Anda di halaman 1dari 36

Biografi KH Ahmad Dahlan, Kisah

Perjuangan Sang Pendiri Muhammadiyah


Biografiku.com – Profil dan Biografi KH Ahmad Dahlan. Beliau dikenal sebagai pendiri
Muhammadiyah, salah satu organisasi islam terbesar di Indonesia. Beliau juga
merupakan seorang ulama dan salah satu tokoh pembaaharuan islam di Indonesia.
Berkat perjuangan jasa-jasa KH Ahmad Dahlan, Pemerintah Indonesia
menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepadanya. Berikut Profil dan biografi KH
Ahmad Dahlan dan sejarah perjuangan KH Ahmad Dahlan.

Biografi KH Ahmad Dahlan Singkat


Kyai Haji Ahmad Dahlan lahir di Yogyakarta, 1 Agustus
1868, Nama kecil KH Ahmad Dahlan adalah Muhammad
Darwis. Ia merupakan anak keempat dari tujuh orang
bersaudara yang keseluruhan saudaranya perempuan,
kecuali adik bungsunya.
Pendiri Muhammadiyah ini termasuk keturunan yang
kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim, salah seorang
yang terkemuka di antara Walisongo, yaitu pelopor
penyebaran agama Islam di Jawa.
Silsilahnya tersebut ialah Maulana Malik Ibrahim,
Maulana Ishaq, Maulana ‘Ainul Yaqin, Maulana
Muhammad Fadlullah (Sunan Prapen), Maulana
Sulaiman Ki Ageng Gribig (Djatinom), Demang Djurung
Djuru Sapisan, Demang Djurung Djuru Kapindo, Kyai
Ilyas, Kyai Murtadla, KH Muhammad Sulaiman, KH Abu
Bakar, dan Muhammad Darwisy (Ahmad Dahlan).

Riwayat Pendidikan KH Ahmad Dahlan


Pada umur 15 tahun, ia pergi haji dan tinggal di Mekah selama lima tahun. Pada
periode ini, Ahmad Dahlan mulai berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu
dalam Islam, seperti Muhammad Abduh, Al-Afghani, Rasyid Ridha dan Ibnu Taimiyah.
Ketika pulang kembali ke kampungnya tahun 1888, ia berganti nama menjadi Ahmad
Dahlan. Pada tahun 1903, ia bertolak kembali ke Mekah dan menetap selama dua
tahun.

Menikah Dengan Nyai Ahmad Dahlan


Pada masa ini, ia sempat berguru kepada Syeh Ahmad Khatib yang juga guru dari
pendiri NU, KH Hasyim Asyari. Sepulang dari Mekkah, ia menikah dengan Siti Walidah,
sepupunya sendiri, anak Kyai Penghulu Haji Fadhil, yang kelak dikenal dengan Nyai
Ahmad Dahlan, seorang Pahlawanan Nasional dan pendiri Aisyiyah.
Dari perkawinannya dengan Siti Walidah, KH Ahmad Dahlan mendapat enam orang
anak yaitu Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, Siti Zaharah.
Disamping itu KH Ahmad Dahlan pernah pula menikahi Nyai Abdullah, janda H.
Abdullah.
la juga pernah menikahi Nyai Rum, adik Kyai Munawwir Krapyak. KH Ahmad Dahlan
juga mempunyai putera dari perkawinannya dengan Nyai Aisyah (adik Adjengan
Penghulu) Cianjur yang bernama Dandanah. Ia pernah pula menikah dengan Nyai Yasin
Pakualaman Yogyakarta.
Bergabung Dengan Organisasi Budi Utomo
Dengan maksud mengajar agama, pada tahun 1909 Kiai Dahlan masuk Boedi Oetomo –
organisasi yang melahirkan banyak tokoh-tokoh nasionalis. Di sana beliau memberikan
pelajaran-pelajaran untuk memenuhi keperluan anggota.
Pelajaran yang diberikannya terasa sangat berguna bagi anggota Boedi Oetomo
sehingga para anggota Boedi Oetomo ini menyarankan agar ia membuka sekolah
sendiri yang diatur dengan rapi dan didukung oleh organisasi yang bersifat permanen.
Hal tersebut dimaksudkan untuk menghindari nasib seperti pesantren tradisional yang
terpaksa tutup bila kiai pemimpinnya meninggal dunia.

Mendirikan Muhammadiyah
Saran itu kemudian ditindaklanjuti Kiai Dahlan dengan mendirikan sebuah organisasi
yang diberi nama Muhammadiyah pada 18 November 1912 (8 Dzulhijjah 1330).
Organisasi ini bergerak di bidang
kemasyarakatan dan pendidikan.
Melalui organisasi inilah beliau
berusaha memajukan pendidikan
dan membangun masyarakat
Islam.

Pemikiran KH Ahmad Dahlan


Pemikiran KH Ahmad Dahlan
bahwa Islam hendak didekati
serta dikaji melalui kacamata
modern sesuai dengan panggilan
dan tuntutan zaman, bukan
secara tradisional.
Beliau mengajarkan kitab suci Al
Qur’an dengan terjemahan dan tafsir agar masyarakat tidak hanya pandai membaca
ataupun melagukan Qur’an semata, melainkan dapat memahami makna yang ada di
dalamnya.
Dengan demikian diharapkan akan membuahkan amal perbuatan sesuai dengan yang
diharapkan Qur’an itu sendiri. Menurut pengamatannya, keadaan masyarakat
sebelumnya hanya mempelajari Islam dari kulitnya tanpa mendalami dan memahami
isinya.
Sehingga Islam hanya merupakan suatu dogma yang mati. Di bidang pendidikan, ia
mereformasi sistem pendidikan pesantren zaman itu.
Yang menurutnya tidak jelas jenjangnya dan tidak efektif metodenya lantaran
mengutamakan menghafal dan tidak merespon ilmu pengetahuan umum.
Maka KH Ahmad Dahlan mendirikan sekolah-sekolah agama dengan memberikan
pelajaran pengetahuan umum serta bahasa Belanda. Bahkan ada juga Sekolah
Muhammadiyah seperti H.I.S. met de Qur’an. Sebaliknya, beliau pun memasukkan
pelajaran agama pada sekolah-sekolah umum.
Ia terus mengembangkan dan membangun sekolah-sekolah. Sehingga semasa
hidupnya, beliau telah banyak mendirikan sekolah, masjid, langgar, rumah sakit,
poliklinik, dan rumah yatim piatu.
Kegiatan dakwah pun tidak ketinggalan. Beliau semakin meningkatkan dakwah dengan
ajaran pembaruannya. Di antara ajaran utamanya yang terkenal, beliau mengajarkan
bahwa semua ibadah diharamkan kecuali yang ada perintahnya dari Nabi Muhammad
SAW.
Beliau juga mengajarkan larangan ziarah kubur, penyembahan dan perlakuan yang
berlebihan terhadap pusaka-pusaka keraton seperti keris, kereta kuda, dan tombak.
Di samping itu, beliau juga memurnikan agama Islam dari percampuran ajaran agama
Hindu, Budha, animisme, dinamisme, dan kejawen.
Mendirikan Aisyiyah
Di bidang organisasi, pada tahun 1918, beliau membentuk organisasi Aisyiyah yang
khusus untuk kaum wanita. Pembentukan organisasi Aisyiyah, yang juga merupakan
bagian dari Muhammadiyah ini.
Mendirikan Hizbul Wathan
Karena menyadari pentingnya peranan kaum wanita dalam hidup dan perjuangannya
sebagai pendamping dan partner kaum pria. Sementara untuk pemuda, Kiai Dahlan
membentuk Padvinder atau Pandu – sekarang dikenal dengan nama Pramuka – dengan
nama Hizbul Wathan disingkat H.W.

Di sana para pemuda diajari baris-berbaris dengan


genderang, memakai celana pendek, berdasi, dan
bertopi. Hizbul Wathan ini juga mengenakan uniform
atau pakaian seragam, mirip Pramuka sekarang.
Pembentukan Hizbul Wathan ini dimaksudkan sebagai
tempat pendidikan para pemuda yang merupakan bunga
harapan agama dan bangsa. Sebagai tempat
persemaian kader-kader terpercaya.
Ini sekaligus menunjukkan bahwa Agama Islam itu
tidaklah kolot melainkan progressif. Tidak ketinggalan
zaman, namun sejalan dengan tuntutan keadaan dan
kemajuan zaman.

Tokoh Pembaharu Islam


Karena semua pembaruan yang diajarkan Kyai Dahlan
ini agak menyimpang dari tradisi yang ada saat itu,
maka segala gerak dan langkah yang dilakukannya
dipandang aneh. Sang Kiai sering diteror seperti
diancam bunuh, rumahnya dilempari batu dan kotoran
binatang.
Ketika mengadakan dakwah di Banyuwangi, beliau diancam akan dibunuh dan dituduh
sebagai kiai palsu. Walaupun begitu, beliau tidak mundur. Beliau menyadari bahwa
melakukan suatu pembaruan ajaran agama (mushlih) pastilah menimbulkan gejolak
dan mempunyai risiko.
Dengan penuh kesabaran, masyarakat perlahan-lahan menerima perubaban yang
diajarkannya. Tujuan mulia terkandung dalam pembaruan yang diajarkannya.
Segala tindak perbuatan, langkah dan usaha yang ditempuh Kiai ini dimaksudkan untuk
membuktikan bahwa Islam itu adalah Agama kemajuan. Dapat mengangkat derajat
umat dan bangsa ke taraf yang lebih tinggi.
Usahanya ini ternyata membawa dampak positif bagi bangsa Indonesia yang mayoritas
beragama Islam. Banyak golongan intelektual dan pemuda yang tertarik dengan
metoda yang dipraktekkan Kiai Dahlan ini sehingga mereka banyak yang menjadi
anggota Muhammadiyah.
Dalam perkembangannya, Muhammadiyah kemudian menjadi salah satu organisasi
massa Islam terbesar di Indonesia. Melihat metoda pembaruan KH Ahmad Dahlan ini.
Beliaulah ulama Islam pertama atau mungkin
satu-satunya ulama Islam di Indonesia yang
melakukan pendidikan dan perbaikan
kehidupan um’mat, tidak dengan pesantren
dan tidak dengan kitab karangan, melainkan
dengan organisasi.
Sebab selama hidup, beliau diketahui tidak
pernah mendirikan pondok pesantren seperti
halnya ulama-ulama yang lain. Dan
sepanjang pengetahuan, beliau juga konon
belum pernah mengarang sesuatu kitab atau
buku agama.

Muhammadiyah sebagai organisasi tempat beramal dan melaksanakan ide-ide


pembaruan Kiai Dahlan ini sangat menarik perhatian para pengamat perkembangan
Islam dunia ketika itu. Para sarjana dan pengarang dari Timur maupun Barat sangat
memfokuskan perhatian pada Muhammadiyah.
Nama Kiai Haji Akhmad Dahlan pun semakin tersohor di dunia. Dalam kancah
perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia, peranan dan sumbangan beliau
sangatlah besar. Kiai Dahlan dengan segala ide-ide pembaruan yang diajarkannya
merupakan saham yang sangat besar bagi Kebangkitan Nasional di awal abad ke-20.
Kiai Dahlan menimba berbagai bidang ilmu dari banyak kiai yakni KH Muhammad
Shaleh di bidang ilmu fikih; dari KH Muhsin di bidang ilmu Nahwu-Sharaf (tata bahasa);
dari KH Raden Dahlan di bidang ilmu falak (astronomi).
Dari Kiai Mahfud dan Syekh KH Ayyat di bidang ilmu hadis; dari Syekh Amin dan Sayid
Bakri Satock di bidang ilmu Al-Quran, serta dari Syekh Hasan di bidang ilmu
pengobatan dan racun binatang.

KH Ahmad Dahlan Wafat


Pada usia 54 tahun, tepatnya pada tanggal 23 Februari 1923, Kiai Haji Akhmad Dahlan
wafat di Yogyakarta. Beliau kemudian dimakamkan di kampung Karangkajen,
Brontokusuman, wilayah bernama Mergangsan di Yogyakarta.

Gelar Pahlawan Nasional


Atas jasa-jasa Kiai Haji
Akhmad Dahlan maka negara
menganugerahkan kepada
beliau gelar kehormatan
sebagai Pahlawan
Kemerdekaan Nasional. Gelar
kehormatan tersebut
dituangkan dalam SK
Presiden RI No.657 Tahun
1961, tgl 27 Desember 1961.
Kisah tentang KH Ahmad
Dahlan juga diangkat ke layar
lebar pada tahun 2010
dengan judul film ‘Sang
Pencerah‘ yang
menceritakan tentang kisah KH Ahmad Dahlan dan terbentuknya Muhammadiyah.
Tokoh KH Ahmad Dahlan sendiri dibintangi oleh Iksan Tarore sebagai Tokoh Ahmad
Dahlan Muda dan kemudian Lukman Sardi sebagai KH Ahmad Dahlan. Film ini sendiri
disutradarai oleh Hanung Bramatyo. Itulah profil dan biografi KH Ahmad Dahlan sebagai
pendiri Muhammadiyah dan sejarah perjuangannya. Semoga bermanfaat
Biografi Adam Malik
Biografi Adam Malik. Tokoh Indonesia ini yang
dijuluki ”si kancil” ini dilahirkan di Pematang Siantar,
Sumatra Utara, 22 Juli 1917 dari pasangan Haji Abdul
Malik Batubara dan Salamah Lubis. Semenjak kecil ia
gemar menonton film koboi, membaca, dan fotografi.
Setelah lulus HIS, sang ayah menyuruhnya memimpin
toko ‘Murah’, di seberang bioskop Deli. Di sela-sela
kesibukan barunya itu, ia banyak membaca berbagai
buku yang memperkaya pengetahuan dan
wawasannya.

Ketika usianya masih belasan tahun, ia pernah ditahan


polisi Dinas Intel Politik di Sipirok 1934 dan dihukum
dua bulan penjara karena melanggar larangan
berkumpul. Adam Malik pada usia 17 tahun telah
menjadi ketua Partindo di Pematang Siantar (1934-
1935) untuk ikut aktif memperjuangkan kemerdekaan
bangsanya. Keinginannya untuk maju dan berbakti
kepada bangsa mendorong Adam Malik merantau ke
Jakarta.
Pada usia 20 tahun, Adam Malik bersama dengan Soemanang, Sipahutar, Armin Pane,
Abdul Hakim, dan Pandu Kartawiguna, memelopori berdirinya kantor berita Antara
tahun 1937 berkantor di JI. Pinangsia 38 Jakarta Kota. Dengan modal satu meja tulis
tua, satu mesin tulis tua, dan satu mesin roneo tua, mereka menyuplai berita ke
berbagai surat kabar nasional. Sebelumnya, ia sudah sering menulis antara lain di
koran Pelita Andalas dan Majalah Partindo.
Di zaman Jepang, Adam Malik aktif bergerilya dalam gerakan pemuda memperjuangkan
kemerdekaan. Menjelang 17 Agustus 1945, bersama Sukarni, Chaerul Saleh, dan
Wikana, Adam Malik pernah melarikan Bung Karno dan Bung Hatta ke Rengasdengklok
untuk memaksa mereka memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.
Demi mendukung kepemimpinan Soekarno-Hatta, ia menggerakkan rakyat berkumpul
di lapangan Ikada, Jakarta. Mewakili kelompok pemuda, Adam Malik sebagai pimpinan
Komite Van Aksi, terpilih sebagai Ketua III Komite Nasional Indonesia Pusat (1945-
1947) yang bertugas menyiapkan susunan pemerintahan. Selain itu, Adam Malik adalah
pendiri dan anggota Partai Rakyat, pendiri Partai Murba, dan anggota parlemen.

Akhir tahun lima puluhan, atas penunjukan Soekarno, Adam Malik masuk ke
pemerintahan menjadi duta besar luar biasa dan berkuasa penuh untuk Uni Soviet dan
Polandia. Karena kemampuan diplomasinya, Adam Malik kemudian menjadi ketua
Delegasi RI dalam perundingan Indonesia-Belanda, untuk penyerahan Irian Barat di
tahun 1962. Selesai perjuangan Irian Barat (Irian Jaya), Adam Malik memegang
jabatan Menko Pelaksana Ekonomi Terpimpin (1965). Pada masa semakin menguatnya
pengaruh Partai Komunis Indonesia, Adam bersama Roeslan Abdulgani dan Jenderal
Nasution dianggap sebagai musuh PKI dan dicap sebagai trio sayap kanan yang kontra-
revolusi.
Ketika terjadi pergantian rezim pemerintahan Orde Lama, posisi Adam Malik yang
berseberangan dengan kelompok kiri justru malah menguntungkannya. Tahun 1966,
Adam disebut-sebut dalam trio baru Soeharto-Sultan-Malik. Pada tahun yang sama,
lewat televisi, ia menyatakan keluar dari Partai Murba karena pendirian Partai Murba,
yang menentang masuknya modal asing. Empat tahun kemudian, ia bergabung dengan
Golkar. Sejak 1966 sampai 1977 ia menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri II / Menlu
ad Interim dan Menlu RI.
Sebagai Menlu dalam pemerintahan Orde Baru, Adam Malik berperanan penting dalam
berbagai perundingan dengan negara-negara lain termasuk rescheduling utang
Indonesia peninggalan Orde Lama. Bersama Menlu negara-negara ASEAN, Adam Malik
memelopori terbentuknya ASEAN tahun 1967. Ia bahkan dipercaya menjadi Ketua
Sidang Majelis Umum PBB ke-26 di New York. Ia orang Asia kedua yang pernah
memimpin sidang lembaga tertinggi badan dunia itu. Tahun 1977, ia terpilih menjadi
Ketua DPR/MPR. Kemudian tiga bulan berikutnya, dalam Sidang Umum MPR Maret
1978 terpilih menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia yang ke-3 menggantikan Sri
Sultan Hamengku Buwono IX yang secara tiba-tiba menyatakan tidak bersedia
dicalonkan lagi.

Beberapa tahun setelah menjabat wakil presiden, ia merasa kurang dapat berperan
banyak. Maklum, ia seorang yang terbiasa lincah dan aktif tiba-tiba hanya berperan
sesekali meresmikan proyek dan membuka seminar. Kemudian dalam beberapa
kesempatan ia mengungkapkan kegalauan hatinya tentang feodalisme yang dianut
pemimpin nasional. Ia menganalogikannya seperti tuan-tuan kebon.
Sebagai seorang diplomat, wartawan bahkan birokrat, ia seing mengatakan ‘semua bisa
diatur”. Sebagai diplomat ia memang dikenal selalu mempunyai 1001 jawaban atas
segala macam pertanyaan dan permasalahan yang dihadapkan kepadanya. Tapi
perkataan ‘semua bisa diatur’ itu juga sekaligus sebagai lontaran kritik bahwa di negara
ini ‘semua bisa di atur’ dengan uang.
Setelah mengabdikan diri demi bangsa dan negaranya, H.Adam Malik meninggal di
Bandung pada 5 September 1984 karena kanker lever. Kemudian, isteri dan anak-
anaknya mengabadikan namanya dengan mendirikan Museum Adam Malik. Pemerintah
juga memberikan berbagai tanda kehormatan. Biografiku.com
Biografi Dewi Sartika, Kisah Pahlawan
Perintis Pendidikan Kaum Wanita
Biografiku.com – Profil dan Biografi Dewi Sartika. Beliau dikenal sebagai salah satu
pahlawan nasional wanita. Salah satu jasa Dewi Sartika untuk Indonesia adalah ia
merupakan tokoh perintis pendidikan untuk kaum wanita.

Sama dengan RA Kartini, Dewi Sartika juga dikenal sebagai salah satu tokoh pejuang
emansipasi wanita. Berikut profil dan biografi Dewi Sartika

Biografi Dewi Sartika

Dewi Sartika lahir di Cicalengka, Bandung, Jawa


Barat pada tanggal 4 Desember 1884. Ayahnya
bernama Raden Somanagara adalah seorang
pejuang kemerdekaan. Terakhir, sang ayah
dihukum buang ke Pulau Ternate oleh Pemerintah
Hindia Belanda hingga meninggal dunia di sana.
Ibunya bernama Nyi Raden Ayu Rajapermas.

Masa Kecil Dewi Sartika

Meski melanggar adat saat itu, orang tuanya


bersikukuh menyekolahkan Dewi Sartika, ke
sekolah Belanda pula. Sepeninggal ayahnya, Dewi Sartika dirawat oleh pamannya
(kakak ibunya) yang berkedudukan sebagai patih di Cicalengka.

Dari pamannya, beliau mendapatkan didikan mengenai kesundaan, sedangkan


wawasan kebudayaan Barat diperolehnya dari berkat didikan seorang nyonya Asisten
Residen bangsa Belanda.

Pendidikan Dewi Sartika


Sejak kecil, Dewi Sartika sudah menunjukkan bakat pendidik dan kegigihan untuk
meraih kemajuan. Sambil bermain di belakang gedung kepatihan, beliau sering
memperagakan praktik di sekolah, mengajari baca-tulis, dan bahasa Belanda, kepada
anak-anak pembantu di kepatihan.

Papan bilik kandang kereta, arang, dan pecahan genting dijadikannya alat bantu
belajar. Raden Dewi Sartika yang mengikuti pendidikan Sekolah Dasar di Cicalengka,
sejak kecil memang sudah menunjukkan minatnya di bidang pendidikan.

Dikatakan demikian karena sejak anak-anak ia sudah senang memerankan perilaku


seorang guru. Sebagai contoh, sebagaimana layaknya anak-anak, biasanya sepulang
sekolah, Dewi kecil selalu bermain sekolah-sekolahan dengan teman-teman anak
perempuan sebayanya, ketika itu ia sangat senang berperan sebagai guru.

Waktu itu Dewi Sartika baru berumur sekitar sepuluh tahun, ketika Cicalengka
digemparkan oleh kemampuan baca-tulis dan beberapa patah kata dalam bahasa
Belanda yang ditunjukkan oleh anak-anak pembantu kepatihan.

Gempar, karena di waktu itu belum banyak anak-anak (apalagi anak rakyat jelata)
memiliki kemampuan seperti itu, dan diajarkan oleh seorang anak perempuan.

Berpikir agar anak-anak perempuan di sekitarnya bisa memperoleh kesempatan


menuntut ilmu pengetahuan, maka ia berjuang mendirikan sekolah di Bandung, Jawa
Barat. Ketika itu, ia sudah tinggal di Bandung.

Dewi Sartika Mendirikan Sekolah Isteri

Perjuangannya tidak sia-sia, dengan bantuan R.A.A.Martanegara, kakeknya, dan Den


Hamer yang menjabat Inspektur Kantor Pengajaran ketika itu, maka pada tahun 1904
Dewi Sartika berhasil mendirikan sebuah sekolah yang dinamainya “Sekolah Isteri”.

Sekolah tersebut hanya dua kelas sehingga tidak cukup untuk menampung semua
aktivitas sekolah. Maka untuk ruangan belajar, ia harus meminjam sebagian ruangan
Kepatihan Bandung.
Awalnya, muridnya hanya dua puluh orang. Murid-murid yang hanya wanita itu diajar
berhitung, membaca, menulis, menjahit, merenda, menyulam dan pelajaran agama.

Sekolah Istri tersebut terus mendapat perhatian positif dari masyarakat. Murid- murid
bertambah banyak, bahkan ruangan Kepatihan Bandung yang dipinjam sebelumnya
juga tidak cukup lagi menampung murid-murid.

Sekolah keutamaan Isteri Dewi Sartika

Untuk mengatasinya, Sekolah Isteri pun kemudian dipindahkan ke tempat yang lebih
luas. Seiring perjalanan waktu, enam tahun sejak didirikan, pada tahun 1910, nama
Sekolah Istri sedikit diperbarui menjadi Sekolah Keutamaan Isteri. Perubahan bukan
cuma pada nama saja, tapi mata pelajaran juga bertambah.

Ia berusaha keras mendidik anak-anak gadis agar kelak bisa menjadi ibu rumah tangga
yang baik, bisa berdiri sendiri, luwes, dan terampil. Maka untuk itu, pelajaran yang
berhubungan dengan pembinaan rumah tangga banyak diberikannya.
Untuk menutupi biaya operasional sekolah, ia membanting tulang mencari dana.
Semua jerih payahnya itu tidak dirasakannya jadi beban, tapi berganti menjadi
kepuasan batin karena telah berhasil mendidik kaumnya.

Salah satu yang menambah semangatnya adalah dorongan dari berbagai pihak
terutama dari Raden Kanduruan Agah Suriawinata, suaminya, yang telah banyak
membantunya mewujudkan perjuangannya, baik tenaga maupun pemikiran.

Pada tahun-tahun berikutnya di beberapa wilayah Pasundan bermunculan beberapa


Sakola Istri, terutama yang dikelola oleh perempuan-perempuan Sunda yang memiliki
cita-cita yang sama dengan Dewi Sartika.

Dalam biografi Dwwi Sartika diketahui bahwa pada tahun 1912 sudah berdiri sembilan
Sakola Istri di kota-kota kabupaten (setengah dari seluruh kota kabupaten se-
Pasundan). Memasuki usia ke-sepuluh, tahun 1914, nama sekolahnya diganti menjadi
Sakola Kautamaan Istri (Sekolah Keutamaan Perempuan).

Kota-kota kabupaten wilayah Pasundan yang belum memiliki Sakola Kautamaan Istri
tinggal tiga/empat, semangat ini menyeberang ke Bukittinggi, di mana Sakola
Kautamaan Istri didirikan oleh Encik Rama Saleh.

Seluruh wilayah Pasundan lengkap memiliki Sakola Kautamaan Istri di tiap kota
kabupatennya pada tahun 1920, ditambah beberapa yang berdiri di kota kewedanaan.
Bulan September 1929, Dewi Sartika mengadakan peringatan pendirian sekolahnya
yang telah berumur 25 tahun.

Penghargaan Dari Pemerintah Hindia Belanda


Sekolah ini kemudian berganti nama menjadi “Sakola Raden Déwi”. Atas jasanya dalam
bidang ini, Dewi Sartika dianugerahi bintang jasa oleh pemerintah Hindia-Belanda.

Dala
m biografi Dewi Sartika diketahui bahwa, Pada tahun 1906, Dewi Sartika menikah
dengan Raden Kanduruan Agah Suriawinata, seseorang yang memiliki visi dan cita-cita
yang sama, guru di Sekolah Karang Pamulang, yang pada waktu itu merupakan
Sekolah Latihan Guru.

Dewi Sartika Wafat

Dewi Sartika meninggal 11 September 1947 di Tasikmalaya, dan dimakamkan dengan


suatu upacara pemakaman sederhana di pemakaman Cigagadon-Desa Rahayu
Kecamatan Cineam. Tiga tahun kemudian dimakamkan kembali di kompleks
Pemakaman Bupati Bandung di Jalan Karang Anyar, Bandung.

Prestasi Dewi Sartika dalam memajukan pendidikan untuk kaum pribumi khususnya
untuk kaum perempuan membuat pemerintah Indonesia menganugerahkan Dewi
Sartika sebagai Pahlawan Nasional pada tahun 1966.
JANGAN TANYA APA YANG TELAH
DIBERIKAN NEGARA KEPADAMU, TAPI APA
YANG TELAH KAMU BERIKAN PADA
NEGARAMU.
Keteladanan Perjuangan Dewi Sartika

Kata bijak diatas sangat tepat menjadi panduan semua bangsa yang hendak
menobatkan seseorang sebagai penerima gelar kehormatan ‘pahlawan’ di negaranya.
Terlepas dari bentuk atau cara perjuangannya, seorang pahlawan pasti telah berbuat
sesuatu yang heroik untuk bangsanya sesuai kondisi zamannya. Demikian halnya
dengan Raden Dewi Sartika.

Jika pahlawan lain melakukan perjuangan untuk bangsanya melalui perang frontal
seperti angkat senjata, Dewi Sartika memilih perjuangan melalui pendidikan, yakni
dengan mendirikan sekolah. Berbagai tantangan, khususnya di bidang pendanaan
operasional sekolah yang didirikannya sering dihadapinya.

Namun berkat kegigihan dan ketulusan hatinya untuk membangun masyarakat


negerinya, sekolah yang didirikannya sebagai sarana pendidikan kaum wanita bisa
berdiri terus, bahkan menjadi panutan di daerah lainnya.
Biografi Fatmawati Soekarno – Sang
Penjahit Bendera Pusaka
Biografiku.com – Siapa yang tidak mengenal Fatmawati Soekarno, beliau merupakan
Ibu Negara Pertama dari Presiden Pertama Indonesia yaitu Presiden Soekarno.
Fatmawatu Soekarno juga dikenal sebagai penjahit bendera pusaka yang dikibarkan
pada saat proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.
Bagaimana Biodata serta Biografi dari Fatmawati Soekarno?

Biodata Fatmawati Soekarno

Nama : Fatmawati Soekarno


Nama Asli : Fatimah
Lahir : Bengkulu, 5 Februari 1923
Wafat : Kuala Lumpur, Malaysia, 14 Mei 1980
Agama : Islam
Orang Tua : Hasan Din (ayah), Siti Chadijah (ibu)
Suami : Ir. Soekarno
Anak : Megawati Soekarnoputri, Guntur Soekarnoputra, Rachmawati
Soekarnoputri, Sukmawati Soekarnoputri, Guruh Soekarnoputra

Profil dan Biografi Fatmawati Soekarno

Mengenai profil atau biografi Fatmawati Soekarno. Beliau lahir pada hari Senin, 5
Pebruari 1923 Pukul 12.00 Siang di Kota Bengkulu. Nama Aslinya adalah Fatimah. Ia
merupakan putri tunggal dari keluarga H. Hassan Din dan Siti Chadidjah.

Masa kecil Fatmawati penuh tantangan dan kesulitan, akibat sistem kolonialisme yang
dijalankan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Ayahandanya, Hassan Din semula adalah
pegawai perusahaan Belanda, Bersomij di Bengkulu.

Tetapi karena tidak mau meninggalkan kegiatannya sebagai anggota Muhammadiyah,


ia kemudian keluar dari perusahaan itu. Setelah itu, Hassan Din sering berganti usaha
dan berpindah ke sejumlah kota di kawasan Sumatera Bagian Selatan.
Keturunan Bangsawan

Tidak banyak diketahui orang bahwa sebenarnya Fatmawati merupakan keturunan dari
Kerajaan Indrapura Mukomuko. Sang ayah Hassan Din adalah keturunan ke-6 dari
Kerajaan Putri Bunga Melur. Putri Bunga Melur bila diartikan adalah putri yang cantik,
sederhana, bijaksana.

Tak heran bila Fatmawati mempunyai sifat bijaksana dan mengayomi. Jalinan cinta
antara Bung Karno dan Fatmawti pada awalnya membutuhkan perjuangan yang sangat
berat.

Masa Kecil

Fatmawati mengenyam pendidikan dasarnya di Hollandsch Inlandsche School (HIS)


atau setara SD. Fatmawati kemudian melanjutkan pendidikannya di sekolah yang
dikelola oleh organisasi katolik.

Sejak kecil Fatmawati menyukai kegiatan organisasi. Fatmawati bahkan aktif dalam
organisasi Naysatul Asyiyah, sebuah organisasi perempuan dibawah Muhammadiyah.

Bertemu Dengan Soekarno

Dalam Biografi Fatmawati Soekarno diketahui bahwa perkenalan Fatmawati dengan


Soekarno dimulai ketika Soekarno dipindahkan ke tempat perasingan di Bengkulu
setelah dari daerah Flores, NTT.

Di Bengkulu, Soekarno bekerja sebagai pengajar di sekolah Muhammadiyah tempat


dimana Fatmawati bersekolah. Fatmawati mengikuti les bahasa Inggris guna
melanjutkan pendidikannya di sekolah perguruan tinggi Rk Voolkshool. Kedekatan
Soekarno dan Fatmawati terjadi pada tahun 1938.

Kedekatan antara Soekarno dan Fatmawati ini membuat pertengkaran hebat antara
Inggit Ganarsih dan Soekarno. Akibatnya, Fatmawati memilih untuk pindah ke rumah
neneknya yang kini menjadi museum Fatmawati Soekarno di Bengkulu.
Fatmawati akhirnya dilamar seorang pemuda, namun sebelum itu ia meminta pendapat
Soekarno mengenai lamaran tersebut. Fatmawati bertemu Soekarno tepat di depan
rumah neneknya.

Dilamar oleh Soekarno

Ir Soekarno kemudian melamar Fatmawati untuk dijadikan istrinya. Lamaran Soekarno


diterima oleh Fatmawati dengan syarat berpisah dengan Inggit.

Demi memperoleh Fatmawati yang begitu dicintainya Bung Karno dengan perasaan
yang sangat berat terpaksa harus merelakan kepergian Bu Inggit, sosok wanita yang
begitu tegar dan tulusnya mendampingi Bung Karno dalam perjuangan mencapai
Indonesia Merdeka.

Pahit getir sebagai orang buangan (tahanan Belanda) sering dilalui Bung Karno
bersama Bu Inggit. Namun sejarah berkata lain. Perjalanan waktu berkehendak lain,
kehadiran Fatmawati diantara Bung Karno dan Bu Inggit telah merubah segalanya.

Menikah Dengan Soekarno

Pada tahun 1943 Bung


Karno menikahi Fatmawati,
dan oleh karena Fatmawati
masih berada di Bengkulu,
sementara Bung Karno sibuk
dengan kegiatannya di Jakarta sebagai pemimpin Pusat Tenaga Rakyat (Putera).

Pernikahan itu dilakukan dengan wakil salah seorang kerabat Bung Karno, Opseter
Sardjono. Pada 1 Juni 1943, Fatmawati dengan diantar orang tuanya berangkat ke
Jakarta, melalui jalan darat.

Sejak itu Fatmawati mendampingi Bung Karno dalam perjuangan mencapai


kemerdekaan Indonesia. Hari Jumat di bulan Ramadhan, pukul 05.00 pagi, fajar 17
Agustus 1945 para pemimpin bangsa dan para tokoh pemuda keluar dari rumah
Laksamana Maeda, dengan diliputi kebanggaan setelah merumuskan teks Proklamasi
hingga dinihari.

Mereka, telah sepakat untuk memproklamasikan kemerdekaan bangsa Indonesia hari


itu di rumah Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta, pada pukul 10.00 pagi.

Tepat pukul 10.00, dengan suara mantap dan jelas, Soekarno membacakan teks
proklamasi, pekik Merdeka pun berkumandang dimana-mana dan akhirnya mampu
mengabarkan Kemerdekaan Indonesia ke seluruh dunia.

Menjahit Bendera Pusaka Merah Putih

Kalau ada yang bertanya, apa peran perempuan menjelang detik-detik proklamasi
kemerdekaan? Tentu kita akan teringat dengan sosok Fatmawati, istri Bung Karno.

Dialah yang menjahit bendera Sang Saka Merah Putih. Setelah itu, ada seorang pemudi
Trimurti yang membawa nampan dan menyerahkan bendera pusaka kepada Latief
Hendraningrat dan Soehoed untuk dikibarkan.

Dan, semua hadirin mengumandangkan lagu Indonesia Raya di Jalan Pegangsaan


Timur 56 Jakarta. Pada hari itu, Ibu Fatmawati ikut dalam upacara tersebut dan
menjadi pelaku sejarah Kemerdekaan Indonesia.

Ibu Negara Republik Indonesia Pertama

Salah satu butir keputusan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dalam
sidangnya tanggal 19 Agustus 1945 adalah memilih Bung Karno dan Moh. Hatta
sebagai Presiden dan Wakil Presiden Pertama Republik Indonesia.

Setelah Ir Soekarno menjabat sebagai Presiden Pertama Republik Indonesia maka


secara otomatis Fatmawati yang selalu mendampingi Soekarno kemudian dikenal
sebagai Ibu Negara Republik Indonesia yang pertama.

Pada tanggal 4 Januari 1946 pusat pemerintahan Indonesia dipindahkan ke Yogyakarta


karena keadaan Jakarta dirasakan makin tidak aman, menyusul hadirnya tentara NICA
yang membonceng kedatangan tentara sekutu.
Ibu Fatmawai dan Bung Karno tidak pernah merayakan ulang tahun perkawinan,
Jangankan kawin perak atau kawin emas, ulang tahun pernikahan ke-1, ke-2 atau ke-3
saja tidak pernah. Sebabnya tak lain karena keduanya tidak pernah ingat kapan
menikah.

Ini bisa dimaklumi karena saat berlangsungnya pernikahan, zaman sedang dibalut
perang. Saat itu Perang Dunia II sedang berkecamuk dan Jepang baru datang untuk
menjajah Indonesia.

…Kami tidak pernah merayakan pernikahan perak atau pernikahan emas.


Sebab kami anggap itu soal remeh, sedangkan kami selalu dihadapkan pada
persoalan-persoalan besar yang hebat dan dahsyat. – Fatmawati Soekarno.

Kehidupan pernikahan Bung Karno dan Fatmawati memang penuh dengan gejolak
perjuangan. Dua tahun setelah keduanya menikah, Indonesia mencapai kemerdekaan.

Tetapi ini belum selesai, justru saat itu perjuangan fisik mencapai puncaknya. Bung
Karno pastinya terlibat dalam setiap momen-momen penting perjuangan bangsa.

Anak Fatmawati dan Soekarno

Pasangan ini melahirkan putra pertamanya yaitu Guntur Soekarnoputra. Guntur lahir
pada saat Bung Karno sudah berusia 42 tahun. Berikutnya lahir Megawati, Rachmawati,
Sukmawati, dan Guruh.

Putra-putri Bung Karno dikenal memiliki bakat kesenian tinggi. Hal itu tak aneh
mengingat Bung Karno adalah sosok pengagum karya seni, sementara Ibu Fatmawati
sangat pandai menari.
Di kota gudeg itu, Ibu
Fatmawati mendapatkan
banyak simpati, karena
sikapnya yang ramah dan
mudah bergaul dengan
berbagai lapisan
masyarakat.

BACA JUGA : Biografi


Nadiem Makarim,
Kisah Inspiratif Pendiri Gojek Menjadi Menteri

Sebagai seorang Ibu Negara, Ibu Fatmawati kerap mendampingi Bung Karno dalam
kunjungan ke berbagai wilayah Republik Indonesia untuk membangkitkan semangat
perlawanan rakyat terhadap Belanda dan mengikuti kunjungan Presiden Soekarno ke
berbagai Negara sahabat.

Fatmawati Soekarno Wafat

Peran serta wanita dalam pembangunan telah ditunjukkan Ibu Fatmawati, beliau sering
melakukan kegiatan social, seperti aktif melakukan pemberantasan buta huruf,
mendorong kegiatan kaum perempuan, baik dalam pendidikan maupun ekonomi.

Pada tahun 14 Mei 1980 ia meninggal dunia karena serangan jantung ketika dalam
perjalanan pulang umroh dari Mekah yang lalu dimakamkan di Karet Bivak, Jakarta.
Kata-kata terakhir beliau sebelum meninggal waktu itu :

….DATANG KE MEKAH SUDAH MENJADI


PENDAMAN CITA-CITAKU. SABAN HARI
AKU MELAKUKAN ZIKIR DAN
MENGUCAPKAN SYAHADAT SERTA
MEMOHON SUPAYA DIBERI KEKUATAN
MENDEKAT KEPADA ALLAH. JUGA
MEMOHON SUPAYA DIBERI OLEH TUHAN,
KEBERANIAN DAN MELANJUTKAN
PERJUANGAN FI SABILILLAH. AKU
BERDO’A UNTUK CITA-CITA SEPERTI
SEMULA YAITU CITA-CITA INDONESIA
MERDEKA. JANGAN SAMPAI TERBANG
INDONESIA MERDEKA.
Rumah Sakit Fatmawati pada mulanya bernama Rumah Sakit Ibu Soekarno, terletak di
Kelurahan Cilandak Barat, Kecamatan Cilandak, Wilayah Jakarta Selatan.

Didirikan pada tahun 1954 oleh Ibu Fatmawati Soekarno. Semula direncanakan untuk
dijadikan sebuah Sanatorium Penyakit Paru-paru bagi anak-anak.

Pada tanggal 15 April 1961 penyelenggaraan dan pembiayaan rumah sakit diserahkan
kepada Departemen Kesehatan sehingga tanggal tersebut ditetapkan sebagai hari jadi
RS Fatmawati.

Dalam perjalanan RS Fatmawati, tahun 1984 ditetapkan sebagai Pusat Rujukan Jakarta
Selatan dan tahun 1994 ditetapkan sebagai RSU Kelas B Pendidikan.

Di Kota Bengkulu, sebagai kota kelahiran Ibu Fatmawati, Pemerintah Daerah beserta
seluruh elemen memberikan apresiasi terhadap Ibu Fatmawati.

Sebagai bentuk penghargaan dan sekaligus untuk mengenang Ibu Fatmawati, maka
pada tanggal 14 Nopember 2001, Bandar Udara Padang Kemiling diubah menjadi
Bandar Udara Fatmawati.
Perubahan nama Bandar udara ini diresmikan oleh Presiden Republik
Indonesia Megawati Soekarnoputri. Perjuangan Ibu Fatmawati selama masa sebelum
kemerdekaan dan sesudah kemerdekaan diakui oleh Pemerintah Pusat.

Gelar Pahlawan Nasional

Hal ini melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 118/TK/2000 tanggal 4
Nopember 2000 oleh Presiden Abdurrahman Wahid, maka Pemerintah Republik
Indonesia memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Ibu Fatmawati.
Biografi W.R. Soepratman, Kisah Pahlawan
Pencipta Lagu Indonesia Raya
Biografiku.com – Biografi W.R. Soepratman. Pahlawan Nasional ini dikenal oleh rakyat
Indonesia sebagai orang yang menciptakan lagu kebangsaan Republik Indonesia. Selain
sebagai seorang komponis, WR Supratman juga merupakan seorang wartawan dan ikut
terlibat dalam sumpah pemuda tahun 1928. Berikut profil dan biografi W.R Supratman.

Profil dan Biografi W.R Supratman

W.R. Supratman lahir dengan nama lengkap Wage Rudolf Supratman pada tanggal 9
Maret 1903 di Jatinegara, Jakarta. Ayahnya bernama Djoemeno Senen
Sastrosoehardjo, sersan di Batalyon VIII, KNIL Belanda. Ibunya bernama Siti Senen.
Saudara Soepratman berjumlah enam, laki satu, lainnya perempuan. Salah satunya
bernama Roekijem.

Riwayat Pendidikan W.R Supratman


Pada tahun 1914, WR Supratman ikut Roekijem ke Makassar. Di sana ia disekolahkan
dan dibiayai oleh suami Roekijem yang berkebangsaan Belanda bernama Willem van
Eldik.

WR Supratman lalu belajar bahasa Belanda di sekolah malam selama 3 tahun,


kemudian melanjutkannya ke Normaalschool di Makassar sampai selesai. Ketika
berumur 20 tahun, lalu dijadikan guru di Sekolah Angka 2.

Dua tahun selanjutnya ia mendapat ijazah Klein Ambtenaar. Beberapa waktu lamanya
ia bekerja pada sebuah perusahaan dagang. Dari Makassar, ia pindah ke Bandung dan
bekerja sebagai wartawan surat kabar Sin Po.

Pekerjaan itu tetap dilakukannya sewaktu sudah tinggal di Jakarta. Dalam pada itu ia
mulai tertarik kepada pergerakan nasional dan banyak bergaul dengan tokoh-tokoh
pergerakan.

Rasa tidak senang terhadap penjajahan Belanda mulai tumbuh dan akhirnya
dituangkan dalam buku Perawan Desa. Buku itu disita dan dilarang beredar oleh
pemerintah Belanda.

Supratman dipindahkan ke kota Singkang. Di situ tidak lama lalu minta berhenti dan
pulang ke Makassar lagi. Roekijem, sendiri sangat gemar akan sandiwara dan musik.
Banyak karangannya yang dipertunjukkan di mes militer.

Selain itu Roekijem juga senang bermain biola, kegemarannya ini yang membuat
Soepratman juga senang main musik dan membaca-baca buku musik

Sejarah Lagu Indonesia Raya

WR Soepratman tidak beristri serta tidak mempunyai anak angkat. Sewaktu tinggal di
Makassar, Soepratman memperoleh pelajaran musik dari kakak iparnya yaitu Willem
van Eldik, sehingga pandai bermain biola dan kemudian bisa menggubah lagu.

Ketika tinggal di Jakarta, pada suatu kali ia membaca sebuah karangan dalam majalah
Timbul. Penulis karangan itu menantang ahli-ahli musik Indonesia untuk menciptakan
lagu kebangsaan. Soepratman tertantang, lalu mulai menggubah lagu. Pada tahun
1924 lahirlah lagu Indonesia Raya.

Pada bulan Oktober 1928 di Jakarta dilangsungkan Kongres Pemuda II. Kongres itu
melahirkan Sumpah Pemuda. Pada malam penutupan kongres, tanggal 28 Oktober
1928, Supratman memperdengarkan lagu ciptaannya secara instrumental di depan
peserta umum (secara intrumental dengan biola atas saran Soegondo berkaitan dengan
kodisi dan situasi pada waktu itu, lihat Sugondo Djojopuspito).

Pada saat itulah untuk pertama kalinya lagu Indonesia Raya dikumandangkan di depan
umum. Semua yang hadir terpukau mendengarnya. Dengan cepat lagu itu terkenal di
kalangan pergerakan nasional.

Apabila partai-partai politik mengadakan kongres, maka lagu Indonesia Raya selalu
dinyanyikan. Lagu itu merupakan perwujudan rasa persatuan dan kehendak untuk
merdeka.

Ketika lagu Indonesia Raya dikumandangkan pada hari Sumpah Pemuda tanggal 28
Oktober 1928 di Batavia, lagu ciptaan WR Supratman tersebut kemudian ditetapkan
sebagai lagu kebangaaan Indonesia.

Sejak saat itu, Polisi Rahasia Belanda selalu memata-matai gerak-gerik dan kehidupan
WR Supratman. Ini membuat kehidupannya tidak lagi tenteram.
Pada tahun 1930, saat WR Supratman pergi ke Bandung melihat sidang ketua PNI Ir.
Soekarno dengan kawan-kawannya. Ketika bertemu Ir. Soekarno melihat WR
Supratman, Soekarno berkata melihatnya dan spontan mengucapkan kata-kata:

“…Daar hebt je de komponis van Indonesia Raya? Strijdt voort voor Onse Vrijheid Meneer
Soepratman. Merdeka!” (Bukankah Anda pencipta lagu Indonesia Raya? Berjuang teruslah demi
kemerdekaan kita Tuan Soepratman)

WR Supratman menggantungkan hidupnya dari mencari berita untuk harian Sin Po. Di
Jakarta, WR Supratman dikenal dengan sebutan Bapak Lagu Indonesia Raya.

Indonesia Raya Menjadi Lagu Kebangsaan Indonesia

Sesudah Indonesia merdeka, lagu Indonesia Raya dijadikan lagu kebangsaan, lambang
persatuan bangsa. Tetapi, pencipta lagu itu, Wage Rudolf Supratman, tidak sempat
menikmati hidup dalam suasana kemerdekaan.

Jatuh Sakit dan Wafat

Akibat menciptakan lagu Indonesia Raya, ia selalu diburu oleh polisi Hindia Belanda,
sampai jatuh sakit di Surabaya. Karena lagu ciptaannya yang terakhir “Matahari Terbit”
pada awal Agustus 1938, ia ditangkap oleh Belanda.

Ini terjadi ketika menyiarkan lagu tersebut bersama pandu-pandu di NIROM jalan
Embong Malang, Surabaya. Ia selanjutnya ditahan di penjara Kalisosok, Surabaya.
Dari penjara, WR Supratman yang mulai sakit-sakitan tinggal di rumah kakaknya,
Roekijem Soepratijah van Eldik.

…Mas, nasibku sudah begini. Inilah yang disukai Pemerintah Belanda. Biarlah saya meninggal,
saya ikhlas. Saya toh sudah beramal, berjuang dengan caraku, dengan biolaku. Saya yakin
Indonesia pasti Merdeka! – W.R. Supratman

Wage Rudolf Soepratman atau W.R. Supratman meninggal pada tanggal 17 Agustus
1938 di rumah kakaknya di jalan Jalan Mangga, Tambaksari, Surabaya.

W.R. Soepratman meninggal dunia, tanpa meninggalkan apa-apa, tanpa istri dan anak,
juga tanpa meninggalkan harta. Ia hanya meninggalkan secarik kertas not-not musik,
lagu ciptaannya yang terakhir kepada bangsanya sebagai bentuk perjuangan WR
Supratman.
Dalam buku biografi WR Supratman yang berjudul Meluruskan Sejarah dan Riwayat
hidup Wage Rudolf Soepratman: Pencipta lagu kebangsaan Republik Indonesia
“Indonesia Raya” dan pahlawan nasional yang ditulis oleh Anthony C. Huutabarat
dikatakan bahwa Jasad WR Supratman dimandikan dan disucikan secara agama Islam
oleh keluarganya.

WR Supratman kemudian dimakamkan di tempat peristirahatannya yang terakhir di


Kuburan Umum Kapas, Jalan Kenjeran, Surabaya.

Hari Musik Nasional

Hari kelahiran WR Supratman, 9 Maret, oleh Megawati saat menjadi presiden RI,
diresmikan sebagai Hari Musik Nasional. Namun tanggal kelahiran ini sebenarnya masih
diperdebatkan.

Hal ini karena ada pendapat yang menyatakan WR Supratman dilahirkan pada tanggal
19 Maret 1903 di Dukuh Trembelang, Desa Somongari, Kecamatan Kaligesing,
Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Pendapat ini didukung keluarga Supratman dan
dikuatkan keputusan Pengadilan Negeri Purworejo pada 29 Maret 2007.
17 AGUSTUS - Serial
Pahlawan Nasional: I Gusti
Ketut Jelantik
Melia Istighfaroh
Jumat, 9 Agustus 2019 11:44 WIB

 Home
\

 Wiki

Kolase foto (pahlawancenter.com)

I Gusti Ketut Jelantik, (1800 - 1849)


I Gusti Ketut Jelantik adalah tokoh perjuangan kemerdekaan
yang berasal dari Bali. Atas jasa-jasanya, I Gusti Ketut
Jelantik diberi gelar pahlawan nasional pada tahun 1993.

TRIBUNNEWSWIKI.COM - I Gusti Ketut Jelantik adalah seorang


tokoh bali yang berjuang pada masa pemerintahan Hindia
Belanda.
I Gusti Ketut Jelantik memiliki keberanian dalam menentang
penindasan yang dilakukan pemerintahan Belanda.
Dalam permulaan pertentangannya dengan Belanda, I Gusti
Ketut Jelantik membuat sikap dan tindakan dengan menolak
tuntutan Belanda untuk mengganti kerugian atas kapal-kapal
yang dirampas.
I Gusti Ketut Jelantik juga disuruh untuk mengakui kedaulatan
Belanda di Hindia Belanda.
Disinilah kemudian menyulut kemarahan I Gusti Ketut Jelantik
yang dikobarkan dalam perang.
Perang yang terkenal di deerah Bali adalah Perang Jagaraga
yang salah satu tokohnya adalah I Gusti Ketut Jelantik.
Berkat jasa dan perjuangannya, Pemerintah Republik Indonesia
menganugerahi gelar Pahlawan Nasional berdasarkan SK
Presiden RI No. 077/TK/Tahun 1993 tanggal 19 Agustus 1993. [1]
Lukisan I Gusti Ketut Jelantik. Kolase foto
(https://bulelengkab.go.id)
 Kehidupan Pribadi

Sejak masa muda I Gusti Ketut Jelantik sering berkunjung di desa


Kalibukbuk yang pernah berdiri sebuah kerajaan kecil dengan
hasil pertanian yang melimpah dan perahu yang ramai.
I Gusti Ketut Jelantik mempunyai istri bernama I Gusti Ayu Made
Geria dan seorang putrinya bernama I Gusti Ayu Jelantik.
Di desa Kalibukbuk, I Gusti Ketut Jelantik bertani dengan
keluarganya.
Ia mendapatkan modal untuk membeli tanah tegal dan mulai
menanam tembakau, jagung, umbi-umbian, dan pohon kelapa.
Karena produktivitas pertaniannya tinggi, I Gusti Ketut Jelantik
membangun tempat pemujaan yang berkembang menjadi pura
yang terkenal dengan nama Pura Bukit Sari.
I Gusti Ketut Jelantik bersama dengan para bawahannya turut
serta mengangkut padi dan hasil pertanian dengan menggunakan
kuda.
Anak dari I Gusti Ketut Jelantik yaitu I Gusti Ayu Jelantik
mempunyai perwatakan seperti anak laki-laki.
Pada suatu waktu, I Gusti Ketut Jelantik pernah didatangi oleh
seseorang yang tergopoh-gopoh memberitahukan kabar bahwa
karena ada musibah yang menimpa kakaknya I Gusti Nyoman
Raka.
Karena mendengar kabar tersebut, I Gusti Ketut Jelantik
kemudian bergegas menemui adiknya yang bersimbah darah.
Disinilah kakaknya kemudian menghembuskan napas
terakhirnya.
Karena kejadian ini, I Gusti Ketut Jelantik diangkat sebagai
penguasa lokal sejak 1898.
I Gusti Ketut Jelantik bekerja di bawah asisten residen
pemerintahan Hindia Belanda. [2]
 Masa Perjuangan: Pertempuran Jagaraga

Saat Hindia Belanda diterapkan sistem Culturstelseel,


masyarakat Bali mendapatkan berbagai bentuk penindasan.
Berkat berbagai peristiwa yang dialami rakyatnya, I Gusti Ketut
Jelantik terpanggil untuk melakukan perlawanan.
Pada suatu waktu, terjadi perundingan antara Belanda yang
dipimpin oleh JPT Mayor Komisaris Pemerintah Belanda dengan
Raja Buleleng I Gusti Ngurah Made Karangasem dan I Gusti
Ketut Jelantik sebagai Patih Agung.
I Gusti Ketut Jelantik marah karena peraturan dan perundingan
yang dibuat merugikan daerah dan rakyatnya karena ia
diharuskan mengakui kedaulatan Belanda atas daerahnya
I Gusti Ketut Jelantik marah, sambil memukul dada dengan
kepalan tangan mengatakan:
“Tidak bisa menguasai negeri orang lain hanya dengan sehelai
kertas saja tetapi harus diselesaikan diatas ujung keris. Selama
saya masih hidup Kerajaan ini tidak akan pernah mengakui
kedaulatan Belanda".
Pada peristiwa lain, pada 12 Mei 1845, Belanda mencari cara
alternatif dengan perantaran Raja Klungkung untuk
menyelesaikan masalah perampasan perahu dagang yang
terdampar di Pantai Sangit.
Dalam pertemuan tersebut Belanda menuntut agar daerah
Buleleng menghapuskan hak “ Tawan Karang “, yaitu hak dari
Raja Bali untuk merampas perahu yang terdampar di pantai
Wilayah Kerajaannya ).
Daerah Buleleng juga diharukan mengakui kedaulatan Belanda.
Dalam ,momentum tersebut, I Gusti Ketut Jelantik memberikan
reaksi yang keras, sambil menghunus keris lalu menusuk kertas
perjanjian dan mencerca orang Belanda:
”Hai kau si mata putih (utusan Belanda) yang biadab, sampaikan
pesanku kepada pimpinanmu di Betawi agar segera menyerang
Den Bukit (daerah Bali Utara)".
Pada tanggal 27 Juni 1846, serdadu Belanda mengadakan
perlawanan terhadap pasukan Bali dan bertempur hingga
jatuhnya Buleleng ke tangan Belanda pada tanggal 29 1846.
Raja Buleleng dan I Gusti Ketut Jelantik mundur ke Desa
Jagaraga untuk menyusun kekuatan.
Disinilah Perang Jagaraga dimulai.
Dalam mempertahankan Desa Jagaraga, I Gusti Ketut
Jelantik aktif memperkuat pasukannya, dan mendapat dukungan
dari kerajaan lainnya seperti Karang Asem, Klungkung, Badung
dan Mengwi.
I Gusti Ketut Jelantik adalah seseorang yang ahli dalam strategi
perang.
Kemahirannya membangun benteng Jagaraga membuat ia diberi
gelar “Supit Urang”.
Tidak hanya itu, ia juga disegani oleh raja-raja di Bali karena
keberanian dan tekadnya menentang penjajah Belanda.
Pada tanggal 6 hingga 8 Juni 1848, pihak Belanda mengirim
ekspedisi yang kedua dengan mendaratkan pasukannya di
Sangsit.
Perlawanan dari pasukan Bali dipimpin oleh I Gusti Ketut Jelantik.
Di pertempuran ini, I Gusti Ketut Jelantik memberi komando dari
Benteng Jagaraga.
Benteng Jagaraga sendiri adalah benteng paling kuat dari empat
benteng lainnya.
Sementara pasukan Belanda dipimpin oleh Jenderal Van der
Wijck.
Namun dalam aksinya, pasukan darat Belanda tidak berhasil
mendesak pasukan Bali.
Mereka (serdadu Belanda) kemudian memerintahkan
pasukannya mundur ke panati.
Di pihak pasukan Bali hanya satu benteng saja yang jatuh ke
tangan Belanda yaitu benteng disebelah timur Sansit dekat
Bungkulan.
Ketidakmampuan serdadu Belanda mendesak Benteng Jagaraga
ini menambah kepercayaan raja-raja Bali akan kekuatan dan
kepemimpinanI Gusti Ketut Jelantik.
Keberhasilan kelompok-kelompok kelaskaran pimpinan I Gusti
Ketut Jelantik, mengagetkan serdadu Belanda hingga
menggegerkan Parlemen Belanda.
Kemenangan laskar Buleleng pimpinan I Gusti Ketut Jelantik,
menyebabkan pihak Belanda mengirimkan expedisinya pada
tanggal 31 Maret 1849 di bawah pimpinan Jenderal Michiels.
Serdadu-serdadu Belanda kemudian melakukan tembakan-
tembakan meriam dari atas kapal, mereka bergerak menuju
Singaraja pada tanggal 2 April 1849.
Raja Karangasem dan Raja Buleleng mengirim utusannya untuk
menyerahkan surat kepada pimpinan militer di kapal, namun
gagal.
Kemudian pada tanggal 7 April 1849 Raja Buleleng I Gusti
Ngurah Made Karangasem dan Patih I Gusti Ketut
Jelantik bersama 10-12 ribu orang prajurit berhadapan dengan
tentara Belanda yang dipimpin oleh Jenderal Michiels.
Disini pihak Belanda tetap kukuh pendiriannya untuk menuntut
agar Raja Buleleng mengakui kekuasaan pemerintah Hindia
Belanda dan membongkar semua benteng yang ada di Jagaraga.
Tuntutan Belanda tidak dilaksanakan oleh I Gusti Ketut Jelantik,
maka terjadilah perang
Pada perang kali ini, benteng Jagaraga jatuh ketangan Belanda
pada tanggal 16 April 1849.
Sementara pasukan Bali terdesak mundur sampai ke
pegunungan Batur Kintamani, selanjutnya terus ke Karangasem
untuk mencari bantuan.
Kemudian saat di Karangasem pasukan rakyat Bali diserang oleh
pasukan Belanda yang didatangkan dari Lombok.
Pasukan Belanda terus menyerang sampai kepegunungan Bale
Punduk.
Disinilah kemudian I Gusti Ketut Jelantik gugur dalam
perjuangannya. [3]
 Penghargaan

I Gusti Ketut Jelantik wafat dalam peperangan di Jagaraga pada


16 April 1849.
Serangan serdadu Belanda ke pasukan Bali membuat I Gusti
Ketut Jelantik terdesak dan mundur sampai ke pegunungan Batur
Kintamani, selanjutnya terus ke Karangasem untuk mencari
bantuan.
Pada perang ini, benteng Jagaraga pada akhirnya jatuh ke
tangan Belanda pada tanggal 16 April 1849.
Serangan pasukan Belanda bertubi-tubi sampai ke pegunungan
Batur Kintamani, selanjutnya terus ke Karangasem untuk mencari
bantuan.
Saat terdesak, Pasukan Belanda terus menyerang sampai
kepegunungan Bale Punduk.
Disinilah kemudian I Gusti Ketut Jelantik gugur dalam
perjuangannya.
Berkat jasa dan perjuangannya, Pemerintah Republik Indonesia
menganugerahi gelar Pahlawan Nasional berdasarkan SK
Presiden RI No. 077/TK/Tahun 1993 tanggal 19 Agustus 1993. [4]

Anda mungkin juga menyukai