Empat Ancaman Demokrasi
Empat Ancaman Demokrasi
Menjelang pelantikan kedua Presiden Joko Widodo (Jokowi), saya teringat kunjungan
Menjelang pelantikan kedua Presiden Joko Widodo (Jokowi), saya teringat kunjungan
Selaku mahasiswa program PhD Ilmu Politik, saya memilih integrasi nasional di negara-
Saya tertarik mengetahui sejauh mana keterikatan orang pada suku bangsa dan agama
Dimentori Clifford Geertz, saya menelusuri topik secara antropologis. Saya tinggal di satu
tempat dan berusaha mengikuti kegiatan masyarakat terkait politik. Tempat yang saya
pilih adalah Kabupaten Simalungun dan ibu kotanya, Pematang Siantar, Sumatera Utara.
Indonesia dari segi agama, suku bangsa dan kelas sosial. Kegiatan politik yang saya
pelajari adalah aktivitas partai politik yang terwakili di DPRD kabupaten dan kota.
Saya merasa beruntung memperoleh snapshot, potret seketika yang cermat dan andal
setelah pengamatan dua tahun di lapangan. Potret itu memungkinkan saya menilai sejauh
mana sistem kepartaian saat itu bisa berperan positif dalam suatu negara demokratis.
Saya simpulkan, ada empat ancaman besar kepada keberhasilan demokrasi di Indonesia:
Masyumi dan Nahdlatul Ulama adalah dua partai besar—hampir 40 persen dari seluruh
berkuasa, lembaga dan prosedur demokratis kemungkinan besar harus tunduk pada suatu
lembaga syariah yang pasti dikuasai para ulama, kira-kira seperti berlaku kini di Iran.
Leninisme. Contohnya adalah Uni Soviet dan China, apalagi dari segi pandang masyarakat
Sumatera Utara. Pada 1955, dengan 16 persen suara nasional, Partai Komunis Indonesia
(PKI) berhasil menjadi satu dari empat partai besar. Setelah itu PKI berkembang terus.
tanah ilegal. Dua kelompok itu memang merasa dieksploitasi administrasi perkebunan
Perihal separatisme, pada 1962-1964 keamanan masyarakat Simalungun dan Siantar baru
pulih setelah pemberontakan PRRI yang dicap gerakan separatis oleh pemerintah
Ancaman separatisme paling terasa mengenai Aceh, yang beberapa tahun sebelumnya
diberi status daerah istimewa oleh Presiden Soekarno. Namun, banyak pengamat
meragukan, apakah hati rakyat Aceh sudah kembali kepada Ibu Pertiwi. Saya sendiri
benar-benar percaya bahwa bangsa Indonesia, seperti bangsa merdeka lain di dunia, bisa
sebelumnya adalah korupsi. Seharusnya saya sadari dari awal, korupsi lama-kelamaan
begini ceritanya. Pada 1964 wali kota baru dipilih DPRD kota. Saya gembira sebab bisa
menguji kesimpulan awal saya perihal pengaruh loyalitas politisi kota pada suku bangsa,
Dari empat ancaman demokrasi yang saya temukan waktu itu, yang paling tak
terpikirkan sebelumnya adalah korupsi.
Malah, saya sempat meramal calon mana yang akan lolos. Ternyata saya salah. Calon yang
menang justru kuda hitam yang tak banyak dibicarakan. Beberapa orang baru mengaku
menerima uang ketika saya tanya di rumah masing-masing. Pengakuan itu tak dengan
Pada 2019, sejauh mana empat masalah itu masih mengancam mutu serta awetnya
demokrasi di Indonesia? Ternyata belum ada yang seluruhnya hilang atau sudah teratasi.
sudah tercabut oleh kebijakan Soeharto dan kegiatan politik tokoh seperti Nurcholish
ternyata kini radikalisme hidup kembali, terbukti terutama pada kampanye 2016-2017
Kebijakan apa yang perlu diambil pemerintahan Jokowi ke depan mengatasi ancaman
ini? Anjuran saya, pembantu presiden harap baca dua artikel jurnal yang berbobot.
Di jurnal sosial dan budaya Belanda, Bijdragen tot de Taal, Land, en Volkenkunde (2018),
Marcus Mietzner, Burhanuddin Muhtadi, dan Rizka Halida mengungkapkan, betapa para
Di Pacific Affairs (Juni 2018), Mietzner mengkritik tajam serentetan kebijakan Jokowi
sejak 2016. ”Pemerintahan Jokowi memilih strategi kriminalisasi terhadap kaum populis
patronase yang kurang jelas arahnya. Akibatnya, usaha pemerintah melindungi status
quo demokratis dari serangan populis berbalik dan mengancam demokrasi sendiri.”
boleh bersyukur bahwa partai itu tak ada lagi. Tujuan utamanya memang menggantikan
Selain itu, kemungkinan besar Indonesia pecah andai dulu PKI menang. Di beberapa
daerah ikatan agama masih sangat kental. Pada waktu yang sama kita harus menyesali
pelanggaran kejam atas hak sipil/politik anggota PKI dan simpatisannya yang berlaku
khawatir PKI bangkit kembali rata-rata di bawah 15 persen. Alangkah baik jika Presiden
Jokowi berupaya sekali lagi mencabut Keppres Soeharto Nomor 28/1975 tentang
Seandainya tensi ini reda kelak, saya bayangkan akibat samping positif. Parpol di DPR
sekarang cenderung mewakili kepentingan elite belaka. Salah satu alasannya: kegelisahan
pada tuduhan prokomunis jika politisi betul-betul mewakili kelompok bawah. Mereka
Parpol di DPR sekarang cenderung mewakili kepentingan elite belaka. Salah satu
alasannya: kegelisahan pada tuduhan prokomunis jika politisi betul-betul mewakili
kelompok bawah.
rakyat maupun politisi di kabupaten dan kota umumnya mendukung pola baru.
Melalui pilkada dan pemilu, rakyat bisa meminta pertanggungjawaban pemerintah lokal
dan DPRD, sementara bupati dan wali kota diberi dana dan kewenangan fiskal jauh lebih
besar dari Orde Baru. Habibie juga membebaskan Timor Leste, yang sebenarnya bukan
masalah separatisme, sebab daerah itu bukan bagian NKRI yang diproklamasikan
Soekarno-Hatta.
Lebih penting, pelepasan Timor Leste berarti setiap presiden setelah Habibie akan
terhindar keluhan dunia tentang perilaku tentara dan milisi Indonesia pada
1999. Tuntutan Gerakan Aceh Merdeka, yang benar-benar separatis, selesai tuntas oleh
yang belum terselesaikan. Presiden Jokowi dari awal kampanye pertamanya menjanjikan
Laporan terakhir IPAC (Institute for Policy Analysis of Conflict), yang dikepalai Sidney
dengan sendirinya akan menyelesaikan keluhan politik; bahwa pelanggaran hak asasi lama
mudah diselesaikan; dan bahwa pilkada curang tak perlu ditangani.” Lalu, ada beberapa
rekomendasi konkret berharga, misalnya perlunya konsensus baru dan kerja sama antara
Akhirulkalam, korupsi termasuk ancaman lama, seperti saya utarakan. Lagi pula,
kabupaten dan kota. Di pemerintahan lokal kita temukan semacam badai sempurna,
tempat sumber daya berlimpah dan kendala berkurang. Tak sulit meramalkan, banyak
Di pemerintahan lokal kita temukan semacam badai sempurna, tempat sumber daya
berlimpah dan kendala berkurang. Tak sulit meramalkan, banyak pejabat akan
terjeblok dalam lahan becek korupsi.
Kerumitan masalah ini membuat saya berhati-hati tentang saran saya kepada pemain
masa kini. Namun, ada dua hal penting. Pertama, pejuang antikorupsi yang paling
berhasil selama ini adalah KPK. KPK diciptakan pada masa pemerintahan Megawati dan
dilindungi SBY. Dalam lautan luas korupsi di Indonesia, ia memang tak bisa berbuat
banyak. Namun, ia membuktikan bagaimana cita-cita luhur bisa diterapkan dalam
KPK berhasil menakut-nakuti anggota DPR yang ingin memasungnya. Ternyata pula,
Jokowi tunduk pada kemauan itu ketika pemerintah bersama DPR menyetujui revisi UU-
nya. Keputusan itu ditampik pendukung good governance dengan kritik, protes, dan
demonstrasi. Keluh Indonesia Corruption Watch: ”Hal yang pasti, keseluruhan poin UU
itu akan melemahkan KPK dan jadi titik mundur pemberantasan korupsi.” Revisi UU KPK
baru saja usai. Kesimpulan sementara saya, kekuatan antikorupsi perlu cari strategi baru
tanpa mengharapkan peran KPK ke depan atau bantuan berarti pemerintahan Jokowi.
Cara lain menangani korupsi diusulkan Burhanuddin Muhtadi dalam buku barunya yang
berimbang dengan daftar calon terbuka ke perwakilan berimbang dengan daftar calon
tertutup.
Kesimpulan sementara saya, kekuatan antikorupsi perlu cari strategi baru tanpa
mengharapkan peran KPK ke depan atau bantuan berarti pemerintahan Jokowi.
Dampak sistem distrik tempat hanya satu anggota dewan dipilih per distrik juga dinilai
positif. Namun, ”tanpa pelaksanaan hukum, strategi pembelian suara akan meluas tak
terkontrol.” Lagi pula, ”mengingat betapa umum keinginan pemilih menjual suaranya,
pendidikan sistematis diperlukan agar mereka jadi kurang toleran atas praktik itu.”
Buku ini diterbitkan dalam bentuk akses terbuka; siapa pun boleh
analisisnya. Semakin luas dipelajari, semakin jauh studi ini akan memengaruhi
pemberantasan korupsi, khususnya di kabupaten dan kota: tingkat yang saya yakini paling
Artikel yang berjudul Empat Tantangan Demokrasi yang ditulis oleh R William Liddle membahas
tentang jenis ancaman demokrasi yang dihadapi Indonesia dari tahun 1962 hingga saat ini yaitu
radikalisme, komunisme, separatisme, dan korupsi. Saya setuju dengan pendapat beliau bahwa
keempat hal itulah yang selama ini mengusik demokrasi di Indonesia. Banyaknya ragam budaya
membuat berbagai faktor tadi mudah berkembang di Indonesia. Radikalisme yang akhir-akhir ini
mulai bangkit menimbulkan banyak sekali pertengkaran dan perpecahan, bahkan dalam satu
keluarga sekalipun. Pesta demokrasi ternyata tidak semeriah yang saya bayangkan, setelah
mengalaminya untuk pertama kalinya. Terlalu banyak hoax, cacian, dan makian yang dihidangkan.
Komunisme yang telah dibantai sejak 53 tahun lalu nampaknya sudah bukan merupakan hal yang
terlalu berpengaruh. Usaha separatisme telah diselesaikan dengan baik pada masa pemerintahan B.J.
Habibie dan wakil presiden Jusuf Kalla saat masa pemerintahan SBY. Korupsi yang sudah
mendarah daging di Indonesia rupanya masih sulit untuk dibereskan. Lembaga independennya pun
berusaha dilemahkan dengan membuat revisi UU. Jujur saja hal semacam ini memuakkan. Saya
yang menginginkan Indonesia segera bangkit dan maju menyusul negara lainnya malah terjebak
dalam kubangan pemerintahannya.