Anda di halaman 1dari 33

DEPARTEMEN ORTHOPEDI DAN TRAUMATOLOGI REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN JANUARI 2020

UNIVERSITAS HASANUDDIN

CERVICAL SPONDYLOTIC MYELOPATHY

DISUSUN OLEH:

Sri Rahma Dani

C014172024

RESIDEN PEMBIMBING:

dr. Reza Romadhona Fahlevi

dr. Anthony Evans

SUPERVISOR PEMBIMBING:

dr. Jainal Arifin, M.Kes, Sp.OT(K)Spine

DIBAWAKAN DALAM RANGKA KEPANITERAAN KLINIK

BAGIAN ORTHOPEDI DAN TRAUMATOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2020

1
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa:

Nama : Sri Rahma Dani

NIM : C014172024

Judul : CERVICAL SPONDYLOTIC MYELOPATHY

Telah menyelesaikan tugas referat dalam rangka kepaniteraan klinik pada


Departemen Orthopedi dan Traumatologi Fakultas Kedokteran Universitas
Hasanuddin.

Makassar, Januari 2020

Pembimbing Residen I Pembimbing Residen II

dr. Reza Romadhona Fahlevi dr. Anthony Evans

Pembimbing Supervisor

dr. Jainal Arifin, M.Kes, Sp.OT(K)Spine

2
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ......................................................................................................... 2

DAFTAR ISI.................................................................................................................................. 3

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................................ 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................................. 6

2.1 DEFINISI ............................................................................................................................. 6

2.2 EPIDEMIOLOGI................................................................................................................. 6

2.3 ANATOMI ........................................................................................................................... 7

2.4 ETIOLOGI ......................................................................................................................... 13

2.5 PATOGENESIS................................................................................................................ 15

2.6 GEJALA KLINIS .............................................................................................................. 18

2.7 DIAGNOSIS ...................................................................................................................... 20

2.8 DIAGNOSIS BANDING ................................................................................................. 23

2.9 TATALAKSANA ............................................................................................................. 23

2.10 PROGNOSIS ................................................................................................................... 30

BAB III KESIMPULAN ........................................................................................................... 31

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................ 32

3
BAB I
PENDAHULUAN

Spondilosis cervical merupakan suatu penyakit degeneratif yang umum


pada tulang cervical. Hal ini paling sering disebabkan oleh perubahan pada diskus
intervertebral akibat perubahan usia. Diskus intervertebral memiliki fungsi sebagai
shock absorber dan mentransmisikan beban yang diterima oleh corpus vertebra satu
ke corpus vertebra lainnya. Spondilosis terdiri atas 3 tipe sindrom yaitu: servikal
radikulopati (sindrom tipe I), servikal mielopati (sindrom tipe II), dan axial joint
pain (sindrom tipe III).1
Secara klinis ditemukan adanya nyeri pada leher dan bahu, nyeri
suboccipital, gejala radikular, dan cervical spondylotic myelopathy (CSM).
Selanjutnya terjadi perubahan degeneratif pada facet joint, hipertrofi dari
ligamentum flavum, dan terjadi ossifikasi ligamentum posterior longitudinal.
Semua ini berkontribusi dalam memberikan penekanan pada struktur yang sensitif
dengan nyeri (seperti saraf, medulla spinalis), kemudian menyebabkan berbagai
sindrom klinis.1
Cervical Spondylotic Myelopathy (CSM) adalah kondisi leher yang muncul
ketika medula spinalis terkompresi atau terjepit akibat perubahan keausan yang
terjadi pada tulang belakang seiring bertambahnya usia. Kondisi umum terjadi pada
pasien di atas usia 50 tahun. Sejumlah faktor yang berkontribusi terhadap tekanan
ekstrinsik, termasuk diameter dari korda spinalis, osteofit, penonjolan diskus,
perubahan dinamik dari diameter kanal, serta vaskularisasi.2
Karena sumsum tulang belakang membawa impuls saraf ke banyak daerah
dalam tubuh, pasien dengan CSM dapat mengalami berbagai gejala. Kelemahan
dan mati rasa di tangan dan lengan, kehilangan keseimbangan dan koordinasi, dan
nyeri leher semua bisa terjadi ketika aliran normal impuls saraf melalui sumsum
tulang belakang terganggu.2
Cedera medula spinalis merupakan salah satu penyebab utama disabilitas
neurologis akibat trauma. Pusat Data Nasional Cedera Medula Spinalis (The
National Spinal Cord Injury Data Research Centre) memperkirakan ada 10.000

4
kasus baru cedera medula spinalis setiap tahunnya di Amerika Serikat. Angka
insidensi paralisis komplit akibat kecelakaan diperkirakan 20 per 100.000
penduduk, dengan angka tetraplegia 200.000 per tahunnya. Kecelakaan kendaraan
bermotor merupakan penyebab utama cedera medula spinalis.2
Tujuan utama terapi adalah meningkatkan fungsi motorik dan sensorik
pasien. Bukti ilmiah menunjukkan bahwa pemberian steroid dosis tinggi
meminimalkan efek sekunder cedera medula spinalis. Pasien dengan cedera medula
spinalis komplit hanya memiliki kemungkinan 5% untuk membaik. Pada cedera
komplet yang menetap lebih dari 72 jam, maka hampir tidak ada kemungkinan
untuk kembali pulih. Sindroma cedera inkomplit memiliki prognosis yang jauh
lebih baik.2

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

I. DEFINISI

Cervical Spondylotic Myelopathy (CSM) didefinisikan sebagai


serangkaian tanda dan gejala yang menghasilkan perubahan anatomis dan
fisiologis pada kolumna vertebra, yang mengarah ke kompresi medula spinalis.3
Cervical Spondylotic Myelopathy (CSM) merupakan kondisi leher yang muncul
ketika medula spinalis terkompresi atau terjepit akibat perubahan keausan yang
terjadi pada tulang belakang seiring bertambahnya usia. Kondisi umum terjadi
pada pasien di atas usia 50 tahun.2
Karena sumsum tulang belakang membawa impuls saraf ke banyak
daerah dalam tubuh, pasien dengan CSM dapat mengalami berbagai
gejala. Kelemahan dan mati rasa di tangan dan lengan, kehilangan
keseimbangan dan koordinasi, dan nyeri leher semua bisa terjadi ketika
aliran normal impuls saraf melalui sumsum tulang belakang terganggu.2

II. EPIDEMIOLOGI

Data berbasis populasi dari Rochester, Minnesota, menunjukkan bahwa


servikal myelopati memiliki tingkat kejadian tahunan 97,3 per 100.000 untuk
laki-laki dan 63,5 per 100.000 untuk perempuan dengan puncaknya pada usia
50 sampai dengan 54 tahun. Riwayat dari kerja fisik atau trauma
mendahulu timbulnya gejala hanya pada 15% kasus. Sebuah studi dari
Sisilia melaporkan prevalensi sekitar 35 kasus per 1000 penduduk. Sekitar
26% dari 561 pasien dengan servikal myelopati menjalani operasi dalam
waktu 3 bulan. Kekambuhan yang didefinisikan sebagai munculnya gejala
setelah interval bebas gejala minimal 6 bulan terjadi pada sekitar 32%
pasien. Pada 90% pasien memiliki temuan normal atau hanya sedikit
kelemahan karena radikulopati servikal. Nyeri leher aksial adalah penyebab
paling umum dari nyeri leher dan mempunyai angka kesembuhan yang

6
tinggi. Dalam suatu studi, setelah 3 bulan perawatan non-operatif, 70%
penderita mendapatkan kesembuhan lengkap. Lokasi yang paling sering terkena
adalah C5-6 > C6-7 karena berhubungan dengan fleksi dan ekstensi paling
banyak pada tulang belakang subaksial.4

III. ANATOMI

A. Anatomi Vertebra Cervical


Sebuah pilar yang berfungsi sebagai penyangga tubuh dan melindungi
medulla spinalis disebut vertebra. Vertebra terdiri atas 33 ruas tulang belakang
yang tersusun secara segmental yang terdiri atas 7 ruas tulang servikal (vertebra
cervical), 12 ruas tulang thorakal (vertebra thoracalis), 5 ruas tulang lumbal
(vertebra lumbalis), 5 ruas tulang sakral (vertebra sakralis) dan 4 ruas tulang
coccygeal.5
Vertebra servikalis adalah bagian bawah kepala dengan ruas-ruas tulang
leher yang berjumlah 7 buah (CV I – CV VII). Vertebra servikalis merupakan
bagian terkecil di tulang belakang. Secara anatomi vertebra servikalis dibagi
menjadi dua daerah yaitu daerah servikal atas (CV1 dan CV2) dan daerah
servikal bawah (CV3 sampai CV7). Diantara ruas-ruas tersebut, ada tiga ruas
servikal yang memiliki struktur anatomi yang unik. Ketiga ruas telah diberi
nama khusus, antara lain CV1 disebut atlas, CV2 disebut axis, dan CV7 disebut
prominens vertebra.5
Ruas tulang leher umumnya mempunyai ciri yaitu badannya kecil dan
persegi panjang, lebih panjang dari samping ke samping daripada dari depan ke
belakang. Vertebra servikalis mempunyai korpus yang pendek dan korpus ini
berbentuk segiempat dengan sudut agak bulat jika dilihat dari atas. Tebal korpus
bagian depan dan bagian belakang sama. Lengkungnya besar mengakibatkan
prosesus spinosus di ujungnya memecah dua atau bifida. Prosesus
tranversusnya berlubang-lubang karena banyak foramina untuk lewatnya arteri
vertebralis.5

7
Gambar 1. Pembagian vertebral columnar

Otot – otot penggerak pada regio vertebra cervical antara lain m. longus
colli, m. longus capitis, m. rectus capitis anterior, m. sternocledomastoid, m.
scalenus anterior (untuk gerak flexi neck ), m. erector spine, m. rectus capitis
lateralis, m. scalenes splenius cervicis, m. splenius capitis, m. trapezius, m. levator
scapula, m. sternocledomastoid, (untuk gerak lateral fleksi neck), m. levator
scapula, m. spelenius cervicis, m. trapezius, m. spelenus capitis, m. semispinalis,
m. superior oblique, m. sternocledomastoid, m. erector spine, m. rectus capitis
posterior major dan minor (untuk gerakan extensi neck), m. semispinalis, m.
multifidus, m. scalenus anterior, m. spelenius cervicis, m. sternocledomastoid, m.
spelenus capitis, m. rectus capitis posterior major, m. inferior oblique (untuk
gerakan rotasi neck).5

8
Gambar 2. Otot-otot regio vertebra cervical

B. Anatomi Medula Spinalis

Medula spinalis adalah bagian dari susunan saraf pusat yang seluruhnya
terletak dalam kanalis vertebralis, dikelilingi oleh tiga lapis selaput
pembungkus yang disebut meningen. Lapisan-lapisan dan struktur yang
mengelilingi medula spinalis dari luar ke dalam antara lain :
1. dinding kanalis vertebralis (terdiri atas vertebrae dan ligamen)
2. lapisan jaringan lemak (ekstradura) yang mengandung anyaman pembuluh-
pembuluh darah vena
3. duramater
4. arachnoid
5. ruangan subaraknoid (cavitas subarachnoidealis) yang berisi liquor
cerebrospinalis
6. piamater, yang kaya dengan pembuluh-pembuluh darah dan yang langsung
membungkus permukaan sebelah luar medula spinalis.6
Pada usia dewasa, ujung kaudal medula spinalis umumnya terletak
setinggi tepi kranial corpus vertebrae lumbalis II atau setinggi discus
intervertebralis antara corpus vertebrae lumbalis I dan II. Terdapat banyak jalur

9
saraf (tractus) di dalam medula spinalis. Jalur saraf tersebut dapat dilihat pada
gambar di berikut:6

Bagian medula spinalis mulai dari perbatasan dengan medula oblongata


(decussatio pyramidum) sampai setinggi vertebra L1-2 yang terdiri dari 31 segmen:
8 servikal, 12 torakal, 5 lumbal, 5 sakral, 1 koksigeal. Pada bagian bawah, medula
spinalis menipis menjadi conus medularis dan berlanjut sebagai filum terminale
yang melekat pada os coccygea. Akar saraf lumbal dan sakral terkumpul dan
disebut dengan cauda equina.6
Masing-masing segmen membentuk sepasang radiks saraf spinal yang
keluar melalui foramen intervertebral yaitu bagian dorsal dan ventral. Akar bagian
dorsal berisi serabut saraf sensorik dan memiliki struktur ganglia yang berisi neuron
sensoris, sedangkan akar bagian ventral berisi serabut saraf motorik dengan neuron
motoriknya terletak pada cornu anterior medula spinalis.6
Medula spinalis diperdarahi oleh satu arteri spinalis anterior dan dua arteri
spinalis posterior yang berasal dari arteri vertebralis dari dalam intrakranial dan
berjalan secara longitudinal di sepanjang medula spinalis dan bergabung dengan

10
arteri segmental dari masing-masing regio yang merupakan cabang dari arteri besar
yang memperdarahi masing-masing regio, seperti:
 Arteri vertebralis yang berasal dari arteri subklavia di leher
 Arteri intercostalis posterior yang berasal dari aorta thorakalis
 Arteri lumbalis yang berasal dari aorta abdominalis
 Arteri sacral lateral yang berasal dari arteri iliaka interna pelvis

Aliran pembuluh vena medula spinalis berawal dari vena radikularis yang
bergabung menuju vena segmentalis kemudian terkumpul di:
 Vena cava superior
 Sistem vena azygos thorakalis
 Vena cava inferior

Medula spinalis tersusun oleh substansia alba yang berwarna putih di bagian
luar dan substansia grisea yang berwarna abu-abu di bagian dalam. Substansia
grisea membentuk cornu anterior dan posterior sehingga tampak seperti gambaran
huruf H atau kupu-kupu pada potongan melintang. Di dalam substansia alba berisi
lintasan-lintasan asenden dan desenden. Di dalam substansia grisea pada daerah
cornu anterior terdapat motor neuron yang bertanggung jawab dalam penghantaran
impuls motorik somatik.7
Sama seperti pada otak substansia grisea medula spinalis mengandung
badan sel neuron primer dan dendritnya, interneuron, dan sel glia. Substansia alba
terdiri dari traktus-traktus yang merupakan kumpulan serat saraf (akson) yang
memanjang dari otak ke sepanjang medula spinalis dan mentransmisikan informasi
spesifik. Traktus asending mentransmisikan sinyal input dari aferen ke otak,
sedangkan traktus desending menghantarkan pesan impuls dari otak ke neuron
eferen.7
Substansia grisea terbagi menjadi cornu anterior (ventral), cornu posterior
(dorsal), dan cornu lateral. Cornu posterior mengandung badan sel dari interneuron
aferen. Cornu anterior mengandung badan sel dari neuron eferen motorik untuk otot
skeletal. Badan sel serat saraf otonom, baik simpatis maupun parasimpatis, yang
mempersarafi jantung, otot polos, dan kelenjar eksokrin terdapat di cornu lateral.7
11
Medula spinalis terletak antara otak dan serat aferen dan eferen system saraf
perifer sehingga hal ini menyebabkan medula spinalis memiliki dua fungsi: (1)
sebagai jembatan transmisi informasi antara otak dan seluruh tubuh, dan (2) sebagai
pusat refleks antara input aferen dan output eferen tanpa melibatkan otak. Refleks
ini disebut sebagai refleks spinal.7
Reseptor menangkap stimulus yang terdeteksi kemudian memberikan
respon berupa potensial aksi yang dihantarkan oleh jalur aferen menuju ke pusat
integrasi yaitu sistem saraf pusat (otak atau medula spinalis). Pusat integrasi ini
kemudian mengolah informasi yang didapat dari reseptor dan kemudian
‘memutuskan’ respon yang akan diberikan. Respon tersebut dihantarkan dari pusat
integrasi melalui jalur eferen menuju ke efektor (otot atau kelenjar). Respon refleks
dapat diprediksi karena selalu melalui jalur yang sama.7

12
IV. ETIOLOGI

Pada pasien berusia 50-an penyebab mielopati tersering adalah


spondilosis servikal. Pada keadaan ini terjadi penyakit degeneratif
(osteoartrosis) vertebra servikal yang dapat menyebabkan kompresi medula
spinalis karena adanya kalsifikasi, degenerasi, protrusi, diskus intervertebra,
pertumbuhan tulang yang menonjol (osteofit) dan penebalan ligamentum
longitudinal. Pada pasien berusia 40-an kebawah penyebab tersering terjadinya
mielopati adalah sclerosis multiple.8

 Penyakit degeneratif, misal spondiylolisthesis, hipertrofi ligamentum


flavum atau herniasi diskus intervertebralis (pengurangan diameter kanal
tulang belakang dan kompresi sumsum tulang belakang) yang berakibat
kompresi pada medula spinalis.9
Herniasi diskus terjadi ketika nucleus pulposus mendorong cincin luarnya
(annulus fibrosus). Jika terjadi keausan atau cedera, nucleus dapat masuk
sepenuhnya. Ketika terjadi penonjolan ke arah kanal tulang belakang ia
dapat memberi tekanan pada sumsum tulang belakang atau akar saraf.9

13
 Radang sendi. Rheumatoid arthritis adalah penyakit autoimun. Ini berarti
bahwa sistem kekebalan tubuh menyerang jaringannya sendiri. Pada
rheumatoid arthritis, sel-sel imun menyerang sinovium, selaput tipis yang
melapisi sendi. Ketika sinovium membengkak, hal itu dapat menyebabkan
rasa sakit dan kekakuan dan dalam kasus yang parah, kerusakan sendi facet
di tulang belakang leher. Ketika ini terjadi, vertebra atas dapat meluncur ke
depan di atas vertebra bawah, mengurangi jumlah ruang yang tersedia untuk
sumsum tulang belakang.2

14
 OPLL (Ossified Posterior Longitudinal Ligament) ialah suatu pengerasan
ektopik tulang yang menyebabkan sejumlah besar tekanan kronis pada saraf
tulang belakang, sehingga menyebabkan myeolapthy.9
 Trauma vertebra yang yang berakibat kompresi medula spinalis. Trauma
pada leher seperti karena kecelakaan mobil, olahraga, atau jatuh juga dapat
menyebabkan mielopati.9
 Congenital spinal stenosis. Gejala biasanya dimulai ketika penyempitan
bawaan dikombinasikan dengan perubahan degeneratif spondylotic pada
pasien yang lebih tua.9
 Tumor yang mendesak medula spinalis.9

V. PATOGENESIS

Mekanisme yang mendasari nyeri radikuler masih kurang dipahami.


Kompresi akar saraf tidak selalu menyebabkan rasa sakit kecuali ganglion
akar dorsal juga ikut terkompresi. Hipoksia dari akar saraf dan ganglion dorsal
dapat memperburuk keadaan kompresi. Bukti terakhir menunjukkan bahwa
mediator inflamasi termasuk matriks metalloproteinase, prostaglandin E2,
interleukin-6, dan nitrit oksida yang dirilis oleh herniasi diskus intervertebralis
servikalis.10

Gambar 4. Spondylosis Servicalis

Spondilosis servikal merupakan hasil dari degenerasi diskus


intervertebralis. Umur diskus, fragmen dan fraktur. Awalnya terjadi dalam
15
nucleus pulposus yang menyebabkan lamella annular pusat tekuk ke dalam
sedangkan band luar konsentris tonjolan luar annulus fibrosis. Hal ini
menyebabkan peningkatan stress mekanik pada kartilago vertebral.
Pembentukan tulang subperiosteal terjadi berikutnya, membentuk bar osteofit
yang memperpanjang aspek ventral dari kanal tulang belakang kadang dapat
juga melewati batas jaringan saraf. Ini kemungkinan besar untuk
menstabilkan vertebra yang berdekatan, yang pergerakkannya berlebihan
sebagai hasil dari hilangnya material diskus. Selain itu hipertropi dari proses
uncinate terjadi, sering melewati dibagian ventrolateral dari foramina
intervertebralis. Iritasi saraf dapat juga terjadi sebagai proteoglikan diskus
intervertebralis yang terdegradasi.10
Patologi yang mengenai Lesi primer mungkin kolapsnya
diskus dengan protrusi anuler sekitarnya.
Ligamen terdorong dari perlekatannya pada tepi badan
ruas tulang belakang, terbentuk osteofit reaktif, dan ligamennya sendiri
menebal. Bersamaan dengan protrusi anuler, osteofit dan ligament megurangi
diameter anteroposterior kanal spinal. Perubahan osteoartritik pada sendi
neuro-sentral yang berdekatan dengan foramina C3 hingga C7, menyebabkan
proliferasi tulang selanjutnya, yang mempersempit foramina intervertebral
yang sudah sempit oleh protrusi diskus dan osteofit. Mobilitas tulang
belakang sendiri juga terganggu, terbatas karena perubahan diskus memberat
dan meluas pada tingkat yang tidak terkena diatas dan dibawahnya.
Beberapa faktor berperan pada terbentuknya tanda dan gejala. Kord spinal,
terletak terikat pada kanal spinal yang menyempit, terancam akan
tambahan kompresi bahkan saat gerak leher normal. Misalnya pada ekstensi,
ligamen flava melipat dan dapat menjadi penyebab kompresi posterior.10
Karena gerakan ekstrem yang mencapai kord merupakan bahaya yang
besar, gejala mendadak bisa terjadi setelah fleksi atau
ekstensi berlebihan akibat kecelakaan atau endoskopi dengan anesthesia.
Myelopathy spondylotik servikal terjadi akibat dari beberapa faktor
patofisiologi penting. Ini merupakan statis-mekanis, dinamis-mekanis,

16
iskemia saraf tulang belakang. Pada osteofit, saraf servikal menjadi
menyempit yang cenderung untuk mengembangkan terjadinya myelopathy
spondylotic servikal.10
Patogenesis dari mielopati dapat bermacam-macam, antara lain :
 Trauma vertebra yang berakibat kompresi medula spinalis
 Proses inflamasi, contohnya myelitis
 Tumor yang mendesak medula spinalis
 Penyakit vaskular, seperti mielopati vaskular
 Kongenital akibat stenosis kanalis spinalis
 Penyakit degeneratif, misal spondilosis atau herniasi diskus intervertebralis
yang berakibat kompresi pada medula spinalis

Kanalis spinalis merupakan tabung tertutup yang berjalan di tengah


medula spinalis dan berisi cairan serebrospinal yang berfungsi sebagai proteksi
terhadap trauma serta memberikan fleksibilitas pada leher. Namun pada
beberapa orang terlahir dengan kanalis spinalis yang berukuran lebih kecil dari
normal, ini disebut sebagai stenosis kanalis spinalis kongenital. Stenosis
menyebabkan penyempitan kanalis spinalis yang memudahkan terjadinya
kompresi medula spinalis.10
Kanalis spinalis servikal dapat menjadi sempit akibat perubahan dari
proses degenerasi tulang belakang pada orang tua. Terbentuknya osteofit,
penonjolan diskus, dan penebalan ligamen dapat menyebabkan penekanan pada
medula spinalis.10
Faktor dinamik biomekanika gerak vertebra servikal normal dapat
memperburuk cedera medula spinalis yang dicetuskan oleh kompresi statis
secara langsung. Ketika fleksi, medula spinalis memanjang sehingga teregang
melewati daerah osteofit ventral. Ketika ekstensi, ligamentum flavum
melengkung ke arah medula spinalis menyebabkan berkurangnya ruang medula
spinalis.10

17
VI. GEJALA KLINIS

Biasanya, gejala CSM berkembang perlahan dan berkembang terus selama


beberapa tahun. Namun, pada beberapa pasien, kondisinya dapat memburuk
lebih cepat. Pasien-pasien dengan CSM mungkin mengalami kombinasi dari
gejala-gejala berikut:2
- Kesemutan atau mati rasa di lengan, jari, atau tangan
- Kelemahan pada otot lengan, bahu, atau tangan. Pasien mungkin
mengalami kesulitan untuk memegang dan memegang barang-barang.
- Ketidakseimbangan dan masalah koordinasi lainnya, seperti kesulitan
berjalan atau jatuh.
- Kehilangan keterampilan motorik halus. Seperti mengalami kesulitan
dengan tulisan tangan, mengancingkan pakaian, mengambil koin, atau
memberi makan diri sendiri.
- Nyeri atau kaku di leher.2

Keluhan yang timbul akibat mielopati bermacam-macam dan banyak yang


tidak spesifik, ditambah dengan perkembangan penyakitnya yang lambat dan
bertahap sehingga menyulitkan untuk dideteksi. Penting untuk diingat bahwa
mielopati servikal merupakan penyakit kelainan pada tulang vertebra servikalis
yang bermanifestasi pada ekstremitas atas dan bawah.10
Umumnya gejala yang timbul adalah akibat dari kompresi yang terjadi pada
medula spinalis, tergantung letak segmen yang terkena. Kompresi ini dapat

18
menimbulkan gejala sensorik (nyeri atau parestesi), gejala motorik (kelumpuhan),
atau gejala otonom (gangguan respirasi, sirkulasi, miksi, dan defekasi).10
Gejala klasik dari mielopati adalah kehilangan keseimbangan dengan
koordinasi yang kurang, keterampilan fungsi sehari-hari menurun, kelemahan, rasa
baal, dan pada kasus yang parah dapat menimbulkan paralisis. Nyeri banyak
dikeluhkan pasien, namun pada beberapa kasus tidak didapatkan adanya keluhan
nyeri sehingga menimbulkan keterlambatan dalam diagnosis.10
Lesi pada vertebra C3-C6 menyebabkan kesulitan dalam menulis dan
perubahan tidak spesifik berupa sensasi dan kelemahan lengan. Lesi pada C6-C8
sering menimbulkan sindroma spastisitas dan hilangnya propriosepsi tungkai.
Pasien dapat mengalami gangguan gaya jalan dan sering terjatuh.
Gejala subyektif yang sering dikeluhkan pasien antara lain:
 Tungkai terasa berat
 Radikulopati
 Kemampuan motorik halus yang menurun
 Fenomena L’Hermitte’s, yaitu sensasi seperti tersengat listrik yang hilang
timbul pada anggota gerak yang dicetuskan oleh fleksi leher
 Baal dan kesemutan anggota gerak2

Keluhan-keluhan ini dapat timbul secara akut, subakut, atau kronik


progresif. Terkadang tidak diketahui penyebabnya serta tidak ditemuinya tanda-
tanda radang.
Sindrom CSM dikelompokkan dalam 5 kelompok sindroma klinis :
 Lesi Transverse Sindrom: melibatkan traktus corticospinalis, traktus
spinothalamic, dan kolumna posterior, dan segmen anterior horn terlibat.
Merupakan sindroma yang paling sering, dan “end stage” dari proses
penyakit.
 Motor Sistem Sindrom, yang utama melibatkan traktus corticospinalis dan
anterior horn dengan minimal/tidak ada gejala defisit sensorik. Sindroma ini
membuat gejala mix dari LMN pada ekstremitas atas dan UMN (myelopati)

19
pada ekstremitas bawah yang dapat membuat ALS, respon refleks menjaid
hiperrefleks pada area dibawah lesi stenosis yang maksimal.
 Central Cord Sindrom, defisit motorik dan sensorik yang terutama pada
ekstremitas atas dibanding ekstremitas bawah. Karakter sindroma ini berupa
disfungsi dari canalis centralis medulla spinalis
 Brown Squad Sindrom, merupakan penyempitan asimetris dari canalis
spinalis dengan sisi yang tertekan adalah traktus corticospinal ipsilateral
(kelemahan UMN) dan disfungsi kolumna posterior dengan hilangnya
sensasi nyeri dan suhu kontralateral.
 Brachialgia dan cord sindrom: nyeri radikular pada ekstremitas atas dengan
kelemahan LMN dan beberapa keterlibatan serabut traktur yang panjang
(sensorik dan motorik).1

VII. DIAGNOSIS

Diagnostic Criteria for Cervical Spondylotic Myelopathy


Characteristic symptoms (leg stiffness, hand weakness)

Characteristic signs (hyperreflexia, atrophy of hands)

MRI or CT (showing spinal stenosis and cord compression as a result of osteophyte overgrowth,
disc herniation, ligamentum hypertrophy)

 Anamnesis dan Pemeriksaan Fisis

Penilaian klinis terhadap pasien dimulai dengan anamnesis. Anamnesis


meliputi lokasi, durasi, dan kualitas nyeri. Kuesioner dan visual analog scale
(VAS) dapat digunakan untuk menilai seberapa mengganggunya keluhan-
keluhan yang dialami pasien terhadap aktivitasnya sehari-hari. Kemudian
dilanjutkan dengan pemeriksaan fisik dengan beberapa tes.
Pada pemeriksaan fisik biasanya ditemukan :

20
 Peningkatan refleks lutut dan achiles (hiperrefleks) atau kadang-kadang
ditemukan penurunan refleks pada lengan.
 Perubahan gaya berjalan seperti kehilangan keseimbangan.
 Hilangnya sensitivitas pada tangan atau kaki
 Dapat ditemukan adanya klonus
 Refleks Babinsky dan Hoffman dapat positif
 Rentang gerak atau fleksibilitas leher menurun

Pada kasus-kasus mielopati, pemeriksaan status neurologi lokal merupakan


hal yang sangat penting. Pemeriksaan status neurologis lokalis pada pasien cedera
medula spinalis mengacu pada panduan dari American Spinal Cord Injury
Association (AISA). Klasifikasi dibuat berdasar rekomendasi AISA, A: untuk lesi
komplit sampai dengan E: untuk keadaan normal.
Motorik
Asal Inervasi Otot Fungsi
C5 M. deltoideus dan biceps brachii Abduksi bahu dan fleksi siku
C6 M. extensor carpi radialis longus dan brevis Ekstensi pergelangan tangan
C7 M. flexor carpi radialis Fleksi pergelangan tangan
C8 M. flexor digitorum superfisialis dan Fleksi jari-jari tangan
profunda
T1 M. interosseus palmaris Abduksi jari-jari tangan
L2 M. iliopsoas Fleksi panggul
L3 M. quadricep femoris Ekstensi lutut
L4 M. tibialis anterior Dorsofleksi kaki
L5 M. extensor halluces longus Ekstensi ibu jari kaki
S1 M. gastrocnemius-soleus Plantarfleksi kaki

Sensoris protopatik
Asal inervasi Dermatom
C2 - C4 Dermatom oksiput sampai bagian belakang leher
C5 - T1 Lengan sampai jari-jari
T2 - T12 Bagian dada dan aksila, beberapa titik penting: T4 papila mamae, T10
umbilicus, T12 inguinal

21
L1 - L5 Tungkai
S1 - S5 Tumit, bagian belakang tungkai, regio perineal
Rekomendasi AISA untuk pemeriksaan neurologi lokal

 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang perlu dilakukan untuk membantu menegakkan


diagnosis mielopati, antara lain:
 Laboratorium darah
Dilakukan untuk mengetahui apakah ada tanda-tanda infeksi ataupun
penyakit sistemik yang menjadi penyebab mielopati. Pemeriksaan ini lebih
bermakna bila dari anamnesis dan pemeriksaan fisik mengarah ke proses
infeksi, namun dapat juga sebagai penyingkir diagnosis kausa infeksi
apabila hasil tidak menunjang.

 Rontgen vertebra
Merupakan pilihan awal untuk mengetahui apakah ada kelainan pada tulang
belakang seperti spondilosis, spondilolistesis, atau osteofit. Dianjurkan
melakukan pemeriksaan tiga posisi standar (AP, lateral, odontoid) untuk
vertebra servikal, dan posisi AP dan lateral untuk vertebra thorakal dan
lumbal. Pada kasus yang tidak menunjukkan kelainan radiologis, dapat
dilakukan pemeriksaan lanjutan dengan CT-scan atau MRI.

 CT-scan / MRI
Dilakukan untuk mengetahui gambaran struktur tulang belakang sehingga
dapat diketahui lokasi kelainan atau letak lesi, dapat pula untuk mengetahui
kausa apakah terdapat trauma pada vertebra atau tumor yang menyebabkan
kompresi pada medula spinalis. MRI merupakan alat diagnostik yang paling
baik untuk mendeteksi lesi di medula spinalis akibat cedera/trauma ataupun
adanya penyempitan kanalis spinalis.

22
VIII. DIAGNOSIS BANDING

Diagnosis banding untuk mielopati servikal umumnya dari segi


penyebabnya, apakah infeksi, trauma, tumor, proses degenerasi, gangguan
vaskularisasi, mutipel sklerosis, ataupun defisiensi vitamin B kompleks. Hal ini
berkaitan dengan tata laksana yang akan diberikan, terutama pertimbangan tindakan
operasi maupun pemberian antibiotik atau kemoterapi.

IX. PENATALAKSANAAN

NON-OPERATIF
Pada kasus ringan stenosis servikal dengan atau tanpa mielopati dapat
diatasi dengan terapi non-operatif. Namun, pada kasus dengan kelemahan, nyeri
hebat atau ketidakmampuan berjalan, pembedahan biasanya direkomendasikan.
Terapi non-operatif dapat terdiri dari terapi non-medikamentosa dan
medikamentosa. Sebuah terapi fisik dan olahraga biasanya dimulai dengan
peregangan untuk mengembalikan fleksibilitas otot leher, tubuh, lengan atau kaki.
Obat-obatan pada mielopati servikal bertujuan untuk mengurangi rasa sakit,
kejang otot dan gejala lainnya. Pemberian NSAID untuk mengurangi
pembengkakan dan inflamasi. NSAID seperti aspirin, ibuprofen, naproxen, dan
yang lainnya. Efek samping NSAID seperti gangguan perut dan perdarahan harus
23
dimonitor. Kortikosteroid sebagai antiinflamasi yang kuat baik oral atau suntikan
dapat digunakan.
Injeksi steroid epidural mungkin dianjurkan. Kortikosteorid disuntikkan ke
dalam ruang epidural. Tujuan dari injeksi ini adalah untuk mengurangi inflamasi.
Antidepresan juga mungkin diberikan apabila obat-obat analgesik kurang
memberi efek. Injeksi trigger point dengan anastesi lokal atau bias
dikombinasikan dengan steroid dapat diberikan langsung pada jaringan lunak atau
otot yang nyeri. Suntikan pada sendi facet juga mungkin diberikan.
Jika pengobatan non-operatif dirasa gagal, dapat disarankan untuk terapi
operatif. Pembedahan dapat dilakukan pada bagian anterior atau posterior.
Beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan apabila mengambil jalan operasi
adalah lokasi kompresi, kualitas tulang, jumlah tingkat diskus yang terlibat
dan kesehatan secara umum.
Terapi pada cedera medula spinalis terutama ditujukan untuk meningkatkan
dan mempertahankan fungsi sensoris dan motoris. Pasien dengan cedera medula
spinalis komplit hanya memiliki peluang 5% untuk kembali normal. Lesi medula
spinalis komplit yang tidak menunjukkan perbaikan dalam 72 jam pertama,
cenderung menetap dan prognosisnya buruk. Cedera medula spinalis inkomplit
cenderung memiliki prognosis yang lebih baik. Apabila fungsi sensoris di bawah
lesi masih ada, maka kemungkinan untuk kembali berjalan adalah lebih dari 50%.
Metilprednisolon merupakan terapi yang paling umum digunakan untuk
cedera medula spinalis traumatika dan direkomendasikan oleh National Institute of
Health di Amerika. Sebuah studi menunjukkan bahwa metilprednisolon dosis tinggi
merupakan satu-satunya terapi farmakologik yang terbukti efektif pada uji klinik
tahap 3 sehingga dianjurkan untuk digunakan sebagai terapi cedera medula spinalis
traumatika.
Tindakan rehabilitasi medik merupakan kunci utama dalam penanganan
pasien cedera medula spinalis. Fisioterapi, terapi okupasi, dan bladder training
pada pasien ini dikerjakan seawal mungkin. Tujuan utama fisioterapi adalah untuk
mempertahankan ROM (Range of Movement) dan kemampuan mobilitas, dengan
memperkuat fungsi otot-otot yang ada.

24
Terapi okupasional terutama ditujukan untuk memperkuat dan memperbaiki
fungsi ekstremitas atas, mempertahankan kemampuan aktivitas hidup sehari-hari.
Pembentukan kontraktur harus dicegah seoptimal mungkin. Penggunaan alat bantu
disesuaikan dengan profesi dan harapan pasien.
Penelitian prospektif selama 3 tahun meunjukkan bahwa suatu program
rehabilitasi yang terpadu (hidroterapi, elektroterapi, psikoterapi, penatalaksanaan
gangguan kandung kemih dan saluran cerna) meningkatkan secara signifikan nilai
status fungsional pada penderita cedera medula spinalis.
Terapi konservatif dapat dilakukan pada pasien dengan gejala mielopati
ringan, umumnya dilakukan observasi apakah terdapat perbaikan fungsi. Pemberian
analgetik dapat dipertimbangkan untuk mengatasi rasa nyeri akibat gejala radikular.
Penggunaan collar neck dapat digunakan apabila diketahui terdapat instabilitas
vertebra.
Tindakan operasi perlu dilakukan untuk menghilangkan kompresi pada
medula spinalis, apakah akibat trauma, stenosis, atau tumor yang mendesak medula
spinalis.

Indikasi untuk pembedahan adalah gagalnya terapi nonoperasi selama 3


bulan untuk menghilangkan nyeri,persisten atau rekuren dengan atau tanpa defisit
neurologis, kemudian apabila dijumpai adanya defisit neurologis progresif.

OPERATIF
Ada dua pendekatan dalam tehnik operasi pada spondilosis cervical,
pendekatan anterior (anterior cervical discectomy atau corpectomy) dan pendekatan
posterior (decompressive cervical laminectomy atau laminoplasty). Hingga saat ini
kedua pendekatan tersebut banyak digunakan namun masih banyak perdebatan
tentang tehnik mana yang lebih baik5,6. Setiap teknik operasi memiliki keuntungan
sdan kerugiannya masing-masing.Masing-masing approach yang digunakan harus
disesuaikan dengan struktur saraf yang mengalami penekanan.Penekanan pada
struktur saraf yang berada dianterior lebih baik dibebaskan dari anterior
dibandingkan dari posterior, demikian pulase baliknya. Pada kasus dimana terjadi

25
penekanan pada beberapa level (tiga level atau lebih), maka posterior approach
lebih sering digunakan meskipun dijumpai penekanan pada sisi anterior.2

a. Anterior Cervical Discectomy dan Fusion (ACDF)


Pada tahun 1955, Robinson dan Smith melaporkan teknik untuk
menghilangkan kompresi diskus cervical dan fusi dengan cangkok
berbentuk tapal kuda yang kemudian menjadi gold standar untuk
pengobatan diskus herniations dan cervical spondylotic radiculopathy.
Cloward mengembangkan pendekatan anterior yang sama, yaitu
pengeboran lubang di ruang diskus intervertebralis dan vertebra yang
berdekatan untuk menyisipkan tulang dowel. Berbeda dengan teknik
Robinson-Smith, Cloward menghapus kompresi struktur pada tingkat
ligamentum longitudinal posterior. Robinson dan Smith tidak melakukan
dekompresi pada struktur saraf, tetapi percaya bahwa dengan imobilisasi
segmen, osteofit dan diskus yang herniasi akan diserap kembali. Tahun-
tahun berikutnya banyak variasi dari teknik ini dikembangkan.Anterior
cervical discectomy dan fusi (ACDF) dengan tricortical bone graft yang
diambil dari krista iliaka merupakan teknik yang paling banyak digunakan
dan telah menjadi standar emas untuk pengobatan cervical radiculopathy
Tingkat fusi radiologi tergantung pada jumlah tingkat yang akan disatukan.
Bohlmann et al melaporkan penyatuan yang solid untuk satu, dua dan fusi
bertingkat dari 89%, 73% dan 67%, masing-masing.Cauthen et al
menganalisis hasil anterior cervical discectomy dan fusi (teknik Cloward)
di 348 pasien dengan rata-rata tindak lanjut selama 5 tahun.

26
b. Anterior Corpectomy
Pada pasien yang menderita cervical spondilosis, discectomy
anterior dan osteophyectomy mungkin tidak cukup untuk mendekompresi
spinal cord. Spinal cord mungkin tidak hanya terganggu oleh tonjolan
diskus dan spondylophytes tetapi juga oleh malalignment dari tulang
belakang (kyphosis) atau kanal tulang belakang yang sempit.Dalam kasus
ini, diperlukan tindakan subtotal corpectomy.Parsial reseksi vertebral body
dan dekompresi pertama kali digunakan untuk mengobati gangguan
cervikal yang diakibatkan trauma dan teknik ini kemudian diadopsi untuk
gangguan degeneratif.Sejauh mana dekompresi yang harus dilakukan
tergantung pada patologi dan ukuran kanal tulang belakang. Dibandingkan
dengan ACDF, corpectomy memberikan keuntungan berupa:
Memperbesar kanal tulang belakang
Memungkinkan untuk dekompresi lebih radikal
Meningkatkan tingkat fusi 2

c. Posterior Laminectomy cervical Laminektomi


Awalnya pengobatan standar emas mielopati cervical bertingkat,
laminektomi saja telah kehilangan dukungan karena komplikasi pasca
operasi yang terdokumentasi. Laminektomi pertama kali dilakukan oleh Sir
Victor Horsley (1857-1916) untuk pengobatan tumor related myelopathy.
Laminektomi merupakan Pendekatan teknis serbaguna dan lancar untuk
dekompresi spinal cord.Indikasi untuk Laminektomi terutama untuk
pengelolaan:
 Multilevel cervical myelopathy
 Kompresi saraf posterior yang dominan
 Pasien CSM tua dengan komorbiditas
 CSM dengan menjaga cervical lordosis Pada pasien usia lanjut yang
menderita komorbiditas signifikan dan cervical spondilosis karena
multilevel kompresi spinal cord.2

27
Laminektomi adalah prosedur singkat dan efektif untuk
memperbaiki defisit neurologis. Pada munculnya kyphosis,
bagaimanapun, Laminektomi saja memiliki efek terbatas karena spinal
cord tidak dapat berpindah ke posterior dan menjauh dari osteofit atau
diskus yang mengkompresi tulang belakang di bagian anterior.hasil
yang sangat baik telah dilaporkan pada 56-85% pasien setelah
Laminektomi. Perpanjangan lateral laminectomy seharusnya tidak
mencakup lebih dari 50% dari sendi facet. Reseksi lebih dari 50%
mengganggu kekuatan bersama secara signifikan dan dapat
menyebabkan ketidakstabilan segmental dan kyphosis.Pada
Laminektomi bertingkat, 25% reseksi facet dapat mengurangi stabilitas
cervical dan memerlukan fusi. Laminektomi dengan fusi: Dengan
penambahan fusi posterior, prosedur ini mengurangi kyphosis dan
ketidakstabilan segmental yang disebabkan oleh menghilangkan unsur
posterior selama laminektomi; Namun, ini juga menyebabkan
biomekanik cervical yang berubah yang menyebabkan degenerasi
segmen yang berdekatan2

28
d. Laminoplasty
Teknik ini bertujuan untuk melestarikan gerak tapi dengan sedikit
perubahan pada biomekanika alami pada tulang belakang. Kanalis tulang
belakang diperlebar dengan menciptakan "selokan" di lamina, dan
kemudian mendorong proses spinous dan lebih banyak melibatkan lamina
ke sisi yang berlawanan. Titanium miniplates disekrup di tempat untuk
menjaga pelebaran ini terbuka. Potensi destabilisasi, malalignment sagital
(kyphosis) dan kurangnya perlindungan spinal cord setelah laminectomy
cervical bertingkat, memicu para ahli bedah Jepang untuk mengembangkan
teknik laminoplasty cervical. Oleh karena itu, keuntungan umum yamg
diinginkan melalui laminoplasty adalah :
 Memperluas kanal tulang belakang
 Mengamankan perlindungan spinal cord
 Menjaga stabilitas tulang belakang
 Menjaga mobilitas tulang belakang
 Mengurangi risiko degenerasi segmen yang berdekatan
Hirabayashi memperkenalkan teknik bedah baru yang disebut "
expansive open door laminoplasty" yang masih banyak digunakan saat ini.
Sebagai alternatif, " French opendoor laminoplasty " diperkenalkan oleh
Hoshi dan Kurokawa. Meskipun berbagai modifikasi bedah telah
disarankan, konsep dasar sebagian besar prosedur mirip dengan salah satu
dari dua teknik ini.Sebuah tinjauan kritis baru-baru ini menyimpulkan
bahwa literatur belum mendukung manfaat yang diklaim pada laminoplasty.
Ratcliff dan Cooper menyimpulkan bahwa hasil neurologis dan perubahan
kesejajaran tulang belakang tampak serupa setelah Laminektomi dan
laminoplasty.Pasien yang diobati dengan laminoplasty memiliki
kemungkinan untuk menimbulkan keterbatasan progresif gerak cervical
(ROM) mirip dengan yang terlihat setelah laminektomi dan fusi.Namun,
data yang kurang pada peran laminoplasty pada individu muda dengan
cervical myelopathy karena kelainan kongenital kanal tulang belakang yang

29
sempit dan dimana dekompresi bertingkat dan instrumentasi fusi bukan
alternatif yang menguntungkan2
Salah satu komplikasi laminoplasti yang signifikan adalah gejala
aksial, termasuk nyeri bahu dan kejang, dan nyeri leher.Hosono
dkk.melaporkan insiden 60% kejadian aksial postoperatif pada pasien
laminoplasti. Dalam meta-analisis laminoplasti cervical mereka, Ratliff dan
Cooper sependapat dengan temuan Honsono, saat mereka menemukan nyeri
leher aksial 25 sampai 60%.Lawrence dan Brodke telah menyarankan
bahwa nyeri leher aksial pasca operasi dapat dikurangi dengan pelestarian
rangkaian otot C2 dan C7 selama laminoplasti.Sakura dkk.mendukung
pengamatan ini dengan menemukan pengurangan 11% pada nyeri leher
pada pasien yang mengalami pelepasan atensi otot spinal cervical superior
dan inferior. Kyphosis progresif (10%) dan penurunan rentang gerak
cervical (15 sampai 50%) juga terkait dengan laminoplasti.2

X. PROGNOSIS

Sebuah penelitian prospektif selama 27 tahun menunjukkan bahwa


rata-rata harapan hidup pasien cedera medula spinalis lebih rendah
dibanding populasi normal. Penurunan rata-rata lama harapan hidup sesuai
dengan beratnya cedera. Penyembuhan cenderung lambat secara progresif
dan jarang membaik dengan modalisa non operatif. Pengenalan dan
perawatan dini sebelum kerusakan sumsum tulang belakang sangat penting
untuk hasil klinis yang baik. Penyebab kematian utama adalah komplikasi
disabilitas neurologi yaitu: pneumonia, emboli paru, septikemia, dan gagal
ginjal.9

30
BAB III
KESIMPULAN

Cedera medula spinalis merupakan salah satu penyebab utama


disabilitas neurologis akibat trauma. Kondisi ini dapat mengenai berbagai
kalangan usia, namun umum ditemukan pada pasien usia tua yaitu mielopati
servikal. Ada banyak penyebab dari mielopati servikal, dan umumnya
bersifat progresif. Pada kasus-kasus mielopati, pemeriksaan status
neurologis lokal merupakan hal yang sangat penting. Terapi cedera medula
spinalis terutama ditujukan untuk meningkatkan fungsi sensoris dan
motoris. Terapi konservatif umumnya diberikan pada pasien dengan resiko
tinggi operasi atau dengakn keadaan yang stabil dengan gejala minimal
yang tidak mengganggu aktivitas sehari-hari dengan berat. Terapi operatif
sangat tergantung dengan kondisi pasien. Cedera medula spinalis inkomplit
cenderung memiliki prognosis yang lebih baik.

31
DAFTAR PUSTAKA

1. Dharmajaya, Ridha.2017.Spondylosis Cervical. Medan : USU press. ISBN


: 978-602-465-004-9.

2. Nilesh M.Patel,MD. Cervical Spondylotic Myelopathy. American Academy


of Orthopaedic surgeon. Available : https://orthoinfo.aaos.org/en/diseases-
-conditions/cervical-spondylotic-myelopathy-spinal-cord-compression/
Last Updated : August,2015.

3. Oliveira, Rafael de Almeida et all.2018. Cervical Spondylotic Myelopathy :


Clinical Cases and Physioterapy. Unviersidade de Ribeirao Preto
(UNAERP) Brazil.

4. Moore D, Ahn L. Cervical Spondylosis. [online] 26 november 2019.


[Dikutip: 3 januari 2020]. Available in :
https://www.orthobullets.com/spine/2029/cervical-spondylosis

5. Garfin SR, Eismont FJ, Bell GR, Fischgrund JS, Bono CM


(eds).RothmanSimeone and Herkowitz's The Spine Seventh Edition.
Philadelphia : Elsevier; 2018.

6. Gondim, F de AA, Thomas FP. Spinal Cord, Topographical, and Functional


Anatomy. Available in: www.emedicine.com/neuro/topic657.htm Last
updated : January 11, 2007.

7. Sherwood,Lauralee.2002.Fisiologi Manusia Dari sel ke system.Edisi


6.Jakarta: Buku Kedokteran EGC.

32
8. Price, A., Sylvia & Wilson, M., Lorraine.2005. Patofisiologi Konsep
Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6 Volume 2.Jakarta : EGC

9. Moore D, Ahn. Cervical myelopathy. [Dikutip: 3 januari 2020]. [online]


26 november 2019 Available in :
https://www.orthobullets.com/spine/2031/cervical-myelopathy

10. Lebl, Darren R et all. 2011. Cervical spondylotic myelopathy :


Pathophysiologi, clinicalpresentation, and treatment. Spine and Scoliosis
Surgery, The Hospital For Special Surgery, 535 East 70th Street, New York,
NY 10021, USA

11. Praveen K, Mihcael J, Saad B. Cervical surgical technique for the treatment
of cervial spondylotic myelopathy. Ireland. Hindawi Publishing
Corporation.Vol 2019.

12. Paul D, John, C Quinn, Jerry Y. Posteriior Surgical Treatment of cervial


spondylotic myelopathy. HSSJ (2015) 11:36-42.

33

Anda mungkin juga menyukai