Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH PRAKTIKUM FARMAKOLOGI

ANALISIS EFEK ANTI INFLAMASI MINYAK ATSIRI DAUN

KEMANGI PADA HEWAN UJI

Oleh:

Pengajar:

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Inflamasi adalah respon terhadap kerusakan jaringan akibat berbagai
rangsangan yang merugikan, baik rangsangan kimia maupun mekanis serta
infeksi. Gejala proses inflamasi yang sudah dikenal yaitu kalor (panas), rubor
(kemerahan), tumor (pembengkakan), dan dolor (nyeri). Jika pada masa lalu
dalam proses inflamasi ditekankan promosi migrasi sel, kini fokus pada interaksi
mediator-mediator adesif.
Proses inflamasi merupakan respons terhadap stimulus luka yang
disebabkan oleh bermacam-macam zat berbahaya seperti infeksi, antibodi, atau
cedera fisik. Kemampuan untuk membentuk respon inflamasi diperlukan untuk
kelangsungan hidup dalam menghadapi pathogen dan cedera. Pada keadaan
beberapa jenis penyakit, respon inflamasi mungkin berlebihan dan berlangsung
lama. Respon inflamasi terjadi dalam tiga fase temporal yang berbeda. Fase
pertama adalah fase akut yang ditandai dengan vasodilatasi lokal sementara dan
permeabilitas kapiler. Fase kedua adalah fase sub akut lambat, yang ditandai
dengan infiltrasi leukosit dan sel fagosit. Fase ketiga merupakan fase proliferative
kronik yang menimbulkan degenerasi dan fibrosis jaringan (Goodman dan
Gilman, 2003).
Inflamasi disebabkan oleh pelepasan mediator dari jaringan yang rusak
dan migrasi sel. Mediator kimiawi spesifik bervariasi sesuai dengan tipe
peradangan diantaranya adalah histamine, bradikinin, prostaglandin, dan
interleukin.
Kelompok obat anti inflamasi dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu
anti inflamasi steroid dan nonsteroid. Penggunaan obat-obat anti inflamasi ini
memiliki beberapa efek samping yang cukup signifikan.
Saat ini, masyarakat global cenderung untuk kembali ke alam meskipun
sudah banyak jenis obat modern di pasaran. Penggunaan obat herbal di Indonesia
sudah berlangsung sejak lama, sebelum obat sintetis ditemukan dan dipasarkan.
Namun hingga saat ini pemanfaatan tanaman obat sebagai obat tradisional belum
optimal. Salah satu tanaman obat yang telah lama dipergunakan sebagai bahan
obat di Indonesia adalah daun kemangi. Daun kemangi memiliki khasiat sebagai
anti inflamasi, analgesik, antibakterial, antioksidan, antidepresan, antitusif, dan
anti kanker. Pengobatan yang menggunakan bahan tumbuhan secara tradisional
pada umumnya tidak menimbulkan efek samping yang berarti seperti pengobatan
kimiawi.
Senyawa fitokimia yang terkandung dalam daun kemangi meliputi
alkaloid, saponin, tannin, triterpenoid, minyak atsiri dan flavonoid. Flavonoid
bekerja menghambat fase penting dalam biosintesis prostaglandin, yaitu pada
lintasan COX. Flavonoid juga menghambat fosfodiesterase, aldoreduktase,
monoamine oksidase, protein kinase, DNA polymerase dan lipooksigenase.
1.2 Tujuan

1
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas anti
inflamasi dari minyak atsiri yang terkandung di dalam daun kemangi pada telapak
kaki tikus yang ditimbulkan oleh karagenan.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penjelasan/Patofisiologi Inflamasi


Inflamasi merupakan suatu respon dari tubuh terhadap adanya cedera
maupun infeksi. Saat terjadi cedera, tubuh akan berusaha menetralisir dan
mengeliminasi agen-agen berbahaya dari tubuh serta melakukan persiapan untuk
perbaikan jaringan (Sherwood, 2001).
Adanya proses inflamasi ditandai dengan ciri-ciri yang umum, yaitu
timbulnya warna kemerahan, pembengkakan di daerah peradangan, rasa panas,
dan timbulnya rasa nyeri (Corwin, 2008).
Ada dua jenis inflamasi yaitu:
a. Inflamasi akut
Inflamasi akut adalah inflamasi yang berlangsung relatif singkat, dari
beberapa menit sampai beberapa hari dan ditandai dengan eksudasi cairan
dan protein plasma serta akumulasi leukosit neutrofilik yang menonjol.
Inflamasi akut hanya terbatas pada tempat inflamasi dan menimbulkan
tanda-tanda serta gejala lokal. Inflamasi akut merupakan respon langsung
terhadap agen inflamasi. Biasanya inflamasi akut ditandai dengan
penimbunan neutrofil dalam jumlah banyak.
b. Inflamasi kronik
Inflamasi kronik terjadi karena rangsang yang menetap, seringkali selama
beberapa minggu atau bulan, menyebabkan infiltrasi sel-sel mononuclear
dan profilerasi fibroblast. Inflamasi kronik dapat timbul melalui satu atau
dua jalan, dapat juga timbul mengikuti proses inflamasi akut atau
responnya sejak awal bersifat kronis. Perubahan inflamasi akut menjadi
kronik berlangsung bila inflamasi akut tidak dapat reda yang disebabkan
oleh agen penyebab inflamasi yang menetap atau terdapat gangguan pada
proses penyembuhan normal. Inflamasi kronik ditandai dengan adanya sel-
sel mononuklear yaitu makrofag, limfosit dan sel plasma

3
2.2 Terapi Obat
Pengobatan inflamasi memiliki dua tujuan yaitu:
a. Meringankan gejala dan mempertahankan fungsi.
b. Memperlambat atau menghambat proses perusakan jaringan.
Berdasarkan mekanisme kerjanya terdapat dua jenis obat anti inflamasi,
yaitu:
A. Anti inflamasi steroid
Obat anti inflamasi golongan steroid bekerja menghambat sintesis
prostaglandin dengan cara menghambat enzim fosfolipase, sehingga
fosfolipid yang berada pada membran sel tidak dapat diubah menjadi asam
arakidonat. Akibatnya prostaglandin tidak akan terbentuk dan efek
inflamasi tidak ada. Obat ini dapat memblok jalur siklooksigenase dan
lipoksigenase, sedangkan Anti Inflamasi Non Steroid (AINS) hanya
memblok COX. Oleh karena itu efeknya lebih baik dibanding AINS,
namun efek sampingnya lebih berbahaya pada penggunaan lama (Tjay dan
Rahardja, 2007). Beberapa contoh obat anti inflamasi steroid adalah
deksamethason, betametason dan hidrokortison.
B. Anti Inflamasi Non Steroid (NSAID)
Obat analgetik antipiretik serta obat anti inflamasi nonsteroid (NSAID)
merupakan suatu golongan obat yang memiliki khasiat analgetik (pereda
nyeri), anti piretik (penurun panas), dan anti inflamasi (anti radang). Obat
golongan NSAID dinyatakan sebagai obat anti inflamasi non steroid,
karena ada obat golongan steroid yang juga berfungsi sebagai anti
inflamasi. Walaupun demikian obat-obat ini ternyata memiliki banyak
persamaan dalam efek terapi ataupun efek samping. Obat anti inflamasi
jenis non steroid dibagi menjadi beberapa jenis yaitu:
a) Derivat asam propionate, misalnya: fenbufen, ibuprofen dan
ketoprofen.
b) Derivat indol, misalnya: indomestin.
c) Derivat asam fenamat, misalnya: asam mefenamat.
d) Derivat asam piroklakonat.
e) Derivat pirazolon

4
f) Derivat oksikam, contohnya: piroksikam
g) Derivat asam salisilat.
Obat-obat AINS terutama bekerja dengan jalan menghambat enzim
siklooksigenase yang reversibel tetapi tidak enzim lipoksigenase.
Obat-obat ini selektiv terhadap COX 1 dan COX 2, bervariasi dan
tak lengkap (Tjay dan Rahardja, 2007).

2.3 Foto dan Deskripsi Tumbuhan


Tanaman herba ini awalnya diperkenalkan di India dan sekarang telah
menyebar di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Tanaman ini tumbuh ditempat
tanah terbuka maupun agak teduh dan tidak tahan terhadap kekeringan. Tanaman
kemangi merupakan sejenis tanaman hermafrodit.
Tanaman kemangi memiliki tajuk membulat, herba tegak atau semak,
sangat harum, bercabang banyak, dengan tinggi 0,3-1,5 cm batang pokoknya tidak
jelas, daun berwarna hijau keunguan, dan berambut maupun tidak, daun
berhadapan tunggal, tersusun dari bawah keatas. Memiliki panjang tangkai daun
0,25-3 cm dan setiap helaian daun berbentuk elips hingga bulat telur, memanjang,
ujung tumpul atau meruncing. Pangkal daun pasak hingga membulat, kedua
permukaan berambut halus, bergelombang, tepi bergerigi lemah atau rata
(Kusuma, 2010).
Bunga tersusun pada tangkai bunga berbentuk menegak. Jenis bunga
hermafrodit, berwarna putih dan berbau wangi. Bunga majemuk dan diketiak daun
ujung terdapat daun pelindung berbentuk bulat telur atau elips, dengan panjang
0,5-1 cm. Kelopak bunga berbentuk bibir, sisi luar berambut memiliki kelenjar,
berwarna hijau atau ungu dan ikut menyusun buah, mahkota bunga berwarna
putih dengan benang sari tersisip didasar mahkota, kepala putik bercabang dua
namun tidak sama (Kusuma, 2010).
Memiliki buah dengan bentuk kotak berwarna coklat tua, tegak dan
tertekan, ujung berbentuk kait melingkar. Panjang kelopak buah 6-9 mm. biji
berukuran kecil berwarna coklat tua, bertipe keras, dan waktu diambil segera
membengkak, tiap buah terdiri dari empat biji. Akar tunggang dan berwarna putih.
Daun berbentuk lonjong, memanjang, bulat telur memanjang, ujung runcing,

5
pangkal daun runcing tumpul sampai membulat, tulang-tulang daun menyirip, tepi
bergerigi dangkal atau rata, dan bergelombang, daging daun tipis, permukaan
berambut halus, panjang daun 2,5 cm sampai 7,5 cm, lebar 1 cm sampai 2,5 cm,
tangkai daun berpenampang bundar, panjang 1 cm sampai 2 cm, berambut halus
(Kusuma, 2010).
Sistematika kemangi (Ocimum sanctum) diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Kingdom : Plantae
b. Divisio : Magnoliophyta
c. Sub division : Spermatophyta
d. Classis : Magnoliopsida
e. Ordo : Lamiales
f. Familia : Lamiaceae
g. Genus : Ocimum
h. Spesies : Ocimum sanctum L.

Gambar Daun kemangi

2.4 Kandungan Senyawa Aktif Tumbuhan


Kandungan senyawa yang terdapat pada daun kemangi (Ocimum sanctum
L) adalah minyak atsiri, karbohidrat, fitosterol, alkaloid, senyawa fenolik, tannin,
lignin, pati, saponin, flavonoid, terpenoid dan antrakuinon. Sedangkan kandungan
utama minyak atsiri adalah camphor, limonene, methyl cinnamate dan linalool.
Daun kemangi kaya akan mineral makro yaitu kalsium, fosfor, magnesium,
betakaroten dan vitamin C. Kandungan paling utama pada daun kemangi yaitu
minyak atsiri. Minyak atsiri pada daun kemangi memiliki kemampuan dalam
menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus, E. coli, Bacillus
6
cereus, Pseudomonas fluorescens, Candida albicans, Streptococcus alfa dan
Bacillus subtilis.
Biji kemangi mengandung planteose dan asam lemak seperti asam
palmitat, asam oleat, asam stearate, dan asam linoleat serta polisakarida yang
terdiri dari xilosa, arabinose, ramnosa, dan asam galakturonik (Sudarsono, 2002).

2.5 Khasiat Etnofarmakologi dan Farmakologi


Daun kemangi memiliki beragam khasiat farmakologi antara lain
analgesik, antiamnesik, nootropik, antihelmintik, antibacterial, anti katarak, anti
fertilitas, anti hyperlipidemia, anti inflamasi, anti lipidperoksidatif, anti oksidan,
anti stress, anti thyroid, antitusif, anti ulkus, kemoprotektif, imunomodulator,
radioprotektif, aktivitas hipoglikemik, aktivitas hipotensif, anti kanker. Khasiat
farmakologi ini dihasilkan dari kandungan fitokimia yang terdapat pada daun
kemangi. Kandungan minyak atsiri dan ekstrak etanol yang terdapat pada daun
kemangi mampu menghambat pertumbuhan bakteri seperti staphyloccus aureus
dan E. coli (Sudarsono dkk, 2002).
Di China daun kemangi digunakan sebagai obat infeksi, sakit perut,
sengatan serangga, obat demam dan obat kanker. Sedangkan bagi masyarakat di
Indonesia, daun kemangi lebih dikenal sebagai lalapan yang diyakini dapat
meningkatkan selera makan, mencegah bau mulut dan bau badan, mengatasi perut
kembung, maag, masuk angin, dan masalah usus, mengendalikan diabetes dan
juga sebagai anti inflamasi (Sudarsono dkk, 2002).
2.6 Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk menentukan kadar anti inflamasi pada daun
kemangi dengan menggunakan metode Winter yang dimodifikasi dengan cara
menyuntikan larutan karagenan secara subplantar. Bahan yang digunakan pada
penelitian ini adalah minyak atsiri daun kemangi yang diperoleh dari Balai
Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (BALITRO), karagenan, natrium
diklofenak (Kimia Farma, Indonesia), natrium klorida 0,9% steril (Otsuka,
Indonesia), karboksimetilselulosa (Daichi, Jepang), sitral (Sigma-aldrich, Jerman),
aquadest, dan hewan uji yang digunakan tikus Sprague Dawley (SD) jantan
dewasa, berat badan 200-250 g, dan dengan usia 2-3 bulan dengan kondisi sehat

7
yang diperoleh dari BPOM. Pada penelitian ini penetapan dosis dilakukan
berdasarkan pada kandungan sitral yang terdapat pada minyak atsiri kemangi.
Hasil analisis dari Laboratorium Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat
(BALITRO), minyak atsiri daun kemangi memiliki kandungan sitral sebesar
48,94%.
Pengukuran volume udem pada telapak kaki tikus diukur dengan alat yang
bekerja berdasarkan hukum Archimedes yaitu pletismometer. Aktivitas anti
inflamasi bahan uji ditunjukan oleh kemampuannya dalam mengurangi udem
yang diakibatkan induksi karagenan pada telapak kaki tikus. Konsentrasi
karagenan yang digunakan adalah 1% dan 2% dengan volume masing-masing 0,2
ml.
Pada pengujiannya tikus dibagi menjadi enam kelompok secara acak, dimana
masing-masing kelompok terdiri dari empat ekor tikus. Kelompok pertama
sebagai kontrol negatif diberikan larutan CMC 0,5%. Kelompok kedua sebagai
kontrol positif diberikan natrium diklofenak dosis 27 mg/200 g BB. Dosis natrium
diklofenak diperoleh dari hasil dosis konversi pemakaian pada manusia dalam
sehari. Kelompok ketiga sebagai pembanding diberikan sitral dosis 40 mg/200 g
BB. Kelompok ke empat, lima dan enam diberikan minyak atsiri daun kemangi
dengan dosis 40 mg/200 g BB, 80 mg/200 g BB, dan 160 mg/200 g BB yang
disiapkan dalam larutan. Tikus dipuasakan kurang lebih 18 jam sebelum
pengujian, air minum tetap diberikan. Pada hari pengujian, tikus ditimbang
bobotnya dan dikelompokkan secara acak menjadi enam kelompok tikus, masing-
masing terdiri dari empat ekor tikus. Kaki kiri belakang tikus yang akan diinduksi
diberi tanda pada mata kaki kemudian diukur volume kaki sebelum perlakuan
dengan menggunakan pletismometer. Pada kelompok kontrol negatif, setiap tikus
diberi larutan CMC 0,5% sebanyak 2,0 ml/200 g BB tikus. Pada kelompok kontrol
positif, setiap tikus diberi suspensi natrium diklofenak dengan dosis 27 mg/200 g
BB tikus. Pada kelompok kontrol pembanding, setiap tikus diberi emulsi sitral
dengan dosis 40 mg/200 g BB tikus. Pada masing-masing kelompok uji dosis I, II,
dan III diberikan emulsi minyak atsiri sesuai dengan dosis yang telah ditentukan.
Setelah 30 menit, setiap kelompok perlakuan diinduksi dengan 0,2 ml karagenan
1% secara subplantar pada telapak kaki kiri belakang setiap tikus. Pengukuran

8
volume udem dilakukan pada pada jam ke-1, 2, 3, 4, 5 dan 6 setelah diinduksi
dengan karagenan. Semua data yang diperoleh, dianalisa secara statistik terhadap
volume udem dan dihitung persentase penghambatan udemnya.
Perhitungan persentase penghambatan udem rata-rata yang terjadi pada
kelompok uji dapat dihitung dengan rumus:
 ax
% Penghambat udem 1   x 100%
 b y
Keterangan:
a = volume rata-rata kaki tikus setelah diinduksi pada tikus yang diberi bahan
uji
x = volume rata-rata kaki tikus sebelum diinduksi pada tikus yang diberi bahan
uji
b = volume rata-rata kaki tikus setelah diinduksi pada tikus yang tidak diberi
bahan uji (kontrol negatif)
y = volume rata-rata kaki tikus sebelum diinduksi pada tikus yang tidak diberi
bahan uji (kontrol negatif)

2.7 Hasil Penelitian


Pada persentase penghambatan terbentuknya udem, terlihat bahwa natrium
diklofenak menunjukkan aktivitas tertinggi pada jam kedua dengan persentase
penghambatan sebesar 48,69%. Adanya hambatan pada pembentukan udem pada
jam kedua dikarenakan natrium diklofenak menghambat sintesis prostaglandin
sebelum memasuki fase ketiga. Persentase penghambatan terbesar ditunjukkan
oleh minyak atsiri dosis 160 mg/200 gr BB pada jam ke empat yaitu sebesar
44,83%. Pada jam ke empat, dosis ini menunjukkan perbedaan persentase
penghambatan yang signifikan dengan kontrol positif. Hal ini menunjukkan
bahwa pada jam ke empat minyak atsiri daun kemangi dosis 160 mg/200 gr BB
memiliki kemampuan untuk menurunkan udem yang lebih baik dari kontrol
positif pada jam ke empat. Sedangkan sitral yang pada penelitian ini berfungsi
sebagai kontrol pembanding menunjukkan hasil persentase penghambatan yang
tidak berbeda signifikan dengan kontrol positif. Ini berarti bahwa sitral memiliki
efek anti inflamasi yang sama dengan natrium diklofenak.
Kemampuan minyak atsiri daun kemangi dalam penghambatan
terbentuknya udem diduga karena adanya kandungan sitral. Sitral menghambat
pembentukan udem melalui penghambatan pelepasan histamin dan/serotonin pada

9
fase pertama. Pada fase selanjutnya sitral menghambat enzim siklooksigenase
yang berperan dalam pembentukan prostaglandin dan leukotrien. Sehingga dapat
disimpulkan minyak atsiri daun kemangi yang memiliki kandungan sitral
memiliki khasiat sebagai anti inflamasi.

10
BAB III

KESIMPULAN
Minyak atsiri yang terkandung dalam daun kemangi memiliki aktivitas
sebagai anti inflamasi, hal ini dapat dilihat dari pengukuran volume udem yang
terbentuk dan dari persentase penghambatan yang telah dihitung. Bahkan minyak
atsiri dengan dosis160 mg/200 gr BB memiliki aktivitas anti inflamasi terbesar
pada jam ke empat yaitu 44,83%.

11
DAFTAR PUSTAKA

Astuti, E.P. (2012). Pemisahan sitral dari minyak atsiri serai dapur (Cymbopogon
citratus) sebagai pelangsing aromaterapi. IPB: Departeman Kimia Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Chaimovitsh, D., et al. (2011). The relative effect of citral on mitotic microtubules
in wheat roots and BY2 cells. Pubmed, 14 (2), 354-644
Corwin, E.J. (2008). Buku saku patofisiologi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC, 587
Fadlianti, Delly. (2010). Kerakterisasi simplisia isolasi dan analisis komponen
minyak atsiri dari daun kemangi segar dan kering (Ocimumi folium) secara
GC- MS. Sumatera Utara: Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara
Fitriani, N.M. (2011). Uji daya antiinflamasi ekstrak etanol daun kemangi
(Ocimum sanctum L.) pada tikus putih jantan galur wistar. STIKES NWU:
Farmasi
Gard, Paul. (2001). Human pharmacology (Chapter IX.). Taylor & Francis.,
London, New York, 135
Goodman, L.S., and Gilman Alfred. (2011). The pharmacological basis of
th
therapeutics 12 ed. Mc Graw-Hill Publication, 512-520
Gunawan, D., Mulyani, S. (2004). Ilmu obat alam, farmakognosi, Jilid I. Jakarta:
Penerbit Penebar Swadaya, 107
Hariana, A. (2005). Tumbuhan obat dan khasiatnya, seri 2. Jakarta: Penebar
Swadaya, 26
Irawan, I. (2008) Tanaman lalap berkhasiat obat, cetakan IV. Jakarta: Penerbit
Penebar Swadaya, 42-45
Jorge, Parada, C.A., Ferreira, S.H., and Tambeli, C.H. (2006). Interferential
therapy produces antinociception during application in various models of
inflammatory pain. Physical Therapy, 86(6), 800-8
Katzung, B.G., Masters, S.B., and Trevor, A.J. (2009). Basic & clinical
pharmacology, 11th Ed. New York: McGraw-Hill
Kelompok Kerja Ilmiah. (1983). Penapisan farmakologi, pengujian fitokimia, dan
pengujian klinik. pedoman pengujian dan pengembangan fitofarmaka.

12
Pengembangan dan Pemanfaatan Obat Bahan Alam. Jakarta : Yayasan
Pengembangan dan Pemanfaatan Obat Bahan Alam Ohyto Medica, 43-54
Lelo A. dan Hidayat (2004). NSAIDS: Friend or Foe. Makassar: Journal of the
Indonesia Dental Association
Maimun, Z.A., Mudjiwijono, H.E., Arif., Hamada, M. (2009). Efek
antikeradangan ekstrak daun kemangi (Ocimum sanctum Linn) terhadap
jumlah sel radang pada plantar pedis rattus norvegicus jantan strain wistar
yang diinduksi karagenan. Majalah kedokteran, 1-9
Quintans-Júnior, L.J., et al. (2011). Citral reduces nociceptive and inflammatory
response in rodents. Brazilian Journal of Pharmacognosy, 21 (3), 497-502
Sadraei, H., Ghannadi, A., and Malekshahi, K. (2003). Relaxant effect of essential
oil of melissa officinalis and citral on rat ileum contractions. Iran: Isfahan
University of Medical Sciences. Fitoterapia, 74, 445- 452
Sarma, S.D.K., and Babu, A.V.S. (2011). pharmacognostic and phytochemical
studies of ocimum americanum. Journal of Chemical and Pharmaceutical
Research, 3(3), 331-347
Schweitzer, A., Hasler-Nguyen, N., and Zijlstra, J. (2009). Preferential uptake of
the non steroid anti-inflammatory drug diclofenac into inflamed tissues after a
single oral dose in rats. BMC Pharmacology, 9:5
Sherwood, L. (2001). Fisiologi manusia dari sel ke sistem. Edisi II. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC, 369-379
Siemonsma, J. S., Kasem, Piluek. (1994). Vegetaables. Prosea 8
Silbernnagl, Stefan., and Lang, Florian. (2000). Color atlas of pathophysiology.
USA: Thieme New York, 48-50
Turk, Rhen, and Cidlowski, J.A. (2005). Mechanisms of disease anti
inflammatory action of glucocorticoids. new mechanisms for old drugs. The
New England Journal of Medicine
Umar, Anandini N.L. (2011). Perbandingan ekstrak daun kemangi (Ocimum
basilicum L.) dengan ketokonazol 2% dalam menghambat pertumbuhan
candida sp. pada kandidiasis vulvovaginalis. Universitas Diponegoro:
Fakultas Kedokteran

13
Utami, Evy T., Kuncoro, Rebecca A., Hutami, Finsa T. S., dan Handajani, Juni.
(2011). efek antiinflamasi ekstrak daun sembukan (Paederia scandens) pada
tikus wistar. Majalah Obat Tradisional, 16(2), 95-100
Vane, J.R., and Botting, R.M. (2008). Inhibition of prostaglandin synthesis’ as a
mechanism of action for aspirin-like drugs. Dalam: Indonesian Journal of
Dentistry, 15(3), 200-204
Wilmana , P. F., dan Sulistia G.G. (2007). Analgesik-antipiretik, Analgesik-
antiinflamasi non steroid, dan obat pirai. Dalam: Sulistia G.G. (ed.). 2007.
Farmakologi dan Terapi, ed 5. Jakarta: Bagian Farmakologi Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, 230- 246, 500-506
Sudarsono, Gunawan D, Wahyuono S, Donatus IA, Purnomo. (2002). Tumbuhan
Obat II (hasil penelitian, sifat-sifat, dan penggunaannya). Yogyakarta: Pusat
Studi Obat Tradisonal Universitas Gadjah Mada.
Tjay, Tan H & Kirana Rahardja (2007). Obat-obat Penting : Khasiat,
Penggunaan dan Efek-efek sampingnya. Edisi keenam. Jakarta: PT
Elexmedia Komputindo.

14

Anda mungkin juga menyukai