Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Masa Orde Baru yang dipimpin Presiden Soeharto mampu berkuasa


selama 32 tahun di Indonesia, terhitung sejak tahun 1967 hingga tahun 1998.
Dalam kurun waktu yang cukup lama tersebut, pemerintah Orde Baru
membuat banyak kebijakan di berbagai bidang yang berpengaruh terhadap
situasi negara, salah satunya politik. Pemerintah Orde Baru berusaha dalam
menciptakan stabilitas politik dan keamanan nasional pasca peristiwa 1965.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Ali Moertopo bahwa stabilitas politik
dan keamanan nasional merupakan syarat utama bagi kelangsungan
pembangunan (Hadi dan Kasuma, 2012, hlm. 40).

Salah satu hal yang menjadi sorotan dalam kebijakan politik di Indonesia
pada masa Orde Baru adalah dilaksanakannya pemilihan umum. Soemantri
(dalam Friyanti, 2005, hlm. 1) mengemukakan bahwa pemilihan umum atau
pemilu merupakan sarana pelaksana azas kedaulatan rakyat berdasarkan
Pancasila dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pemilu
diselenggarakan untuk memilih anggota-anggota DPR, DPRD I, DPRD II,
serta MPR. Pemilu diselenggarakan setiap lima tahun sekali pada waktu yang
bersamaan dan berdasarkan pada Demokrasi Pancasila. Pemungutan suara
diadakan secara Langsung, Umum, Bebas, dan Rahasia (LUBER).

Sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Soemantri, Waridah, dkk.


(2003, hlm. 7) mendefinisikan pemilu sebagai sarana demokrasi untuk
membentuk sistem kekuasaan negara yang berkedaulatan rakyat dan
permusyawaratan perwakilan. Kekuasaan negara yang lahir dengan pemilihan
umum adalah kekuasaan yang lahir dari bawah menurut kehendak rakyat, oleh
rakyat, dan untuk rakyat. Pemilihan umum bertujuan untuk menegakkan
prinsip kedaulatan rakyat.

Pada masa Orde Baru pemilu dilaksanakan sebanyak enam kali, antara
lain tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Namun, seluruh pemilu

1
yang dilaksanakan pada masa ini hanya dimenangkan oleh satu partai politik yang
sama, yakni Golongan Karya (Golkar). Kemenangan yang diperoleh Golkar—
yang merupakan mesin politik Orde Baru—dikarenakan adanya dukungan dari
aparat pemerintah (pegawai negeri sipil) dan Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia (ABRI) khususnya Angkatan Darat. Sehubungan dengan hal tersebut,
makalah ini akan membahas lebih lanjut mengenai bagaimana pemilu yang
dilaksanakan pada masa Orde Baru di Indonesia.

B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang disusun berdasarkan latar belakang di


atas adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana dinamika pemilihan umum pada masa Orde Baru?


2. Apa saja partai politik peserta dan koalisi yang terbentuk pada pemilihan
umum masa Orde Baru?
3. Bagaimana peran Soeharto dalam kemenangan Golongan Karya pada
setiap pemilihan umum masa Orde Baru?
4. Bagaimana Dominasi Sekber Golongan Karya dalam Struktur Politik Orde
Baru?

C. Tujuan Penulisan

Berdasarkan uraian rumusan masalah di atas, tujuan ditulisnya makalah


ini adalah untuk:

1. Mendeskripsikan dinamika yang terjadi dalam pemilihan umum pada masa


Orde Baru.
2. Mengetahui partai-partai politik serta koalisi yang terbentuk pada
pemilihan umum masa Orde Baru.
3. Menganalisis peran Presiden Soeharto dalam kemenangan Golongan
Karya pada setiap pemilu masa Orde Baru.
4. Mendeskripsikan mengapa Sekber Golongan Karya menjadi dominasi
dalam struktur politik pemerintahan Orde Baru

D. Manfaat Penulisan

Adapun manfaat yang diharapkan dari penulisan makalah ini adalah


sebagai berikut:

2
1. Menambah pengetahuan pembaca tentang pemilihan umum pada masa Orde
Baru di Indonesia.
2. Sebagai sumber dan bahan masukan penulis lain yang hendak menulis tentang
pemilihan umum pada masa Orde Baru di Indonesia.

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Dinamika Pemilihan Umum Pada Masa Orde Baru


Pemilihan umum pada masa orde baru menumbuhkan kesan bahwa
demokrasi di Indonesia sudah tercipta. Dilihat dari pemilu yang berlangsung
secara tertib dan dijiwai oleh asas LUBER (Langsung, Umum, Bebas, dan
Rahasia). Pemilu dalam suatu negara yang demokratis mempunyai arti penting :
pertama, merupakan mekanisme seleksi kepemimpinan yang demokratis, kedua,
merupakan mekanisme bagi berlangsungnya sirkulasi elit, dan ketiga, merupakan
persaingan seseorang dalam merebut kekuasan secara damai, etis dan beradab.
Idealnya pemilu harus dapat menjadi jembatan transfer of power dan power
compitition yang berlangsung dalam karangka yang demokratis damai dan
beradab (Kristiadi, 2004).

Namun melihat pada kenyataannya, pemilu ini diarahkan pada pemenangan


pada partai tertentu dan jauh dari kata demokrasi yang seutuhnya. Pada bulan
Februari 1970, pemerintah mengumumkan bahwa semua pegawai pemerintah
harus setia kepada pemerintah. Mereka tidak diizinkan untuk bergabung dengan
partai lain kecuali Golkar (Golongan Karya) (Ricklefs, 2008, hlm. 615). Hal
tersebut tentunya cukup menggambarkan bagaimana kegiatan pemilihan umum
pada masa itu berlangsung.

Pemilihan umum 1971 merupakan pemilu pertama di zaman orde baru di


masa kepemimpinan Presiden Soeharto. Pemerintah Orde Baru bertekad untuk
melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 yang anti komunis dan berfokus pada
pembangunan serta mampu memelihara stabilitas pemerintahan. Salah satu
kebijakan yang dilakukan Soeharto yaitu membubarkan PKI dan menyatakan PKI
sebagai organisasi terlarang. Pada tanggal 30 Maret 1966 sebanyak 62 orang
anggota PKI di DPR-GR dinonaktifkan, demikian juga dengan Partindo yang
dianggap tidak tegas terhadap peristiwa Gestapu sehingga Partindo dilarang
melakukan kegiatan dan tokoh-tokohnya tidak diperbolehkan mengikuti aktivitas
sidang-sidang DPR-GR atau Sidang MPRS (Friyanti, 2005, hlm.62)

4
5
Pengesahan UU No.15 tahun 1969 dan Undang-Undang No.16 tahun 1969
tentang susunan MPR, DPR dan DPRD perihal pemilihan anggota-anggota badan
permusyawaratan memiliki prinsip penting yaitu yang boleh mengikuti pemilihan
umum hanyalah partai politik dan organisasi karya yang mempunyai wakil di
DPR-GR antara lain NU, Parmusi, PSII, Perti, PNI, Parkindo, Partai Katolik,
IPKI, MURBA dan Golongan Karya. Sistem pelaksanaan pemilihan umum adalah
sistem perwakilan berimbang dengan stelsel daftar. Sistem ini sering di sebut
sebagai proporsional representation system atau multy member representation
yang menawarkan beberapa kursi untuk diperebutkan dalam suatu wilayah
pemilihan (Friyanti, 2005, hlm. 62).

Tabel 2.1 sumber : https://www.google.com/url=kpud-banjarkota.go.id/laporan-hasil-


pemilu/Fpemilu-legislatif.

Masuk kepada Pemilu 1971, pada saat ini partai-partai politik berusaha
bertahan pada posisi yang ada, partai Golongan Karya yang didukung oleh ABRI
dan cendekiawan berusaha mendapatkan kepercayaan bagi usaha pembangunan.
Soeharto menggunakan birokrasi pemerintah dalam memenangkan Golkar pada
Pemilu 1971 dengan menggerakkan anggotanya yang terhimpun dalam Korps
Pegawai Republik Indonesia (KORPRI) dan anggota yang ada pada BUMN untuk
mendukung Golkar dalam pemilu (Noer, 2014, hlm.154). Pernyataan tersebut
diperkuat dengan dikeluarkannya peraturan menteri Dalam Negeri No.12 Tahun
1969 mengenai monoloyalitas pegawai negeri pada pemerintah dan kebijaksanaan
tentang larangan pegawai negeri masuk dalam organisasi politik tanpa persetujuan
atasan. Hasil pemilu 1971 yang diikuti 9 partai politik dan Golkar, untuk kursi
DPR menunjukkan hasil sebagai berikut: Golkar memperoleh 236 kursi (62,80%),
PNI 20 kursi (6,36% ), Parkindo 7 kursi (1,34%), dan Partai Katolik memperoleh
3 kursi (1,10%), sementara IP KI dan Partai Murba tidak memperoleh satu kursi
pun di DPR (Puspoyo, 2012, hlm.119).

Tabel 2.2 sumber : http://khoirurroziqin21.blogspot.com/2018/

Pada 2 Mei 1977 diselenggarakan pemilihan umum yang kedua, pemilu kali
ini hanya diikuti oleh 3 partai peserta dan dua diantaranya merupakan fusi dari
beberapa partai yaitu Partai Persatuan Pembangunan yang merupakan fusi dari
partai-partai islam (NU, PERTI, Parmusi, dan PSSI), Golongan Karya, dan Partai
Demokrasi Indonesia yang merupakan fusi dari (PNI, Partai Katolik, Partai
Kristen dan IPKI). Hasil Pemilu 1977 menegaskan keunggulan Golkar dalam
politik Indonesia. Golkar memperoleh 62,11% suara yang berarti turun 0,69% dari
suara yang diperoleh pada Pemilu 1971, PPP berhasil meraih suara lebih banyak
pada Pemilu 1977 (23,29%) dibandingkan dengan Pemilu 1971, dan PDI
mengalami kemerosotan dari Pemilu 1971 menjadi 8,60% pada Pemilu 1977
(Suryadinata, 1992 , hlm.88).

Pada tanggal 4 Mei 1982 pemilihan umum ketiga ini diwarnai dengan
beberapa peristiwa yang menjurus kearah kerusuhan, karena tidak terkendalinya
masa pendukung salah satu organisasi peserta pemilu dan melanggar ketetentuan
yang sudah ditetapkan dan mengacau kampanye organisasi peserta pemilu lain.
Pemilihan umum 1982 memilih 360 anggota dari seluruh jumlah anggota DPR
yang ditetapkan sebesar 460 anggota. Sedangkan 100 anggota lainnya
pengisiannya dilakukan melalui pengangkatan oleh Presiden (Friyanti, 2005, hlm.
73). Pada pemilu kali ini Golongan Karya kembali sukses dalam mengumpulkan
suara tunggal. Pada Pemilu 1982, Golkar berhasil merebut 10 kursi, PPP dan PDI
kehilangan 10 kursi untuk DPR. Golkar meraih 242 kursi (64,34%), PPP
memperoleh 94 kursi (27,7 8%), dan PDI memperoleh 24 kursi (7,88%). Golkar
tampil dengan hasil lebih baik dibandi ng dengan hasil pemilu 1971 (Suryadinata,
1992, hlm.111).

Pemilu 1987 ditandai dengan perkembangan penting dalam melanjutkan


proses pembaharuan politik yang memantapkan Pancasila sebagai satu-satunya
asas. Dengan begitu organisasi politik hanya berasaskan Pancasila dalam
mewujudkan program-program pembangunan Nasional sebagai pengamalan
Pancasila, dan membuat tidak ada lagi masalah yang bersifat ideologis dalam
program, tema, dan materi kampanye. Hasil Pemilu 1987 ditandai dengan
merosotnya PPP yang kehilangan 33 kursi, sedangkan Golkar memperoleh
tambahan 53 kursi DPR, dan PDI memperoleh tambahan menjadi 40 kursi pada
Pemilu 1987(Nisa, 2017, hlm. 147). Namun dalam cara pembagian kursi tidak
berubah dan mengacu pada Pemilu 1982.

Pemilu 1992 dilaksanakan pada tanggal 9 Juni 1992 dengan tujuan untuk
memilih wakil-wakil yang akan menduduki lembaga-lembaga perwakilan rakyat
1992-1997. Golkar memperoleh 73,16% suara pada Pemilu 1987, dalam Pemilu
1992 turun menjadi 68,10% suara atau merosot 5,06%. Perolehan kursi di DPR,
Golkar memperoleh 282 kursi, itu artinya kehilangan 17 kursi. PPP memperoleh
tambahan 1 kursi sehingga menjadi 62 kursi pada pemilu 1992, sedangkan PDI
berhasil meningkatkan perolehan kursinya 16 kursi dibandingkan Pemilu 1987
(Puspoyo, 2012, hlm. 223). Dibandingkan dengan Pemilu 1987 Golkar mengalami
penurunan, meskipun tetap Golkar yang memenangkan Pemilu 1992.
Tabel 2.3 sumber : http://kpud-banjarkota.go.id/2000/01/pemilu-legislatif-1992/

Pemilu 1997, menggunakan asas sebelumnya yaitu LUBER (langsung,


umum, bebas, dan rahasia). Untuk pemilihan anggota DPR dan DPRD dipakai
sistem perwakilan berimbang dengan stelsel daftar. Dengan demikian maka
besarnya kekuatan perwakilan organisasi dalam DPR dan DPRD adalah sejauh
mungkin berimbang dengan besarnya dukungan dalam masyarakat pemilih
(Friyanti, 2005, hlm. 80). Penggunaan sistem dengan begitu dapat
menggambarkan adanya pengakuan stelsel organisasi yang ikut dalam
ketatanegaraan. Perolehan suara Golkar pada Pemilu 1997 mencapai 74,51%. Ini
adalah jumlah yang paling tinggi sepanjang Pemilu Orde Baru, naik 6,41%
dibanding Pemilu 1992. Sedangkan jumlah kursinya menjadi 325 kursi,
bertambah 43 kursi dibanding pemilu sebelumnya. Sementara PPP meningkat
5,43% menjadi 22,43% dan PDI paling terpuruk akibat konflik internal yang tak
kunjung usai (Puspoyo, 2012: 256). Perolehan kursi PPP dalam Pemilu 1997
adalah 89 kursi, meningkat 27 kursi dibandingkan Pemilu 1992. Sementara PDI
suaranya merosot sebanyak 11,84% menjadi 3,06% (Nisa, 2017, hlm. 148).

B. Partai-Partai Politik Peserta Pemilihan Umum Pada Masa Orde Baru


Dunia Partai politik pertama-tama lahir di negara-negara Eropa Barat
bersamaan dengan gagasan bahwa rakyat merupakan fakta yang menentukan
dalam proses politik. Dalam hal ini partai politik berperan sebagai penghubung
antara rakyat di satu pihak dan pemerintah di lain pihak. Maka dalam
perkembangan selanjutnya partai politik dianggap sebagai menifestasi dari suatu
sistem politik yang demokratis serta mewakili aspirasi rakyat. Di Indonesia
sendiri seiring dengan berjalannya pemerintahan yang demokratis, banyak
bermunculan partai-partai politik. Jika pada pemilihan umum pertama yang
dilaksanakan dalam sejarah Indonesia pada tahun 1955 diikuti oleh 172 partai
politik, berbeda halnya dengan pemilihan umum yang dilaksanakan pada tahun
1971, pemilu pertama pada masa Orde Baru, yang hanya diikuti oleh 9 partai
politik dan 1 Golongan Karya.

Adapun untuk partai politik yang ikut serta dalam pemilihan umum yang
diselenggarakan pada tahun 1971 yaitu Partai Katolik, Golongan Karya, Partai
Syarikat Islam Indonesia, Nahdlatul Ulama, Partai Muslimin Indonesia, Partai
Kristen Indonesia, Partai Musyawarah Rakyat Banyak, Partai Nasional Indonesia,
Partai Islam Perti, dan Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia.

1. Partai Katolik

Partai Katolik yang lahir kembali pada tanggal 12 Desember 1945 dengan
nama Partai Katolik Republik Indonesia, sebelumnya merupakan Pakempalan
Politik Katolik Djawi (PPKD). Namun baru secara resmi berdiri pada tahun 1923
di Yogyakarta yang diprakarsai oleh umat Katolik Jawa yang dipimpin oleh F.S.
Harijadi. Pada masa penjajahan Belanda, PPKD karena kebutuhan siasat politik,
bergabung dengan Indische Katholieke Partij.

Partai Katolik ini merupakan hasil fusi dari berbagai partai katolik yang
sudah ada sebelumnya dan dideklarasikan pada kongres pertamanya pada 12
Desember 1949, yaitu Partai Katolik Republik Indonesia dari Surakarta, Partai
Katolik Rakyat Indonesia dari Makassar dan Flores, Partai Katolik Indonesia
Timur (Parkit) dari Timor, Persatuan Politik Katolik Flores (Perkokaf),
Permusyawaratan Majelis Katolik (Permakat) dari Manado, dan Partai Katolik
Indonesia Kalimantan (Parkika).

2. Golongan Karya

Golongan Karya merupakan sebuah partai politik di Indonesia yang bermula


berdirinya Sekber Golkar pada masa-masa akhir pemerintahan Soekarno, lebih
tepatnya pada 20 Oktober 1964. Didirikan oleh Angkatan Darat untuk menandingi
Partai Komunis Indonesia dalam kehidupan politik. Dalam perkembangannya,
Sekber Golkar berubah menjadi Golongan Karya yang menjadi salah satu
organisasi peserta pemilu. Pada tanggal 20 Oktober 1964 didirikanlah Sekertariat
Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar) dengan Ketua Umum pertamanya
yaitu Djuhartono, dengan pangkat terakhirnya di militer brigadier jenderal.

Dalam Pemilu 1971, yang merupakan pemilu pertama yang diselenggarakan


pada masa Orde Baru, salah satu pesertanya adalah Golongan Karya dan tampil
sebagai pemenang. Kemenangan ini diulangi pada pemilu-pemilu pemerintahan
Orde Baru lainnya, yaitu Pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Kejadian ini
dapat dimungkinkan, karena pemerintahan Soeharto membuat kebijakan-
kebijakan yang sangat mendukung kemenangan Golkar, seperti peraturan
monoloyalitas PNS, dan sebagainya.

3. Partai Syarikat Islam Indonesia

Partai Syarikat Islam Indonesia merupakan salah satu partai politik yang
pernah ada di Indonesia yang berideologi Islam. Dilihat dari sejarahnya, partai ini
merupakan partai yang berasal dari Serikat Dagang Islam (SDI) yang didirikan di
Solo pada tahun 1905. Partai Syarikat Islam ini juga merupakan salah satu partai
politik yang ikut serta dalam pemilu pada tahun 1971. Dalam perkembangannya,
partai ini berfusi dalam Partai Persatuan Pembangunan.

Dalam Ricklefs (2010, hlm. 164-167) bahwa Sarekat Islam adalah organisasi
politik pra-perang di Hindia Belanda saat itu. Setelah perpecahan yang disebabkan
oleh meningkatnya pengaruh Partai Komunis Indonesia (PKI), pada konferensi
organisasi 1923, Tjokroaminoto mendirikan Partai Sarekat Islam untuk
menyingkirkan organisasi PKI. PSI mendukung upaya Soekarno untuk
menyatukan organisasi-organisasi politik Indonesia setelah pembentukan Partai
Nasional Indonesia (PNI) pada tahun 1927. PSI mengubah namanya menjadi
Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) pada tahun 1929 dan dalam beberapa tahun
ke depan menyerang nasionalisme pihak lain, mengklaim bahwa nasionalisme
datang dari manusia dan bukan dari Tuhan.

4. Nahdlatul Ulama

Nahdlatul Ulama atau juga Kebangkitan Cendekiawan Islam merupakan


organisasi Islam terbesar di Indonesia yang berdiri pada 31 Januari 1926.
Nahdlatul Ulama sebagaimana organisasi-organisasi bumi putera lainnya baik
yang bersifat sosial, budaya, maupun keagamaan yang berdiri pada masa
penjajahan, pada dasarnya merupakan sebuah bentuk perlawanan terhadap bangsa
penjajah.

Pertama kali NU terjun pada politik praktis pada saat menyatakan


memisahkan diri dengan Masyumi pada tahun 1952 dan kemudian
mengikuti pemilu 1955. NU cukup berhasil dengan meraih 45 kursi DPR dan 91
kursi Konstituante. Pada masa Demokrasi Terpimpin NU dikenal sebagai partai
yang mendukung Soekarno, dan bergabung dalam NASAKOM (Nasionalis,
Agama, Komunis). Nasionalis diwakili Partai Nasional Indonesia (PNI), Agama
Partai Nahdhatul Ulama dan Partai Komunis Indonesia (PKI). NU kemudian
menggabungkan diri dengan Partai Persatuan Pembangunan pada tanggal 5
Januari 1973 atas desakan penguasa Orde Baru mengikuti pemilu 1977 dan 1982
bersama PPP. Pada muktamar NU di Situbondo, NU menyatakan diri untuk
'Kembali ke Khittah 1926' yaitu untuk tidak berpolitik praktis lagi.

5. Partai Muslimin Indonesia

Partai Muslimin Indonesia atau Parmusi adalah sebuah partai politik


di Indonesia. Partai tersebut didirikan pada 1968, meraih peringkat empat
dalam pemilihan umum legislatif Indonesia 1971, memperoleh 5.36% suara dan
24 kursi dalam badan legislatif. Pada 1973, partai tersebut diperintahkan oleh
rezim Orde Baru untuk menyatu dengan partai Islamis lainnya dan bergabung
dalam Partai Persatuan Pembangunan.

6. Partai Kristen Indonesia

Partai Kristen Indonesia merupakan salah satu partai yang ikut serta pada
pemilu 1971, partai ini didirikan setelah diadakannya pertemuan para tokoh
Kristen baik Protestan dan Katolik untuk menyepakati didirikannya suatu partai
bagi seluruh umat Kristen di Indonesia. Partai ini secara resmi didirikan pada 9
November 1945 setelah diadakannya pertemuan para tokoh Kristen di Gereja
Kristen Pasundan. Namun pada 1973 partai ini berfusi dalam Partai Demokrasi
Indonesia.

7. Partai Musyawarah Rakyat Banyak


Partai Murba ini didirikan pada 7 November 1948 oleh Tan Malaka, Chaerul
Saleh, Sukarni dan Adam Malik. Sempat dibekukan pada September 1965 namun
setahun kemudian direhabilitasi oleh pemerintah pada masa peralihan dari
Soekarno ke Soeharto. Partai Murba mengikuti pemilu yang diselenggarakan pada
1971, namun pada pemilu yang diadakan selanjutnya yaitu pemilu 1977 partai
Murba dileburkan menjadi Partai Demokrasi Indonesia.

8. Partai Nasional Indonesia

Partai Nasional Indonesia merupakan partai tertua di Indonesia yang


didirikan pada 4 Juli 1927. Partai ini didirikan di Bandung oleh tokoh nasional Dr.
Tjipto Mangunkusumo, Mr. Sartono, Mr Iskaq Tjokrohadisuryo dan Mr Sunaryo
dengan nama Perserikatan Nasional Indonesia, yang setahun kemudian berganti
nama menjadi Partai Nasional Indonesia. PNI memenangkan pemilu yang
diselenggarakan untuk pertama kalinya dalam sejarah Indonesia yaitu pemilu pada
tahun 1955 dan ikut serta pula pada pemilu yang diselenggarakan pertama kalinya
pada masa Orde Baru, yaitu pemilu tahun 1971. Namun pada 1973, PNI
bergabung ke dalam Partai Demokrasi Indonesia.

9. Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia

Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) merupakan


kelanjutan IPKI yang dibentuk sejak 20 Mei 1954. Para tokoh pemrakarsa di
antaranya adalah Kolonel AH Nasution, Kolonel Gatot Subroto, Kolonel Aziz
Saleh, dan lainnya. Di awal Orde Baru, IPKI sebenarnya lebih dekat hubungan
politiknya dengan Golkar. Namun, sewaktu terjadi fusi parpol tahun 1973, IPKI
bergabung dengan PDI. Dalam kongres tahun 1994, kemudian IPKI
menjadi ormas nonafiliasi. Menjelang pemilu 1997, IPKI melakukan konsolidasi
dan memberikan aspirasinya ke Golkar.

10. Partai Demokrasi Indonesia

Partai Demokrasi Indonesia (PDI) merupakan salah satu partai politik di


Indonesia yang didirikan pada 10 Januari 1973. Partai ini merupakan hasil dari
fusi atau penggabungan dari beberapa partai politik seperti PNI, Partai Murba,
IPKI, Parkindo, dan juga Partai Katolik, dengan massa terbesar berasal dari PNI.
Partai Demokrasi Indonesia ini mengikuti pemilu pertamanya pada tahun 1977
pada masa Orde Baru namun tidak memberikan hasil yang terlalu baik.

11. Partai Persatuan Pembangunan


Partai Persatuan Pembangunan (PPP) adalah salah satu dari sekian banyaknya
partai politik di Indonesia. Pada saat dideklarasikannya partai ini pada 5 Januari
1973, partai ini merupakan hasil fusi, sama seperti Partai Demokrasi Indonesia,
dari empat partai keagamaan yaitu Nahdlatul Ulama, Partai Syarikat Islam
Indonesia, Persatuan Islamiyah (Perti), dan Partai Muslimin Indonesia.
Penggabungan empat partai keagamaan tersebut bertujuan untuk penyederhanaan
sistem kepartaian di Indonesia dalam menghadapi pemilihan umum pada masa
Orde Baru
Pada PEMILU 1977 dan setelahnya hingga PEMILU pada masa ORBA
terakhir, yaitu PEMILU tahun 1997, dilakukan peleburan partai-partai. Peleburan
partai-partai ini bukan tanpa alasan, pemerintahan saat itu yang didominasi oleh
Golkar ingin terus menguasai pemerintahan, Golkar berpandangan jika terjadi
peleburan, partai-partai yang memiliki visi yang berbeda akan memunculkan
konflik sehingga akan terjadi konflik internal dalam partai pasrtai tersebut. Benar
saja, dalam PEMILU selanjutnya, Golkar tetap menjadi pemenang.

Partai-partai yang dileburkan diantaranya NU, PERTI, Parmusi, dan PSSI


yang menjadi Partai Persatuan Pembangunan, partai ini adalah partai yang
berlandaskan ajaran agama islam, selanjutnya Partai Demokrasi Indonesia yang
merupakan peleburan dari PNI, Partai Katolik, Partai Kristen dan IPKI. Sementara
Golkar yang menolak dinyatakan sebagai Partai, tetap berdiri sendiri sebagai
Sekber Golkar.

C. Peran Soeharto dalam Kemenangan Golongan Karya di Pemilu Pada


Masa Orde Baru

Maret 1968 MPRS secara resmi mengangkat Soeharto sebagai Presiden


Republik Indonesia (Hanazaki, 1998, hlm.55). Perubahan kondisi politik di
Indonesia pasca peristiwa 1965 ditandai munculnya sosok Soeharto. Kemunculan
seorang Soeharto pada panggung politik sebagai pemimpin Orde Baru mampu
membuat perubahan yang sangat besar bagi kondisi Indonesia pasca lengsernya
Soekarno. Orde Baru mampu mendominasi percaturan politik nasional, meski
dengan berbagai cara dan proses yang cukup panjang. Pada periode 1966 hingga
1980, merupakan tahap-tahap bagi Orde Baru untuk membuat pemerintahannya.
(Puspoyo, 2012, hlm. 46), bisa dikatakan bahwa Orde Baru dapat membuat rakyat
patuh dan menerima segala hal yang sudah digariskan pemerintah. Pada dasarnya
rakyat dibuat untuk mengerti dan berpartisipasi untuk menjalankan program
pembangunan yang sudah disusun pemerintah. Sedangkan untuk masalah politik
rakyat takperlu mengerti, dan biarkan pemerintah yang mengurusi masalah
tersebut. Singkat kata wacana pembangunan yang dibuat Orde Baru sebenarnya
adalah bentuk isolasi politik penguasa terhadap rakyat. Kondisi perpolitikan pada
masa-masa awal Orde Baru berkuasa bisa dikatakan masih belum stabil. Pada
periode tersebut Orde Baru disibukkan untuk menghilangkan citra Bung Karno
dan Orde Lama. Manuver politik yang dilakukan oleh Orde Baru lebih terkesan.

Penyelenggaraan Pemilu selama Orde Baru menimbulkan kesan bahwa


demokrasi di Indonesia sudah tercipta. Apalagi pemilu berlangsung secara tertib
dan dijiwai oleh asas LUBER (Langsung, Umum, Bebas, dan Rahasia).
Kenyataannya, pemilu diarahkan pada kemenangan peserta tertentu yaitu
Golongan Karya (Golkar) yang selalu memenangkan Pemilu selama Orde Baru.
Pemilu hanya simbol untuk dikatakan demokratis saja, padahal nilai-nilai pemilu
jauh dari jujur, terbuka dan demokratis (Irsyam, 1985. hlm. 35). Hasil pemilu pada
masa Orde baru, Golkar selalu menjadi pemenang, sedangkan PPP dan PDI
menjadi pelengkap atau sekedar ornamen.

Golkar dapat dikatakan dengan organisasi politik yang berjaya pada masa
Orde Baru. Kejayaan tersebut terlihat dari kemenangan-kemenangan Golkar pada
setiap Pemilu Orde Baru. Akan tetapi, kejayaan-kejayaan tersebut dicapai dengan
cara-cara yang curang, segala hal di halalkan demi memenangkan Golkar pada
Pemilu Orde Baru. Strategi yang digunakan Golkar dalam memenangkan Pemilu
pada masa Orde Baru tidak lepas dari dukungan berbagai pihak seperti,
Tentara/Militer (ABRI), birokrasi, organisasi massa, dan berbagai kebijakan yang
dibuat oleh pemerintah.
Pemerintahan Orde Baru yang dikendalikan oleh Soeharto memberi peran
sosial politik yang cukup besar bagi ABRI terutama Angkatan Darat. Hal tersebut
dilakukan dengan cara menyusun kekuatan bangsa dan negara untuk mencapai
stabilitas nasional dalam upaya mendukung pertumbuhan ekonomi nasional.
Menurut Ali Moertopo (1981), Dwi Fungsi ABRI yang terjadi pada masa Orde
Baru, merupakan balance yang dinamis dalam partnership sipil ABRI. Artinya
hubungan antara sipil dan ABRI harus dilaksanakan dengan penuh tanggung
Jawab agar menciptakan dan menjaga keseimbangan dan ketepatan sesuai dengan
keadaan dan kebutuhan.

Tak cukup dengan menggandeng ABRI dan menggunakan Golkar sebagai


kendaraan politik utama dalam membangun kehidupan politik nasional. Presiden
Soeharto juga mengambil langkah untuk merubah tata tertib (tatib), yang
menempatkan DPR dan MPR sebagai institusi politik yang sepenuhnya berada
dibawah pengawasannya. Hak-hak yang dimiliki Soeharto sebagai kepala negara
diantaranya adalah menunjuk seperlima anggota DPR dan tiga perlima anggota
MPR. Tata tertib yang mengenai pembagian kursi DPR dan MPR tersebut sangat
membatasi peran politik dari PDI dan PPP, serta hanya menguntungkan Golkar
yang tentu saja menjamin berlanjutnya dominasi pemerintahan Orde Baru yang
mengabaikan pandangan mayoritas public (Hisyam, 2003, hlm.247)

Orde Baru sebagai pemerintahan yang kuat, baik secara politik maupun
ekonomi, sebenarnya tak hanya dilakukan melalui kebijakan-kebijakan saja.
Pidato-pidato kenegaraan Soeharto selama memimpin Orde Baru besar
pengaruhnya terhadap citra yang berusaha dibentuk untuk meraih simpati rakyat.
Dalam menciptakan stabilitas kekuasaannya, Presiden Soeharto dan orang-orang
terdekatnya tak hanya mengandalkan legitimasi MPRS, tentara dan GOLKAR
saja. Orde Baru jelas membutuhkan dukungan berbagai alat negara, baik yang
bersifat konstitusional atau punyang sifatnya ekstra konstitusional untuk
melancarkan agenda politiknya .

Untuk itulah kemudian Presiden Soeharto membentuk Asisten Pribadi


(ASPRI), serta menjalankan Operasi Khusus (Opsus) untuk melakukan apa saja
demi membangun konsolidasi rezim yang baru. Opsus juga sengaja dirancang un
tuk menginfiltr asi partai politik , menjalan kan kebijakan “divide et impera” dan
menjalankan praktek-praktek untuk memaksakan kehendak lainnya agar semua
agenda Orde Baru dapat terlaksana tanpa hambatan yang berarti . Operasit ersebut
terus berlangsung sangat rahasia hingga 1980-an, ketika kekuasaan Soeharto dan
Orde Baru telah berdiri kokoh dan kuat (Muhamad Hisyam, 2003, hlm.117)

D. Sekber Golongan Karya dalam Dominasi Struktur Politik Pemerintahan


Orde Baru
Menciptakan stabilitas politik elite-elite orde baru telah menyadari bahwa
pembangunan ekonomi masyarakat dan adanya stabilitas politik adalah dua
macam faktor yang memiliki keterkaitan. Pada seminar Angkatan Darat II
terdapat penegasan bahwa pembangunan ekonomi dan stabilitas politik memiliki
keterkaitan seperti yang tersirat dalam rumusan tentang hakikat dan ciri-ciri orde
baru antara lain:

1. Orde Baru menghendaki pemikiran yang lebih realistis dan pragmatis


walaupun tidak meninggalkan idealisme perjuangan
2. Orde Baru menginginkan tatanan susunan yang stabil berdasarkan
kelembagaan dan bukan Tata susunan yang dipengaruhi oleh oknum-oknum
yang mengembangkan budaya individu cara mengembangkan kultur
individu.
3. Orde Baru menghendaki pemerintahan yang kuat
4. Orde Baru mendaki penguatan ekonomi dan sosial dalam negeri
5. Menu baru adalah suatu tatanan kehidupan di segala bidang yang
berlandaskan Pancasila dan undang-undang Dasar 1945

Pada masa itu Ali Moertopo menegaskan bahwa stabilitas politik dan
keamanan nasional merupakan syarat utama bagi kelangsungan pembangunan.
Schiller (dalam Santoso, 1993,hlm. 91) menyatakan Soeharto melukiskan
stabilitas ketertiban dan keamanan sebagai objek dari pembangunan itu sendiri
khususnya untuk membuat kita semua merasa aman secara fisik dan mempunyai
ketenangan jiwa bebas ancaman dari luar dan bebas dari kekhawatiran gangguan
dari dalam

1. Reformasi Birokrasi
Persoalan utama Orde Baru adalah Bagaimana menjalankan program-
program pemerintah secara efektif tanpa diganggu birokrasi. Orde Baru ingin
menggunakan birokrasi negara sebagai premium mobile dari program
pembangunan. Pada kenyataannya, birokrasi tersebut terutama pada masa
demokrasi liberal dan terpimpin dijadikan sebagai ajang adu pengaruh antara
berbagai kekuatan politik. Posisi strategis dalam jajaran birokrasi telah
dimanfaatkan oleh partai-partai politik untuk kepentingan politik golongan
masing-masing. Di satu sisi mereka loyal kepada pemerintah di sisi lain
mereka dituntut loyalitas kepada parpol yang diwakilinya atau yang
menempatkannya dalam jajaran birokrasi. Akibatnya terdapat
penyalahgunaan kedudukan dan kekuasaan untuk kepentingan suatu partai
politik dan merajalelanya korupsi. Analisisnya keanggotan dalam suatu
partai politik dijadikan sebagai ukuran lebih menentukan dibandingkan
faktor-faktor kemampuan, keahlian, dan pengalaman kerja. Tidak heran
apabila pemerintahan orde baru kemudian dianggapan bahwa partai politik
merupakan sumber konflik dan ketidakstabilan politik.

Dengan keikutsertaan partai politik dalam pemerintahan dianggap sebagai


masa lalu yang buruk yang tidak perlu diulang lagi. Langkah pertama yang
ditempuh pemerintah Orde Baru untuk membuat jarak antara parpol dengan
birokrasi adalh sebagai berikut:

a. Mengeluarkan Permendagri Nomor 12 tahun 1969 atau terkenal dengan


sebutan Permen 12. Yang bertujuan untuk menjauhkan pegawai negeri
dari urusan partai politik.
b. Mengeluarkan PP Nomor 6 Tahun 1970, yang melarang semua pegawai
negeri termasuk anggota ABRI terlibat dalam kegiatan-kegiatan partai dan
menuntut adanya loyalitas tunggal (monoloyalitas) terhadap pemerintah.
c. Dikeluarkannya Kepres Nomor 82 tahun 1971 sebagai pelaksanaan dari
TAP MPRS Nomor XLI/MRS/ 1968 menyatakan Salah satu tugas pokok
Kabinet Pembangunan adalah menertibkan aparatur negara (birokrasi).
i. Mekanisme tersebut ditujukan untuk membersihkan unsur orde lama
dari pemerintahan diikuti dengan pengangkatan orang yang berada di
sekitar Jenderal Soeharto. Para perwira ABRImenganggap bahwa
perlunya pengendalian terhadap politik dan ekonomi untuk mencapai
keberhasilan Orde Baru.
ii. Melihat bahwa masyarakat tersusun atas berbagai kelompok
kepentingan maka dibentuklah golongan karya atau Golkar untuk
mengumpulkan kepentingan tersebut.
d. Terbentuknya Golkar berarti dimilikinya legitimasi bagi ABRI juga
birokrasi dalam politik melalui Pemilu.

2. Sekber Golkar Sebagai Alat Pembaharuan

Setelah dibubarkannya PKI dan jatuhnya Soekarno maka dituntut


melakukan pemilu untuk mengisi kekosongan, NU dan PNI. Dari tuntutan itu
dihasilkan lah resolusi dalam bentuk tabel MPRS yang menyerukan agar Pemilu
dapat dilakukan selambat-lambatnya sebelum tanggal 5 Juli 1968. Orde Baru
ingin menggunakan kerangka konstitusional dalam merombak politik Indonesia.
Dengan kata lain pemilu harus memberikan komitmen kepada pembaruan
ekonomi yaitu kelompok inti polisi Orde Baru. Strategi baru untuk mendirikan
sebuah fraksi baru dalam Dewan Perwakilan Rakyat yang terdiri dari politisi non
partai yang mempunyai tujuan terhadap program pembangunan. Pilihan dari
strategi ini tidak lain adalah dengan mengkooptasi sekber Golkar. Yang pada
akhirnya karena kebutuhan kelompok perwakilan di DPR, mendorong
pemerintahan orde baru mengkooptasi sekber Golkar dan menempatkan orang-
orang sendiri dalam barisan kepemimpinan organisasi itu. Dengan adanya
kesepakatan pengunduran Pemilu sampai tahun 1971 maka perwira-perwira
tersebut mendapat kesempatan untuk merombak organisasi federasi tersebut.
Langkah pertama adalah pertemuan antara pemimpin sekber Golkar dengan
seorang Perwira Hankam Tanggal 22 Januari 1969. Usaha konsolidasi terus
berjalan, dan akhirnya pada tahun 1969 melalui keputusan nomor 107 tahun 1969
pengurus pusat sekber Golkar memberikan mandat kepada ketua umum untuk
melaksanakan konsolidasi berikutnya dan berhasil melakukan rekruitasi sekber
Golkar pada Oktober 1969. Kelompok intelektual sipil dan Perwira militer
mendirikan Bapilu (Badan Pengendali Pemilu) guna memperluas pengaruh
organisasi itu ke seluruh negeri.
Sofian Effendi (dalam Santoso, 1993,hlm. 99) menyatakan bahwa struktur
lembaga yang didominasi oleh Golkar yang tidak terpisahkan dari birokrasi serta
ABRI yang otomatis menerima jatah 100 Kursi pada DPR, telah menyebabkan
pengaruh yang kuat pemerintah terhadap lembaga legislatif. Dengan kemenangan
golkar bisa berarti menjadi semakin kuatnya pengaruh birokrasi di bidang politik.
Dengan dominasi ini maka parpol semakin lemah Dan pada gilirannya membuat
badan legislatif lebih terkendali.

3. Penggolongan partai-partai politik

Kemenangan Golkar pada pemilu 1971 menampilkan kekuatan politik


baru. Sebelum pemilihan umum 1971, rencana untuk mengelompokkan partai-
partai politik sudah ada yaitu tepatnya pada tanggal 7 Februari 1970. Pada
tanggal 27 Februari 1970 Presiden Soeharto di depan pemimpin 9 partai politik
dan satu golongan Karya, Presiden memberikan saran untuk mengelompokkan
partai-partai politik dengan tujuan utama untuk mempermudah proses kampanye.

Pengelompokan terdiri dari :

1. Golongan nasionalis

2. Golongan spirituil

3. Golongan Karya

PNI, IPKI, adalah yang pertama memberikan dukungan dan diikuti NU.
Namun partai Katolik dan Parkindo menolak di kelompokkan ke dalam kelompok
spiritual. Pada tanggal 4 Maret 1970 terbentuk kelompok nasionalis yang
merupakan gabungan dari : PNI, IPKI, Murba, Parkindo, dan Partai Katolik. Pada
tanggal 14 Maret 1970 terbentuk kelompok spritual yang terdiri dari
NU,PSII,Perti. Kelompok pertama diberi nama kelompok demokrasi
pembangunan kelompok kedua diberi nama kelompok persatuan. Di dalam
pemilu 1971 ditegaskan tentang penyederhanakan partai politik, dimana hanya
ada OPP dalam pemilu 1977.

Kelompok nasionalis yang kemudian disebut kelompok demokrasi


pembangunan menjadi Partai Demokrasi Indonesia pada 10 Januari 1973.
Sedangkan kelompok persatuan pada tanggal 13 Februari 1973 menjadi Partai
Persatuan Pembangunan. Kemudian terbentuklah tiga sistem partai, yakni :

1. Partai Persatuan Pembangunan

2. Golongan Karya

3. Partai Demokrasi Indonesia

Dengan adanya pengelompokan tersebut diharapkan konflik antar partai


dapat terselesaikan. Namun pada kenyataannya konflik di dalam partai terjadi,
yakni antara PPP dan PDI. Jika diidentifikasi sebelum dikelompokkan memang
unsur-unsur yang terdapat terdapat di setiap partai politik cenderung berbeda.
Sementara kedua partai politik mengalami konflik internal, Golkar yang
merupakan kemitraan dari ABRI semakin kuat yang dibuktikan dengan
kemenangan partai ini dalam pemilihan umum hampir di seluruh daerah
pemilihan Indonesia, pada tahun 1971, 1977, 1982, dan 1987.

Langkah politik lain adalah penetapan Undang-Undang nomor 3 tahun


1975, tentang kepengurusan partai politik dan golkar hanya sampai pada daerah
tingkat dua. Menetapkan undang-undang ini bermaksud untuk membebaskan
rakyat dari pengaruh partai politik dan Golkar.

Dengan demikian walaupun kebijakan masa mengembang diberlakukan,


terus bukan berarti masyarakat pedesaan mengalami depolitisasi sepenuhnya.
Masyarakat pedesaan tetap mengalami proses politisasi yaitu dengan adanya
kepanjangan tangan Golkar di pedesaan yang disebut dengan karakterdes (kader
pergerakan teritorial desa). Dengan demikian penerapan konsep masa
mengembang rangka menciptakan stabilitas politik telah memunculkan dua
kondisi, dimana membersihkan masyarakat dari politik, dan pada saat yang sama
justru birokrasi memekarkan jangkauannya hingga ke pedesaan melalui lembaga-
lembaga perpanjangan tangan, yang berfungsi menjadi sarana partisipasi
masyarakat desa dalam berbagai program pembangunan secara politis lembaga-
lembaga tersebut juga berfungsi sebagai instrumen pengontrol perilaku politik
rakyat.
BAB III

SIMPULAN

A. Simpulan

Orde Baru telah membuat banyak kebijakan diberbagai bidang yang


berpengaruh terhadap situasi negara, salah satunya politik. Pemerintah Orde Baru
berusaha dalam menciptakan stabilitas politik dan keamanan nasional pasca
peristiwa 1965. Dilaksanakannnya Pemilu pada masa ini seolah menjadi kebijakan
politik yang menjadi sorotan kala itu. Pada masa ini pemilu dilaksanakan
sebanyak enam kali, yaitu pada tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997.
Dalam tatibnya, asas LUBER (Langsung, Umum, Bebas, dan Rahasia) menjadi
asas yang dianut kala itu, namun pada kenyataannya, ternyata tidak sepenuhnya
asas tersebut dijalankan. Dalam dinamikanya, pemilu kala itu seolah diarahkan
pada pemenangan partai tertentu dan jauh dari kata demokrasi yang seutuhnya.

Golkar dapat dikatakan dengan organisasi politik yang berjaya pada masa
Orde Baru. Kejayaan tersebut terlihat dari kemenangan-kemenangan Golkar pada
setiap Pemilu Orde Baru. Kemenangan yang diperoleh Golkar merupakan mesin
politik Orde Baru, dikarenakan adanya dukungan dari aparat pemerintah (pegawai
negeri sipil) dan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) khususnya
Angkatan Darat.. Jelas sekali bahwa hal ini ternyata tak luput dari peranan tokoh
yang berkuasa pada masa pemerintahan Orde Baru yakni Soeharto. ABRI serta
Golkar seolah digandeng dan dijadikan sebagai kendaraan politik utama dalam
membangun kehidupan politik nasional pada masa Orde Baru.
DAFTAR PUSTAKA

Bachtiar, FR. (2014). Pemilu Indonesia: Kiblat Negara Demokrasi Dari Berbagai
Refresentasi. Jurnal Politik Profetik Vol. 3 No. 1 [Online] diakses di:
http://journal. uin-alauddin. ac. id/index. php/jpp/article/download/817/786

Budiardjo, M. (1993). Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka.

Friyanti, F. (2005). Pelaksanaan Pemilihan Umum Dalam Sejarah Nasional


Indonesia. Skripsi. Fakultas Ilmu Sosial. Universitas Negeri Semarang:
Semarang.

Hadi, D. W. dan Kasuma, G. (2012). Propaganda Orde Baru 1966-1980.


Verleden, 1 (1), hlm. 40-50.

Hanazaki, Y. 1998. Pers Terjebak. Jakarta:Institut Studi Arus Informasi.


Hisyam, M. (2003). Krisis Masa Kini dan Orde Baru. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.

Irsyam, Mahrus, dkk. (1985). Sejarah Kepartaian di Indonesia. Jakarta:


Depdikbud.

Kristiadi dalam Workshop Pendidikan Politik untuk Pengurus Partai Politik 2004
di Provinsi Riau

Moertopo, A. (1981). Strategi Pembangunan Nasional. Jakarta : CSIS

Nisa, N. (2017). Strategy of Golongan Karya to be Winner in Election Year 1971-


1997. Jurnal Historica. Vol. 1, No. 1.

Noer, H. (2014). ketidaknetralanBirokrasi Indonesia. Jakarta: PT. Elex Media


Komputindo.

Puspoyo, W. (2012). Pemilu Indonesia 1955-2009. Solo: Era Adicitra Intermedia.

Ricklefs, MC. (2010). Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: Serambi.

Santoso, P. (1993). Birokrasi Pemerintahan Orde Baru. Jakarta : Raja Grafindo


Persada
Suryadinata, L. (1992). Golkar dan Militer: Studi tentang Budaya Politik. Jakarta:
LP3E S.

Waridah, S. , dkk. (2003). Sejarah Nasional dan Umum. Yogyakarta: Bumi


Aksara.
PERTANYAAN

1. Syifa Senj .S.

Langkah apa yang digunakan oleh Soeharto saat menghadapi


kampanye brutal 1997? Dan taktik apa yang dilakukan Soeharto
unuk meninggikan suara Golkar pada pemilu saat itu

2. Tajusi

Adakah janji kampanye soeharto yang membahas kemanusiaan


dan sosial

3. Insani

Demokrasi seperti apa yang diinginkan Soeharto?

4. Shanti

Mengapa ada pebedaan jarak pemilu pada tahun 1971-1977?


Seharusnya jarak pemilu hanya 5 tahun?

5. Miqdad

Apa landasan konstitusional dilakukannya fusi partai?

6. Yuli

Taktik apa yang dilakukan oleh Soeharto untuk mengalahkan Ali


Sadikin dalam pemilu? Dan mengapa terjadi penurunan suara
Golkar pada Pemilu?

Anda mungkin juga menyukai