Anda di halaman 1dari 10

Empat Ancaman Demokrasi

Menjelang pelantikan kedua Presiden Joko Widodo (Jokowi), saya teringat kunjungan

pertama saya ke Indonesia, 1962-1964. Hubungannya: keprihatinan saya terhadap masa

depan demokrasi di Indonesia.

OlehR WILLIAM LIDDLE


19 Oktober 2019

Prof William Liddle

Menjelang pelantikan kedua Presiden Joko Widodo (Jokowi), saya teringat kunjungan

pertama saya ke Indonesia, 1962-1964. Hubungannya: keprihatinan saya terhadap masa

depan demokrasi di Indonesia.

Selaku mahasiswa program PhD Ilmu Politik, saya memilih integrasi nasional di negara-

negara sedang berkembang dengan kasus Indonesia sebagai topik disertasi.

Saya tertarik mengetahui sejauh mana keterikatan orang pada suku bangsa dan agama

mengancam persatuan nasional dalam masyarakat majemuk yang baru merdeka.

Dimentori Clifford Geertz, saya menelusuri topik secara antropologis. Saya tinggal di satu

tempat dan berusaha mengikuti kegiatan masyarakat terkait politik. Tempat yang saya

pilih adalah Kabupaten Simalungun dan ibu kotanya, Pematang Siantar, Sumatera Utara.

Guru Bahasa Indonesia saya menjelaskan, daerah itu mencerminkan kemajemukan

Indonesia dari segi agama, suku bangsa dan kelas sosial. Kegiatan politik yang saya

pelajari adalah aktivitas partai politik yang terwakili di DPRD kabupaten dan kota.

Untungnya, pembagian kursi di DPRD pada 1962-1964 masih akurat menggambarkan

hasil pemilu demokratis pertama pada 1955.

Saya merasa beruntung memperoleh snapshot, potret seketika yang cermat dan andal

setelah pengamatan dua tahun di lapangan. Potret itu memungkinkan saya menilai sejauh

mana sistem kepartaian saat itu bisa berperan positif dalam suatu negara demokratis.
Saya simpulkan, ada empat ancaman besar kepada keberhasilan demokrasi di Indonesia:

radikalisme, komunisme, separatisme, dan korupsi.

Masyumi dan Nahdlatul Ulama adalah dua partai besar—hampir 40 persen dari seluruh

suara pada 1955—yang masih memperjuangkan Piagam Jakarta. Seandainya mereka

berkuasa, lembaga dan prosedur demokratis kemungkinan besar harus tunduk pada suatu

lembaga syariah yang pasti dikuasai para ulama, kira-kira seperti berlaku kini di Iran.

Komunisme menawarkan sistem pemerintahan sendiri, kediktatoran proletar atau

Leninisme. Contohnya adalah Uni Soviet dan China, apalagi dari segi pandang masyarakat

Sumatera Utara. Pada 1955, dengan 16 persen suara nasional, Partai Komunis Indonesia

(PKI) berhasil menjadi satu dari empat partai besar. Setelah itu PKI berkembang terus.

Di Simalungun, PKI menggalang kekuatan di kalangan buruh perkebunan dan penggarap

tanah ilegal. Dua kelompok itu memang merasa dieksploitasi administrasi perkebunan

bersama pemerintah, termasuk tentara. Mungkin terutama tentara, yang sedang

membentuk organisasi buruh sendiri untuk menghadang serikat buruh PKI.

Perihal separatisme, pada 1962-1964 keamanan masyarakat Simalungun dan Siantar baru

pulih setelah pemberontakan PRRI yang dicap gerakan separatis oleh pemerintah

pusat. Penderitaan masyarakat waktu itu digambarkan Ashadi Siregar secara

mengharukan dalam novel barunya Menolak Ayah.

Ancaman separatisme paling terasa mengenai Aceh, yang beberapa tahun sebelumnya

diberi status daerah istimewa oleh Presiden Soekarno. Namun, banyak pengamat

meragukan, apakah hati rakyat Aceh sudah kembali kepada Ibu Pertiwi. Saya sendiri

benar-benar percaya bahwa bangsa Indonesia, seperti bangsa merdeka lain di dunia, bisa

memerintah diri sendiri. Termasuk di tingkat kabupaten dan kota!


Dari empat ancaman demokrasi yang saya temukan waktu itu, yang paling tak terpikirkan

sebelumnya adalah korupsi. Seharusnya saya sadari dari awal, korupsi lama-kelamaan

pasti menggerogoti kepercayaan warga pada absahnya negara demokratis. Di Siantar

begini ceritanya. Pada 1964 wali kota baru dipilih DPRD kota. Saya gembira sebab bisa

menguji kesimpulan awal saya perihal pengaruh loyalitas politisi kota pada suku bangsa,

agama, kelas, dan partai.

Dari empat ancaman demokrasi yang saya temukan waktu itu, yang paling tak
terpikirkan sebelumnya adalah korupsi.

Malah, saya sempat meramal calon mana yang akan lolos. Ternyata saya salah. Calon yang

menang justru kuda hitam yang tak banyak dibicarakan. Beberapa orang baru mengaku

menerima uang ketika saya tanya di rumah masing-masing. Pengakuan itu tak dengan

kata, melainkan dengan gerakan tangan universal yang menggambarkan uang.

Belum seluruhnya hilang

Pada 2019, sejauh mana empat masalah itu masih mengancam mutu serta awetnya

demokrasi di Indonesia? Ternyata belum ada yang seluruhnya hilang atau sudah teratasi.

Mungkin yang paling mengejutkan, bangkitnya radikalisme.


Pada awal reformasi sejumlah pengamat, termasuk saya, menyimpulkan gigi radikalisme

sudah tercabut oleh kebijakan Soeharto dan kegiatan politik tokoh seperti Nurcholish

Madjid, Abdurrahman Wahid, serta organisasi seperti NU dan Muhammadiyah. Namun,

ternyata kini radikalisme hidup kembali, terbukti terutama pada kampanye 2016-2017

yang menjatuhkan Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama.

Kebijakan apa yang perlu diambil pemerintahan Jokowi ke depan mengatasi ancaman

ini? Anjuran saya, pembantu presiden harap baca dua artikel jurnal yang berbobot.

Di jurnal sosial dan budaya Belanda, Bijdragen tot de Taal, Land, en Volkenkunde (2018),

Marcus Mietzner, Burhanuddin Muhtadi, dan Rizka Halida mengungkapkan, betapa para

wiraswasta religio-politik berhasil mengobarkan sikap radikal di masyarakat. Sikap itu

hampir tak ada sebelum kegiatan mobilisasi.

Di Pacific Affairs (Juni 2018), Mietzner mengkritik tajam serentetan kebijakan Jokowi

sejak 2016. ”Pemerintahan Jokowi memilih strategi kriminalisasi terhadap kaum populis

yang melanggar norma hukum sekaligus melansir kebijakan akomodasi berorientasi

patronase yang kurang jelas arahnya. Akibatnya, usaha pemerintah melindungi status

quo demokratis dari serangan populis berbalik dan mengancam demokrasi sendiri.”

Komunisme sudah mati di mana-mana, setidaknya selaku ideologi kediktatoran

proletar. Penyebab kematiannya di Indonesia masih kontroversi. Menurut saya, kita

boleh bersyukur bahwa partai itu tak ada lagi. Tujuan utamanya memang menggantikan

demokrasi dengan kekuasaan tunggal partai.

Selain itu, kemungkinan besar Indonesia pecah andai dulu PKI menang. Di beberapa

daerah ikatan agama masih sangat kental. Pada waktu yang sama kita harus menyesali

pelanggaran kejam atas hak sipil/politik anggota PKI dan simpatisannya yang berlaku

sampai kini. Kehidupan demokratis ternodai terus oleh perilaku itu.


Padahal, menurut sejumlah survei lembaga tepercaya SMRC, persentase masyarakat yang

khawatir PKI bangkit kembali rata-rata di bawah 15 persen. Alangkah baik jika Presiden

Jokowi berupaya sekali lagi mencabut Keppres Soeharto Nomor 28/1975 tentang

Perlakuan terhadap Mereka yang Terlibat G30S/PKI Golongan C.

Seandainya tensi ini reda kelak, saya bayangkan akibat samping positif. Parpol di DPR

sekarang cenderung mewakili kepentingan elite belaka. Salah satu alasannya: kegelisahan

pada tuduhan prokomunis jika politisi betul-betul mewakili kelompok bawah. Mereka

perlu dibebaskan dari belenggu ini.

Parpol di DPR sekarang cenderung mewakili kepentingan elite belaka. Salah satu
alasannya: kegelisahan pada tuduhan prokomunis jika politisi betul-betul mewakili
kelompok bawah.

Ancaman separatisme sebagian besar sudah selesai berkat kebijakan beberapa

presiden. BJ Habibie menyatukan demokratisasi dan desentralisasi. Akibatnya, baik

rakyat maupun politisi di kabupaten dan kota umumnya mendukung pola baru.

Melalui pilkada dan pemilu, rakyat bisa meminta pertanggungjawaban pemerintah lokal

dan DPRD, sementara bupati dan wali kota diberi dana dan kewenangan fiskal jauh lebih

besar dari Orde Baru. Habibie juga membebaskan Timor Leste, yang sebenarnya bukan

masalah separatisme, sebab daerah itu bukan bagian NKRI yang diproklamasikan

Soekarno-Hatta.

Lebih penting, pelepasan Timor Leste berarti setiap presiden setelah Habibie akan

terhindar keluhan dunia tentang perilaku tentara dan milisi Indonesia pada

1999. Tuntutan Gerakan Aceh Merdeka, yang benar-benar separatis, selesai tuntas oleh

Wapres Jusuf Kalla di bawah kepemimpinan Presiden SBY.


Di zaman Jokowi, kericuhan di Papua mengisyaratkan masalah separatisme paling berat

yang belum terselesaikan. Presiden Jokowi dari awal kampanye pertamanya menjanjikan

perhatian khusus pada Papua.

Laporan terakhir IPAC (Institute for Policy Analysis of Conflict), yang dikepalai Sidney

Jones, Policy Miscalculations on Papua (Oktober 2017), memuji beberapa kebijakan

ekonomi yang memang lebih baik daripada presiden-presiden sebelumnya.

Namun, Jones menekankan tiga penghitungan salah: ”bahwa pembangunan ekonomi

dengan sendirinya akan menyelesaikan keluhan politik; bahwa pelanggaran hak asasi lama

mudah diselesaikan; dan bahwa pilkada curang tak perlu ditangani.” Lalu, ada beberapa

rekomendasi konkret berharga, misalnya perlunya konsensus baru dan kerja sama antara

Jaksa Agung dan Komnas HAM.

Akhirulkalam, korupsi termasuk ancaman lama, seperti saya utarakan. Lagi pula,

desentralisasi telah menciptakan ratusan lokasi baru di tingkat provinsi, terutama

kabupaten dan kota. Di pemerintahan lokal kita temukan semacam badai sempurna,

tempat sumber daya berlimpah dan kendala berkurang. Tak sulit meramalkan, banyak

pejabat akan terjeblok dalam lahan becek korupsi.

Di pemerintahan lokal kita temukan semacam badai sempurna, tempat sumber daya
berlimpah dan kendala berkurang. Tak sulit meramalkan, banyak pejabat akan
terjeblok dalam lahan becek korupsi.

Dua hal penting

Kerumitan masalah ini membuat saya berhati-hati tentang saran saya kepada pemain

masa kini. Namun, ada dua hal penting. Pertama, pejuang antikorupsi yang paling

berhasil selama ini adalah KPK. KPK diciptakan pada masa pemerintahan Megawati dan

dilindungi SBY. Dalam lautan luas korupsi di Indonesia, ia memang tak bisa berbuat
banyak. Namun, ia membuktikan bagaimana cita-cita luhur bisa diterapkan dalam

masyarakat kini meski dirintangi terus.

KPK berhasil menakut-nakuti anggota DPR yang ingin memasungnya. Ternyata pula,

Jokowi tunduk pada kemauan itu ketika pemerintah bersama DPR menyetujui revisi UU-

nya. Keputusan itu ditampik pendukung good governance dengan kritik, protes, dan

demonstrasi. Keluh Indonesia Corruption Watch: ”Hal yang pasti, keseluruhan poin UU

itu akan melemahkan KPK dan jadi titik mundur pemberantasan korupsi.” Revisi UU KPK

baru saja usai. Kesimpulan sementara saya, kekuatan antikorupsi perlu cari strategi baru

tanpa mengharapkan peran KPK ke depan atau bantuan berarti pemerintahan Jokowi.

Cara lain menangani korupsi diusulkan Burhanuddin Muhtadi dalam buku barunya yang

cemerlang, Vote Buying in Indonesia: The Mechanics of Electoral Bribery (Palgrave

Macmillan 2019). Burhanuddin mengusulkan perubahan kepada desain lembaga pemilu,

pelaksanaan hukum, dan pendidikan pemilih. Ia usulkan perubahan dari perwakilan

berimbang dengan daftar calon terbuka ke perwakilan berimbang dengan daftar calon

tertutup.

Kesimpulan sementara saya, kekuatan antikorupsi perlu cari strategi baru tanpa
mengharapkan peran KPK ke depan atau bantuan berarti pemerintahan Jokowi.

Dampak sistem distrik tempat hanya satu anggota dewan dipilih per distrik juga dinilai

positif. Namun, ”tanpa pelaksanaan hukum, strategi pembelian suara akan meluas tak

terkontrol.” Lagi pula, ”mengingat betapa umum keinginan pemilih menjual suaranya,

pendidikan sistematis diperlukan agar mereka jadi kurang toleran atas praktik itu.”
Buku ini diterbitkan dalam bentuk akses terbuka; siapa pun boleh

mengunduhnya. Pembaca budiman, manfaatkan kesempatan ini mendalami

analisisnya. Semakin luas dipelajari, semakin jauh studi ini akan memengaruhi

pemberantasan korupsi, khususnya di kabupaten dan kota: tingkat yang saya yakini paling

penting dalam mewujudkan demokrasi di Indonesia!

(R William Liddle, Pemenang Anugerah Kebudayaan 2018)


Tanggapan Artikel

Artikel yang berjudul Empat Tantangan Demokrasi yang ditulis oleh R William Liddle membahas
tentang jenis ancaman demokrasi yang dihadapi Indonesia dari tahun 1962 hingga saat ini yaitu
radikalisme, komunisme, separatisme, dan korupsi. Saya setuju dengan pendapat beliau bahwa
keempat hal itulah yang selama ini mengusik demokrasi di Indonesia. Banyaknya ragam budaya
membuat berbagai faktor tadi mudah berkembang di Indonesia. Radikalisme yang akhir-akhir ini
mulai bangkit menimbulkan banyak sekali pertengkaran dan perpecahan, bahkan dalam satu
keluarga sekalipun. Pesta demokrasi ternyata tidak semeriah yang saya bayangkan, setelah
mengalaminya untuk pertama kalinya. Terlalu banyak hoax, cacian, dan makian yang dihidangkan.
Komunisme yang telah dibantai sejak 53 tahun lalu nampaknya sudah bukan merupakan hal yang
terlalu berpengaruh. Usaha separatisme telah diselesaikan dengan baik pada masa pemerintahan B.J.
Habibie dan wakil presiden Jusuf Kalla saat masa pemerintahan SBY. Korupsi yang sudah
mendarah daging di Indonesia rupanya masih sulit untuk dibereskan. Lembaga independennya pun
berusaha dilemahkan dengan membuat revisi UU. Jujur saja hal semacam ini memuakkan. Saya
yang menginginkan Indonesia segera bangkit dan maju menyusul negara lainnya malah terjebak
dalam kubangan pemerintahannya.

Anda mungkin juga menyukai