Anda di halaman 1dari 8

Makalah Sejarah Idonesia

Biografi Sayuti Melik & Achmad Soebardjo

XI MIPA 2

Disusun oleh :

Alifia Adhisty

Farah Azzahra

Nadiya Amalia

Salma S. Sabitha

SMA INSAN KAMIL BOGOR


2018/2019

Sayuti Melik

Mohamad Ibnu Sayuti atau yang lebih dikenal sebagai Sayuti Melik (lahir
di Sleman, Yogyakarta, 22 November 1908 – meninggal di Jakarta, 27 Februari 1989 pada umur
80 tahun), dicatat dalam sejarah Indonesia sebagai pengetik naskah proklamasi
kemerdekaanRepublik Indonesia. Dia adalah suami dari Soerastri Karma Trimurti, seorang
wartawati dan aktivis perempuan di zaman pergerakan dan zaman setelah kemerdekaan.

Masa Muda
Dilahirkan pada tanggal 22 November 1908, anak dari Abdul Mu'in alias Partoprawito,
seorang bekel jajar atau kepala desa di Sleman, Yogyakarta. Sedangkan ibunya bernama
Sumilah. Pendidikan dimulai dari Sekolah Ongko Loro (Setingkat SD) di desa Srowolan, sampai
kelas IV dan diteruskan sampai mendapat Ijazah di Yogyakarta.

Nasionalisme sudah sejak kecil ditanamkan oleh ayahnya kepada Sayuti kecil. Ketika itu
ayahnya menentang kebijaksanaan pemerintah Belanda yang menggunakan sawahnya untuk
ditanami tembakau.

Ketika belajar di sekolah guru di Solo, 1920, ia belajar nasionalisme dari guru sejarahnya yang
berkebangsaan Belanda, H.A. Zurink. Pada usia belasan tahun itu, ia sudah tertarik membaca
majalah Islam Bergerak pimpinan K.H. Misbach di Kauman, Solo, ulama yang berhaluan kiri.
Ketika itu banyak orang, termasuk tokoh Islam, memandang Marxisme sebagai ideologi
perjuangan untuk menentang penjajahan. Dari Kiai Misbach ia belajar Marxisme. Perkenalannya
yang pertama dengan Bung Karno terjadi di Bandung pada 1926.
Tulisan-tulisannya mengenai politik menyebabkan ia ditahan berkali-kali oleh Belanda. Pada
tahun 1926 ditangkap Belanda karena dituduh membantu PKI dan selanjutnya dibuang ke Boven
Digul (1927-1933). Tahun 1936 ditangkap Inggris, dipenjara di Singapura selama setahun.
Setelah diusir dari wilayah Inggris ditangkap kembali oleh Belanda dan dibawa ke Jakarta,
dimasukkan sel di Gang Tengah (1937-1938).

Sepulangnya dari pembuangan, Sayuti berjumpa dengan SK Trimurti, dan terlibat dalam
berbagai kegiatan pergerakan secara bersama. Akhirnya pada 19 Juli 1938 mereka menikah.

Pada tahun itu juga Mereka mendirikan koran Pesat di Semarang yang terbit tiga kali seminggu
dengan tiras 2 ribu eksemplar. Karena penghasilannya masih kecil, pasangan suami-istri itu
terpaksa melakukan berbagai pekerjaan, dari redaksi hingga urusan percetakan, dari distribusi
dan penjualan hingga langganan.

Trimurti dan Sayuti Melik bergiliran masuk keluar penjara akibat tulisan mereka mengkritik
tajam pemerintah Hindia Belanda. Sayuti sebagai bekas tahanan politik yang dibuang ke Boven
Digul selalu dimata-matai dinas intel Belanda (PID).

Pada zaman pendudukan Jepang, Maret 1942 koran Pesat diberedel Japan, Trimurti
ditangkap Kempetai, Jepang juga mencurigai Sayuti sebagai orang komunis.

Pada 9 Maret 1943, diresmikan berdirinya Putera (Pusat Tenaga Rakyat) dipimpin “Empat
Sekawan” Soekarno, Moh. Hatta, Ki Hadjar Dewantara, dan Kiai Mas Mansoer. Saat itu
Soekarno meminta pemerintah Jepang membebaskan Trimurti, lalu membawanya ke Jakarta
untuk bekerja di Putera, dan kemudian di Djawa Hookoo Kai, Himpunan Kebaktian Rakyat
Seluruh Jawa. Dan lalu Trimurti dan Sayuti Melik dapat hidup relatif tenteram. Sayuti terus
berada di sisi Bung Karno.

Anggota PPKI
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dibentuk 7 Agustus 1945 dan diketuai oleh Ir.
Soekarno, menggantikan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang
dibubarkan cepat. Anggota awalnya adalah 21 orang. Selanjutnya tanpa sepengetahuan Jepang,
keanggotaan bertambah 6 orang termasuk didalamnya Sayuti Melik.

Peristiwa Rengasdengklok
Sayuti Melik termasuk dalam kelompok Menteng 31, yang berperan dalam penculikan Sukarno
dan Hatta pada tanggal 16 Agustus 1945 (Peristiwa Rengasdengklok). Para pemuda pejuang,
termasuk Chaerul Saleh, Sukarni, dan Wikana, bersama Shodanco Singgih, salah seorang
anggota PETA, dan pemuda lain, membawa Soekarno (bersama Fatmawati dan Guntur yang
baru berusia 9 bulan) dan Hatta, ke Rengasdengklok. Tujuannya adalah agar Ir. Soekarno dan
Drs. Moh. Hatta tidak terpengaruh oleh Jepang.

Di sini, mereka kembali meyakinkan Soekarno bahwa Jepang telah menyerah dan para pejuang
telah siap untuk melawan Jepang, apa pun risikonya. Di Jakarta, golongan muda, Wikana, dan
golongan tua, yaitu Mr. Ahmad Soebardjo melakukan perundingan. Mr. Ahmad Soebardjo
menyetujui untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Jakarta. maka diutuslah Yusuf
Kunto untuk mengantar Ahmad Soebardjo ke Rengasdengklok. Mereka menjemput Ir. Soekarno
dan Drs. Moh. Hatta kembali ke Jakarta. Mr. Ahmad Soebardjo berhasil meyakinkan para
pemuda untuk tidak terburu - buru memproklamasikan kemerdekaan.

Naskah Proklamasi

Konsep naskah proklamasi disusun oleh Bung Karno, Bung Hatta, dan Achmad Subardjo di
rumah Laksamana Muda Maeda. Wakil para pemuda, Sukarni dan Sayuti Melik. Masing-masing
sebagai pembantu Bung Hatta dan Bung Karno, ikut menyaksikan peristiwa tersebut. Setelah
selesai, dinihari 17 Agustus 1945, konsep naskah proklamasi itu dibacakan di hadapan para
hadirin. Namun, para pemuda menolaknya. Naskah proklamasi itu dianggap seperti dibuat oleh
Jepang.

Dalam suasana tegang itu, Sayuti memberi gagasan, yakni agar teks proklamasi ditandatangani
Bung Karno dan Bung Hatta saja, atas nama bangsa Indonesia. Usulnya diterima dan Bung
Karno pun segera memerintahkan Sayuti untuk mengetiknya. Ia mengubah kalimat "Wakil-wakil
bangsa Indonesia" menjadi "Atas nama bangsa Indonesia".

Setela Era Kemerdekaan


Setelah Indonesia Merdeka ia menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Pada
tahun 1946 atas perintah Mr. Amir Syarifudin, ia ditangkap oleh Pemerintah RI karena dianggap
sebagai orang dekat Persatuan Perjuangan serta dianggap bersekongkol dan turut terlibat dalam
"Peristiwa 3 Juli 1946. Setelah diperiksa oleh Mahkamah Tentara, ia dinyatakan tidak bersalah.
Ketika terjadi Agresi Militer Belanda II, ia ditangkap Belanda dan dipenjarakan di Ambarawa. Ia
dibebaskan setelah selesai KMB. Tahun 1950 ia diangkat menjadi anggota MPRS dan DPR-GR
sebagai Wakil dari Angkatan '45 dan menjadi Wakil Cendekiawan

Menentang Soekarno
Sebenarnya Sayuti dikenal sebagai pendukung Sukarno. Namun, ketika Bung Karno berkuasa,
Sayuti justru tak "terpakai". Dalam suasana gencar-gencarnya memasyarakatkan Nasakom,
dialah orang yang berani menentang gagasan Nasakom (nasionalisme, agama, komunisme). Ia
mengusulkan mengganti Nasakom menjadi Nasasos, dengan mengganti unsur "kom" menjadi
"sos" (sosialisme). Ia juga menentang pengangkatan Bung Karno sebagai presiden seumur hidup
oleh MPRS. Tulisannya, Belajar Memahami Sukarnoismedimuat di sekitar 50 koran dan majalah
dan kemudian dilarang. Artikel bersambung itu menjelaskan perbedaan Marhaenisme ajaran
Bung Karno dan Marxisme-Leninisme doktrin PKI. Ketika itu Sayuti melihat PKI hendak
membonceng kharisma Bung Karno.

Masa Orde Baru


Setelah Orde Baru nama Sayuti berkibar lagi di kancah politik. Ia menjadi anggota DPR/MPR,
mewakili Golkar hasil Pemilu 1971 dan Pemilu 1977.

Wafat
Sayuti Melik meninggal pada tanggal 27 Februari 1989 setelah setahun sakit, dan dimakamkan
di TMP Kalibata

Penghargaan
Sayuti Melik menerima Bintang Mahaputra Tingkat V (1961) dari Presiden Soekarno
dan Bintang Mahaputra Adipradana (II) dari Presiden Soeharto (1973).
Achmad Soebardjo

Mr. Raden Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo (lahir di Karawang, Jawa Barat, 23 Maret 1896 –
meninggal 15 Desember 1978 pada umur 82 tahun) adalah tokoh pejuang kemerdekaan
Indonesia, diplomat, dan seorang Pahlawan Nasional Indonesia. Ia adalah Menteri Luar
Negeri Indonesia yang pertama. Achmad Soebardjo memiliki gelar Meester in de Rechten, yang
diperoleh di Universitas LeidenBelanda pada tahun 1933.

Awal mula
Achmad Soebardjo dilahirkan di Teluk Jambe, Karawang, Jawa Barat, tanggal 23 Maret 1896.
Ayahnya bernama Teuku Muhammad Yusuf, masih keturunan bangsawan Aceh dari Pidie.
Kakek Achmad Soebardjo dari pihak ayah adalah Ulee Balang dan ulama di wilayah Lueng
Putu, sedangkan Teuku Yusuf adalah pegawai pemerintahan dengan jabatan Mantri Polisi di
wilayah Teluk Jambe, Kerawang. Ibu Achmad Soebardjo bernama Wardinah. Ia keturunan Jawa-
Bugis, dan merupakan anak dari Camat di Telukagung, Cirebon.

Ayahnya mulanya memberinya nama Teuku Abdul Manaf, sedangkan ibunya memberinya nama
Achmad Soebardjo. Nama Djojoadisoerjo ditambahkannya sendiri setelah dewasa, saat ia
ditahan di penjara Ponorogo karena "Peristiwa 3 Juli 1946".

Ia bersekolah di Hogere Burger School, Jakarta (saat ini setara dengan Sekolah Menengah Atas)
pada tahun 1917. Ia kemudian melanjutkan pendidikannya di Universitas Leiden, Belanda dan
memperoleh ijazah Meester in de Rechten (saat ini setara dengan Sarjana Hukum) di
bidang undang-undang pada tahun 1933.
Riwayat perjuangan
Semasa masih menjadi mahasiswa, Soebardjo aktif dalam memperjuangkan kemerdekaan
Indonesia melalui beberapa organisasi seperti Jong Java dan Persatuan Mahasiswa Indonesia di
Belanda. Pada bulan Februari 1927, ia pun menjadi wakil Indonesia bersama dengan Mohammad
Hatta dan para ahli gerakan-gerakan Indonesia pada persidangan antarbangsa "Liga Menentang
Imperialisme dan Penindasan Penjajah" yang pertama di Brussels dan kemudiannya di Jerman.
Pada persidangan pertama itu juga ada Jawaharlal Nehru dan pemimpin-
pemimpin nasionalis yang terkenal dari Asia dan Afrika. Sewaktu kembalinya ke Indonesia, ia
aktif menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI),
dan kemudian Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).

Peristiwa Rengasdengklok
Pada tanggal 16 Agustus 1945 Para pemuda pejuang, termasuk Chaerul Saleh, Sukarni,
dan Wikana, Shodanco Singgih, dan pemuda lain, membawa Soekarno dan Moh.
Hatta ke Rengasdengklok. Tujuannya adalah agar Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta tidak
terpengaruh oleh Jepang. Peristiwa ini dinamakan Peristiwa Rengasdengklok.

Di sini, mereka kembali meyakinkan Soekarno bahwa Jepang telah menyerah dan para pejuang
telah siap untuk melawan Jepang, apa pun risikonya. Di Jakarta, golongan muda, Wikana, dan
golongan tua, yaitu Achmad Soebardjo melakukan perundingan. Achmad Soebardjo menyetujui
untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Jakarta. Maka diutuslah Yusuf Kunto untuk
mengantar Achmad Soebardjo ke Rengasdengklok. Mereka menjemput Soekarno dan Moh.
Hatta kembali ke Jakarta. Achmad Soebardjo berhasil meyakinkan para pemuda untuk tidak
terburu-buru memproklamasikan kemerdekaan.

Naskah proklamasi
Konsep naskah proklamasi disusun oleh Bung Karno, Bung Hatta, dan Achmad Soebardjo di
rumah Laksamana Muda Maeda. Setelah selesai dan beragumentasi dengan para pemuda,
dinihari 17 Agustus 1945, Bung Karno pun segera memerintahkan Sayuti Melik untuk mengetik
naskah proklamasi.

Masa setelah kemerdekaan


Pada tanggal 18 Agustus 1945, Soebardjo dilantik sebagai Menteri Luar Negeri pada Kabinet
Presidensial, kabinet Indonesia yang pertama, dan kembali menjabat menjadi Menteri Luar
Negeri sekali lagi pada tahun 1951 - 1952. Selain itu, ia juga menjadi Duta Besar Republik
Indonesia di Switzerland antara tahun-tahun 1957 - 1961.

Dalam bidang pendidikan, Soebardjo merupakan profesor dalam bidang Sejarah Perlembagaan
dan Diplomasi Republik Indonesia di Fakultas Kesusasteraan, Universitas Indonesia.
Wafat
Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo meninggal dunia dalam usia 82 tahun (15 Desember 1978) di
Rumah Sakit Pertamina, Kebayoran Baru, akibat flu yang menimbulkan komplikasi. Ia
dimakamkan di rumah peristirahatnya di Cipayung, Bogor. Pemerintah mengangkat almarhum
sebagai Pahlawan Nasional pada tahun 2009.

Daftar pustaka

https://id.wikipedia.org/wiki/Sayuti_Melik

https://id.wikipedia.org/wiki/Achmad_Soebardjo

Anda mungkin juga menyukai