Anda di halaman 1dari 7

Sistem Ekonomi Pedesaan

Desa sebagai tempat untuk menetap atau bermukim memang erat berhubungan dengan pertanian.
Sebab, cocok tanam berbeda dengan perburuan memaksa orang tinggal di suatu tempat untuk
memelihara tanaman dan menunggui hasil panenanya. Eratnya kaitan antara eksistensi desa dan
pertanian ini menyebabkan orang cenderung mengidentifikasikan desa dengan pertanian
pendapat umum cenderung menyatakan bahwa masyarakat desa adalah petani dan petani adalah
masyarakat desa. Kenyataan bahwa ada pula desa-desa non pertanian, seringkali agak diabaikan.

Dalam perkembangan yang terjadi saat ini, terutama di negara-negara industri maju ( seperti
Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa Barat), semakin terlihat adanya kecenderungan
bahwa desa tidak lagi identik dengan pertanian. Di kawasan ini, kebanyakan desa tidak lagi
tergantung kepada sektor pertanian. Beberapa di antara desa-desa itu ada yang petaninya tinggal
sepersepuluh dari seluruh penduduk desa. Bahkan ada pula petani-petani yang berasal dari kota.
Sifat pertanianyapun telah bergeser menjadi suatu bisnis modern , dalam mana pertanian lebih
merupakan sarana untuk mengejar keuntungan dari pada sebagai suatu cara hidup ( way of life ).

Sosiologi Pedesaan digunakan terutama bila berkaitan dengan analisa mengenai pengaruh sistem
produksi terhadap kehidupan sosial-budaya masyarakat desa ( termasuk sistem nilai, norma, dan
lembaganya). Sedangkan Sosiologi pertanian digunakan bila berkaitan dengan analisa mengenai
pengaruh sosial-budaya terhadap sistem (produksi ) pertanian.

Pembahasan mengenai sistem pertanian juga mencakup hubungan antara masyarakat desa (
khususnya petani ) dan tanah. Untuk masyarakat desa, terutama didesa-desa ( dominan )
pertanian, tanah pertanian sangat pentig artinya bagi kehidupan mereka. Hubungan antara
manusia dan tanah ini mencakup sejumlah bentuk dan sifat hubungan. Yang terpenting adalah
berkaitanaa dengan pembagian dan penggunaan tanah ( land division and land use ), pemilikan
serta berbagai bentuk penguasaan tanah ( land tenure ), dan termasuk luas sempitnya penguasaan
tanah ( size of land holding ). Pembahasan aspek ini akan mencakup masalah pemilikan ( hak
milik ), penguasaan ( hak guna, mencakup persewaan, pergadaian, dan penyakapan atau sistem
bagi hasil ), land reform, dan lainya.

Cara bagaimana tanah dibagi dan digunakan ( land division = LD, dan land use = LU ) di antara
dan oleh penduduk suatu satuan daerah tertentu ( dalam hal ini desa ), sangat menentukan
pengaruhnya terhadap kehidupan sosial masyarakat desa tersebut. Boleh dinyatakan dalam hal
ini bahwa hampir semua aspeksistem sosial masyarakat desa di pengaruhi oleh pola LD dn LU
yang ada. Besaran pengaruhnya tergantung kepada tingkat perkembangan atau kemajuan
masyarakatnya. Untuk masyarakat desa yang masih bersahaja/tradisional, belum komersial,
belum memiliki tingkat teknologi yang tnggi, relatif terisolasi, dan tingkat kebutuhan yang
sangat bersahaja, maka LD dan LU tidak begitu terlihat bentuk maupun perananya. Sebaliknya
dalam masyarakat desa pertanian yang telah maju, yang telah menggunakan mesin ( teknologi
pertanian modern ) , usaha taninya bersifat komersial, masyarakatnya telah transparan, mobilitas
tinggi, dan telah menjadikan tanah sebagai kekayaan perorangan ( trait of private property ),
maka LD dan LU-nya memiliki bentuk serta peranan yang sangat jelas dalam kehidupan
masyarakat tersebut. Dalam masyarakat desa yang telah maju ini, telah terdapat pola yang jelas
mengenai pembagian tanah di antara penduduk dan yang untuk kepentingan umum ( seperti
untuk jalan dan bangunan-bangunan umum ), di samping pola pembangunanya. Amerika Serikat
adalah contoh yang jelas mengenai sangat pentingnya LD dan LU ini.

Persewaan adalah suatu bentuk ikatan ekonomi antara pemilik tanah dan penyewa ( pemilik uang
), dalam mana si pemilik tanah menyerahkan hak-guna tanahnya kepada penyewa, sedang si
penyewa menyerahkan sejumlah uang ( sesuai kelajiman setempat ) untuk jangka waktu tertentu
( setengah atau beberapa tahun, atau satu atau beberapa kali panenan ). Keuntungan, kerugian (
risiko kegagalan panen atau lainya ), dan biaya produksi berada di tangan penyewa apabila
jangka waktu persewaan telah berakhir, maka dengan sendirinya tanah tersebut kembali kepada
pemiliknya. Di beberapa daerah Jawa Tengah dan Timur, persewaan untuk masa satu panenan
tersebut adol ayodan, sedang untuk masa satu tahun disebut adol tahunan.
Pergadaian adalah suatu bentuk ikatan ekonomi antara pemilik tanah dengan pihak lain, dalam
mana si pemilik tanah menyerahkan hak-guna tanahnya kepada pihak lain itu. Pihak lain
(pemegang gadai) menyerahkan sejumlah uang yang besarnya sesuai dengan persetujuan
mereka. Hak-guna tanah tersebut baru bisa dimiliki oleh pemilik tanah lagi setelah si pemilik
tersebut dapat mengembalikan uang gadainya. Minimal transaksi pergadaian ini satu kali
panenya. Artinya, seandainya pemilik bisa mengembalikan uang gadai sebelum satu panenan,
hasil panenan masih menjadi milik penggadai. Pergadaian ini di beberapa daerah di Jawa Tengah
dan Timur disebut adol sende. Praktek gadai ini ditentang sebab, orang yang menggadaikan
sawah umumnya adalah mereka yang berada dalam keadaan miskin tetapi sedang sangat
membutuhkan uang yang besar untuk ukuran kemampuan mereka. Sehingga, mereka mengalami
kesulitan besar untuk menebus tanahnya itu. Banyak di antara mereka itu yang tidak dapat
menebus kembali tanahnya. Undang-undang Nomor 56 Tahun 1960 dalam kenyataanya belum
mampu melindungi nasib si pemilik tanah ( peggadai ).

Sistem pertanian pada masyarakat desa yang dominan pertanian sangatlah vital artinya bagi
kehidupan mereka. Sistem pertanian bagi mereka adalah merupakan cara bagaimana mereka bisa
hidup. Terlebih untuk masyarakat desa yang masih bersahaja, yang kehidupanya tergantung
sepenuhnya pada pertanian. Maka bagi masyarakat desa semacam itu, sistem pertanian adalah
identik dengan sistem perekonomian mereka, yakni bila ekonomi diartikan sebagai cara
“pemenuhan keperluan jasmaniah manusia”. Sejauh ini, digeneralisasi secara umum sekali, desa-
desa di Indonesia umumnya adalah desa pertanian. Bahkan desa-desa nelayan (yang sekalipun
jumlahnya relatif banyak, tetapi sangat kecil dibanding desa pertanian) kebanyakan juga tidak
terlepas dari sektor pertanian. Artinya, banyak nelayan-nelayan kecil yang di samping menjadi
nelayan juga menjadi petani.

Bagaimana sistem ekonomi, atau khususnya sistem pertanian, tercipta di suatu desa atau kawasan
tertentu tidaklah lepas dari pengaruh pelbagai faktor. Di antara sekian faktor yang sangat besar
pengaruhnya terhadap sistem ekonomi/pertanian tersebut adalah keluarga, tanah, dan pasar.

1. Faktor keluarga

Seberapa besar pengaruh keluarga terhadap sistem ekonomi (sistem pertanian)? Boleh
disimpulkan secara umum, bahwa keluarga memiliki pengaruh yang sangat determinan, terutama
bagi masyarakat desa (pertanian) prakapitalistik, termasuk peasan. Dalam bab III telah dijelaskan
bahwa produksi pertanian dari kelompok peasan lebih ditujukan untuk pemenuhan kebutuhan
keluarga, tidak untuk mengejar kebutuhan (profit oriented).

Dalam bukunya “Prakapitalisme di Asian”, 1948 (terjemahan), J.H. Boeke mengemukakan


bahwa keluarga merupakan unit swasembada. Artinya, keluarga mewujudkan suatu unit yang
mandiri yang dapat menghidupi keluarga itu sendiri lewat kegiatan pertanian. Menurut dia: kerja
harus menyesuaikan dengan keluarga beserta susunan keluarga, bukan sebaliknya. Dalam
pelbagai buku pengantar Sosiologi, keterkaitan antara keluarga dan produksi pertanian ini juga
sering diketengahkan. Roucek dan Warren (1962) misalnya, juga menyatakan bahwa fungsi
keluarga sebagai unit ekonomi/produksi (disamping sebagai unit sosial) adalah salah satu
karakteristik masyrakat desa. Fungsi keluarga sebagai unit ekonomi/produksi ini contohnya
dapat dilihat dalam keluarga petani Jawa tradisional (prakapitalistik atau semi-prakapitalistik).
Dalam suatu keluarga tipe ini, sang suami mengerjakan sejumlah mata kegiatan seperti membuat
pesemaian bibit, mengolah lahan pertanian hingga siap tanam, menyiang (membersihkan rumput
yang tumbuh di sela-sela tanaman padi), mengangkut hasil panen, dan sebagainya. Sang isteri
mengerjakan sejumlah mata kegiatan seperti mengirim makan kepada mereka yang sedang
mengolah sawah, menanam padi (tandur), menuai padi (derep,) menumbuk padi (nutu), dan
sebagainya. Sedagkan anak-anak sesuai dengan jenis kelamin, usia, dan kemampuan mereka,
ikut membantu pelbagai kegiatan tersebut. Dengan demikian tidak seperti keluarga kota
umumnya, yang kalaupun seluruh anggota keluarga memiliki pekerjaan (mata pencaharian)
namun tidak sebagai satu unit kerja. Pentingnya arti keluarga dalam kaitanya dengan sistem
ekonomi/produksi dalam masyarakat desa dapat dilihat dari pendapat J.H. Boeke berikut ini:

Perkawinan di desa berlaku umum. Bagaimana mungkin tanpa isteri orang dapat sempurna
menjalani kehidupan ini, atau tanpa keturunan yang dapat menopang kehidupan hari tua dan di
alam baka? Seorang laki-laki tanpa isteri, tidak lebih dari laki-laki tanpa tanah, tidak dapat
memimpin kehidupan yang mandiri, dan orang tanpa anak, tidak memiliki kepastian masa depan,
sebelum dan sesudah mati. (J.H. Boeke, terjemahan, 1983:23)

Dalam wacananya itu, jelas diperlihatkan oleh J.H. Boeke tentang betapa pentingnya arti
keluarga bagi masyarakat desa, dan sekaligus juga dapat dilihat keterkaitanya dengan sistem
ekonomi mereka.
Karena keluarga merupakan unit ekonomi swasembada, mandiri, maka pada tingkat masyarakat
sebenarnya tidak terdapat sistem ekonomi yang jalin-menjalin, saling tergantung, seperti yang
terdapat dalam masyarakat kota. Maka, pada tingkat desa hakekatnya masyarakat bukanlah
merupakan suatu kesatuan ekonomik, melainkan lebih merupakan kesatuan sosial.

Faktor Tanah

Tanah ( khususnya lahan pertanian ), dalam pelbagai karakteristiknya juga merupakan faktor
determinan terhadap karakteritik sistem ekonomi masyarakat desa. Kupasan mengenai tanah ini
telah banyak sekali dikemukakan, baik secara khusus sebagai wacana tersendiri maupun terselip
dalam pelbagai wacana lainnya. Telah dikupas misalnya mengenai arti penting tanah bagi petani,
pola pemilikan dan penguasaan lahan pertanian dan pengaruhnya terhadap struktur sosial, tata
dan pola – pola pembagian serta penggunaan tanah, luas-sempitnya pemilikian dan penguasaan
tanah serta pengaruhnya terhadap struktur maupun dinamika masyarakatnya, dan sebagainya.

Bagaimana pengaruh pola pemilikan lahan terhadap sistem ekonomi, atau khususnya sistem
pertanian? Dalam hal ini perlu diperhitungkan adanya dua karakteristik pemilikan lahan yang
memiliki pengaruh khas terhadap sistem pertanian/ekonomi. Karakteristik pemilikan ini adalah
menyangkut luas-sempitnya pemilikan lahan, dan sistem LT (land-tenure). Bagaimana pengaruh
luas-sempitnya pemilikan lahan terhadap sistem pertanian/ekonomi? Pertama, pemilikan lahan
yang sempit akan cenderung pada sistem pertanian yang intensif, terlebih bila ditunjang oleh
tingkat kesuburan tanah yang tinggi. Kedua, pengaruh perbedaan dalam luas pemilikan lahan
para petani dalam suatu lingkungan desa. Desa atau lingkungan tertentu yang warganya memiliki
lahan pertanian yang rata-rata sama luasnya (one-class system = OCS) akan berbeda
pengaruhnya terhadap sistem pertanian/ekonomi dibanding dengan desa yang rata-rata pemilikan
lahan warganya tidak sama (tuan tanah berhadapan dengan petani penggarap/ buruh tani, disebut
two – class system = TCS). OCS,sebagaimana telah diuraikan sebelunya.

http://topengawu.blogspot.com/2011/08/sistem-ekonomi-pedesaan.html?m=1
Faktor-Faktor Determinan Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia

oleh

Endy Dwi Tjahjono & Donni Fajar Anugrah

Peneliti Ekonomi Bank Indonesia

Abstraksi

Penelitian ini menghitung kembali kinerja pertumbuhan ekonomi Indonesia dengan


menggunakan (i) Solow-Swan Model, (ii) perluasan Solow-Swan Model dengan menambahkan
faktor human kapital sesuai Model Mankiw-Romer-Weil (MRW), serta (iii) beberapa faktor
yang menjadi sumber fluktuasi business cycle di Indonesia. Berbeda dengan penelitian-penelitian
sebelumnya yang banyak menggunakan cross section data yang meliputi 30 – 50 negara
termasuk Indonesia, pada penelitian ini semua data menggunakan data Indonesia dengan
pendekatan panel data 26 Propinsi selama periode 1985 – 2004.

Hasil penelitian dengan Model Solow-Swan menunjukan bahwa peran labor lebih besar
dibandingkan kapital, yang ditunjukkan dengan capital share sebesar 0,4 dan labor share sebesar
0,6. Hasil perhitungan growth accounting menunjukkan pertumbuhan TFP selama periode 1985-
2004 mencapai 1.35 %. Sementara itu, dari Model Mankiw-Romer-Weil (MRW) yang
memasukan faktor human capital pada model Solow Swan menyimpulkan human capital
berpengaruh positif pada pertumbuhan meskipun kecil dengan share sebesar 0,05%. Selanjutnya,
beberapa variabel makro yang secara empiris terbukti menjadi sumber fluktuasi business cycle di
Indonesia adalah inflasi, nilai tukar, kredit perbankan, dan harga minyak.

Tags:
https://www.google.co.id/url?q=http://www.bi.go.id/id/publikasi/lain/kertas-
kerja/Pages/faktor_determinan_pertumbuhan_ekonomi.aspx&sa=U&ved=2ahUKEwiZ9cai1ujX
AhXCmpQKHQ1vCMkQFjACegQIGRAA&usg=AOvVaw1Jp8-It6PwjkBm82ncefxA

Anda mungkin juga menyukai