Anda di halaman 1dari 14

BAB 1

TINJAUAN TEORI

1. DEFINISI
Guillain Bare’ Syndrom ( SGB/GBS) Adalah syndrom klinis yang
ditunjukkan oleh awitan akut dari gejala-gejala yang mengenai saraf perifer
dan kranial. Proses penyakit mencakup demielinasi dan degenasi selaput
myelin dari saraf perifer dan kranial yang Etiologinya tidak diketahui
(Hudak & Gallo: 287).
Guillain Bare’ Syndrom adalah Gangguan degeneratif terkomplikasi
yang sifatnya dapat akut atau kronis. Etiologi belum jelas, meskipun
gangguan ini mempunyai kaitan dengan mekanisme autoimun sel dan
humoral beberapa hari sampai 3 minggu setelah infeksi saluaran pernapasan
atas ringan (Lynda Juall C: 298).
Guillain Bare’ Syndrom adalah ganguan kelemahan neuro-muskular
akut yang memburuk secara progresif yang dapat mengarah pada
kelumpuhan total, tatapi biasanya paralisis sementara. ( Doenges:369).
2. ETIOLOGI
Dahulu, sindrom ini diduga disebabkan oleh infeksi virus. Tetapi
akhir-akhir ini terungkap ternyata virus bukan sebagai penyebab. Teori yang
dianut sekarang ialah suatu kelainan immunobiologik, baik secara primary
immune response maupun immune mediated process.
Dua pertiga penderita berhubungan dengan penyakit infeksi atau
kejadian akut. Penyebab terjadinya inflamasi dan destruksi pada GBS
sampai saat ini belum diketahui. Ada yang menyebutkan kerusakan tersebut
disebabkan oleh penyakit autoimun. Pada sebagian besar kasus, GBS
didahului oleh infeksi yang disebabkan oleh virus, yaitu Epstein-Barr virus,
coxsackievirus, influenzavirus, echovirus, cytomegalovirus, hepatitisvirus,
dan HIV. Selain virus, penyakit ini juga didahului oleh infeksi yang
disebabkan oleh bakteri seperti Campylobacter Jejuni pada enteritis,
Mycoplasma pneumoniae, Spirochaeta , Salmonella, Legionella dan ,
Mycobacterium Tuberculosa. Vaksinasi seperti BCG, tetanus, varicella, dan
hepatitis B ; penyakit sistemik seperti kanker, lymphoma, penyakit kolagen
dan sarcoidosis ; kehamilan terutama pada trimester ketiga ; pembedahan
dan anestesi epidural. Infeksi virus ini biasanya terjadi 2 – 4 minggu
sebelum timbul GBS .
3. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi motorik :
1. Kelemahan otot secara ascending (dari distal ke proksimal) flaccid
parolysis tanpa atropi otot
2. Penurunan atau tidak adanya reflek tendon dalam
3. Gangguan pernapasan (dyspnea, penurunan suara napas)
Manifestasi sensori :
1. Paresthesis (kesemutan)
2. Nyeri (cramping)
3. Manifestasi pada syaraf kronialis
4. Kelemahan otot muka
5. Disphagia
6. Diplopia
Manifestasi pada syaraf otonom :
1. Tekanan darah yang labil
2. Disritmia jantung
3. Takikardia
4. Pada umumnya GBS tidak mempengaruhi tingkat kesadaran, fungsi
serebral dan tanda gangguan pada pupil.

4. PATOFISIOLOGI
Kelemahan dan paralisis yang terjadi pada GBS disebabkan karena
hilangnya myelin, material yang membungkus saraf. Hilangnya myelin ini
disebut demyelinisasi. Demyelinisasi menyebabkan penghantaran impuls
oleh saraf tersebut menjadi lambat atau berhenti sama sekali. GBS
menyebabkan inflamasi dan destruksi dari myelin dan menyerang beberapa
saraf. Oleh karena itu GBS disebut juga Acute Inflammatory Demyelinating
Polyradiculoneuropathy (AIDP).
Tidak ada yang mengetahui dengan pasti bagaimana GBS terjadi dan
dapat menyerang sejumlah orang. Yang diketahui ilmuwan sampai saat ini
adalah bahwa sistem imun menyerang tubuhnya sendiri, dan menyebabkan
suatu penyakit yang disebut sebagai penyakit autoimun.
Infeksi , baik yang disebabkan oleh bakteri maupun virus, dan
antigen lain memasuki sel Schwann dari saraf dan kemudian mereplikasi
diri. Antigen tersebut mengaktivasi sel limfosit T. Sel limfosit T ini
mengaktivasi proses pematangan limfosit B dan memproduksi autoantibodi
spesifik. Ada beberapa teori mengenai pembentukan autoantibodi , yang
pertama adalah virus dan bakteri mengubah susunan sel sel saraf sehingga
sistem imun tubuh mengenalinya sebagai benda asing.
Teori yang kedua mengatakan bahwa infeksi tersebut menyebabkan
kemampuan sistem imun untuk mengenali dirinya sendiri berkurang.
Autoantibodi ini yang kemudian menyebabkan destruksi myelin, bahkan
kadang kadang juga dapat terjadi destruksi pada axon.
Teori lain mengatakan bahwa respon imun yang menyerang myelin
disebabkan oleh karena antigen yang ada memiliki sifat yang sama dengan
myelin. Hal ini menyebabkan terjadinya respon imun terhadap myelin yang
di invasi oleh antigen tersebut.
Destruksi pada myelin tersebut menyebabkan sel sel saraf tidak
dapat mengirimkan signal secara efisien, sehingga otot kehilangan
kemampuannya untuk merespon perintah dari otak dan otak menerima lebih
sedikit impuls sensoris dari seluruh bagian tubuh Umumnya sel-sel imunitas
ini menyerang benda asing dan organisme pengganggu; namun pada GBS,
sistem imun mulai menghancurkan selubung myelin yang mengelilingi
akson saraf perifer, atau bahkan akson itu sendiri. Terdapat sejumlah teori
mengenai bagaimana sistem imun ini tiba-tiba menyerang saraf, namun
teori yang dikenal adalah suatu teori yang menyebutkan bahwa organisme
(misalnya infeksi virus ataupun bakteri) telah mengubah keadaan alamiah
sel-sel sistem saraf, sehingga sistem imun mengenalinya sebagai sel-sel
asing. Organisme tersebut kemudian menyebabkan sel-sel imun, seperti
halnya limfosit dan makrofag, untuk menyerang myelin. Limfosit T yang
tersensitisasi bersama dengan limfosit B akan memproduksi antibodi
melawan komponen-komponen selubung myelin dan menyebabkan
destruksi dari myelin.
Akson adalah suatu perpanjangan sel-sel saraf, berbentuk panjang
dan tipis; berfungsi sebagai pembawa sinyal saraf. Beberapa akson
dikelilingi oleh suatu selubung yang dikenal sebagai myelin, yang mirip
dengan kabel listrik yang terbungkus plastik. Selubung myelin bersifat
insulator dan melindungi sel-sel saraf. Selubung ini akan meningkatkan
baik kecepatan maupun jarak sinyal saraf yang ditransmisikan. Sebagai
contoh, sinyal dari otak ke otot dapat ditransmisikan pada kecepatan lebih
dari 50 km/jam.
Myelin tidak membungkus akson secara utuh, namun terdapat suatu
jarak diantaranya, yang dikenal sebagai Nodus Ranvier; dimana daerah ini
merupakan daerah yang rentan diserang. Transmisi sinyal saraf juga akan
diperlambat pada daerah ini, sehingga semakin banyak terdapat nodus ini,
transmisi sinyal akan semakin lambat.
Pada GBS, terbentuk antibodi atau immunoglobulin (Ig) sebagai
reaksi terhadap adanya antigen atau partikel asing dalam tubuh, seperti
bakteri ataupun virus. Antibodi yang bersirkulasi dalam darah ini akan
mencapai myelin serta merusaknya, dengan bantuan sel-sel leukosit,
sehingga terjadi inflamasi pada saraf. Sel-sel inflamasi ini akan
mengeluarkan sekret kimiawi yang akan mempengaruhi sel Schwan, yang
seharusnya membentuk materi lemak penghasil myelin. Dengan
merusaknya, produksi myelin akan berkurang, sementara pada waktu
bersamaan, myelin yang ada telah dirusak oleh antibodi tubuh. Seiring
dengan serangan yang berlanjut, jaringan saraf perifer akan hancur secara
bertahap. Saraf motorik, sensorik, dan otonom akan diserang; transmisi
sinyal melambat, terblok, atau terganggu; sehingga mempengaruhi tubuh
penderita. Hal ini akan menyebabkan kelemahan otot, kesemutan, kebas,
serta kesulitan melakukan aktivitas sehari-hari, termasuk berjalan.
Untungnya, fase ini bersifat sementara, sehingga apabila sistem imun telah
kembali normal, serangan itu akan berhenti dan pasien akan kembali pulih.
Seluruh saraf pada tubuh manusia, dengan pengecualian pada otak dan
medulla spinalis, merupakan bagian dari sistem saraf perifer, yakni terdiri
dari saraf kranialis dan saraf spinal. Saraf-saraf perifer mentransmisikan
sinyal dari otak dan medulla spinalis, menuju dan dari otot, organ, serta
kulit. Tergantung fungsinya, saraf dapat diklasifikasikan sebagai saraf
perifer motorik, sensorik, dan otonom (involunter).
Pada GBS, terjadi malfungsi pada sistem imunitas sehingga muncul
kerusakan sementara pada saraf perifer, dan timbullah gangguan sensorik,
kelemahan yang bersifat progresif, ataupun paralisis akut. Karena itulah
GBS dikenal sebagai neuropati perifer.
GBS dapat dibedakan berbagai jenis tergantung dari kerusakan yang
terjadi. Bila selubung myelin yang menyelubungi akson rusak atau hancur ,
transmisi sinyal saraf yang melaluinya akan terganggu atau melambat,
sehingga timbul sensasi abnormal ataupun kelemahan. Ini adalah tipe
demyelinasi; dan prosesnya sendiri dinamai demyelinasi primer.
Akson merupakan bagian dari sel saraf 1, yang terentang menuju sel saraf
2. Selubung myelin berbentuk bungkus, yang melapisi sekitar akson dalam
beberapa lapis.
Pada tipe aksonal, akson saraf itu sendiri akan rusak dalam proses
demyelinasi sekunder; hal ini terjadi pada pasien dengan fase inflamasi yang
berat. Apabila akson ini putus, sinyal saraf akan diblok, dan tidak dapat
ditransmisikan lebih lanjut, sehingga timbul kelemahan dan paralisis pada
area tubuh yang dikontrol oleh saraf tersebut. Tipe ini terjadi paling sering
setelah gejala diare, dan memiliki prognosis yang kurang baik, karena
regenerasi akson membutuhkan waktu yang panjang dibandingkan
selubung myelin, yang sembuh lebih cepat.
Tipe campuran merusak baik akson dan myelin. Paralisis jangka
panjang pada penderita diduga akibat kerusakan permanen baik pada akson
serta selubung saraf. Saraf-saraf perifer dan saraf spinal merupakan lokasi
utama demyelinasi, namun, saraf-saraf kranialis dapat juga ikut terlibat.
5. PATHWAY

Reaksi autoimun Merusak selaput myelin

Kelumpuhan Kelemahan/paralisis Demyelinisasi (kehilangan


selaput myelin)

Motorik

Gangguan mobilitas fisik

Mobilitas lama Bising usus menurun Kontraktur

Kerusakan integritas kulit Kontraktilitas usus Intoleransi aktivitas


menurun

Luka dikubitus Defisit perawatan diri


Konstipasi

Dipasang O2 ventilator Tidak mampu melakukan Kelumpuhan otot


ekspirasi dan inspirasi pernapasan

Reaksi tubuh menolak Kebutuhan O2 terpenuhi Komplikasi


benda asing tensiopneumotorak

Terjadi penumpukan Baru trauma Pneumonia


sekret
Resiko infeksi Sepsis suction

Ketidakefektifan pola Sesak


nafas

Gangguan pola tidur


Gangguan eliminasi urin

Gangguan spingter uretra Sensorik Autoimun

Penurunan intake nutrisi Reflek menelan turun

Ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari
kebutuhan CO2 menurun Daya kembang paru

Ketidakefektifan perfusi Sirkulasi darah ketubuh Ketidakefektifan pola


jaringan perifer menururn nafas

Kelemahan umum Kebutuhan O2 dalam paru


berkurang
Intoleransi aktvitas
Sesak respon batuk
menurun

Penumpukan sekret

Ketidakefektifan bersihan
jalan nafas
6. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Anamnesa :
- adanya faktor pencetus
- perjalanan penyakitnya (nyeri radikuler kemudian diikuti
kelumpuhan progresif, > 1 tungkai, simetris, menjalar ke
lengan (asenderen)
2. Pemeriksaan Neurologis :
- kelumpuhan tipe flacid terutama otot proksimal
- simetris
- gejala motorik lebih nyata daripada sensorik
3. Pada Lumbal Pungsi
- didapatkan kenaikan protein tanpa diikuti kenaikan sel (dissosiasi
sitoalbumin) pada minggu II
4. Pemeriksaan laboratorium
Gambaran laboratorium yang menonjol adalah peninggian
kadar protein dalam cairan otak : > 0,5 mg% tanpa diikuti oleh
peninggian jumlah sel dalam cairan otak, hal ini disebut disosiasi
sito-albuminik. Peninggian kadar protein dalam cairan otak ini
dimulai pada minggu 1-2 dari onset penyakit dan mencapai
puncaknya setelah 3-6 minggu . Jumlah sel mononuklear < 10
sel/mm3.
Walaupun demikian pada sebagian kecil penderita tidak
ditemukan peninggian kadar protein dalam cairan otak.
Imunoglobulin serum bisa meningkat. Bisa timbul hiponatremia
pada beberapa penderita yang disebabkan oleh SIADH (Sindroma
Inapproriate Antidiuretik Hormone).
5. Pemeriksaan elektromyography (EMG)
Gambaran elektrodiagnostik yang mendukung diagnosis
SGB adalah :
a. Kecepatan hantaran saraf motorik dan sensorik melambat
b. Distal motor retensi memanjang
c. Kecepatan hantaran gelombang-f melambat, menunjukkan
perlambatan pada segmen proksimal dan radiks saraf.
d. Disamping itu untuk mendukung diagnosis pemeriksaan
elektrofisiologis juga berguna untuk menentukan prognosis
penyakit : bila ditemukan potensial denervasi menunjukkan
bahwa penyembuhan penyakit lebih lama dan tidak sembuh
sempurna .
6. Test Fungsi Paru
Menurunnya kapasitas vital, perubahan nilai AGD
(penurunan PaO2, meningkatnya PaCO2 atau peningkatan pH).

7. KOMPLIKASI

Kemungkinan komplikasi yang muncul pada pasien dengan


guillan barre syndrom, yaitu:
1. Kegagalan jantung
Penyimpangan pada kardiovaskuler dapat mengakibatkan
distritmia jantung atau perubahan drastis yang mengancam
kehidupan dalam tanda vital.
2. Kegagalan pernapasan
Gagal pernapasan, melemahnya otot pernapasan membuat pasien
beresiko tinggi terhadap hipoventilasi, dan infeksi pernapasan
berulang, disfagia juga dapat timbul mengarah pada aspirasi.
3. Infeksi dan sepsisPlasma faresis infeksi mungkin terjadi pada akses
vaskuler, hipofolemia, dapat mengakibatkan hipotensi, takikardia
pening dan diaforesis.
4. Trombosis vena
5. Emboli paru
6. Syndrome of Inappropriate Secretion of Antidiuretik Hormon
(SIADH).
8. PENATALAKSANAAN

Penatalaksaan yang dilakukan pada pasien dengan kasus guillan


barre syndrom, yaitu:
1. Perawatan pernapasan seperti antispasi kegagalan pernapasan,
persiapan ventilator dan pemeriksaan AGD
2. Monitoring hemodinamik dan kardiovaskuler
3. Management bowel dan bladder
4. Support nutrisi
5. Perawatan immobilisasi
6. Plasmapheresis seperti penggantian plasma untuk meningkatkan
kemampuan motorik
7. Pengobatan dengan pemberian kortikosteroid, immunosuppressive
dan antikoagulan
8. Pembedahan tracheostomy dan indikasi kegagalan pernapasan
BAB II
TINJAUAN ASUHAN KEPERAWATAN

1. PENGKAJIAN FOKUS
1. Pengkajian primer
1. Airway
1. Adanya tanda-tanda perdarahan jalan napas.
2. adanya rangsangan obstruksi jalan napas
3. resiko kerusakan hipoksia pada otak ginjal dan jantung
4. Spasme laring (sekret/ darah dijalan napas)
5. Breathing
- Kesulitan bernafas / sesak,
- suara nafas berkurang
- menurunnya kapasitas vital / paru,
- terdengar suara sonor
- resiko akumulasi secret.
c. circulation
- kulit dan jari terlihat pucat
- terjadi hipoksia
- gangguan kesadaran
- denyut jantung lemah
- diastolik rendah
d. disability
- gaslow coma scale (GCS) 12

6. Pegkajian Sekunder
1. TTV
2. TD : 100/70 mm/hg
3. Nadi : 65 x/menit
4. Suhu : 35 C
5. RR / Pernafasan :

6. Diagnosa Keperawatan
1. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan paralisis otot, tirah baring,
atau nyeri.
2. Resiko terhadap inefektif pola pernapasan; yang berhubungan dengan
kelelahan/peralisis otot skeletal dan diafragma.
3. Resiko tinggi perubahan Perfusi Jaringan berhubungan dengan Disfungsi
saraf autonomik, Hipovolemia., Berhentinya aliran darah ( Trombosis )

4. Intervensi Keperawatan
Diagnosa 1
Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan paralisis otot, tirah
baring, atau nyeri.
1. Tujuan / Kriteria Hasil :
Pasien dapat terbebas dari komplikasi imobilitas yang dapat di cegah
mis; kontraktur, kerusakan kulit, atelektasis, dropfoot, TVD.
Intervensi:
1. Pertahankan ROM sendi.
2. Baringkan dengan posisi yang baik di tempat tidur.
3. Dapatkan konsultasi rehabilitas, terapi fisik dan okupasi.
4. Ubah posisi sedikitnya setiap 2 jam.
5. Pertimbangkan pengunaan tempat tidur kinetik.
6. Hindari melatih otot-otot paasien selama terjadi nyeri, karena mungkin
dapat menigkatkan demielinasi.
7. Berikan analgesia sebelum sesi terapi atau sesuai advis dokter.Mulai ajarkan
pada keluarga latihan untuk ROM.

Diagnosa 2
Resiko terhadap inefektif pola pernapasan; yang berhubungan dengan
kelelahan/peralisis otot skeletal dan diafragma.
1. Tujuan / Kriteria Hasil :
Pertukaran gas yang adekuat akan di pertahankan.

Intervensi:
1. Auskultasi bunya napas dengan teratur.
2. Pantau saturasi oksigen dengan oksimetri.
3. Laporkan keluhan subyektif dari kelemahan otot atau kesulitan bernapas.
4. Tetaplah bersama pasien yang mengeluh sesak.
5. sukstion sesuai kebutuhan untuk menjaga patensi jalan napas.
6. Baringka pasien untuk memudahkan pertukaran gas.
7. Cata parimeter pernapasan ( frekwensi, volume, upaya bernapas )
8. Catat AGD dan perhatikan kecenderungan.
9. Jelaskan pada pasien dan keluarga tentang intubasi dan ventilator jika hal
tersebut akan diperlukan.
10. Pasang alrm ventilator.

Diagnosa 3
Resiko tinggi perubahan Perfusi Jaringan berhubungan dengan
Disfungsi saraf autonomik, Hipovolemia., Berhentinya aliran darah (
Trombosis )
1. Tujuan / Kriteria Hasil :
Mempertahankan perfusi dengan tanda vital stabil, disritmia jantung
terkontrol/takada.
Intervensi:
1. Ukur tekanan darah, catat adanya fluktuasi. Observasi adanya hipotensi
postural, Berikan latihan ketika sedang melakukan perubahan posisi pasien.
2. Pantau frekwensi jantung dan iramanya. Dokumentasikan adanya disritmia.
3. Pantau suhu tubuh berikan lingkungan suhu yang nyaman.
4. Catat masukan dan haluaran.
5. Tinggikan kaki sedikit dari tempat tidur.
6. kolaborasi pemberian cairan IV dengan hati-hati sesuai indikasi.
7. Pantau pemeriksaan laboratorium, seperti JDL Hb/Ht, elektrolit serum.
8. Pakailah stiking antiemboli atau pemijat kontinue; lepaskan sesuai jadwal
dengan interval tertentu.

DAFTAR PUSTAKA

Doengos.1999. Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman Untuk Perencanaan


Dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, Edisi 3. EGC: Jakarta

Long . BC. 1996. Perawatan Medical Bedah. VI APK : Bandung

Underwood. L.C.E. 1999. Patologi Umum dan sistemik. EGC:Jakarta

Wong. DC. 2003. Pedoman klinis Keperawatan Pediatrik, Edisi 4. EGC: Jakarta

Anda mungkin juga menyukai