Anda di halaman 1dari 41

MAKALAH ERGONOMI

“BEBAN KERJA”

DOSEN PENGAMPU: BUDI ASWIN, S.KM., M.Kes.

Disusun Oleh

Ruri Sukmawati Dewi (N1A117025)

Monica Agustin Putri Arfan (N1A117113)

Muslimah Paradiba (N1A117143)

Heru Suganda (N1A117144)

Mohd. Ilham Fahreza (N1A117157)

Randy Junaidi (N1A117159)

Amanathan Farhan Syayenra (N1A117202)

Putra Satya Hapradinata (N1A117221)

PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS JAMBI

2019
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kami panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha
Esa yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis bisa
menyelesaikan makalah ini tepat waktu.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ergonomi dengan
judul Beban Kerja dalam Ergonomi Industri.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan pada makalah ini.
Maka dari itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
berbagai pihak demi terciptanya kesempurnaan dalam makalah ini.
Semoga dengan disusunnya makalah ini dapat memberikan manfaat
terutama dalam menambah pengetahuan dan pemahaman terhadap materi ini
terutama bagi penulis serta pembaca pada umumnya.

Jambi, Oktober 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ i

DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1

1.1.Latar Belakang .................................................................................................. 1

1.2.Rumusan Masalah ............................................................................................. 2

1.3.Tujuan ............................................................................................................... 2

1.4.Manfaat Penulisan ............................................................................................. 2

BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................... 3

2.1 Beban Kerja....................................................................................................... 3

2.2 Beban Kerja Mental ........................................................................................ 14

2.3 Penilaian Beban Kerja Fisik ............................................................................ 21

2.4 Penilaian Beban Kerja Berdasarkan Jumlah Kebutuhan Kalori ..................... 28

BAB III PENUTUP ............................................................................................. 36

3.1 Kesimpulan ..................................................................................................... 36

3.2 Saran ................................................................................................................ 37

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... iii

ii
DAFTAR PUSTAKA
Tarwaka .2011. Ergonomi Industri Dasar-Dasar Pengetahuan Ergonomi Dan
Aplikasi Ditempat Kerja. Surakarta. Harapan Perss Solo.

Sritomo Wignjosoebroto. 2017. Ergonomi Studi Ruang Gerak Dan Waktu Teknik
Analisis Untuk Peningkatan Produktivitas Kerja. Surabaya. Guna Widya.

Ramli, S. (2014). Sistem Manajemen Kesehatan & Keselamatan Kerja.H. Djajaningrat,


Seri Manajemen K3 01 (hal. 51-52). Jakarta: Dian Rakyat.

Ira Pracinasari. 2013. Beban Kerja Fisik Vs Beban Kerja Mental. Surakarta.
Program Diploma III Hiperkes Dan Keselamatan KerjaFakultas
Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Prasetyo, E., & Budiati, R. E. (2016). Analisis Program Inspeksi Keselamatan dan
Kesehatan Kerja Sebagai Bentuk Promosi Budaya K3 Di Lingkungan Kerja.
Jurnal Kesehatan Masyarakat Cendikia Utama, 4(1), 1-47.

iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Di era globalisasi menuntut pelaksanaan Kesehatan dan Keselamatan Kerja
(K3) di setiap tempat kerja. Untuk itu kita perlu mengembangkan dan
meningkatkan K3 diberbagai sektor pekerjaan dalam rangka menekan
serendah mungkin risiko kecelakaan dan penyakit yang timbul akibat
hubungan kerja, beban kerja, dan berbagai risiko yang dapat memicu
terjadinya kecelakaan kerja serta meningkatkan produktivitas dan efesiensi.
Dalam pelaksanaan pekerjaan sehari-hari karyawan/pekerja di berbagai
sektor tidak terkecuali di Rumah Sakit maupun perkantoran, akan terpajan
dengan resiko bahaya di tempat kerjanya. Resiko ini bervariasi mulai dari
yang paling ringan sampai yang paling berat tergantung jenis pekerjaannya.
Karena inilah kami membahas beban kerja yang ada pada pekerja dalam sisi
ergonomi. Dalam dunia kerja terdapat Undang-Undang yang mengatur
tentang ketenagakerjaan yaitu Undang-Undang No. 14 tahun 1969 tentang
ketentuan-ketentuan pokok tenaga kerja merupakan subyek dan obyek
pembangunan. Ergonomik yang bersasaran akhir efisiensi dan keserasian kerja
memiliki arti penting bagi tenaga kerja, baik sebagai subyek maupun
obyek. Akan tetapi sering kali suatu tempat kerja mengesampingkan aspek
ergonomi bagi para pekerjanya, hal ini tentunya sangat merugikan para
pekerja itu sendiri.
Bekerja dengan tubuh dan lingkungan yang sehat, aman serta nyaman
merupaka hal yang diinginkan oleh semua pekerja. Di era globalisasi menunut
pelaksanaan Kesehatan dan Keselamaan Kerja (K3) di setiap tempat kerja
termasuk di sektor kesehatan. Untuk itu perlu kita mengembangkan dan
meningkatkan K3 di sektor kesehatan dalam rangka menekan serendah
mungkin risiko kecelakaan dan penyakit yang timbul akibat hubungan kerja,
serta meningkatkan produktivitas dan efisiensi.

1
1.2.Rumusan Masalah
1. Apa definisi Beban Kerja ?
2. Apa saja faktor-faktor yang dapat mempengaruhi Beban Kerja?
3. Bagaimana Pengukuran Beban Kerja?
4. Apa saja Manfaat dari Pengukuran Beban Kerja?
5. Bagaimana cara dalam Mengatasi Beban Kerja Berlebih?

1.3. Tujuan
1. Untuk mengetahui tentang pengertian Beban Kerja
2. Menambah pengetahuan tentang Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Beban Kerja
3. Untuk memahami macam macam cara pengukuran Beban Kerja
4. Untuk memahami apa saja manfaat Pengukuran Beban Kerja
5. Agar mengetahui cara-cara yang dapat dilakukan dalam mengatasi Beban
Kerja

1.4. Manfaat Penulisan


Manfaat dari penulisan makalah ini adalah agar dapat menambah
pengetahuan tentang Beban Kerja dari sisi Ergonomi Keselamatan dan
Kesehatan Kerja khususnya bagi pembaca yang membutuhkan informasi ini.

2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Beban Kerja
2.1.1 Definisi Beban Kerja
Beban kerja adalah istilah yang mulai dikenal sejak tahun 1970-an. Banyak
ahli yang telah mengemukakan definisi beban kerja sehingga terdapat beberapa
definisi yang berbeda mengenai beban kerja. Ia merupakan suatu konsep yang
multi-dimensi, sehingga sulit diperoleh satu kesimpulan saja mengenai definisi
yang tepat (Cain, 2007).
Beban kerja sebagai suatu konsep yang timbul akibat adanya keterbatasan
kapasitas dalam memroses informasi. Saat menghadapi suatu tugas, individu
diharapkan dapat menyelesaikan tugas tersebut pada suatu tingkat tertentu.
Apabila keterbatasan yang dimiliki individu tersebut menghambat/menghalangi
tercapainya hasil kerja pada tingkat yang diharapkan, berarti telah terjadi
kesenjangan antara tingkat kemampuan yang diharapkan dan tingkat kapasitas
yang dimiliki. Kesenjangan ini menyebabkan timbulnya kegagalan dalam kinerja
(performance failures). Hal inilah yang mendasari pentingnya pemahaman dan
pengukuran yang lebih dalam mengenai beban kerja (Cain, 2007).
Beban kerja adalah beban yang ditanggung tenaga kerja yang sesuai dengan
jenis pekerjaanya ditunjukka n oleh Suma’mur dalam Tarwaka (2015). Beban
kerja dalam penelitian ini diukur atau diditeksi dengan denyut nadi. Dimana
pengukurannya dihitung dengan satuan denyut per menit (denyut/menit) pada
arteria radialis di pergelangan tangan, sebab disini paling praktis dan mudah.
Cara menghitungnya yaitu pada arteria radialis dengan memegang pergelangan
tangan ibu jari sebelah dorsal dan tiga jari disebelah polar dan yang merasakan
adalah jari tengah. Denyutan nadi dihitung permenit, dapat dengan cara
menghitung denyut nadi dalam waktu 30 detik kemudian dikalikan dua. Pada
orang yang sehat frekuensi denyut nadi yang normal yaitu 60-75/menit.
Beban kerja fisiologis dapat didekati dari banyaknya O2 (oksigen) yang
digunakan tubuh, jumlah kalori yang dibutuhkan, denyutan jantung suhu netral
dan kecepatan penguapan lewat keringat.

3
Beban kerja ini menentukan bahwa berapa lama seseorang dapat bekerja sesuai
dengan kapasitas kerjanya (Suma’mur, 2009).
Menurut Meshkati dalam Tarwaka (2015), beban kerja dapat didefinisikan
sebagai suatu perbedaan antara kapasitas atau kemampuan pekerja dengan tuntutan
pekerjaan yang harus dihadapi. Mengingat kerja manusia bersifat mental dan fisik,
maka masing-masing mempunyai tingkat pembebanan yang berbeda- beda.
Tingkat pembebanan yang terlalu tinggi memungkinkan pemakaian energi yang
berlebihan dan terjadi overstress, sebaliknya intensitas pembebanan yang terlalu
rendah memungkinkan rasa bosan dan kejenuhan atau understress. Oleh karena itu
perlu diupayakan tingkat intensitas pembebanan yang optimum yang ada diantara
kedua batas yang ekstrim tadi dan tentunya berbeda antara individu yang satu
dengan yang lainnya.
Menurut Hart dan Staveland dalam Tarwaka (2015), bahwa beban kerja
merupakan sesuatu yang muncul dari interaksi antara tuntutan tugas-tugas,
lingkungan kerja dimana digunakan sebagai tempat kerja, ketrampilan, perilaku
dan persepsi dari pekerja. Beban kerja kadang-kadang juga dapat didefinisikan
secara operasional pada berbagai faktor seperti tuntutan tugas atau upaya-upaya
yang dilakukan untuk melakukan pekerjaan. Oleh karena itu, tidak hanya
mempertimbangkan beban kerja dari satu aspek saja, selama faktor-faktor yang
lain mempunyai interelasi pada cara-cara yang komplek.
Berdasarkan yang dikemukakannya beberapa definisi di atas, maka dapat
ditarik kesimpulan bahwa beban kerja merupakan sejauh mana kapasitas individu
pekerja dibutuhkan dalam menyelesaikan tugas yang diberikan kepadanya, yang
dapat diindikasikan dari jumlah pekerjaan yang harus dilakukan, waktu/batasan
waktu yang dimiliki oleh pekerja dalam menyelesaikan tugasnya, serta pandangan
subjektif individu tersebut sendiri mengenai pekerjaan yang diberikan kepadanya.
a. Beban Kerja Berlebih Kuantitatif
Beban kerja berlebih secara kuantitatif terutama berhubungan dengan desakan
waktu. Setiap tugas diharapkan dapat diselesaikan secepat mungkin secara tepat
dan cermat. Berdasarkan kondisi ini, orang harus bekerja berkejaran dengan
waktu. Sampai taraf tertentu, adanya batas waktu (deadline) dapat meningkatkan
motivasi. Namun bila desakan waktu melebihi kemampuan individu maka dapat

4
menimbulkan banyak kesalahan dan menyebabkan kondisi kesehatan seseorang
berkurang.
b. Beban Kerja Kuantitatif Terlalu Sedikit
Adanya penggunaan mesin di dunia kerja akan berdampak pada pekerja
dikarenakan sering terjadi efisiensi kerja. Pada pekerjaan sederhana yang banyak
melakukan pengulangan gerak akan menimbulkan rasa bosan yang dapat menjadi
sumber stres.
c. Beban Kerja Berlebih Kualitatif
Kemajuan tekhnologi membuat pekerjaan yang menggunakan tangan menjadi
berkurang sehingga lama kelamaan titik berat pekerjaan beralih ke pekerjaan otak.
Pekerjaan makin menjadi majemuk dan mengakibatkan adanya beban berlebih
kualitatif. Semakin tinggi tingkat stres apabila kemajemukannya memerlukan
teknik dan intelektual yang lebih tinggi daripada yang dimiliki pekerja. Sampai
pada titik tertentu, hal ini dapat menjadi tantangan kerja dan motivasi. Namun
apabila melebihi kemampuan individu maka akan timbul kelelahan mental, reaksi
emosional, juga reaksi fisik yang merupakan respon dari stres.
d. Beban Kerja Kuantitatif dan Kualitatif Berlebih
Proses pengambilan keputusan merupakan suatu kombinasi yang unik dari
kondisi beban kuantitatif dan kualitatif berlebih. Faktor-faktor yang dapat
menentukan besarnya stres dalam mengambil keputusan adalah akibat dari suatu
keputusan, derajat kemajemukan keputusan, siapa yang bertanggungjawab dan lain
sebagainya

2.1.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi beban kerja


Bahwa secara umum hubungan antara beban kerja dan kapasitas kerja
dipengaruhi oleh berbagai faktor yang sangat komplek, baik faktor internal
maupun faktor eksternal. Faktor eksternal beban kerja adalah beban yang berasal
dari luar tubuh pekerja. Termasuk beban kerja eksternal adalah tugas (task) yang
dilakukan bersifat fisik seperti: beban kerja, stasiun kerja, alat dan sarana kerja,
kondisi atau medan kerja, cara angkat-angkut, alat bantu kerja, dan lain-lain.
Kemudian organisasi yang terdiri dari: lamanya waktu kerja, waktu istirahat, kerja
bergilir, dan lain-lain. Selain itu lingkungan kerja yang meliputi: suhu, intensitas

5
penerangan, debu, hubungan pekerja dengan pekerja, dan sebagai berikut. Ketiga
aspek ini sering disebut stressor. Sedangkan faktor internal beban kerja adalah
faktor yang berasal dari dalam tubuh sendiri sebagai akibat adanya reaksi dari
beban kerja eksternal. Reaksi tubuh tersebut dikenal sebagai strain. Berat
ringannya strain dapat dinilai baik secara objektif maupun subjektif. Penilaian
secara objektif melalui perubahan reaksi fisiologis, sedangkan penilaian subjektif
dapat dilakukan melalui perubahan reaksi psikologis dan perubahan perilaku.
Karena itu strain secara subjektif berkait erat dengan harapan, keinginan,
kepuasan dan penilaian subjektif lainnya. Secara lebih ringkas faktor internal
meliputi: Faktor somatis; jenis kelamin, umur, ukuran tubuh, kondisi kesehatan,
status gizi. Faktor psikis; motivasi, presepsi, kepercayaan, keinginan, kepuasan
(Tarwaka, 2015).
Selanjutnya menurut Hart dan Staveland dalam Tarwaka (2015), menjelaskan
bahwa tiga faktor utama yang menentukan beban kerja adalah tuntutan tugas,
usaha dan performasi.
1. Faktor tuntutan tugas (task demands). Argumentasi berkaitan dengan faktor ini
adalah bahwa beban kerja dapat ditentukan dari analisis tugas-tugas yang
dilakukan oleh pekerja. Bagaimanapun perbedaan-perbedaan secara individu
harus selalu diperhitungkan.
2. Usaha atau tenaga (effort). Jumlah yang dikeluarkan pada suatu pekerjaan
mungkin merupakan suatu bentuk intuitif secara alamiah terhadap beban kerja.
Bagaimanapun juga, sejak terjadinya peningkatan tuntutan tugas, secara
individu mungkin tidak dapat meningkatkan tingkat effort.
3. Performansi. Sebagian besar studi tentang beban kerja mempunyai perhatian
dengan tingkat performansi yang akan dicapai. Bagaimanapun juga,
pengukuran performansi sendirian tidaklah akan dapat menyajikan suatu matrik
beban kerja yang lengkap.

6
2.1.3 Pengukuran Beban Kerja
Pengukuran beban kerja dilakukan untuk memperoleh informasi mengenai
tingkat efektivitas dan efisiensi kerja organisasi berdasarkan banyaknya pekerjaan
yang harus diselesaikan dalam jangka waktu satu tahun. Pengukuran beban kerja
dapat dilakukan dalam berbagai prosedur, namun Cain (2007) telah
menggolongkan secara garis besar ada tiga kategori pengukuran beban kerja. Tiga
kategori tersebut yaitu :
1. Pengukuran subjektif, yakni pengukuran yang didasarkan kepada penilaian dan
pelaporan oleh pekerja terhadap beban kerja yang dirasakannya dalam
menyelesaikan suatu tugas. Pengukuran jenis ini pada umumnya menggunakan
skala penilaian (rating scale).
2. Pengukuran kinerja, yaitu pengukuran yang diperoleh melalui pengamatan
terhadap aspek-aspek perilaku/aktivitas yang ditampilkan oleh pekerja. Salah
satu jenis dalam pengukuran kinerja adalah pengukuran yang diukur
berdasarkan waktu. Pengukuran kinerja dengan menggunakan waktu
merupakan suatu metode untuk mengetahui waktu penyelesaian suatu pekerjaan
yang dikerjakan oleh pekerja yang memiliki kualifikasi tertentu, di dalam
suasana kerja yang telah ditentukan serta dikerjakan dengan suatu tempo kerja
tertentu.
3. Pengukuran fisiologis, yaitu pengukuran yang mengukur tingkat beban kerja
dengan mengetahui beberapa aspek dari respon fisiologis pekerja sewaktu
menyelesaikan suatu tugas/pekerjaan tertentu. Pengukuran yang dilakukan
biasanya pada refleks pupil, pergerakan mata, aktivitas otot dan respon-respon
tubuh lainnya.
Sutalaksana (2006) menjelaskan bahwa pengukuran waktu dapat digunakan
untuk mendapatkan ukuran tentang beban dan kinerja yang berlaku dalam suatu
sistem kerja. Karena metode yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah
metode ilmiah, maka hasilnya dapat dipertanggungjawabkan. Melalui pengukuran
ini pengukur memperoleh ukuran-ukuran kuantitatif yang benar tentang kinerja
dan beban kerja.

7
2.1.4 Penilaian Beban Kerja Berdasarkan Denyut Nadi Kerja
Kerja fisik adalah kerja yang memerlukan energi fisik pada otot manusia yang
akan berfungsi sebagai sumber tenaga. Kerja fisik disebut juga “manual operation”
dimana performansi kerja sepenuhnya akan bergantung pada upaya manusia yang
berperan sebagai sumber tenaga maupun pengendali kerja. Disamping itu, kerja
fisik juga dapat dikonotasikan kerja berat, kerja otot dan kerja kasar, karena
aktifitas kerja fisik tersebut memerlukan usaha fisik manusia yang kuat selama
periode kerja berlangsung. Selama kerja fisik berlangsung, maka konsumsi energy
merupakan faktor utama yang menjadi tolok ukur penentu berat/ringannya suatu
pekerjaan. Secara garis besar, aktifitas manusia dapat dikelompokkan menjadi dua
(2) aktifitas yaitu kerja fisik dan kerja mental. Pengelompokkan ini tentunya
tidaklah dapat dilakukan secara sempurna, mengingat adanya hubungan yang erat
antara aktifitas fisik satu dengan lainnya.
Selanjutnya, setiap aktifitas fisik yang dilakukan akan mengakibatkan
terjadinya suatu perubahan fungsi faal paa alat-alat tubuh manusia (fisiologi) yang
dapat diketahui dari berbagai indikator fungsi faal tersebut, diantaranya adalah :
1. Konsumsi oksigen atau kebutuhan oksigen
2. Laju detak jantung
3. Peredaran darah atau ventilasi paru-paru
4. Temperatur tubuh
5. Tingkat penguapan melalui keringat dan lain lain.
Lebih lanjut Christensen dan Grandjean dalam Tarwaka (2015) menjelaskn
bahwa salah satu pendekatan untuk mengetahui berat ringannya beban kerja adalah
dengan menghitung denyut nadi. Pada batas tertentu ventilasi paru, denyut nadi
atau denyut jantung dan suhu tubuh mempunyai hubungan yang linear dengan
konsumsi oksigen atau pekerjaan yang dilakukan. Kemudian Konz dalam Tarwaka
(2015) mengemukakan bahwa denyut jantung atau denyut nadi adalah suatu alat
estimasi laju metabolism yang baik.
Beberapa hal yang berkaitan dengen pengukuran denyut jantung adalah
sebagai berikut :

1. Astrand dan Christensen meneliti pengeluaran energi dari tingkat

8
denyut jantung dan menemukan adanya hubungan langsung antara
keduanya. Tingkat pulsa dan denyut jantung permenit dapat
digunakan untuk menghitung pengeluaran energi.
2. Secara lebih luas dapat dikatakan bahwa kecepatan denyut jantung
dan pernapasan dipengaruhi oleh tekanan fisiologis, tekanan oleh
lingkungan, atau tekanan akibat kerja keras, di mana ketiga faktor
tersebut memberikan pengaruh yang sama besar. Pengukuran
berdasarkan criteria fisiologis ini bisa digunakan apabila faktor-faktor
yang berpengaruh tersebut dapat diabaikan atau situasi kegiatan dalam
keadaan normal. ( Retno Megawati, 2003 )
Pengukuran denyut jantung dapat dilakukan dengan berbagai cara
antara lain :

1. Merasakan denyut jantung yang ada pada arteri radial pada


pergelangan tangan.
2. Mendengarkan denyut jantung dengan stethoscope.
3. Menggunakan ECG ( Electrocardiograph ), yaitu mengukur signal
elektrik yang diukur dari otot jantung pada permukaan kulit dada.
Salah satu yang dapat digunakan untuk menghitung denyut jantung adalah
telemetri dengan menggunakan rangsangan ElectroardioGraph (ECG). Apabila
peralatan tersebut tidak tersedia dapat memakai stopwatch dengan metode 10
denyut (Kilbon, 1992). Dengan metode tersebut dapat dihitung denyut nadi kerja
sebagai berikut

Selain metode denyut jantung tersebut, dapat juga dilakuakan


penghitungan denyut nadi dengan menggunakan metode 15 atau 30 detik.
Penggunaan nadi kerja untuk menilai berat ringanya beban kerja memiliki
beberapa keuntungam. Selain mudah, cepat, dan murah juga tidak memerlukan
peralatan yang mahal, tidak menggangu aktivitas pekerja yang dilakukan
pengukuran. Kepekaan denyut nadi akan segera berubah dengan perubahan

9
pembebanan, baik yang berasal dari pembebanan mekanik, fisika, maupun
kimiawi. Denyut nadi untuk mengestimasi index beban kerja terdiri dari beberapa
jenis, Muller ( 1962 ) Memberikan definisi sebagai berikut :

a. Denyut jantung pada saat istirahat ( resting pulse ) adalah rata-rata


denyut jantung sebelum suatu pekerjaan dimulai.
b. Denyut jantung selama bekerja ( working pulse ) adalah rata-rata
denyut jantung pada saat seseorang bekerja.
c. Denyut jantung untuk bekerja ( work pulse ) adalah selisish antara
senyut jantung selama bekerja dan selama istirahat.
d. Denyut jantung selama istirahat total ( recovery cost or recovery
cost ) adalah jumlah aljabar denyut jantung dan berhentinya denyut
pada suatu pekerjaan selesai dikerjakannya sampai dengan denyut
berada pada kondisi istirahatnya.
e. Denyut kerja total ( Total work pulse or cardiac cost ) adalah
jumlah denyut jantung dari mulainya suatu pekerjaan samapi
dengan denyut berada pada kondisi istirahatnya ( resting level ).
( Nurmianto, 1998 )

Denyut jantung pada berbagai macam kondisi kerja dapat dilihat dengan
grafik antara hubungan denyut jantung dengan waktu sebagai berikut :

Dari grafik tersebut dapat diketahui bahwa seseorang dalam “keadaan


normal”

10
a. Waktu sebelum kerja (rest) kecepatan denyut jantung dalam keadaan konstan /
stabil walaupun ada perubahan kecepatan denyutnya tetapi tidak terlalu jauh
perbedaannya.
b. Waktu selama bekerja (work) kecepatan denyut jantung dalam keadaan
cenderung naik.Semakin lama waktu kerja yang dilakukan maka makin banyak
energi yang keluar sehingga kecepatan denyut jantung bertambah cepat naik.
c. Waktu setelah bekerja / waktu pemulihan / recovery kecepatan denyut jantung
dalam keadaan cenderung turun. Kondisi kerja yang lama maka perlu
dibutuhkan waktu istirahat yang digunakan untuk memulihkan energi kita
terkumpul kembali setelah mencapai titik puncak kelelahan.
Peningkatan denyut nadi mempunyai peran yang sangat penting di dalam
peningkatan cardio output dari istirahat samapi kerja maksimumk, peningkatan
tersebut oleh Rodahl (2000) didefinikan sebagai heart rate reserve (HR reserve).
HR reserve tersebut diekspresikan dalam presentase yang dihitung dengan
menggunakan rumus :

Lebih lanjut Manuaba & Vanwonterghem (1996) menentukan klasifikasi


beban kerja berdasakan peningkatan denyut nadi kerja yang dibandingkan dengan
denyut nadi maskimum karena beban kardiovaskuler (cardiovasiculair = %CVL)
yang dihitung berdasarkan rumus di bawah ini :

Di mana denyut nadi maskimum adalah (220-umur) untuk laki-laki dan (200-
umur) untuk wanita. Dari perhitungan % CVL kemudian akan dibandingkan
dengan klasifikasi yang telah ditetapkan sebagai berikut :

 < 30% = Tidak terjadi kelelahan


 0-<60% = Diperlukan perbaikan

11
 60-<80 = Kerja dalam waktu singkat
 80-<100% = Diperlukan tindakan segera
 >100% = Tidak diperbolehkan beraktivitas
Selain cara-cara tersebut di atas, Kilbon (1992) mengusulkan bahwa
cardiovasculair strain dapat diestimasi denjgan menggunakan denyut nadi
pemulihan (hearth rate recover) atau dikenal dengan metode ‘Brouba’.
Keuntungan dari metode ini adalah sama sekali tidaj mengganggu atau
menghentikan aktivitas kegiatan selama bekerja. Denyut nadi pemulihan (P)
dihitung pada akhir 30 detik pada menit pertama, ke dua, dan ke tiga. P 1, 2, 3
adalah rata-rata dari ketiga nilai tersebut dan dihubungkan dengan total cardiac
cost dengan ketentuan sebagai berikut :

 Jika P1 – P3 ≥ 10, atau P1, P2, P3 seluruhnya < 90, nadi


pemulihan normal
 Jika rata-rata P1 tercatat ≤ 110, dan P1 – P3 ≥ 10, maka beban
kerja tifak berlebihan
 Jika P1 – P3< 10, dan jika P3> 90 perlu redesain pekerjaan
Laju pemulihan denyut nadi dipengaruhi oleh nilai absolute denyut nadi pada
ketergantungguan pekerjaan (the interruption of work), tingkat kebugaran
(individual fitness), dan pemaparan panas lingkungan. Jika nadi pemulihan tidak
segera tercapai maka diperluakan redesain pekerjaan untuk mengurangi tekanan
fisik. Redesain tersebut dapat berupa variabel tunggal maupun keseluruhan dari
variabel bebas (tasks, organisasai kerja, dan lingkungan kerja) yang menyebabkan
beban tugas tambahan. (Tarwaka, Solichul, H.A Bakri, 2004)

2.1.5 .Manfaat Pengukuran Beban Kerja


Pengukuran beban kerja memberikan beberapa keuntungan bagi organisasi.

12
Cain (2007) menjelaskan bahwa alasan yang sangat mendasar dalam mengukur
beban kerja adalah untuk mengkuantifikasi biaya mental (mental cost) yang harus
dikeluarkan dalam melakukan suatu pekerjaan agar dapat memprediksi kinerja
sistem dan pekerja. Tujuan akhir dari langkah-langkah tersebut adalah untuk
meningkatkan kondisi kerja, memperbaiki desain lingkungan kerja ataupun
menghasilkan prosedur kerja yang lebih efektif.
Menteri Dalam Negeri dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 12
Tahun 2008 Tentang Pedoman Analisis Beban Kerja Di Lingkungan Departemen
Dalam Negeri Dan Pemerintah Daerah menjelaskan bahwa dilakukannya
pengukuran beban kerja memberikan beberapa manfaat kepada organisasi, yakni :
a. Penataan/penyempurnaan struktur organisasi
b. Penilaian prestasi kerja jabatan dan prestasi kerja unit
c. Bahan penyempurnaan sistem dan prosedur kerja
d. Sarana peningkatan kinerja kelembagaan
e. Penyusunan standar beban kerja jabatan/kelembagaan, penyusunan daftar
susunan pegawai atau bahan penetapan eselonisasi jabatan structural
f. Penyusunan rencana kebutuhan pegawai secara riil sesuai dengan beban kerja
organisasi
g. Program mutasi pegawai dari unit yang berlebihan ke unit yang kekurangan
h. Program promosi pegawai
i. Reward and punishment terhadap unit atau pejabat
j. Bahan penyempurnaan program diklat
k. Bahan penetapan kebijakan bagi pimpinan dalam rangka peningkatan
pendayagunaan sumber daya manusia.

13
2.2 Beban Kerja Mental
Beban kerja mental yang merupakan perbedaan antara tuntutan kerja
mental dengan kemampuan mental yang dimiliki oleh pekerja yang bersangkutan.

Beban kerja yang timbul dari aktivitas mental di lingkungan kerja antara
lain disebabkan oleh :

 keharusan untuk tetap dalam kondisi kewaspadaan tinggi dalam waktu lama
 kebutuhan untuk mengambil keputusan yang melibatkan tanggung jawab
besar
 menurunnya konsentrasi akibat aktivitas yang monoton
 kurangnya kontak dengan orang lain, terutama untuk tempat kerja yang
terisolasi dengan orang lain.
Selain beban kerja fisik , beban kerja yang bersifat mental harus pula dinilai.
Namun demikian penilaian beban kerja mental tidaklah semudah menilai beban
kerja fisik. Pekerjaan yang bersifat mental sulit diukur melalui perubahan fungsi
faal tubuh. Secara fisiologis, aktivitas mental terlihat sebagai suatu jenis pekerjaan
yang ringan sehingga kebutuhan kalori untuk aktivitas mental juga lebih rendah.
Pada hal secara moral dan tanggung jawab, aktivitas mental jelas lebih berat
dibandingkan dengan aktivitas fisik, karena lebih melibatkan kerja otak ( white-
collar) dari pada kerja otot( Blue-collar). Dewasa ini aktivitas mental lebih banyak
didominasi oleh pekerja-pekerja kantor, supervisor dan pimpinan sebagai
pengambil keputusan dengan tanggung jawab yang lebih besar. Menurut
Grandjean (1993) setiap aktivitas mental akan selalu melibatkan unsur persepsi,
interpretasi dan proses mental dari suatu informasi yang diterima oleh organ
sensor untuk diambil suatu keputusan atau proses mengingat informasi yang
lampau. Yang menjadi masalah pada manusia adalah kemampuan untuk
memanggil kembali atau mengingat informasi yang disimpan. Proses mengingat
kembali ini sebagian besar menjadi masalah bagi orang tua. Seperti kita tahu
bahwa orang tua kebanyakan mengalami penurunan daya ingat. Dengan demikian
penilaian beban kerja mental lebih tepat menggunakan penilaian terhadap tingkat
ketelitian, kecepatan maupun konstansi kerja. Sedangkan jenis pekerjaan yang
lebih memerlukan kesiapsiagaan tinggi seperti petugas air traffic controllers di

14
Bandara udara adalah sangat berhubungan dengan pekerjaan mental yang
memerlukan konsentrasi tinggi. Semakin lama orang berkonsentrasi maka akan
semakin berkurang tingkat kesiapsiagaannya. Maka uji yang lebih tepat untuk
menilai kesiapsiagaan tinggi adalah tes ‘ waktu reaksi’ . Dimana waktu reaksi
sering dapat digunakan sebagai cara untuk menilai kemampuan melakukan tugas-
tugas yang berhubungan dengan mental.

Karyawan merupakan asset yang sangat penting bagi berbagai perusahaan.


Sehingga penting bagi perusahaan untuk selalu mengetahui kondisi karyawannya
dan selalu memantau standar kinerja mereka supaya tujuan perusahaan dapat
tercapai. Tetapi akan muncul suatu permasalahan di perusahaan jika banyak
karyawannya mengalami stress. Bahkan sebuah penelitian yang telah dilakukan
oleh Yaman mengungkapkan bahwa lebih dari 20 % anggaran dari institusi
pelayanan umum telah dikeluarkan untuk menangani keluhan-keluhan yang
berkaitan dengan stress karyawan. Oleh karena tingkat stress karyawan yang
cukup terlihat signifikan maka perusahaan perlu mewaspadainya sebab hal
tersebut akan menurunkan performance karyawannya.

Stress yang dialami oleh para karyawan menurut Sukmawati dapat


disebabkan antara lain karena :

 Frustasi, yaitu apabila ada halangan yang menghambat maksud dan tujuan
yang diinginkan,
 Konflik, yaitu terjadi jika tidak dapat memilih antara dua atau lebih
kebutuhan / tujuan yang diinginkan,
 Tekanan/ krisis, yaitu beban kerja mental dan fisik sehari-hari meskipun kecil
tetapi menumpuk dapat menyebabkan stres yang hebat.
Berdasarkan point-point yang telah dikemukakan Sukmawati di atas dapat
dilihat bahwa perusahaan berperan pula dalam peningkatan tingkatan stress
karyawannya karena perusahaan yang menentukan beban kerja dari karyawannya.
Terutama di sini beban kerja mental yang menyebabkan stress pada
karyawan. Jika perusahaan memberikan mental task yang berlebihan pada
karyawannya, tentu akan akan meningkatkan beban kerja mental (mental

15
workload) mereka dan kemudian dapat memancing timbulnya stress pada
karyawan.

Adapun contoh-contoh dari mental task menurut Ridley antara lain :

 Kewaspadaan
 Mendeteksi permasalahan (Problem recognition and diagnosis)
 Penyusunan dan pelaksanaan suatu rencana
 Pemilihan prioritas
 Mengingat hal-hal yang perlu dilakukan
 Membuat keputusan yang cepat berdasarkan pada integrasi pengalaman dan
pemahaman tentang situasi saat ini.
 Mengatasi kejadian tak terduga
Dengan diketahuinya contoh-contoh mental task tersebut maka sebuah
perusahaan akan dapat mengetahui beban kerja apa yang diterima oleh
karyawannya. Apakah karyawan A memiliki beban kerja mental atau tidak dan
seberapa besar beban kerja mental yang akan ditangggungnya. Dengan
mengetahui beban kerja mental karyawannya maka perusahaan diharapkan lebih
bijaksana dalam memperhatikan kebutuhan pekerjanya, analisis ergonomi,
analisis Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) hingga pada penentuan
penggajian. Dan pada akhirnya dapat menjaga performance dari karyawannya.

Dalam hal ini salah satu contoh bidang pekerjaan yang memiliki situasi kerja
dengan tingkat beban kerja mental yang tinggi adalah karyawan pada instansi
kesehatan, khususnya perawat. Hal ini dapat dilihat pada pekerjaan yang harus
mereka kerjakan diantaranya adalah sebagai berikut :

 Melaksanakan observasi pasien secara ketat selama jam kerja.


 Dihadapkan pada pengambilan keputusan yang tepat dalam mengambil
tindakan untuk menyelamatkan pasien
 Menghadapi pasien dengan karakteristik tidak berdaya, koma dan kondisi
terminal.
 Melaksanakan tugas delegasi dari dokter
 Menghadapi tuntutan dari keluarga pasien

16
Dari beberapa jenis tugas yang harus dilaksanakan oleh perawat tersebut,
terlihat bahwa mereka melaksanakan mental task yang memiliki beban kerja
mental yang tinggi. Karena tugas-tugas mereka melibatkan mental task yang telah
disebutkan Ridley. Meskipun mereka juga melakukan tugas-tugas fisik tetapi
mental task mereka juga cukup untuk menambah beban kerja mereka.

Pada awal pembahasan disebutkan bahwa performance karyawan akan


menurun jika mereka menghadapi kondisi dengan tingkat stress tinggi karena
beban kerja mental yang belebihan. Tetapi dengan beban kerja mental yang
rendah yang diterima oleh karyawan, performance mereka juga akan rendah.
Kejadian tersebut dapat dijelaskan dengan pendapat yang
dikemukakan Grandjean (1993) bahwa setiap aktivitas mental akan
selalu melibatkan unsur persepsi, interpretasi dan proses mental dari suatu
informasi yang diterima oleh organ sensor untuk diambil suatu keputusan atau
proses mengingat informasi yang lampau. Jadi menurunnya konsentrasi pekerja
merupakan aktivitas mental dimana terjadi penurunan proses mental untuk
menerima suatu informasi. Yang dapat diartikan dengan menurunnya aktivitas
mental maka beban kerja mental pekerja menurun dan performance kerja menurun
pula.

Oleh karena adanya dampak negatif bagi sebuah perusahaan jika memberikan
beban kerja mental terlalu tinggi ataupun terlalu rendah bagi karyawannya, maka
diperlukanlah pengukuran untuk mengetahui beban kerja mental yang tepat untuk
karyawannya.

2.2.1 Faktot-faktor yang Mempengaruhi Beban Mental

Menurut MacCormick dan Sanders pelaksanaan pengukuran beban kerja


mental memiliki beberapa kriteria yaitu:

1. Sensitivity

17
Dalam pengukuran beban kerja mental seharusnya mencirikan suatu yang
berbeda dalam situasi pekerjaan tertentu.

2. Selectivity
Pengukuran beban mental sebaiknya tidak dipengarui oleh faktor-faktor selain
dari beban mental itu sperti fisik dan emosional.

3. Interference
Dalam pelaksanaan pengukuran beban kerja mental hendaknya tidak
mempengaruhi atau mengintrupsi kepada beban kerja yang telah diprediksi.

4. Reliability
Mengukur beban kerja hendaknya dapat dipercaya hasil pengukurannya.

5. Acceptability
Hasil pengukuran bebn kerja dapat diterima masyarakat umunya dan
khususnya untuk tempat diambilnya penelitian.

2.2.2 Dampak Beban Kerja Mental Berlebihan

Ada beberapa hal yang menampakan dampak dari kelebihan beban mental
berlebih, seperti yang diterangkan oleh Hancock dan Mesahkati yaitu:

1. Kebingungan, frustasi dan kegelisahan


2. Stres yang muncul dan berkaitan dengan kebingungan, frustasi dan kegelisahan
3. Stres yang tinggi dan intens berkaitan dengan kebingungan, frustasi dan
kegelisahan sehingga stres membutuhkan suatu pengendalian yang sangat
besar.

2.2.3 Pengukuran Beban Kerja Mental

Pengukuran beban kerja mental atau psikologi dapat dilakukan dengan dua cara
yaitu

18
1. Pengukuran beban mental secara objektif
Berdasarkan Widyanti dkk. (2010), Beban kerja mental dapat diukur dengan
pendekatan fisologis (karena terkuantifikasi dengan dengan kriteria obyektif,
maka disebut metode obyektif). Kelelahan mental pada seorang pekerja terjadi
akibat adanya reaksi fungsionil dari tubuh dan pusat kesadaran. Pendekatan yang
bisa dilakukan antara lain :

1. Pengukuran selang waktu kedipan mata (eye blink rate)


Durasi kedipan mata dapat menunjukkan tingkat beban kerja yang dialami
oleh seseorang. Orang yang mengalami kerja berat dan lelah biasanya durasi
kedipan matanya akan lama, sedangkan untuk orang yang bekerja ringan (tidak
terbebani mental maupun psikisnya), durasi kedipan matanya relatif cepat.

2. Flicker test
Alat ini dapat menunjukkan perbedaan performansi mata manusia, melalui
perbedaan nilai flicker dari tiap individu. Perbedaan nilai flicker ini umumnya
sangat dipengaruhi oleh berat/ringannya pekerjaan, khususnya yang berhubungan
dengan kerja mata.

3. Pengukuran kadar asam saliva


Memasang alat khusus untuk mengetahui beban kerja yang diterima
pekerjayang melibatkan mulut, terutama dihasilkan oleh tiga pasang kelenjar liur
utama yang terletak diluar rongga mulut

4. Pengukuran dengan metode lain


Pengukuran dilakukan dengan alat flicker, berupa alat yang memiliki sumber
cahaya yang berkedip makin lama makin cepat sehingga pada suatu saat sukar
untuk diikuti oleh mata biasa.

2. Pengukuran beban mental secara subyektif


Sedangkan metode pengukuran beban kerja secara suyektif menurut Widyanti
dkk. (2010) merupakan pengukuran beban kerja mental berdasarkan persepsi

19
subjektif responden/pekerja. Berikut ini merupakan beberapa jenis metode
pengukuran subjektif :

1. National Aeronautics and Space Administration Task Load Index (NASA-


TLX)
2. Subjective Workload Assessment Technique (SWAT)
3. Modified Cooper Harper Scaling
4. Multidescriptor Scale
5. Rating Scale Mental Effort (RSME)
Tahapan Pengukuran Beban Kerja Mental Secara Subjektif:

1. Menentukan faktor-faktor beban kerja mental pekerjaan yang diamati.


2. Menentukan range dan nilai interval.
3. Memilih bagian faktor beban kerja yang signifikan untuk tugas-tugas yang
spesifik.
4. Menentukan kesalahan subjektif yang diperhitungkan
berpengaruh dalam memperkirakan dan mempelajari beban kerja.
Tujuan Pengukuran Beban Kerja Mental Secara Subjektif:

1. Menentukan skala terbaik berdasarkan perhitungan eksperimental dalam


percobaan.
2. Menentukan perbedaan skala untuk jenis pekerjaan yang berbeda.
3. Mengidentifikasi faktor beban kerja mental yang secara signifikan
berhubungan berdasarkan penelitian empiris dan subjektif dengan
menggunakan rating beban kerja sampel populasi tertentu.

3. Pengukuran beban kerja mental secara fisiologis/ biomekanis diantaranya:


 Metode pengukuran aktivitas otak dengan menggunakan signal (Event-
Related Potentials - ERPs): P300.
 Metode pengukuran denyut jantung (Heart Rate).
 Metode pengukuran denyut jantung pada aktivitas yang bervariasi (Heart Rate
Variability - HRV).
 Metode dengan menggunakan respon pada pupil mata (Pupillary response).

20
 Pengukuran selang waktu kedipan mata (Eye Blink).

4. Pengukuran Beban Kerja Mental berdasarkan Performansi (Performance –


Based Measures. meliputi:
 Waktu reaksi (Reaction Time-RT) merupakan waktu antara terjadinya
rangsangan atau stimuli dan respon yang diberikan oleh responden. Untuk
tugas dengan RT tidak lebih dari beberapa detik, maka di catat dalam satuan
terdekat dengan milidetik.
 Akurasi (accuracy): akurasi sering diekspresikan dalam bentuk persentase (%)
atau proporsi kesalahan (proportion of errors).

2.2.4 Pengendalian Beban Kerja Mental Berlebihan

Cara mencegah dan mengendalikan stres kerja menurut Sauter (1990) dalam
Prihatini (2007) adalah sebagai berikut

1. Beban kerja mental harus disesuaikan dengan kemampuan dan kapasitas


kerja pekerja yang bersangkutan dengan menghindarkan adanya beban
berlebih maupun beban kerja yang terlalu ringan.
2. Jam kerja harus disesuaikan baik terhadap tuntutan tugas maupun tanggung
jawab di luar pekerjaan.
3. Setiap pekerja harus diberikan kesempatan untuk mengembangkan karier,
mendapatkan promosi dan pengembangan keahlian.
4. Membentuk lingkungan sosial yang sehat yaitu antara pekerja yang satu
dengan yang lain.
5. Tugas-tugas harus harus didesain untuk dapat menyediakan stimulasi dan
kesempatan agar pekerja dapat menggunakan keterampilannya.

2.3 Penilaian Beban Kerja Fisik


Menurut Rodahl (1989) bahwa penilaian beban fisik dapat dilakukan
dengan dua metode secara objektif , yaitu penelitian secara langsung dan metode
tidak langsung. Metode pengukuran langsung yaitu dengan mengukur oksigen

21
yang dikeluarkan (energyexpenditure) melalui asupan energi selama bekerja.
Semakin berat kerja semakin banyak energi yang dikeluarkan. Meskipun metode
dengan menggunakan asupan oksigen lebih akurat, namun hanya mengukur secara
singkat dan peralatan yang diperlukan sangat mahal. Lebih lanjut Christensen
(2001) menjelaskan bahwa salah satu pendekatan untuk mengetahui berat
ringannya beban kerja adalah dengan menghitung nadi kerja, konsumsi energi,
kapasitas ventilasi paru dan suhu inti tubuh. Pada batas tertentu ventilasi paru,
denyut jantung, dan suhu tubuh mempunyai hubungan yang linear dengan
konsumsi oksigen atau pekerjaan yang dilakukan. Kemudian Konz (1996)
mengemukakan bahwa denyut jantung adalah suatu alat estimasi laju metabolisme
yang baik, kecuali dalam keadaan emosi dan konsodilatasi. Kategori berat
ringannya beban kerja didasarkan pada metabolisme respirasi, suhu tubuh, dan
denyut jantung menurut Christensen, dapat dilihat pada table di berikut ini :

Tabel 2.3 Kategori berat ringannya beban kerja didasarkan pada


metabolisme respirasi, suhu tubuh, dan denyut jantung

Kategori Konsumsi Temperatur Energi Denyut Lung Ventilation


Oksigen Rectal Jantung
Kkal/ Liter / menit
o
( liter/ menit ) C Menit

Sangat 0.25 – 0.3 37.5 < 2.5 < 60 6–7


Ringan

Ringan 0.5 - 1 37.5 2.5-5.0 60 – 100 11 - 20

Moderat 1.0 - 1.5 37.5 – 38 5.0-7.5 100 – 125 20 – 31

22
Berat 1.5 - 2.0 38 – 38.5 7.5-10.00 125 – 150 31 - 43

Sangat 2.0 – 2.5 38.5 – 39 10.00-12.5 150 – 175 43 - 56


Berat

Berat > 2.5 > 39 > 12.5 > 175 60 - 100


Ekstrim

( Sumber : Christensen, 1991 )

Berat ringannya beban kerja yang diterima oleh seorang tenaga kerja dapat
digunakan untuk menentukan berapa lama seorang tenaga kerja dapat melakukan
aktivitas kerjanya sesuai dengan kemampuan atau kapasitas kerja yang
bersangkutan. Di mana semakin berat beban kerja, maka akan semakin pendek
waktu seseorang untuk bekerja tanpa kelelahan dan gangguan fisiologis yang
berarti atau sebaliknya.

Kerja fisik dikelompokkan oleh David dan Miller :

a. Kerja total seluruh tubuh, yang mempergunakan sebagian besar otot


biasanya melibatkan dua pertiga atau tiga perempat oleh otot tubuh.

b. Kerja sebagian otot, yang membutuhkan lebih sedikit energi


expenditure karena otot yang dipergunakan lebih sedikit.

c. Kerja otot statis, yaitu otot yang dipergunakan untuk menghasilkan


gaya, tetapi tanpa kerja mekanik membutuhkan kontraksi sebagian
otot.

Namun, sampai saat ini metode pengukuran fisik dilakukan dengan


menggunakan standar :

1. Konsep Horse – Power (Foot-Pounds of Work Per Minute) oleh


Taylor, tapi tidak memuaskan.

23
2. Tingkat konsumsi energi untuk mengukur pengeluaran energi.

3. Perubahan tingkat kerja jantung dan konsumsi oksigen (dengan


metode terbaru).

( Sritomo Wignjosoebroto,Ergonomi : Studi Gerak dan Waktu, 1995 )

Menurut Rodhal (1989) dalam Tarwaka, dkk bahwa penilaian beban kerja
dapat dilakukan dengan dua metode secara objektif, yaitu metode penilaian
langsung dan metode penilaian tidak langsung.

2.3.1 Metode Penilaian Langsung

Metode pengukuran langsung yaitu dengan mengukur energi yang


dikeluarkan (energy expenditure) melalui asupan oksigen selama bekerja.
Semakin berat beban kerja akan semakin banyak energi yang diperlukan untuk
dikonsumsi. Meskipun metode pengukuran asupan oksigen lebih akurat, namun
hanya dapat mengukur untuk waktu kerja yang singkat dandiperlukan peralatan
yang mahal. Berikut adalah kategori beban kerja yang didasarkan pada
metabolisme, respirasi suhu tubuh dan denyut jantung menurut Christensen (1991)
pada tabel berikut:

Tabel 2.3.1 kategori beban kerja yang didasarkan pada metabolisme,


respirasi suhu tubuh dan denyut jantung menurut Christensen (1991)

24
Tabel 2.3 Konsumsi Oksigen Maksimum (VO2 max) mL/(Kg-min)

Dalam penentuan konsumsi energi biasanya digunakan suatu bentuk


hubungan energi dengan kecepatan denyut jantung yaitu sebuah persamaan regresi
kuadratis sebagai berikut:

Y = 1.80411 - 0.0229038 + 4.70733 x 10-4X2

Dimana:

E = Energi (Kkal/menit)

X = Kecepatan denyut jantung/nadi (denyut/menit)

2.3.2 Metode Penilaian Tidak Langsung

Metode penilaian tidak langsung adalah dengan menghitung denyut nadi


selama bekerja. Pengukuran denyut jantung selama bekerja merupakan suatu
metode untuk menilai cardiovasculair strain dengan metode 10 denyut (Kilbon,
1992) dimana dengan metode ini dapat dihitung denyut nadi kerja sebagai berikut:

25
10 Denyut
Denyut Jantung (Denyut/Menit) =  60
Waktu Perhitungan

Penggunaan nadi kerja untuk menilai berat ringannya beban kerja


mempunyai beberapa keuntungan, selain mudah, cepat, sangkil dan murah juga
tidak diperlukan peraltan yang mahal serta hasilnya pun cukup reliabel dan tidak
menganggu ataupun menyakiti orang yang diperiksa.

Denyut nadi untuk mengestimasi indek beban kerja fisik terdiri dari
beberapa jenis yaitu:

1. Denyut Nadi Istirahat (DNI) adalah rerata denyut nadi sebelumpekerjaan


dimulai

2. Denyut Nadi Kerja (DNK) adalah rerata denyut nadi selama bekerja

3. Nadi Kerja (NK) adalah selisih antara denyut nadi istirahat dengan denyut nadi
kerja.

Peningkatan denyut nadi mempunyai peranan yang sangat penting didalam


peningkatan cardiat output dari istirahat sampai kerja maksimum. Peningkatan
yang potensial dalam denyut nadi dari istirahat sampai kerja maksimum oleh
Rodahl (1989) dalam Tarwaka, dkk (2004:101) didefinisikan sebagai Heart Rate
Reverse (HR Reverse) yang diekspresikan dalam presentase yang dapat dihitung
menggunakan rumus sebagai berikut.

DNK  DNI
% HR Reserve =  100
DNmaks  DNI

Denyut Nadi Maksimum (DNMax) adalah: (220 – umur) untuk laki-laki


dan (200 – umur) untuk perempuan. Lebih lanjut untuk menentukan klasifikasi

26
beban kerja bedasarkan peningkatan denyut nadi kerja yang dibandingkan dengan
denyut nadi maksimum karena beban kardiovaskuler (cardiovasculair load = %
CVL) dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut.

DNK  DNI
% CVL=  100
DNmaks  DNI

Dari hasil perhitungan % CVL tersebut kemudian di bandingkan dengan


klasifikasi yang telah ditetapkan sebagai berikut:

Tabel Klasifikasi Berat Ringan Beban Kerja Berdasar % CVL

Selain cara tersebut diatas cardivasculair strain dapat diestimasi


menguunakan denyut nadi pemulihan (heart rate recovery) atau dikenal dengan
Metode Brouba. Keuntungan metode ini adalah sama sekali tidak menganggu atau
menghentikan pekerjaan, karena pengukuran dilakukansetelah subjek berhenti
bekerja. Denyut nadi pemulihan (P) dihitung pada akhir 30 detik menit pertama,
kedua dan ketiga (P1, P2, P3). Rerata dari ketiga nilai tersebut dihubungkan
dengan total cardiac cost dengan ketentuan sebagai berikut:

 Jika P1 – P3 ≥ 10, atau P1, P2, P3 seluruhnya < 90, nadi


pemulihan normal
 Jika rata-rata P1 tercatat ≤ 110, dan P1 – P3 ≥ 10, maka beban
kerja tifak berlebihan
 Jika P1 – P3< 10, dan jika P3> 90 perlu redesain pekerjaan

27
Laju pemulihan denyut nadi dipengaruhi oleh nilai absolute denyut nadi
pada ketergantungguan pekerjaan (the interruption of work), tingkat kebugaran
(individual fitness), dan pemaparan panas lingkungan. Jika nadi pemulihan tidak
segera tercapai maka diperluakan redesain pekerjaan untuk mengurangi tekanan
fisik. Redesain tersebut dapat berupa variabel tunggal maupun keseluruhan dari
variabel bebas (tasks, organisasai kerja, dan lingkungan kerja) yang menyebabkan
beban tugas tambahan. (Tarwaka, Solichul, H.A Bakri, 2004)

2.4 Penilaian Beban Kerja Berdasarkan Jumlah Kebutuhan Kalori


Salah satu kebutuhan utama dalam pergerakkan otot adalah kebutuhan
akan oksigen yang dibawa oleh darh ke otot untuk pembakaran zat dalam
menghasilkan energi. Sehingga jumlah oksigen yang dipergunakan oleh tubuh
merupakan salah satu indikator pembebanan selama bekerja. Dengan demikian
setiap aktivitas pekerjaan memerlukan energi yang dihasilkan dari proses
pembakaran. Berdasarkan hal tersebut maka kebutuhan kalori dapat digunakan
sebagai indikator untuk menentukan besar ringannya beban kerja. Berdasarkan hal
tersebut mentri tenaga kerja, melalui keputusan no 51 tahun 1999 menetapkan
kebutuhan kalori untuk menentukan berat ringannya pekerjaan.

Beban kerja ringan : 100-200 Kilo kalori/jam

Beban kerja sedang : > 200-350 Kilo kalori/ jam

Beban kerja berat : > 350-500 Kilo kalori/ jam

Kebutuhan kalori dapat dinyatakan dalam kalori yang dapat diukur secara
tidak langsung dengan menentukan kebutuhan oksigen. Setiap kebutuhan oksigen
sebanyak 1 liter akan memberikan 4.8 kilo kalori (Suma’mun, 1989)Sebagai dasar
perhitungan dalam menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan oleh seseorang
dalam melakukan aktivitas pekerjannya, dapat dilakukan melalui pendekatan atau
taksiran kebutuhan kalori menurut aktivitasnya.

28
Menurut Grandjean (1993) bahwa kebutuhan kalori seorang pekerja
selama 24 jam ditentukan oleh tiga hal :

 Kebutuhan kalori untuk metabolisme basal, dipengaruhi oleh jenis


kelamin dan usia.
 Kebutuhan kalori untuk kerja, kebutuhan kalori sangat ditentukan
dengan jenis aktivitasnya, berat atau ringan.
 Kebutuhan kalori untuk aktivitas lain-lain di luar jam kerja.

Kalori didapatkan dari sumber energy yang terdiri dari pada karbohidrat ,
lemak, protein. Sumber sumber energy ini akan diolah dalam tubuh menghasilkan
ATP , O2 dan H2O dan sisa sisa metablisme. Salah satu kebutuhan utama dalam
pergerakan otot adalah kebutuhanakan oksigen yang dibawa darah ke ototuntuk
pembakaran zat dan energi. jumlah kalori yag dibutuhkan dalam melakukan
aktifitas berbanding lurus dengan beratnya aktifitas yang dilakukan. Maka
berdasarkan hal tersebut diatas maka besarnya jumlah kebutuhan kalori dapat
digunakan sebagai petunjuk dalam menentukan berat ringannya satu pekerjaan.

Tabel Kebutuhan Kalori Perjam Menurut Jenis Aktifitas

Kilokal/jam/Kg
No. Jenis Aktifitas
Berat Badan

1 Tidur 0,98

2 Duduk dalam keadaan Istirahat 1,43

3 Membaca dengan intonasi keras 1,50

4 Berdiri dalam keadaan tenang 1,50

5 Menjahit dengan tangan 1,59

6 Berdiri dengan konsentrasi terhadapsatu objek 1,63

29
7 Berpakaian 1,69

8 Menyanyi 1,74

9 Menjahit dengan mesin 1,93

10 Mengetik 2,00

11 Menyetrika dengan berat setrika ±2,5 kg 2,06

12 Mencuci peralatan dapur 2,06

13 Menyapu lantai dengan kecepatan ±38 x/mnt 2,41

14 Menjilid buku 2,43

15 Politian Ringan 2,43

16 Jalan Ringan dengan kecepatan ±3,9km/jam 2,86

17 Pekerjaan kayu,logam dan pengecatan dalam


3,43
industri

18 Politian sedang 4,14

19 Jalan agak cepat dengan kecepatan ±5,6 km/jam 4,28

20 Jalan turun tangga 5,20

21 Pekerjaan tukang batu 5,71

22 Politian berat 6,43

23 Penggergajian kayu secara manual 6,86

24 Berenang 7,14

Kebutuhan kalori per jam tersebut merupakan pemenuhan kebutuhan


energi yang dikeluarkan akibat beban kerja utama , sehingga masih diperlukan

30
tambahan kalori apabila terdapat beban kerja tambahan seperti, stasiun kerja yang
tidak ergonomis, sikap paksa waktu bekerja , suhu lingkungan yang panas dll.

Contoh: Seorang pekerja dengan berat badan sekitar 65 kg bekerja


sebaga tukang batu dibawah terik matahari , maka berdasarkan data tersebut diatas
maka dapat diperoleh jumlah kalori yang dibutuhkan adalah 5,71x65 kg = 371
Kilocal / jam. Beban kerja ini termasuk dalam kategori beban kerja berat (> 350-
500 Kilokal /jam). Namun demikian perhitungan tersebut belum
memperhitungkan faktor tekanan panas yang memberikan beban kerja tambahan.

Contoh tersebut baru menggambarkan kebutuhan kalori seseorang


pekerja selama waktu kerja. Menurut Grandjean (1993) bahwa kebutuhan kalori
seorang pekerja selama 24 jam sehari ditentukan oleh tiga hal:

1. Kabuuhan kalori untuk metabolisme basal


Dimana seorang laki-laki dewasa memerlukan kalori untuk
metabolisme basal ± 100 Kilo Joule (23.87 Kilo kalori) per 24
jam per kg-BB. Sedangkan wanita dewasa memerlukan kalori
untuk metabolisme basal ±98 Kilo Joule (23.39 Kilo kalori) per
24 jam per kg-BB. Sebaga contoh: seorang laki-laki dewasa
dengan berat badan 60 kg akan memerlukan kalori untuk
metabolisme basal sebesar ±6000 Kilo Joule (1432 Kilo kalori)
per 24 jam.
2. Kebutuhan kalori untuk kerja
Kebutuhan kalori kerja sangat ditentukan dengan jenis aktivitas
kerja yang dilakukan atau berat ringannya pekerjaan, seperti yang
telah ditentukan sebelumnya.
3. Kebutuhan kalori untuk aktivitas-aktivitas lain diluar jam kerja
Rerata kebutuhan kalori untuk aktivitas diluar jam kerja adalah
±2400 kilo Joule (573 Kilo kalori) untuk laki-laki dewasa dan
sebesar 2000-2400 Kilo Joule (477-425 Kilo kalori) per hari
untuk wanita dewasa.
Berdasarkan uraian tersebut dapat digaris bawahi, penentuan kategori
beban kerja fisik berdasarkan kebutuhan oksigen melalui penaksiran kebutuhan

31
kalori belum dapat menggambarkan beban sebenarnya yang diterima oleh seorang
pekerja. Hal tersebut disebabkan karena masih banyak faktor yang mempengaruhi
kebutuhan kalori. Selain berat ringannya pekerja itu sendiri, juga dipengaruhi oleh
lingkungan tempat bekerja, cara dan sikap kerja serta stasiun kerja yang
dugunakan selama kerja. Berdasarkan hal tersebut, diperlukan penilaian beban
kerja yang dapat menggambarkan secara keseluruhan beban yang diterima
seorang pekerja.

2.5 NASA-TLX

Beban usaha mental merupakan indikasi yang memberikan gambaran


besarnya kebutuhan mental dan perhatian untuk menyelesaikan tugas. Susilowati
menjelaskan bahwa dengan beban usaha mental rendah dan performansi
cenderung otomatis. Sejalan dengan meningkatnya beban usaha mental maka
konsentrasi dan perhatian sesuai Metode NASA-TLX

Metode NASA-TLX dikembangkan oleh Sandra G. Hart dari NASA-Ames


Research Center dan Lowell E. Staveland dari San Jose State University pada
tahun 1981. Metode ini berupa kuesioner dikembangkan berdasarkan munculnya
kebutuhan pengukuran subjektif yang lebih mudah namun lebih sensitif pada
pengukuran beban kerja.

Hancock dan Meshkati menjelaskan beberapa pengembangan metode NASA-


TLX yang dituliskan dalam Susilowati antara lain:

1. Kerangka Konseptual
Beban kerja timbul dari interaksi antara kebutuhan tugas dan pekerjaan,
kondisi kerja, tingkah laku dan persepsi pekerja (teknisi). Tujuan kerangka
konseptual adalah menghindari variabel-variabel yang tidak berhubungan dengan
beban kerja subjektif. Dalam kerangka konseptual sumber-sumber yang berbeda
dan hal-hal yang dapat mengubah beban kerja disebutkan satu demi satu dan
dihubungkan.

2. Informasi yang Diperoleh dari Peringkat (Rating) Subjektif

32
Peringkat subjektif merupakan metode yang paling sesuai untuk mengukur
beban kerja mental dan memberikan indikator yang umumnya paling valid dan
sensetif. Peringkat subjektif merupakan satu-satunya metode yang memberikan
informasi mengenai tugas secara subjektif terhadap pekerja atau teknisi dan
menggabungkan pengaruh dari kontributor-kontributor beban kerja.

3. Pembuatan Skala Rating Beban Kerja


a. Memilih kumpulan subskala yang paling tepat
b. Menentukan bagaimana menggabungkan subskala tersebut untuk memperoleh
nilai beban kerja yang sensitif terhadap sumber dan definisi beban kerja yang
berbeda baik diantara tugas maupun diantara pemberi peringkat.
c. Menentukan prosedur terbaik untuk memperoleh nilai terbaik untuk
memperoleh nilai numerik untuk subskala tertentu.
4.Pemilihan Subskala

Ada tiga subskala dalam penelitian, yaitu skala yang berhubungan dengan
tugas dan skala yang berhubungan dengan tingkah laku (usaha fisik, usaha mental
dan performansi), skala yang berhubungan dengan subjek (frustasi, stres dan
kelelahan).

Susilowati juga menjelaskan beberapa subskala yang ditulis Hart dan Staveland
antara lain:

1. Skala yang berhubungan dengan tugas


Peringkat yang diberikan pada kesulitan tugas memberikan informasi
langsung terhadap persepsi kebutuhan subjek yang dibedakan oleh tugas. Tekanan
waktu dinyatakan sebagai faktor utama dalam definisi dan model beban kerja
yang paling operasional, dikuantitatifkan dengan membandingkan waktu yang
diperlukan untuk serangkaian tugas dalam eksperimen.

2. Skala yang berhubungan dengan tingkah laku


Faktor usaha fisik memanipulasi eksperimen dengan faktor kebutuhan fisik
sebagai komponen kerja utama. Hasil eksperimen menunjukan bahwa faktor
usaha fisik memiliki korelasi yang tinggi tapi tidak memberikan kontribusi yang
signifikan terhadap beban kerja semuanya. Faktor usaha mental merupakan

33
kontributor penting pada beban kerja pada saat jumlah tugas operasional
meningkat karena tanggungjawab pekerja berpindah-pindah dari pengendalian
fisik langsung menjadi pengawasan. Peringkat usaha mental berkorelasi dengan
peringkat beban kerja keseluruhan dalam setiap kategori eksperimen dan
merupakan faktor kedua yang paling tinggi korelasinya dengan beban kerja
keseluruhan.

3. Skala yang berhubungan dengan subjek


Frustasi merupakan beban kerja ketiga yang paling relevan. Peringkat frustasi
berkorelasi dengan peringkat beban kerja keseluruhan secara signifikan pada
semua kategori eksperimen. Peringkat stres mewakili manipulasi yang
mempengaruhi peringkat beban kerja keseluruhan dan merupakan skala yang
palin indivenden.

Hancock dan Meshkati menjelaskan langkah-langkah dalam pengukuran


beban kerja mental dengan menggunaka metode NASA-TLX yaitu:

a. Penjelasan indikator beban mental yang akan diukur dalam Tabel dibawah ini:
Tabel NASA-
TLX

SKALA RATING KETERANGAN

34
Seberapa besar aktivitas mental dan
perseptual yang dibutuhkan untuk
melihat, mengingat dan mencari.
MENTAL Apakah pekerjaan tersebut sulit,
DEMAND (MD) Rendah, Tinggi sederhana atau kompleks. Longgar
atau ketat.
Jumlah aktivitas fisik yang
PHYSICAL
dibutuhkan (misalnya mendorong,
DEMAND (PD) Rendah, Tinggi
menarik dan mengontrol putaran).
Jumlah tekanan yang berkaitan
dengan waktu yang dirasakan selama

TEMPORAL elemen pekerjaan berlangsung.


Rendah, Tinggi
DEMAND (TD) Apakah pekerjaan perlahan atau santai
atau cepat dan melelahkan
Seberapa besar keberhasilan
PERFORMANCE Tidak Tepat,
seseorang di dalam pekerjaannya dan
(OP) Sempurna
seberapa puas dengan hasil kerjanya.
Seberapa tidak aman, putus asa,
tersinggung, terganggu, dibandingkan
FRUSTATION
Rendah, Tinggi dengan perasaan aman, puas, nyaman
LEVEL (FR)
dan kepuasaan diri yang dirasakan.
Seberapa keras kerja mental dan fisik
yang dibutuhkan untuk menyelesaikan
EFFORT (EF) Rendah, Tinggi
pekerjaan.

b. Pembobotan
Pada bagian ini responden diminta untuk melingkari salah satu dari dua
indikator yang dirasakan lebih dominan menimbulkan beban kerja mental
terhadap pekerjaan tertentu.

Kuisioner NASA-TLX yang diberikan berbentuk perbandingan berpasangan


yang terdiri dari 15 perbandingan berpasangan. Dari kuesioner ini dihitung jumlah

35
tally dari setiap indikator yang dirasakan paling berpengaruh. Jumlah tally ini
kemudian akan menjadi bobot untuk setiap indikator beban mental.

c. Pemberian Ranting
Pada bagian ini responden diminta memberi rating terhadap keenam indikator
beban mental. Rating yang yang diberikan adalah subjektif tergantung pada beban
mental yang dirasakan oleh responden tersebut. Rating yang diberikan adalah
subjektif tergantung pada beban mental yang dirasakan oleh responden tersebut.
Untuk mendapatkan skor beban mental NASA-TLX bobot dan rating untuk setiap
indikator dikalikan kemudian dijumlahkan dan dibagi 15 (jumlah perbandingan
berpasangan).

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
beban kerja merupakan sejauh mana kapasitas individu pekerja dibutuhkan dalam
menyelesaikan tugas yang diberikan kepadanya, yang dapat diindikasikan dari

36
jumlah pekerjaan yang harus dilakukan, waktu/batasan waktu yang dimiliki oleh
pekerja dalam menyelesaikan tugasnya, serta pandangan subjektif individu tersebut
sendiri mengenai pekerjaan yang diberikan kepadanya.

Jenis beban kerja yang paling utama yaitu beban kerja fisik dan beban kerja
mental, serta 3 faktor utama yang menentukan beban kerja adalah faktor tuntutan
tugas(task demands), usaha atau tenaga(effort), performansi. Dari hal tersebut
dilakukann Pengukuran beban kerja dilakukan untuk memperoleh informasi
mengenai tingkat efektivitas dan efisiensi kerja organisasi berdasarkan banyaknya
pekerjaan yang harus diselesaikan dalam jangka waktu satu tahun.

Pengukuran beban kerja dapat bermanfaat untuk mengkuantifikasi biaya mental


(mental cost) yang harus dikeluarkan dalam melakukan suatu pekerjaan agar dapat
memprediksi kinerja sistem dan pekerja tujuan akhir dari langkah-langkah tersebut
adalah untuk meningkatkan kondisi kerja, memperbaiki desain lingkungan kerja
ataupun menghasilkan prosedur kerja yang lebih efektif.

3.2 Saran
Berdasarkan kesimpulan ada 3 faktor yang menentukan beban kerja faktor
tuntutan tugas, usaha atau tenaga dan performansi. Maka dari itu untuk
meminimalisir beban kerja kita harus menyeimbangkan beban kerja dengan
kapasitas individu pekerja.

37

Anda mungkin juga menyukai