Anda di halaman 1dari 14

SEJARAH MASUKNYA AGAMA

HINDU, BUDHA
DAN ISLAM DI INDONESIA
SEJARAH MASUKNYA AGAMA HINDU,
BUDHA
DAN ISLAM DI INDONESIA

A. AGAMA HINDU DAN BUDHA


Agama Hindu dan Budha berasal dari Jazirah India yang sekarang
meliputi wilayah negara India, Pakistan, dan Bangladesh. Kedua agama ini
muncul pada dua waktu yang berbeda (Hindu: ±1500 SM, Budha: ±500 SM),
namun berkembang di Indonesia pada waktu yang hampir bersamaan.
Munculnya agama Hindu dan Budha di Indonesia berawal dari hubungan
dagang antara pusat Hindu Budha di Asia seperti China dan India dengan
Nusantara. Hubungan dagang antara masyarakat Nusantara dengan para
pedagang dari wilayah Hindu Budha inilah yang menyebabkan adanya
asimilasi budaya, sehingga agama Hindu dan Budha lambat laun mulai
berkembang di Nusantara.
Kepulauan Nusantara yang diapit oleh dua benua (Asia dan Australia)
serta oleh dua samudra (Hindia dan Pasifik), mempunyai letak yang sangat
strategis dalam jalur perdagangan dunia kala itu. Hal ini membuat para
pedagang asing dari negeri-negeri lain seperti Cina, India, Persia, dan Arab
sering singgah di kepulauan Nusantara. Para pedagang asing ini tidak hanya
berkepentingan untuk berdagang di Nusantara. Mereka juga menjalin interaksi
secara sosial budaya dengan masyarakat lokal, sehingga masuklah
pengaruh-pengaruh kebudayaan mereka ke Nusantara, termasuk pengaruh
kebudayaan Hindu dan Budha. Sebenarnya ada beberapa teori yang diajukan
oleh para ahli mengenai siapa sebenarnya yang membawa agama Hindu dan
Budha di Indonesia, berikut adalah beberapa teori/hipotesa mengenai
masuknya agama hindu dan budha di indonesia.
1. Teori Brahmana
Teori yang diprakarsai oleh Van Leur ini menyatakan bahwa kaum
Hindu dari kasta Brahmanalah yang mempunyai peran paling besar dalam
proses masuknya agama dan budaya Hindu di Indonesia. Hal ini mengingat
bahwa Kitab Weda ditulis dengan Bahasa Sansekerta yang hanya dipahami
oleh kaum Brahmana. Para Brahmana yang berasal dari pusat-pusat Hindu di
dunia ini datang karena undangan para penguasa lokal yang ingin yang ingin
mengetahui lebih lanjut mengenai agama Hindu. Para raja/penguasa pribumi
tersebut adalah penganut kepercayaan animisme dan dinamisme sebelum
datangnya pengaruh Hindu dan Budha.
2. Hipotesa Ksatria
Menurut teori yang diusung oleh C.C. Berg ini, agama Hindu dibawa ke
Indonesia oleh kaum ksatria (kaum prajurit kerajaan). Hal ini terjadi karena
pada awal abad Masehi sering terjadi kekacauan politik di India sehingga
sering terjadi perang antargolongan di negeri ini. Para prajurit perang yang
terdasak musuh atau telah jenuh berperang akhirnya meninggalkan tanah air
mereka. Diantara para ksatria yang mencari tempat pelarian ini, sebagian ada
yang mencapai Indonesia. Mereka inilah yang kemudian membuat koloni dan
beralkulturasi dengan penduduk lokal. Hal ini membuat semakin banyak
masyarakat lokal yang menganut agama Hindu, pada perkembangan
berikutnya, akhirnya lahirlah kerajaan Hindu di Nusantara.
3. Hipotesa Waisya
Menurut teori ini, kaum Hindu dari kasta Waisya adalah yang paling
berjasa dalam penyebaran agama Hindu di Indonesia. Kaum Waisya adalah
mereka yang berasal dari kalangan pekerja ekonomi seperti pedagang dan
saudagar. Para pedagang yang berasal dari India atau pusat-pusat Hindu lain
di Asia ini banyak melakukan hubungan dagang dengan masyarakat atau
penguasa pribumi. Hali inilah yang membuka peluang bagi masuknya agama
Hindu di Indonesia. Teori Waisya ini diprakarsai oleh Dr. N. J. Krom.
4. Hipotesa Sudra
Orang-orang yang tergolong dalam Kasta Sudra adalah mereka yang
dianggap sebagai orang buangan. Kaum Sudra ini diduga datang ke
Indonesia bersama kaum Waisya atau Ksatria. Karena datang dalam jumlah
yang sangat besar, kaum Sudra inilah yang telah memberikan andil paling
besar terkait masuknya agama Hindu ke Indonesia.
Meskipun disampaikan oleh para ahli, keempat teori diatas tetap
mempunyai kelemahannya masing-masing. Hal tersebutkarena kitab Weda
yang merupakan kitab suci agama Hindu ditulis menggunakan bahasa
Sansekerta dan Pallawa yang notabene hanya dikuasai oleh kaum Brahmana.
Kaum Ksatria, Waisya, dan Sudra tentu saja akan sangat kesulitan
menyebarkan agama Hindu di Indonesia karena mereka tidak memahami
Bahasa Sansekerta yang merupakan bahasa dalam kitab Weda. Namun
demikian, menurut kepercayaan India kuno, kaum Brahmana tidak boleh
menyeberangi lautan sehingga hampir mustahil untuk kaum Brahmana
menyebarkan Hindu di Indonesia Secara langsung.
Karena keempat teori yang saya sampaikan diatas memiliki banyak
kelemahan, maka muncullah teori lain yaitu teori arus balik. Teori ini
dicetuskan oleh F.D.K Bosch, menurutnya Agama Hindu masuk ke Indonesia
karena dibawa oleh orang Indonesia sendiri. Orang-orang Indonesia yang
membawa Agama Hindu ke Indonesia ini berasal dari golongan pemuda yang
memang sengaja dikirim oleh para penguasa pribumi untuk mempelajari
agama Hindu dan Budha di India. Setelah selesai belajar di India, mereka
kemudian pulang ke Nusantara lalu mulai menyebarkan agama Hindu atau
Budha

B. AGAMA ISLAM
Setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW pada tahun 632 M,
kepemimpinan Islam dipegang oleh para khalifah. Dibawah kepemimpinan
para khalifah, agama Islam mulai disebarkan lebih luas lagi. Sampai abad ke-
8 saja, pengaruh Islam telah menyebar ke seluruh Timur Tengah, Afrika
Utara, dan Spanyol. Kemudian pada masa dinasti Ummayah, pengaruh Islam
mulai berkembang hingga Nusantara.
Sejarah mencatat, kepulauan-kepulauan Nusantara merupakan daerah
yang terkenal sebagai penghasil rempah-rempah terbesar di dunia. Hal
tersebut membuat banyak pedagang dari berbagai penjuru dunia datang ke
Nusantara untuk membeli rempah-rempah yang akan dijual kembali ke
daerah asal mereka. Termasuk para pedagang dari Arab, Persia, dan Gujarat.
Selain berdagang, para pedagang muslim tersebut juga berdakwah untuk
mengenalkan agama Islam kepada penduduk lokal.
Menurut beberapa sejarawan, agama Islam baru masuk ke Indonesia
pada abad ke-13 Masehi yang dibawa oleh para pedagang muslim. Meskipun
begitu, belum diketahui secara pasti sejak kapan Islam masuk ke Indonesia
karena para ahli masih berbeda pendapat mengenai hal tersebut. Setidaknya
ada tiga teori yang mencoba menjelaskan tentang proses masuknya Islam ke
Indonesia yaitu teori Mekkah, teori Gujarat, dan teori Persia.
1. Teori Gujarat, Teori yang dipelopori oleh Snouck Hurgronje ini
menyatakan bahwa agama Islam baru masuk ke Nusantara pada abad
ke-13 Masehi yang dibawa oleh para pedagang dari Kambay (Gujarat),
India.
2. Teori Persia, Teori ini dipelopori oleh P.A Husein Hidayat. Teori
Persia ini menyatakan bahwa agama Islam dibawa oleh para pedagang
dari Persia (sekarang Iran) karena adanya beberapa kesamaan antara
kebudayaan masyarakat Islam Indonesia dengan Persia.
3. Teori Mekkah, Teori ini adalah teori baru yang muncul untuk
menyanggah bahwa Islam baru sampai di Indonesia pada abad ke-13
dan dibawa oleh orang Gujarat. Teori ini mengatakan bahwa Islam
masuk ke Indonesia langsung dari Mekkah (arab) sebagai pusat agama
Islam sejak abad ke-7. Teori ini didasari oleh sebuah berita dari Cina
yang menyatakan bahwa pada abad ke-7 sudah terdapat sebuah
perkampungan muslim di pantai barat Sumatera.
Sebuah batu nisan berhuruf Arab milik seorang wanita muslim bernama
Fatimah Binti Maemun yang ditemukan di Sumatera Utara dan diperkirakan
berasal dari abad ke-11 juga menjadi bukti bahwa agama Islam sudah masuk
ke Indonesia jauh sebelum abad ke-13.

Proses Masuknya Islam di Indonesia


Proses masuknya islam ke Indonesia dilakukan secara damai dengan
cara menyesuaikan diri dengan adat istiadat penduduk lokal yang telah lebih
dulu ada. Ajaran-ajaran Islam yang mengajarkan persamaan derajat, tidak
membeda-bedakan si miskin dan si kaya, si kuat dan si lemah, rakyat kecil
dan penguasa, tidak adanya sistem kasta dan menganggap semua orang
sama kedudukannya dihadapan Allah telah membuat agama Islam perlahan-
lahan mulai memeluk agama Islam.
Proses masuknya Islam ke Indonesia dilakukan secara damai dan
dilakukan dengan cara- cara sebagai berikut.
1. Melalui Cara Perdagangan
Indonesia dilalui oleh jalur perdagangan laut yang menghubungkan antara
China dan daerah lain di Asia. Letak Indonesia yang sangat strategis ini
membuat lalu lintas perdagangan di Indonesia sangat padat karena dilalui
oleh para pedagang dari seluruh dunia termasuk para pedagang muslim.
Pada perkembangan selanjutnya, para pedagang muslim ini banyak yang
tinggal dan mendirikan perkampungan islam di Nusantara. Para pedagang ini
juga tak jarang mengundang para ulama dan mubaligh dari negeri asal
mereka ke nusantara. Para ulama dan mubaligh yang datang atas undangan
para pedagang inilah yang diduga memiliki salah satu peran penting dalam
upaya penyebaran Islam di Indonesia.
2. Melalui Perkawinan
Bagi masyarakat pribumi, para pedagang muslim dianggap sebagai kelangan
yang terpandang. Hal ini menyebabkan banyak penguasa pribumi tertarik
untuk menikahkan anak gadis mereka dengan para pedagang ini. Sebelum
menikah, sang gadis akan menjadi muslim terlebih dahulu. Pernikahan secara
muslim antara para saudagar muslim dengan penguasa lokal ini semakin
memperlancar penyebaran Islam di Nusantara.
3. Melalui Pendidikan
Pengajaran dan pendidikan Islam mulai dilakukan setelah masyarakat islam
terbentuk. Pendidikan dilakukan di pesantren ataupun di pondok yang
dibimbing oleh guru agama, ulama, ataupun kyai. Para santri yang telah lulus
akan pulang ke kampung halamannya dan akan mendakwahkan Islam di
kampung masing-masing.
4. Melalui Kesenian
Wayang adalah salah satu sarana kesenian untuk menyebarkan islam kepada
penduduk lokal. Sunan Kalijaga adalah salah satu tokoh terpandang yang
mementaskan wayang untuk mengenalkan agama Islam. Cerita wayang yang
dipentaskan biasanya dipetik dari kisah Mahabrata atau Ramayana yang
kemudian disisipi dengan nilai-nilai Islam.

C. AKULTURASI TRADISI HINDU-BUDHA DAN ISLAM DI INDONESIA


Keragaman suku bangsa yang tersebar di Nusantara merupakan
kondisi objektif yang penting dan sangat berpengaruh dalam keseluruhan
proses penyebaran dan pembentukan tradisi Islam di Indonesia. Perbedaan
suku bangsa itu tidak hanya menyangkut perbedaan bahasa, adat istiadat,
dan sistem sosio-kultural pada umumnya, tetapi juga perbedaan orientasi nilai
yang menyangkut sistem keyakinan dan keragaman masyarakat.
Setiap suku bangsa, selain memiliki kepercayaan lokal masing-masing,
juga memiliki sistem pengetahuan dan cara pandang yang berbeda satu
dengan yang lainnya. Masuknya unsur baru dalam kehidupan tentu saja
mendapat reaksi yang berbeda-beda. Adanya hukum adat yang terbentuk dari
tradisi sosial budaya masyarakat setempat merupakan bentuk paling jelas dari
institusi lokal yang mengatur tatanan masyarakat. Berdasarkan
pengelompokan yang diperkenalkan oleh pelopor studi hukum adat, Van
Vollenhoven, terdapat Sembilan belas wilayah hukum adat yang
mengisyaratkan agama Islam tersosialisasikan dalam masyarakat yang
memiliki ciri adat tertentu. Interaksi antara hukum Islam dan hukum adat yang
tinggi telah ada sebelum Islam menjadi perdebatan diberbagai daerah.
Daerah yang keterkaitannya dengan adat begitu tinggi dan paling intens
menerima proses islamisasi antara lain Aceh, Sumatera Barat, dan Sulawesi
Selatan. Terutama menyangkut persoalan untuk mempertemukan atau
menyelaraskan agama dan adat dalam kehidupan sehari-hari.
Kepercayaan dan tradisi lokal dalam masyarakat yang masih terdapat
sisa-sisa tradisi meghalithikum (adalah kebudayaan yang menghasilkan
bangunan-bangunan dari batu besar, seperti menhir adalah tugu yang
melambangkan arwah nenek moyang sehingga menjadi benda pujaan.
Dolmen adalah bentuknya seperti meja batu berkakikan tiang satu dan
merupakan tempat sesaji). Pada dasarnya tertumpu pada keyakinan tentang
adanya aturan tetap yang mengatasi segala yang terjadi dalam alam dunia.
Tradisi kepercayaan dan sistem sosial budaya adalah produk masyarakat
lokal dalam menciptakan keteraturan. Seperti tradisi lokal itu adalah
melakukan upacara adat, menghadirkan tata cara menanam dan memanen,
melakukan selamatan serta melakukan upacara peralihan hidup.
Contoh lain tradisi lokal:
Di Tapanuli, kepercayaan lokal dikenal dengan nama parmalim atau
agama si Raja Batak. Di Kepulauwan Mentawai disebut Sabulungan, di Dayak
disebut Kaharingan, di Toraja disebut Aluk to dolo. Di Sulawesi Tengah di
sebut Parandangan, di Sumbawa disebut Baramarapu, di Nias disebut Ono
niha. Di Sika (Maumere) disebut Ratu bita bantara. Kepercayaan lokal
tersebut memang berbeda di setiap daerah, hal itu menunjukkan keragaman
budaya yang ada di Indonesia.
Kemudian tadi dijelaskan mengenai kebudayaan megalithikum yang
belum disebutkan adalah ada juga arca-arca (ini mungkin melambangkan
nenek moyang mereka dan menjadi pemujaan), kubur batu (peti mayat dari
batu yang keempat sisinya berdindingkan papan-papan batu, alas dan bidang
atasnya juga dari papan batu). Punden berundap-undap (yaitu bangunan
pemujaan yang tersusun berttingkat-tingkat). Pada umumnya kebudayaan
megalithikum ini terdapat di seluruh Indonesia seperti di Sumatera, Bali, Jawa,
dan Sulawesi. Di samping itu masyarakat Jawa telah mengenal cerita wayang
dan ini adalah merupakan asli budaya Jawa.
Indonesia sejak zaman neolithikum atau zaman batu muda di mana alat
yang dibuat sudah diasah sehingga menjadi halus dan indah. Dikatakan
bahwa sejak zaman Neolithikum bangsa Indonesia telah mengenal:
1. Cara pertanian padi
2. Mengenal alat pemotong padi
3. Teknik pembuatan batik
4. Peternakan
5. Teknik pembuatan periuk belanga
6. Membuat alat-alat dari logam
7. Pembuatan rumah panggung
8. Mendirikan monument (bangunan pemujaan)
9. Sudah mengenal organisasi pemerintahan secara teratur yang dikepalai
Kepala Desa dan menurut Adat
10. Membuat/menggunakan mata uang.

Perpaduan Tradisi Lokal dengan Hindu-Budha


Telah diketahui bahwa sebelum masuknya pengaruh kebudayaan
Hindu-Budha, masyarakat Indonesia telah memiliki kebudayaan yang telah
tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Kebudayaan asli masyarakat
Indonesia tersebut sudah cukup maju. Masuknya budaya Hindu-Budha
membawa perubahan dalam kehidupan budaya masyarakat Indonesia. Unsur
kebudayaan Hindu-Budha yang masuk ke Indonesia lambat laun diterima dan
diolah ke dalam kebudayaan Indonesia, tetapi tanpa menghilangkan sifat
kebudayaan asli Indonesia. Dengan demikian, lahirlah kebudayaan baru yang
merupakan akulturasi kebudayaan Indonesia dan Hindu-Budha.
Wujud akulturasi antara kebudayaan Indonesia dengan kebudayaan
Hindu-Budha tersebut, antara lai sebagai berikut:
 Sistem Kepercayaan. Sejak zaman prasejarah bangsa Indonesia telah
memiliki kepercayaan berupa pemujaan terhadap roh nenek moyang dan juga
kepercayaan terhadap benda-benda tertentu. Kepercayaan itu disebut
animism dan dinamisme. Dengan masuknya kebudayaan Hindu-Budha ke
Indonesia, terjadilah akulturasi. Sebagai contoh, dalam upacara keagamaan
atau pemujaan terhadap para dewa di candi, terlihat pula adanya unsur
pemujaan terhadap roh nenek moyang. Dalam bangunan candi terdapat pripih
yang di dalamnya terdapat benda-benda lambang jasmaniah raja yang
membangun candi. Sehingga candi berfungsi sebagai makam. Di atas pripih
terdapat arca dewa yang merupakan perwujudan raja dan pada puncak candi
terdapat lambang para dewa (biasanya berupa gambar teratai pada batu
persegi empat). Jadi, upacara keagamaan atau pemujaan terhadap dewa
yang ada pada candi tersebut pada hakekatnya juga merupakan pemujaan
terhadap roh nenek moyang, dan di situlah letak akulturasinya. Dengan nama
yang lain tetapi esensinya adalah pemujaan terhadap roh nenek moyang.
 Filsafat (maknanya secara sederhana alam pikiran, berpikir secara
mendalam). Wujud akulturasi Indonesia dan Hindu—Budha di bidang filsafat
dapat ditemukan dalam cerita wayang. Isi cerita tersebut mengandung nilai
filosofis, yaitu bahwa kebenaran dan kejujuran akan berakhir dengan
kebahagiaan dan kemenangan. Sebaliknya, keserakahan dan kecurangan
akan berakhir dengan kehancuran.
 Seni wayang yang sudah popular dalam kehidupan masyarakat
Indonesia (khususnya masyarakat Jawa) bersumber dari cerita Ramayana
dan mahabrata yang berasal dari India. Namun, penampilan wujud tokoh
dalam wayang tersebut adalah budaya Indonesia yang antara daerah satu
dan lainnya berbeda. Baik dalam agama Hindu maupun Budha, keduanya
mempercayai adanya hukum karma dan reinkarnasi. Kedua hukum tersebut
mengandung makna filosofis, yaitu bahwa manusia harus berbuat kebaikan,
kebenaran, dan kejujuran agar lepas dari samsara atau penderitaan.
Sedangkan dalam kehidupan masyarakat Indonesia sejak dulu telah
berkembang suatu konsep berupa petuah-petuah, nasehat atau pesan yang
mengandung makna filosofis tentang kebenaran, kejujuran dan kebaikan.
 Pemerintahan. Sebelum masuknya pengaruh budaya Hindu-Budha,
pemerintahan di Indonesia berlangsung secara demokratis, yaitu untuk
menentukan seorang pemimpin (kepala suku) dilakukan melalui pemilihan.
Setelah masuknya budaya Hindu-Budha dikenal sistem pemerintahan
kerajaan yang tidak lagi dipilih secara demokratis, tetapi secara turun
temurun. Namun, dalam perkembangannya sifat pemerintahan demokratis
tetap menampakkan kembali ciri khasnya. Pemerintah kerajaan tetap
menerapkan musyawarah dalam mengambil keputusan. Kekuasaan raja tidak
bersifat mutlak seperti di India. Dalam pergantian raja tidak selalu dilakukan
secara turun-temurun. Unsur musyawarah sangat menentukan, terutama bila
raja tidak mempunyai putra mahkota.
 Seni Bangunan. Masuknya pengaruh Hindu-Budha ke Indonesia
membawa pengaruh terhadap seni bangunan, terutama bangunan candi. Jika
dilihat dari bentuknya, bangunan candi selalu bertingkat-tingkat yang terdiri
atas kaki candi, tubuh candi, dan puncak candi. Pada candi Hindu ditemukan
pripih yang berisikan lambang jasmaniah raja (yang membuat candi),
kemudian di atasnya terdapat patung dewa dan pada puncaknya terdapat
lambang para dewa. Dengan demikian, jika dilihat dari bentuk bangunannya
candi akan mengingatkan kita pada bangunan punden berundak. Oleh karena
itu, pada candi ditemukan unsur Indonesia dan unsur Hindu-Budha.
 Fungsi candi di India adalah sebagai tempat untuk memuja dewa. Di
Indonesia, candi berfungsi sebagai makam dan pemujaan terhadap roh nenek
moyang. Hal itu dapat dilihat dengan lambang jasmaniah raja di dalam pripih,
sedangkan arca di atasnya adalah perwujudan raja yang telah meninggal
tersebut.
 Seni Rupa. Masuknya kebudayan Hindu-Budha berpengaruh terhadap
perkembangan seni rupa di Indonseia. Contoh, seni hias yang berupa relief
pada dinding candi di Indonesia menunjukkan adanya akulturasi antara
budaya Indonesia dan Hindu-Budha. Hiasan relief pada candi biasanya
merupakan suatu cerita yang berhubungan dengan agama.
 Relief pada dinding Candi Borobudur seharusnya adalah cerita tentang
riwayat Sang Budha Gautama. Namun, yang digambarkan adalah suasana
kehidupan masyarakat Indonesia karena ditemukannya hiasan gambar
perahu bercadik, rumah panggung, dan burung merpati. Pada Candi Jago di
Jawa Timur dijumpai tokoh Punakawan, yaitu orang yang menjadi pengawal
seorang ksatria. Cerita itu hanya ditemukan di Indonesia.
 Seni Sastra. Pengaruh seni sastra India juga turut memberi corak
dalam seni sastra Indonesia. Bahasa Sansekerta besar pengaruhnya
terhadab sastra Indonesia. Prasasti di Indonesia, seperti Kutai,
Tarumanegara, dan prasasti di Jawa tengah pada umumnya ditulis dalam
bahasa sansekerta dan huruf pallawa. Dalam perkembangan bahasa
Indonesia dewasa ini, pengaruh bahasa sansekerta cukup dominan, terutama
dalam istilah pemerintahan. Seperti kata-kata patih lebet (sebuah jabatan
yang mengkordinasi pemerintahan dalam istana). Pada masa Sultan Agung
Titayasa di Banten, patih lebet dijabat oleh Adipati Mandaraka.
 Sistem Kalender. Sistem penanggalan (kalender) Hindu-Budha turut
berpengaruh dalam kebudayaan Indonesia, yaitu digunakannya kalender
Saka di Indonesia, juga ditemukan candrasangkala dalam usaha
memperingati suatu peristiwa dengan tahun atau kalender Saka. Tahun Saka
dimulai tahun 78 M. Kalender Saka merupakan kalender dari India yang
digunakan di Indonesia. Penggunaan kalender Saka ditemukan dalam
prasasti Talang Tuo (adalah prasasti yang menjelaskan mengenai
keberadaan Kerajaan Sriwijaya di Sumatra) yang berangka tahun 606 Saka
(686 M). Prasasti tersebut menggunakan huruf pallawa dan bahasa melayu
kuno. Dua contoh prasasti tersebut merupakan wujud akulturasi kebudayaan
Indonesia dan Hindu-Budha.
 Candrasangkala adalah angka huruf yang berupa susunan kalimat atau
gambar. Setiap kata dalam kalimat tersebut dapat diartikan dengan angka,
kemudian dibaca dari belakang maka akan terbaca tahun Saka. Beberapa
gambar harus dapat diartikan ke dalam kalimat.
Contoh tahun candrasangkala adalah sirna ilang kertaning bumi yang
artinya:
Sirna : berarti angka 0
Ilang : berarti angka 0
Kertaning : berarti 4
Bumi : berarti 1
Jadi, sirna ilang kertaning bumi dalam tahun Saka adalah 1400 dan sama
dengan tahun 1478 M.

Perpaduan Tradisi Lokal, Hindu-Budha, dan Islam di Indonesia


Bersamaan dengan masuk dan berkembangnya agama Islam,
berkembang pula kebudayaan Islam di Indonesia. Unsur kebudayaan Islam
itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan Indonesia tanpa
menghilangkan kepribadian Indonesia, sehingga lahirlah kebudayaan baru
yang merupakan akulturasi kebudayaan Indonesia dan Islam. Akulturasi
kebudayaan Indonesia dan Islam itu juga mencakup unsur kebudayaan
Hindu-Budha. Perpaduan kebudayaan Indonesia dan Islam, antara lain dapat
dilihat sebagai berikut:
 Seni Bangunan. Misalnya bangunan makam. Makam sebagai hasil
kebudayaan zaman Islam mempunyai ciri-ciri perpaduan antara unsur budaya
Islam dan unsur budaya sebelumnya, seperti berikut ini;
Fisik Bangunan. Pada makam Islam sering kita jumpai bangunan kijing
atau jirat (bangunan makam yang terbuat dari tembok batu bata) yang
kadang-kadang disertai bangunan rumah (cungkup) di atasnya. Dalam ajaran
Islam tidak ada aturan tentang adanya kijing atau cungkup. Adanya bangunan
tersebut merupakan ciri bangunan candi dalam ajaran Hindu-Budha. Tidak
berbeda dengan candi, makam Islam, terutama makam para raja, biasanya
dibuat dengan megah dan lengkap dengan keluarga dan para pengiringnya.
Setiap keluarga dipisahkan oleh tembok dengan gapura (pintu gerbang)
sebagai penghubungnya. Gapura itu belanggam seni zaman pra-Islam,
misalnya ada yang berbentuk kori agung (beratap dan berpintu) dan ada yang
berbentuk candi.
Tata Upacara Pemakaman. Pada tata cara upacara pemakaman
terlihat jelas dalam bentuk upacara dan selamatan sesudah acara
pemakaman. Tradisi memasukkan jenazah dalam peti merupakan unsur
tradisi zaman purba (kebudayaan megalithikum yang mengenal kubur batu)
yang hidup terus menerus sampai sekarang. Demikian pula, tradisi penaburan
bunga di makam dan upacara selamatan tiga hari, tujuh hari, empat puluh
hari, seratus hari, dan seribu hari untuk memperingati orang yang telah
meninggal merupakan unsur Islam dan juga unsur agama Hindu-Budha. Dan
hingga saat ini tetap dilaksanakan oleh sebagian masyarakat Islam.
Penempatan Makam. Dalam penempatan makampun terjadi akulturasi
antara kebudayaan lokal, Hindu-Budha dan Islam. Misalnya, makam terletak
di tempat yang lebih tinggi dan dekat dengan masjid. Contohnya, makam raja-
raja Mataram yang terletak di bukit Imogiri dan makam para wali yang
berdekatan dengan masjid. Dalam agama Hindu-Budha makam dalam candi.
 Bangunan Masjid. Bangunan masjid merupakan salah satu wujud
budaya Islam yang berfungsi sebagai tempat ibadah. Dalam sejarah Islam,
masjid memiliki perkembangan yang beragam sesuai dengan daerah tempat
berkembangnya. Di Indonesia, masjid mempunyai bentuk khusus yang
merupakan perpaduan budaya Islam dengan budaya setempat. Perpaduan
budaya pada bangunan masjid terlihat pada;
Bentuk Bangunan. Bentuk masjid di Indonesia, terutama di pulau Jawa,
bentuknya seperti pendopo (balai atau ruang besar tempat rapat) dengan
komposisi ruang yang berbentuk persegi dan beratap tumpang. Cirri khusus
bangunan masjid di Timur Tengah biasanya bagian atapnya berbentuk kubah,
tetapi di Jawa diganti dengan atap tumpang dengan jumlah susunan
bertingkat dua, tiga, dan lima.
Menara. Menara merupakan bangunan kelengkapan masjid yang
dibangun menjulang tinggi dan berfungsi sebagai tempat menyerukan azan,
yaitu tanda datangnya waktu shalat. Di Jawa terdapat bentuk menara yang
dibuat seperti candi dengan susunan bata merah dan beratap tumpang,
seperti menara masjid Kudus (Jawa Tengah).
Letak Bangunan. Dalam ajaran Islam, letak bangunanmasjid tidak diatur
secara khusus. Namun, di Indonesia, penempatan masjid khususnya masjid
agung, diatur sedemikian rupa sesuai dengan komposisi mocopat (yaitu
masjid ditempatkan di sebelah barat alun-alun), dan dekat dengan istana
(keraton) yang merupakan symbol tempat bersatunya rakyat dengan raja di
bawah pimpinan imam. Selain itu, adanya kentongan atau bedug yang
dibunyikan di masjid Indonesia sebagai pertanda masuknya waktu shalat. Hal
itu juga menunjukkan adanya unsur Indonesia asli. Bedug atau kentongan
tidak ditemukan pada masjid di Timur Tengah.
 Seni Rupa. Wujud akulturasi kebudayaan Indonesia dan islam pada
seni rupa dapat dilihat pada ukiran bangunan makam. Hiasan pada jirat (batu
kubur) yang berupa susunan bingkai meniru bingkai candi. Pada dinding
rumah, makam dan gapura terdapat corak dan hiasan yang mirip dengan
corak dan hiasan yang terdapat pada Pura Ulu Watu dan Pura Sakenan
Duwur di Tuban (Jawa Timur). Salah satu cabang seni rupa yang berkembang
pada awal penyebaran agama Islam di Indonesia adalah seni kaligrafi.
Kaligrafi tersebut biasanya digunakan untuk menghias bangunan makam atau
masjid.
 Aksara. Akulturasi kebudayaan Indonesia dan Islam dalam hal aksara
diwujudkan dengan berkembangnya tulisan Arab Melayu di Indonesia, yaitu
tulisan Arab yang dipakai untuk menulis dalam bahasa Melayu. Tulisan Arab
Melayu tidak menggunakan tanda a, i, u seperti lazimnya tulisan Arab. Tulisan
Arab Melayu disebut dengan istilah Arab gundul.
 Seni Sastra. Kesusastraan pada zaman Islam banyak berkembang di
daerah sekitar selat Malaka (daerah Melayu) dan Jawa. Pengaruh yang kuat
dalam karya sastra pada zaman Islam berasal dari Persia. Misalnya, Hikayat
Amir Hamzah, Hikayat Bayan Budiman, dn Cerita 1001 Malam. Di samping
itu, pengaruh budaya Hindu-Budha juga terlihat dalam karya sastra Indonesia.
Misalnya, Hikayat Pandawa Lima, Hikayat Sri Rama, Hikayat Kuda Semirang,
dan Syair Panji Semirang.
Cara penulisan karya sastra pada zaman Islam dilakukan dalam bentuk
gancaran dan tembang. Di Jawa, tembang merupakan suatu bentuk yang
lazim, tetapi di daerah Melayu, tembang dan gancaran ada semua. Cerita
yang ditulis dalam bentuk gancaran disebut hikayat, sedangkan cerita yang
ditulis dalam bentuk tembang disebut syair. Di daerah Melayu, karya sastra itu
ditulis dengan menggunakan huruf Arab, sedangkan di Jawa, naskah itu
ditulis dengan menggunakan huruf Jawa dan Arab (terutama yang membahas
soal keagamaan).
 Sistem Pemerintahan. Pengaruh agama Islam di Indonesia juga terjadi
dalam bidang pemerintahan sehingga terjadi akulturasi antara kebudayaan
Islam dan kebudyaan pra-Islam. Sebelum masuknya agama Islam, di
Indonesia telah berkembang sistem pemerintahan dalam bentuk kerajaan.
Raja mempunyai kekuasaan besar dan bersifat turun-temurun. Masuknya
pengaruh Islam mengakibatkan perubahan struktur pemerintahan dalam
penyebutan raja. Raja tidak lagi dipanggil maharaja, tetapi diganti dengan
julukan sultan atau sunan (susuhunan), panembahan, dan maulana. Pada
umumnya nama raja pun disesuaikan dengan nama Islam (Arab).
Akulturasi dalam penyebutan nama raja di Jawa lebih kelihatan karena
raja tetap memakai nama Jawa dibelakang gelar sultan, sunan, atau
panembahan, seperti Sultan Trenggono. Di samping itu, juga muncul tradisi
baru di Jawa, yaitu pemakaian gelar raja secara turun-temurun, sedangkan
untuk membedakan raja yang satu dengan yang lainnya ditentukan dengan
menambah angka urutan di belakang gelar, seperti Hamengkubuwono I, II, III,
dan seterusnya.
Begitu pula, dengan sistem pengangkatan raja pada masa berdirinya
kerajaan Islam di Nusantara tetap tidak mengabaikan cara-cara
pengangkatan raja pada masa sebelumnya. Di Kerajaan Aceh, tata cara
pengangkatan raja diatur dalam permufakatan hukum adat.
Catatan tambahan
Di Kerajaan Aceh, tata cara pengangkatan raja diatur dalam
permufakatan hukum adat. Tata cara pengangkatan raja di Kerajaan Aceh
adalah raja berdiri di atas tabal (tabuh/beduk yang dipalu pada ketika
meresmikan penobatan raja, mengumumkan penobatan raja), kemudian
disertai ulama sambil membawa al-Qur’an berdiri di sebelah kanan dan
perdana menteri memegang pedang di sebelah kiri. Di Jawa, pengangkatan
raja dilakukan oleh para wali. Raden Fatah menjadi Sultan Demak dengan
permufakatan para wali dan dilakukan di masjid Demak. Pengangkatan Sultan
Hadiwijaya dari Kesultanan Pajang dan Penembahan Senopati dari Mataram
juga tidak terlepas dari peran Wali Sanga. Perbedaan tata cara pengangkatan
raja di setiap daerah menunjukkan bahwa tradisi lokal tetap digunakan.
 Sistem Kalender. Wujud akulturasi budaya Indonesia dan Islam dalam
sistem kalender dapat dilihat dengan berkembagnnya sistem kalender Jawa
atau Tarikh Jawa. Sistem kalender tersebut diciptakan oleh Sultan Agung dari
Mataram pada tahun 1043 H atau 1643 M. Sebelum masuknya budaya Islam,
masyarakat Jawa telah menggunakan kalender Saka yang dimulai tahun 78
M. Dalam kalender Jawa, nama bulan adalah Sura, Safar, Mulud, Bakda
Mulud, Jumadil Awal, Jumadil Akhir, Rajab, Ruwah, Pasa, Syawal, Zulkaidah,
dan Besar. Nama harinya adalah Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu,
dan Ahad yang dilengkapi hari pasaran, seperti Legi, Pahing, Pon, Wege, dan
Kliwon.
 Filsafat. Filsafat merupakan disiplin ilmu yang berusaha menjawab
masalah-masalah yang tidak terjawab oleh disiplin ilmu yang lain. Filsafat
akan mencari suatu kebenaran yang hakiki. Dalam mencari kebenaran, umat
Islam menggunakan pendekatan tasawuf. Tasawuf adalah ilmu yang
mempelajari tentang orang-orang yang langsung mencari Tuhan karena
terdorong oleh cinta dan rindu terhadap Tuhan. Mereka meninggalkan
masyarakat ramai dan kemewahan dunia serta mendekatkan diri kepada
Tuhan dengan seluruh jiwa dan raga mereka. Para pencari Tuhan itu
mengembara ke mana-mana. Mereka dinamakan sufi dan alirannya
dinamakan tasawuf. Bersamaan dengan perkembangan tasawuf, muncul
tarekat di Indonesia, seperti tarekat qadariyah. Tarekat adalah jalan atau cara
yang ditempuh oleh kaum sufi untuk mendekatkan dirinya kepada Allah.
Bentuk akulturasi ilmu tasawuf dengan budaya pra-Islam tampak dalam
hal-hal sebagai berikut:
 Aliran Kebatinan
Dalam rangka mendekatkan diri kepada Tuhan, muncul usaha mencari
Tuhan dari kalangan sufi. Seperti ajaran manunggaling kawulo gusti yang
diajarkan oleh Syeikh Siti Jenar. Ajaran Syeikh Siti Jenar banyak dipengaruhi
oleh unsur budaya pra-Islam. Akibatnya, ia dihukum oleh para wali, karena
dianggap menyesatkan.
 Filsafat Jawa
Filsafat Jawa sangat erat sekali hubungannya dengan dunia
pewayangan. Oleh karena itu, dalam penyebaran Islam di pulau Jawa para
walimenggunakan wayang sebagai medianya. Tokoh yang terkenal adalah
Sunan Kalijaga.
Perbandingan Konsep Kekuasaan di Kerajaan Hindu-Budha dengan
Kerajaan yang bercorak Islam.
Dalam ajaran Hinduisme dan Budhisme terdapat suatu pandangan
yang dikenal sebagai kosmogoni (asal-usul alam semesta). Dalam konsepsi
tersebut manusia mengaggap bahwa antara dunia manusia dan jagat raya
terdapat kesejajaran. Pandangan tersebut memengaruhi alam pikiran
manusia sehingga melahirkan konsepsi tentang hubungan antara manusia
dan jagat raya. Selanjutnya, hal Itu dihubungkan dengan kegiatan politik dan
kekuasaan yang berwujud dalam susunan pemerintahan. Hal itu terjadi juga
pada kerajaan yang bercorak Hindu-Budha yang menganggap raja dan
kerajaannya (mikro kosmos) merupakan gambaran nyata dari jagat raya
(makro kosmos).
Menurut pandangan masyarakat pada zaman Hindu-Budha, raja
dianggap sebagai orang tokoh yang diidentikkan dengan dewa. Kekuasaan
raja dianggap tidak terbatas. Ia tidak dapat diatur dengan cara duniawi karena
dalam dirinya terdapat kekuatan yang mencerminkan roh dewa yang
mengendalikan kehendak pribadinya. Negara dianggap sebagai citra kerajaan
para dewa, baik dalam aspek material maupun aspek spiritualnya. Raja dan
para pegawainya memiliki kekuasaan dan kekuatan yang sepadan dengan
yang dimiliki oleh para dewa. Oleh sebab itu, apa yang dilakukan raja tidak
boleh dibantah oleh siapa pun.
Dalam konsep kekuasaan kerajaan yang bercorak Islam,
mengkultuskan raja tidak berlaku karena dalam ajaran agama Islam
kedudukan antara manusia dengan Tuhan sangat berbeda. Tuhan berada di
atas segala-galanya. Ajaran Islam menempatkan raja dalam kedudukan yang
tidak semulia dan seagung pada zaman Hindu-Budha, tetapi sebagai
khalifatullah, yaitu sebagai wakil penguasa di dunia dan akan dimintai
pertanggungjawabannya nanti. Manusia yang akan diangkat sebagai
khalifatullah akan mendapat tanda-tanda khusus dari Tuhan dalam bentuk
perlambang tertentu.
Berdasarkan hal tersebut, seorang raja harus memiliki legitimasi
(pengesahan) dari Tuhan. Bentuk legitimasi itu oleh orang Jawa disebut
wahyu atau cahaya nubuwat atau pulung. Seseorang yang mendapat wahyu
dari Tuhan berupa pulung keraton atau kekuatan suci, ia akan menjadi
penguasa tanah Jawa. Selain itu, seorang raja harus memiliki perlambang
yang mempunyai kekuatan magis.
Dalam kitab Babad Tanah Jawi, dikisahkan bahwa takhta Kerajaan
Majapahit sebelum diserahkan kepada Raden Patah harus terlebih dahulu
diduduki (dilungguhi) oleh Sunan Giri selama empat puluh hari sebagai syarat
untuk menolak bala. Perlambang lainnya yang menunjukkan kekuatan magis
adalah alat gamelan berupa gong. Di Kerajaan Banjar, tanda yang
berkekuatan magis berupa payung, keris, umbul-umbul, mahkota dan
gamelan. Di Ternate, benda yang dianggap mempunyai kekuatan magis,
antara lain mahkota kereta keranjang, paying, bendera, keris dan pedang.
Penghapusan konsep dewa raja pada zaman islam tidak mengurangi
tuntutan pokok, yaitu kekuasaan raja yang menyeluruh dan mutlak atas
seluruh rakyat. Sultan sebagai seorang raja yang berkuasa atas rakyatnya
dianggap dapat menghubungkan mereka dengan alam gaib. Hal itu dapat
dilihat dalam tradisi pemberian gelar pangeran (susuhunan, panembahan)
kepada seorang sultan atau raja. Karena raja menduduki posisi sentral,
seluruh aparat pemerintahan merupakan perpanjangan kekuasaan raja.
Kekuatan apapun yang mungkin dimiliki oleh para pejabat diyakini diperoleh
dari raja.
Jadi, baik dalam kerajaan-kerajaan Hindu-Budha maupun Islam,
konsepsi magis-religius memainkan peran yang menentukan, tidak hanya
dalam melegitimasi kekuasaan raja, tetai juga dalam menjelaskan peranan
orang yang memerintah dan yang diperintah serta hubungan antara raja dan
rakyatnya.

Anda mungkin juga menyukai