Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan rahmat,
inayah, taufik dan hidayahNya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan
outline ini dalam bentuk maupun isinya yang baik. Semoga outline ini dapat
dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca
dalam memahami mata kuliah Psikologi Konseling. Harapan kami semoga outline ini
membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, khususnya
mahasiswa. Kami juga sangat terbuka dengan kritik dan saran para pembaca, sehingga
kami dapat memperbaiki bentuk maupun isi outline ini sehingga kedepannya dapat
lebih baik.
Outline ini kami akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang kami
miliki sangat kurang. Oleh kerena itu, kami harapkan kepada para pembaca untuk
memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan
ouline ini.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
PEMBAHASAN
iii
BAB I
Psikologi konseling terdiri dari dua kata, yaitu psikologi dan konseling. Menurut
asal katanya, psikologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu psyche dan logos. Psyche
berarti jiwa,sukma, dan roh. Sedangkan logos berarti ilmu pengetahuan atau studi.
Jadi, psikologi adalah ilmu tentang jiwa.
Pengertian konseling secara etimologi berasal dari bahsa Latin, yaitu consilium
(dengan atau bersama) yang dirangkai dengan menerima atau memabami. Konseling
biasanya dikenal dengan penyuluhan yang secara awam dimaknakan sebagai
pemberian penerangan, informasi, atau nasihat kepada pihak lain. Ada yang
mendefinisikan bahwa konseling adalah interaksi yang terjadi antara dua orang
individu, masing-masing disebut konselor dan klien.
1. Dilihat dari tujuannya, rumusan tujuan konseling itu adalah berupa pernyataan yang
mengambarkan segi-segi psikologis (perilaku) dalam diri klien.
2. Dilihat dari prosesnya, seluruh proses konseling merupakan proses kegiatan yang
bersifat psikologis.
3. Dilihat dari teori atau konsep, konseling dari teori-teori atau konsep-konsep
psikologis.
4. Dilihat dari riset, hampir semua penelitian dalam bidang konseling mempunyai
singgungan dengan penelitian dalam bidang psikologi.
1
Dengan beberapa rumusan maka dapat disimpulkan bahwa konseling merupakan
suatu proses bantuan secara profesional antara konselor dan klien yang bertujuan
membantu individu (klien) dalam memecahkan masalahnya agar individu dapat
menyesuaikan diri dengan lingkungannya sesuai potensi atau kemampuan yang ada
pada dirinya. Cavanagh dan Levitov (2002) menyimpukan bahwa dari 36 definisi
konseling, konseling memiliki 4 komponen utama, yakni hubungan, masalah, tujuan,
dan treatment.
1. Hubungan
2. Masalah
Konseling Psikoterapi
2
krisis)
3. Tujuan
Tujuan konseling bervariasi sesuai dengan orientasi teoritis dan masalah konseli.
Beberapa teori menekankan pada perubahan kognisi dan pemahaman, teori lainnya
menekankan pada perubahan emosi dan perilaku, dan ada juga teori yang bertujuan
pengembangan dan pertumbuhan individu. Selain itu, pendekatan konseling fokus
secara langsung pada proses belajar dengan fokus utama mengubah perilaku yang
maladaptif dengan perilaku yang adaptif, tetapi secara umum, berbagai pendekatan
tersebut fokus pada salah satu dibawah ini:
b. Perkembangan kepribadian
4. Treatment
3
Dengan demikian, jika kedua istilah psikologi dan konseling digabungkan maka
psikologi konseling bermakna proses berupa bantuan yang dilakukan oleh seorang ahli
kepada individu yang mengalami masalah melalui pendekatan psikologi ( supportive,
insight-reeducative, insight-recontructive).
Beberapa contoh hubungan yang professional antara lain: dokter dan pasien,
pekerja sosial dan masyarakat, pengacara dan klien, guru dan siswa. Sekalipun
sama-sama hubungan profesional, tetapi masing-masing hubungan ini memiliki
karateristik tersendiri. Demikian pula dengan hubungan konseling berbeda dengan pola
hubungan yang lain.
Pada suatu hubungan bantuan (Helping relationship) ditandai oleh ciri-ciri dasar
tertentu. Menurut Shertzer dan Stone (dalam Mappiare 2002:2) hubungan membantu
(helping) mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
4
5. Saling hubungan terjalin karena individu yang hendak dibantu membutuhkan
informasi, pelajaran, advis, bantuan, pemahaman dan/atau perawatan dari orang lain.
Secara lebih mendalam lagi dikemukakan oleh Rogers (1961) dalam Latipun
(2004:35) bahwa hubungan membantu memberikan maksud untuk peningkatan
pertumbuhan, kematangan, fungsi, cara penanganan kehidupannya dengan
memanfaatkan sumber-sumber internal pada pihak yang diberikan bantuan.
Daftar Pustaka
5
BAB II
Pada hakekatnya masalah secara umum menunjuk pada adanya kesenjangan antara
keadaan sekarang (pencapaian) dengan tujuan. Dalam penelitian mengacu pada fokus
yang dipandang belum selesai dalam tataran teoritik dan praktik atau lebih seringnya
dikatakan bahwa adanya kesenjangan antara teori dan praktik (kenyataan) dan
memerlukan penyelesaian. Apabila hakekat ini ditarik dalam bidang konseling maka
masalah pada hakekatnya adalah kesenjangan antara kondisi sekarang individu dengan
apa yang diharapkan individu atau lingkungannya dan di dalamnya terdapat hambatan
untuk mencapai tujuan (Mappiare, 2006:252).
Ada beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya masalah. Secara umum faktor
timbulnya masalah diantaranya adalah
1. Masalah muncul sebagai perilaku yang tidak dikehendaki oleh individu itu sendiri
maupun oleh lingkungannya.
4. Masalah muncul ketika individu memasuki sesuatu hal baru dan berbeda dengan pola
lama.
5. Masalah dirasakan semakin berat atau tidak tergantung pada kesenjangan antara
harapan dan realita.
6
Pendekatan konseling yang berorientasi pada thinking, feeling dan acting (TFA)
adalah pendekatan integratif sistematik yang mengintegrasikan berbagai macam
pendekatan dan teknik-teknik konseling dalam suatu kerangka kerja. Kerangka kerja
komperhensif, sistematis ini jelas diperlukan oleh konselor untuk membantu berbagai
macam klien dengan efektif dan kualifaid.
Dalam memahami karakteristik masalah individu maka akan dijelaskan dari sudut
pandang pendekatan TFA. Adapun penjelasan masalah individu dalam perspektif TFA
adalah sebagai berikut:
Dalam gambar 1 ditunjukkan segitiga TFA dengan tiga bagian yang terpisah oleh
garis yang terputus-putus. Pada bagian puncak terdapat pendekatan konseling yang
menekankan atau memusatkan perhatian pada aspek kognitif (thinking) dari tingkah
laku. Dalam pendekatan yang berorientasi pada pemikiran (thinking approach)
memiliki anggapan dasar bahwa jika individu memiliki pemikiran yang tak rasional
dan tak logis maka ia adalah pribadi yang bermasalah (tidak sehat) dan akan menjadi
pribadi yang sehat bila konselor dapat membantu klien mengubah pemikiran yang tak
rasional dan tak logis menjadi berpikir rasional dan logis.
Andi sadar bahwa ia adalah anak yang pintar. Ia selalu risau tentang bagaimana sesuatu
pada dirinya akan ditampilkan pada orang lain dan apakah ia telah melakukan “hal yang
baik”. Karena desakan bahwa ia menyatakan pada dirinya sendiri “Saya harus
mengerjakan ini secara cermat, sempurna atau kalau tidak orang lain akan mengangap
saya ceroboh, tak berarti dan tidak pintar “. Hal ini membuat Andi selalu risau akan
penilaian orang lain. Ia lalu minta bantuan dari seorang konselor beriorientasi
kognitif/pemikiran yang berfokus membantu Andi melihat keyakinan yang tak rasional,
seperti “Saya harus mengerjakan ini secara cermat, sempurna dalam tiap hal yang
saya kerjakan atau kalau tidak orang lain akan menggangap saya ceroboh, tak berarti
dan tidak pintar “
7
Gambar 1. Segitiga TFA menunjukkan pendekatan berorientasi pemikiran
Melalui konseling, Andi telah dapat melihat betapa tidak rasional pemikirannya
dan betapa ia telah tenggelam dalam lingkaran pola perusakan diri (self destruction).
Dengan kata lain Pemikiran (Thinking) negatif, perusakan diri menimbulkan perasaan
(Feeling) penghukuman diri disertai dengan Tindakan (Acting) menarik diri karena
malu pada orang lain karena menurut Andi orang lain akan memberi cap bahwa ia gagal,
bodoh, tidak cermat, dsb.
Konselor membantunya mengerahkan bisik diri (Self talk) dan pemikiran diri yang
lebih rasional, sembari menghilagkan keharusan-keharusan yang tak rasional (seperti,
saya harus/mesti/wajib melakukan…apapan yang terjadi). Pemikiran rasional,
misalnya bahwa tidak semua hal perlu dilakukan “secerrmat-cermatnya, sempurna”,
dan semacamnya. Akibatnya Andi jelas-jelas merubah pandangan pada diri sendiri dan
memandang secara realistis pada apa yang ia (atau orang lain) harapkan ia lakukan.
Akibat selanjutnya, ia telah mampu beralih dari pikiran dasar yang tak rasional, tak
8
realistis, ke cara-cara berpikir (Thinking) lebih rasional dan berakibat pada perasaan
(Feeling) dan tindakan (Action) lebih positif.
9
2.2.2 Pendekatan yang berorientasi pada perasaan
Dalam pendekatan ini, perhatian utama konselor berfokus pada emosi, afeksi dan
perasaan klien. Dalam pendekatan yang berorientasi pada perasaan (feeling approach)
memiliki anggapan dasar bahwa jika perasaan dan emosi kusut individu tidak dapat
mengekpresikan dan memahami perasaan-perasaan yang dialaminya maka individu
tersebut adalah individu yang “tidak sehat” atau dapat dikatakan individu bermasalah.
Individu akan menjadi individu yang sehat bila individu tersebut dapat memahami dan
mengekspresikan perasaan-perasaan yang dialaminya. Dengan demikian individu akan
memperoleh insight dan mengambil tindakan yang pantas. Dalam hal ini konselor
menitik beratkan pada membantu klien mengekspresikan, mengklarifikasi,
menguraikan, dan memahami emosi yang muncul. Seringkali sebagi hasil penguraian
10
kekusutan emosional, klien mengalami insight (berpikir lebih gamblang mengenai
situasi bersangkutan dan kemudian mampu mengambil tindakan yang pantas/layak.
Dina telah mengalami tekanan emosional (stres) yang semakin berat dalam enam
bulan terakhir. Atas saran seorang teman ia minta konseling dari seorang konselor.
Konselor memfokuskan bantuannya perhatiannya pada masa kesepian, rasa sendirian,
dan rasa tak berharga Dina yang telah dialaminya sejak tunangan menikah dengan
orang lain enam bulan lalu. Dalam proses konseling Dina telah mampu
memverbalisasikan dan mengekspresikan perasaan dan emosi pribadinya yang paling
dalam pada suasana aman dan santai. Akibat dari pelepasan emosi tadi, Dina
mengalami perasaan lega, melepaskan semua beban dari emosi yang tak tercetuskan
yang selama ini tidak pernah ia bicarakan bersama orang lain. Dalam proses itu ia
mencapai sejumlah pengamatan jelas (insightful) tenatang situasinya. Ia mulai lambat
laun bertambah maju, berpikir positif dan merencanakan jenis aktivitas lain yang ingin
ia tekuni pada masa datang. Disamping menemukan pacar pengganti. Proses yang telah
berlangsung yaitu dengan membebaskan perasaan (feeling), maka klien mampu
berpikir (thinking) lebih jelas dan mengambil tindakan (action) sesuai keperluannya.
11
ini konselor membantu individu tersebut dengan melakukan sesuatu yang akan lebih
mendukung perubahan tindakan atau perilaku yang efektif misalnya dengan merubah
pekerjaan, merubah lingkungan, merubah cara melakukan sesuatu, merubah sikap, dan
semacamnya.
Budi berhenti dari pekerjaan yang telah ditekuninya selama sepuluh tahun. Ia tidak
bisa mendapatkan lapangan kerja pengganti. Setelah tiga bulan berlalu ia terus
mendapat omelan dari istrinya, selalu timbul masalah dengan dua anaknya yang
belasan tahun. Hal ini membuat Budi makin bertambah berat beban pikirannya.
Belakangan ia meminta konseling kepada seorang konselor untuk mengatasi
masalahnya. Konselor membantu Budi dengan mulai menyusun rencana-rencana
tindakan yang dapat membantu Budi mencari secara aktif lapangan kerja sesuai dengan
keterampilan dan pengalaman kerja yang lalu. Dalam hal ini Budi berusaha untuk
merubah tindakannya dengan belajar beberapa keterampilan yang mendukung
memperoleh suatu pekerjaan baru. Akhirnya setelah Budi mendapatkan pekerjaan baru
12
maka beban pikiranya berangsur-angsur hilang, hubungan antara ia dengan anggota
keluarga semakin meningkat dengan pesat dan merasakan semakin nyaman.
13
Dari beberapa penjelasan tersebut kita dapat memahami karakteristik masalah yang
dihadapi oleh individu berdasarkan sudut pandang pendekatan konseling yang
berorientasi pada pemikiran (thinking), perasaan (feeling), dan tindakan (acting).
Masalah-masalah yang muncul dapat berasal dari pemikiran individu, dari
perasaan-perasaan yang dialami oleh individu maupun tindakan-tindakan yang
dilakukan oleh individu. Hal ini benar-benar akan menjadi masalah bagi individu
ketika terjadi kesenjangan antara harapan dan kenyataan, proses belajar yang salah
ataupun beberapa perilaku yang tidak sesuai/tidak dikehendaki oleh individu atau
lingkungan terus dilakukannya. Dengan demikian perlu adanya upaya-upaya yang
membantu individu agar dapat menyelesaikan masalahnya dan dapat hidup secara
layak.
14
Daftar Pustaka
Cavanagh, Michael & Levitoc, Justin. 2002. The Counseling Experience, A Theoritical
and Practical Approach. Illionis: Waveland Press Inc
Mappiare, Andi. 2006. Kamus Konseling dan Psikoterapi. Jakarta: PT. Rajawali
Grafindo Persada.
15
BAB III
2. Pemahaman yang diberikan konselor terhadap klien dengan segala latar belakang
dan masalah-masalahnya dapat membuat klien merasa diterima.
4. Resiko yang timbul dari hubungan dengan konselor, dengan sendirinya tidak
menimbulkan akibat yang bersifat merusak, akan tetapi dapat menunjang
perkembangan.
Selain itu terdapat beberapa pendapat tentang karakteristik hubungan yang terbina
dalam proses konseling, George dan Cristiani (1990) dalam Latipun
(2004:36-37)mengemukakan enam karakteristik dinamika dan keunikan hubungan
16
konseling dibandingkan dengan hubungan membantu yang lainnya. Keenam
karakteristik itu adalah sebagai berikut:
1. Afeksi
Hubungan konselor dan klien pada dasarnya lebih sebagai hubungan afektif
daripada sebagai hubungan kognitif. Hubungan afektif tercermin sepanjang proses
konseling, termasuk dalam melakukan eksplorasi terhadap persepsi dan
perasaan-perasaan subyektif klien. Hubungan yang penuh afeksi ini dapat mengurangi
rasa kecemasan dan ketakutan pada klien, dan diharapkan hubungan konselor dan klien
lebih produktif.
2. Intensitas
4. Privasi
5. Dorongan
17
6 Kejujuran
Hubungan yang bersifat unik artinya bahwa hubungan antara konselor dengan
konseli/klien dalam konseling mempunyai ciri khas yang membedakannya dengan
bentuk hubungan yang lain.
Dalam proses konseling interaksi konselor dengan klien tidak seluruhnya bersifat
obyektif, akan tetapi juga tidak seluruhnya subyektif. Hubungan dalam konseling
terdapat kesimbangan antara hal-hal yang bersifat obyektif dan yang bersifat subyektif.
Dalam proses konseling terdapat unsur kesamar-samaran dan kejelasan dalam arti
pada situasi tertentu konselor memberikan rangsangan tersamar, sedangakan dalam
situasi lain konselor memberikan rangsangan yang jelas. Hal ini dimaksudkan agar
konselor dapat memperoleh informasi atau bagaimana cara pandang klien terhadap
masalah yang dialaminya.
Dalam hubungan konseling tanggung jawab tidak seluruhnya ada pada konselor
tetapi juga tidak seluruhnya ada pada klien. Perwujudan dari tanggungjawab ini adalah
antara konselor dan klien sama-sama memiliki tanggungjawab dalam tujuan maupun
komitmen yang dibangun antar keduanya.
18
C. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Proses Konseling
1. Struktur
2. Inisiatif
3. Seting fisik
Konseling dapat terjadi dimana saja, tetapi seting fisik yang nyaman, dapat
meningkatkan proses menjadi lebih baik. Salah satu hal yang dapat membantu atau
merugikan proses konseling adalah tempat dimana konseling itu berlangsung. Biasanya
konseling berlangsung di suatu ruangan.
4. Kualitas klien
5. Kualitas konselor
Secara umum proses konseling memiliki empat tahap. Menurut Brammer, Abrego dan
Shostrom (1993) dalam Lesmana (2006) tahap-tahap dalam proses konseling sebagai
berikut:
19
1. Membangun Hubungan
Tujuan dari membangun hubungan dalam tahap pertama ini adalah agar klien dapat
menjelaskan masalahnya, keprihatinan yang dimilikinya, kesusahan-kesusahannya,
serta alasannya datang pada konselor. Sangat perlu membangun hubungan yang positif,
berlandaskan rasa percaya, keterbukaan dan kejujuran berekspresi.
Dalam tahap ini konselor mendiskusikan dengan klien apa yang mereka ingin dapatkan
dari proses konseling ini, terutama bila pengungkapan klien tentang masalahnya
dilakukan secara samar-samar. Didiskusikan sasaran-sasaran spesifik dan tingkah laku
apa yang ingin diubah. Intinya dalam hal ini konselor melakukakan eksplorasi dan
melakukan ”diagnosis” apa masalah dan hasil seperti apa yang diharapkan dari
konseling.
Dalam tahap ini konselor mencari strategi dan intervensi yang dapat memudahkan
terjadinya perubahan. Sasaran dan strategi terutama ditentukan oleh sifat masalah, gaya
dan pendekatan konseling yang konselor anut, keinginan klien maupun gaya
komunikasinya.
Dalam tahap ini konselor bersama klien mengevaluasi terhadap hasil konseling
yang telah dilakukan. Indikatornya adalah sampai sejauh mana sasaran tercapai, apakah
proses konseling membantu klien atau tidak.
Dalam proses konseling terdapat tiga kondisi yang dapat membantu atau menghambat
proses konseling tergantung bagaimana hal itu dapat dinyatakan dan ditangani.
Menurut Brammer dan Shostrom (1982, 211:248) ketiga kondisi tersebut adalah
pemindahan (transference), pemindahan balik (countertransference), dan penolakan
atau resistensi (resistance).
1. Pemindahan
20
(3)memungkinkan klien memperoleh gambaran perasaan melalui penafsiran
perasaannya.
Secara umum pemindahan balik mengacu pada suatu kejadian dalam konseling
dimana konselor memproyeksikan, menanggapi setara, perasaan-perasaan atau sikap
klien berdasarkan pada pengalaman masa lalu atau hubungan konselor dengan orang
lain (Mappiare, 2006:71).
3. Penolakan (resistance)
Ada beberapa hal yang perlu dihindari oleh konselor berkaitan dengan
pembentukan hubungan dalam proses konseling. Menurut Yeo (2003) ada lima hal
yang perlu dihindari dalam proses konseling, yaitu:
Klien diperlakukan sebagai pasien atau kasus yang memandang mereka adalah
orang yang tidak memiliki kemampuan, menggangap remeh, ”sakit”. Ada satu
perasaan tidak terlibat dan kurang peduli pada mereka.
Konselor akan marah dengan klien jika mereka tidak menyelesaikan tugas-tugas
yang diberikan atau tidak memperlihatkan kerjasama dalam pertemuan konseling.
Konselor menganggap klien adalah orang yang bandel, yang tidak bisa diharapkan,
keras kepala atau orang yang harus dimengerti karena konselor tidak punya pilihan lain
kecuali menangani mereka. Hal ini harus dihindari dan tidak boleh dilakukan karena
ketika konselor tidak sabar dan marah maka klien semakin merasa bertambah beban
dan tentunya akan sangat sulit membentuk hubungan kesejajaran dalam proses
konseling.
21
3. Terus memberi nasehat
Terkadang konselor secara tidak sengaja memberikan nasehat kepada klien karena
menganggap dalam mengambil keputusan klien terlalu berbelit-belit.
Klien dapat memberi reaksi terhadap kita sedemikian rupa dengan menyampaikan
masalah-masalah emosional yang laten atau tidak terpecahkan. Konselor dapat
menjumpai dirinya sendiri merasa sangat sedih karena masalah-masalah yang dialami
kliennya dan akhirnya merasa tertekan.
5. Tidak kreatif
Ada perasaan statis ketika konselor berhadapan dengan berbagai macam kasus.
Konselor tidak dapat membuat pembaharuan dan sebaliknya mempunyai
kecenderungan untuk melakukan hal-hal yang sama. Setiap kali konselor berhadapan
dengan jenis klien yang sama, konselor melakukan hal yang sama untuk kliennya.
Dengan kata lain bersikap pasif, tidak mencoba hal-hal baru dalam memberikan
treatmen pada kliennya. Dalam hal ini hendaknya konselor berusaha untuk selalu
memperbaiki kemampuan dan pengetahuannya dalam rangka memberikan layanan
yang terbaik bagi kliennya.
22
Daftar Pustaka
Mappiare, Andi. 2006. Kamus Konseling dan Psikoterapi. Jakarta: PT. Rajawali
Grafindo Persada.
23
BAB IV
Pada dasarnya klien (konseli) merupakan orang yang perlu memperoleh perhatian
sehubungan dengan masalah yang dihadapinya. Menurut Rogers dalam Latipun (2004)
menyatakan bahwa klien adalah orang yang hadir ke konselor dan kondisinya cemas
atau tidak kongruensi. Dalam konteks konseling, klien adalah subyek yang memiliki
kekuatan, motivasi, memiliki kemauan untuk berubah, dan pelaku bagi perubahan
dirinya. Jadi sekalipun klien itu dalah individu yang memperoleh bantuan, klien
bukanlah obyek atau individu yang pasif, atau yang tidak memiliki kekuatan apa-apa.
Artinya tetap saja klien dilihat sebagai pribadi yang memiliki kekuatan psikis
(psychological strenght), memiliki kekuatan untuk tumbuh dan berkembang lebih baik,
memiliki kemampuan-kemampuan intrapribadi maupun antar pribadi.
24
Harapan klien tergantung pada sikap-sikap terapis, ada juga harapan
yang dapat merugikan konseling adalah harapan klien untuk mendapatkan
terapi medis,termasuk penggunaan obat-obatan.
3. Kebutuhan akan perubahan
Kebutuhan klien akan perubahan dan pemahaman empatik dari pihak
konselor berpengaruh langsung terhadap hasil konseling.
25
individu sejalan dengan taraf pertumbuhan. Penguasaan tugas-tugas perkembangan
suatu periode merupakan dasar bagi penguasaan tugas-tugas perkembangan berikutnya
(Hurlock, 1996).
Pada proses konseling, konselor akan menemui beberapa reaksi yang dimunculkan
oleh klien dalam usahanya mendapatkan bantuan atau anjuran untuk melakukan
konseling. Sejumlah reaksi normal terhadap konseling dapat berwujud kecemasan,
keengganan, sikap mempertahankan diri dan menutup diri. Dalam hal ini konselor
harus siap menghadapi klien yang memperlihatkan sikap-sikap seperti ini. Berikut ini
beberapa uraian reaksi atau sikap klien terhadap konseling:
Klien yang bersikap enggan biasanya adalah klien yang tidak memiliki kerelaan
untuk melakukan konseling (Yeo, 2003:42). Klien datang untuk konseling di bawah
paksaan entah dari keluarga atau dari lembaga-lembaga yang secara resmi mempunyai
kekuatan untuk memaksa (sekolah, perusahaan,dsb). Mereka beranggapan bahwa
dirinya tidak bermasalah dan sejumlah klien memperlihatkan keraguan tentang manfaat
konseling. Dengan keadaan seperti itu, klien biasanya tetap diam, menolak
bekerjasama dengan konselor, datang terlambat atau sama sekali mengabaikan janji
untuk bertemu konselor.
Sikap menutup diri ini merupakan satu cara untuk memperlambat proses konseling.
Menurut Ellis, Anderson & Stewart, Strean, Nichols, Shazer dalam Yeo (2003)
mengemukakan bahwa:
Klien akan menutup diri terhadap konseling karena ia harus menempatkan dirinya
sendiri dalam suatu relasi ketergantungan dengan berbicara tentang dirinya sendiri dan
masalah-masalahnya. Dalam hal ini klien cemas terhadap suatu hubungan
ketergantungan (konseling) karena klien menganggap setiap saat dan setiap waktu
ketika ia menghadapi masalah tergantung dengan konselor.
26
Kadang-kadang klien menutup diri karena ia takut terhadap hal-hal yang tidak
diketahui. Apa yang tersirat dalam konseling adalah tuntutan untuk berubah dan hal ini
dapat menjadi satu gagasan yang menakutkan.
27
Daftar Pustaka
Cavanagh, Michael & Levitov, Justin. 2002. The Counseling Experience, A Theoritical and
Practical Approach. Illionis: Waveland Press Inc.
28
BAB V
Berkaitan dengan karakteristik yang harus dimiliki oleh seorang yang terlibat dalam
hubungan membantu (helping relationship) maka seorang ahli konseling dan psikoterapis
yaitu Rogers mengemukakan ada tiga karakteristik (konselor) yaitu congruence,
Unconditional postive regard dan empathy (Lesmana, 2006).
Menurut Surya (2003) ada beberapa karakteristik kualitas kepribadian konselor, tentunya
kepribadian ini yang terkait dan mendukung kefektifan dalam konseling. Karakteristik itu
adalah :
Pengetahuan diri sendiri mempunyai makna bahwa konselor memahami dengan baik
baik dirinya, apa yang dilakukannya, masalah yang dihadapinya, dan masalah klien yang
terkait dengan konseling.
2. Kompetensi
Hal ini dmaknai bahwa seorang konselor memiliki kesehatan psikis yang lebih
daripada kliennya. Kesehatan psikologis yang baik seorang konselor akan mendasari
pemahaman perilaku dan keterampilan dan pada gilirannya akan mengembangkan satu
daya positif dalam konseling
4. Dapat dipercaya
Hal ini bermakna bahwa konselor bukan sebagai satu ancaman bagi klien dalam
konseling, namun sebagi pihak yang memberikan rasa aman. Dapat dipercaya dapat
diwujudkan dalam (a) menepati janji dalam setiap perjanjian konseling, (b) dapat
menjamin kerahasiaan klien, (c) bertanggung jawab terhadap semua ucapannya dalam
konseling.
5. Kejujuran
Kejujuran mempunyai makna bahwa konselor harus terbuka, otentik, dan sejati dalam
penampilannya. Hal ini sangat penting mengingat bahwa keterbukaan memudahkan
29
konselor berinteraksi dalam suasana keakraban psikologis, dan konselor dapat menjadi
model bagaiman menjadi mansuia jujur dengan cara-cara yang konstruktif.
7. Kehangatan
Kehangatan mempunyai makna sebagai satu kondisi yang mampu menjadi pihak yang
ramah, peduli, dan dapat menghibur orang lain. Kehangtan diperlukan dalm konseling
karena dapat mencairkan kebekuan suasana, mengundang untuk bebragi pengalaman
emosional dan memungkinkan klien hangat dengan dirinya sendiri.
Menjadi pendengar yang aktif bagi konselor sangatlah penting karena dapat
menunjukkan komunikasi dengan penuh kepedulian, merangsang dan memberanikan klien
untuk bereaksi spontan terhadap konselor, dan klien membutuhkan gagasan baru.
9. Kesabaran
10. Kepekaan
Kepekaan mempunyai makna bahwa konselor sadar akan kehalusan dinamika yang
timbul dalam diri klien dan konselor sendiri. Kepekaan diri konselor sangat penting dalam
konseling karena hal tersebut akan memberikan rasa aman bagi klien dan akan lebih
percaya dirimanakala berkonsultasi dengan konselor yang memiliki kepekaan.
11. Kebebasan
Hal ini mempunyai makna bahwa konselor menyadari keseluruhan pribadi maupun
tampilan klien dan tidak memandang klien dari satu aspek tertentu saja. Dengan demikian
konselor mampu memahami klien dari berbagai dimensi (dimensi pikiran, perasaan atau
tindakannya).
30
B. Sikap Dasar Konselor
Sikap dasar merupakan suatu kondisi fasilitatif pada diri konselor yang dapat
membantu terjadinya perubahan pada diri klien. Beberapa sikap dasar konselor adalah
sebagai berikut:
1. Penerimaan.
2. Pemahaman
Untuk menjadi seorang konselor yang efektif, maka diperlukan keterampilan yang
mendukung kinerja konselor tersebut. Menurut Mappiare (2002) ada beberapa
keterampilan dasar yang dimiliki oleh konselor, yaitu:
1. Kompetensi Intelektual
31
Konselor sendiri agar dapat membantu kliennya maka ia harus memiliki pengetahuan
tentang ilmu perilaku, mengetahui filsafat, mengetahui lingkungannya. Selain itu konselor
dituntut untuk memiliki kemampuan berpikir runtun-rapi, dan logis. Hal ini penting
konselor dapat membantu siswa secara berpikir objektif, mempertimbangkan alternatif dan
dapat menafsirkan hasil-hasil konseling.
3. Pengembangan Keakraban
Istilah pengembangan dalam ini mengacu pada pembinaan hubungan yang harmonis
antara klien dan konselor atau lebih dikenal dengan istilah ”rapport”. Keakraban mengacu
pada suasana hubungan konseling yang bercirikan suasana santai, keselarasan, kehangatan,
kewajaran, saling memudahkan dalam percakapan, saling menerima antara klien dan
konselor. Dalam hal ini ada kesediaan konselor untuk mendengarkan dengan penuh
perhatian, terbuka dan penerimaan segala apa yang mungkin akan diucapkan oleh klien
yang baru datang. Dengan kata lain bahwa mendengarkan dengan penuh perhatian,
penerimaan dan pemahaman, serta sikap sejati dan terbuka, yang berhasil dipancarkan
konselor dan dapat dipersepsi dengan baik adalah salah satu parasyarat dalam
pengembangan keakraban.
32
Daftar Pustaka
Brammer, L.M. 1985. The Helping Relationship;Process and Skills: 3ed. New Jersey:
Prentice Hall Inc.
Egan, Gerard. 1986. The Skilled Helper: A Systematic Approach to Effective Helping.
Brooks/Cole Publishin.
Mappiare, Andi. 2002. Pengantar Konseling dan Psikloterapi. Jakarta: PT. Rajawali
Grafindo Persada.
Patterson, C.H. 1986. Theories of Counseling and Psychotherapy. New York: Harper
and Row Publisher.
33
BAB VI
Hambatan adalah usaha yang ada dan berasal dari dalam diri sendiri yang
memiliki sifat atau memiliki tujuan untuk melemahkan dan menghalangi secara
tidak konsepsional. Jadi dalam proses konseling tidak semua prosesnya akan
berjalan mulus atau baik-baik saja , tentunya akan mengalami beberapa
hambatan-hambatan yang dapat menghalangi atau menghambat proses konseling
tersebut. Sehingga sebagai seorang konselor atau guru bk tentunya harus mampu
menghadapi beberapa hambatan tersebut agar proses konseling dapat berjalan
dengan lancar dan memperoleh hasil atau tujuan yang hendak dicapai.
Keterbatasan-keterbatasan Konselor
Seringkali kita mendapai bahwa tidak semua orang yang masuk dalam profesi
membantu (konseling) memiliki hambatan karena tidak dilengkapi dengan
pengetahuan dan keterampilan konseling yang mencukupi. Konselor seringkali
dihadapkan pada banyak teori tanpa mendapatkan keterampilanketerampilan
khusus agar dapat bekerja utuh.
Usia dan pengalaman merupakan salah satu hal yang mungkin saja bisa jadi
masalah atau hambatan dalam proses konseling. Klien melihat bahwa usia dan
pengalaman konselor mempengaruhi klien untuk lebih mantap dalam
mengambil keputusan. Hal ini dikarenakan konselor yang memiliki usia dan
pengalaman yang mencukupi dilihat sebagai orang yang bijak. Klien mungkin
merasakan perbedaan usia yang terlalu besar dan memilih seseorang (konselor)
yang kira-kira seusianya dengannya. Bagi konselor pemula, mereka sering
34
menghadapi masalah karena kurang pengalaman. Dalam hal ini sebaiknya para
konselor pemula tidak perlu merasakan kekhawatiran yang berlebihan karena
ia dapat meminta bantuan dari konselor senior atau supervisornya dan
melakukan diskusi dengan sejawat (Surya, 2003:68)
Dengan adanya keragaman ras, budaya, dan bahasa, maka konselor juga
menghadapi kendala dalam praktiknya. Kebudayaan, bahasa, agama seringkali
membuat ”gerakan” konselor terbatas. Hal ini menjadi masalah karena
konselor belum sepenuhnya memahami budaya, bahasa atau agama klien. Pada
kenyataannya setiap klien memiliki budaya, bahasa dan agama yang
berbeda-beda, dan perbedaan itulah yang harus konselor pahami.
a. Kebosanan
35
halnya tingkah laku lain yang terus berulang, konseling dapat
membosankan. Beberapa hal yang dapat timbul karena kebosanan
adalah:
b. Hostilitas
Konselor yang distan secara emosional tidak dapat ”masuk” ke dalam diri
klien. Ia tidak dapat menyatukan dirinya dengan pikiran, perasaan dan
persepsi klien sehingga bisa benar-benar berempati.
d. Kelekatan Emosional
36
dibutuhkan (Lesmana, 2006). Beberapa kemungkinan perilaku konselor
yang lekat emosional adalah:
2. Memperpanjang sesi
3. Iri terhadap hubungan dekat klien dengan orang lain dan secara halus
meremehkan atau tidak mendorong hubungan ini
Bila telah terjadi kelekatan emosional antar konselor dengan klien maka
terdapat beberapa prinsip-prinsip hubungan konseling yang terabaikan yaitu:
37
a. Membuka Diri
Namun meskipun demikian, tidak wajar dan juga tidak perlu bahwa konselor
terlalu membuka kehidupan pribadinya, masalah-masalahnya, pengalaman
masa lampau atau keluarganya. Dengan arti ini, konseling tidak lagi menjadi
relasi sejajar. Hal ini dikarenakan relasi konseling bukan masalah
”bukabukaan” antara konselor-klien, tetapi lebih dimaksdukan untuk
menolong klien menghadapi masalah-masalahnya.
38
rekan-rekan sejawat atau konselor yang lebih senior. Konselor perlu
mengambil sikap tegas dan tidak kompromi dengan situasisituasi semacam ini.
Konselor mencoba untuk memahami bahwa klien sedang cemas dan tidak
pasti. Kemungkinan sikap ”menantang” klien akan muncul. Terkadang klien
mengatakan sesuatu yang mungkin konselor merasakan bahwa itu
merendahkan diri konselor. Misalnya dengan mengatakan ” bagaimana saya
tahu apakah Anda (konselor) mampu menolong saya ?”.
39
Jika klien ragu-ragu terhadap konseling, baik apabila memberikan
kesempatan untuk mencoba. Konselor dapat mengatakan pada klien bahwa
wajar apabila mereka ragu-ragu dan mungkin menganggap hasil konseling
tidak sesuai dengan keinginan mereka. Namun tidak ada salahnya bila
konselor memahamkan klien untuk mencoba hasil dari konseling. Hal ini
penting karena mengingat konseling merupakan suatu proses yang
membutuhkan tahap tertentu dalam penyelesaian suatu masalah, dan tentunya
dalam proses konseling telah,dibicarakan kelemahan kelebihan dari
masing-masing alternatif pemecahan masalah.
40
DAFTAR PUSTAKA
Mappiare, Andi. 2006. Kamus Konseling dan Psikoterapi. Jakarta: PT. Rajawali
Grafindo Persada.
41
BAB VII
a. Latar Belakang
Periode pertama tahun 1940-an awalnya bernama non directive counseling yang
menekankan pada penciptaan iklim permisif (membebaskan), memusatkan pada
teknik penerimaan dan klarifikasi guna membantu konseli memahami diri sendiri
dan situasi kehidupannya.
Periode kedua tahun 1950-an berganti nama dengan client centered therapy.
Paradigma client centered ini diaplikasikan dalam bidang pendidikan (student
centered learning) di mana kondisi konseling diperlukan bagi perubahan klien.
Sekitar tahun 1980-an dan 1990-an merupakan pengembangan pendekatan ini
secara meluas dalam bidang pendidikan, industry, kelompok, resolusi konflik, dan
pencarian perdamaian dunia.
b. Hakikat Manusia
42
2) Berkembang ke arah yang lebih baik (aktualisasi diri)
Sejak awal, Rogers menekankan pada cara kepribadian itu berubah dan
berkembang, bukan pada aspek pribadian. Namun, jika ditinjau dari hakikat
pribadi manusia, Rogers mengajukan tiga konstruk pokok dalam teorinya,
yaitu:
43
1) Inkongruensi
2) Sikap defensif
3) Disorganisasi
44
3.) Prosedur konseling
45
6.) Membantu konseli menerima keadaan dirinya apa adanya
sebagaimana yang dia persepsikan tanpa rasa takut, penolakan atau
pengabaian
46
4.) Dengan terapis hanya menunjukkan dukungan, mendengarkan,
peduli, dan penerimaan yang hangat saja tidak cukup untuk
berubah.
5.) Tidak relevan digunakan bagi konseli yang tidak memiliki motivasi
untuk berubah.
6.) Tidak bisa digunakan bagi konseli yang memiliki kasus patologis /
berat, untuk orang – orang normal saja.
a) Latar belakang
b) Hakikat manusia
47
7.) Manusia dipengaruhi oleh aspek kognitifnya
Menurut teori ini tingkah laku manusia merupakan fungsi dari stimulus.
Dalam pembentukan tingkah laku yang normal dapat terjadi dalam
perilaku rajin belajar misalnya, yang terbentuk karena adanya asosiasi.
e) Tujuan konseling
f) Prosedur konseling
48
Prosedur konseling behavior:
g) Teknik konseling
Teknik konseling behavior terdiri dari dua macam, yaitu: (1) teknik
untuk meningkatkan tingkah laku seperti penguatan positif, token economy,
pembentukan tingkah laku (shaping), pembuatan kontrak (contingency
contracting); dan (2) teknik untuk menurunkan tingkah laku seperti
penghapusan (extinction), time-out, pembanjiran (flooding), penjenuhan
(satiation), hukuman (punishment), terapi aversi (aversive therapy), dan
desensitisasi sistematis.
49
1. Mengidentifikasi masalah dengan analisis ABC.
50
reinforcement secara sistematik dan langsung setiap kali
tingkah laku ditampilkan.
e. Modeling
a. Penghapusan (extinction)
b. Time out
c. Pembanjiran (flooding)
d. Penjenuhan (satiation)
51
Penjenuhan (satiation) adalah cara untuk mengubah
perilaku individu dengan membuat konseli jenuh terhadap
suatu tingkah laku, sehingga tidak bersedia melakukannya lagi.
e. Hukuman (punishment)
f. Terapi aversi
g. Desensitisasi sistematis
52
3.) Penekanan bahwa konseling hendaknya memusatkan pada
perilaku sekarang dan bukan pada perilaku yang terjadi
dimasa datang.
a. Latar Belakang
Pendekatan ini dikembangkan Albert Ellis tahun 1955 dengan nama rational
therapy karena ketidakpuasan Ellis terhadap efektivitas psikoanalisis. Pada tahun
1961, Ellis mengubah nama pendekatannya menjadi Rational Emotive Therapy (RET)
dan tahun 1993 mengubah nama RET menjadi Rational Emotive Behavior Therapy
(REBT).
53
Konseling Rational Emotive Behavior (REB) lebih difokuskan pada kerja
berpikir (thinking) dan bertindak (acting) ketimbang pada ekspresi perasaan –
perasaan.
b. Hakikat Manusia
Manusia pada dasarnya adalah unik dan memiliki kecenderungan untuk berpikir
rasional dan irasional. Ketika berpikir dan bertingkah laku rasional manusia akan
efektif, bahagia, dan kompeten. Sebaliknya, ketika berpikir dan bertingkah laku
irasional, individu akan menjadi tidak efektif.
e. Tujuan Konseling
f. Prosedur konseling
54
1. Pembinaan hubungan konseling
g. Teknik konseling
1) Teknik kognitif
2) Teknik emotif
3) Teknik behavior
Keunggulan :
1) Pendekatan ini tidak dapat digunakan secara efektif pada individu yang
mempunyai gangguan atau keterbatasan mental, seperti schizophrenia,
dan mereka yang mempunyai kelainan pemikiran yang berat.
Keterbatasan:
55
2) Pendekatan ini dapat dikombinasikan dengan teknik tingkah laku lainnya
untuk membantu klien mengalami apa yang mereka pelajari lebih jauh
lagi.
a. Latar Belakang
Konseling singkat berfokus solusi (SFBC), dipelopori oleh Insoo Kim Berg
dan Steve DeShazer. SFBC merupakan salah satu pendekatan konseling
post-modern dengan mengedepankan keberdayaan konseli untuk mencari jalan
keluar atau solusi sehingga konseli akan memilih sendiri tujuan yang hendak ia
capai (Corey, 2013; Capuzzi dan Gross, 2011).
b. Hakikat Manusia
Manusia adalah makhluk yang sehat dan kompeten. SFBC merupakan model
konseling yang nonpatologis yang menekankan pentingnya kompetensi manusia
darpada kekurangmampuan, dan kekuatan daripada kelemahannya.
56
d.Asumsi Tingkah Laku Bermasalah
Secara teoritis SFBC memandang masalah konseli bisa dilihat bahwa individu
menjadi bermasalah karena ketidakmampuannya untuk mencari dan
mengefektifkan dalam melakukan pemecahan yang telah dilakukannya. Dengan
kata lain, SFBC tidak ada memberikan konsep khusus tentang masalah yang
dialami oleh konseli dan sejatinya konselor tidak bisa memahami secara pasti
tentang penyebab masalah individu.
e.Tujuan Konseling
f. Prosedur konseling
g. Teknik konseling
Beberapa teknik dari SFBC (Corey, 2013; Capuzzi dan Gross, 2011) adalah:
57
h. Keunggulan dan keterbatasan
Keunggulan:
Keterbatasan:
5) Dalam proses konseling akan terjadi hambatan ketika konseli sulit untuk
diajak berimajinasi.
6) Tidak ada seperangkat “resep pemecahan masalah” atau solusi secara tepat
yang harus diikuti semuanya tergantung subjektivitas konseli.
58
Keterampilan dasar konseling
A. Keterampilan Antarpribadi
Dengan kata lain dalam keterampilan antarpribadi ini dan berdasar pada
faktor-faktor yang mempengaruhinya, maka konselor seharusnya untuk sadar akan
budaya dan nilai-nilai yang dimiliki oleh setiap individu (klien) maupun yang ia miliki
sendiri serta mampu meningkatkan gaya atau pendekat konselingnya secara tepat.
59
Keterampilan-keterampilan antarpribadi dasar secara umum dapat dikelompokkan
dalam tiga jenis keterampilan, yakni:
1. Keterampilan Verbal
Keterampilan ini mengacu pada isi verbal dari proses konseling. Konselor
menggunakan keterampilan ini memberi ini untuk memberi perhatian pada klien yang
pada gilirannya akan memperlancar jalannya percakapan. Penggunaan keterampilan ini
membantu klien merasa cukup nyaman untuk memberi informasi pada konselor
sehingga konselor dapat menelaah pokok permasalahan. Ketrampilan verbal mencakup
tanggapan-tanggapan verbal, kualitas vokal yang memadai, dan alur verbal.
a. Paraphrase (parafrase)
d. Summarization (Peringkasan)
60
mengumpulkan kembali unsur-unsur umum dan rincian-rinciannya. Peringkasan
juga memberi konselor satu kesempatan untuk mengetahui pemikirannya itu tepat
atau tidak, dan hal ini memberikan jeda untuk wawancara (Ivey, 1987)
e. Clarification (Penajaman/Memperjelas)
61
memwarnai corak konseling sebagai suplemen, komplemen, dan substitusi komunikai
verbal (Surya, 2003:121). Keterampilan ini mengacu pada perilaku non-verbal
konselor yang dapt menyebabkan kemajuan dalam proses konseling dan
memperlihatkan pendampingan pada klien. Penampilan dan sikap tubuh konselor
memperlihatkan besarnya perhatian dan keprihatian konselor yang sulit diungkapkan
dengan kata-kata (Yeo, 2003).
Menurut Egan (1986), diantara sikap non verbal konselor yang dapat
meningkatkan hubungan konseling diantaranya adalah (1). Menghadapi klien secara
sejajar (facing the person squarely), (2) Memperlihatkan sikap tubuh terbuka (adopting
an open posture), (3) Posisi tubuh kedepan (learning forward), (4) Mempertahankan
kontak mata (maintaining eye contact), (5) Bersikap rileks (being relaxed)
Selain itu menurut Hutahuruk (1983) beberapa sikap atau keterampilan non
verbal konselor sebagai berikut:
a. Posisi badan (termasuk gerak isyarat dan eksprsi muka) diantara posisi badan yang
baik dalam attending mencakup
2. Tangan diatas pangkuan atau berpegang bebas atau kadang-kadang digunakan untuk
menunjukkan gerak isyarat yang sedang dikomunikasikan secara verbal
4. Badan tegak lurus tanpa kaku dan sesekali condong kearah klien untuk
menunjjukkan kebersamaan dengan klien.
62
e. Sama sekali tanpa gerak isyarat pada tangan
h. Terlalu banyak senyum, kerutan dahi atau anggukan kepala yang tidak berarti
b. Kontak mata
1. Kontak mata yang baik berlangsung dengan melihat klien pada waktu dia
berbicara kepada konselor dan sebaliknya. Kontak mata harus dipertahankan
atau dipelihara dengan menggunakan pandangan spontan yang
mengekspresikan minat dan keinginan mendengarkan serta merespon klien.
c. Mendengarkan
63
Konselor dalam hal ini dituntut untuk sungguh-sungguh sadar akan apa yang
sedang klien katakan khususnya melalui gerakan-gerakan tubuh mereka, raut wajah,
kualitas vokal, dan ketidaksesuaian antara bahasa non verbal dengan
ungkapan-unkapan verbal mereka. Perilaku non verbal klien harus secara cermat
diamati ketika ia sedang menyampaikan satu informasi penting tentang dirinya dan
situasinya. Ivey (2003:95) mengemukakan bahwa keterampilan mengamati klien ini
akan membantu konselor untuk merespon dan mengetahui apa dan bagaimana bahasa
verbal dan non verbal klien. Selain itu juga mengamati perbedaan-perbedaan
multibudaya yang berkaitan dengan ungkapan-ungkapn verbal dan nonverbal klien.
B. Keterampilan Intervensi
Ada beragam strategi dan cara yang diusulkan oleh berbagai aliran atau
pendekatan konseling. Pendekatan ini dapat membentang dari pendekatan
psikodinamis (psikoanalisis, Adlerian) sampai pendekatan eksistensial, pendekatan
Rogerian yang terpusat pada klien sampai terapi rasional emotif behavior, realitas dan
analisis transaksional. Dalam hal ini konselor sebaiknya menguasai satu pendekatan
dasar dan kemudia berusaha memadukan
cara-cara yang bermanfaat dari berbagai pendekatan lainnya demi penanganan efektif
terhadap masalah-masalah klien.
C. Keterampilan Integrasi
64
Teknik – Teknik Khusus Konseling
1. Latihan Asertif
2.Desentisitasi Sistematis
3.Pengkondisian Aversi
Teknik ini dapat digunakan untuk membentuk perilaku baru pada konseli dan
memperkuat perilaku yang sudah terbentuk.
5.Permainan Dialog
6.Bermain Proyeksi
Dalam teknik ini konselor meminta konseli untuk mencoba atau melakukan
hal – hal yang diproyeksikan orang lain.
65
8.Imitasi
Teknik untuk menirukan secara terus menerus suatu model perilaku tertentu
dengan maksud menghadap dan menghilangkan perilakunya sendiri yang bersifat
negative.
9.Bermain Peran
66
DAFTAR PUSTAKA
P2LPTK
Ivey, A.E. dan Ivey, M.B. 2003. Intentional Interviewing and Counseling:
Ivey, Allen E, Ivey, M.B, Downing, L.S. 1987. Counseling and Psychoterapy;
Integrating Skills, Theory, and Practice: Second Edition. New Jersey: Prentice
Hall inc.
Leod. J.M. Pengantar Konseling: Teori dan Studi Kasus. Terjemahan oleh A.K Anwar.
2006. Jakarta: Kencana Prenada Media Group
USA: Brooks/Cole.
67
Yeo, Antony. 2003. Konseling: Suatu Pendekatan Pemecahan Masalah.
Terjemahan A. Wuisan. Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia
68
BAB VIII
Menurut Gladding, 2009 Penelitian adalah suatu cara ilmiah untuk menjawab
pertanyaan atau masalah dengan cara mengumpulkan data dan fakta secara sistematis,
terorganisasi serta menginterpreasikannya sesuai dengan jenis maupun bentuk datanya.
Sedangkan menurut Creswell, 2015 penelitian adalah Sebuah proses dari beberapa
tahapan untuk mengumpulkan dan menganalisis guna meningkatkan atau memperkaya
pemahaman diri atas sebuah topik atau masalah.
Secara umum jenis penelitian dibagi menjadi tiga jenis metode penelitian, yaitu
kuantitatif, kualitatif, dan gabungan. Metode atau pendekatan kuantitatif adalah
pendekatan yang mengkuantifikasi temuan-temuan kedalam angka-angka dan
analisis datanya menggunakan statistik sebagai alat.Metode penelitian kualitatif
adalah pendekatan yang temuan-temuan penelitiannya tidak diperoleh melalui
prosedur statistik atau bentuk perhitungan lainnya, prosedur ini menghasilkan
temuan-temuan yang diperoleh dari data-data yang dikumpulkan dengan
menggunakan beragam sarana. Menurut Emzir, pendekatan Mixed Methods
merupakan salah satu pendekatan yang cenderung didasarkan pada paradigma
pengetahuan pragmatik (seperti oerientasi konsekuensi, orientasi masalah, dan
pluralistik). Pendekatan ini menggunakan strategi penelitian yang melibatkan
pengumpulan data baik secara simultan maupun secara sequensial untuk memahami
masalah penelitian sebaik-baiknya. Pendekatan Mixed Methods disebut juga sebagai
Penelitian gabungan. Berorientasi pada tindakan dengan menggunakan baik metode
kuantitatif maupun metode kualitatif dalam proses pelaksanaan suatu penelitian yang
sama.
69
Secara umum, penelitian berlangsung melalui tahap Identifikasi masalah penelitian,
melakukan tinjauan bahan literatur, menentukan tujuan penelitian, mengumpulkan data,
menganalisis dan menafsirkan data, melaporkan dan menilai penelitian (Creswell,
2008).
70
Hasil Penelitian Mengenai Efikasi, Efektivitas dan Faktor-faktor Umum Dalam
Perubahan Terapeutik
Efikasi mengacu pada sejauh mana efek dari proses konseling atau psikoterapi
bekerja dalam seting “laboratorium”. Studi efikasi menampilkan kelompok-kelompok
konseli yang ditetapkan dengan baik atau memenuhi kriteria tertentu
Faktor-faktor yang berkontribusi dalam proses dan pengalaman konseling ada tiga
(Dykes,Kopp &Postings, 2014) yaitu: Karakteristik Konseli, Karakteristik Konselor
dan Konteks Konseling
71
DAFTAR PUSTAKA
Mappiare, Andi. 2006. Kamus Konseling dan Psikoterapi. Jakarta: PT. Rajawali
Grafindo Persada.
72
BAB IX
Pada hakikatnya praktik konseling mencakup dimensi moral dan etika yang kuat.
Faktor nilai, keyakinan dan etik adalah masalah yang krusial dalam proses konseling.
Hal ini wajar karena nilai-nilai, keyakinan dan etika merupakan hal yang kompleks
serta menyangkut pribadi individu itu sendiri. Selain itu konseling lebih bersifat sarat
terhadap nilai-nilai, keyakinan maupun etika didalamnya daripada bersifat bebas nilai
(value free). Dengan demikian konselor perlu memahami implikasi-implikasi dari
sistem nilai, keyakinan serta standar kerja dan tingkah laku (etik) konselor dalam
menjalankan tugas profesionalnya. Dalam bab ini akan dibahas mengenai makna nilai,
keyakinan dan etik pada proses konseling. Selain itu bahasan akan mengarah pada
beberapa isu etika dalam proses konseling.
Kode etik itu secara umum berisi sejumlah pasal-pasal yang berkenaan dengan
bagaimana suatu anggota dari profesi tertentu bertindak. Terdapat beberapa hal yang
boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan oleh setiap anggota profesi tersebut.
Moral, diambil dari bahasa Latin mos (jamak, mores) yang berarti
kebiasaan, adat. Sementara moralitas secara lughowi juga berasal dari
kata mos bahasa Latin (jamak, mores) yang berarti kebiasaan, adat
istiadat. Kata ’bermoral’ mengacu pada bagaimana suatu
masyarakat yang berbudaya berperilaku. Dan kata moralitas juga
merupakan kata sifat latin moralis,mempunyai arti sama dengan moral hanya
ada nada lebih abstrak. Kata moral dan moralitas memiliki arti yang sama,
maka dalam pengertiannya lebih ditekankan pada penggunaan
moralitas, karena sifatnya yang abstrak.
Etika merupakan standar tingkah laku seseorang, atau sekelompok orang yang
didasarkan atas nilai-nilai yang disepakati. Setiap kelompok profesi (termasuk konselor)
73
pada dasarnya merumuskan standar tingkah lakunya yang dijadikan sebagai pedoman
dalam menjalankan tugas dan kewajiban profesional.
Setiap klien yang mempercayakan semua masalah yang ia hadapi kepada konselor
pasti ingin mengetahui sejauh mana perlindungan yang akan diperolehnya dengan
mempercayakan masalahnya tersebut. Dengan menceritakan masalahnya kepada orang
lain (konselor), ia ada dalam posisi yang “tidak aman” dari segala penyalah gunaan dan
manipulasi.
Lihatlah kode etik yang relevan dengan permasalahan untuk dipakai sebagai
penuntun umum. Perimbangkan pakah nilai-nilai dan etika yang dianut adalah sejalan
atau berkonflik dengan penuntun tersebut.
Pahamilah hukum dan aturan yang berlaku. Penting untuk menentukan apakah
ada hukum atau aturan yang terkait dengan dilemma etik ini.
Carilah konsultasi dari lebih dari satu sumber untuk mendapatkan berbagai
perspektif tentang dilema tersebut. Lakukanlah konsultasi dengan ahli atau para
74
professional yang paham tentang isu yang tercakup dalam situasi yang dipertanyakan
tersebut.
Jelaskan (tetap sertakan klien) konsekuensi dari berbagai macam tindakan, dan
refleksikan implikasi dari setiap tindakan untuk klien anda.
Tentukan apa langkah yang kemungkinannya paling baik. Sekali tindakan telah
diimplementasikan, tindak lanjutilah untuk menilai hasilnya dan menentukan apakah
diperlukan tindakan selanjutnya.
Konfidensialitas berbeda dengan privasi yaitu sesuatu yang bersifat pribadi dan
tidak perlu diketahui atau dikemukakan kepad pihak lain. Dengan kata lain privasi itu
berhubungan dengan hak individu untuk kehidupannya sendiri tanpa ada campur
tangan dari pihak lain. Sementara konfidensialitas berhubungan dengan pengendalian
informasi yang diterima sesorang. Sebuah informasi dikatakan konfidensial jika
dianggap tidak perlu dan seharusnya tidak disampaikan ke pihak lain atau publik
(Latipun, 2004: 214).
Menurut Baruth dan Robinson III (1987) penyampaian informasi tanpa izin klien
dianggap pelanggaran privasi klien, karena apa yang disampaikan klien kepada
75
konselor dianggap sebagai privileged communication (Lesmana, 2006:200). Privileged
communication adalah komunikasi yang memberi suatu hak legal kepada klien dan
melindungi klien dari kemungkinan penyampaian secara publik informasi-informasi
yang telah diberikan klien tanpa ijinnya.
a. Ketika klien merupakan bahaya bagi orang lain atau bagi dirinya sendiri.
b. Bila terapis percaya bahwa klien dibawah usia 16 adalah korban dari incest,
perkosaan, penganiayaan anak, atau kejahatan lainnya.
(pengobatan)
e. Bila klien meminta catatannya diserahkan kepada dirinya sendiri atau kepada
orang ketiga lainnya.
76
Menurut Leod (2006: 456) ketakutan utama yang mendasari penggunaan sentuhan
adalah sentuhan akan mengarah kepada pemuasan seksual dipihak klien, konselor
(terapis) atau keduanya. Masalah etika lainnya adalah klien dapat merasa teraniaya, dan
disentuh berarti berlawanan dengan keinginan sebenarnya. Selain itu ada larangan dari
agama atau budaya untuk disentuh oleh orang asing atau jenis kelamin yang berbeda.
Bagi konselor masalah lain muncul dari kekhawatiran akan dituntut klien dengan
tuduhan terlalu mengintimidasi atau eksploitatif. Walaupun demikian, jelas semua ittu
bergantung kepada integritas terapis, dan seberapa jauh eksplorasinya terhadap makna
sentuhan bagi mereka secara pribadi.
Berkaitan dengan hal ini Hunter dan Struve (1998) dalam Leod (2006) membuat
beberapa rekomendasi tentang penggunaan sentuhan dalam konseling. Sentuhan adalah
tepat secara klinis ketika:
e. batasan yang mengatur penggunaan sentuhan jelas dipahami oleh klien dan
terapis (konselor)
j. batasan yang mengatur penggunaan sentuhan jelas dipahami oleh klien dan
terapis.
77
a. fokus dari terapi tersebut melibatkan kandungan seksual yang berkaitan dengan
sentuhan
78
Daftar Pustaka
Cavanagh, Michael & Levitoc, Justin. 2002. The Counseling Experience, A Theoritical
and Practical Approach. Illionis: Waveland Press Inc
Mappiare, Andi. 2006. Kamus Konseling dan Psikoterapi. Jakarta: PT. Rajawali
Grafindo Persada.
79