Anda di halaman 1dari 21

BAGIAN KARDIOVASKULAR REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN DESEMBER 2019


UNIVERSITAS MUSLIM INDONEISA

REFERAT
DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA DVT

DISUSUN OLEH:
Megawaty Putri Syaeful
111 2018 2023

SUPERVISOR PEMBIMBING:
dr. Bogie Palinggi,Sp.JP,FIHA

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN KARDIOVASKULAR
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2019

1
LEMBAR PENGESAHAN

Referat yang berjudul “Diagnosis dan Penatalaksanaan DVT” yang dipersiapkan


dan disusun oleh:

Nama : Megawaty Putri Syaeful


NIM : 111 2018 2023

Telah menyelesaikan Tugas Ilmiah dalam rangka kepanitraan klinik pada


Bagian Kardiologi Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia
di RS Bhayangkara Makassar

Makassar, Desember 2019

Pembimbing

dr. Bogie Palinggi,Sp.JP.FIHA

2
BAB I

PENDAHULUAN

Deep vein thrombosis (DVT) merupakan suatu kondisi dimana thrombus terbentuk
pada vena dalam (deep vein) yang diikuti oleh reaksi inflamasi dinding pembuluh
darah dan jaringan disekitar vena. DVT merupakan penyakit yang sulit didiagnosa,
kesalahan diagnosis dengan diagnosa klinis saja mencapai 50%. DVT dapat berlanjut
menjadi emboli paru, separuh dari penyakit ini tidak menimbulkan gejala sehingga
menyebabkan penderita menuju kematian bila tidak dikenali dan diterapi secara
efektif. Insiden DVT di Amerika Serikat adalah 159 per 100.000 atau sekitar 398.000
pertahun, sedangkan insiden DVT pada pasien tanpa profilaksis adalah: stroke (56%),
elective hip replacement (51%), trauma multipel (50%), total knee replacemet (47%),
fraktur panggul (45%), cidera medulla spinalis (35%), operasi umum (25%), infark
miokard (22%), operasi bedah saraf (22%), operasi ginekologi (14-22%), dan kondisi
medis umum (17%). Insiden DVT pasca operasi orthopedi tanpa profilaksis pada
pasien Asia adalah: pada total knee replacement (76,5%), total hip replacement
(64,3%) dan fiksasi fraktur femur proksimal (50%).1,2,3

Insiden DVT dimulai saat operasi namun pada umumnya thrombus terbentuk pada
tiga hingga tujuh hari pasca operasi. Tatalaksan profilaksis DVT dibagi menjadi dua
yaitu dengan cara inaktifasi koagulasi darah (profilaksis farmakologis) atau
pencegahan stasis vena (profilaksis mekanis). Profilaksis farmakologis (Low
Molecular Weight Heparin/ LMWH) secara nyata menurunkan insiden DVT pada
bedah ortopedi sebesar 71%. Diagnosa DVT dapat ditegakkan baik secara klinis
maupun radiologis dengan menggunakan doppler ultrasound atau Venografi. Dengan
diberikan terapi LMWH, gejala-gejala DVT sebagian besar akan berkurang sejak hari
ke 4 dan bebas gejala sama sekali pada hari ke 10. Untuk meminimalkan resiko fatal
terjadinya emboli paru diagnosis dan penatalaksanaan profilasis yang tepat sangat
diperlukan. 3,4

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi DVT

Deep vein thrombosis (DVT) merupakan suatu kondisi dimana thrombus terbentuk
pada vena dalam (deep vein) yang diikuti oleh reaksi inflamasi dinding pembuluh
darah dan jaringan disekitar vena. DVT terjadi terutama di tungkai bawah dan
inguinal. Bekuan darah dapat menghambat darah dari tungkai bawah kembali ke
jantung. Thrombus adalah bekuan abnormal didalam pembuluh darah yang
terbentuk walaupun tidak ada kebocoran, proses pembentukan thrombus
dinamakan thrombosis. Thrombus vena merupakan deposit intra vaskuler yang
tersusun dari fibrin dan sel darah merah disertai berbagai komponen trombosit dan
leukosit. 1,4,5

2.2 Etiologi

Terdapat tiga faktor yang berperan dalam terjadinya trombosis vena dalam
yang dikenal dengan trias Virchow. 1-4
Faktor pertama adalah terdapat kelainan dinding dan lapisan pembuluh darah
yang menyebabkan prokoagulan, kelainan tersebut dapat berupa cidera pada
pembuluh darah. Kerusakan pada endotel menyebabkan agregrasi platelet,
degranulasi, dan formasi thrombus seperti vasokonstriksi dan aktivasi koagulasi.
Cidera pada pembuluh darah yang mengakibatkan trombosis vena dalam ini dapat
disebabkan oleh karena fraktur pada tungkai, kaki yang memar, komplikasi dari
tindakan invasif pada vena. 4,5
Faktor kedua yang dapat menyebabkan trombosis vena dalam. ialah adanya
kelainan aliran darah yang menyebabkan stasis, kelainan tersebut berupa
melambatnya aliran darah di dalam vena. Hal ini dapat disebabkan oleh tirah baring
yang lama, duduk terlalu lama (penerbangan yang lama), pembedahan, trauma pada
tungkai bawah dengan atau tanpa pembedahan kehamilan (termasuk 6-8 bulan post
partum), dan obesitas. 4,5
Faktor ketiga adalah peningkatan daya koagulasi darah (hiperkoagulan) yaitu
adanya gangguan pada keseimbangan antara prokoagulan dan antikoagulan yang

4
menyebabkan aktivasi faktor pembekuan. Hal ini dapat terjadi karena beberapa
kanker (pancreas, prostate, mamae, dan ovarium), obat-obatan (estrogen, pil KB),
cidera atau pembedahan mayor, merokok, predisposisi genetik (defisiensi antitrombin
3, protein C dan S, dan polisitemia vera.6 Keganasan berhubungan dengan
meningkatnya fibrinogen atau trombositosis. 4,5

Gambar 1.Gambaran DVT.

2.3 Faktor Resiko

Faktor resiko timbulnya trombosis vena adalah sebagai berikut :

1. Defisiensi Anto trombin III, protein C, protein S dan alfa 1 anti tripsin.
Pada kelainan tersebut di atas, faktor-faktor pembekuan yang aktif tidak di netralisir
sehinga kecenderungan terjadinya trombosis meningkat. 5

2. Tindakan operatif
Faktor resiko yang potensial terhadap timbulnya trombosis vena adalah operasi dalam
bidang ortopedi dan trauma pada bagian panggul dan tungkai bawah.
Pada operasi di daerah panggul, 54% penderita mengalami trombosis vena, sedangkan
pada operasi di daerah abdomen terjadinya trombosis vena sekitar 10%-14%.
Beberapa faktor yang mempermudah timbulnya trombosis vena pada tindakan
operatif, adalah sebagai berikut :
a. Terlepasnya plasminogen jaringan ke dalam sirkulasi darah karena trauma pada
waktu di operasi.

5
b. Statis aliran darah karena immobilisasi selama periode preperatif, operatif dan post
operatif.
c. Menurunnya aktifitas fibrinolitik, terutama 24 jam pertama sesudah operasi.
d. Operasi di daerah tungkai menimbulkan kerusakan vena secara langsung di daerah
tersebut.6

3. Kehamilan dan persalinan


Selama trimester ketiga kehamilan terjadi penurunan aktifitas fibrinolitik, statis vena
karena bendungan dan peningkatan faktor pembekuan VII, VIII dan IX. 4
Pada permulaan proses persalinan terjadi pelepasan plasenta yang menimbulkan
lepasnya plasminogen jaringan ke dalam sirkulasi darah, sehingga terjadi
peningkatkan koagulasi darah.

4. Infark miokard dan payah jantung


Pada infark miokard penyebabnya adalah dua komponen yaitu kerusakan jaringan
yang melepaskan plasminogen yang mengaktifkan proses pembekuan darah dan
adanya statis aliran darah karena istirahat total.
Trombosis vena yang mudah terjadi pada payah jantung adalah sebagai akibat statis
aliran darah yang terjadi karena adanya bendungan dan proses immobilisasi pada
pengobatan payah jantung.

5. Immobilisasi yang lama dan paralisis ekstremitas.


Immobilisasi yang lama akan menimbulkan statis aliran darah yang mempermudah
timbulnya trombosis vena. 4,6

6. Obat-obatan konstrasepsi oral


Hormon estrogen yang ada dalam pil kontrasepsi menimbulkan dilatasi vena,
menurunnya aktifitas anti trombin III dan proses fibrinolitik dan meningkatnya faktor
pembekuan darah. Keadaan ini akan mempermudah terjadinya trombosis vena. 4

7. Obesitas dan varices


Obesitas dan varices dapat menimbulkan statis aliran darah dan penurunan aktifitas
fibriolitik yang mempermudah terjadinya trombosis vena.

6
8. Proses keganasan
Pada jaringan yang berdegenerasi maligna di temukan “tissue thrombo plastin-like
activity” dan “factor X activiting” yang mengakibatkan aktifitas koagulasi meningkat.
Proses keganasan juga menimbulkan menurunnya aktifitas fibriolitik dan infiltrasi ke
dinding vena. Keadaan ini memudahkan terjadinya trombosis. Tindakan operasi
terhadap penderita tumor ganas menimbulkan keadaan trombosis 2-3 kali lipat
dibandingkan penderita biasa.

Berdasarkan konferensi ketujuh American College of Chest Physicians (ACCP),


pasien yang melakukan operasi diklasifikasikan menjadi 4 tingkat menjadi resiko
rendah, sedang, tinggi dan sangat tinggi. Klasifikasi dibuat berdasarkan umur,
jenis operasi, durasi operasi, durasi immobilisasi dan faktor resiko lainnya. 6,7

 Resiko rendah: Durasi operasi kurang dari 30 menit, umur lebih dari 40 tahun,
perbaikan dari fraktur kecil.
 Resiko sedang: Umur 40 – 60 tahun, arthroscopy atau perbaikan fraktur tunkai
bagian bawah, penggunaan plaster cast post-operasi.
 Resiko tinggi: Umur lebih dari 60 tahun, atau umur 40 – 60 tahun dengan
adanya faktor resiko tambahan, immobilisasi lebih dari 4 hari
 Resiko sangat tinggi: Operasi arthroplasty lutut dan panggul, operasi fraktur
panggul, operasi open fracture pada tungkai bawah, trauma pada spinal cord,
berbagai resiko tambahan (umur lebih dari 40 tahun, sebelumnya ada riwayat
mengalami DVT, kanker, dan hypercoagulable state).

2.4 Patogenesis

Trombosis terjadi jika keseimbangan antara faktor trombogenik dan


mekanisme protektif terganggu. Faktor trombogenik meliputi gangguan sel endotel,
terpaparnya subendotel akibat hilangnya sel endotel, aktivasi trombosit atau
interaksinya dengan kolagen subendotel atau faktor von Willebrand, aktivasi
koagulasi, terganggunya fibrinolisis, dan stasis. Mekanisme protektif terdiri dari
faktor antitrombotik yang dilepaskan oleh sel endotel yang utuh, netralisasi faktor
pembekuan yang aktif oleh komponen sel endotel, hambatan faktor pembekuan yang

7
aktif oleh inhibitor, pemecahan faktor pembekuan oleh protease, pengenceran faktor
pembekuan yang aktif dan trombosit yang beragregasi oleh aliran darah, dan lisisnya
trombus oleh sistem fibrinolisis. Sistem pembuluh normal memiliki lapisan endotel
yang lunak dan licin sehingga trombosit dan fibrin tidak mudah melekat. Aliran darah
normal dalam sistem pembuluh merupakan aliran cukup deras sehingga trombosit
tidak terlempar ke permukaan dinding pembuluh. Mekanisme pembekuan mempunyai
sejumlah pengaturan dan keseimbangan kimia untuk mengatur pembentukan bekuan.
1,2

Normalnya, darah yang mengalir tetap cair karena terdapat keseimbangan


tertentu yang sangat kompleks. Pada keadaan tertentu, keseimbangan ini dapat
terganggu sehingga terjadi trombosis.Pembentukan trombus dimulai dengan
melekatnya trombosit-trombosit pada permukaan endotel pembuluh darah atau
jantung. Darah yang mengalir menyebabkan makin banyak trombosit tertimbun pada
daerah tersebut. Oleh karena sifat trombosit ini, trombosis dapat saling melekat
sehingga terbentuk massa yang menonjol ke dalam lumen. Pada saat tertentu,
terutama jika aliran darah cepat seperti dalam arteri, massa yang terbentuk dari
trombosit akan terlepas dari dinding pembuluh, tetapi kemudian diganti lagi oleh
trombosit lain. Jika terjadi suatu kerusakan pada trombosit, akan dilepaskan suatu zat
tromboplastin. Zat inilah yang merangsang proses pembentukan beku darah.

8
Gambar 2. Pembentukan bekuan darah

Trombus awalnya dibentuk pada aliran darah yang lambat atau terganggu.
Sering dimulai dari deposit pada vena besar besar di betis pada kantung vena di vena
betis dan paha. Aktivasi melalui jalur intrinsik dapat terjadi karena kontak FXII
dengan kolagen pada subendotelium pembuluh darah yang rusak. Aktivisi melalui
jalan intrinsi yang rusak masuk aliran darah mengaktifkan FVII. Baik melalui jalur
intrinsic maupun ektrinsik akhirnya dapat membentuk fibrin. Pada penyakit kanker
FX langsung diaktifkan oleh system yang dikeluarkan oleh sel kanker. Pada kelainan
herediter pula dapat terjadi peningkatan koagulasi dan menjadi predisposisi
thrombosis. 4
Kehamilan dapat menyebabkan peningkatan dari F II, F V II, dan FX.
Golongan darah bukan O pada sebahagian populasi tertentu di sertai peningkatan
FVIII. Mutsi gen protrombin terjadi 1-4% pada populasi . Statis juga dapat
diakibatkan oleh imobilitas obstruksi vena dilatasi vena dan meningkatnya viskositas

9
darah. Imobilitas dapat diakibatkan stroke atau berbaring lama. Obstruksi pula
didapatkan dari luar atau sekunder karena trombosis vena sebelumnya..Viskositas
darah meningkat karena fibrinogen meningkat. Vasodilatasi vena juga terjadi jika
berbaring lama dan kehamilan.
Trauma pada pasien merupakan faktor resiko trombosis vena. Trauma pada
pembuluh darah menyebabkan kerusakan endotel sebagai respon terhadap inflamasi
akan diproduksi sitokin. Sitokin akan menstimulasi sintesis PAI 1 dan menyebabkan
aktivitas fibrinolisis berkurang. Aktivitas koagulasi dapat terjadi melalui jalan intrinsil
yaitu kontak FXII dengan kolagen pada subendotelium atau melalui jalan ektrinsik
yaitu tromboplastin masuk dalam darah akibat dari kerusakkan sel. Aktivasi koagulasi
baik melalui jalan intrinsic maupun ektrinsik akan mengaktifkan Fx. FX akan menjadi
aktif dan selanjutnya menyebabkan terbentuknya fibrin.1-4
Kerusakkan endotel vena menyebabkan thrombosis menempel pada
subendotelium dan trombosit beragregasi pada lokasi akumulasi leukosit. Kolagen
akan mengaktifkan FXII, sedang trombosit mengaktifkan FXII dan FXI .
Trombus terdiri dari fibrin dan sel-sel darah. Trombus arteri, karena alirannya
yang cepat, terdiri dari trombosit yang diikat oleh fibrin yang tipis. Sedangkan vena
memiliki aliran darah yang bertekanan rendah dengan kecepatan yang relatif rendah,
serta memiliki dinding cukup tipis sehingga mudah berubah bentuk oleh tekanan dari
luar. Oleh karena itu penyebab tersering trombosis vena adalah berkurangnya aliran
darah, serta thrombus vena terbentuk di daerah yang stasis dan terdiri dari eritrosit
dengan fibrin dalam jumlah yang besar dan sedikit trombosit. 1,2
Trombosis vena (apapun penyebabnya) akan meningkatkan resistensi aliran
vena dari ekstremitas bawah. Dengan meningkatnya resistensi, pengosongan vena
terganggu, menyebabkan meningkatnya volume dan tekanan darah vena. Trombosis
dapat melibatkan kantong katup dan merusak katup. Katup yang tidak berfungsi
mempermudah terjadinya stasis dan penimbunan darah di ekstremitas.5 Trombus akan
menjadi semakin terorganisir dan melekat pada dinding pembuluh darah apabila
trombus semakin matang. Sebagai akibatnya, resiko embolisasi menjadi lebih besar
pada fase-fase awal trombosis, namun demikian ujung bekuan tetap dapat terlepas dan
menjadi emboli sewaktu fase organisasi. Selain itu, perluasan trombus dapat
membentuk ujung yang panjang dan bebas, dan dapat lepas menjadi emboli menuju
sirkulasi paru. Perluasan progresif juga meningkatkan derajat obstruksi vena dan
melibatkan daerah-daerah tambahan dari sistem vena. Pada akhirnya, patensi lumen

10
mungkin dapat distabilkan dalam derajat tertentu dengan retraksi bekuan dan lisis
melalui sistem fibrinolitik endogen. Sebagian besar pasien memiliki lumen yang
terbuka tapi dengan daun katup terbuka dan jaringan parut, yang menyebabkan aliran
vena dua arah. 1

2.5 Diagnosis
Gejala dan tanda klinis DVT mungkin asimtomatis atau pasien mengeluh
nyeri, bengkak, rasa berat, gatal atau varises vena yang timbul mendadak.
Bengkak dan nyeri merupakan gejala utama dan tergantung pada lokasi. Sifat
nyeri biasanya terus menerus dan tiba-tiba. Nyeri dapat bertambah dengan
meningkatnya aktivitas atau jika berdiri dalam jangka waktu lama. Karakteristik
manifestasi DVT dapat berupa tungkai bengkak unilateral, gambaran
eritrosianotik, dilatasi vena superficial, suhu kulit meningkat atau nyeri tekan pada
paha atau betis. Tanda klinis ini hanya ditemukan pada 23-50% pasien DVT.
Tanda klinis yang negatif belum dapat menyingkirkan diagnosis DVT. Tungkai
bawah yang bengkak, lunak disertai dengan cord vena yang dapat dipalpasi
mengarahkan pada DVT popliteal. Perbedaan ukuran lingkaran tungkai yang
bermakna mendukung diagnosis DVT. Namun sebagian besar pasien tidak
menunjukkan bengkak yang jelas. Kepastian diagnosis DVT secara klinis hanya
50%, sehingga tes diagnosik diharuskan bila ada kecurigaan DVT. Kematian dapat
terjadi bila thrombus vena pecah dan membentuk emboli pulmoner yang akan
mengobstruksi arteri pada paru. 1,3,4

Pemeriksaan klinis tanda Homans dengan cara lutut dalam posisi fleksi,
pergelangan kaki didorsofleksikan dengan kuat. Bila pasien merasa nyeri pada
daerah betis atau poplitea, maka tanda Homans positif. Tanda ini tidak dapat di
percaya, tanda ini dapat negative walaupun DVT positif, dan dapat positif
meskipun seluruh vena bebas dari bekuan darah. Berbagai gangguan otot betis
dapat berhubungan dengan tanda Homans yang positif.3,4

Kecurigaan trombosis vena secara klinis harus dikonfirmasi dengan tes yang
terdiri dari pemeriksaan laboratories dan radiologis. Tes laboratories adalah
Simplie-red D-dimer. Konsentrasi plasma D-dimer merupakan hasil pencernaan
fibrin oleh plasmin. Kadarnya meningkat pada pasien thrombosis vena atau
emboli pulmoner. Pengukuran dilakukan dengan cara pengambilan darah dari jari

11
tangan pasien diperiksa secara ELISA atau dengan Simpli RED agent. Tes ini hasil
sensitifitas 97%. Tes D-dimer sering menghasilkan positif semu pada pasien pasca
bedah atau trauma. Pemeriksaan radiologis menggunakan Venous compression
duplex ultrasonography, merupakan teknik noninvasif yang memiliki sensitifitas
95% untuk mendiagnosis DVT.3,4

DVT dibagi menjadi 2 tipe yaitu tipe sentral (iliac DVT dan femoral DVT)
dan tipe perifer (DVT pada vena poplitea dan daerah distal). Berdasarkan gejala dan
tanda klinis serta derajat keparahan drainase vena DVT dibagi menjadi DVT akut dan
kronis. Diagnosis DVT ditegakkan berdasarkan anamnesis, gejala dan tanda yang
ditemukan pada pemeriksaan fisik serta ditemukannya faktor resiko. Skor dari Wells
dapat digunakan untuk stratifikasi (clinical probability) menjadi kelompok resiko
ringan, sedang atau tinggi .2,3

Karakteristik S
Klinis k
o
r
Kanker aktif (sedang dalam pengobatan, atau riwayat menjalani pengobatan dalam bulan
1
terakhir atau sedang dalam terapi paliatif)
Paresis, paralisis, atau imobilisasi akibat bidai pada ekstremitas bawah 1

Tirah baring >3 hari atau baru menjalani bedah mayor dalam 4 minggu terakhir 1

Nyeri lokal terbatas pada daerah yang sesuai dengan sistem distribusi vena dalam 1

Pembengkakan seluruh bagian tungkai 1


Pembengkakan tungkai bawah dengan diameter 3 cm lebih besar dari tungkai bawah
1
kontralateral (diukur 10 cm di bawah tuberositas tibia)

Pembengkakan tungkai terbatas pada daerah yang simptomatik 1

Kolateral vena-vena superfisial (bukan varises) 1

Diagnosis alternatif yang mirip atau sama kuatnya dengan trombosis vena dalam -
2

Tabel 1.Skor Weils untuk klasifikasi DVT.

Pasien dengan DVT dapat memiliki gejala dan tanda yang minimal dan tidak
khas karenanya pemeriksaan tambahan seringkali diperlukan untuk menegakkan
diagnosa .Pemeriksaan D-dimer <0,5 mg/ml dapat menyingkirkan diagnosis DVT.
Nilai prediktif negatif pemeriksaan D-dimer pada DVT lebih dari 95%, pemeriksaan
ini bersifat sensitif tapi tidak spesifik, sehingga tidak dapat dipakai sebagai tes tunggal
untuk diagnosis DVT .Angiografi (venografi atau flebografi) merupakan pemeriksaan
baku yang paling bermakna (gold standard), namun pemeriksaan non invasive
ultrasound (USG Doppler) dapat menggantikan peran angiografi pada kondisi

12
tertentu. USG Doppler memberikan sensitivitas 95% dan spesifisitas 96% untuk
mendiagnosa DVT yang simptomatis dan terletak pada bagian proksimal akan tetapi
pada isolated calf vein thrombosis sensitivitasnya hanya 60% dan spesifisitasnya
kurang lebih 70% (Jika dengan metode pemeriksaan USG doppler dan D-dimer
diagnosis DVT belum dapat ditegakkan maka magnetic resonance
venography (MRV) harus dilakukan 3,.9,10

Gambar 3.Algoritme Diagnosis DVT.

2.6 Penatalaksanaan

Tujuan penatalaksanaan trombosis vena dalam pada fase akut adalah


menghentikan bertambahnya trombus, membatasi bengkak yang progresif pada
tungkai, melisiskan atau membuang bekuan darah (trombektomi) dan mencegah
disfungsi vena atau sindrom pasca trombosis di kemudian hari, serta mencegahnya
emboli, varikosis, ataupun rekurensi trombosis vena dalam. 1,2,5,9
Pengobatan pertama pada trombosis vena dalam adalah dengan menggunakan
antikoagulan. Pemberian antikoagulan dapat mengurangi resiko terjadinya emboli
paru dan mencegah perluasan trombus, propagasi serta dapat menurunkan rekurensi
trombosis vena dalam sebesar 80%. Pemberian antikoagulan secara sistemik tidak
secara langsung melisis trombus, tetapi menghentikan propagasi dan mendorong

13
terjadinya fibrinolisis secara alami. Heparin merupakan antikoagulan yang sudah
lama digunakan untuk penatalaksanaan trombosis vena dalam. Pemberian heparin
dalam 24 jam pertama setelah diagnosis dapat mengurangi rekurensi trombosis vena
dalam. Mekanisme kerja utama heparin adalah meningkatkan kerja antitrombin III
sebagai inhibitor faktor pembekuan dan melepaskan tissue factor pathway inhibitor
(TFPI) dari dinding pembuluh darah. Heparin diberikan secara infus intravena dengan
dosis 80 unit/kg dan kemudian dilanjutkan dengan infuse 18 unit/kg disesuaikan
dengan keadaan pasien. Heparin BM rendah (LMWH) dapat diberikan 1 atau 2 kali
sehari secara subkutan. Heparin diberi perentral dan tidak diabsorbsi usus dan bekerja
melalui kompleks thrombin antitrombin dan kompleks antitrombin factor Xa, IXa dan
Xia dan mampu untuk mengikat thrombin. Heparin berat molekul rendah mampu
menghambat factor Xa lebih kuat, interaksi dengan thrombin yang rendah sehingga
menurunkan bahaya pendarahan, dan memiliki bioavailibilitas yang baik sehingga
masa paruhnya lebh panjang. Heparin dapat diberikan bersama dengan warfarin dan
jika terjadi pendarahan sebagai efek sampingnya maka diatasi dengan pemberian
protamin. Keuntungan pemberian LMWH adalah resiko perdarahan mayor yang lebih
kecil. 1-3,5,8
Pemberian heparin dilanjutkan dengan antikoagulan oral yang bekerja dengan
menghambat faktor pembekuan yang memerlukan vitamin K, seperti warfarin
ataupun coumarin. Warfarin adalah antikoagulan oral yang merupakan derivat
caumarin dan indandione. Warfarin menghambat factor XII, IX,X dan protein C dan S
sehingga menghambat trombin. Dosis dari warfarin dimonitor dengan tes-tes darah
yang mengukur waktu prothrombin karena PT mengukur aktiviti VII, X dan
protrombin atau INR (international normalized ratio). Untuk trombosis vena dalam
yang tidak rumit (menyulitkan), lamanya terapi dengan warfarin yang
direkomendasikan adalah tiga sampai enam bulan. Pendarahan terjadi jika
dikombinasi dengan antiplatet maka warfarin harus dihenti pemakaiannya. Warfarin
(Coumadin) adalah obat pilihan untuk antikoagulasi. Warfarin memerlukan waktu
satu minggu atau lebih untuk mengencerkan darah secara tepat. Oleh karena itu,
heparin berat molekul rendah (enoxaparin (Lovenox)) digunakan pada saat yang
bersamaan. Enoxparin mengencerkan darah melalui mekanisme yang berbeda dan
digunakan sebagai terapi penghubung hingga warfarin telah mencapai efek terapinya.
Suntikan-suntikan enoxaparin dapat diberikan pada pasien rawat jalan. Obat tersebut
diberikan bersama saat awal terapi heparin. Heparin diberikan selama minimal 5 hari

14
dan dapat dihentikan bila antikoagulan oral ini mencapai target INR yaitu 2:3 selama
dua hari berturut-turut. Pengobatan antikoagulasi oral berlanjut selama 3 minggu
hingga 6 bulan pada pasien dengan resiko sementara (setelah operasi). Pada pasien
dengan trombosis vena dalam berulang, pengobatan dapat dilanjutkan selama 12
bulan atau seumur hidup. Dosis warfarin harus dimonitor menggunakan pemeriksaan
masa protrombin dan INR. Beberapa pasien memiliki kontraindikasi terapi warfarin
antara lain pasien dengan perdarahan otak, trauma mayor, atau baru saja mengalami
pembedahan. 8,9
Pemberian obat-obat trombolitik/fibrinolitik (streptokinase dan urokinase)
bertujuan untuk melisiskan trombus secara cepat dengan cara mengaktifkan
plasminogen menjadi plasmin. Obat yang diberikan adalah streptokinase sangat
bekerja optimal dalam 6 jam terjadi thrombosis. Terapi ini umumnya hanya efektif
pada fase awal (karena bekuan matur sulit lisis) dan beresiko perdarahan tiga kali lipat
dibandingkan dengan terapi antikoagulan saja. Pada umumnya terapi ini hanya
dilakukan pada trombosis vena dalam dengan oklusi total, terutama pada iliofemoral.
Kontraindikasi pengobatan fibrinolitik adalah baru mengalami operasi atau
perdarahan saluran cerna. 2,3.10
Tindakan operasi pada trombosis vena dalam dapat berupa trombektomi atau
pemotongan vena cava untuk mencegah emboli paru. Trombektomi terutama dengan
fistula arteriovena sementara, harus dipertimbangkan pada trombosis vena ileofemoral
akut yang kurang dari 7 hari dengan harapan hidup lebih dari 10 tahun. Proses
trombektomi melibatkan insersi sebuah kateter Fogarty berujung balon melalui
venotomi. Balon tersebut dikembangkan dan kateter ditarik untuk mengeluarkan
bekuan. 1,2,7
Filter vena kava inferior digunakan pada trombosis di atas lutut pada kasus di
mana antikoagulan merupakan kontraindikasi atau gagal mencegah emboli
berulang.Filter vena cava diindikasikan untuk pasien yang memilki kontraindikasi
obat antikoagulan pada trombosis vena dalam proksimal, pasien dengan komplikasi
obat antikoagulan (perdarahan), kegagalan obat antikoagulan mencegah emboli paru,
setelah pengangkatan emboli paru, untuk mencegah emboli paru pada pasien dengan
resiko tinggi (fraktur pelvis ataupun tulang panjang). 1,2,4,7
Pembengkakan dapat dikurangi dengan cara berbaring dan menaikkan tungkai
atau dengan menggunakan perban kompresi. Tirah baring merupakan indikasi tahap
awal untuk memberikan kesempatan terbentuk bekuan dan menempel pada dinding

15
pembuluh darah, dengan tirah baring diharapkan akan meminimalkan resiko emboli
paru. Kaki tempat tidur harus diangkat untuk meminimalkan pengosongan vena.
Perban ini harus dipasang oleh dokter atau perawat dan dipakai selama beberapa hari.
Selama pemasangan perban, penderita harus tetap berjalan. Jika pembengkakan belum
seluruhnya hilang, perban harus kembali digunakan. 6,10

Gambar 4. Perban kompresi

Jika perban kompresi sudah tidak dikenakan lagi, maka untuk mencegah
kambuhnya pembengkakan penderita diharuskan menggunakan stoking elastis setiap
hari. Stoking tidak harus digunakan diatas lutut, karena pembengkakan diatas lutut
tidak menyebabkan komplikasi Jika timbul ulkus (luka terbuka, borok) di kulit yang
terasa nyeri, gunakan perban kompresi 1-2 kali/minggu karena bisa memperbaiki
aliran darah dalam vena. 10
Ulkus hampir selalu mengalami infeksi dan mengeluarkan nanah berbau.
Jika aliran darah di dalam vena sudah membaik, ulkus akan sembuh dengan
sendirinya.
Untuk mencegah kekambuhan, setelah ulkus sembuh, gunakan stoking elastis setiap
hari.
Meskipun jarang terjadi, pada ulkus yang tidak kunjung sembuh, kadang perlu
dilakukan pencangkokan kulit. 6

16
2.7 Komplikasi

Trombus pada vena profunda dalam dapat lepas dan berjalan ke paru sehingga
menimbulkan emboli paru yang dapat mengancam nyawa. Emboli paru dapat ditandai
dengan nyeri dada dan nafas pendek. Lebih dari 90% emboli paru berasal dari
tungkai. Penatalaksanaan trombosis vena dalam segera dapat mencegah terjadinya
emboli paru. Emboli pulmonal dapat terjadi apabila terdapat seluruh atau sebagian
dari trombus bisa pecah, mengikuti aliran darah dan tersangkut di dalam arteri yang
sempit di paru-paru sehingga menyumbat aliran darah. Trombus yang berpindah-
pindah disebut emboli. Darah di dalam vena tungkai akan mengalir ke jantung lalu ke
paru-paru, karena itu emboli yang berasal dari vena tungkai bisa menyumbat satu atau
lebih arteri di paru-paru. Keadaan ini disebut emboli paru. Emboli pulmonal yang
kecil mungkin tidak memberikan apa-apa gejala. Emboli pulmonal yang sederhana
dapat menyebabkan gangguan dalam proses pernafasan dan nyeri dada. Emboli
pulmonal yang besar pula dapat mengakibatkan pingsan dan kematian secara tiba-
tiba. .3,4,7,8

Gambar 6.Emboli Paru.

17
Postthrombotic syndrome adalah komplikasi kronik dari DVT. Kurang lebih sepertiga
dari pasien DVT akan timbul komplikasi PTS, 5-10% menjadi PTS berat dengan
gejala ulserasi.Diagnosis PTS merupakan diagnosis klinis yang didasarkan pada
timbulnya gejala berupa kelemahan tungkai, nyeri, edema, gatal, kram, parestesi pada
tungkai bawah, memberat pada aktivitas, berdiri, berjalan dan membaik dengan
istirahat. Gejala ini disebabkan karena hipertensi vena yang persisten (karena
obstruksi intravena residual) atau insufisiensi valvular vena (Pada pemeriksaan fisik
didapatkan edema, teleangiektasi peri-malleolar, ektasis vena, hiperpigmentasi,
kemerahan, sianosis, ulkus. The Subcommittee on Control of Anticoagulation of the
Scientific and Standardization Committee of the International Society on Thrombosis
and Hemostasis merekomendasikan penggunaan skala villalta untuk diagnosis
PTS. Compression Ultrasonography dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis
pada pasien dengan kecurigaan PTS tanpa ada riwayat DVT
sebelumny.Penatalaksanaan PTS meliputi penggunaan elastic compression
stockings (ECS) untuk mengurangi edema dan keluhan, intermitten pneumatic
compression efektif untuk PTS simptomatik berat, agen venoaktif seperti aescin atau
rutosides memberikan perbaikan gejala jangka pendek. Compression therapy,
perawatan kulit dan topical dressings digunakan untuk ulkus vena..PTS dapat dicegah
dengan penggunaan tromboprofilaksis pada pasien resiko tinggi, rekurensi trombus
ipsilateral dicegah dengan pemberian antikoagulan yang tepat dosis dan durasi,
menggunakanelastic compression stocking selama kurang lebih 2 tahun setelah
diagnosis DVT ditegakkan. Peran trombolisis pada pencegahan PTS belum diketahui
secara jelas. Peranan CDT dalam rangka prevensi PTS juga membutuhkan evaluasi
lebih lanjut.3,10

Tabel 2.Skala Villalta PTS

18
2.8 Prognosis
Dengan terapi yang tepat dan adekuat, prognosis selalunya baik. Namun
begitu risiko untuk terjadinya emboli paru akan meningkat. 20% pasien yang tidak
mendapat terapi yang adekuat akan mengalami risiko terjadinya emboli paru dan 10-
20% darinya adalah fatal. Dengan terapi antikoagulan, tingkat kematian menurun
sebanyak 5 hingga 10 kali. Trombosis vena dalam dapat muncul tanpa gejala, namun
penyakit tersebut dapat berulang. Beberapa orang mungkin memiliki nyeri yang
berlangsung lama dan bengkak pada tungkai (sindrom post-flebitis). Menggunakan
stoking yang ketat selama dan setelah trombosis vena dalam dapat mencegah
terjadinya hal tersebut. 3

19
BAB III

KESIMPULAN

Deep vein thrombosis (DVT) merupakan pembentukan bekuan darah pada lumen
vena dalam (deep vein) yang diikuti oleh reaksi inflamasi dinding pembuluh darah
dan jaringan perivena, disebabkan oleh disfungsi endotel pembuluh darah,
hiperkoagulabilitas dan gangguan aliran darah vena. Faktor resiko DVT antara lain
faktor demografi/lingkungan (usia tua, imobilitas yang lama), kelainan patologi
(trauma, hiperkoagulabilitas kongenital, antiphospholipid syndrome, vena varikosa
ekstremitas bawah, obesitas, riwayat tromboemboli vena, keganasan), kehamilan,
tindakan bedah, obat-obatan (kontrasepsi hormonal, kortikosteroid). Tanda dan gejala
DVT antara lain edema, nyeri dan perubahan warna kulit (phlegmasia alba
dolens/milk leg, phlegmasia cerulea dolens/blue leg). Angiografi (venografi atau
flebografi) merupakan pemeriksaan baku yang paling bermakna (gold standard),
namun pemeriksaan non invasive ultrasound (USG Doppler) dapat menggantikan
peran angiografi pada kondisi tertentu. Pemeriksaan D-dimer <0,5 mg/ml dapat
menyingkirkan diagnosis DVT. Tujuan terapi jangka pendek DVT adalah mencegah
pembentukan trombus yang makin luas dan emboli paru. Tujuan jangka panjangnya
adalah mencegah kekambuhan dan terjadinya sindrom post trombotik. Kombinasi
heparin dan antikoagulan oral (warfarin) merupakan terapi inisial dan drug of
choice DVT. Secara umum antikoagulan diberikan selama minimal 3 bulan. Indikasi
dilakukan trombolisis antara lain trombosis luas dengan resiko tinggi terjadi emboli
paru, DVT proksimal, threatened limb viability, adanya predisposisi kelainan
anatomi, kondisi fisiologis yang baik (usia 18-75 tahun), harapan hidup lebih dari 6
bulan, onset gejala <14 hari, tidak ada kontraindikasi dilakukan trombolisis.
Indikasi open surgical thrombectomy antara lain DVT iliofemoral akut tetapi terdapat
kontraindikasi trombolitik atau gagal dengan trombolitik maupunmechanical
thrombectomy, lesi yang tidak dapat diakses oleh kateter, lesi dimana trombus sukar
dipecah dan pasien yang dikontraindikasikan untuk penggunaan antikoagulan. Terapi
non farmakologis/physical therapy hanya sedikit evidence basednya.

20
DAFTAR PUSTAKA

1. JCS Guidelines 2011. Guidelines for the diagnosis, treatment and prevention
of pulmonary thromboembolism and deep vein thrombosis. Circ J. 2011; 75:
1258-81
2. Goldhaber S. Risk factors for venous thromboembolism. J Amer Coll Cardiol.
2010; 56:1-7
3. Bates S, Ginsberg G. Treatment of deep vein thrombosis. N Engl J Med. 2004;
351:268-77
4. Buller H, Davidson B, Decousus H, Gallus A, Gent M. Fondaparinux or
enoxaparin for the initial treatment of symptomatic deep vein thrombosis.
Ann Intern Med. 2004; 140:867-73.
5. Ginsberg, J. Deep venous thrombosis. Cecil Medicine. 23rd ed. New York:
Mc Graw-Hill; 2007.
6. Bates SM, Jaeschke R, Stevens SM, Goodacre S, Wells PS, Stevenson MD,
et al Diagnosis of DVT: Antithrombotic therapy and prevention of
thrombosis. 9th ed. American College of chest physicians. Evidence-based
clinical practice guidelines. Chest 2012; 141(2)(Suppl):351–418. doi:
10.1378/chest.11-2299.
7. Fauci,AS, Kasper DL, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL, et
al. Venous thrombosis. In: Harrison’s principles of internal medicine. 17th
ed. Ch.111. USA: McGraw-Hill; 2008.
8. Breddin HK, Hach-Wunderle V, Nakov R, Kakkar VV; CORTES
Investigators. Clivarin: Assessment of Regression of Thrombosis, Efficacy,
and Safety. Effects of a LMH on thrombus regression and recurrent thrombo-
embolism in patient DVT. N. Engl J Med. 2001; 344:626-31.
9. Dupras D, Bluhm J, Felty C, Hansens C, Johnsons T, Lim K. Venous
thromboembolism diagnosis and treatment. Institute for Clinical System
Improvement. 2013; 5 : 1-36.
10. David L, Erica P, James D, Mark B. Diagnosis and management of
iliofemoral deep vein thrombosis: Clinical practice guideline. CMAJ.
2015;23: 1-9

21

Anda mungkin juga menyukai