjanjian sebelumnya, seperti Protocol
sanaan perjanjian. Ratifikasi/Pengesahan perjan- of 1967 relating to the Status of Refugees yang
jian tersebut ipso facto juga mencakup penge- merupakan pelengkap dari Convention of 1951
sahan protokol tersebut. relating to the Status of Refugees. 17
Protokol Tambahan (additional protocol) Protokol Tambahan (additional protocol)
memberikan tambahan hak dan kewajiban selain 1977 adalah salah satu dari perjanjian interna-
yang diatur dalam perjanjian internasional. Pro- sional yang telah diterima oleh negara-negara se-
bagai pelengkap Konvensi Jenewa 1949 yang
12
Yulianto Achmad, “Penempatan Pasukan Amerika Serikat di saat ini belum diratifikasi oleh Indonesia. Makna
Selat Malaka Perspektif Hukum Internasional”, Jurnal tambahan atau additional dalam protokol terse-
Media Hukum, Vol. 12 No. 1 Tahun 2005, Yogyakarta: FH
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, hlm. 86. but adalah sebagai pelengkap18 Konvensi Jenewa
13
Dwi Kuncahyo, “Hak Asasi Manusia dalam Hukuman Mati
serta Implementasinya di Indonesia”, Cakrawala Hukum,
Vol. 1 No. 1 Tahun 2008, Yogyakarta: Fakultas Hukum
16
Universitas Proklamasi 45, hlm. 37. Trihoni Nalesti Harianja, op.cit, hlm. 149.
14 17
Ajisatria M Suleiman, “Towards the Rational Choice Theory Boer Mauna, 2000, Hukum Internasional, Pengertian Pe-
in The Asian Approach to International Law”, Jurnal Hukum ranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, Bandung:
Internasional, Vol. 8, No. 3, Tahun 2011, Jakarta: Fakultas Penerbit Alumni, hlm. 92-93.
18
Hukum Universitas Indonesia, hlm. 578. Christopher Harland, 2011, Basic Document on Internatio-
15
N.A. Maryan Green dalam Sumaryo Suryokusumo, op.cit., nal Humanitarian law South Asia Collection, Treaties, Na-
hlm. 165. tional Lagislation, Case Law and Other Documents, Second
Penerapan Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan 1977 dalam Hukum Nasional Indonesia 373

1949. Protokol Tambahan II tahun 1977 khusus- Tambahan Tahun 1977 itu juga memberi perlin-
nya yang melengkapi pengaturan tentang konflik dungan internasional bagi penduduk sipil di masa
bersenjata yang bersifat internal banyak mem- konflik bersenjata. Protokol Tambahan Tahun
berikan perlindungan kepada penduduk sipil ti- 1977 secara eksplisit menetapkan untuk melin-
dak terkecuali wartawan dan juga sukarelawan dungi penduduk sipil, pihak-pihak yang berkonflik
kemanusiaan seperti ICRC.19 Perbuatan pendu- dalam segala waktu harus melakukan pembedaan
duk sipil yang dibenarkan dalam hukum interna- antara penduduk sipil termasuk wartawan dan
sional antara lain kegiatan ikut sertanya pendu- kombatan, pembedaan antara objek sipil dan
duk sipil dalam pertikaian bersenjata yang pada sasaran militer, dan sesuai dengan keharusan
hakikatnya dapat dirumuskan sebagai kegiatan yang terdapat dalam Keputusan Wampa Pertaha-
yang bersifat kemanusiaan, menolong korban nan dan Keamanan Nomor MI/A/72/62 yang harus
baik korban di kalangan sipil maupun militer se- mengarahkan operasinya hanya pada sasaran mi-
perti yang ditetapkan dalam Pasal 9 Konvensi Je- liter saja. Ketentuan ini sebenarnya merupakan
newa I, II dan III 1949. pengukuhan prinsip dasar hukum humaniter in-
Kegiatan kemanusiaan tersebut dapat di- ternasional dalam mengatur pertikaian bersenja-
lakukan dalam suatu organisasi dan dapat juga ta21 yang telah lama berlaku seperti tersebut di
dilakukan secara perorangan. Sebagai personil dalam Protokol Tambahan 1977.
transportasi medik darat, laut dan udara yang di- Apabila protokol tersebut dibandingkan de-
atur dalam Pasal 19 Konvensi Jenewa I 1949, per- ngan perlindungan yang ditetapkan dalam pera-
sonil rumah sakit sesuai Pasal 35-36 Konvensi turan Den Haag tahun 1899 dan 1907 serta Kon-
Jenewa I 1949 dan Pasal 39 Konvensi Jenewa II vensi Jenewa IV tahun 1949 bagi perlindungan
1949, personil wilayah dan perkampungan rumah penduduk sipil termasuk wartawan yang berlaku
sakit seperti tersebut dalam Pasal 20 dan 36 di Indonesia, terdapat kemungkinan manfaat per-
Konvensi Jenewa I 1949, Pasal 33 Konvensi Je- lindungan internasional yang ditetapkan protokol
newa III 1949 dan Pasal 20 Konvensi Jenewa IV tersebut terhadap kelompok penduduk sipil ter-
1949, anggota personil Palang Merah, anggota utama wartawan. Penduduk sipil sebagai keselu-
perkumpulan penolong, anggota perhimpunan ruhan, terutama golongan in offensive citizens
penolong sukarela, anggota organisasi khusus atau peaceful civilians mendapatkan manfaat
yang bersifat non militer dan orang lain yang di- perlindungan yang ditetapkan protokol terse-
atur dalam Pasal 23 Konvensi Jenewa I 1949. Se- but.22 Penetapan sasaran serangan yang hanya
cara prinsip juga bisa, misalnya mengum-pulkan diarahkan pada sasaran militer menambah per-
dan merawat orang yang luka dan sakit atas lindungan bagi penduduk sipil sebagai keselu-
permintaan penguasa militer yang berwenang se- ruhan karena menghindarkan mereka dari bahaya
bagaimana diatur di dalam Pasal 18 Konvensi Je- dan malapetaka konflik bersenjata di mana saja,
newa I 1949.20 baik terhadap tindakan musuh maupun tindakan
Protokol Tambahan Tahun 1977 tersebut pemerintahnya sendiri. Penduduk sipil mencakup
melengkapi Konvensi Jenewa 1949, terutama penduduk sipil yang ikut serta dalam kegiatan
Konvensi Jenewa IV 1949 tentang Perlindungan kemanusiaan dan penduduk sipil lain seperti war-
Penduduk Sipil. Hal ini berarti bahwa Protokol tawan yang melakukan peliputan berita di dalam
konflik bersenjata internal.
Edition, ICRC Regional Delegation, New Delhi, India, hlm.
1179.
19
Sigit Riyanto, “Intervensi kemanusiaan melalui organisasi
21
internasional untuk memberikan perlindungan dan bantuan Zulkarnain Bustan, “Kasus-Kasus Penegakan Hukum Huma-
kemanusiaan kepada pengungsi internal: debat tentang niter Internasional (HHI) dalam Kaitannya dengan Masyara-
urgensi dan kendalanya”, Mimbar Hukum, Vol. 19, No. 3, kat Internasional”, Aktualita, Vol. 2, No. 3, Tahun 2007,
Tahun 2007, Yogyakarta: Fakultas Hukum UGM, hlm. 235. Palu: Fakultas Hukum Universitas Tadulako, hlm. 209.
20 22
Sigit Riyanto,“Guiding Principles on Displacement: Institu- Eko Aprilianto,“Dinamika Hubungan Indonesia dengan Ma-
tionalisasi Nilai-nilai Kemanusiaan dalam Instrumen Inter- laysia dan Kaitannya dengan Tanggung Jawab Negara da-
nasional”, Mimbar Hukum, Vol. 20 No. 1 Tahun 2008, Yog- lam Hukum Internasional”, Gloria Juris,Vol. 8 No. 1 Tahun
yakarta: FH Universitas Gadjah Mada, hlm. 17. 2008, Jakarta: FH Universitas Katolik Atma Jaya, hlm. 76.
374 Jurnal Dinamika Hukum
Vol. 13 No. 3 September 2013

Seperti halnya penduduk sipil pada umum- ada kewajiban hukum atau kewajiban moral un-
nya, dengan ditetapkannya tambahan perlindung- tuk meratifikasi suatu perjanjian internasional,26
an internasional dalam Protokol Tambahan 1977, yang ada hanyalah kesopanan biasa untuk meng-
mereka mendapatkan perlindungan dengan tidak utarakan kepada negara lain yang bersangkutan
dijadikan sasaran serangan.23 Mereka ini juga da- mengenai alasan-alasan yang dipakai guna meno-
pat memperoleh perlindungan bila melaksanakan lak melakukan ratifikasi.27
tugas kemanusiaan dan tugas jurnalistik.24 Di Suatu instrumen ratifikasi, kalau tidak di-
samping itu, dalam hal mereka melanggar keten- tentukan lain seperti dilakukannya reservasi oleh
tuan hukum internasional karena tanpa suatu hak perjanjian internasional, yang bersangkutan ti-
ikut serta langsung dalam permusuhan, mereka dak mempunyai pengaruh dalam membentuk per-
mendapat perlindungan yang ditetapkan Pasal 51 setujuan akhir untuk terikat pada suatu perjan-
paragraf 3 protokol tersebut. Meskipun mereka jian internasional. Perjanjian internasional dapat
kehilangan perlindungan terhadap akibat permu- mengikat kalau sudah dilakukan: pertukaran atau
suhan, tetapi hal itu hanyalah selama mereka penyimpanan instrumen ratifikasi atau; pembe-
ikut serta dalam permusuhan tersebut. Mereka ritahuan mengenai instrumen ratifikasi kepada
masih dapat memperoleh perlindungan Konvensi negara lain atau kepada negara-negara yang ber-
Jenewa IV 1949 bilamana mereka jatuh di bawah sangkutan dan; penyimpanan perjanjian interna-
kekuasaan musuh. Dalam hal perlindungan Kon- sional. Persyaratan demikian berlaku juga bagi
vensi Jenewa IV 1949 itu tidak dapat diperoleh, penerimaan dan persetujuan. Negara yang sudah
mereka masih dapat memperoleh perlindungan menyatakan terikat pada suatu perjanjian inter-
yang berupa jaminan dasar, yakni perlakuan ma- nasional disebut sebagai State party.
nusiawi yang ditetapkan Pasal 75 protokol terse- Protokol Tambahan 1977 di satu sisi adalah
but. Dengan demikian, tampak bahwa Protokol sebagai pelengkap Konvensi Jenewa 1949 atau
Tambahan 1977 memberikan perlindungan bagi bukan merupakan perjanjian internasional yang
penduduk sipil termasuk wartawan.25 berdiri sendiri yang konsekuensinya tidak perlu
Pentingnya ratifikasi semakin meningkat diratifikasi. Namun, di sisi lain terdapat kesepa-
sehubungan dengan perkembangan sistem kons- katan para pihak yang terlibat dalam protokol
titusi pemerintahan, yang memberi kekuasaan tersebut yang menghendaki agar protokol terse-
membuat perjanjian internasional kepada ber- but perlu segera diratifikasi28 oleh para pihak se-
bagai organ selain kepala negara. Di masing-ma- hingga urgensi Pemerintah Indonesia untuk sege-
sing negara prosedur ratifikasi yang dianut ada- ra meratifikasi Protokol Tambahan 1977 adalah
lah berbeda-beda. Prosedur ratifikasi tingkat na- akan dapat menghilangkan keragu-raguan di da-
sional pengaturannya diserahkan pada hukum na- lam praktik. Seperti halnya dalam kasus pelang-
sional masing-masing negara. Termasuk didalam- garan HAM di Lembaga Pemasyarakatan Masya-
nya adalah tidak ada kewajiban untuk melakukan rakat karena belum adanya payung hukum yang
ratifikasi bagi negara. Kekuasaan menolak untuk menaunginya.29
melakukan ratifikasi dianggap merupakan hal
yang melekat dengan kedaulatan negara, oleh 26
Ko Swan Sik, “Beberapa Catatan atas Permasalahan Treaty
karenanya menurut hukum internasional tidak di Indonesia”, Jurnal Hukum Internasional, Vol. 5 No. 3,
Tahun 2008, Jakarta: FH Universitas Indonesia, hlm. 441.
27
Damos Dumoli Agusman,“Status Hukum Perjanjian Inter-
23
Hesti Armiwulan,“Hak Asasi Manusia dan Hukum”, Jurnal nasional dalam Hukum Nasional RI: Tinjauan dari Perspektif
Yustika, Vol. 7. No. 2, Tahun 2004, Surabaya: Fakultas Hu- Praktik Indonesia”, Jurnal Hukum Internasional, Vol. 5 No.
kum Universitas Surabaya, hlm. 317. 3 Tahun 2008, Jakarta: FH Universitas Indonesia, hlm. 495.
28
24
Heru Susetyo, op. cit., hlm. 758. Art 21 of the Additional Protocol II 1977 on Ratificati-
25
Jose-Miguel Bello, Y. Villarino, dan Ramona Viyeyarasa, on:This Protocol shall be ratified as soon as possible. The
“The Obligation of the EU to Protect European Citizens instruments of ratification shall be deposited with the
Broad from Execution: The International Implications of Swiss Federal Council, Depository of the Conventions.
29
the European Consensus Against the Death Penalty”, Jurnal Antonius Ps Wibowo, “Implementasi Instrumen Internasio-
Kajian Wilayah, Vol. 4 No. 2 Tahun 2008, Jakarta: Eropa, nal HAM Bidang Administrasi Peradilan di Lembaga Perma-
Program Studi Kajian Wilayah Eropa Universitas Indonesia, syarakatan”, Gloria Juris, Vol. 6 No. 3, Tahun 2006, Jakar-
hlm. 63. ta: FH Universitas Katolik Atma Jaya, hlm. 280.
Penerapan Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan 1977 dalam Hukum Nasional Indonesia 375

akan menyampaikan surat permohonan amanat


Prosedur Ratifikasi Protokol Tambahan 1977 di Presiden bagi pembahasan RUU tentang penge-
Indonesia sahan perjanjian internasional, setelah meneliti
Praktik di Indonesia mengenai prosedur ra- kelengkapan dokumen. Apabila disetujui, Presi-
tifikasi terhadap perjanjian internasional dilaku- den Republik Indonesia akan mengeluarkan ama-
kan dengan dua cara yaitu melalui prosedur in- nat Presiden yang akan menunjuk menteri/ke-
ternal (internal procedure) dan prosedur ekster- pala instansi terkait untuk mewakili Pemerintah
nal (external procedure)30. Prosedur internal ra- dalam pembahasan RUU Pengesahan di DPR.
tifikasi terhadap Perjanjian Internasional dilaku- Lembaga Pemrakarsa mengadakan koordi-
kan dengan undang-undang atau peraturan presi- nasi tentang jadwal pembahasan RUU dimaksud
den. Berikut adalah uraian mengenai prosedur dengan pihak sekretariat DPR dan sekretariat ko-
internal ratifikasi yang dilakukan dengan Undang- misi yang menangani substansi perjanjian. Untuk
undang. Lembaga Pemrakarsa mengajukan ijin keperluan pembahasan di DPR, Lembaga Pemra-
prakarsa kepada Presiden melalui Menlu RI. Da- karsa menyiapkan salinan naskah perjanjian, RUU
lam surat tersebut dijelaskan hal-hal yang men- pengesahan, Naskah Akademik dan dokumen lain-
dasari pentingnya ratifikasi/pengesahan perjan- nya sebanyak yang diperlukan bagi pembahasan
jian dimaksud bagi Indonesia, dengan melam- RUU dalam sidang di DPR. Setelah disetujui oleh
pirkan 1 (satu) Naskah Akademik dan 1 (satu) sa- DPR dalam bentuk Undang-Undang, dan diterbit-
linan Naskah Resmi (certified true copy) perjan- kan dalam Lembaran Negara, maka pengesahan
jian internasional beserta terjemahannya dalam pada tahap/prosedur internal sudah selesai. Un-
bahasa Indonesia. Setelah mendapatkan ijin pra- dang-Undang ini akan menjadi dasar bagi Menlu
karsa dari Presiden, lembaga Pemrakarsa mem- melakukan tahap/prosedur eksternal yaitu pe-
bentuk pantia antar kementerian yang beranggo- nerbitan instrumen pengesahan atau menjadi da-
takan Kementerian Luar Negeri, Kementerian Hu- sar bagi Kementerian Luar Negeri dalam hal ini
kum dan HAM, Sekretariat Negara dan instansi Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Inter-
teknis lain yang terkait. nasional untuk melakukan notifikasi kepada pihak
Panitia antar kementerian ini bertugas me- Negara Counterpart atau kepada Depository Go-
nyiapkan RUU tentang pengesahan suatu perjan- vernment/Organization bahwa Indonesia telah
jian. Apabila Panitia antar kementerian ini telah memenuhi persyaratan internal bagi berlakunya
selesai menyiapkannya, Lembaga Pemrakarsa perjanjian dimaksud.31 Hal ini sesuai dengan ke-
akan meminta tannggapan dan persetujuan dari tentuan dalam Pasal 21 Additional Protocol II
semua instansi terkait. Lembaga Pemrakarsa me- 1977 khususnya tentang ratification yang menen-
nyampaikan 1 (satu) RUU, 1 (satu) Naskah Aka- tukan bahwa, ‘This Protocol shall be ratified as
demik copy naskah perjanjian beserta terjemah- soon as possible. The instruments of ratification
annya serta dokumen lain yang diperlukan kepa- shall be deposited with the Swiss Federal Coun-
da Departemen Luar Negeri/Kementerian Luar cil, Depository of the Conventions’.
Negeri dalam hal ini Direktorat Jenderal Hukum Berikut adalah uraian mengenai prosedur
dan Perjanjian Internasional setelah mendapat- internal yang dilakukan dengan Peraturan Presi-
kan tanggapan dan persetujuan dari instansi ter- den. Lembaga Pemrakarsa mengkoordinasikan
kait. penyelenggaraan rapat interdep/interkementeri-
Kementerian Luar Negeri dalam hal ini Di- an dengan menghadirkan Kemlu, Setkab dan ins-
rektorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Interna- tansi teknis terkait lainnya guna membahas per-
sional yang menangani perjanjian internasional, siapan pengesahan perjanjian. Lembaga Pemra-
karsa menyiapkan 1 (satu) Rancangan Peraturan
30
Pedoman Teknis dan Referensi Pembuatan Perjanjian Presiden, 1 (satu) naskah penjelasan, 45 salinan
Internasional (untuk kalangan sendiri), 2009, Direktorat naskah perjanjian beserta terjemahannya, serta
Perjanjian Ekonomi dan Sosial Budaya, Direktorat Jenderal
Hukum dan Perjanjian Internasional, Departemen Luar Luar
31
Negeri, Revisi, hlm. 33. Ibid., hlm. 42-43.
376 Jurnal Dinamika Hukum
Vol. 13 No. 3 September 2013

dokumen lain yang diperlukan. Lembaga Pemra- sia dalam menyelesaikan sengketa Blok Amba-
karsa menyampaikan dokumen tersebut kepada lat.33 Prosedur eksternal ratifikasi terhadap per-
Deplu/Kemlu dalam hal ini Direktorat Hukum dan janjian multilateral dibedakan menjadi dua yaitu
Perjanjian Internasional, setelah rapat interke- perjanjian multilateral murni dan perjanjian
menterian yang dihadiri oleh instansi terkait me- multilateral yang dibuat oleh suatu organisasi in-
nyetujui melakukan pengesahan terhadap perjan- ternasional. Untuk prosedur eksternal ratifikasi
jian internasional. terhadap perjanjian yang multilateral murni, ma-
Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian ka pemerintah dalam hal ini Menteri Luar Negeri
Internasional, setelah meneliti kelengkapan do- (Menlu) mengirimkan instrument of ratification
kumen, menyampaikan surat permohonan penge- tersebut untuk disimpan ke depository State (ne-
sahan kepada Presiden dengan melampirkan 1 gara penyimpan). Untuk prosedur eksternal rati-
(satu) naskah Rancangan Peraturan Presiden, 1 fikasi terhadap perjanjian multilateral yang di-
(satu) naskah penjelasan, 1 (satu) Certified True buat oleh suatu organisasi internasional dilaku-
Copy dan 44 salinan (copy) naskah perjanjian be- kan oleh Menlu dengan menyimpan instrument of
serta terjemahannya. Setelah disahkan oleh Pre- ratification kepada Sekretaris Jenderal (Sekjen)
siden dalam bentuk Peraturan Presiden dan di- suatu organisasi internasional. Prosedur eksternal
terbitkan dalam Lembaran Negara, maka penge- ratifikasi terhadap Protokol Tam-bahan 1977 me-
sahan pada tahap internal sudah selesai. Dengan ngikuti cara yang dilakukan terhadap perjanjian
demikian jika penerapan dilakukan terhadap Pro- multilateral murni. Pemerintah dalam hal ini
tokol Tambahan 1977, maka prosedur internal ra- Menlu melakukan penyimpanan instrument of
tifikasi terhadap Protokol Tambahan 1977 dila- ratification (piagam pengesahan) kepada Swiss
kukan dengan Undang-Undang seperti diatur da- Federal Council.34.
lam Pasal 10 UU No. 24 Tahun 2000 tentang Per-
janjian Internasional karena pengesahan perjan- Penutup
jian internasional/ratifikasi yang menyangkut Berdasarkan permasalahan dan pembahas-
masalah politik, perdamaian dan pertahanan ke- an di muka, maka simpulan dan saran dalam
amanan negara, perubahan wilayah/penetapan penelitian ini adalah sebagai berikut. Pertama,
batas wilayah, kedaulatan dan hak berdaulat, Konvensi Jenewa 1949 adalah perjanjian interna-
hak asasi manusia dan lingkungan hidup, kaidah sional yang mengatur tentang korban akibat kon-
hukum baru, pinjaman dan/atau hibah luar ne- flik bersenjata baik yang bertaraf internasional
geri dilakukan dengan undang-undang.32 maupun non internasional, adapun Protokol
Prosedur eksternal ratifikasi terhadap per- Tambahan 1977 adalah perjanjian internasional
janjian internasional dibedakan menjadi dua, ya- yang melengkapi ketentuan-ketentuan pengatur-
itu terhadap perjanjian internasional bilateral an tentang konflik bersenjata yang bersifat inter-
dan perjanjian internasional multilateral. Prose- nasional (Protokol Tambahan I 1977) dan yang
dur ekstenal ratifikasi terhadap perjanjian bila- bersifat non internasional (Protokol Tambahan II
teral, dilakukan dengan cara para delegasi yang 1977). Dari hasil penelitian ini dapat disimpul-
menjadi pihak-pihak dari perjanjian itu kembali kan bahwa penerapan berlakunya Konvensi Je-
melakukan pertemuan khusus untuk mengadakan newa 1949 di Indonesia dilakukan dengan Un-
pertukaran dokumen/exchanging of ratification dang-Undang Nomor 59 tahun 1958 tentang Akse-
instrument. Contoh dari perjanjian bilateral ini si Negara RI terhadap Konvensi Jenewa 1949. Di-
da-pat dilakukan antara Indonesia dengan Malay- gunakannya istilah “aksesi” disini dikarenakan In-

33
Novianti,“Penyelesaian Masalah Blok Ambalat Ditinjau dari
32
Wayan I Partiana, “Kajian Akademis (Teoritis dan Praktis) Perspektif Hukum Internasional”, Supremasi Hukum,Vol 2.
atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Per- No. 1, edisi tahun 2006, Tangerang: Fakultas Hukum Uni-
janjian Internasional Berdasarkan Hukum Perjanjian Inter- versitas Islam Syekh Yusuf, hlm. 35.
34
nasional”, Jurnal Hukum Internasional, Vol. 5. No. 3, edisi Pedoman Teknis dan Referensi Pembuatan Perjanjian
tahun 2008, Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Internasional (untuk kalangan sendiri), op.cit., hlm. 34, 35
hlm. 467. dan 43.
Penerapan Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan 1977 dalam Hukum Nasional Indonesia 377

donesia tidak ikut hadir dalam penandatangan No. 3 2008. Fakultas Hukum Universitas In-
konvensi tersebut. donesia;
Kedua, Pemerintah Indonesia mempunyai Aprilianto, Eko. “Dinamika Hubungan Indonesia
urgensi untuk meratifikasi Protokol Tambahan dengan Malaysia dan Kaitannya dengan
Tanggung Jawab Negara dalam Hukum In-
1977 adalah agar dalam praktik tidak timbul ada-
ternasional”. Gloria Juris. Vol. 8. No. 1 Ta-
nya keraguan. Dalam Protokol ini, Indonesia ha- hun 2008. Jakarta: Fakultas Hukum Univer-
rus menggunakan istilah ratifikasi karena Indone- sitas Katolik Atma Jaya;
sia ikut serta hadir dalam penandatangan Proto- Ariadno, Melda Kamil. “Kedudukan Hukum Inter-
kol Tambahan 1977 dan protokol tersebut juga nasional dalam Sistem Hukum Nasional”.
mengharuskan para peserta untuk meratifikasi- Jurnal Hukum Internasional, Vol. 5 No. 3
nya. Ketiga, Prosedur ratifikasi terhadap perjan- Tahun 2008. Jakarta: Universitas Indonesia;
jian internasional dilakukan dengan dua cara ya- Armiwulan, Hesti. “Hak Asasi Manusia dan Hu-
itu melalui prosedur internal dan eksternal. Pro- kum”. Jurnal Yustika, Vol. 7. No. 2. Tahun
2004. Surabaya: Fakultas Hukum Universi-
sedur internal ratifikasi terhadap Perjanjian In- tas Surabaya;
ternasional dilakukan dengan Undang-Undang
Bello, Jose-Miguel Y. Villarino, dan Ramona Viye-
atau Peraturan Presiden. Sementara prosedur yarasa. “The Obligation of the EU to Pro-
eksternal dilakukan dengan perjanjian bilateral tect European Citizens Broad from Execu-
maupun multilateral. tion: The International Implications of the
European Consensus Against the Death
Penalty”. Jurnal Kajian Wilayah Eropa. Vol
Saran
4 No. 2 Tahun 2008. Jakarta: Program Studi
Ada beberapa saran yang dapat diberikan Kajian Wilayah Eropa Universitas Indonesia;
untuk pemecahan masalah yang dibahas pada
Bustan, Zulkarnain. “Kasus-Kasus Penegakan Hu-
artikel ini. Pertama, penggunaan istilah ratifikasi kum Humaniter Internasional (HHI) dalam
terhadap Konvensi Jenewa 1949 selama ini dalam Kaitannya dengan Masyarakat Internasi-
berbagai literatur sebaiknya diluruskan dengan onal”. Aktualita. Vol. 2 No. 3 Tahun 2007.
menggunakan istilah yang benar yaitu Indonesia Palu: FH Universitas Tadulako;
telah “mengaksesi” Konvensi Jenewa 1949 de- Harianja, Trihoni Nalesti. “Pertanggungjawaban
ngan Undang-Undang Nomor 59 tahun 1958 ten- Pidana Secara Individual bagi Pelanggaran
Hukum Humaniter dalam Konflik Bersenja-
tang Aksesi Negara Republik Indonesia terhadap
ta Internal”. Respublica, Vol. 3 No. 2 Ta-
Konvensi Jenewa 1949. Kedua, meskipun Indone- hun 2004. Pekanbaru: Fakultas Hukum Uni-
sia sudah melaksanakan Protokol Tambahan versitas Lancang Kuning;
1977, namun sampai saat ini belum meratifikasi Harland, Christopher. 2011. Basic Document on
protokol tersebut. Oleh karena itu untuk menghi- International Humanitarian law South Asia
langkan adanya keraguan dalam praktik sebaik- Collection, Treaties, National Lagislation,
nya Indonesia segera meratifikasi Protokol Tam- Case Law and Other Documents. Second
Edition. India: ICRC Regional Delegation
bahan 1977. New Delhi;
Juwana, Hikmahanto. “The Obligation to Ensure
Daftar Pustaka the Conformity of International Treaties
Achmad, Yulianto. “Penempatan Pasukan Ame- with the Constitution”. Jurnal Hukum In-
rika Serikat di Selat Malaka Perspektif Hu- ternasional, Vol. 8 No. 3 Tahun 2011. Ja-
kum Internasional”. Jurnal Media Hukum, karta: FH Universitas Indonesia;
Vol. 12 No. 1 2005. Fakultas Hukum Univer- Kuncahyo, Dwi. “Hak Asasi Manusia dalam Huku-
sitas Muhammadiyah Yogyakarta; man Mati serta Implementasinya di Indo-
Agusman, Damos Dumoli. “Status Hukum Perjan- nesia”. Cakrawala Hukum, Vol. 1 No. 1 Ta-
jian Internasional dalam Hukum Nasional hun 2008. Yogyakarta: Fakultas Hukum Uni-
RI: Tinjauan dari Perspektif Praktik Indone- versitas Proklamasi 45;
sia”. Jurnal Hukum Internasional, Vol. 5
378 Jurnal Dinamika Hukum
Vol. 13 No. 3 September 2013

Mauna, Boer. 2000. Hukum Internasional, Pe- manusiaan dalam Instrumen Internasional”.
ngertian Peranan dan Fungsi dalam Era Di- Mimbar Hukum, Vol. 20 No. 1 Tahun 2008.
namika Global. Bandung: Penerbit Alumni; Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas
N.A. Maryan Green dalam Sumaryo Suryokusumo. Gadjah Mada;
2005. Diktat Hukum Perjanjian Internasio- -------, dkk. “Beberapa Catatan atas Permasala-
nal. Yogyakarta: Fakultas Hukum UGM; han Treaty di Indonesia”. Jurnal Hukum In-
Novianti. “Penyelesaian Masalah Blok Ambalat Di- ternasional, Vol. 5 No. 3 Tahun 2010. Ja-
tinjau dari Perspektif Hukum Internasio- arta: FH Universitas Indonesia;
nal”. Jurnal Supremasi Hukum, Vol. 2. No. Suleiman, Ajisatria M. “Towards the Rational
1. Tahun 2006. Tangerang: Fakultas Hukum Choice Theory in The Asian Approach to In-
Universitas Islam Syekh Yusuf; ternational Law”. Jurnal Hukum Interna-
Partiana, Wayan I. “Kajian Akademis (Teoritis sional, Vol. 8 No. 3 Tahun 2011. Jakarta:
dan Praktis) atas Undang-Undang Nomor 24 Fakultas Hukum Universitas Indonesia;
Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasio- Suryokusumo, Sumaryo. 2005. Diktat Hukum Per-
nal Berdasarkan Hukum Perjanjian Inter- janjian Internasional. Yogyakarta: Fakultas
nasional”. Jurnal Hukum Internasional, Hukum UGM;
Vol. 5 No. 3 Tahun 2008. Jakarta: Fakultas Susetyo, Heru. ”International Humanitarian Law
Hukum Universitas Indonesia; in Internal Armed Conflict: Implementing
Permanasari, Arlina. “Analisis Yuridis Status Hu- Common Article 3 and Additional Protocol
kum Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Menurut II to the Geneva Conventions to Internal
Hukum Humaniter”. Jurnal Hukum Huma- and Horizontal Conflicts in Indonesia” Jur-
niter, Vol. 3. No. 4. Tahun 2007. Jakarta: nal Hukum Humaniter, Vol. 3 No. 4 Tahun
Pusat Studi Hukum Humaniter dan HAM 2007. Jakarta: Universitas Trisakti;
Universitas Trisakti; Wibowo, Antonius Ps. “Implementasi Instrumen
Riyanto, Sigit. “Intervensi Kemanusiaan melalui Internasional HAM Bidang Administrasi Pe-
Organisasi Internasional untuk Memberikan radilan di Lembaga Permasyarakatan”. Glo-
Perlindungan dan Bantuan Kemanusiaan ke- ria Juris. Vol. 6. No. 3. Tahun 2006. Jakar-
pada Pengungsi Internal: Debat tentang ta: FH Universitas Katolik Atma Jaya;
Urgensi dan Kendalanya”. Mimbar Hukum, Yetti. “Aspek Yuridis Keberadaan Ambalat dalam
Vol. 19. No. 2. Tahun 2007. Yogyakarta: Perspektif Hukum Laut Internasional”. Res-
Fakultas Hukum UGM; publica, Vol. 5 No. 1 Tahun 2005. Pekanba-
Riyanto, Sigit. 2008, “Guiding Principles on Dis- ru: FH Universitas Lancang Kuning.
placement: Institutionalisasi Nilai-nilai Ke-

Anda mungkin juga menyukai