Anda di halaman 1dari 10

NO KELOMPOK TUGAS KASUS

1. SILA 3 ASAL MULA Asal mula Pancasila dasar


Kronologi Asal-Usul
PANCASILA filsafat Negara dibedakan:
Kericuhan di Sorong,
Manokwari, Fakfak,
 Causa materialis (asal mula
Papua
bahan) ialah berasal dari
bangsa Indonesia sendiri, Penulis: NurHidayah
terdapat dalam adat Perwitasari
kebiasaan, kebudayaan dan 21 Agustus 2019
dalam agama-agamanya.
 Causa formalis (asal mula tirto.id - Aksi massa di
bentuk atau bangun) beberapa wilayah Papua
dimaksudkan bagaimana masih terus terjadi hingga
Pancasila itu dibentuk Rabu (21/8/2019).
rumusannya sebagaimana Aksi ini menjadi respons
terdapat pada Pembukaan masyarakat Papua terhadap
Undang-Undang Dasar tindakan rasisme yang
1945. Dalam hal ini menimpa mahasiswa asal
BPUPKI memiliki peran Papua di Malang dan
yang sangat menentukan. Surabaya beberapa waktu
 Causa efisien (asal mula lalu. Sebelumnya, pada
karya) ialah asal mula yang Kamis (15/8/2019) terjadi
meningkatkan Pancasila bentrokan antara
dari calon dasar negara sekelompok warga Malang
menjadi Pancasila yang sah dengan mahasiswa asal
sebagai dasar negara. Asal Papua, di kawasan
mula karya dalam hal ini Rajabali, Kota Malang,
adalah PPKI sebagai Jawa Timur. Berdasarkan
pembentuk negara yang laporan dari Badan
kemudian mengesahkan dan Kesatuan Bangsa dan
menjadikan Pancasila Politik Malang, para
sebagai dasar filsafat mahasiswa asal Papua
Negara setelah melalui tersebut dalam perjalanan
pembahasan dalam sidang- dari Stadion Gajayana
sidangnya. menuju Balai Kota Malang
 Causa finalis (asal mula untuk menyampaikan
tujuan) adalah tujuan dari aspirasinya. Mahasiswa
perumusan dan pembahasan Papua yang tergabung
Pancasila yakni hendak dalam Aliansi Mahasiswa
dijadikan sebagai dasar Papua (AMP) itu akan
negara. Untuk sampai melakukan aksi damai di
kepada kausan finalis Balai Kota Malang,
tersebut diperlukan kausa mengecam
penandatanganan New
atau asal mula sambungan. York Agreement antar
pemerintah Indonesia dan
Sumber : Arifrivan. 2017. Belanda pada 15 Agustus
Wawasan Kebangsaan 1962.
(https://lulusujian.com/asal-
Sekitar pukul 08.55 WIB,
mula-pancasila/)
mereka tiba di simpang
empat Rajabali dan
bertemu sekelompok warga
Malang. Kemudian terjadi
perselisihan atau adu
mulut, yang berujung
terjadinya bentrokan.
Bentrokan antara kedua
kelompok itu semakin
memanas. Puncaknya,
kurang lebih pada pukul
09.20 WIB, kedua
kelompok saling melempar
batu.
Aksi Rasisme di Surabaya
Pada Jumat (16/8/2019)
secara tiba-tiba sekitar 15
anggota yang berasal dari
TNI mendatangi asrama
mereka di Surabaya.
Dorlince Iyowau saat
dihubungi Tirto, Sabtu
malam, pukul 21.30 WIB
mengatakan tanpa permisi
mereka menggedor gerbang
asrama. Hal itu membuat
kaget 15 mahasiswa,
termasuk Dorli, yang
berada di dalamnya.
Menurut Dorli sekitar
pukul 15.20 WIB TNI
mendobrak pintu
disertai ujaran rasis dan
kebencian. Sikap arogan
TNI tersebut, menurut
Dorli, ditenggarai oleh
bendera merah putih milik
pemerintah kota Surabaya
yang terpasang di depan
asrama mereka, tiba-tiba
sudah berada di dalam
saluran air. Sementara
Dorli mengaku, ia dan
kawan-kawannya tak tahu
soal hal itu.
"Karena kami tidak tahu
soal itu [bendera merah
putih] di dalam got. Kami
minta bernegosiasi. Tapi
TNI menolak," ujarnya.
"Dalam dua hari
pemasagan [bendera itu]
masih baik-baik saja.
Munculnya permasalahan
itu pada 16 Agustus
kemarin tiba-tiba ada di
got."
Setelah TNI tiba dan
menggedor gerbang asrama
mahasiswa Papua, menurut
Dorli, datang lagi secara
bertahap pihak Satpol PP
dan organisasi masyarakat.
Dalam kondisi terkepung,
Dorli mengaku harus
menahan lapar, begitu juga
dengan belasan kawan-
kawan lainnya. Hingga
akhirnya datanglah 27
mahasiswa Papua lainnya,
yang hendak membawakan
makanan untuk mereka
pada Sabtu siang tadi,
sekitar pukul 12.00 WIB.
Dorli dan 41 mahasiswa
Papua lainnya bertahan
hingga pukul 15.00 WIB,
sebelum akhirnya
mendapat serangan gas air
mata dan mendekam di
Mapolrestabes Surabaya.
Kericuhan Mulai Terjadi
di Papua
Perlakuan rasisme yang
dialami oleh mahasiswa
asal Papua di Malang dan
Surabaya tidak segera
mendapat respons dari
pemerintah pusat maupun
pemerintah daerah Jawa
Timur. Akhirnya pada
Senin (19/8/2019) pagi
situasi mencekam
menyelimuti Manokwari.
Sejumlah jalan protokol
diblokir mahasiswa dan
masyarakat. Mereka protes
karena tak terima dengan
rasisme dan persekusi
terhadap sejumlah
mahasiswa asal Papua yang
sedang belajar di Jawa
Timur.
Wakil Gubernur Papua
Barat Muhammad Lakotani
menyebut, massa sempat
membakar Gedung DPRD.
Mereka juga merusak
sejumlah fasilitas dan
membuat lalu lintas di
Manokwari jadi semerawut.
“Massa cenderung
beringas, sehingga kami tak
bisa mendekat, Gedung
DPRD provinsi sudah
dibakar," kata Lakotani
dalam program Breaking
News KompasTV, Senin
pagi.
Selain di Manokwari,
protes juga dilakukan
ratusan orang--mungkin
ribuan orang--turun ke
jalan di Jayapura, Papua.
Efek domino aksi massa
yang terjadi di Manokwari,
Papua Barat juga menjalar
ke Kota Sorong. Bandara
Domine Eduard Osok
menjadi sasaran massa,
mereka melempari fasilitas
yang ada di bandara
tersebut, Senin (19/8/2019).
Karopenmas Mabes Polri
Brigjen Pol Dedi Prasetyo
mengatakan ada beberapa
kantor yang turut jadi
sasaran aksi massa.
"Ada beberapa kantor,
masih belum di-update.
Kalau sudah kondusif,
aparat bersama pemda
setempat akan
menginventarisasikan
kerusakan properti di area
publik," ujar dia di Mabes
Polri, Senin (19/8/2019).
Beda Pendapat Antara
TNI dan Polri
Saat kerusuhan masih
berlangsung, Karopenmas
Polri Brigjen Dedi Prasetyo
memberikan keterangan
pers kepada wartawan.
Dalam pernyataannya, Dedi
menyebut kerusuhan di
Papua Barat dipicu
provokasi penyebaran
konten di sosial media.
“Mereka cukup
terprovokasi dengan yang
disebar akun di sosmed,"
kata Dedi di Mabes Polri,
Senin siang.
Ia tak menyebut kerusuhan
tersebut dipicu ulah rasis
aparat dan masyarakat di
Surabaya.
Sementara Kapolri Jenderal
Tito Karnavian menyebut
kerusuhan yang terjadi di
Papua memang dipicu
represi aparat terhadap
mahasiswa Papua di
Surabaya dan Malang.
Namun, Tito mencoba
“menghaluskan masalah"
dengan menyebut
kerusuhan dipicu
kesalahpahaman.
“Kemarin ada
kesalahpahaman, kemudian
mungkin ada yang
membuat kata-kata kurang
nyaman, sehingga mungkin
saudara kita terusik di
Papua," ucap Tito di
Surabaya, Senin siang.
Menko Polhukam Wiranto
menampik alasan yang
dikemukakan Tito
Karnavian dan anak-anak
buahnya. Meski tak
menyebut kerusuhan dipicu
rasisme aparat, Wiranto
mengaku kerusuhan itu
dipicu pernyataan negatif
sejumlah pihak--termasuk
aparat dan masyarakat.
“Pemerintah menyesalkan
adanya insiden yang saat
ini sedang berkembang
tentang pelecehan Bendera
Merah Putih di Jawa Timur
yang disusul dengan
berbagai pernyataan negatif
oleh oknum-oknum yang
memicu aksi di beberapa
daerah terutama di Papua
dan Papua Barat yang
nyata-nyata mengganggu
kebersamaan dan persatuan
kita sebagai bangsa," kata
Wiranto dalam konferensi
pers di Kantor Kemenko
Polhukam.
Sama seperti Wiranto,
Gubernur Jawa Timur
Khofifah Indar Parawansa
juga tampak membantah
keterangan Tito.
Khofifah yang malah
meminta maaf atas ulah
sejumlah pihak termasuk
masyarakat Jawa Timur
yang berbuat rasis terhadap
mahasiswa Papua.
Menurut Khofifah, rasisme
tersebut merupakan
tindakan personal dan tidak
mencerminkan sikap warga
Jawa Timur.
“Atas nama komitmen
berindonesia, mari kita
tempatkan satu sama lain
dengan saling menghormati
dan menghargai. Saya tadi
bertelepon dengan
Gubernur Papua, meminta
maaf karena sama sekali,
kalau [ular rasis] itu bukan
mewakili suara Jatim," kata
Khofifah, Senin siang.
Wali Kota Surabaya Tri
Rismaharini juga meminta
maaf atas tindakan
sejumlah orang yang
berbuat rasis terhadap
mahasiswa di Asrama
Papua.
Namun, ia menampik jika
ada pengusiran terhadap
mahasiswa Papua di
Surabaya. “Kalau ada
kesalahan kami mohon
maaf, tapi tak benar kami
mengusir," kata Risma,
Senin siang. Hingga Rabu
(21/8/2019) siang kondisi
di Papua masih belum
kondusif. Dilansir dari
Antara, Aksi massa yang
terjadi di Fakfak, Papua
Barat berujung pada
pembakaran dan perusakan
fasilitas umum, Rabu
(21/8/2019). Seperti
dilansir Antara, massa
membakar kios yang ada di
Pasar Fakfak dan jalan
menuju ke pasar.
Aksi massa juga terjadi di
Timika, Kabupaten
Mimika, Provinsi Papua,
Rabu (21/8/2019), yang
awalnya berlangsung
kondusif, kini massa mulai
melempari Gedung DPRD
Mimika dengan batu.
Wartawan Antara
melaporkan dari lokasi
kejadian bahwa lemparan
batu ke arah gedung DPRD
Mimika yang terletak di
Jalan Cenderawasih Kota
Timika, mencuat sekitar
pukul 13.00 WIT.

Analisa Kasus:

Kasus rasisme pada warga Papua sangatlah tidak mencerminkan jiwa Pancasila pada diri
bangsa, khususnya pada sila ke-3. Tindakan rasisme yang diduga dilakukan oleh pihak TNI pada
mahasiswa Papua di Surabaya, menunjukkan bahwa kita telah melupakan adanya kemajemukan
bangsa. Meskipun kebenaran kasus ini belum jelas − terlihat dari adanya perbedaan kesaksian
antara Polri, TNI, dan mahasiswa asal Papua− emosi warga Papua yang meluap diduga karena
adanya akumulasi tindakan rasisme yang mereka alami.
Emosi warga Papua memanglah hal yang wajar, namun yang harus difokuskan dalam
kasus ini adalah klarifikasi dari berbagai pihak apabila terdapat kesalahpahaman dan
menyelesaikannya dengan cara musyawarah. Kericuhan bahkan provokasi kemerdekaan individu
yang terjadi bukan menjadi jalan yang terbaik, karena akan semakin memicu berkobarnya “api”
yang sedang memanas di Indonesia. Dimulai dari adanya permohonan saling meminta maaf
antara tokoh pemimpin/gubernur Papua dan pihak TNI akan memadamkan “api” tersebut secara
perlahan. Pembatasan dalam mengakses sosial media di Papua dirasa merupakan cara yang
cukup baik untuk menghindari adanya ujaran kebencian, kalimat provokasi, atau berita hoaks
yang akan memperkeruh suasana.

Rasisme memang menjadi kasus yang sering kita temui, baik itu berkaitan dengan suku,
agama, bahkan warna kulit. Tindakan ini sangatlah menyimpang dari sila ke-3 dalam Pancasila
yang berbunyi “kemanusiaan yang adil dan beradab”. Hal ini jelas bahwa, rasisme sangat
melanggar bentuk kemanusiaan. Padahal, seluruh rakyat Indonesia termasuk Papua memiliki
hak-hak kebebasannya dalam hidup dengan aman dan tentram, hidup bernegara, mengenyam
pendidikan, dan lain sebagainya layaknya seorang manusia, tanpa harus merasa berbeda dan
dikucilkan.

Maraknya kasus rasisme di Indonesia menandakan bahwa praktik Pancasila di negara ini
masih lemah, sehingga rasa ketidaksejahteraan serta ketimpangan secara sosial masih dirasakan
bagi beberapa masyarakat. Maka itu, baik dari pemerintah maupun kita sebagai rakyat, haruslah
menjaga ucapan, pikiran, serta rasa persaudaraan yang tinggi demi mempertahankan persatuan
Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai