Bab I, Bab Ii, Bab Iii, Simpulan Orba
Bab I, Bab Ii, Bab Iii, Simpulan Orba
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu hal yang menjadi sorotan dalam kebijakan politik di Indonesia
pada masa Orde Baru adalah dilaksanakannya pemilihan umum. Soemantri
(dalam Friyanti, 2005, hlm. 1) mengemukakan bahwa pemilihan umum atau
pemilu merupakan sarana pelaksana azas kedaulatan rakyat berdasarkan
Pancasila dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pemilu
diselenggarakan untuk memilih anggota-anggota DPR, DPRD I, DPRD II,
serta MPR. Pemilu diselenggarakan setiap lima tahun sekali pada waktu yang
bersamaan dan berdasarkan pada Demokrasi Pancasila. Pemungutan suara
diadakan secara Langsung, Umum, Bebas, dan Rahasia (LUBER).
Pada masa Orde Baru pemilu dilaksanakan sebanyak enam kali, antara
lain tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Namun, seluruh pemilu
1
yang dilaksanakan pada masa ini hanya dimenangkan oleh satu partai politik yang
sama, yakni Golongan Karya (Golkar). Kemenangan yang diperoleh Golkar—
yang merupakan mesin politik Orde Baru—dikarenakan adanya dukungan dari
aparat pemerintah (pegawai negeri sipil) dan Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia (ABRI) khususnya Angkatan Darat. Sehubungan dengan hal tersebut,
makalah ini akan membahas lebih lanjut mengenai bagaimana pemilu yang
dilaksanakan pada masa Orde Baru di Indonesia.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
D. Manfaat Penulisan
2
1. Menambah pengetahuan pembaca tentang pemilihan umum pada masa Orde
Baru di Indonesia.
2. Sebagai sumber dan bahan masukan penulis lain yang hendak menulis tentang
pemilihan umum pada masa Orde Baru di Indonesia.
3
BAB II
PEMBAHASAN
4
5
Pengesahan UU No.15 tahun 1969 dan Undang-Undang No.16 tahun 1969
tentang susunan MPR, DPR dan DPRD perihal pemilihan anggota-anggota badan
permusyawaratan memiliki prinsip penting yaitu yang boleh mengikuti pemilihan
umum hanyalah partai politik dan organisasi karya yang mempunyai wakil di
DPR-GR antara lain NU, Parmusi, PSII, Perti, PNI, Parkindo, Partai Katolik,
IPKI, MURBA dan Golongan Karya. Sistem pelaksanaan pemilihan umum adalah
sistem perwakilan berimbang dengan stelsel daftar. Sistem ini sering di sebut
sebagai proporsional representation system atau multy member representation
yang menawarkan beberapa kursi untuk diperebutkan dalam suatu wilayah
pemilihan (Friyanti, 2005, hlm. 62).
Masuk kepada Pemilu 1971, pada saat ini partai-partai politik berusaha
bertahan pada posisi yang ada, partai Golongan Karya yang didukung oleh ABRI
dan cendekiawan berusaha mendapatkan kepercayaan bagi usaha pembangunan.
Soeharto menggunakan birokrasi pemerintah dalam memenangkan Golkar pada
Pemilu 1971 dengan menggerakkan anggotanya yang terhimpun dalam Korps
Pegawai Republik Indonesia (KORPRI) dan anggota yang ada pada BUMN untuk
mendukung Golkar dalam pemilu (Noer, 2014, hlm.154). Pernyataan tersebut
diperkuat dengan dikeluarkannya peraturan menteri Dalam Negeri No.12 Tahun
1969 mengenai monoloyalitas pegawai negeri pada pemerintah dan kebijaksanaan
tentang larangan pegawai negeri masuk dalam organisasi politik tanpa persetujuan
atasan. Hasil pemilu 1971 yang diikuti 9 partai politik dan Golkar, untuk kursi
DPR menunjukkan hasil sebagai berikut: Golkar memperoleh 236 kursi (62,80%),
PNI 20 kursi (6,36% ), Parkindo 7 kursi (1,34%), dan Partai Katolik memperoleh
3 kursi (1,10%), sementara IP KI dan Partai Murba tidak memperoleh satu kursi
pun di DPR (Puspoyo, 2012, hlm.119).
Pada 2 Mei 1977 diselenggarakan pemilihan umum yang kedua, pemilu kali
ini hanya diikuti oleh 3 partai peserta dan dua diantaranya merupakan fusi dari
beberapa partai yaitu Partai Persatuan Pembangunan yang merupakan fusi dari
partai-partai islam (NU, PERTI, Parmusi, dan PSSI), Golongan Karya, dan Partai
Demokrasi Indonesia yang merupakan fusi dari (PNI, Partai Katolik, Partai
Kristen dan IPKI). Hasil Pemilu 1977 menegaskan keunggulan Golkar dalam
politik Indonesia. Golkar memperoleh 62,11% suara yang berarti turun 0,69% dari
suara yang diperoleh pada Pemilu 1971, PPP berhasil meraih suara lebih banyak
pada Pemilu 1977 (23,29%) dibandingkan dengan Pemilu 1971, dan PDI
mengalami kemerosotan dari Pemilu 1971 menjadi 8,60% pada Pemilu 1977
(Suryadinata, 1992 , hlm.88).
Pada tanggal 4 Mei 1982 pemilihan umum ketiga ini diwarnai dengan
beberapa peristiwa yang menjurus kearah kerusuhan, karena tidak terkendalinya
masa pendukung salah satu organisasi peserta pemilu dan melanggar ketetentuan
yang sudah ditetapkan dan mengacau kampanye organisasi peserta pemilu lain.
Pemilihan umum 1982 memilih 360 anggota dari seluruh jumlah anggota DPR
yang ditetapkan sebesar 460 anggota. Sedangkan 100 anggota lainnya
pengisiannya dilakukan melalui pengangkatan oleh Presiden (Friyanti, 2005, hlm.
73). Pada pemilu kali ini Golongan Karya kembali sukses dalam mengumpulkan
suara tunggal. Pada Pemilu 1982, Golkar berhasil merebut 10 kursi, PPP dan PDI
kehilangan 10 kursi untuk DPR. Golkar meraih 242 kursi (64,34%), PPP
memperoleh 94 kursi (27,7 8%), dan PDI memperoleh 24 kursi (7,88%). Golkar
tampil dengan hasil lebih baik dibandi ng dengan hasil pemilu 1971 (Suryadinata,
1992, hlm.111).
Pemilu 1992 dilaksanakan pada tanggal 9 Juni 1992 dengan tujuan untuk
memilih wakil-wakil yang akan menduduki lembaga-lembaga perwakilan rakyat
1992-1997. Golkar memperoleh 73,16% suara pada Pemilu 1987, dalam Pemilu
1992 turun menjadi 68,10% suara atau merosot 5,06%. Perolehan kursi di DPR,
Golkar memperoleh 282 kursi, itu artinya kehilangan 17 kursi. PPP memperoleh
tambahan 1 kursi sehingga menjadi 62 kursi pada pemilu 1992, sedangkan PDI
berhasil meningkatkan perolehan kursinya 16 kursi dibandingkan Pemilu 1987
(Puspoyo, 2012, hlm. 223). Dibandingkan dengan Pemilu 1987 Golkar mengalami
penurunan, meskipun tetap Golkar yang memenangkan Pemilu 1992.
Tabel 2.3 sumber : http://kpud-banjarkota.go.id/2000/01/pemilu-legislatif-1992/
Adapun untuk partai politik yang ikut serta dalam pemilihan umum yang
diselenggarakan pada tahun 1971 yaitu Partai Katolik, Golongan Karya, Partai
Syarikat Islam Indonesia, Nahdlatul Ulama, Partai Muslimin Indonesia, Partai
Kristen Indonesia, Partai Musyawarah Rakyat Banyak, Partai Nasional Indonesia,
Partai Islam Perti, dan Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia.
1. Partai Katolik
Partai Katolik yang lahir kembali pada tanggal 12 Desember 1945 dengan
nama Partai Katolik Republik Indonesia, sebelumnya merupakan Pakempalan
Politik Katolik Djawi (PPKD). Namun baru secara resmi berdiri pada tahun 1923
di Yogyakarta yang diprakarsai oleh umat Katolik Jawa yang dipimpin oleh F.S.
Harijadi. Pada masa penjajahan Belanda, PPKD karena kebutuhan siasat politik,
bergabung dengan Indische Katholieke Partij.
Partai Katolik ini merupakan hasil fusi dari berbagai partai katolik yang
sudah ada sebelumnya dan dideklarasikan pada kongres pertamanya pada 12
Desember 1949, yaitu Partai Katolik Republik Indonesia dari Surakarta, Partai
Katolik Rakyat Indonesia dari Makassar dan Flores, Partai Katolik Indonesia
Timur (Parkit) dari Timor, Persatuan Politik Katolik Flores (Perkokaf),
Permusyawaratan Majelis Katolik (Permakat) dari Manado, dan Partai Katolik
Indonesia Kalimantan (Parkika).
2. Golongan Karya
Partai Syarikat Islam Indonesia merupakan salah satu partai politik yang
pernah ada di Indonesia yang berideologi Islam. Dilihat dari sejarahnya, partai ini
merupakan partai yang berasal dari Serikat Dagang Islam (SDI) yang didirikan di
Solo pada tahun 1905. Partai Syarikat Islam ini juga merupakan salah satu partai
politik yang ikut serta dalam pemilu pada tahun 1971. Dalam perkembangannya,
partai ini berfusi dalam Partai Persatuan Pembangunan.
Dalam Ricklefs (2010, hlm. 164-167) bahwa Sarekat Islam adalah organisasi
politik pra-perang di Hindia Belanda saat itu. Setelah perpecahan yang disebabkan
oleh meningkatnya pengaruh Partai Komunis Indonesia (PKI), pada konferensi
organisasi 1923, Tjokroaminoto mendirikan Partai Sarekat Islam untuk
menyingkirkan organisasi PKI. PSI mendukung upaya Soekarno untuk
menyatukan organisasi-organisasi politik Indonesia setelah pembentukan Partai
Nasional Indonesia (PNI) pada tahun 1927. PSI mengubah namanya menjadi
Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) pada tahun 1929 dan dalam beberapa tahun
ke depan menyerang nasionalisme pihak lain, mengklaim bahwa nasionalisme
datang dari manusia dan bukan dari Tuhan.
4. Nahdlatul Ulama
Partai Kristen Indonesia merupakan salah satu partai yang ikut serta pada
pemilu 1971, partai ini didirikan setelah diadakannya pertemuan para tokoh
Kristen baik Protestan dan Katolik untuk menyepakati didirikannya suatu partai
bagi seluruh umat Kristen di Indonesia. Partai ini secara resmi didirikan pada 9
November 1945 setelah diadakannya pertemuan para tokoh Kristen di Gereja
Kristen Pasundan. Namun pada 1973 partai ini berfusi dalam Partai Demokrasi
Indonesia.
Golkar dapat dikatakan dengan organisasi politik yang berjaya pada masa
Orde Baru. Kejayaan tersebut terlihat dari kemenangan-kemenangan Golkar pada
setiap Pemilu Orde Baru. Akan tetapi, kejayaan-kejayaan tersebut dicapai dengan
cara-cara yang curang, segala hal di halalkan demi memenangkan Golkar pada
Pemilu Orde Baru. Strategi yang digunakan Golkar dalam memenangkan Pemilu
pada masa Orde Baru tidak lepas dari dukungan berbagai pihak seperti,
Tentara/Militer (ABRI), birokrasi, organisasi massa, dan berbagai kebijakan yang
dibuat oleh pemerintah.
Pemerintahan Orde Baru yang dikendalikan oleh Soeharto memberi peran
sosial politik yang cukup besar bagi ABRI terutama Angkatan Darat. Hal tersebut
dilakukan dengan cara menyusun kekuatan bangsa dan negara untuk mencapai
stabilitas nasional dalam upaya mendukung pertumbuhan ekonomi nasional.
Menurut Ali Moertopo (1981), Dwi Fungsi ABRI yang terjadi pada masa Orde
Baru, merupakan balance yang dinamis dalam partnership sipil ABRI. Artinya
hubungan antara sipil dan ABRI harus dilaksanakan dengan penuh tanggung
Jawab agar menciptakan dan menjaga keseimbangan dan ketepatan sesuai dengan
keadaan dan kebutuhan.
Orde Baru sebagai pemerintahan yang kuat, baik secara politik maupun
ekonomi, sebenarnya tak hanya dilakukan melalui kebijakan-kebijakan saja.
Pidato-pidato kenegaraan Soeharto selama memimpin Orde Baru besar
pengaruhnya terhadap citra yang berusaha dibentuk untuk meraih simpati rakyat.
Dalam menciptakan stabilitas kekuasaannya, Presiden Soeharto dan orang-orang
terdekatnya tak hanya mengandalkan legitimasi MPRS, tentara dan GOLKAR
saja. Orde Baru jelas membutuhkan dukungan berbagai alat negara, baik yang
bersifat konstitusional atau punyang sifatnya ekstra konstitusional untuk
melancarkan agenda politiknya .
Pada masa itu Ali Moertopo menegaskan bahwa stabilitas politik dan
keamanan nasional merupakan syarat utama bagi kelangsungan pembangunan.
Schiller (dalam Santoso, 1993,hlm. 91) menyatakan Soeharto melukiskan
stabilitas ketertiban dan keamanan sebagai objek dari pembangunan itu sendiri
khususnya untuk membuat kita semua merasa aman secara fisik dan mempunyai
ketenangan jiwa bebas ancaman dari luar dan bebas dari kekhawatiran gangguan
dari dalam
1. Reformasi Birokrasi
Persoalan utama Orde Baru adalah Bagaimana menjalankan program-
program pemerintah secara efektif tanpa diganggu birokrasi. Orde Baru ingin
menggunakan birokrasi negara sebagai premium mobile dari program
pembangunan. Pada kenyataannya, birokrasi tersebut terutama pada masa
demokrasi liberal dan terpimpin dijadikan sebagai ajang adu pengaruh antara
berbagai kekuatan politik. Posisi strategis dalam jajaran birokrasi telah
dimanfaatkan oleh partai-partai politik untuk kepentingan politik golongan
masing-masing. Di satu sisi mereka loyal kepada pemerintah di sisi lain
mereka dituntut loyalitas kepada parpol yang diwakilinya atau yang
menempatkannya dalam jajaran birokrasi. Akibatnya terdapat
penyalahgunaan kedudukan dan kekuasaan untuk kepentingan suatu partai
politik dan merajalelanya korupsi. Analisisnya keanggotan dalam suatu
partai politik dijadikan sebagai ukuran lebih menentukan dibandingkan
faktor-faktor kemampuan, keahlian, dan pengalaman kerja. Tidak heran
apabila pemerintahan orde baru kemudian dianggapan bahwa partai politik
merupakan sumber konflik dan ketidakstabilan politik.
1. Golongan nasionalis
2. Golongan spirituil
3. Golongan Karya
PNI, IPKI, adalah yang pertama memberikan dukungan dan diikuti NU.
Namun partai Katolik dan Parkindo menolak di kelompokkan ke dalam kelompok
spiritual. Pada tanggal 4 Maret 1970 terbentuk kelompok nasionalis yang
merupakan gabungan dari : PNI, IPKI, Murba, Parkindo, dan Partai Katolik. Pada
tanggal 14 Maret 1970 terbentuk kelompok spritual yang terdiri dari
NU,PSII,Perti. Kelompok pertama diberi nama kelompok demokrasi
pembangunan kelompok kedua diberi nama kelompok persatuan. Di dalam
pemilu 1971 ditegaskan tentang penyederhanakan partai politik, dimana hanya
ada OPP dalam pemilu 1977.
2. Golongan Karya
SIMPULAN
A. Simpulan
Golkar dapat dikatakan dengan organisasi politik yang berjaya pada masa
Orde Baru. Kejayaan tersebut terlihat dari kemenangan-kemenangan Golkar pada
setiap Pemilu Orde Baru. Kemenangan yang diperoleh Golkar merupakan mesin
politik Orde Baru, dikarenakan adanya dukungan dari aparat pemerintah (pegawai
negeri sipil) dan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) khususnya
Angkatan Darat.. Jelas sekali bahwa hal ini ternyata tak luput dari peranan tokoh
yang berkuasa pada masa pemerintahan Orde Baru yakni Soeharto. ABRI serta
Golkar seolah digandeng dan dijadikan sebagai kendaraan politik utama dalam
membangun kehidupan politik nasional pada masa Orde Baru.
DAFTAR PUSTAKA
Bachtiar, FR. (2014). Pemilu Indonesia: Kiblat Negara Demokrasi Dari Berbagai
Refresentasi. Jurnal Politik Profetik Vol. 3 No. 1 [Online] diakses di:
http://journal. uin-alauddin. ac. id/index. php/jpp/article/download/817/786
Kristiadi dalam Workshop Pendidikan Politik untuk Pengurus Partai Politik 2004
di Provinsi Riau
2. Tajusi
3. Insani
4. Shanti
5. Miqdad
6. Yuli