Anda di halaman 1dari 35

PORTOFOLIO

Kasus 4

Topik: Hipertiroid
Tanggal (kasus) : 7 Februari 2018 Presenter : dr. Kurniadi Indra
Tangal presentasi : 24 April 2018 Narasumber : dr. Mirna Iskandar, Sp.S
Pembimbing : dr. Agus Suprapto,SH
Tempat presentasi: Ruang diskusi RS. TK.IV Dr. Bratanata Jambi
Obyektif presentasi:
□ Keilmuan
√ □ Keterampilan □ Penyegaran □ Tinjauan pustaka
□ Diagnostik
√ □ Manajemen □ Masalah □ Istimewa
□Neonatus □ Bayi □ Anak □ Remaja √ Dewasa □ Lansia □ Bumil
□ Deskripsi:
Tn. J 48 th dengan Hipertiroid
□ Tujuan:
 Mengetahui penegakkan diagnosis, faktor resiko, dan tata laksana Drop Foot.
Bahan bahasan: □ Tinjauan pustaka □ Riset √ Kasus □ Audit
Cara membahas: √ Diskusi □Presentasi dan diskusi □ E‐mail □ Pos
Data pasien: Nama: Tn. J No registrasi: 30 51 22
Nama RS: RS TK.IV Dr. Bratanata Usia: 48 tahun Terdaftar sejak: -
Data utama untuk bahan diskusi:
1. Diagnosis/ Gambaran Klinis:
Tn. J (48) mengeluhkan nyeri ke bokong kiri dan kanan menjalar ke kaki seperti tertarik ± 1
tahun terakhir. Keluhan semakin dirasa beberapa hari sebelum masuk rumah sakit. Keluhan
berkurang jika pasien berbaring. Keluhan disertai dengan gangguan BAK (tidak lampias),
BAB menurun. Tidak terdapat keluhan pada kaki, namun ada kesemutan. Riwayat trauma (-)
Pasien merupakan pekerja pengangkut sawit selama 3 tahun terakhir, namun semenjak
memiliki keluhan pasien berhenti bekerja.
2. Riwayat Pengobatan:
(-)
3. Riwayat kesehatan/ Penyakit:
(-)
5. Riwayat keluarga/ masyarakat: (-)
Daftar Pustaka:
1) Drop Foot, 2014. http://www.nhs.uk/Conditions/foot-drop/Pages/Introduction.aspx.
diakses tanggal 26 Desember 2014.
2) Jean-Jacques, Abitbol MD, 2014. Exam and Tests for Sciatica.
http://www.spineuniverse.com/conditions/sciatica/exams-tests-sciatica. Diakses
tanggal 26 Desember 2014.
3) Cooper, Grant MD, 2009. Foot Drop Diagnosis. http://www.spine-
health.com/conditions/leg-pain/foot-drop-diagnosis. Diakses tanggal 27 Desember
2014.
4) Snell, S. Richard, 2006. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6.
5) Hopkins, John, 2012. Peroneal Nerve Injury (Foot Drop).
http://www.hopkinsmedicine.org/neurology_neurosurgery/centers_clinics/peripheral_
nerve_surgery/conditions/foot_drop_injury.html. Diakses pada tanggal 27 Desember
2014
6) Ratini, Melinda, 2014. Foot Drop. http://www.webmd.com/a-to-z-guides/foot-drop-
causes-symptoms-treatments. Diakses tanggal 27 Desember 2014.
7) Stanford School of Medicine, 2014.
http://stanfordmedicine25.stanford.edu/the25/gait.html. Diakses tanggal 27 Desember
2014.
8) Park Y. 2013. Drop Foot and Treatments. Avaliable at
http://www.mccc.edu/~behrensb/documents/DropFootTreatmentsYPark.pdf Diakses
tanggal 27 Desember 2014
9) CNIP. 2014. Foot drop. Avaliable at http://nerve.wustl.edu/nd_transfers_foot.php
Diakses tanggal 28 Desember 2014
10) Anon.2011. Modul Neuromuskular. Avaliable at
http://digilib.esaunggul.ac.id/public/UEU-Course-952-MODULNeuro.pdf Diakses
tanggal 28 Desember 2014
11) Saanin J. 2012. Kelainan Saraf Tepi (Ilmu Bedah saraf). Ka. SMF Bedah Saraf RSUP
Dr. M. Djamil/FK-UNAND Padang. Avaliable at
http://www.angelfire.com/nc/neurosurgery/Bawah.html Diakses tanggal 28 Desember
2014

Hasil pembelajaran:
1. Diagnosis Hipertiroid
2. Patofisiologi Hipertiroid
3. Penatalaksanaan Hipertiroid
4. Edukasi tentang perjalanan penyakit dan penatalaksanaan yang tepat

Subyektif
Tn. J (48) mengeluhkan nyeri ke bokonmg kiri dan kanan menjalar ke kaki seperti
tertarik ± 1 tahun terakhir. Keluhan semakin dirasa beberapa hari sebelum masuk rumah
sakit. Keluhan berkurang jika pasien berbaring. Keluhan disertai dengan gangguan BAK
(tidak lampias), BAB menurun. Tiidak terdapat keluhan pada kaki, namun ada kesemutan.
Riwayat trauma (-)
Pasien merupakan pekerja pengangkut sawit selama 3 tahun terakhir, namun semenjak
memiliki keluhan pasien berhenti bekerja.
Obyektif
PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : composmentis
Tanda vital
TD : 151/90 mmhg
Nadi : 88 x/menit
RR : 20 x/menit
Suhu : 360C

Berat badan saat hamil : 60 kg


Tinggi Badan : 170 cm

Kepala : normocephali
Mata : conjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), pupil isokor, palpebra edema (-)
Telinga : Normotia, sekret (-)
Hidung : Deviasi septum (-), sekret (-),
Bibir : sianosis (-)
Leher : tidak teraba pembesaran tiroid, tidak teraba pembesaran KGB, retraksi supra
sternal (-), peningkatan vena jugularis (-).
Thoraks
- Paru
a) Inspeksi : gerakan dinding dada simetris, sikatrik (-), retraksi sela iga (-)
b) Perkusi : sonor pada kedua lapangan paru
c) Auskultasi : suara nafas vesikuler, wheezing -/-, ronchi -/-
- Jantung
a) Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
b) Palpasi : ictus cordis teraba ICS V
c) Auskultasi : S1 S2 reguler, mur-mur (-), gallop (-)

Abdomen : Supel, bising usus (+), hepar/lien tidak teraba, turgor baik, nyeri tekan region
epigastrium (+)
Pelvis : Nyeri tekan bokong (+)
Ektremitas :
Ekstremitas Bawah :
5555 5555 , hipestesi tarsal, làsegue’s sign (+), patrick’s/FABER test (+), kontra
5555 5555 patrick’s test (+)

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan darah rutin (7 Februari 2018)

Pemeriksaan Hasil Nilai rujukan Satuan


Hematologi
Hemoglobin 14,3 11-16 g/dl
Hematokrit 42,2 40-45 %
Leukosit 8,6 4-11 Ribu/ul
Trombosit 272 150-450 Ribu/ul
Eritrosit 4,76 4.5-6 Juta/ul
MCV/MCH/MCHC
MCV 89,5 80-100 Fl
MCH 31.0 26.0-34.0 Pg
MCHC 34,6 32.0-36.0 g/dl
RDW-CV 13 11-16 %
Limfosit 38 20-40 %
Neutrofil 51 40-70 %
GDS Tidak diperiksa

Pemeriksaan Rontgen (7 Februari 2018)

Lokasi : Lumbo-Sacral – AP Lateral

 Allignment tulang normal, dengan densitas tulang normal.


 Tak tampak defek/destruksi pada tulang, tak tampak fraktur pada korpus.
 Endplate baik, pedicle baik, tak tampak spur formation pada corpus vertebrae.
 Foramen dan intervertebral space baik, spft tisue normal.
o Kesan : Normal Lumbo-sacral
BAB I
PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Foot drop, atau juga disebut “drop foot”, adalah ketidakmampuan untuk
mengangkat bagian depan kaki. Hal ini menyebabkan jari kaki menyeret di tanah saat
berjalan. Untuk menghindari menyeret jari-jari kaki, orang dengan foot drop akan
mengangkat lutut lebih tinggi. Atau mereka mungkin mengayunkan kaki mereka dengan
lebih lebar. Foot drop dapat terjadi pada satu kaki atau kedua kaki pada waktu yang sama.
Hal ini dapat menyerang pada usia berapa pun. Secara umum, foot drop berasal dari
kelemahan atau kelumpuhan dari otot-otot untuk mengangkat kaki. Hal ini bisa
disebabkan oleh faktor yang berbeda-beda. Penatalaksanaan untuk foot drop bervariasi
sesuai dengan penyebabnya.1
Drop foot bukanlah penyakit, melainkan gejala dari masalah yang mendasari.
Tergantung pada penyebabnya, drop foot bisa bersifat sementara atau permanen.
Kebanyakan drop foot disebabkan oleh cedera pada saraf peroneal dalam lumbal tulang
belakang dan sakral. Saraf peroneal adalah sebuah divisi dari saraf sciatic. Saraf peroneal
berjalan di sepanjang bagian luar kaki bagian bawah (di bawah lutut) dan bercabang ke
masing-masing pergelangan kaki, kaki, dan jari pertama dan kedua. Saraf ini berinervasi
atau mentransmisikan sinyal ke kelompok otot yang bertanggung jawab untuk
pergelangan kaki, kaki, dan gerakan jari kaki dan sensasi jari kaki.2
Drop foot merupakan gejala dari suatu masalah yang mendasari, bisa disebabkan
oleh banyak faktor yang berbeda-beda, penatalaksanaan untuk drop foot juga bervariasi
sesuai dengan penyebabnya. Dari uraian diatas penulis tertarik untuk mengetahui
penyebab, cara mendiagnosis serta penatalaksanaan pada drop foot.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi
a) Nervus Ischiadicus

Gambar 2.1. Nerves of the thigh (posterior view)

N. Ischiadicus (L4 dan 5, S1, 2, dan 3) melengkung ke lateral dan turun kebawah
melalui regio glutea, mula-mula terletak di pertengahan antara spina iliaca
posterior superior dan tuber ischiadicum. Saraf ini kemudian berjalan kebawah
pada garis tengah di aspek posterior tungkai atas dan terbagi menjadi n. peroneus
communis dan tibialis pada tempat yang bervariasi di atas fossa poplitea.4

b) Nervus Peroneus Communis


Nervus peroneus communis yang merupakan cabang terminal n. ischiadicus yang
lebih kecil, mulai di sepertiga bagian bawah tungkai atas. Saraf ini berjalan turun
melalui fossa poplitea, dekat dengan pinggir medial m. biceps. Nervus peroneus
communis meninggalkan fossa dengan menyilang secara superfisial terhadap
caput laterale dari m. gastrocnemius. Kemudian saraf berjalan posterior terhadap
caput fibulae, melengkung ke lateral di sekeliling collum, menembus m. peroneus
longus, dan bercabang menjadi 2 cabang terminal, yaitu (1) n. peroneus
superficialis dan (2) n. peroneus profundus. Pada saat saraf terletak pada aspek
lateral dari collum fibulae, saraf ini terletak subkutan dan dapat dengan mudah
bergerak terhadap tulang.4

Gambar 2.2. Common and superficial peroneal nerves, branches, and


cutaneous innervation.

c) Nervus Peroneus Superficialis


N. peroneus superficialis adalah salah satu cabang terminal n. peroneus
communis. Saraf ini dipercabangkan di dalam massa m. peroneus longus pada sisi
lateral pada sisi lateral collum fibulae. Saraf ini turun kebawah diantara m.
peroneus longus dan brevis, serta di bagian distal saraf ini menembus fascia
profunda dan menjadi saraf kulit4.
Cabang-cabang untuk m. peroneus superficialis mempunyai cabang-cabang4 :
1. Rami musculares untuk m. proneus longus dan m. proneus brevis.
2. Rami cutanei. Ramus cutaneus medialis dan lateral didistribusikan ke kulit
bagian bawah depan tungkai bawah dan dorsum pedis. Disamping itu,
mempersarafi facies dorsalis dan kulit semua jari-jari kaki, kecuali sisi-sisi
yang berdampingan antara jari pertama dan kedua dan sisi lateral jari
kelingking.

d) Nervus Peroneus Profunda


N. peroneus profunda adalah salah satu cabang terminal n. peroneus communis.
Saraf ini dipercabangkan di dalam massa m. peroneus longus pada sisi lateral pada
sisi lateral collum fibulae. Saraf ini masuk ke ruang anterior dengan menembus
septum facialis anterior, kemudian berjalan ke bawah profunda dari m. ekstensor
digitorum longus, mula-mula terletak lateral, kemudian anterior, dan akhirnya
lateral terhadap a. tibialis anterior. Saraf berjalan dibelakang retinaculum
ekstensorum4.

Gambar 2.3. Deep peroneal nerve, branches, and cutaneous innervation.

Cabang-cabang untuk m. peroneus superficialis mempunyai cabang-cabang :


1. Rami musculares untuk m. tibialis anterior, m. extensor digitorum longus,
m. peroneus tertius, dan m. extensor hallucis longus.
2. Rami articulare untuk sendi pergelangan kaki.

2.2. Definisi Drop Foot


Drop foot adalah keterbatasan atau ketidakmampuan untuk mengangkat bagian
depan kaki yang mengacu kepada kelemahan otot-otot yang memungkinkan
seseorang untuk melenturkan pergelangan kaki dan jari kaki.3

2.3. Gejala dari Drop Foot


Gejala cedera saraf peroneal (foot drop) dapat meliputi5 :
 Ketidakmampuan untuk menunjukkan jari-jari kaki ke arah tubuh (dorsofleksi)
 Nyeri
 Kelemahan
 Mati rasa (pada shin atau atas kaki)
 Hilangnya fungsi kaki
 High-stepping walk (disebut steppage gait atau footdrop gait)3.
Gejala yang paling umum dari penurunan kaki, gaya berjalan steppage tinggi
sering ditandai dengan menaikkan paha dalam mode berlebihan sambil berjalan,
seolah-olah menaiki tangga.

Gambar 2.4. Compensating step for foot drop.

Steppage gait tinggi dikaitkan dengan salah satu dari berikut :


 Menyeret kaki dan jari kaki
 Menyeret jari kaki di tanah
 Jari kaki menapak dengan tidak terkontrol.

2.4. Etiologi
Drop Foot adalah gejala dari masalah yang mendasari, dari penyakit itu sendiri.
Hal ini dapat bersifat sementara atau permanen. Penyebab drop foot meliputi6 :
 Cedera saraf. Merupakan penyebab yang paling sering terjadi, drop foot
disebabkan oleh cedera pada saraf peroneal. Saraf peroneal merupakan
cabang dari saraf sciatic yang membungkus dari belakang lutut ke depan
tulang kering. Karena itu duduk sangat dekat dengan permukaan, dapat
menyebabkan cedera dengan mudah.
Cedera pada saraf peroneal juga dapat dikaitkan dengan rasa sakit atau mati
rasa di sepanjang tulang kering atau bagian atas kaki.
Beberapa cara umum saraf peroneal rusak atau dikompresi meliputi :
 Cedera olahraga
 Diabtes Melitus
 Hip or knee replacement surgery
 Duduk bersila atau jongkok dalam waktu yang lama
 Persalinan
 Kehilangan sejumlah besar berat badan
 Cedera pada akar saraf di tulang belakang juga dapat menyebabkan
drop foot.

 Gangguan otak atau tulang belakang. Kondisi neurologis yang dapat


berkontribusi untuk drop foot :
 Stroke
 Multiple sclerosis ( MS )
 Cerebral palsy
 Charcot - Marie - Tooth disease

 Gangguan otot. Kondisi yang menyebabkan otot-otot lemah secara


progresif atau memburuk yang dapat menyebabkan drop foot.
 Muscular dystrophy
 Amyotrophic lateral sclerosis (penyakit Lou Gehrig)
 Polio

2.4. Diagnosis
a) Anamnesis
Anamnesis pada penderita drop foot mencakup gejala yang menyertai seperti
ketidakmampuan mengangkat kaki bagian depan, nyeri, kelemahan pada kaki,
kelemahan hanya pada satu sisi saja atau kedua sisi, mati rasa, dan perubahan cara
berjalan. Sangat diperlukan riwayat penyakit yang pernah diderita yang
berhubungan dengan kelemahan kakinya. Riwayat trauma pada lutut atau pinggul.
Riwayat kebiasaan seperti duduk bersila, serta riwayat operasi pinggul atau lutut.

b) Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik sebenarnya sudah dimulai ketika penderita datang ke dokter
dengan mengamati penampakan umum penderita, raut muka, cara berjalan, cara
duduk dan cara tidur, proporsi tinggi badan terhadap anggota tubuh lainnya,
keadaan simetris bagian tubuh kiri dan kanan, cara berjalan dan tingkah laku,
ekspresi wajah, kecemasan serta reaksi emosional lainnya untuk melihat aspek-
aspek emosional dan somatis dari penderita.
Pemeriksaan fisik mempunyai nilai yang paling penting dalam memperkuat
penemuan-penemuan yang berhasil kita dapatkan dari riwayat dan anamnesis
yang telah kita buat dan menambah atau mengurangi pilihan diagnosis yang dapat
kita lakukan .
 Cara berjalan (gait)
Pengamatan gait merupakan aspek penting dari diagnosis yang dapat
memberikan informasi mengenai beberapa kondisi muskuloskeletal dan
saraf. Secara khusus, ada delapan gaits patologis dasar yang dapat dikaitkan
dengan kondisi neurologis : hemiplegia, diplegic kejang, neuropati, miopati,
Parkinsonian, choreiform, ataxic (serebelum) dan sensorik.
 Hemiplegia Gait
Pasien berdiri dengan kelemahan unilateral pada sisi yang terkena,
lengan tertekuk, adduksi dan diputar secara internal. Kaki pada sisi
yang sama dalam ekstensi dengan fleksi plantar kaki dan jari kaki.
Saat berjalan, pasien akan terus memegang lengannya atau ke satu
sisi dan menyeret kaki yang terkena di setengah lingkaran
(circumduction) karena kelemahan otot distal (foot drop) dan
ekstensor hypertonia di tungkai bawah. Hal ini paling sering terlihat
pada stroke. Dengan hemiparesis ringan, kehilangan lengan ayun
normal dan sedikit circumduction mungkin satu-satunya kelainan .
 Diplegic Gait
Pasien memiliki keterlibatan di kedua sisi dengan kelenturan di
ekstremitas bawah lebih buruk daripada ekstremitas atas. Pasien
berjalan dengan basis normal sempit, menyeret kedua kaki dan
gesekan jari-jari kaki. Cara berjalan ini terlihat pada lesi
periventrikular bilateral, seperti yang terlihat pada cerebral palsy.
Ada juga karakteristik ekstrim adductors pinggul yang dapat
menyebabkan kaki untuk menyeberangi garis tengah disebut sebagai
gaya berjalan gunting. Di negara-negara dengan perawatan medis
yang memadai, pasien dengan cerebral palsy mungkin memiliki
operasi rilis adduktor hip untuk meminimalkan scissoring.
 Neuropathy Gait (steppage gait, Equine gait)
Terlihat pada pasien dengan drop foot (kelemahan kaki dorsofleksi),
penyebab gait ini adalah karena upaya untuk angkat kaki cukup
tinggi selama berjalan sehingga kaki menyeret di lantai. Jika
unilateral, penyebab termasuk peroneal kelumpuhan saraf dan L5
radiculopathy. Jika bilateral, penyebab termasuk amyotrophic lateral
sclerosis, penyakit Charcot - Marie - Tooth dan neuropati perifer
lainnya termasuk yang berhubungan dengan diabetes yang tidak
terkontrol.
 Miopati Gait (Waddling Gait)
Otot panggul bertanggung jawab untuk menjaga tingkat panggul saat
berjalan. Jika Anda memiliki kelemahan pada satu sisi, hal ini akan
menyebabkan penurunan panggul di sisi kontralateral panggul
sambil berjalan (Trendelenburg tanda). Dengan kelemahan bilateral,
Anda akan menjatuhkan panggul di kedua sisi selama berjalan. Cara
berjalan ini terlihat pada pasien dengan miopati, seperti distrofi otot .
 Gait Parkinsonian
Dalam gait ini, pasien akan memiliki kekakuan dan bradikinesia. Dia
akan membungkuk dengan kepala dan leher ke depan, dengan fleksi
pada lutut. Seluruh ekstremitas atas juga fleksi dengan jari biasanya
ekstensi. Pasien berjalan dengan langkah-langkah agak lambat
diketahui pada marche a petits pas (berjalan dari langkah-langkah
kecil). Pasien juga mungkin mengalami kesulitan memulai langkah.
Pasien mungkin menunjukkan kecenderungan tak sadar untuk
mengambil langkah-langkah percepatan, yang dikenal sebagai
festinasi. Kiprah ini terlihat pada penyakit Parkinson atau kondisi
yang menyebabkan lain parkinsonisme, seperti efek samping dari
obat-obatan .
 Choreiform Gait (hiperkinetik Gait)
Cara berjalan ini ini terlihat dengan gangguan ganglia basal tertentu
termasuk Sydenham 's chorea, Penyakit Huntington dan bentuk lain
dari chorea, athetosis atau dystonia. Pasien akan menampilkan
gerakan tidak teratur, gerakan involunter di semua ekstremitas.
Berjalan dapat menonjolkan gangguan gerakan dasar mereka .
 Ataxic Gait ( serebelum )
Paling sering terlihat pada penyakit serebelar, cara berjalan ini
digambarkan sebagai kikuk, gerakan mengejutkan dengan kiprah
berbasis lebar. Sambil berdiri diam, tubuh pasien akan bolak-balik
dan dari sisi ke sisi, yang dikenal sebagai titubasi. Pasien tidak akan
mampu berjalan dari tumit sampai ujung kaki atau dalam garis lurus.
Kiprah keracunan alkohol akut akan menyerupai kiprah penyakit
cerebellar. Pasien dengan ketidakstabilan yang lebih truncal lebih
mungkin untuk memiliki penyakit cerebellar garis tengah pada
vermis .
 Gait sensorik
Saat kaki kita menyentuh tanah, kita menerima informasi
propioreceptive untuk memberitahu kita lokasi mereka. Cara berjalan
ataxic sensorik terjadi ketika kehilangan masukan propioreceptive
ini. Dalam upaya untuk mengetahui kapan kaki menapak dan lokasi
mereka, pasien akan membanting kaki keras ke tanah untuk
merasakannya. Kunci cara berjalan ini melibatkan eksaserbasi ketika
pasien tidak dapat melihat kaki mereka (yaitu dalam gelap). Cara
berjalan ini juga kadang-kadang disebut sebagai gait menghentak
karena pasien dapat mengangkat kaki mereka sangat tinggi untuk
memukul tanah keras. Gait ini dapat dilihat pada gangguan kolom
dorsal (defisiensi B12 atau tabes dorsalis) atau penyakit yang
mempengaruhi saraf perifer (diabetes yang tidak terkontrol). Dalam
bentuk yang berat, gaya berjalan ini dapat menyebabkan ataksia yang
menyerupai gaya berjalan ataksia cerebellar.
c) Pemeriksaan Lokalis
Pemeriksaan dilakukan secara sitematis dengan urutan-urutan sebagai berikut:
 Inspeksi (Look)
Inspeksi dilakukan secara sistematik dan perhatian terutama ditujukan
pada :
a. Kulit, meliputi warna kulit dan tekstur kulit.
b. Jaringan lunak yaitu pembuluh darah, saraf, otot, tendo, ligamen,
jaringan lemak, fasia, kelenjar limfe.
c. Tulang dan Sendi
d. Sinus dan jaringan parut
 Palpasi (Feel)
Yang perlu diperhatikan pada palpasi adalah:
a. Suhu kulit, apakah lebih panas/dingin dari biasanya, apakah
denyutan arteri dapat diraba atau tidak.
b. Jaringan lunak; palpasi jaringan lunak dilakukan untuk mengetahui
adanya spasme otot, atrofi otot, keadaan membran sinovial,
penebalan membran jaringan sinovial, adanya tumor dan sifatnya,
adanya cairan di dalam/ di luar sendi atau adanya pembengkakan.
c. Nyeri tekan; perlu diketahui lokalisasi yang tepat dari nyeri, apakah
nyeri setempat atau nyeri yang bersifat kiriman dari tempat lain
(referred pain).
d. Tulang; diperhatikan bentuk, permukaan, ketebalan, penonjolan
dari tulang atau adanya gangguan di dalam hubungan yang normal
antara tulang yang satu dengan lainnya.
e. Pengukuran panjang anggota gerak; terutama untuk anggota gerak
bawah dimana adanya perbedaan panjang merupakan suatu hal
yang penting untuk dicermati. Pengukuran juga berguna untuk
mengetahui adanya atrofi/pembengkakan otot dengan
membandingkan dengan anggota gerak yang sehat.
 Penilaian deformitas yang menetap;pemeriksaan ini dilakukan apabila
sendi tidak dapat diletakkan pada posisi anatomis yang normal.
 Kekuatan otot (Power)
Pemeriksaan kekuatan otot penting artinya untuk diagnosis, tindakan,
prognosis serta hasil terapi. Penilaian dilakukan menurut Medical
Research Council dimana kekuatan otot dibagi dalam grade 0-5, yaitu:
Grade 0
Tidak ditemukan adanya kontraksi otot.
Grade 1
Kontraksi otot yang terjadi hanya berupa perubahan dari tonus otot
yang dapat diketahui dengan palpasi dan tidak dapat menggerakkan
sendi.
Grade 2
Otot hanya mampu menggerakkan persendian tetapi kekuatannya tidak
dapat melawan pengaruh gravitasi.
Grade 3
Disamping dapat menggerakkan sendi, otot juga dapat melawan
pengaruh gravitasi tetapi tidak kuat terhadap tahanan yang diberikan
oleh pemeriksa.
Grade 4
Kekuatan otot seperti pada grade 3 disertai dengan kemampuan otot
terhadap tahanan yang ringan.
Grade 5
Kekuatan otot normal.
 Penilaian gerakan sendi baik pergerakan aktif maupun pasif (Move)
Pada pergerakan sendi dikenal dua istilah pergerakan yang aktif
merupakan pergerakan sendi yang dilakukan oleh penderita sendiri dan
pergerakan pasif yaitu pergerakan sendi dengan bantuan pemeriksa.
Pada pergerakan dapat diperoleh informasi mengenai:
a) Evaluasi gerakan sendi secara aktif dan pasif
 Apakah gerakan ini menimbulkan rasa sakit
 Apakah gerakan ini disertai dengan adanya krepitasi
b) Stabilitas sendi
Terutama ditentukan oleh integritas kedua permukaan sendi
dan keadaan ligamen yang mempertahankan sendi.
Pemeriksaan stabilitas sendi dapat dilakukan dengan
memberikan tekanan pada ligamen dan gerakan sendi diamati.
c) Pemeriksaan ROM (Range of Join Movement)
Pemeriksaan batas gerakan sendi harus dicatat pada setiap
pemeriksaan ortopedi yang meliputi batas gerakan aktif dan
batas gerakan pasif.
Setiap sendi mempunyai nilai batas gerakan normal yang
merupakan patokan untuk gerakan abnormal dari sendi.
Dikenal beberapa macam gerakan pada sendi, yaitu : abduksi,
adduksi, ekstensi, fleksi, rotasi eksterna, rotasi interna, pronasi,
supinasi, fleksi lateral, dorso fleksi, plantar fleksi, inversi dan
eversi.

 Pemeriksaan Sensoris
Pemeriksaan sistem sensori sangat bergantung pada kemampuan dan
keinginan pasien untuk bekerja sama. Sensasi dirasakan oleh pasien (sifat
subjektif) dan oleh karena itu pemeriksa sangat bergantung pada tingkat
kepercayaan kita terhadap pasien. Pemeriksaan ini tidak perlu untuk
memeriksa semua wilayah di permukaan kulit.
Sebuah pemeriksaan cepat pada wajah, leher, lengan, badan, dan
kaki dengan jarum hanya membutuhkan beberapa detik. Biasanya salah satu
tujuannya adalah mencari perbedaan antara kedua sisi tubuh. Lebih
baik untuk bertanya apakah rangsangan pada sisi berlawanan dari tubuh
terasa sama daripada menanyakan apakah terasa berbeda. Pemeriksaan
sensorik terdiri dari:
 Sentuhan ringan
 Sensasi nyeri
 Sensasi getaran
 Propriosepsi
 Lokalisasi taktil
Pada pasien tanpa tanda atau gejala penyakit neurologis, pemeriksaan fungsi
sensorik dapat dilakukan dengan cepat, dengan memeriksa adanya sensasi
normal pada ujung jari tangan dan kaki. Pemeriksa dapat memilih apakah ia
mau memeriksa sentuhan ringan, nyeri dan sensasi getaran. Jika semuanya
normal, pemeriksaan sensorik lainnya tidak diperlukan. Jika ada gejala atau
tanda yang menunjukkan gangguan neurologi, harus dilakuka pemeriksaan
lengkap.
a) Pemeriksaan Sentuhan Ringan
Sentuhan ringan diperiksa dengan menyentuh pasien secara
ringan dengan sepotong kecil kain kasa. Mintalah pasien untuk
menutup mata dan memberitahu anda jika anda sedang
menyentuhnya. Diusahakan menyentuh jari kaki dan tangan
pasien. Jika sensasinya normal, lanjutkan dengna pemeriksaan
yang lain. Jika sensasinya abnormal, lakukanlah pemeriksaan di
bagian proksimal sampai batas ketinggian gangguan sensorik
dapat ditentukan.
b) Pemeriksaan Sensasi Nyeri
Rasa nyeri dapat dibangkitkan dengan berbagai cara, misalnya
dengan menusuk, memukul, merangsang dengan api atau
sesuatu yang sangat dingin dan juga dengan berbagai larutan
kimia. Sensasi nyeri diperiksa dengan menggunakan peniti dan
menanyakan kepada pasien apakah ia merasakannya. Mintalah
kepada pasien untuk menutup matanya. Bukalah peniti dan
sentuhlah pasien dengan ujungnya. Sebelumnya perlu
diberitahukan kepaa pasien bahwa yang diperiksa ialah rasa
nyeri dan bukan rasa raba. Kita periksa seluruh tubuh, dan
bagian-bagian yang simetris dibandingkan. Bila bagian yang
simetris dibandingkan, tusukan harus sama kuat. Bila kita
memeriksa sensibilitas pada pasien yang gelisah atau yang agak
menurun kesadarannya, maka pemeriksaan rasa tusuk masih
dapat dilakukan, sedang yang lainnya perlu ditangguhkan.
c) Pemeriksaan Sensasi Getar
Sensasi getaran diperiksa dengan menggunakan garpu tala 128
hz. Ketuklah garpu tala dengan tumit tangan anda dan
letakkanlah di suatu tonjolan tulang di bagian distal tubuh
pasien. Minta pasien untuk memberitahukan anda kalau ia
sudah tidak dapat merasakan getaran itu lagi. Minta kepada
pasien untuk menutup matanya. Letakkan garpu tala yang
sedang bergetar pada falangs distal jari tangan pasien dan jari
tangan anda sendiri. Dengan cara ini anda akan dapat mersakan
getaran melalui jari pasien untuk menentukan ketepatan respon
pasien. Setelah jari tangan periksa juga jari kaki. Jika tidak ada
gangguan lakukan pemeriksaan berikutnya. Jika ada gangguan,
tentukanlah batas gangguannya.
d) Pemeriksaan Propiosepsi
Sensasi posisi, atau propriosepsi, diperiksa dengan
menggerakkan falangs distal. Pemeriksa memegang falangs
distal pada sisi lateralnya dan menggerakkan ke atas sambil
memberitahukan pasien. Pemeriksa kemudian menggerakkan
falangs distal pasien ke bawah dan memberitahukannya.
Dengan mata pasien tertutup, pemeriksa menggerakkan falangs
distal naik turun dan akhirnya berhenti, setelah itu tanyakan
pada pasien apakah falangs distal terletak di atas atau di bawah.
Secara rutin lakukanlah pemeriksaan pada falang terminal
sebuah jari pada tiap tangan dan falang terminal jari kaki. Jika
tidak ada gangguan sensasi posisi, pemeriksa harus
melanjutkan sisa pemeriksaan berikutnya.
e) Pemeriksaan Lokalisasi Taktil
Lokalisasi taktil, yang dikenal pula sebagai perangsangan
simultan ganda, diperiksa dengan meminta pasien menutup
matanya sambil menanyakan kepadanya bagian tubuh mana
yang disentuh. Pemeriksa dapat menyentuh pasien pada pipi
kanannya dan lengan kiri. Pasien kemudian ditanyakan dimana
jari pemeriksa berada. Biasanya pasien tidak menemukan
kesulitan dalam menentukan kedua daerah ini. Pasien dengan
lesi lobus parietalis mungkin merasakan kedua sentuhan ini,
tetapi mungkin memadamkan sensasi pada sisi kontralateral
dengan sisi lesi. Perasaan ini merupakan fenomena yang
disebut ekstingsi.

 Studi Laboratorium
Penegakan diagnosis drop foot dengan menggunakan studi laboratorium
sampai saat ini belum menunjukan hasil yang bermakna. Penurunan kaki
unilateral spontan secara tiba tiba dengan keadaan awal yang sehat,
memerlukan investigasi lebih lanjut kedalam penyebab seperti penyebab
metabolik, termasuk diabetes, penyalahgunaan alkohol, dan paparan racun.
Tes – tes laboratorium yang sering digunakan adalah sebagai berikut.

 Gula darah puasa

 Hemoglobin A1C

 Tingkat sedimentasi eritrosit

 C – reaktif protein

 Elektroforesis protein serum atau immunoelectro – osmophoresis

 BUN

 Kreatinin

 Tingkat Vitamin B-12

 Studi Pencitraan
Studi pencitraan dalam penegakan drop foot, pencitraan yang dapat
dilakukan adalah plain foto polos, ultrasonografi, magnetic renonance
neurography. Adapun penjelasnya adalah sebagai berikut.
 Plain Foto Polos
Plain foto polos pada drop foot dilakukan dengan indikasi yakni, pasca
trauma dan non trauma. Plain foto pasca trauma dilakukan dengan plain
foto tibia dan fibula serta pergelangan kaki untuk melihat cedera tulang.
Plain foto polos non trauma dilakukan dengan indikasi kecurigaan
adanya disfungsi anatomi misalnya charot. Plain foto yang dilakukan
dalam kasus disfungsi anatomi adalah plain foto polos kaki dan
pergelangan kaki, dimana dari hasilnya nanti dapat memberikan
informasi yang berguna. Selain itu plain foto polos tulang belakang juga
diperlukan untuk menilai jarak intravertebralis dan pedicle untuk
mengindikasikan adanya lesi pada saraf yang disebabkan oleh proses
metastase.
 Ultrasonografi
Ultrasonografi dilakukan dalam kasus drop foot dengan kecurigaan
terjadi pendarahan pada pasien dengan pinggul atau lutut prosthesis.
 Magnetic Resonance Imanging
Magnetic Resonance Imanging (MRI) dilakukan dengan indikasi
kecurigaan terhadap tumor atau massa tekan ke saraf peroneal, dimana
dilakukan dengan sistem standar 1,5 Tesla MRI. Magnetic Resonance
Imanging digunakan untuk menghasilkan gambar dengan resolusi tinggi
dari saraf perifer, serta intraneural dan ekstraneural terkait lesi yang
terjadi.
Magnetic Resonance Imanging memnungkinkan akusisi cepat gambar
anatomi lebih rinci, bidang pandang yang lebih kecl, resolusi yanglebiih
tinggi, dan dengan bagian potongan yang lebih tipis. Keunggulan pada
MRI ini dapat memberikan gambar yang mampu menunjukan organisasi
fasciculus saraf perifer normal, sehingga membuat saraf lebih jelas daat
dibedakan dari jaringan lain (misalnya, tumor atau pembuluh darah)
Selain itu, gambar pada MRI dapat diproses lebih lanjut untuk
memungkinkan susunan bagian aksial dan memotong data di bagian lain.
Hal ini bermanfaat dalam mengetahui batas longitudinal keterlibatan
saraf tersebut.
 Elektromyelogram
Gangguan metabolisme sering dijadikan diagnosis banding drop foot
seperti yang diuraikan sebelumnya. Drop foot biasanya juga di diagnosis
banding dengan beberapa keadaan seperti, spastisitas, distonia, penyakit
motor neuron, L5 radikulopati, plexopathy lumbosakral, kelumpuhan saraf
siatik, tekan peroneal neuropati, neuropati ferifer dan beberapa miopati.
Elektromyelogram (EMG) berguna dalam membedakan diagnosa ini.
Pemeriksaan ini dapat mengkonfirmasi jenis neuropati, menetapkan lokasi
lesi, memperkirakan luasnya cedera, dan memberikan prognosis. Selain itu
EMG juga berguna sebagai studi sekuensial yang bertujuan untuk memantau
pemulihan lesi akut. Elektromyelogram (EMG) sangat baik digunakan untuk
melokalisasi kepala fibula. Elektromyelogram juga digunakan untuk
mengetahui perlambatan atau penurunan amplitudo ekstensor digitorum
brevis di daerah kompresi pada lesi myelin. Pada perlambatan akann terlihat
demyelinasi segmental dan penurunan amplitudo terlihat dalam blok
konduksi.
Elektromyelogram (EMG) juga baik digunakan untuk menentukan
prognosis dari drop foot.

 Pada lesi mielin murni ( konduksi blok), pemulihan dapat terjadi setelah
tiga minggu sampai satu bulan.

 Pada lesi aksonal yang berat, pemulihan dapat berlangsung dari enam
bulan sampai satu tahun.

 Pada lesi campuran, pemulihan dapat berlangsung dari tiga minggu


sampai satu tahun.

Diagnosis banding drop foot dan gambaran pemeriksaan elektrofisiologi, dan protocol
pemeriksaan EMG pada lesi nervus peroneus terlihat pada tabel 01.

Tabel 1. Gambaran elektrofisiologi pada drop foot2

KHS n. peroneus
Lesi CMAP SNAP* Kelainan EMG jarum
Neuropati n. peroneus Blok-konduksi Normal/menurun m. tibialis anterior
setinggi kaput fibula setinggi kaput fibula m.peroneus
Neuropati n. iskiadikus Normal/menurun Normal/menurun m. tibialis anterior
m.peroneus
m. bisep femoris
Radikulopati L5-S1 Normal/menurun Normal/menurun m. tibialis anterior
m.peroneus
m. bisep femoris
m. gluteus medius
m. gluteus maksimus
m. paraspinal L5-S1
2.5 Penatalaksanaan Drop Foot
Penatalaksanaan foot drop meliputi fisioterapi, alat orthotik, terapi medik dengan
obat-obatan, stimulasi saraf tepi, dan pembedahan. Modalitas terapi tersebut dapat
digunakan sebagai modalitas tunggal atau kombinasi dua atau lebih modalitas.
Penatalaksanaan lini pertama yang biasa dilakukan adalah fisioterapi atau ankle-foot
orthosis (AFO). Terapi medis meliputi obat-obat oral seperti baclofen, dantrolene, atau
tizanidine. Tindakan pembedahan untuk penatalaksanaan drop foot meliputi selective
tendon release, selective dorsal rhizotomy, dan intrathecal baclofen pump.1

Gambar 5. Siklus gaya jalan (gait) normal6

Gambar 6. Gaya jalan drop foot6


2.6 Penatalaksanaan di Bidang Medis
Penatalaksanaan foot drop diarahkan berdasarkan penyebabnya. Apabila keadaan foot
drop tidak dapat diperbaiki dengan pembedahan maka dapat dianjurkan penggunaan
ankle-foot orthosis (AFO). AFO juga dapat digunakan pada masa penyembuhan
neurologis atau penyembuhan setelah operasi. Penggunaan AFO secara spesifik bertujuan
untuk memberikan dorsofleksi jari-jari kaki pada saat fase mengayunkan kaki, stabilitas
lateral dan medial pada saat fase stasis, dan jika perlu juga dapat membantu stimulasi
mendorong ke atas pada saat fase stasis akhir.2 AFO hanya efektif digunakan apabila kaki
dapat mencapai posisi plantigrade ketika berdiri. Keberhasilan penggunaan AFO sebagai
alat bantu jalan akan berkurang apabila terdapat kontraktur equinus.2
AFO yang paling sering digunakan terbuat dari bahan polipropilene dan dimasukkan
ke dalam sepatu. Jika AFO dibuat sedemikian rupa sehingga sesuai dengan bagian kaki di
anterior maleoli maka akan menghasilkan suatu imobilisasi yang rigid. 3 Penyesuaian
seperti ini digunakan apabila terdapat masalah instabilitas atau spastisitas pada
pergelangan kaki, misalnya pada pasien dengan lesi upper motor neuron atau stroke.3
AFO yang dibuat sesuai dengan bagian kaki posterior terhadap maleoli (tipe posterior
leaf-spring) memungkinkan pergerakan plantar fleksi pada tumit dan gerakan mendorong
keatas mengembalikan posisi kaki ke netral untuk fase mengayun berikutnya. Alat ini
membantu gerakan dorsifleksi pada drop foot dengan deformitas equinovarus spastic
ringan atau flaksid.ada juga orthosis yang dapat langsung digunakan pada bagian tumit
sepatu disebut shoe-clasp orthosis.2
Peroneal nerve stimulation atau disebut juga Functional Electrical Stimulation (FES)
dapat dipertimbangkan pada foot drop yang disebabkan oleh hemiplegia. Tipe stimulasi
ini diperkenalkan pertama kali pada tahun 1961.4 Nerve stimulation memberikan
efektifitas yang lebih apabila digunakan bersamaan dengan AFO karena nerve
stimulation memberikan koreksi gaya jalan (gait) aktif dan dapat disesuaikan dengan
masing masing pasien secara individual. Peroneal nerve stimulation dilakukan dengan
memberikan stimulasi elektrik durasi pendek pada nervus peronealis diantara fossa
poplitea dan kepala fibula. Sebuah saklar yang dipasang di tumit kaki yang menderita
kelemahan akan mengontrol aliran stimulasi elektrik.5 Stimulator akan diaktivasi pada
saat kaki diangkat dan berhenti pada saat kaki menyentuh lantai. Dengan demikian maka
tercapai dorsofleksi dan eversi selama fase mengayun pada gait.5,6
Nerve stimulator dapat berupa stimulator eksternal, stimulator internal atau stimulator
dengan aktivasi radiofrekuensi.6 Penggunaan stimulasi elektrik pada pasien stroke dengan
hemiplegic spastic dilaporkan dapat berguna pada 2% kasus. Metode ini meningkatkan
kecepatan dan kualitas berjalan, serta dapat berkontribusi terhadap relearning motorik.6
Drop foot merupakan keadaan kronis yang sering mengakibatkan stres psikis pada
penderitanya, oleh karena itu penatalaksanaan foot drop harus memperhatikan kebutuhan
psikologis penderitanya.7 Parestesia yang disertai nyeri kronis pada pasien dengan foot
drop dapat ditangani dengan blok saraf simpatis atau sinovektomi laparoskopi.7,8
Alternatif lain yang dapat dipertimbangkan adalah amitriptilin, nortriptilin, pregabalin
dan gabapentin. Anesthesia lokal seperti capsaisin transdermal atau diclofenac dapat
mengurangi nyeri. Penggunaan obat-obat opioid harus diminimalkan walaupun pada
keadaan nyeri yang signifikan. Penatalaksanaan foot drop pada pasien-pasien dengan
diabetes mellitus harus mengutamakan kontrol glukosa yang optimal dan tambahan
suplemen vitamin B1, B6 atau B12 untuk defisiensi vitamin karena dapat membantu
mengurangi gejala nyeri kronis.8

Tabel 2. Ankle Foot Orthosis vs Functional Electrical Stimulation9

Ankle Foot Orthosis Functional Electrical Stimulation


alat besar dan berat alat kecil dan ringan
harus menggunakan sepatu khusus yang tidak perlu sepatu khusus
disesuaikan dengan AFO
mengoreksi gaya jalan secara pasif melibatkan kontraksi otot secara aktif
tidak dapat merekonstruksi jalur neuronal dapat merekonstruksi jalur neuronal
secara kosmetik dapat mengganggu tidak efektif digunakan pada foot drop karena
penampilan kerusakan saraf tepi
memfiksasi kaki pada posisi 90⁰ terhadap betis cara jalan lebih terlihat normal
harga lebih murah daripada FES harga lebih mahal

 Ankle foot orthosis


Ankle foot orthosis (AFO) merupakan modalitas terapi yang paling
sering digunakan untuk unilateral foot drop. Saat ini AFO tersedia dipasaran
dalam berbagai material, plastik, metal serta kulit hewan. AFO yang terbuat
dari plastik lebih ringan dari pada metal namun hanya digunakan untuk
jangka pendek. Model AFO dari plastik yang dibuat secara custom (yaitu
sesuai dengan bentuk kaki individu) dapat dipakai untuk jangka waktu yang
lebih lama karena risiko mengiritasi kulit lebih kecil dari pada tipe standar.
AFO yang terbuat dari metal dan kulit hewan lebih berat dari pada AFO
plastik. Kontak dengan kulit harus minimal dengan menggunakan kaos kaki
khusus. AFO metal dan kulit hewan baik dipakai untuk pasien yang sering
mengalami edema dan fluktuasi di kaki10.

Gambar 7. AFO berbahan dasar plastik6

Gambar 8. AFO berbahan dasar metal dan kulit6


Gambar 9. AFO berbentuk sepatu6

 Peroneal nerve stimulation/ Functional Electrical Stimulation


Peroneal nerve stimulation atau dikenal juga dengan Functional
Electrical Stimulation (FES) pertama kali digunakan sebagai terapi foot drop
pada tahun 1961. FES memberikan impuls listrik untuk menstimulasi respon
saraf yang diperlukan untuk melakukan suatu dorsofleksi. FES dapat
diprogram secara khusus menyesuaikan kebutuhan individual. FES
memberikan suatu range of movement yang normal kepada kaki dan
pergelangan kaki selama fase berjalan. FES telah terbukti berhasil
memperbaiki gaya jalan pada pasien-pasien stroke dan multiple sclerosis
dengan foot drop. FES dikontraindikasikan pada pasien yang menggunakan
pacemaker, pasien dengan epilepsi tidak terkontrol, pasien dengan
kehamilan dan luka pada area penggunaan FES8.

Gambar 10. FES eksternal untuk koreksi gaya jalan drop foot9

 FES untuk koreksi gaya jalan drop foot


Nervus peroneal mudah distimulasi karena karena terletak tepat
dibawah kulit dan otot-otot kaki bagian bawah umumnya merespon cukup
untuk dapat mengangkat kaki pada titik pergelangan kaki. Daya listrik FES
dihasilkan dari alat elektrik kecil bertenaga baterai. Terdapat dua cara
mengirimkan daya listrik ke saraf peroneal:10
Gambar 11. Siklus gaya jalan drop foot dengan koreksi FES eksternal7
 Surface (eksternal) FES
Cara ini merupakan cara yang paling sering digunakan. Elektroda
diletakkan diatas kulit tepat diatas saraf peroneal. FES harus diletakkan
diposisi yang benar setiap kali digunakan untuk menghasilkan gerakan yang
tepat. Pasien harus memasang elektroda sendiri secara akurat atau dapat juga
pasien dibantu dengan sebuah gelang karet yang dipasangkan dibawah lutut
sehingga pasien dapat memasang elekroda pada tempat yang akurat setiap
saat. FES akan memberikan sensasi seperti ditusuk jarum saat digunakan
namun penggunanya akan segera terbiasa dengan sensasi tersebut.
 Implanted FES
FES tipe implant memerlukan tindakan pembedahan untuk dipasang,
dimana elektroda diletakkan tepat pada saraf dan dikontrol dengan implant
kecil yang diletakkan dibawah kulit. FES akan mengaktifasi implant melalui
antenna nirkabel yang digunakan diluar tubuh. Keuntungan penggunaan
implant FES yaitu pasien tidak perlu melepas dan memasang kembali pada
posisi yang akurat setiap kali akan dipakai. Implant FES juga dapat
mengurangi atau menghilangkan sama sekali sensasi stimulasi elektrik
(seperti tertusuk jarum) secara signifikan. Calon pengguna implant FES
harus diuji terlebih dahulu dengan eksternal FES apakah stimulasi elektrik
menghasilkan perbaikan gaya jalan yang signifikan atau tidak.
Untuk dapat meghasilkan gaya jalan yang normal, otot harus
distimulasi pada waktu yang tepat selama proses berjalan. Pemicu stimulasi
(stimulation trigger) harus diberikan ketika beban berat tubuh diangkat dari
kaki sampai saatsetelah berat tubuh kembali dibebankan kepada kaki. Proses
ini akan menghasilkan gerakan dorsofleksi pada fase mengayun dan
stabilitas pergelangan kaki saat kaki menginjak lantai. Terdapat dua sistem
trigger yang umum digunakan. Sistem trigger yang pertama berupa saklar
kaki yang sensitif terhadap tekanan, diletakkan pada bagian tumit didalam
sepatu. Saklar kaki dan alat FES dapat dihubungkan dengan kaber ataupun
dihubungkan secara nirkabel. Sistem kedua adalah dari gerakan kaki
pengguna yang dideteksi dengan sensor gerakan. Sensor diletakkan didalam
alat FES yang dipasang dengan gelang karet kaki (leg cuff)9.

Tabel 3. Laporan perbandingan penggunaan FES dan AFO untuk drop foot berdasarkan
pengalaman pengguna dan terapis10:

Pengalaman Positif Pengalaman Negatif


FES (eksternal)  dapat melatih pergelangan kaki,  tidak reliable (susah didapat,
mampu meningkatkan tonus otot/ tidak tersedia secara luas, mahal)
masa otot  tidak dapat digunakan pada
 kecepatan berjalan lebih cepat, kondisi tertentu, misalnya dekat
mampu mengangkat kaki lebih air, jalan becek, hujan, dll
tinggi, jarang tersandung  beberapa pengguna mengalami
 gaya jalan yang terlihat lebih kesulitan dalam memasang
normal alatnya sendiri
 lebih mudah memilih sepatu  sulit memanipulasi bagian
 mudah dipakai bagian sambungan
 dapat dimatikan apabila sedang  reaksi alergi terhadap elektrode
tidak digunakan berjalan
AFO  mudah digunakan untuk keperluan  tidak nyaman, risih, tidak
sehari-hari fleksibel
 menggunakan AFO merupakan  susah mendapatkan sepatu
suatu rutinitas yang sesuai dengan orthosis
 mudah memakainya  tetap harus dipakai ketika
 reliable duduk atau sedang tidak berjalan
 sangat berguna untuk kondisi (tidak dibutuhkan)
darurat
 dapat digunakan selama perjalanan
udara (tidak menggunakan kabel)
 lebih mudah dipasang sendiri
 dapat digunakan dalam kondisi
dekat air

 Terapi Operatif
Jika kelemahan yang terjadi disebabkan oleh kompresi saraf peroneal,
suatu operasi yang mudah biasanya dilakukan untuk memperbaiki keadaan
tersebut. Saraf peroneal berjalan mengelilingi leher dari tulang fibula, persis
dibawah lutut. Saraf peroneal kemudian berjalan dibawah otot yang sering
memiliki tepi fasia yang erat (peroneus logus). Tempat dimana saraf ini
melewati dibawah otot ini, area sempit ini dapat dilepaskan dan tekanan
dieleminasi. Sering kali dengan metode operatif ini bisa mengembalikan
fungsi kaki.11
Selain itu kelemahan ini dapat disebabkan oleh kompresi saraf ditulang
belakang yakni lumbar. Metode operatif sering kali dilakukan untuk
membuka ruangan dimana saraf tersebut meninggalkan tulang belakang
(foramina spinal) dengan mengalihkan diskus yang mengalami herniasi
(microdiscectomy), membuka foramen (foraminotomy) atau pada kasus
yang lebih kompleks, dilakukan kombinasi dari dua tindakan ini, dimana
tulang akan di perbaiki bersama untuk menghilangkan pergerakan yang
bermasalah.10,9
Suatu saat tindakan ini tidak cukup untuk mengembalikan fungsi kaki.
Pada kasus seperti ini, pemindahan saraf kadang dilakukan. Tindakan ini
meliputi pengambilan saraf donor yang memiliki fungsi yang kurang
bermanfaat ke saraf yang mengalami kerusakan pada kasus drop foot.
Metode ini dilakukan untuk mengembalikan fungsi saraf yang rusak agar
dapat berfungsi kembali.11
Pemindahan saraf untuk memperbaiki drop foot bisa melibatkan
cabang dari saraf tibial, yang mana mempersarafi otot yang bertanggung
jawab menarik kaki ke atas. Kedua cabang saraf tibia yang menginervasi
otot flexor ibu jari atau saraf yang berkontribusi dalam memfleksikan otot
paha bisa digunakan sebagai saraf donor.9
Setelah tindakan ini, pasien dapat mengaktivasi otot donor mereka,
yaitu mereka masih bisa menggerakan kaki kebawah, tetapi saat mereka
memperoleh fungsi dari saraf yang dipindahkan, mereka juga perlu dilatih
untuk menggunakan otot ini untuk menarik kaki keatas. Otak akan
mempelajari trik ini dan pasien akan bisa menggangkat kaki keats dengan
hanya memikirkan tentang mengangkat kaki keatas. Untuk melatih hal
tersebut biasanya di lakukan oleh ahli fisikal.11
Proses penyembuhan fungsi dari saraf yang dipindahkan sangatlah
lama. Pasien biasanya akan mulai melihat proses penyembuhan dalam tiga
hingga enam bulan setelah operasi, tetapi tidak jarang kebanyakan kasus
dalam mengembalikan pergerakan memakan waktu yanglebih lama yakni
enam sampai 12 bulan.8
BAB III
KESIMPULAN

Drop foot merupakan istilah yang sederhana untuk suatu masalah yang kompleks.
Drop foot dapat dihubungkan dengan berbagai keadaan seperti cedera dorsiflexor, cedera
saraf perifer, stroke, neuropati, keracunan obat dan diabetes. Penyebab dari drop foot dapat
dibagi menjadi 3 kategori umum yaitu : neurologi, otot dan anatomi. Penyebab ini dapat
saling tumpang tindih. Drop foot dapat didefinisikan sebagai kelemahan yang signifikan pada
pergelangan kaki dan dorsofleksi dari ibu jari kaki. Kaki dan ankle dorsoflexors meliputi
tibialis anterior, extensor hallucis longus dan extensor digitorum longus. Otot-otot ini
membantu tubuh untuk mengontrol plantar fleksi dari kaki. Kelemahan pada kelompok otot
ini menyebabkan deformitas equinovarus. Hal ini terkadang menyebabkan gangguan pada
gaya jalan, karena pasien cenderung untuk berjalan dengan exaggerated fleksi dari pinggul
dan lutut untuk mencegah ibu jari.
Diagnosis yang tepat drop foot sangat dipengaruhi oleh kecermatan dan perhatian ahli
saraf yang berpengalaman. Penegakan diagnosis drop foot harus mencakup hal – hal seperti
riwayat medis yang lengkap, pemeriksaan klinis yang komprehensif termasuk uji neurologis,
pengujian listrik dan studi pencitraan, seperti sinar – X atau MRI (Magnetic Resonance
Imaging. Pemeriksaan dan Pengkajian yang komprehensif tersebut, dibutuhkan untuk
mendiagnosis penyebab atau etiologi dari terjadinya drop foot. Diagnosis drop foot yang
tepat akan sangat berengaruh terhadap rencana perawatan dan pilihan terapi pembedahan.
Penatalaksanaan foot drop meliputi fisioterapi, alat orthotik, terapi medik dengan
obat-obatan, stimulasi saraf tepi, dan pembedahan. Modalitas terapi tersebut dapat digunakan
sebagai modalitas tunggal atau kombinasi dua atau lebih modalitas. Penatalaksanaan lini
pertama yang biasa dilakukan adalah fisioterapi atau ankle-foot orthosis (AFO). Terapi medis
meliputi obat-obat oral seperti baclofen, dantrolene, atau tizanidine. Tindakan pembedahan
untuk penatalaksanaan drop foot meliputi selective tendon release, selective dorsal
rhizotomy, dan intrathecal baclofen pump.
IGD

Diagnosa : Suspect HNP dengan Parstesi

Tatalaksana :

IVFD RL + Ketorolac 1 amp/kolf : 20 tpm

Konsul dr. Mirna Iskandar,Sp.S

Follow Up

Tanggal S O A P
07/02/2018 Nyeri panggul Kesadaran: GCS 15 Drop Foot - Gabapentin 2 x 300
kiri sejak 1 TD : Kiri dengan mg
tahun yang 110/70mmhg Radikulopati - Na. Diclofenac : 3 x
lalu memberat Nadi : 108 L5-S1 25 mg
sejak x/menit - Rontgen Lumbosakral
beberapa hari. RR : 20 x/menit
Suhu : 36.20C
Pemeriksaan Fisik:
N.Kranial tidak
diperiksa.
Motorik Dextra
baik.
Tungkai kiri :
- Fleksi lutut
:5
- Fleksi
panggul : 5
- Abduksi
tungkai : 3
- Adduksi
tungkai 4
- Ekstensi
Panggul : 5
- Ekstensi
lutut : 5
- Plantarfleks
i:5
- Dorsofleksi
:5
- Sensorik :
Hipestesi
setinggi L5-
S1

08/02/2018 Masih sulit Kesadaran: GCS 15 Drop foot Terapi teruskan.


menggerakan TD : 110/70 tungkai kiri Ketorolac stop
kaki kiri, mmhg dengan B Complex 2 x 1 tab
namun nyeri Nadi : 112 radikulopati Obat-obat lain teruskan.
berkurang. x/menit lumbosakral.
RR : 20 x/menit
Suhu : 360C
Pemeriksaan Fisik:
N. Kranial tidak
diperiksa.
Dorsofleksi kaki
kiri : 0
Propioseptif kaki
kiri : Normal
Hipestesi tarsal
kiri.

09/02/2018 Masih sulit Drop Foot ACC Rawat Jalan


menggerakan dengan Na. Diclofenac 2 x 25
kaki kiri, Radikulopati mg
nyeri L5-S1 Ranitidin 2 x 1 tab
berkurang. Mecobalamin 2 x 500
mg
Elkana 2 x 1 tab

Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam

Anda mungkin juga menyukai