Referat Sri Rahma Dani-Csm
Referat Sri Rahma Dani-Csm
UNIVERSITAS HASANUDDIN
DISUSUN OLEH:
C014172024
RESIDEN PEMBIMBING:
SUPERVISOR PEMBIMBING:
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2020
1
LEMBAR PENGESAHAN
NIM : C014172024
Pembimbing Supervisor
2
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI.................................................................................................................................. 3
2.2 EPIDEMIOLOGI................................................................................................................. 6
2.5 PATOGENESIS................................................................................................................ 15
3
BAB I
PENDAHULUAN
4
kasus baru cedera medula spinalis setiap tahunnya di Amerika Serikat. Angka
insidensi paralisis komplit akibat kecelakaan diperkirakan 20 per 100.000
penduduk, dengan angka tetraplegia 200.000 per tahunnya. Kecelakaan kendaraan
bermotor merupakan penyebab utama cedera medula spinalis.2
Tujuan utama terapi adalah meningkatkan fungsi motorik dan sensorik
pasien. Bukti ilmiah menunjukkan bahwa pemberian steroid dosis tinggi
meminimalkan efek sekunder cedera medula spinalis. Pasien dengan cedera medula
spinalis komplit hanya memiliki kemungkinan 5% untuk membaik. Pada cedera
komplet yang menetap lebih dari 72 jam, maka hampir tidak ada kemungkinan
untuk kembali pulih. Sindroma cedera inkomplit memiliki prognosis yang jauh
lebih baik.2
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. DEFINISI
II. EPIDEMIOLOGI
6
tinggi. Dalam suatu studi, setelah 3 bulan perawatan non-operatif, 70%
penderita mendapatkan kesembuhan lengkap. Lokasi yang paling sering terkena
adalah C5-6 > C6-7 karena berhubungan dengan fleksi dan ekstensi paling
banyak pada tulang belakang subaksial.4
III. ANATOMI
7
Gambar 1. Pembagian vertebral columnar
Otot – otot penggerak pada regio vertebra cervical antara lain m. longus
colli, m. longus capitis, m. rectus capitis anterior, m. sternocledomastoid, m.
scalenus anterior (untuk gerak flexi neck ), m. erector spine, m. rectus capitis
lateralis, m. scalenes splenius cervicis, m. splenius capitis, m. trapezius, m. levator
scapula, m. sternocledomastoid, (untuk gerak lateral fleksi neck), m. levator
scapula, m. spelenius cervicis, m. trapezius, m. spelenus capitis, m. semispinalis,
m. superior oblique, m. sternocledomastoid, m. erector spine, m. rectus capitis
posterior major dan minor (untuk gerakan extensi neck), m. semispinalis, m.
multifidus, m. scalenus anterior, m. spelenius cervicis, m. sternocledomastoid, m.
spelenus capitis, m. rectus capitis posterior major, m. inferior oblique (untuk
gerakan rotasi neck).5
8
Gambar 2. Otot-otot regio vertebra cervical
Medula spinalis adalah bagian dari susunan saraf pusat yang seluruhnya
terletak dalam kanalis vertebralis, dikelilingi oleh tiga lapis selaput
pembungkus yang disebut meningen. Lapisan-lapisan dan struktur yang
mengelilingi medula spinalis dari luar ke dalam antara lain :
1. dinding kanalis vertebralis (terdiri atas vertebrae dan ligamen)
2. lapisan jaringan lemak (ekstradura) yang mengandung anyaman pembuluh-
pembuluh darah vena
3. duramater
4. arachnoid
5. ruangan subaraknoid (cavitas subarachnoidealis) yang berisi liquor
cerebrospinalis
6. piamater, yang kaya dengan pembuluh-pembuluh darah dan yang langsung
membungkus permukaan sebelah luar medula spinalis.6
Pada usia dewasa, ujung kaudal medula spinalis umumnya terletak
setinggi tepi kranial corpus vertebrae lumbalis II atau setinggi discus
intervertebralis antara corpus vertebrae lumbalis I dan II. Terdapat banyak jalur
9
saraf (tractus) di dalam medula spinalis. Jalur saraf tersebut dapat dilihat pada
gambar di berikut:6
10
arteri segmental dari masing-masing regio yang merupakan cabang dari arteri besar
yang memperdarahi masing-masing regio, seperti:
Arteri vertebralis yang berasal dari arteri subklavia di leher
Arteri intercostalis posterior yang berasal dari aorta thorakalis
Arteri lumbalis yang berasal dari aorta abdominalis
Arteri sacral lateral yang berasal dari arteri iliaka interna pelvis
Aliran pembuluh vena medula spinalis berawal dari vena radikularis yang
bergabung menuju vena segmentalis kemudian terkumpul di:
Vena cava superior
Sistem vena azygos thorakalis
Vena cava inferior
Medula spinalis tersusun oleh substansia alba yang berwarna putih di bagian
luar dan substansia grisea yang berwarna abu-abu di bagian dalam. Substansia
grisea membentuk cornu anterior dan posterior sehingga tampak seperti gambaran
huruf H atau kupu-kupu pada potongan melintang. Di dalam substansia alba berisi
lintasan-lintasan asenden dan desenden. Di dalam substansia grisea pada daerah
cornu anterior terdapat motor neuron yang bertanggung jawab dalam penghantaran
impuls motorik somatik.7
Sama seperti pada otak substansia grisea medula spinalis mengandung
badan sel neuron primer dan dendritnya, interneuron, dan sel glia. Substansia alba
terdiri dari traktus-traktus yang merupakan kumpulan serat saraf (akson) yang
memanjang dari otak ke sepanjang medula spinalis dan mentransmisikan informasi
spesifik. Traktus asending mentransmisikan sinyal input dari aferen ke otak,
sedangkan traktus desending menghantarkan pesan impuls dari otak ke neuron
eferen.7
Substansia grisea terbagi menjadi cornu anterior (ventral), cornu posterior
(dorsal), dan cornu lateral. Cornu posterior mengandung badan sel dari interneuron
aferen. Cornu anterior mengandung badan sel dari neuron eferen motorik untuk otot
skeletal. Badan sel serat saraf otonom, baik simpatis maupun parasimpatis, yang
mempersarafi jantung, otot polos, dan kelenjar eksokrin terdapat di cornu lateral.7
11
Medula spinalis terletak antara otak dan serat aferen dan eferen system saraf
perifer sehingga hal ini menyebabkan medula spinalis memiliki dua fungsi: (1)
sebagai jembatan transmisi informasi antara otak dan seluruh tubuh, dan (2) sebagai
pusat refleks antara input aferen dan output eferen tanpa melibatkan otak. Refleks
ini disebut sebagai refleks spinal.7
Reseptor menangkap stimulus yang terdeteksi kemudian memberikan
respon berupa potensial aksi yang dihantarkan oleh jalur aferen menuju ke pusat
integrasi yaitu sistem saraf pusat (otak atau medula spinalis). Pusat integrasi ini
kemudian mengolah informasi yang didapat dari reseptor dan kemudian
‘memutuskan’ respon yang akan diberikan. Respon tersebut dihantarkan dari pusat
integrasi melalui jalur eferen menuju ke efektor (otot atau kelenjar). Respon refleks
dapat diprediksi karena selalu melalui jalur yang sama.7
12
IV. ETIOLOGI
13
Radang sendi. Rheumatoid arthritis adalah penyakit autoimun. Ini berarti
bahwa sistem kekebalan tubuh menyerang jaringannya sendiri. Pada
rheumatoid arthritis, sel-sel imun menyerang sinovium, selaput tipis yang
melapisi sendi. Ketika sinovium membengkak, hal itu dapat menyebabkan
rasa sakit dan kekakuan dan dalam kasus yang parah, kerusakan sendi facet
di tulang belakang leher. Ketika ini terjadi, vertebra atas dapat meluncur ke
depan di atas vertebra bawah, mengurangi jumlah ruang yang tersedia untuk
sumsum tulang belakang.2
14
OPLL (Ossified Posterior Longitudinal Ligament) ialah suatu pengerasan
ektopik tulang yang menyebabkan sejumlah besar tekanan kronis pada saraf
tulang belakang, sehingga menyebabkan myeolapthy.9
Trauma vertebra yang yang berakibat kompresi medula spinalis. Trauma
pada leher seperti karena kecelakaan mobil, olahraga, atau jatuh juga dapat
menyebabkan mielopati.9
Congenital spinal stenosis. Gejala biasanya dimulai ketika penyempitan
bawaan dikombinasikan dengan perubahan degeneratif spondylotic pada
pasien yang lebih tua.9
Tumor yang mendesak medula spinalis.9
V. PATOGENESIS
16
iskemia saraf tulang belakang. Pada osteofit, saraf servikal menjadi
menyempit yang cenderung untuk mengembangkan terjadinya myelopathy
spondylotic servikal.10
Patogenesis dari mielopati dapat bermacam-macam, antara lain :
Trauma vertebra yang berakibat kompresi medula spinalis
Proses inflamasi, contohnya myelitis
Tumor yang mendesak medula spinalis
Penyakit vaskular, seperti mielopati vaskular
Kongenital akibat stenosis kanalis spinalis
Penyakit degeneratif, misal spondilosis atau herniasi diskus intervertebralis
yang berakibat kompresi pada medula spinalis
17
VI. GEJALA KLINIS
18
menimbulkan gejala sensorik (nyeri atau parestesi), gejala motorik (kelumpuhan),
atau gejala otonom (gangguan respirasi, sirkulasi, miksi, dan defekasi).10
Gejala klasik dari mielopati adalah kehilangan keseimbangan dengan
koordinasi yang kurang, keterampilan fungsi sehari-hari menurun, kelemahan, rasa
baal, dan pada kasus yang parah dapat menimbulkan paralisis. Nyeri banyak
dikeluhkan pasien, namun pada beberapa kasus tidak didapatkan adanya keluhan
nyeri sehingga menimbulkan keterlambatan dalam diagnosis.10
Lesi pada vertebra C3-C6 menyebabkan kesulitan dalam menulis dan
perubahan tidak spesifik berupa sensasi dan kelemahan lengan. Lesi pada C6-C8
sering menimbulkan sindroma spastisitas dan hilangnya propriosepsi tungkai.
Pasien dapat mengalami gangguan gaya jalan dan sering terjatuh.
Gejala subyektif yang sering dikeluhkan pasien antara lain:
Tungkai terasa berat
Radikulopati
Kemampuan motorik halus yang menurun
Fenomena L’Hermitte’s, yaitu sensasi seperti tersengat listrik yang hilang
timbul pada anggota gerak yang dicetuskan oleh fleksi leher
Baal dan kesemutan anggota gerak2
19
pada ekstremitas bawah yang dapat membuat ALS, respon refleks menjaid
hiperrefleks pada area dibawah lesi stenosis yang maksimal.
Central Cord Sindrom, defisit motorik dan sensorik yang terutama pada
ekstremitas atas dibanding ekstremitas bawah. Karakter sindroma ini berupa
disfungsi dari canalis centralis medulla spinalis
Brown Squad Sindrom, merupakan penyempitan asimetris dari canalis
spinalis dengan sisi yang tertekan adalah traktus corticospinal ipsilateral
(kelemahan UMN) dan disfungsi kolumna posterior dengan hilangnya
sensasi nyeri dan suhu kontralateral.
Brachialgia dan cord sindrom: nyeri radikular pada ekstremitas atas dengan
kelemahan LMN dan beberapa keterlibatan serabut traktur yang panjang
(sensorik dan motorik).1
VII. DIAGNOSIS
MRI or CT (showing spinal stenosis and cord compression as a result of osteophyte overgrowth,
disc herniation, ligamentum hypertrophy)
20
Peningkatan refleks lutut dan achiles (hiperrefleks) atau kadang-kadang
ditemukan penurunan refleks pada lengan.
Perubahan gaya berjalan seperti kehilangan keseimbangan.
Hilangnya sensitivitas pada tangan atau kaki
Dapat ditemukan adanya klonus
Refleks Babinsky dan Hoffman dapat positif
Rentang gerak atau fleksibilitas leher menurun
Sensoris protopatik
Asal inervasi Dermatom
C2 - C4 Dermatom oksiput sampai bagian belakang leher
C5 - T1 Lengan sampai jari-jari
T2 - T12 Bagian dada dan aksila, beberapa titik penting: T4 papila mamae, T10
umbilicus, T12 inguinal
21
L1 - L5 Tungkai
S1 - S5 Tumit, bagian belakang tungkai, regio perineal
Rekomendasi AISA untuk pemeriksaan neurologi lokal
Pemeriksaan Penunjang
Rontgen vertebra
Merupakan pilihan awal untuk mengetahui apakah ada kelainan pada tulang
belakang seperti spondilosis, spondilolistesis, atau osteofit. Dianjurkan
melakukan pemeriksaan tiga posisi standar (AP, lateral, odontoid) untuk
vertebra servikal, dan posisi AP dan lateral untuk vertebra thorakal dan
lumbal. Pada kasus yang tidak menunjukkan kelainan radiologis, dapat
dilakukan pemeriksaan lanjutan dengan CT-scan atau MRI.
CT-scan / MRI
Dilakukan untuk mengetahui gambaran struktur tulang belakang sehingga
dapat diketahui lokasi kelainan atau letak lesi, dapat pula untuk mengetahui
kausa apakah terdapat trauma pada vertebra atau tumor yang menyebabkan
kompresi pada medula spinalis. MRI merupakan alat diagnostik yang paling
baik untuk mendeteksi lesi di medula spinalis akibat cedera/trauma ataupun
adanya penyempitan kanalis spinalis.
22
VIII. DIAGNOSIS BANDING
IX. PENATALAKSANAAN
NON-OPERATIF
Pada kasus ringan stenosis servikal dengan atau tanpa mielopati dapat
diatasi dengan terapi non-operatif. Namun, pada kasus dengan kelemahan, nyeri
hebat atau ketidakmampuan berjalan, pembedahan biasanya direkomendasikan.
Terapi non-operatif dapat terdiri dari terapi non-medikamentosa dan
medikamentosa. Sebuah terapi fisik dan olahraga biasanya dimulai dengan
peregangan untuk mengembalikan fleksibilitas otot leher, tubuh, lengan atau kaki.
Obat-obatan pada mielopati servikal bertujuan untuk mengurangi rasa sakit,
kejang otot dan gejala lainnya. Pemberian NSAID untuk mengurangi
pembengkakan dan inflamasi. NSAID seperti aspirin, ibuprofen, naproxen, dan
yang lainnya. Efek samping NSAID seperti gangguan perut dan perdarahan harus
23
dimonitor. Kortikosteroid sebagai antiinflamasi yang kuat baik oral atau suntikan
dapat digunakan.
Injeksi steroid epidural mungkin dianjurkan. Kortikosteorid disuntikkan ke
dalam ruang epidural. Tujuan dari injeksi ini adalah untuk mengurangi inflamasi.
Antidepresan juga mungkin diberikan apabila obat-obat analgesik kurang
memberi efek. Injeksi trigger point dengan anastesi lokal atau bias
dikombinasikan dengan steroid dapat diberikan langsung pada jaringan lunak atau
otot yang nyeri. Suntikan pada sendi facet juga mungkin diberikan.
Jika pengobatan non-operatif dirasa gagal, dapat disarankan untuk terapi
operatif. Pembedahan dapat dilakukan pada bagian anterior atau posterior.
Beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan apabila mengambil jalan operasi
adalah lokasi kompresi, kualitas tulang, jumlah tingkat diskus yang terlibat
dan kesehatan secara umum.
Terapi pada cedera medula spinalis terutama ditujukan untuk meningkatkan
dan mempertahankan fungsi sensoris dan motoris. Pasien dengan cedera medula
spinalis komplit hanya memiliki peluang 5% untuk kembali normal. Lesi medula
spinalis komplit yang tidak menunjukkan perbaikan dalam 72 jam pertama,
cenderung menetap dan prognosisnya buruk. Cedera medula spinalis inkomplit
cenderung memiliki prognosis yang lebih baik. Apabila fungsi sensoris di bawah
lesi masih ada, maka kemungkinan untuk kembali berjalan adalah lebih dari 50%.
Metilprednisolon merupakan terapi yang paling umum digunakan untuk
cedera medula spinalis traumatika dan direkomendasikan oleh National Institute of
Health di Amerika. Sebuah studi menunjukkan bahwa metilprednisolon dosis tinggi
merupakan satu-satunya terapi farmakologik yang terbukti efektif pada uji klinik
tahap 3 sehingga dianjurkan untuk digunakan sebagai terapi cedera medula spinalis
traumatika.
Tindakan rehabilitasi medik merupakan kunci utama dalam penanganan
pasien cedera medula spinalis. Fisioterapi, terapi okupasi, dan bladder training
pada pasien ini dikerjakan seawal mungkin. Tujuan utama fisioterapi adalah untuk
mempertahankan ROM (Range of Movement) dan kemampuan mobilitas, dengan
memperkuat fungsi otot-otot yang ada.
24
Terapi okupasional terutama ditujukan untuk memperkuat dan memperbaiki
fungsi ekstremitas atas, mempertahankan kemampuan aktivitas hidup sehari-hari.
Pembentukan kontraktur harus dicegah seoptimal mungkin. Penggunaan alat bantu
disesuaikan dengan profesi dan harapan pasien.
Penelitian prospektif selama 3 tahun meunjukkan bahwa suatu program
rehabilitasi yang terpadu (hidroterapi, elektroterapi, psikoterapi, penatalaksanaan
gangguan kandung kemih dan saluran cerna) meningkatkan secara signifikan nilai
status fungsional pada penderita cedera medula spinalis.
Terapi konservatif dapat dilakukan pada pasien dengan gejala mielopati
ringan, umumnya dilakukan observasi apakah terdapat perbaikan fungsi. Pemberian
analgetik dapat dipertimbangkan untuk mengatasi rasa nyeri akibat gejala radikular.
Penggunaan collar neck dapat digunakan apabila diketahui terdapat instabilitas
vertebra.
Tindakan operasi perlu dilakukan untuk menghilangkan kompresi pada
medula spinalis, apakah akibat trauma, stenosis, atau tumor yang mendesak medula
spinalis.
OPERATIF
Ada dua pendekatan dalam tehnik operasi pada spondilosis cervical,
pendekatan anterior (anterior cervical discectomy atau corpectomy) dan pendekatan
posterior (decompressive cervical laminectomy atau laminoplasty). Hingga saat ini
kedua pendekatan tersebut banyak digunakan namun masih banyak perdebatan
tentang tehnik mana yang lebih baik5,6. Setiap teknik operasi memiliki keuntungan
sdan kerugiannya masing-masing.Masing-masing approach yang digunakan harus
disesuaikan dengan struktur saraf yang mengalami penekanan.Penekanan pada
struktur saraf yang berada dianterior lebih baik dibebaskan dari anterior
dibandingkan dari posterior, demikian pulase baliknya. Pada kasus dimana terjadi
25
penekanan pada beberapa level (tiga level atau lebih), maka posterior approach
lebih sering digunakan meskipun dijumpai penekanan pada sisi anterior.2
26
b. Anterior Corpectomy
Pada pasien yang menderita cervical spondilosis, discectomy
anterior dan osteophyectomy mungkin tidak cukup untuk mendekompresi
spinal cord. Spinal cord mungkin tidak hanya terganggu oleh tonjolan
diskus dan spondylophytes tetapi juga oleh malalignment dari tulang
belakang (kyphosis) atau kanal tulang belakang yang sempit.Dalam kasus
ini, diperlukan tindakan subtotal corpectomy.Parsial reseksi vertebral body
dan dekompresi pertama kali digunakan untuk mengobati gangguan
cervikal yang diakibatkan trauma dan teknik ini kemudian diadopsi untuk
gangguan degeneratif.Sejauh mana dekompresi yang harus dilakukan
tergantung pada patologi dan ukuran kanal tulang belakang. Dibandingkan
dengan ACDF, corpectomy memberikan keuntungan berupa:
Memperbesar kanal tulang belakang
Memungkinkan untuk dekompresi lebih radikal
Meningkatkan tingkat fusi 2
27
Laminektomi adalah prosedur singkat dan efektif untuk
memperbaiki defisit neurologis. Pada munculnya kyphosis,
bagaimanapun, Laminektomi saja memiliki efek terbatas karena spinal
cord tidak dapat berpindah ke posterior dan menjauh dari osteofit atau
diskus yang mengkompresi tulang belakang di bagian anterior.hasil
yang sangat baik telah dilaporkan pada 56-85% pasien setelah
Laminektomi. Perpanjangan lateral laminectomy seharusnya tidak
mencakup lebih dari 50% dari sendi facet. Reseksi lebih dari 50%
mengganggu kekuatan bersama secara signifikan dan dapat
menyebabkan ketidakstabilan segmental dan kyphosis.Pada
Laminektomi bertingkat, 25% reseksi facet dapat mengurangi stabilitas
cervical dan memerlukan fusi. Laminektomi dengan fusi: Dengan
penambahan fusi posterior, prosedur ini mengurangi kyphosis dan
ketidakstabilan segmental yang disebabkan oleh menghilangkan unsur
posterior selama laminektomi; Namun, ini juga menyebabkan
biomekanik cervical yang berubah yang menyebabkan degenerasi
segmen yang berdekatan2
28
d. Laminoplasty
Teknik ini bertujuan untuk melestarikan gerak tapi dengan sedikit
perubahan pada biomekanika alami pada tulang belakang. Kanalis tulang
belakang diperlebar dengan menciptakan "selokan" di lamina, dan
kemudian mendorong proses spinous dan lebih banyak melibatkan lamina
ke sisi yang berlawanan. Titanium miniplates disekrup di tempat untuk
menjaga pelebaran ini terbuka. Potensi destabilisasi, malalignment sagital
(kyphosis) dan kurangnya perlindungan spinal cord setelah laminectomy
cervical bertingkat, memicu para ahli bedah Jepang untuk mengembangkan
teknik laminoplasty cervical. Oleh karena itu, keuntungan umum yamg
diinginkan melalui laminoplasty adalah :
Memperluas kanal tulang belakang
Mengamankan perlindungan spinal cord
Menjaga stabilitas tulang belakang
Menjaga mobilitas tulang belakang
Mengurangi risiko degenerasi segmen yang berdekatan
Hirabayashi memperkenalkan teknik bedah baru yang disebut "
expansive open door laminoplasty" yang masih banyak digunakan saat ini.
Sebagai alternatif, " French opendoor laminoplasty " diperkenalkan oleh
Hoshi dan Kurokawa. Meskipun berbagai modifikasi bedah telah
disarankan, konsep dasar sebagian besar prosedur mirip dengan salah satu
dari dua teknik ini.Sebuah tinjauan kritis baru-baru ini menyimpulkan
bahwa literatur belum mendukung manfaat yang diklaim pada laminoplasty.
Ratcliff dan Cooper menyimpulkan bahwa hasil neurologis dan perubahan
kesejajaran tulang belakang tampak serupa setelah Laminektomi dan
laminoplasty.Pasien yang diobati dengan laminoplasty memiliki
kemungkinan untuk menimbulkan keterbatasan progresif gerak cervical
(ROM) mirip dengan yang terlihat setelah laminektomi dan fusi.Namun,
data yang kurang pada peran laminoplasty pada individu muda dengan
cervical myelopathy karena kelainan kongenital kanal tulang belakang yang
29
sempit dan dimana dekompresi bertingkat dan instrumentasi fusi bukan
alternatif yang menguntungkan2
Salah satu komplikasi laminoplasti yang signifikan adalah gejala
aksial, termasuk nyeri bahu dan kejang, dan nyeri leher.Hosono
dkk.melaporkan insiden 60% kejadian aksial postoperatif pada pasien
laminoplasti. Dalam meta-analisis laminoplasti cervical mereka, Ratliff dan
Cooper sependapat dengan temuan Honsono, saat mereka menemukan nyeri
leher aksial 25 sampai 60%.Lawrence dan Brodke telah menyarankan
bahwa nyeri leher aksial pasca operasi dapat dikurangi dengan pelestarian
rangkaian otot C2 dan C7 selama laminoplasti.Sakura dkk.mendukung
pengamatan ini dengan menemukan pengurangan 11% pada nyeri leher
pada pasien yang mengalami pelepasan atensi otot spinal cervical superior
dan inferior. Kyphosis progresif (10%) dan penurunan rentang gerak
cervical (15 sampai 50%) juga terkait dengan laminoplasti.2
X. PROGNOSIS
30
BAB III
KESIMPULAN
31
DAFTAR PUSTAKA
32
8. Price, A., Sylvia & Wilson, M., Lorraine.2005. Patofisiologi Konsep
Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6 Volume 2.Jakarta : EGC
11. Praveen K, Mihcael J, Saad B. Cervical surgical technique for the treatment
of cervial spondylotic myelopathy. Ireland. Hindawi Publishing
Corporation.Vol 2019.
33