Laporan Tutorial Modul Inkontinensia
Laporan Tutorial Modul Inkontinensia
SISTEM GERIATRI
MODUL 2
INKONTINENSIA URIN
Disusun Oleh
Kelompok : IV (Empat)
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ALKHAIRAAT
PALU
2016
BAB I
PENDAHULUAN
A. Skenario 2
Perempuan 68 tahun dibawa ke Rumah Sakit oleh keluarganya dengan
keluhan selalu mengompol. Keadaan ini dialami sudah sejak 3 bulan lalu dimana
penderita sama sekali tidak dapat menahan bila ingin buang air kecil, sehingga
kadang air seninya berceceran dilantai. Tidak ada keluhan sakit saat berkemih.
Sejak seminggu yang lalu penderita terdengar batuk-batuk dan agak sesak
napas, serta nafsu makannya sangat berkurang, tetapi tidak demam. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 160/70 mmHg, nadi 92x/menit, suhu
aksiler 37oC, pernapasan 24x/menit. Pada paru-paru ditemukan adanya ronkhi
basah kasar pada bagian medial. Jantung, hati, dan limpa kesan dalam batas
normal. Pada pemeriksaan laboratorium GDS 209 mg/dl. Penderita sejak 6 tahun
terakhir ini mengidap dan berobat teratur penyakit kencing manis dan tekanan
darah tinggi.
B. Kata kunci
1. Perempuan 68 tahun
2. Selalu mengompol sejak 3 bulan
3. Tidak dapat menahan BAK
4. Tidak ada keluhan saat berkemih
5. Sejak 1 minggu batuk2, agak sesak, nafsu makan berkurang
6. Pemeriksaan fisik:
a. Tekanan darah : 160/70 mmHg
b. nadi 92x/menit
c. suhu aksiler 37oC
d. pernapasan 24x/menit
e. Auskultasi paru: ronkhi basah kasar pada bagian medial
f. Jantung, hati, limpa dalam batas normal
7. Pemeriksaan laboratorium: GDS 209 mg/dl
8. 6 tahun terakhir mengidap dan berobat DM & Hipertensi
C. Daftar Masalah
1. Inkontinensia Urin tipe Campuran
2. Pneumonia Lobaris
3. Innation
4. Diabetes Melitus
5. Hipertensi
BAB II
PEMBAHASAN
b. Hormon sex
Memburuknya fungsi ovarium yang berhubungan menopause dimana
terjadi penurunan produksi estrogen endogen dan peningkatan insidensi gejala
urin, termasuk dysuria, frekuensi, urgensi, nokturia dan inkontinensia.
2) Inkontinensia Urgensi
Inkontinensia urgency merupakan penyebab yang paling banyak dijumpai
pada usila. Ditandai dengan kontraksi kandung kemih involunter dan dikaitkan
dengan aktivitas otot polos spontan yang meningkat dan perubahan spesifik pada
tingkat selular.Ketidak stabilan sistem sensorik dan motorik detrusor dapat
disebabkan oleh kelainan lokal seperti sistitis, tumor, batu, atau obstruksi outflow
kandung kemih, ataupun oleh karena kelainan saraf sentral seperti pada strok,
demensia, atau parkinsonisme.Gejala klinis dari overaktivitas detrusor adalah
keinginan berkemih yang mendadak dan terburu-buru (urgensi).Kebocoran urin
terjadi secara episodik tetapi sering, volume kebocoran biasanya sedang sampai
banyak, nokturia dan inkontinensi urin biasa terjadi.Sensasi dan refleks sakral
tetap terpelihara, dan bila tidak ada gangguan kontraktilitas kandung kemih,
volume residu pasca berkemih umumnya sedikit.
3) Inkontinensia Overflow
Pada keadaan ini pengeluaran urin terjadi akibat overflow (luber),
biasanya sedikit-sedikit. Tipe ini merupakan penyebab kedua yang paling banyak
dijumpai pada usia lanjut pria, akibat kandung kemih yang terlalu meregang
disebabkan oleh sumbatan (obstruksi) akibat pembesaran prostat, striktur uretra,
dll. Pada diabetes mellitus atau cedera medulla spinalis dapat terjadi overflow
oleh karena kandung kemih tidak berkontraksi, atau neurogenic bladder. Pada
wanita umumnya hanya dijumpai pada wanita yang telah menjalani bladder neck
suspension atau yang telah menderita prolaps berat dengan kinking uretra.
Aktivitas yang berkurang dari detrusor, yang biasanya idiopatik, ditandai dengan
perubahan degeneratif pada sel-sel otot dan akson secara luas. Kondisi ini muncul
sebagai inkontinensia overflow dengan gejala sering berkemih, nokturia, dan
kebocoran urin dalam jumlah yang sedikit namun sering.
4) Inkontinensia Fungsional
Inkontinensia fungsional adalah kebocoran urin berkaitan dengan
ketidakmampuan pasien untuk mencapai toilet pada waktunya karena gangguan
fisik atau kognitif. Hal ini disebabkan antara lain oleh demensia berat, kelainan
neurologik, maupun oleh faktor psikologis seperti; depresi, regresi, marah dan
hostility. Istilah inkontinensia fungsional sebetulnya menunjukkan bahwa fungsi
saluran kemih normal padahal banyak penelitian saat ini menunjukkan bahwa
pada tipe ini fungsi saluran kemih yang normal sulit dijumpai, bahkan pada usia
lanjut yang kontinen sekalipun. Karena usia lanjut yang terganggu status
fungsionalnya lebih mungkin mengalami faktor-faktor yang menyebabkan
inkontinensia urin sementara, penyebab inkontinensia urin yang reversibel
mungkin terabaikan/terlupakan sehingga tidak ditangani dengan baik.
8. Hubungan Inkontinensia Urin dengan gejala batuk
Inkontinensia stress biasanya disebabkan oleh lemahnya mekanisme
penutup. Keluhan khas yaitu mengeluarkan urine sewaktu batuk, bersin, menaiki
tangga atau melakukan gerakan mendadak, berdiri sesudah berbaring atau duduk.
Gerakan semacam itu dapat meningkatkan tekanandalam abdomen dan karena itu
juga di dalam kandung kemih. Otot uretra tidak dapat melawan tekanan ini dan
keluarlah urine. Kebanyakan keluhan ini progresif perlahan-lahan; kadang terjadi
sesudah melahirkan. Akibatnya penderita harus sering mengganti pakaian dalam
dan bila perlu juga pembalut wanita. Frekuensi berganti pakaian, dan juga jumlah
pembalut wanita yang diperlukan setiaphari, merupakan ukuran kegawatan
keluhan inkontinensia ini.
b. Pemeriksaan Fisik
Tujuan pemeriksaan fisik adalah mengenali pemicu inkontinensia urin dan
membantu menetapkan patofisiologinya.Selain pemeriksaan fisik umum yang
selalu harus dilakukan, pemeriksaan terhadap abdomen, genitalia, rectum, fungsi
neurologis, dan pelvis (pada wanita) sangat diperlukan.
Pemeriksaan abdomen harus mengenali adanya kandung kemih yang penuh,
rasa nyeri, massa, atau riwayat pembedahan.
Kondisi kulit dan abnormalitas anatomis harus diidentifikasi ketika
memeriksa genitalia.
Pemeriksaan rectum terutama dilakukan untuk medapatkan adanya obstipasi
atau skibala, dan evaluasi tonus sfingter, sensasi perineal, dan refleks
bulbokavernosus. Nodul prostat dapat dikenali pada saat pemeriksaan rectum.
Pemeriksaan pelvis mengevaluasi adanya atrofi mukosa, vaginitis atrofi,
massa, tonus otot, prolaps pelvis, dan adanya sistokel atau rektokel.
Evaluasi neurologis sebagian diperoleh saat pemeriksaan rectum ketika
pemeriksan sensasi perineum, tonus anus, dan refles bulbokavernosus.
Pemeriksaan neurologis juga perlu mengevaluasi penyakit-penyakit yang
dapat diobati seperti kompresi medula spinalis dan penyakit parkinson.
3) Pemeriksaan penunjang
Uji urodinamik sederhana dapat dilakukan tanpa menggunakan alat-alat
mahal. Sisa-sisa urin pasca berkemih perlu diperkirakan pada pemeriksaan fisis.
Pengukuran yang spesifik dapat dilakukan dengan ultrasound atau kateterisasi
urin. Merembesnya urin pada saat dilakukan penekanan dapat juga dilakukan.
Evaluasi tersebut juga harus dikerjakan ketika kandung kemih penuh dan ada
desakan keinginan untuk berkemih. Diminta untuk batuk ketika sedang diperiksa
dalam posisi litotomi atau berdiri. Merembesnya urin seringkali dapat dilihat.
Informasi yang dapat diperoleh antara lain saat pertama ada keinginan berkemih,
ada atau tidak adanya kontraksi kandung kemih tak terkendali, dan kapasitas
kandung kemih.
4) Laboratorium
Elektrolit, ureum, creatinin, glukosa, dan kalsium serum dikaji untuk
menentukan fungsi ginjal dan kondisi yang menyebabkan poliuria.
b) Bladder Training
Bladder training adalah salah satu upaya untuk menanganiinkontinensia
urin dengan cara mengembalikan fungsi kandung kemih yangmengalami
gangguan ke keadaan normal atau ke fungsi optimal.Bladder training umumnya
digunakan untuk mengatasi stress incontinence, urge incontinence dan mixed
incontinence. Bladder training dilakukan dengan cara sebagaiberikut : Saat ada
rangsangan ingin berkemih cobalah untuk mulai menahan urin selama 5 menit,
bila mampu menahan selama 5 menit tingkatkan samapi 10 menit dan seterusnya
sehingga jarak berkemih 2-3 jam. Lakukan bladder training 3-12 minggu.
c) Kegel’s Excercise
Kegel adalah nama dari latihan untuk menguatkan otot dasar
panggul.Latihan Kegel merupakan suatu upaya untuk mencegah timbulnya
inkontinensia urin. Mekanisme kontraksi dan meningkatnya tonus otot dapat
terjadi karena adanya rangsangan sebagai dampak dari latihan. Otot dapat
dipandang sebagai suatu motor yang bekerja dengan jalan mengubah energi kimia
menjadi tenaga mekanik berupa kontraksi danpergerakan untuk menggerakkan
serat otot yang terletak pada interaksi aktin dan miosin. Proses interaksi tersebut
diaktifkan oleh ion kalsium danadenotrifosfat (ATP), yang kemudian dipecah
menjadi adenodifosfat (ADP) untuk memberikan energi bagi kontraksi otot
detrusor.
Cara latihan Kegel adalah dengan melakukan kontraksi pada otot
puboccygeus dan menahan kontraksi tersebut dalam hitungan 10 detik, kemudian
kontraksi dilepaskan.Pada tahap awal bisa dimulai dengan menahan kontraksi
selama 3 hingga 5detik. Dengan melakukan secara bertahap otot ini semakin kuat,
latihan ini diulang 10 kali setelah itu mencoba berkemih dan menghentikan urin.
2) Terapi farmakologi
Terapi farmakologis digunakan jika behavioral oriented atau terapi lain
tidak memperbaiki kondisi inkontinensia urin. Terapi farmakologis umumnya
memakai obat-obatan dengan efektivitas dan efek samping yang berbeda. Obat-
obatan yang sering digunakan untuk mengatasi inkontinensia urin antara lain:
a) Anti muscarinic yang berfungsi untuk mencegah kontraksi dan
pengosongan kandung kemih sebelum mencapai volume yang dapat
merangsang mikturisi.
b) Alpha-adrenergic agonist seperti phenyl propanolamine dan pseudo
ephedrine yang bertujuan untuk meningkatkan kekuatan otot spingter.
Pada inkontinensia stress diberikan alfa adrenergic agonis, yaitu
pseudoephedrine untuk meningkatkan retensi urethra.
c) Obat-obat yang dapat diberikan pada inkontinensia urgen adalah
antikolinergik seperti Oxybutinin, Propantteine, Dicylomine, flavoxate,
Imipramine, tricyclic antidepressant.
d) Terapi estrogen dapat digunakan untuk mengatasi inkontinensia pada
wanita menopause. Estrogen berfungsi untuk meningkatkan tonus,
danaliran darah ke otot spingter uretra
3) Terapi pembedahan
Terapi ini dapat dipertimbangkan pada inkontinensia tipe stress dan
urgensi, bila terapi non farmakologis dan farmakologis tidak berhasil.
Inkontinensia tipe overflow umumnya memerlukan tindakan pembedahan untuk
menghilangkan retensi urin. Terapi ini dilakukan terhadap tumor, batu,
divertikulum, hiperplasia prostat, dan prolaps pelvic (pada wanita). Tindakan
pembedahan dilakukan bila penyebab inkontinensia sudah teridentifikasi dengan
tepat. Tujuan pembedahan adalah untuk menaikkan danmenyokong leher kandung
kemih agar dapat kembali ke posisi normalnya yaitu diatas otot dasar pelvis.
Tindakan operatif dilakukan atas pertimbangan yang matang dan diahului
dengan evaluasi uridinamik. Pada perempuan dengan prolaps pelvik yang
signikan dan inkontinensia tipe stres yang tidak membaik dengan penanganan
konservatif harus dilakukan upaya operatif. Pada laki-laki dengan tanda obstruksi
saluran kemih akibat hipertrofi prostat dapat dilakukan operasi sebagai upaya
pencegahan inkontinensia tipe overflow di kemudian hari. Beberapa cara untuk
melemahkan detrusor dilakukan dengan menggunakan pendekatan postsakral atau
paravaginal.
Teknik pembedahan yang bertujuan untuk merusak struktur dan kekuatan
detrusor seperti transesksi terbuka kandung kemih, transeksi endoskopik,injeksi
penol periureter dan sistolisis telah banyak dugynakan. Teknik pembedahan yang
paling sering digunakan adalah ileosistoplasti dan miektomi destrusor. Teknik
pembedahan untuk inkontinensia tipe stres adalah injecctable intraurethral
bulking agents, suspensi leher kandun gkemih, urethral slings, dan artificial
urinary sphincters. Teknik pembedahan untuk inkontinensia tipe urgensi adalah
augmentation cystoplasty, dan stimulasi elektrik.
Salah satu modalitas terapi yang perlu mendapat perhatian bagi tenaga
kesehatan adalah pemakaian kateter dan perawatannya. Dalam praktek klinik,
katerisisasi sering merupakan tindakan pertama yang dilaukan untuk penderita
inkontinesia urin akut. Data-data yang ada menunjukkn pemakaian kateter.
Terdapat 3 cara atau prosedur pemakaian kateter yaitu: kateter eksternal (kateter
kondom), katerisasi intermitten, dan katerisisai kronik atau menetap. Kateter
eksternal hanya dipakai pada inkontinensia inractable tanpa retensi urin yang
secara fisik dependen. Bahaya pemakaian kateter tersebut adalah risiko infeksi
dan iritasi kulit.
Katerisisai intermiten dipakai untuk mengatasi retensi urin dan
inkontinensia tipe overflow akibat kandung kemih yang akontraktil atau Detrussor
hiperactivity with impaired contractility (DHIC). Prosedur ini dapat dilakukan 2-4
kali perhari oleh pasien atau tenaga kesehatan. Biasanya teknik ini dilakukan apda
pasien dengan inkontinesia urin akut. Risiko infeksi sering terjadi pada prosedur
ini, oleh karenanya harus dicegah dengan melakukan teknik aseptik. Sedangkan
katerisasi harus dicegah dengan melakukan teknik aseptik. Sedangkan katerisisai
menetap harus dilakukan secara selektif oleh karena risiko bakteria kronik, batu
kandung kemih, abses periuretral, dan bahkan kanker kandung kemih. Induksi
pemakaian kateter kronik adalah retensi urin akibat inkontinensia overflow
ppresisten, tak layak operasi, tidak efektif dilakukan katerisasi intermiten, ada
dalam perawatan dekubitus, dan perawatan terminal dengan demensia berat.