Anda di halaman 1dari 4

Ekonomi Islam yang Tidak Islam

Dewasa ini, konsep Ekonomi Islam atau Ekonomi Syariah terasa menggaung dan utopis
di kalangan masyarakat, terutama mereka yang menganut Agama Islam. Ribuan scholars lahir
dari disiplin ilmu baru bernama Ekonomi Islam. Jutaan orang yang merasakan kekejaman
ekonomi bersistem kapitalis mulai menggantung harapan mereka kepada anti-thesis bernama
Ekonomi Islam ini. Regulator pun secara perlahan mulai mengakomodasi demand dari
masyarakat mengenai sistem baru tersebut.
Sebut saja pelbagai Bank Syariah, DSN-MUI, IDX, OJK, dan berbagai stakeholder lain
bermunculan untuk menyambut gayung harapan tadi. Selain dari sisi pragmatis, mereka
bermunculan untuk menjawab kebutuhan ummat dan berusaha mengamalkan apa-apa yang
disyariatkan Islam dalam bidang mualamah, atau dalam konteks ini, ekonomi.
Namun sebagaimana halnya 2 aspek lain dalam Islam (Tauhid dan ibadah), aspek
muamalah pun timbul dari hasil-hasil ijtihad para ulama yang didasari oleh Zhonnul Ghalib
terhadap dalil-dalil yang sudah disepakati dalam ushul fiqh. Bahasa kerennya, Ekonomi Islam
lahir dari hasil “Filsafat” yang dilakukan para ahli melalui jalur ushul fiqh yang tidak semena-
mena hasil akal, namun juga bergantung pada nash maupun sumber hukum yang “mukhtalaf
‘alaih”.
Islam adalah sebuah agama yang syamil. Hal ini tidak hanya diakui oleh muslim sendiri,
namun juga oleh banyak orang-orang non-muslim seperti seorang orientalis bernama H.A.R
Gibb yang mengatakan, “Islam is much more than a system of theology, it’s a complete
civilization.”
Maka Ekonomi Islam adalah salah satu produk agama ini yang membuktikan perkataan
tersebut. Namun begitu, Ekonomi Islam sangatlah lentur sebagaimana ruang lingkupnya sebagai
“muamalah” yang dalam kaidah fiqhiyyah disebutkan “Al-ashlu fil asya al-ibahah illa idza jaa a
dalil ‘ala tahrimihi.”
Hal ini dibuktikan dalam pendapat ulama yang memperbolehkan zakat fitrah dalam
bentuk uang, selain daripada 1 sha’ kurma maupun gandum. Atau dalam qiyash terhadap
komoditas ribawi yang ditafsirkan sebagai “makanan pokok” yang tergantung pada tempatnya
dalam riba bai’.
Kelenturan ini menjadikan Islam sebagai agama yang memang relevan dalam segala
zaman dan tempat. Kelenturan ini yang menjadikan Islam sebagai jalan tengah, sebagaimana
kaidah dalam hadits “Khairul Umuri biwasatiha” (meskipun hadits tersebut dha’if). Dan
kelenturan inilah yang menjadikan Islam sebagai agama pamungkas yang paling sempurna.
Sistem Riba
Dahulu kala, umat manusia menganut sebuah sistem yang telah berlangsung sebegitu
lamanya dan tersebar begitu luasnya ke seluruh penjuru dunia. Sistem ini menjadi sebuah
momok kemanusiaan namun sudah menjadi sebuah kebiasaan yang disepakati oleh seluruh umat
manusia.
Sistem tersebut adalah pebudakan.
Islam sendiri hadir di zaman ketika perbudakan itu masih ada dan berjalan. Dan Islam
dengan prinsip keadilannya berusaha melawan. Tetapi uniknya, cara Islam untuk melawan
sistem perbudakan tidaklah langsung dengan pengharamannya, melainkan dengan cara yang
bertahap dan perlahan.
Pertanyaan yang timbul dalam benak kita adalah, apakah Islam membenarkan
perbudakan?
Telah banyak diskusi tentang hal ini oleh para ulama, namun yang perlu kita garis bawahi
di sini, Islam secara tidak langsung ingin menghapus perbudakan dengan strateginya sendiri.
Karena memang sistem perbudakan itu sudahlah sangat mengakar dan tua.
Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jaza’iri hafizahullah juga mengatakan dalam Minhajul
Muslim “Perbudakan sudah dikenal manusia sejak beribu-ribu tahun yang lalu, dan telah
dijumpai di kalangan bangsa-bangsa kuno seperti Mesir, Cina, India, Yunani, dan Romawi, dan
juga disebutkan dalam kitab-kitab samawi seperti Taurat dan Injil.”
Perbudakan pada zaman ini memang sudah tidak ada, namun ada sebuah diskursus
tentang sistem di masa kini yang kurang lebih sama secara ukuran dan pengaruhnya seperti
perbudakan pada zaman dahulu. Di zaman ini, ada sistem yang telah mengakar dan masif, yang
menggerogoti seluruh aspek kehidupan manusia, sebagaimana dahulu perbudakan pun telah
melakukannya.
Sistem tersebut bernama Riba.
Uniknya, Islam mengharamkan riba secara gamblang. Pada zaman Rasulullah SAW riba
sudah ada, namun belum se-masif zaman sekarang. Buktinya manusia masih bisa menghindari
riba secara sempurna. Orang yang tinggal di hutan pun bisa selamat dari bahaya riba.
Namun di zaman sekarang, sejauh apapun kita tinggal dan menjauh, status sebagai
seorang warna negara membuat kita setidaknya masih terpercik riba. Negara kita yang masih
menjalankan sistem riba dan berhutang kepada negara lain maupun pihak luar negeri telah
menjadikan kita dengan sendiri terseret arus masuk ke dalam sistem riba.
Maka jika ditilik dari ukuran dan pengaruhnya, dapat kita simpulkan bahwasanya sistem
riba di zaman ini pengaruhnya dan ukurannya kurang lebih sama besar dengan sistem
perbudakan yang begitu masif dahulu kala.
Lalu, apakah strategi pengharaman riba secara gamblang masih relevan? Toh, Islam saja
menghadapi sistem perbudakan menggunakan cara yang soft.
Ekonomi Islam dan Riba
Riba adalah salah satu bahasan tersexy dan terbesar yang ada dalam diskursus Ekonomi
Islam itu sendiri. Pengharaman riba adalah dalil qath’i yang disebutkan Al-Qur’an dan Hadits
secara gamblang. Dan riba adalah salah satu hal yang sangat bertolak belakang dari prinsip
Ekonomi Islam.
Namun dari pembahasan sebelumnya, ada sebuah missing link tentang pendakwahan
Islam apabila kita bandingkan antara cara Islam menghadapi sebuah sistem yang masif bernama
perbudakan, dan cara dakwah Islam dalam menghadapi sistem riba.
Diskursus inilah yang menghadirkan pembahasan tentang “Apakah Ekonomi Islam Tidak
Islam?”. Islam di sini adalah perbandingan antara cara dakwah Islam terhadap contoh kasus yang
kurang lebih sama (perbudakan) dengan apa yang digaungkan Ekonomi Islam tentang beberapa
muamalah. Dan yang paling besar adalah riba.
Para akademisi yang mengkritisi pengharaman riba cenderung dicap liberal karena
terseruduk oleh dalil qath’i dalam Al-Qur’an yang menyebutkan pengharaman riba secara
mutlak. Menariknya, poin yang sering menjadi bahasan adalah definisi riba dan bunga bank yang
dianggap berbeda oleh para akademisi ini.
Hal itu dikarenakan bagi sebagian kecil kalangan bunga bank berbeda dengan definisi
riba jahiliyah yang terjadi di zaman Nabi. Bahwasanya riba jahiliyah di zaman Nabi menyasar
kalangan yang membutuhkan uang untuk keperluan konsumtif dan terdesak. Maka pertambahan-
pertambahan dalam pokok hutang tersebut adalah kedzaliman yang nyata.
Seorang Akademisi asal Pakistan bernama Fazlur Rahman dalam jurnalnya yang berjudul
Riba and Interest tahun 1964 mengatakan bahwa ada kontradiksi dari hadits-hadits Nabi SAW
terkait riba. “The contradiction found in the hadiths in respect to riba is difficult to resolve”
Menurutnya, riba yang dikemukakan dalam dalil telah diperluas maknanya kepada
banyak aspek dalam kehidupan di zaman sekarang. Sehingga ia keluar dari sebab
pengharamannya sendiri.
Dewasa ini, kita tidak dapat menampik bahwasanya mayoritas praktek riba terjadi dalam
lembaga keuangan, baik itu bank, koperasi, leasing, dan perusahaan keuangan lainnya. Praktek
ini sangat meluas dan mengakar di dunia.
Maka dengan sikap umat Islam yang mengharamkan riba dalam konteks perbankan,
dapat kita tarik sebuah judul bernama “Islam vs The World”. Islam yang sedang melawan sebuah
sistem besar di dunia secara terang-terangan. Islam yang dengan semangatnya berusaha
menegakkan keadilan yang tidak dijumpai pada sistem ekonomi konvensional.
Kesimpulan
Ekonomi Islam yang tidak Islam hanyalah sebuah diskursus kecil yang membandingkan
cara-cara ekonomi Islam dalam mendakwahkan dirinya kepada khalayak. Terkhusus pada kasus
sistem riba yang dianalogikan dengan cara dakwah Islam terhadap sistem perbudakan.
Sudah banyak sekali perdebatan di kalangan akademisi dan ulama mengenai sikap Islam
dalam bidang ekonomi dan muamalah. Bahkan perbedaan definisi sebuah istilah dapat berujung
kepada dua pendapat yang jauh berbeda.
Pada dasarnya, banyak jalan menuju Roma. Berbagai pendapat yang diutarakan tetaplah
mempunyai tujuan yang sama yaitu spirit keislaman dan nilai-nilai yang diperjuangkan oleh
Islam seperti keadilan, kebaikan, dan lain sebagainya.
Maka tulisan ini akan ditutup dengan sebuah perkataan dari seorang ulama asal Jawa
Timur, “setidaknya apabila kita belum bisa menjalankan Islam, kita sepatutnya menjalankan
spirit keislaman itu sendiri.”

Anda mungkin juga menyukai