Anda di halaman 1dari 81

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan rahmat,
inayah, taufik dan hidayahNya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan
outline ini dalam bentuk maupun isinya yang baik. Semoga outline ini dapat
dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca
dalam memahami mata kuliah Psikologi Konseling. Harapan kami semoga outline ini
membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, khususnya
mahasiswa. Kami juga sangat terbuka dengan kritik dan saran para pembaca, sehingga
kami dapat memperbaiki bentuk maupun isi outline ini sehingga kedepannya dapat
lebih baik.

Outline ini kami akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang kami
miliki sangat kurang. Oleh kerena itu, kami harapkan kepada para pembaca untuk
memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan
ouline ini.

Semarang, 30 November 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL .......................................... Error! Bookmark not defined.

KATA PENGANTAR ............................................................................................ ii

DAFTAR ISI.......................................................................................................... iii

PEMBAHASAN

1.1 Konsep Dasar Psikologi Konseling ................................................................ 1

1.2 Masalah individu berkaitan dengan hakikat manusia ...................................6

1.3 Konsep hubungan dalam konseling .............................................................. 14

1.4 Dimensi pemahaman terhadap pribadi klien ................................................ 21

1.5 Dimensi pemahaman terhadap konselor yang efektif ..................................25

1.6. Hambatan atau kesulitan dalam proses konseling .......................................28

1.7 Pendekatan dan Keterampilan dasar Konseling............................................35

1.8 Penilaian dan Penelitian dalam Konseling. .................................................. 58

1.9 Nilai,etika seta keyakinan dalam konseling ................................................. 62

iii
BAB I

Konsep Dasar Psikologi Konseling

A. Hakekat Psikologi Konseling

Psikologi konseling terdiri dari dua kata, yaitu psikologi dan konseling. Menurut
asal katanya, psikologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu psyche dan logos. Psyche
berarti jiwa,sukma, dan roh. Sedangkan logos berarti ilmu pengetahuan atau studi.
Jadi, psikologi adalah ilmu tentang jiwa.

Pengertian konseling secara etimologi berasal dari bahsa Latin, yaitu consilium
(dengan atau bersama) yang dirangkai dengan menerima atau memabami. Konseling
biasanya dikenal dengan penyuluhan yang secara awam dimaknakan sebagai
pemberian penerangan, informasi, atau nasihat kepada pihak lain. Ada yang
mendefinisikan bahwa konseling adalah interaksi yang terjadi antara dua orang
individu, masing-masing disebut konselor dan klien.

Pada hakekatnya psikologi konseling menunjuk pada studi ilmiah mengenai


aspek-aspek psikis yang terlibat dalam proses konseling, yaitu aspek psikis pada
konselor, klien dan pada interaksi antara konselor dengan klien (Mappiare, 2006).
Berkaitan dengan hal ini Nelson, 1982 (dalam Surya, 2003), mengemukakan ada empat
alasan bahwa konseling merupakan proses psikologis yaitu:

1. Dilihat dari tujuannya, rumusan tujuan konseling itu adalah berupa pernyataan yang
mengambarkan segi-segi psikologis (perilaku) dalam diri klien.

2. Dilihat dari prosesnya, seluruh proses konseling merupakan proses kegiatan yang
bersifat psikologis.

3. Dilihat dari teori atau konsep, konseling dari teori-teori atau konsep-konsep
psikologis.

4. Dilihat dari riset, hampir semua penelitian dalam bidang konseling mempunyai
singgungan dengan penelitian dalam bidang psikologi.

1
Dengan beberapa rumusan maka dapat disimpulkan bahwa konseling merupakan
suatu proses bantuan secara profesional antara konselor dan klien yang bertujuan
membantu individu (klien) dalam memecahkan masalahnya agar individu dapat
menyesuaikan diri dengan lingkungannya sesuai potensi atau kemampuan yang ada
pada dirinya. Cavanagh dan Levitov (2002) menyimpukan bahwa dari 36 definisi
konseling, konseling memiliki 4 komponen utama, yakni hubungan, masalah, tujuan,
dan treatment.

1. Hubungan

Hubungan yang dimaksud adalah hubungan antar konselor dengan konseli,


pentingnya hubungan dalam konseling telah lama digali oleh para ahli psikologi seperti
Freud, Sullivan, dan Rogers. Dalam hubungan konseling, konselor mengembangkan
berbagai sikap seperti empati, hangat, terbuka, unconditional positive regard, sehingga
hubungan yang dibuat antara konselor dan konseli dapat menjadi sebuah instrumen
yang dapat membantu konseli, oleh karena itu hubungan dalam konseling disebut
sebagai helping relationship atau hubungan yang membantu.

2. Masalah

Masalah merupakan komponen penting dalam konseling, berbagai teknik


konseling yang dikemukakan oleh para ahli pada dasarnya bertujuan untuk
mendefinisikan, mengidentifikasi, dan menyelesaikan masalah yang dialami oleh
konseli.

Perbedaan Penekanan Bidang yang Ditangani Psikoterapi dan Konselor

Konseling Psikoterapi

Suportif dan edukatif Rekonstruktif

Vokasional Emosional, perilaku

Pemberian dorongan Pemberian dorongan (dalam kondisi

2
krisis)

Masalah yang situasional Masalah yang emosional yang berat,


neurotik

Pemecahan masalah Rekonstruksi Kepribadian

Dalam situasi sadar Alam yang tidak sadar

Orang yang normal Orang yang patologis

Saat ini dan yang akan datang Masa lalu

Jangka pendek Jangka panjang

3. Tujuan

Tujuan konseling bervariasi sesuai dengan orientasi teoritis dan masalah konseli.
Beberapa teori menekankan pada perubahan kognisi dan pemahaman, teori lainnya
menekankan pada perubahan emosi dan perilaku, dan ada juga teori yang bertujuan
pengembangan dan pertumbuhan individu. Selain itu, pendekatan konseling fokus
secara langsung pada proses belajar dengan fokus utama mengubah perilaku yang
maladaptif dengan perilaku yang adaptif, tetapi secara umum, berbagai pendekatan
tersebut fokus pada salah satu dibawah ini:

a. Meningkatkan kompetensi interpersonal dan intrapersonal

b. Perkembangan kepribadian

c. Membantu individu yang mengalami hambatan dalam pertumbuhannya.

4. Treatment

Treatment dalam hubungan konseling dilaksanakan berdasarkan tujuan yang ingin


di capai dalam proses konseling. Pelaksanaan treatment sangat bergantung pada
permasalahan konseli dan pendekatan yang digunakan.

3
Dengan demikian, jika kedua istilah psikologi dan konseling digabungkan maka
psikologi konseling bermakna proses berupa bantuan yang dilakukan oleh seorang ahli
kepada individu yang mengalami masalah melalui pendekatan psikologi ( supportive,
insight-reeducative, insight-recontructive).

B. Konseling sebagai Helping Relationship

Konseling pada dasarnya merupakan suatu hubungan membantu (helping


relationship) yang profesional.Tidak ada seorang manusia yang tidak membutuhkan
bantuan orang lain. Hal ini dikarenakan keterbatasan kemampuan dirinya. Menurut
Lewis menggolongkan tiga alasan pokok antara lain :

1. Seseorang mengalami semacam ketidakpuasan pribadi, dan tidak mampu mengatasi


atau mengurangi ketidakpuasan tersebut.

2. Seseorang memasuki dunia konseling dengan kecemasan.

3. Seseorang membutuhkan konseling itu sebenarnya tidak mempunyai gambaran yang


jelas tentang sesuatu yng mungkin terjadi.

Beberapa contoh hubungan yang professional antara lain: dokter dan pasien,
pekerja sosial dan masyarakat, pengacara dan klien, guru dan siswa. Sekalipun
sama-sama hubungan profesional, tetapi masing-masing hubungan ini memiliki
karateristik tersendiri. Demikian pula dengan hubungan konseling berbeda dengan pola
hubungan yang lain.

Pada suatu hubungan bantuan (Helping relationship) ditandai oleh ciri-ciri dasar
tertentu. Menurut Shertzer dan Stone (dalam Mappiare 2002:2) hubungan membantu
(helping) mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

1. Hubungan helping adalah penuh makna dan bermanfaat

2. Afeksi sangat mencolok dalam hubungan helping

3. Keutuhan pribadi tampil atau terjadi dalam hubungan helping

4. Hubungan helping terbentuk melalui kesepakatan bersama individu-individu yang


terlibat.

4
5. Saling hubungan terjalin karena individu yang hendak dibantu membutuhkan
informasi, pelajaran, advis, bantuan, pemahaman dan/atau perawatan dari orang lain.

6. Hubungan helping dilangsungkan melalui komunikasi dan interaksi.

7. Struktur hubungan helping adalah jelas.

8. Upaya-upaya yang bersifat kerja sama (collaborative) menandai hubungan helping.

Selain itu,George dan Cristiani (1982) dalam Latipun, (2004) mengemukakan


bahwa pemberian bantuan merupakan proses dinamis dan unik yang dilakukan individu
untuk membantu orang lain dengan menggunakan sumber-sumber dalam (inner
resources) agar tumbuh ke dalam arahan yang positif dan dapat mengaktualisasikan
potensi-potensinya untuk sebuah kehidupan yang bermakna.

Secara lebih mendalam lagi dikemukakan oleh Rogers (1961) dalam Latipun
(2004:35) bahwa hubungan membantu memberikan maksud untuk peningkatan
pertumbuhan, kematangan, fungsi, cara penanganan kehidupannya dengan
memanfaatkan sumber-sumber internal pada pihak yang diberikan bantuan.

Daftar Pustaka

1. Mashudi, Farid. 2011. Psikologi Konseling. Sumenep : IRCiSoD

2. Latipun. 2015. Psikolologi Konseling. Malang : UMM Press

3. Mulawarwan dan Nugraheni, Edwindha Prafitra dkk. 2019. Psikologi Konseling


Sebuah Pengantar Bagi Konselor Pendidikan. Semarang : PRENADAMEDIA
GROUP

5
BAB II

MASALAH INDIVIDU BERKAITAN DENGAN HAKIKAT MANUSIA


( PENDEKATAN THINKING, FEELING DAN ACTING)

Pada hakekatnya masalah secara umum menunjuk pada adanya kesenjangan antara
keadaan sekarang (pencapaian) dengan tujuan. Dalam penelitian mengacu pada fokus
yang dipandang belum selesai dalam tataran teoritik dan praktik atau lebih seringnya
dikatakan bahwa adanya kesenjangan antara teori dan praktik (kenyataan) dan
memerlukan penyelesaian. Apabila hakekat ini ditarik dalam bidang konseling maka
masalah pada hakekatnya adalah kesenjangan antara kondisi sekarang individu dengan
apa yang diharapkan individu atau lingkungannya dan di dalamnya terdapat hambatan
untuk mencapai tujuan (Mappiare, 2006:252).

Ada beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya masalah. Secara umum faktor
timbulnya masalah diantaranya adalah

1. Masalah muncul sebagai perilaku yang tidak dikehendaki oleh individu itu sendiri
maupun oleh lingkungannya.

2. Masalah timbul akibat dari proses belajar yang salah

3. Masalah muncul karena ada kesenjangan antara harapan dan kenyataan.

4. Masalah muncul ketika individu memasuki sesuatu hal baru dan berbeda dengan pola
lama.

5. Masalah dirasakan semakin berat atau tidak tergantung pada kesenjangan antara
harapan dan realita.

6. Persepsi dan respons individu ketika menghadapi masalah berbeda-beda.

7. Masalah dapat berkembang, sehingga bersifat individu maupun kelompok.

2.2 Masalah Individu dalam Perspektif Pendekatan TFA

6
Pendekatan konseling yang berorientasi pada thinking, feeling dan acting (TFA)
adalah pendekatan integratif sistematik yang mengintegrasikan berbagai macam
pendekatan dan teknik-teknik konseling dalam suatu kerangka kerja. Kerangka kerja
komperhensif, sistematis ini jelas diperlukan oleh konselor untuk membantu berbagai
macam klien dengan efektif dan kualifaid.

Dalam memahami karakteristik masalah individu maka akan dijelaskan dari sudut
pandang pendekatan TFA. Adapun penjelasan masalah individu dalam perspektif TFA
adalah sebagai berikut:

2.2.1 Pendekatan yang berorientasi pada pemikiran

Dalam gambar 1 ditunjukkan segitiga TFA dengan tiga bagian yang terpisah oleh
garis yang terputus-putus. Pada bagian puncak terdapat pendekatan konseling yang
menekankan atau memusatkan perhatian pada aspek kognitif (thinking) dari tingkah
laku. Dalam pendekatan yang berorientasi pada pemikiran (thinking approach)
memiliki anggapan dasar bahwa jika individu memiliki pemikiran yang tak rasional
dan tak logis maka ia adalah pribadi yang bermasalah (tidak sehat) dan akan menjadi
pribadi yang sehat bila konselor dapat membantu klien mengubah pemikiran yang tak
rasional dan tak logis menjadi berpikir rasional dan logis.

Dalam pendekatan ini dapat di contohkan sebagai berikut:

Andi sadar bahwa ia adalah anak yang pintar. Ia selalu risau tentang bagaimana sesuatu
pada dirinya akan ditampilkan pada orang lain dan apakah ia telah melakukan “hal yang
baik”. Karena desakan bahwa ia menyatakan pada dirinya sendiri “Saya harus
mengerjakan ini secara cermat, sempurna atau kalau tidak orang lain akan mengangap
saya ceroboh, tak berarti dan tidak pintar “. Hal ini membuat Andi selalu risau akan
penilaian orang lain. Ia lalu minta bantuan dari seorang konselor beriorientasi
kognitif/pemikiran yang berfokus membantu Andi melihat keyakinan yang tak rasional,
seperti “Saya harus mengerjakan ini secara cermat, sempurna dalam tiap hal yang
saya kerjakan atau kalau tidak orang lain akan menggangap saya ceroboh, tak berarti
dan tidak pintar “

7
Gambar 1. Segitiga TFA menunjukkan pendekatan berorientasi pemikiran

Melalui konseling, Andi telah dapat melihat betapa tidak rasional pemikirannya
dan betapa ia telah tenggelam dalam lingkaran pola perusakan diri (self destruction).
Dengan kata lain Pemikiran (Thinking) negatif, perusakan diri menimbulkan perasaan
(Feeling) penghukuman diri disertai dengan Tindakan (Acting) menarik diri karena
malu pada orang lain karena menurut Andi orang lain akan memberi cap bahwa ia gagal,
bodoh, tidak cermat, dsb.

Adapun ciri-ciri berpikir irasional adalah sebagai berikut.

a. Tidak dapat dibuktikan.

b. Menimbulkan perasaan tidak enak (kecemasan,kekhawatiran,prasangka) yang


sebenarnya tidak perlu.

c. Menghalangi individu untuk berkembang dalam kehidupan sehari-hari yang


efektif.

Konselor membantunya mengerahkan bisik diri (Self talk) dan pemikiran diri yang
lebih rasional, sembari menghilagkan keharusan-keharusan yang tak rasional (seperti,
saya harus/mesti/wajib melakukan…apapan yang terjadi). Pemikiran rasional,
misalnya bahwa tidak semua hal perlu dilakukan “secerrmat-cermatnya, sempurna”,
dan semacamnya. Akibatnya Andi jelas-jelas merubah pandangan pada diri sendiri dan
memandang secara realistis pada apa yang ia (atau orang lain) harapkan ia lakukan.
Akibat selanjutnya, ia telah mampu beralih dari pikiran dasar yang tak rasional, tak

8
realistis, ke cara-cara berpikir (Thinking) lebih rasional dan berakibat pada perasaan
(Feeling) dan tindakan (Action) lebih positif.

9
2.2.2 Pendekatan yang berorientasi pada perasaan

Dalam gambar 2 terdapat feeling approach (pendekatan-pendekatan yang berorientasi


pada perasaan).

Gambar 2. Segitiga TFA menunjukkan pendekatan berorientasi perasaan

Dalam pendekatan ini, perhatian utama konselor berfokus pada emosi, afeksi dan
perasaan klien. Dalam pendekatan yang berorientasi pada perasaan (feeling approach)
memiliki anggapan dasar bahwa jika perasaan dan emosi kusut individu tidak dapat
mengekpresikan dan memahami perasaan-perasaan yang dialaminya maka individu
tersebut adalah individu yang “tidak sehat” atau dapat dikatakan individu bermasalah.
Individu akan menjadi individu yang sehat bila individu tersebut dapat memahami dan
mengekspresikan perasaan-perasaan yang dialaminya. Dengan demikian individu akan
memperoleh insight dan mengambil tindakan yang pantas. Dalam hal ini konselor
menitik beratkan pada membantu klien mengekspresikan, mengklarifikasi,
menguraikan, dan memahami emosi yang muncul. Seringkali sebagi hasil penguraian

10
kekusutan emosional, klien mengalami insight (berpikir lebih gamblang mengenai
situasi bersangkutan dan kemudian mampu mengambil tindakan yang pantas/layak.

Contoh pendekatan ini adalah sebagai berikut:

Dina telah mengalami tekanan emosional (stres) yang semakin berat dalam enam
bulan terakhir. Atas saran seorang teman ia minta konseling dari seorang konselor.
Konselor memfokuskan bantuannya perhatiannya pada masa kesepian, rasa sendirian,
dan rasa tak berharga Dina yang telah dialaminya sejak tunangan menikah dengan
orang lain enam bulan lalu. Dalam proses konseling Dina telah mampu
memverbalisasikan dan mengekspresikan perasaan dan emosi pribadinya yang paling
dalam pada suasana aman dan santai. Akibat dari pelepasan emosi tadi, Dina
mengalami perasaan lega, melepaskan semua beban dari emosi yang tak tercetuskan
yang selama ini tidak pernah ia bicarakan bersama orang lain. Dalam proses itu ia
mencapai sejumlah pengamatan jelas (insightful) tenatang situasinya. Ia mulai lambat
laun bertambah maju, berpikir positif dan merencanakan jenis aktivitas lain yang ingin
ia tekuni pada masa datang. Disamping menemukan pacar pengganti. Proses yang telah
berlangsung yaitu dengan membebaskan perasaan (feeling), maka klien mampu
berpikir (thinking) lebih jelas dan mengambil tindakan (action) sesuai keperluannya.

2.2.3 Pendekatan yang berorientasi pada tindakan

Pada bagaian kanan segitiga (gambar 3) adalah daerah tindakan. Dalam


pendekatan yang berorientasi pada tindakan (action approach) memiliki anggapan
dasar bahwa jika individu tidak dapat mengubah dari tingkah laku yang menimbulkan
masalah (maladjusment) kepada tingkah laku yang sesuai dan mendukung kepada
tingkah laku yang bermanfaat maka individu tersebut mengalami masalah. Dalam hal

11
ini konselor membantu individu tersebut dengan melakukan sesuatu yang akan lebih
mendukung perubahan tindakan atau perilaku yang efektif misalnya dengan merubah
pekerjaan, merubah lingkungan, merubah cara melakukan sesuatu, merubah sikap, dan
semacamnya.

Gambar 3. Segitiga TFA menunjukkan pendekatan berorientasi tindakan

Contoh pendekatan ini adalah sebagai berikut:

Budi berhenti dari pekerjaan yang telah ditekuninya selama sepuluh tahun. Ia tidak
bisa mendapatkan lapangan kerja pengganti. Setelah tiga bulan berlalu ia terus
mendapat omelan dari istrinya, selalu timbul masalah dengan dua anaknya yang
belasan tahun. Hal ini membuat Budi makin bertambah berat beban pikirannya.
Belakangan ia meminta konseling kepada seorang konselor untuk mengatasi
masalahnya. Konselor membantu Budi dengan mulai menyusun rencana-rencana
tindakan yang dapat membantu Budi mencari secara aktif lapangan kerja sesuai dengan
keterampilan dan pengalaman kerja yang lalu. Dalam hal ini Budi berusaha untuk
merubah tindakannya dengan belajar beberapa keterampilan yang mendukung
memperoleh suatu pekerjaan baru. Akhirnya setelah Budi mendapatkan pekerjaan baru

12
maka beban pikiranya berangsur-angsur hilang, hubungan antara ia dengan anggota
keluarga semakin meningkat dengan pesat dan merasakan semakin nyaman.

13
Dari beberapa penjelasan tersebut kita dapat memahami karakteristik masalah yang
dihadapi oleh individu berdasarkan sudut pandang pendekatan konseling yang
berorientasi pada pemikiran (thinking), perasaan (feeling), dan tindakan (acting).
Masalah-masalah yang muncul dapat berasal dari pemikiran individu, dari
perasaan-perasaan yang dialami oleh individu maupun tindakan-tindakan yang
dilakukan oleh individu. Hal ini benar-benar akan menjadi masalah bagi individu
ketika terjadi kesenjangan antara harapan dan kenyataan, proses belajar yang salah
ataupun beberapa perilaku yang tidak sesuai/tidak dikehendaki oleh individu atau
lingkungan terus dilakukannya. Dengan demikian perlu adanya upaya-upaya yang
membantu individu agar dapat menyelesaikan masalahnya dan dapat hidup secara
layak.

14
Daftar Pustaka

Cavanagh, Michael & Levitoc, Justin. 2002. The Counseling Experience, A Theoritical
and Practical Approach. Illionis: Waveland Press Inc

Hutchins, D.E dan Meo, K.K. 1987. Mengintegrasikan Ancangan-ancangan Pokok


Konseling. Disadur oleh A. Mappiare. Bina Bimbingan. 4 (5), 35-40.

Mappiare, Andi. 2006. Kamus Konseling dan Psikoterapi. Jakarta: PT. Rajawali
Grafindo Persada.

Surya,Muhammad. 2003. Psikologi Konseling. Bandung : Pustaka Bani Quraisy

Mulawarwan dan Nugraheni, Edwindha Prafitra dkk. 2019. Psikologi Konseling


Sebuah Pengantar Bagi Konselor Pendidikan. Semarang : PRENADAMEDIA
GROUP

Mashudi,Farid.2011. Psikologi Konseling. Sumenep : IRCiSoD.

15
BAB III

DIMENSI PSIKOLOGIS HUBUNGAN KONSELING

A. Hakekat dan Karakteristik Hubungan Konseling

Pada hakekatnya hubungan dalam konseling itu bersifat membantu (helping


relationship). Hubungan membantu itu berbeda dengan memberi (giving) atau
mengambil alih pekerjaan orang lain. Membantu tetap memberi kepercayaan kepada
klien untuk bertanggungjawab dan menyelesaikan segala masalah yang dihadapinya.
Hubungan konseling tidak bermaksud mengalihkan pekerjaan klien kepada konselor,
tetapi memotivasi klien untuk lebih bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri
mengatasi masalahnya.

Hubungan konseling mempunyai kualitas tersendiri yang mungkin tidak terdapat


dalam hubungan lain. Menurut Surya (2003:38) ada beberapa kualitas hubungan
konseling yang tidak dapat dijumpai dalam hubungan lain, yaitu:

1. Ketulusan konselor dalam melakukan hubungan membantu ditandai dengan sikap


ramah, hangat, bersahabat, dsb, dapat menggugah klien untuk lebih meyakini dirinya.

2. Pemahaman yang diberikan konselor terhadap klien dengan segala latar belakang
dan masalah-masalahnya dapat membuat klien merasa diterima.

3. Ketulusan orang,akan diperoleh dan berkembang melalui interaksi dengan konselor


yang tulus.

4. Resiko yang timbul dari hubungan dengan konselor, dengan sendirinya tidak
menimbulkan akibat yang bersifat merusak, akan tetapi dapat menunjang
perkembangan.

5. Respon-respon baru, akan diperoleh melalui serangkaian interaksi dalam hubungan


yang bersifat membantu. Dalam konseling, klien belajar bagaimana membuat respon
yang baru dan efektif dalam berinteraksi dengan lingkungan.

Selain itu terdapat beberapa pendapat tentang karakteristik hubungan yang terbina
dalam proses konseling, George dan Cristiani (1990) dalam Latipun
(2004:36-37)mengemukakan enam karakteristik dinamika dan keunikan hubungan

16
konseling dibandingkan dengan hubungan membantu yang lainnya. Keenam
karakteristik itu adalah sebagai berikut:

1. Afeksi

Hubungan konselor dan klien pada dasarnya lebih sebagai hubungan afektif
daripada sebagai hubungan kognitif. Hubungan afektif tercermin sepanjang proses
konseling, termasuk dalam melakukan eksplorasi terhadap persepsi dan
perasaan-perasaan subyektif klien. Hubungan yang penuh afeksi ini dapat mengurangi
rasa kecemasan dan ketakutan pada klien, dan diharapkan hubungan konselor dan klien
lebih produktif.

2. Intensitas

Hubungan konseling dilakukan dengan penuh intensitas. Hubungan konselor dan


klien yang intensitas ini diharapkan dapat saling terbuka terhadap persepsinya
masing-masing. Konselor biasanya mengupayakan agar hubungannya dengan klien
dapat berlangsung secara mendalam sejalan dengan perjalanan hubungan konseling.

3. Pertumbuhan dan perubahan

Hubungan konseling bersifat dinamis. Hubungan konseling terus berkembang


sebagaimana perubahan dan pertumbuhan yang terjadi pada konselor dan klien.
Hubungan tersebut dikatakan dinamis jika dari waktu ke waktu terus terjadi
peningkatan hubungan konselor dengan klien, pengalaman bagi klien, dan tanggung
jawabnya. Dengan demikian pada klien terjadi pengalaman belajar untuk memahami
dirinya sekaligus bertanggung jawab untuk mengembangkan dirinya.

4. Privasi

Pada dasarnya dalam hubungan konseling perlu adanya keterbukaan klien.


Keterbukaan klien tersebut bersifat konfidensial (rahasia). Konselor harus menjada
kerahasiaan seluruh informasi tentang klien dan tidak dibenarkan mengemukakan
secara transparan kepada siapa pun tanpa seizin klien. Perlindungan atau jaminan
hubungan ini adalah unik dan akan meningkatkan kemauan membuka diri.

5. Dorongan

Konselor dalam hubungan konseling memberikan dorongan (supportive) kepada


klien untuk meningkatkan kemampuan dirinya dan berkembang sesuai dengan
kemampuannya. Dalam hubungan konseling, monselor juga perlu memberikan
dorongan atas keinginannya untuk perubahan perilaku dan memperbaiki keadaannya
sendiri sekaligus memberi motivasi untuk berani mengambil risiko dari keputusannya

17
6 Kejujuran

Hubungan konseling didasarkan atas saling kejujuran dan keterbukaan, serta


adanya komunikasi terarah antara konselor dengan kliennya. Dalam hubungan ini tidak
ada sandiwara dengan jalan menutupi klemahan, atau menyatakan yang bukan
sejatinya. Klien maupun konselor harus membangun hubungannya secara jujur dan
terbuka. Kejujuran menjadi prasyarat bagi keberhasilan konseling.

Menurut Shostrom dan Brammer (1982: 144-151) mengemukakan juga beberapa


karakteristik hubungan dalam konseling. Beberapa karakteristik itu adalah:

1. Unik dan Umum

Hubungan yang bersifat unik artinya bahwa hubungan antara konselor dengan
konseli/klien dalam konseling mempunyai ciri khas yang membedakannya dengan
bentuk hubungan yang lain.

2. Keseimbangan antara aspek obyektivitas dan subyektivitas

Dalam proses konseling interaksi konselor dengan klien tidak seluruhnya bersifat
obyektif, akan tetapi juga tidak seluruhnya subyektif. Hubungan dalam konseling
terdapat kesimbangan antara hal-hal yang bersifat obyektif dan yang bersifat subyektif.

3. Terdapat unsur kognitif dan afektif

Dalam proses konseling, hubungan antara konselor dan klien memiliki


keseimbangan antara aspek kognitif dan aspek afektif. Aspek kognitif menyangkut
proses intelektual seperti pemindahan informasi, pemberian nasehat pada berbagai
macam tindakan ataupun pengintrepretasian data tentang klien. Sedangkan aspek
afektif mengarah pada ekspresi perasaan dan sikap.

4. Unsur kesamar-samaran (ambiguity) dan kejelasan

Dalam proses konseling terdapat unsur kesamar-samaran dan kejelasan dalam arti
pada situasi tertentu konselor memberikan rangsangan tersamar, sedangakan dalam
situasi lain konselor memberikan rangsangan yang jelas. Hal ini dimaksudkan agar
konselor dapat memperoleh informasi atau bagaimana cara pandang klien terhadap
masalah yang dialaminya.

5. Adanya unsur tanggung jawab

Dalam hubungan konseling tanggung jawab tidak seluruhnya ada pada konselor
tetapi juga tidak seluruhnya ada pada klien. Perwujudan dari tanggungjawab ini adalah
antara konselor dan klien sama-sama memiliki tanggungjawab dalam tujuan maupun
komitmen yang dibangun antar keduanya.

18
C. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Proses Konseling

Menurut Gladding (2009) menyebutkan ada lima faktor yang mendukung


konseling, yaitu: (1) Struktur, (2) inisiatif, (3) Setting fisik, (4) kualitas klien, (5)
kualitas konselor.

1. Struktur

Mengenai struktur Gladding (2009) menjelaskan sebagai pemahaman bersama


antara konselor dan klien mengenai karakteristik, kondisi, prosedur dan parameter
konseling.

2. Inisiatif

Inisiatif dapat dilihat sebagai motiviasi untuk berubah. Kebanyakan konselor


berpendapat bahwa klien yang datang akan bersikap kooperatif. Memang betul, banyak
klien yang datang untuk konseling, atas kemauan sendiri dan atas kehendak sendiri.

3. Seting fisik

Konseling dapat terjadi dimana saja, tetapi seting fisik yang nyaman, dapat
meningkatkan proses menjadi lebih baik. Salah satu hal yang dapat membantu atau
merugikan proses konseling adalah tempat dimana konseling itu berlangsung. Biasanya
konseling berlangsung di suatu ruangan.

4. Kualitas klien

Kualitas klien juga memiliki peranan penting dalam mendukung hubungan


maupun proses konseling yang kondusif. Kualitas dapat dilihat dari kesiapan klien
untuk berubah. Konseling tidak bisa dimulai kalau orang tidak mengenali adaanya
kebutuhan untuk berubah.

5. Kualitas konselor

Konselor yang berkualitas sangat mendukung berhasilnya konseling. Ada


beberapa karakteristik umum yang harus dipenuhi oleh seorang konselor supaya dapat
membantu terjadinya perubahan dalam diri klien yang dihadapinya.

D. Tahap-tahap Proses Konseling

Secara umum proses konseling memiliki empat tahap. Menurut Brammer, Abrego dan
Shostrom (1993) dalam Lesmana (2006) tahap-tahap dalam proses konseling sebagai
berikut:

19
1. Membangun Hubungan

Tujuan dari membangun hubungan dalam tahap pertama ini adalah agar klien dapat
menjelaskan masalahnya, keprihatinan yang dimilikinya, kesusahan-kesusahannya,
serta alasannya datang pada konselor. Sangat perlu membangun hubungan yang positif,
berlandaskan rasa percaya, keterbukaan dan kejujuran berekspresi.

2. Identifikasi dan Penilaian Masalah

Dalam tahap ini konselor mendiskusikan dengan klien apa yang mereka ingin dapatkan
dari proses konseling ini, terutama bila pengungkapan klien tentang masalahnya
dilakukan secara samar-samar. Didiskusikan sasaran-sasaran spesifik dan tingkah laku
apa yang ingin diubah. Intinya dalam hal ini konselor melakukakan eksplorasi dan
melakukan ”diagnosis” apa masalah dan hasil seperti apa yang diharapkan dari
konseling.

3. Memfasilitasi Perubahan Terapeutis

Dalam tahap ini konselor mencari strategi dan intervensi yang dapat memudahkan
terjadinya perubahan. Sasaran dan strategi terutama ditentukan oleh sifat masalah, gaya
dan pendekatan konseling yang konselor anut, keinginan klien maupun gaya
komunikasinya.

4. Evaluasi dan Terminasi

Dalam tahap ini konselor bersama klien mengevaluasi terhadap hasil konseling
yang telah dilakukan. Indikatornya adalah sampai sejauh mana sasaran tercapai, apakah
proses konseling membantu klien atau tidak.

D. Hambatan-hambatan khusus Berkaitan dengan Pembentukan Hubungan


Dalam Proses Konseling

Dalam proses konseling terdapat tiga kondisi yang dapat membantu atau menghambat
proses konseling tergantung bagaimana hal itu dapat dinyatakan dan ditangani.
Menurut Brammer dan Shostrom (1982, 211:248) ketiga kondisi tersebut adalah
pemindahan (transference), pemindahan balik (countertransference), dan penolakan
atau resistensi (resistance).

1. Pemindahan

Pemindahan dapat bersifat positif yaitu bila klien memproyeksikan perasaannya


afeksinya (misalnya: cinta, hormat, menghargai) atau ketergantungannya kepada
konselor. Bersifat negatif yaitu bila klien memproyeksikan perasaan kebencian dan
agresinya kepada konselor. Fungsi terapeutik pemindahan dalam konseling adalah (1)
dapat membangun hubungan yang baik, (2)meningkatkan kepercayaan,

20
(3)memungkinkan klien memperoleh gambaran perasaan melalui penafsiran
perasaannya.

2. Pemindahan balik (countertransference)

Secara umum pemindahan balik mengacu pada suatu kejadian dalam konseling
dimana konselor memproyeksikan, menanggapi setara, perasaan-perasaan atau sikap
klien berdasarkan pada pengalaman masa lalu atau hubungan konselor dengan orang
lain (Mappiare, 2006:71).

3. Penolakan (resistance)

Resistensi merupakan suatu sistem pertahanan klien yang berlawanan dengan


tujuan konseling atau terapi (Brammer dan Shostrom, 1982). Pada umumnya konselor
melihat resistensi sebagi suatu hal yang berlawanan dengan kemajuan dalam
pemecahan masalah dan oleh karena itu konselor harus berusaha menguranginya
sebanyak mungkin. Namun, konselor melihat resistensi sebagai suatu gejala yang
penting untuk dianalisa secara intensif. Dengan demikian pada dasarnya resistensi
merupakan gejala normal dalam proses konseling.

E. Sikap-sikap yang Perlu dihindari Konselor Dalam Hubungan Konseling

Ada beberapa hal yang perlu dihindari oleh konselor berkaitan dengan
pembentukan hubungan dalam proses konseling. Menurut Yeo (2003) ada lima hal
yang perlu dihindari dalam proses konseling, yaitu:

1. Sikap acuh tak acuh

Klien diperlakukan sebagai pasien atau kasus yang memandang mereka adalah
orang yang tidak memiliki kemampuan, menggangap remeh, ”sakit”. Ada satu
perasaan tidak terlibat dan kurang peduli pada mereka.

2. Tak sabar dan amarah

Konselor akan marah dengan klien jika mereka tidak menyelesaikan tugas-tugas
yang diberikan atau tidak memperlihatkan kerjasama dalam pertemuan konseling.
Konselor menganggap klien adalah orang yang bandel, yang tidak bisa diharapkan,
keras kepala atau orang yang harus dimengerti karena konselor tidak punya pilihan lain
kecuali menangani mereka. Hal ini harus dihindari dan tidak boleh dilakukan karena
ketika konselor tidak sabar dan marah maka klien semakin merasa bertambah beban
dan tentunya akan sangat sulit membentuk hubungan kesejajaran dalam proses
konseling.

21
3. Terus memberi nasehat

Terkadang konselor secara tidak sengaja memberikan nasehat kepada klien karena
menganggap dalam mengambil keputusan klien terlalu berbelit-belit.

4.Terpengaruh secara emosional

Klien dapat memberi reaksi terhadap kita sedemikian rupa dengan menyampaikan
masalah-masalah emosional yang laten atau tidak terpecahkan. Konselor dapat
menjumpai dirinya sendiri merasa sangat sedih karena masalah-masalah yang dialami
kliennya dan akhirnya merasa tertekan.

5. Tidak kreatif

Ada perasaan statis ketika konselor berhadapan dengan berbagai macam kasus.
Konselor tidak dapat membuat pembaharuan dan sebaliknya mempunyai
kecenderungan untuk melakukan hal-hal yang sama. Setiap kali konselor berhadapan
dengan jenis klien yang sama, konselor melakukan hal yang sama untuk kliennya.
Dengan kata lain bersikap pasif, tidak mencoba hal-hal baru dalam memberikan
treatmen pada kliennya. Dalam hal ini hendaknya konselor berusaha untuk selalu
memperbaiki kemampuan dan pengetahuannya dalam rangka memberikan layanan
yang terbaik bagi kliennya.

22
Daftar Pustaka

Brammer, L.M dan Shostrom, E.L. 1982. Therapeutic Psychology: Fundamental of


Counseling and Psychoterapy: Fourth Edition. New Jersey: Prentice Hall Inc.

Gladding, S.T. 2009. Counselling: A Comprehensive Professions 6th edition. New


Jersey: Prentice-Hall.

Latipun. 2004. Psikologi Konseling. Malang: UMM Press.

Lesmana, J.M. 2006. Dasar-dasar Konseling. Jakarta: UI Press

Mappiare, Andi. 2006. Kamus Konseling dan Psikoterapi. Jakarta: PT. Rajawali
Grafindo Persada.

May, Rollo. 1997. Seni Konseling. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Surya, M. 2003. Psikologi Konseling. Bandung: C.V. Pustaka Bani Quraisy.

Yeo, Antony. 2003. Konseling: Suatu Pendekatan Pemecahan Masalah. Terjemahan A.


Wuisan. Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia

Mulawarwan dan Nugraheni, Edwindha Prafitra dkk. 2019. Psikologi Konseling


Sebuah Pengantar Bagi Konselor Pendidikan. Semarang : PRENADAMEDIA
GROUP

23
BAB IV

DIMENSI PSIKOLOGIS PRIBADI KONSELI

A. Karakteristik Klien (Konseli)

Pada dasarnya klien (konseli) merupakan orang yang perlu memperoleh perhatian
sehubungan dengan masalah yang dihadapinya. Menurut Rogers dalam Latipun (2004)
menyatakan bahwa klien adalah orang yang hadir ke konselor dan kondisinya cemas
atau tidak kongruensi. Dalam konteks konseling, klien adalah subyek yang memiliki
kekuatan, motivasi, memiliki kemauan untuk berubah, dan pelaku bagi perubahan
dirinya. Jadi sekalipun klien itu dalah individu yang memperoleh bantuan, klien
bukanlah obyek atau individu yang pasif, atau yang tidak memiliki kekuatan apa-apa.

Artinya tetap saja klien dilihat sebagai pribadi yang memiliki kekuatan psikis
(psychological strenght), memiliki kekuatan untuk tumbuh dan berkembang lebih baik,
memiliki kemampuan-kemampuan intrapribadi maupun antar pribadi.

Menurut Surya (2003:40) klien merupakan orang yang mengalami


kekurangan ”psychological strength” atau daya psikologis yaitu suatu kekuatan yang
diperlukan untuk menghadapi berbagai tantangan dalam keseluruhan hidupnya
termasuk dalam menyelesaikan berbagai masalah yang dihadapinya. Konsep daya
psikologis memiliki tiga dimensi yaitu need fulfillment (pemenuhan kebutuhan),
intrapersonal competencies (kompetensi intrapribadi), dan interpersonal competencies
(kompetensi pribadi). Dengan kata lain bila ketiga dimensi itu kuat maka akan
memperkuat daya psikologis individu. Jadi jelaslah bahwa individu akan mengalami
masalah ketika salah satu dimensi tersebut tidak berfungsi sebagaimana mestinya.
Dengan demikian dalam memahami klien maka konselor melihat sosok klien adalah
individu yang perlu dibantu dalam meningkatkan daya psikologisnya agar ia dapat
makin efektif dalam mengelola perilakunya sendiri maupun dengan lingkungannya
sehingga mencapai kebahagiaan dan kebermaknaan hidup.

Karakteristik konseli yang turut mempengaruhi efektifiotas konseling adalah


:
1. Kesamaan dengan konselor
Dapat terjadi kesamaan umur saat proses konseling, sehingga membuat
konseling susah dalam mengungkapkan permasalahannya.
2. Harapan-harapan

24
Harapan klien tergantung pada sikap-sikap terapis, ada juga harapan
yang dapat merugikan konseling adalah harapan klien untuk mendapatkan
terapi medis,termasuk penggunaan obat-obatan.
3. Kebutuhan akan perubahan
Kebutuhan klien akan perubahan dan pemahaman empatik dari pihak
konselor berpengaruh langsung terhadap hasil konseling.

B. Harapan- Harapan Konseli

Menurut Dennis P. Saccazzo dalam Latipun (2004), penelitiannya menujukkan


bermacam-macam harapan sebagai alasan klien datang ke konselor. Harapan-harapan
klien adalah sebagai berikut:

1. Untuk memperoleh kesempatan membebaskan diri dari kesulitan


2. Untuk mengetahui lebih jauh model terapi yang sesuai dengan masalahnya
3. Mengetahui lebih jauh kesulitan/masalah yang dialami sebenarnya
4. Memperoleh ketenangan dan kepercayaan diri dari rasa ketegangan dan rasa yang
tidak menyenangkan.
5. Mengetahui atau memahami alasan yang ada di balik perasaan dan perilakunya.
6. Mendapat dukungan tentang yang harus dilakukan.
7. Untuk memperoleh kepercayaan dalam melakukan sesuatu atau perilaku baru yang
berbeda dengan orang lain.
8. Mengetahui perasaan-perasaan apa yang sebenarnya sedang dialami dan bagaimana
seharusnya melakukan.
9. Untuk mendapatkan saran atau nasihat, bagaimana agar hidupnya dapat bermakna
dan berguna baaik bagi dirinya sendiri maupun orang lain.
10. Agar orang lain menanggapi sebagaimana layaknya
11. Agar dirinya lebih baik dalam melakukan kontrol diri.
12. Agar memperoleh sesuatu secara langsung seperti yang terpikirkan dan yang
dirasakan.
13. Melepaskan diri dari masalah-masalah khusus.

C. Implikasi Perkembangan Individual Klien Terhadap Proses Konseling

Memahami individu (klien) secara menyeluruh dapat dijelaskan dalam proses


perkembangan individual klien. Dalam hal ini konselor membantu klien dengan
memahami dulu tugas-tugas perkembangan klien. Hal ini dapat memahami klien secara
utuh konselor menggunakan prinsip-prinsip perkembangan dan tugas-tugas
perkembangan. Tahap-tahap perkembangan menunjuk pada periodisasi secara teoritik
alur perkembangan individu sejak konsepsi sampai mati. Tugas-tugas perkembangan
adalah seperangkat keterampilan, sikap, dan pengetahuan yang perlu dikuasai seorang

25
individu sejalan dengan taraf pertumbuhan. Penguasaan tugas-tugas perkembangan
suatu periode merupakan dasar bagi penguasaan tugas-tugas perkembangan berikutnya
(Hurlock, 1996).

D. Respon-Respon Klien Terhadap Proses Konseling

Pada proses konseling, konselor akan menemui beberapa reaksi yang dimunculkan
oleh klien dalam usahanya mendapatkan bantuan atau anjuran untuk melakukan
konseling. Sejumlah reaksi normal terhadap konseling dapat berwujud kecemasan,
keengganan, sikap mempertahankan diri dan menutup diri. Dalam hal ini konselor
harus siap menghadapi klien yang memperlihatkan sikap-sikap seperti ini. Berikut ini
beberapa uraian reaksi atau sikap klien terhadap konseling:

1. Klien yang bersikap enggan

Klien yang bersikap enggan biasanya adalah klien yang tidak memiliki kerelaan
untuk melakukan konseling (Yeo, 2003:42). Klien datang untuk konseling di bawah
paksaan entah dari keluarga atau dari lembaga-lembaga yang secara resmi mempunyai
kekuatan untuk memaksa (sekolah, perusahaan,dsb). Mereka beranggapan bahwa
dirinya tidak bermasalah dan sejumlah klien memperlihatkan keraguan tentang manfaat
konseling. Dengan keadaan seperti itu, klien biasanya tetap diam, menolak
bekerjasama dengan konselor, datang terlambat atau sama sekali mengabaikan janji
untuk bertemu konselor.

2. Klien yang menutup diri

Sikap menutup diri ini merupakan satu cara untuk memperlambat proses konseling.
Menurut Ellis, Anderson & Stewart, Strean, Nichols, Shazer dalam Yeo (2003)
mengemukakan bahwa:

Klien akan menutup diri terhadap konseling karena ia harus menempatkan dirinya
sendiri dalam suatu relasi ketergantungan dengan berbicara tentang dirinya sendiri dan
masalah-masalahnya. Dalam hal ini klien cemas terhadap suatu hubungan
ketergantungan (konseling) karena klien menganggap setiap saat dan setiap waktu
ketika ia menghadapi masalah tergantung dengan konselor.

3. Ketakutan akan hal yang tidak diketahui

26
Kadang-kadang klien menutup diri karena ia takut terhadap hal-hal yang tidak
diketahui. Apa yang tersirat dalam konseling adalah tuntutan untuk berubah dan hal ini
dapat menjadi satu gagasan yang menakutkan.

27
Daftar Pustaka

Cavanagh, Michael & Levitov, Justin. 2002. The Counseling Experience, A Theoritical and
Practical Approach. Illionis: Waveland Press Inc.

Gladding, S.T. 2009. Counselling: A Comprehensive Professions. New Jersey:


Prentice-Hall.

Hurlock, E.B. 1996. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang


Kehidupan. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Latipun. 2004. Psikologi Konseling. Malang: UMM Press.

Surya, M. 2003. Psikologi Konseling. Bandung: C.V. Pustaka Bani Quraisy.

Yeo, Antony. 2003. Konseling: Suatu Pendekatan Pemecahan Masalah. Terjemahan A.


Wuisan. Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia

Mulawarwan dan Nugraheni, Edwindha Prafitra dkk. 2019. Psikologi Konseling


Sebuah Pengantar Bagi Konselor Pendidikan. Semarang : PRENADAMEDIA
GROUP

28
BAB V

DIMENSI PSIKOLOGIS KONSELOR EFEKTIF

A. Karakteristik dan Kualitas Konselor

Berkaitan dengan karakteristik yang harus dimiliki oleh seorang yang terlibat dalam
hubungan membantu (helping relationship) maka seorang ahli konseling dan psikoterapis
yaitu Rogers mengemukakan ada tiga karakteristik (konselor) yaitu congruence,
Unconditional postive regard dan empathy (Lesmana, 2006).

Menurut Surya (2003) ada beberapa karakteristik kualitas kepribadian konselor, tentunya
kepribadian ini yang terkait dan mendukung kefektifan dalam konseling. Karakteristik itu
adalah :

1. Pengetahuan mengenai diri sendiri.

Pengetahuan diri sendiri mempunyai makna bahwa konselor memahami dengan baik
baik dirinya, apa yang dilakukannya, masalah yang dihadapinya, dan masalah klien yang
terkait dengan konseling.

2. Kompetensi

Kompetensi mempunyai makna sebagai kualitas fisik, intelektual, emosional, sosial,


dan moral yang harus dimiliki konselor dalam membantu klien. Kompetensi ini sangat
penting bagi konselor, karena klien datang pada konseling untuk belajar dan
mengembangkan kompetensi yang dibutuhkan untuk mencapai hidup lebih efektif dan
bahagia.

3. Kesehatan psikologis yang baik

Hal ini dmaknai bahwa seorang konselor memiliki kesehatan psikis yang lebih
daripada kliennya. Kesehatan psikologis yang baik seorang konselor akan mendasari
pemahaman perilaku dan keterampilan dan pada gilirannya akan mengembangkan satu
daya positif dalam konseling

4. Dapat dipercaya

Hal ini bermakna bahwa konselor bukan sebagai satu ancaman bagi klien dalam
konseling, namun sebagi pihak yang memberikan rasa aman. Dapat dipercaya dapat
diwujudkan dalam (a) menepati janji dalam setiap perjanjian konseling, (b) dapat
menjamin kerahasiaan klien, (c) bertanggung jawab terhadap semua ucapannya dalam
konseling.

5. Kejujuran

Kejujuran mempunyai makna bahwa konselor harus terbuka, otentik, dan sejati dalam
penampilannya. Hal ini sangat penting mengingat bahwa keterbukaan memudahkan

29
konselor berinteraksi dalam suasana keakraban psikologis, dan konselor dapat menjadi
model bagaiman menjadi mansuia jujur dengan cara-cara yang konstruktif.

6. Kekuatan atau daya

Kekuatan mempunyai makna bahwa konselor memerlukan kekuatan untuk mengatasi


serangan dan manipulasi klien dalam konseling.

7. Kehangatan

Kehangatan mempunyai makna sebagai satu kondisi yang mampu menjadi pihak yang
ramah, peduli, dan dapat menghibur orang lain. Kehangtan diperlukan dalm konseling
karena dapat mencairkan kebekuan suasana, mengundang untuk bebragi pengalaman
emosional dan memungkinkan klien hangat dengan dirinya sendiri.

8. Pendengar yang aktif

Menjadi pendengar yang aktif bagi konselor sangatlah penting karena dapat
menunjukkan komunikasi dengan penuh kepedulian, merangsang dan memberanikan klien
untuk bereaksi spontan terhadap konselor, dan klien membutuhkan gagasan baru.

9. Kesabaran

Dalam proses konseling, konselor tidak dapat memaksa atau mempercepat


pertumbuhan psikologis klien untuk segera mengubah perilaku yang maladaptif. Hal ini
membutuhkan kesabaran untuk mencapai keberhasilan sehingga konselor tidak
memfokuskan pada klien akan tetapi lebih banyak terfokus pada cara dan tujuan.

10. Kepekaan

Kepekaan mempunyai makna bahwa konselor sadar akan kehalusan dinamika yang
timbul dalam diri klien dan konselor sendiri. Kepekaan diri konselor sangat penting dalam
konseling karena hal tersebut akan memberikan rasa aman bagi klien dan akan lebih
percaya dirimanakala berkonsultasi dengan konselor yang memiliki kepekaan.

11. Kebebasan

Konselor yang memiliki kebebasan mampu memberikan pengaruh secara signifikan


dalam kehidupan klien, sambil konselor memahami klien secara lebih nyata. Dalam hal ini
konselor tidak memaksakan kehendak maupun nilai-nilai yang dimilikinya, walaupun
setiap konselor membawa nilai-nilai yang mungkin akan berpengaruh pada pross
konseling.

12. Kesadaran Holistik atau Utuh

Hal ini mempunyai makna bahwa konselor menyadari keseluruhan pribadi maupun
tampilan klien dan tidak memandang klien dari satu aspek tertentu saja. Dengan demikian
konselor mampu memahami klien dari berbagai dimensi (dimensi pikiran, perasaan atau
tindakannya).

30
B. Sikap Dasar Konselor

Sikap dasar merupakan suatu kondisi fasilitatif pada diri konselor yang dapat
membantu terjadinya perubahan pada diri klien. Beberapa sikap dasar konselor adalah
sebagai berikut:

1. Penerimaan.

Istilah penerimaan (acceptance) ekuivalen dengan pengertian penghargaan positif.


Penerimaan mengacu pada kesediaan konselor memiliki penghargaan tanpa menggunakan
standar ukuran atau persyaratan tertentu terhadap individu sebagai manusia atau pribadi
secara utuh. Dengan kata lain, konselor siap menerima klien atau individu yang datang
kepadanya untuk konseling tanpa menilai status, pendidikan, dan lain sebagainya. Pada
hakekatnya konselor mempunyai penerimaan apa adanya keadaan klien dan beriskap netral
terhadap nilai-nilai yang dipegang klien.

2. Pemahaman

Pemahaman (understanding) berhubungan erat dengan empati. Dalam konsep lain


pernyataan pemahaman dan empati dijadikan satu yaitu emphatic-understanding.
Pemahaman mengacu pada kecenderungan konselor menyelami tingkah laku, pikiran dan
perasaan klien sedalam mungkin yang dapat dicapai oleh konselor (Mappiare, 2002).

3. Kesejatian dan keterbukaan

Kesejatian (authenticity) pada dasarnya menunjuk pada keselarasan atau harmoni


yang mesti ada dalam pikiran dan perasaan konselor dengan apa yang terungkap melalui
perbuatan atau ucapan verbalnya. Kesejatian memiliki persamaan istilah dengan
kongruensi (congruence), keaslian (genuiness), kejujuran (honesty), terbuka (disclosure).
Hal tersebut sangat penting dilakukan oleh konselor agar dapat menimbulkan kepercayaan
klien. Selain itu diharapkan dengan sikap kesejatian ini klien tidak menunjukkan lagi sikap
yang sembunyi, defensif, bersandiwara, palsu dan basa-basi (Latipun, 2004).

C. Keterampilan (Kompetensi) Dasar Konselor

Untuk menjadi seorang konselor yang efektif, maka diperlukan keterampilan yang
mendukung kinerja konselor tersebut. Menurut Mappiare (2002) ada beberapa
keterampilan dasar yang dimiliki oleh konselor, yaitu:

1. Kompetensi Intelektual

Kompetensi intelektual konselor merupakan dasar lain bagi seluruh keterampilan


konselor dalam hubungan konseling baik di dalam maupun diluar situasi konseling. Tugas
konselor adalah membntu kliennya untuk meningkatkan dirinya secara keseluruhan.

31
Konselor sendiri agar dapat membantu kliennya maka ia harus memiliki pengetahuan
tentang ilmu perilaku, mengetahui filsafat, mengetahui lingkungannya. Selain itu konselor
dituntut untuk memiliki kemampuan berpikir runtun-rapi, dan logis. Hal ini penting
konselor dapat membantu siswa secara berpikir objektif, mempertimbangkan alternatif dan
dapat menafsirkan hasil-hasil konseling.

2. Kelincahan Karsa Cipta (Fleksibilitas)

Fleksibilitas adalah kemampuan dan kemamuan konselor untuk mengubah,


memodifikasi, dan menetapkan cara-cara yang digunakan jika keadaan mengharuskan
(Latipun, 2004: 48). Karena sifat hubungan dalam konseling adalah tidak tetap, maka
konselor haruslah tidak kaku. Ia harus peka dan tanggap terhadap perubahan-perubahan
sikap, persepsi, dan ekspektasi klien terhadapnya. Hal tersebut menuntut kelincahan
(fleksibility) konselor dalam menempatkan diri.

3. Pengembangan Keakraban

Istilah pengembangan dalam ini mengacu pada pembinaan hubungan yang harmonis
antara klien dan konselor atau lebih dikenal dengan istilah ”rapport”. Keakraban mengacu
pada suasana hubungan konseling yang bercirikan suasana santai, keselarasan, kehangatan,
kewajaran, saling memudahkan dalam percakapan, saling menerima antara klien dan
konselor. Dalam hal ini ada kesediaan konselor untuk mendengarkan dengan penuh
perhatian, terbuka dan penerimaan segala apa yang mungkin akan diucapkan oleh klien
yang baru datang. Dengan kata lain bahwa mendengarkan dengan penuh perhatian,
penerimaan dan pemahaman, serta sikap sejati dan terbuka, yang berhasil dipancarkan
konselor dan dapat dipersepsi dengan baik adalah salah satu parasyarat dalam
pengembangan keakraban.

32
Daftar Pustaka

Brammer, L.M. 1985. The Helping Relationship;Process and Skills: 3ed. New Jersey:
Prentice Hall Inc.

Egan, Gerard. 1986. The Skilled Helper: A Systematic Approach to Effective Helping.
Brooks/Cole Publishin.

Latipun. 2004. Psikologi Konseling. Malang: UMM Press.

Lesmana, J.M. 2006. Dasar-dasar Konseling. Jakarta: UI Press.

Mappiare, Andi. 2002. Pengantar Konseling dan Psikloterapi. Jakarta: PT. Rajawali
Grafindo Persada.

Surya, M. 2003. Psikologi Konseling. Bandung: C.V. Pustaka Bani Quraisy.

Patterson, C.H. 1986. Theories of Counseling and Psychotherapy. New York: Harper
and Row Publisher.

Yeo, Antony. 2003. Konseling: Suatu Pendekatan Pemecahan Masalah. Terjemahan A.


Wuisan. Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia.

33
BAB VI

HAMBATAN ATAU KESULITAN DALAM PROSES KONSELING

Pengertian Hambatan atau Kesulitan dalam Konseling

Hambatan adalah usaha yang ada dan berasal dari dalam diri sendiri yang
memiliki sifat atau memiliki tujuan untuk melemahkan dan menghalangi secara
tidak konsepsional. Jadi dalam proses konseling tidak semua prosesnya akan
berjalan mulus atau baik-baik saja , tentunya akan mengalami beberapa
hambatan-hambatan yang dapat menghalangi atau menghambat proses konseling
tersebut. Sehingga sebagai seorang konselor atau guru bk tentunya harus mampu
menghadapi beberapa hambatan tersebut agar proses konseling dapat berjalan
dengan lancar dan memperoleh hasil atau tujuan yang hendak dicapai.

Keterbatasan-keterbatasan Konselor

Menurut Yeo (2003), ada beberapa hal yang merupakan keterbatasan-keterbatasan


konselor sepanjang ia melaksanakan tugas profesionalnya, yaitu:

a. Pengetahuan dan Keterampilan

Seringkali kita mendapai bahwa tidak semua orang yang masuk dalam profesi
membantu (konseling) memiliki hambatan karena tidak dilengkapi dengan
pengetahuan dan keterampilan konseling yang mencukupi. Konselor seringkali
dihadapkan pada banyak teori tanpa mendapatkan keterampilanketerampilan
khusus agar dapat bekerja utuh.

b. Usia dan Pengalaman

Usia dan pengalaman merupakan salah satu hal yang mungkin saja bisa jadi
masalah atau hambatan dalam proses konseling. Klien melihat bahwa usia dan
pengalaman konselor mempengaruhi klien untuk lebih mantap dalam
mengambil keputusan. Hal ini dikarenakan konselor yang memiliki usia dan
pengalaman yang mencukupi dilihat sebagai orang yang bijak. Klien mungkin
merasakan perbedaan usia yang terlalu besar dan memilih seseorang (konselor)
yang kira-kira seusianya dengannya. Bagi konselor pemula, mereka sering

34
menghadapi masalah karena kurang pengalaman. Dalam hal ini sebaiknya para
konselor pemula tidak perlu merasakan kekhawatiran yang berlebihan karena
ia dapat meminta bantuan dari konselor senior atau supervisornya dan
melakukan diskusi dengan sejawat (Surya, 2003:68)

c. Kebudayaan, Bahasa dan Agama

Dengan adanya keragaman ras, budaya, dan bahasa, maka konselor juga
menghadapi kendala dalam praktiknya. Kebudayaan, bahasa, agama seringkali
membuat ”gerakan” konselor terbatas. Hal ini menjadi masalah karena
konselor belum sepenuhnya memahami budaya, bahasa atau agama klien. Pada
kenyataannya setiap klien memiliki budaya, bahasa dan agama yang
berbeda-beda, dan perbedaan itulah yang harus konselor pahami.

Selain itu menurut Glading (2009), konselor memiliki ”penyakit” yang


dinamakan dengan burnout. Burnout adalah suatu suasana kepadaman gairah
kerja dan bereprestasi, kadang-kadang diartikan juga sebagai stres kerja
(Mappiare, 2006). Menjalankan peran sebagai seorang konselor memang
sangat rentan untuk terjadinya burnout. Konselor terusmenenus berhadapan
dengan emosional tinggi. Penderitaan kliennya juga ikut ia rasakan. Ia harus
tidak kaku, mampu menghayati dan memahami, tetapi tidak terlibat sampai
menjadi lekat. Penyeimbangan-penyeimbangan inilah yag melelahkan
konselor.

Menurut Cavanagh (1982) dalam Lesmana (2006) mengemukakan ada


beberapa masalah umum yang dapat menghambat dalam suatu hubungan
konseling, yaitu:

a. Kebosanan

Menurut Cavanagh (1982), konselor pemula jarang mengalami kebosanan


karena sifat baru dari pekerjaan mereka. Setiap saat mereka bertemu denga
orang-orang yang mempunyai problem berbeda dan mencoba
keterampilan dan tanggung jawab sebagai seorang konselor. Tetapi seperti

35
halnya tingkah laku lain yang terus berulang, konseling dapat
membosankan. Beberapa hal yang dapat timbul karena kebosanan
adalah:

Konselor mengambil jarak dari kliennya, makin lama makin menjauh.


Klien dapat merasakan hal ini, ia akan kehilangan rasa aman dan rasa
diterima yang sangat penting bagi keberhasilan konseling. Konselor
terkadang mengambil cara negatif dalam menangani kebosanannya. Ia
mencoba mengangguk, tersenyum tapi tanpa tahu apa yang dibicarakan
klien. Atau sebaliknya ia menjadi kurang perhatian, kurang konsentrasi
dan mungkin malah memikirkan masalahnya sendiri

b. Hostilitas

Hostilitas dapat mengacu pada fenomena psikis yang memaksakan orang


lain bertindak atau berbuat menurut cara yang diharapkan membenarkan
sistem konstruk orang (Mappiare, 2006). Konselor sering merasa dirinya
nice people karena sudah membantu orang lain dan ia mengharap akan
dihargai karena hal ini. Tetapi orang (klien) dalam konseling punya
hostilitas terpendam yang harus diurai dahulu sebelum bisa melangkah
maju. Jadi, mereka sering mengekspresikan hostilitasnya ini kepada
konselor. Konselor sebaiknya memaklumi bahwa hal ini sering terjadi.
Justru konselor yang harus mengurai apa yang melatarbelakangi suatu
hostilitas terjadi.

c. Distansi Emosional ( Kesenjangan emosional )

Konselor yang distan secara emosional tidak dapat ”masuk” ke dalam diri
klien. Ia tidak dapat menyatukan dirinya dengan pikiran, perasaan dan
persepsi klien sehingga bisa benar-benar berempati.

d. Kelekatan Emosional

Lekat emosional berarti bahwa konselor dan/atau klien bergantung pada


yang lain untuk pemuasaan kebutuhan dasar mereka. Kebutuhan dasar
yang terpenuhi dalam hubungan semacam ini merupakan kebutuhan untuk
merasa aman, untuk menerima dan memberi cinta, untuk dikagumi dan

36
dibutuhkan (Lesmana, 2006). Beberapa kemungkinan perilaku konselor
yang lekat emosional adalah:

1. Sangat berharap bertemu dengan klien.

2. Memperpanjang sesi

3. Iri terhadap hubungan dekat klien dengan orang lain dan secara halus
meremehkan atau tidak mendorong hubungan ini

4. Mencemaskan klien di antara sesi yang tidak dirasakan terhadap klien


lain.

Bila telah terjadi kelekatan emosional antar konselor dengan klien maka
terdapat beberapa prinsip-prinsip hubungan konseling yang terabaikan yaitu:

➢ Konselor umumnya mempersepsi realitas secara lebih tepat


daripada klien, tetapi bila terjadi kelekatan emosional ini akan
mempengaruhi persepsi konselor tentang klien.

➢ Konselor seharusnya membantu klien untuk membuat keputusan


yang ”menguntungkan” klien. Bila terjadi kelekatan emosional,
maka mungkin konslor akan ”menahan” klien karena memenuhi
kebutuhan emosionalnya.

➢ Konselor mampu untuk stabil meskipun ada perubahan mood


dalam diri klien. Konselor yang emosinya lekat pada klien akan
ikut dengan perubahan mood ini dan merasakan kepedihan dan
penderitaan yang luar biasa dari kliennya, sehingga
menghapuskan fungsi konselor sebagai pembawa pengaruh stabil
dan pemikiran-pemikiran yang objektif.

Kesenjangan dan Tantangan dalam Hubungan Konselor –Klien

Dalam sejumlah situasi, konselor dapat saja mengalami kesulitan kesulitan


karena adanya kesenjangan antara bagaimana seharusnya ia menjadi konselor
dengan apa yang senyatanya ia alami. Menurut Yeo (2003, 104:107) Beberapa
kesenjangan berkaitan relasi dengan klien yang dialami konselor, yaitu:

37
a. Membuka Diri

Sebagian klien mengharapkan para konselor mau menceritakan


informasiinformasi pribadi tentang diri konselor sendiri dan berusaha
mendapatkan kesejajaran dalam relasi. Tentu saja tidak ada salahnya konselor
menceritakan sejumlah informasi tentang dirinya kepada klien, misalnya apa
kualifikasi gelar konselor, riwayat pendidikan, keluarga, dsb.

Namun meskipun demikian, tidak wajar dan juga tidak perlu bahwa konselor
terlalu membuka kehidupan pribadinya, masalah-masalahnya, pengalaman
masa lampau atau keluarganya. Dengan arti ini, konseling tidak lagi menjadi
relasi sejajar. Hal ini dikarenakan relasi konseling bukan masalah
”bukabukaan” antara konselor-klien, tetapi lebih dimaksdukan untuk
menolong klien menghadapi masalah-masalahnya.

b. Perasaan-perasaaan konselor Terhadap Klien

Bagaimana seandainya konselor marah terhadap klien ?. Para konselor


terus-menerus diingatkan untuk menerima, memahami dan bersikap sabar
terhadap klien. Tetapi tidak semua klien dapat disukai oleh konselor. Sejumlah
klien bisa saja menjengkelkan, berperilaku kasar, dan buruk. Apa yang harus
dilakukan konselor apabila ada dalam siyuasi seperti ini? Yang pertama
dilakukan oeleh konselor adalah mengakui bahwa dirinya bukan malaikat.
Konselor adalah manusia biasa yang dapat terpengaruh oleh klien dan
kadang-kadang tidak suka pada mereka. Yang kedua konselor dapat
membicarakannya dengan sejawat, mendiskusikan bersama dengan mereka.

c. Daya Tarik Seksual

Konseling mencakup situasi-situasi yang melibatkan perasaan-perasaan antara


dua orang atau lebih. Konselor menjadi lebih rentan dalam situasi tatap muka
dengan satu orang. Tidak dapat dihindari bahwa para konselor mengalami daya
tarik seksual kliennya. Hal penting adalah konselor dapat membuat
batasan-batasan yang jelas pada awal sesi konseling (misalnya dengan
menggunakan teknik strukturing). Selain itu konselor dapat mengusahakan
tindakan-tindakan pencegahan dengan tidak menutup-nutupi kenyataan ini dari

38
rekan-rekan sejawat atau konselor yang lebih senior. Konselor perlu
mengambil sikap tegas dan tidak kompromi dengan situasisituasi semacam ini.

Setiap profeional dalam bidang menolong orang lain (helping profesion)


akan berhadapan dengan siatuasi-situasi dimana klien ”menantang”
kehandalan, pengalaman dan kepakaran konselor. Kadang-kadang perilaku
klien ini dianggap sebagai sikap menutup diri terhadap konseling atu pada
umumya klien melakukan resistensi. Perilaku seperti ini sebenarnya wajar,
setidaknya klien menginginkan jaminan dan mendapatkan sosok konselor yang
berkompeten dalam rangka membantu pemecahan masalahnya. Yeo (2003,
110:113) mengemukakan beberapa sikap yang bisa konselor lakukan berkaitan
dengan sikap atau perilaku ”menantang” klien.

1. Konselor Tidak Bersikap Defensif

Konselor mencoba untuk memahami bahwa klien sedang cemas dan tidak
pasti. Kemungkinan sikap ”menantang” klien akan muncul. Terkadang klien
mengatakan sesuatu yang mungkin konselor merasakan bahwa itu
merendahkan diri konselor. Misalnya dengan mengatakan ” bagaimana saya
tahu apakah Anda (konselor) mampu menolong saya ?”.

2. Konselor tidak Menganggap Rendah Dirinya Sendiri

Konselor tidak perlu menganggap rendah dirinya sendirinya. Adalah wajar


bahwa seorang profesional juga memiliki kekurangan pada dirinya.Namun
yang paling penting adalah ada usaha untuk selelu mencoba lebih baik dari
sebelumnya.

3. Siap menghadapi berbagai pertanyaan dari klien

Apapun pertanyaan dari klien, konselor mencoba untuk menjawab semua


pertanyaan-pertanyaan tersebut. Konselor tidak boleh menghindar atau
menyensornya. Apabila konselor tidak bersedia menjawab
pertanyaanpertanyaan yang sangat intim, konslor bisa menjawab secara
ringkas dan mengarahkan klien untuk terpusat pada dirinya sendiri.

4. Memberi kesempatan klien untuk mencoba

39
Jika klien ragu-ragu terhadap konseling, baik apabila memberikan
kesempatan untuk mencoba. Konselor dapat mengatakan pada klien bahwa
wajar apabila mereka ragu-ragu dan mungkin menganggap hasil konseling
tidak sesuai dengan keinginan mereka. Namun tidak ada salahnya bila
konselor memahamkan klien untuk mencoba hasil dari konseling. Hal ini
penting karena mengingat konseling merupakan suatu proses yang
membutuhkan tahap tertentu dalam penyelesaian suatu masalah, dan tentunya
dalam proses konseling telah,dibicarakan kelemahan kelebihan dari
masing-masing alternatif pemecahan masalah.

40
DAFTAR PUSTAKA

Gladding, S.T. 2009. Counselling: A Comprehensive Professions 6th edition. New


Jersey: Prentice-Hall.

Lesmana, J.M. 2006. Dasar-dasar Konseling. Jakarta: UI Press

Mappiare, Andi. 2006. Kamus Konseling dan Psikoterapi. Jakarta: PT. Rajawali
Grafindo Persada.

Mulawarman dan Eem Munawaroh.2016.Psikologi Konseling Sebuah Pengantar Bagi


Konselor Pendidikan.Semarang.

Surya, M. 2003. Psikologi Konseling. Bandung: C.V. Pustaka Bani Quraisy.

Yeo, Antony. 2003. Konseling: Suatu Pendekatan Pemecahan Masalah. Terjemahan


A. Wuisan. Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia

41
BAB VII

PENDEKATAN DAN KETERAMPILAN DASAR KONSELING

Teori dan pendekatan konseling

1. Pendekatan Person Centered Counseling (Konseling Berpusat Pribadi)

a. Latar Belakang

Pendekatan konseling berpusat pribadi dikembangkan oleh Carl Ransom Rogers


pada tahun 1940-an. Munculnya pendekatan ini didasarkan pada konsep psikologi
humanistic sebagai reaksi terhadap directive counseling dan pendekatan
psikoanalisis.

Periode pertama tahun 1940-an awalnya bernama non directive counseling yang
menekankan pada penciptaan iklim permisif (membebaskan), memusatkan pada
teknik penerimaan dan klarifikasi guna membantu konseli memahami diri sendiri
dan situasi kehidupannya.

Periode kedua tahun 1950-an berganti nama dengan client centered therapy.
Paradigma client centered ini diaplikasikan dalam bidang pendidikan (student
centered learning) di mana kondisi konseling diperlukan bagi perubahan klien.
Sekitar tahun 1980-an dan 1990-an merupakan pengembangan pendekatan ini
secara meluas dalam bidang pendidikan, industry, kelompok, resolusi konflik, dan
pencarian perdamaian dunia.

Pendekatan humanistik menekankan terhadap pengalaman konseli saat “sekarang


dan di sini” (here and now) dibandingkan focus pada akar permasalahan saat masa
kanak – kanak (psikodinamika) maupun pencapaian pola perilaku baru di masa
yang akan datang (behaviorisme).

b. Hakikat Manusia

Hakikat manusia menurut pendekatan berpusat pribadi, sebagai berikut:

1) Manusia mempunyai potensi untuk memahami diri dan mengatasi


masalahnya sendiri

42
2) Berkembang ke arah yang lebih baik (aktualisasi diri)

3) Manusia melakukan sesuatu berdasarkan persepsinya (subjektif)

4) Manusia pada dasarnya baik sesuai dengan harkat dan martabat

5) Dapat bertanggung jawab dan konstruktif

c. Pandangan tentang kepribadian

Sejak awal, Rogers menekankan pada cara kepribadian itu berubah dan
berkembang, bukan pada aspek pribadian. Namun, jika ditinjau dari hakikat
pribadi manusia, Rogers mengajukan tiga konstruk pokok dalam teorinya,
yaitu:

1) Organisme, adalah individu itu sendiri yang mencangkup aspek fisik


maupun psikologis.

2) Medan fenomena (phenomenal Field), adalah semua hal yang


dialami individu (dunia pribadi) dan menjadi sumber kerangka
acuan internal dalam memandang kehidupan.

3) Self, adalah struktur kepribadian yang sebenarnya.

d. Asumsi tingkah laku bermasalah

Dalam pendekatan konseling berpusat pribadi, seseorang dikatakan


menjadi pribadi yang bermasalah secara psikologis apabila mengalami kondisi
penghargaan bersyarat, inkongruensi (tidak kongruen), memiliki sikap defensive
(membela diri) dan disorganisasi. Secara lebih detail, penjelasan asumsi tingkah
laku bermasalah, sebagai berikut:

1.) Penghargaan Bersyarat (Conditions of Worth)

Penghargaan bersyarat muncul saat penghargaan positif dari significant


other memiliki persyaratan, saat individu tersebut merasa dihargai dalam
beberapa aspek dan tidak dihargai dalam aspek lainnya.

43
1) Inkongruensi

Organisme dan self merupakan dua entitas yang dapat


kongruen satu sama lain ataupu tidak. Beberapa kondisi akibat
inkongruensi, yaitu:

a) Kerentanan; manusia menjadi rentan saat tidak


menyadari perbedaan antara diri organimiknya dengan
pengalaman diri yang signifikan.

b) Kecemasan; diartikan sebagai kondisi yang tidak


menyenangkan atau tekanan dari sumber yang tidak
diketahui.

c) Ancaman; merupakan kesadaran bahwa diri seseorang


tidak lagi utuh (kongruen).

2) Sikap defensif

Reaksi yang umumnya dilakukan untuk menghindari


ketidakkonsistenan antara pengalaman organismik dan diri
yang dirasakan dengan cara defensive.

3) Disorganisasi

Disorganisasi dapat terjadi secara tiba – tiba atau dapat terjadi


secara bertahap selama rentang waktu yang panjang.

2.) Tujuan konseling

Konseling berpusat pribadi bertujuan agar individu (konseli) dapat


mencapai karakteristik pribadi yang beraktualisasi diri (self actualizing) atau
berfungsi penuh (fully functioning person).

44
3.) Prosedur konseling

Pendekatan person centered adalah proses konseling yang fleksibel dan


tergantung dari proses komunikasi antara konselor dan konseli. Tahapan
dalam konseling berpusat pribadi dijelaskan dalam beberapa tahap sebagai
berikut:

1.) Pembinaan hubungan baik

Untuk memberikan kesadaran kepada konseli, maka konselor perlu


melakukan beberapa hal, yaitu:

a) Membina hubungan baik dengan konseli dengan


menerapkan sikap dasar guna memfasilitasi perubahan
terapeutik pada konseli

b) Mendengarkan bahasa verbal dan non verbal konseli

c) Memahami kerangka acuan sudut pandang dalam diri


konseli (internal frame of reference)

2.) Mendorong penerimaan diri konseli dengan menyediakan kondisi


fasilitatif hingga konseli mengungkapkan ekspresi – ekspresi
tertentu meski belum terbuka apa adanya

3.) Membebaskan individu untuk mengekspresikan apa pun yang


terkait dengan diri sendiri

4.) Mendorong konseli mampu menafsirkan makna akan pengalaman


yang telah dilaluinya, menjabarkan perasaan –perasaan yang
muncul, komitmen untuk bertanggung jawab terhadap masalahnya

5.) Membebaskan konseli untuk jauh lebih menyelami pengalamannya


dan bebas berekspresi, kendati masih ada sedikit rasa takut dan
tidak percaya

45
6.) Membantu konseli menerima keadaan dirinya apa adanya
sebagaimana yang dia persepsikan tanpa rasa takut, penolakan atau
pengabaian

7.) Mendorong konseli untuk memiliki kesadaran untuk merefleksikan


pengalaman, terbuka terhadap pengalaman dan semakin percaya
diri untuk mengalami proses hidup walau sesulit apapun

4.) Teknik konseling

Dalam konseling person centered, penekanan teknik konseling yang


digunakan lebih kepada kepribadian, keyakinan dan sikap konselor.

5.) Keunggulan dan keterbatasan

Kekuatan dan kontribusi pendekatan konseling berpusat pribadi antara


lain:

1.) Konseli akan dapat mengekspresikan secara penuh apa yang


dirasakanya karena tidak mendapat penilaian negative dari
konselor.

2.) Individu akan lebih berkembang secara optimal jika mendapat


unconditional positive regard.

3.) Dapat diterapkan di berbagai setting dan perspektif multicultural.

4.) Konseli mendapatkan pengalaman positif dari proses konseling


karena memusatkan pada dirinya sendiri.

5.) Konseli lebih mampu mengenal diri konseli sendiri.

Keterbatasan pendekatan konseling berpusat pada pribadi, antara lain:

1.) Optimisme yang tidak realistis.

2.) Sangat sulit bagi konseli menemukan jalannya sendiri.

3.) Tanpa menggunakan teknik yang detail, konseling tidak bisa


berjalan secara optimal, hanya konselor sebagai instrument.

46
4.) Dengan terapis hanya menunjukkan dukungan, mendengarkan,
peduli, dan penerimaan yang hangat saja tidak cukup untuk
berubah.

5.) Tidak relevan digunakan bagi konseli yang tidak memiliki motivasi
untuk berubah.

6.) Tidak bisa digunakan bagi konseli yang memiliki kasus patologis /
berat, untuk orang – orang normal saja.

2. Pendekatan Behavior (Konseling Perilaku)

a) Latar belakang

Konseling behavior dikembangkan sejak 1950-an dan 1960-an. Tokoh


kondisioning klasik adalah Ivan Pavlov yang mengilustrasikan classical
conditioning melalui percobaan dengan anjing. Operant conditioning adalah
jenis belajar dimana perilaku semata – mata dipengaruhi oleh akibat yang
menyertainya. Tokohnya adalah B.F. Skinner.

Secara umum, konseling behavior mengacu pada praktik yang


didasarkan utamanya pada teori social cognitive dan mengakomodasi
seperangkat prinsip dan prosedur kognitif.

b) Hakikat manusia

Hakikat manusia menurut pendekatan konseling perilaku adalah:

1.) Manusia bertingkah laku melalui melalui proses belajar

2.) Manusia berkembang melalui proses kematangan dan belajar

3.) Manusia berinteraksi dengan lingkungannya

4.) Manusia bersifat unik

5.) Manusia memiliki kebutuhan bawaan dan yang dipelajari

6.) Manusia bersifat reaktif

47
7.) Manusia dipengaruhi oleh aspek kognitifnya

c) Pandangan tentang kepribadian

1.) Teori pengkondisian klasik

Menurut teori ini tingkah laku manusia merupakan fungsi dari stimulus.
Dalam pembentukan tingkah laku yang normal dapat terjadi dalam
perilaku rajin belajar misalnya, yang terbentuk karena adanya asosiasi.

2.) Teori pengkondisian operan

Teori pengkondisian yang dikembangkan oleh Skinner ini menekankan


pada peran lingkungan dalam bentuk konsekuensi – konsekuensi yang
mengikuti dari suatu tingkah laku.

3.) Teori belajar sosial

Dalam pendekatan belajar sosial, pengaruh peristiwa – peristiwa


lingkunganpada tingkah laku sebagian besar ditentukan oleh proses –
proses kognitif, yang mengatur pengaruh – pengaruh lingkungan apa yang
diperhatikan, dirasakan maupun diinterpretasikan oleh individu.

d) Asumsi tingkah laku bermasalah

Tingkah laku bermasalah atau maladaptif muncul dan dipelajari oleh


individu melalui interaksinya dengan lingkungan. Pendekatan ini juga
memandang bahwa seluruh tingkah laku manusia didapat dengan cara belajar
dan juga tingkah laku tersebut dapat diubah dengan menggunakan prinsip –
prinsip belajar.

e) Tujuan konseling

Tujuan konseling behavioral adalah mencapai kehidupan tanpa mengalami


tingkah laku simtomatik, yaitu kehidupan tanpa mengalami kesulitan atau
hambatan yang dapat menimbulkan ketidakpuasan dalam jangka panjang dan/atau
mengalami konflik dengan kehidupan sosial.

f) Prosedur konseling

48
Prosedur konseling behavior:

1.) Pembinaan hubungan baik

2.) Identifikasi masalah (asesmen)

3.) Merumuskan tujuan (goal setting)

4.) Implementasi teknik (technique implementation)

5.) Evaluasi dan pengakhiran (evaluation and termination)

g) Teknik konseling

Teknik konseling behavior terdiri dari dua macam, yaitu: (1) teknik
untuk meningkatkan tingkah laku seperti penguatan positif, token economy,
pembentukan tingkah laku (shaping), pembuatan kontrak (contingency
contracting); dan (2) teknik untuk menurunkan tingkah laku seperti
penghapusan (extinction), time-out, pembanjiran (flooding), penjenuhan
(satiation), hukuman (punishment), terapi aversi (aversive therapy), dan
desensitisasi sistematis.

1.)Teknik untuk meningkatkan tingkah laku

a. Penguatan positif (positive reinforcement)

Langkah pemberian penguatan (reinforcement), antara lain:

1. Identifikasi masalah dengan analisis ABC

2. Memilih perilaku target yang ingin diubah

3. Menetapkan data awal (baseline) perilaku awal

4. Memilih reinforcement yang bermakna

5. Menentukan jadwal pemberian reinforcement

6. Implementasi reinforcement positif

b. Kartu berharga (token economy)

Langkah pengaplikasian token economy, sebagai berikut:

49
1. Mengidentifikasi masalah dengan analisis ABC.

2. Menentukan perilaku target yang akan dicapai konseli.

3. Menetapkan besaran harga atau poin token yang sesuai


dengan perilaku target.

4. Menentukan waktu pemberian token kepada konseli.

5. Menentukan perilaku awal dari program.

6. Memilih reinforcement yang sesuai bersama konseli.

7. Memilih tipe token yang akan digunakan misalnya bintang,


stempel, kartu.

8. Mengidentifikasi pihak-pihak yang terlibat dalam program


token economy seperti guru, staf sekolah, siswa, relawan,
dan anggota token economy.

9. Menentukan jumlah dan frekuensi penukaran token


misalnya 25-27 token per orang, dan menurun sampai 15-30
token per hari.

10. Membuat pedoman pelaksanaan token economy (perilaku


yang mana akan diberikan penguatan, cara memberi
penguatan dengan token, waktu pemberian, banyaknya
jumlah token yang dapat diperoleh, data apa saja yang harus
dicatat, cara dan waktu pencatatan data, pihak yang
berperan, dan prosedur evaluasi).

11. Pedoman diberikan kepada konseli dan pihak yang terlibat.

12. Melakukan monitoring.

c. Pembentukan tingkah laku (shaping)

Shaping merupakan pembentukan tingkah laku baru


yang sebelumnya belum ditampilkan dengan memberikan

50
reinforcement secara sistematik dan langsung setiap kali
tingkah laku ditampilkan.

d. Kontrak perilaku (behavior contract)

Kontrak perilaku merupakan strategi pengubahan


tingkah laku dengan cara mengatur kondisi konseli berdasarkan
kontrak antara konseli dan konselor.

e. Modeling

Modeling menunjukkan terjadinya proses belajar


melalui pengamatan (observational learning) terhadap orang
lain yang memberikan perubahan perilaku melalui peniruan
(imitation).

2.) Teknik untuk menurunkan tingkah laku

a. Penghapusan (extinction)

Penghapusan (extinction) adalah strategi pengubahan


perilaku dengan cara menghentikan reinforcement pada tingkah
laku yang sebelumnya diberi reinforcement.

b. Time out

Time out adalah strategi pengubahan perilaku dengan


cara menyisihkan peluang individu untuk mendapatkan
reinforcement positif.

c. Pembanjiran (flooding)

Flooding adalah teknik modifikasi perilaku dengan cara


membanjiri konseli dengan kondisi atau penyebab kecemasan
atau tingkah laku yang tidak dikehendaki hingga konseli sadar
bahwa sesuatu yang dicemaskan tidak terjadi.

d. Penjenuhan (satiation)

51
Penjenuhan (satiation) adalah cara untuk mengubah
perilaku individu dengan membuat konseli jenuh terhadap
suatu tingkah laku, sehingga tidak bersedia melakukannya lagi.

e. Hukuman (punishment)

Hukuman (punishment) adalah intervensi operant


conditioning untuk mengurangi tingkah laku yang tidak
diinginkan.

f. Terapi aversi

Terapi aversi digunakan untuk meredakan atau


menghilangkan gangguan perilaku spesifik yang melibatkan
pengasosiasian tingkah laku simtomatik dengan stimulus yang
menyakitkan sehingga tingkah laku yang tidak diinginkan
terhambat kemunculannya.

g. Desensitisasi sistematis

Desensitisasi sistematis merupakan teknik konseling


behavior yang memfokuskan bantuan untuk menenangkan klien
dari ketegangan yang dialami dengan cara mengajarkan konseli
untuk rileks (Sharf,2012).

h. Keunggulan dan keterbatasan

Keunggulan pendekatan konseling perilaku yang perlu


dicermati oleh konselor, antara lain:

1.) Mengembangkan konseling sebagai ilmu karena


mengundang penelitian dan menerapkan ilmu pengetahuan
kepada proses konseling.

2.) Mengembangkan perilaku yang spesifik sebagai hasil


konseling yang dapat diukur.

52
3.) Penekanan bahwa konseling hendaknya memusatkan pada
perilaku sekarang dan bukan pada perilaku yang terjadi
dimasa datang.

Keterbatasan pendekatan konseling perilaku yang perlu


dicermati oleh konselor, antara lain:

1.) Pendekatan konseling perilaku kurang menyentuh aspek


pribadi, bersifat manipulatif, dan mengabaikan hubungan
antarpribadi.

2.) Pendekatan konseling perilaku lebih terkonsentrasi kepada


teknik.

3.) Tujuan konseling prosesnya sering ditentukan oleh konselor


meskipun melalui pembicaraan dengan konseli.

4.) Meskipun konselor perilaku menegaskan bahwa setiap


konseli adalah unik dan menuntut perlakuan yang unik dan
spesifik, akan tetapi masalah satu konseli sering disamakan
dengan konseli lain dan oleh karena itu, tidak menuntut
suatu strategi konseling yang unik.

5.) Konstruksi belajar yang dikembangkan dan digunakan oleh


konselor perilaku tidak cukup komprehensif untuk
mejelaskan belajar dan harus dipandang hanya sebagai
suatu hipotesis yang harus diuji.

3. Pendekatan Rational Emotive Behavior

a. Latar Belakang

Pendekatan ini dikembangkan Albert Ellis tahun 1955 dengan nama rational
therapy karena ketidakpuasan Ellis terhadap efektivitas psikoanalisis. Pada tahun
1961, Ellis mengubah nama pendekatannya menjadi Rational Emotive Therapy (RET)
dan tahun 1993 mengubah nama RET menjadi Rational Emotive Behavior Therapy
(REBT).

53
Konseling Rational Emotive Behavior (REB) lebih difokuskan pada kerja
berpikir (thinking) dan bertindak (acting) ketimbang pada ekspresi perasaan –
perasaan.

b. Hakikat Manusia

Manusia pada dasarnya adalah unik dan memiliki kecenderungan untuk berpikir
rasional dan irasional. Ketika berpikir dan bertingkah laku rasional manusia akan
efektif, bahagia, dan kompeten. Sebaliknya, ketika berpikir dan bertingkah laku
irasional, individu akan menjadi tidak efektif.

c. Pandangan Tentang Kepribadian

Pandangan pendekatan rasional emotif tentang kepribadian dapat dikaji dari


konsep – konsep kunci teori Albert Ellis: ada tiga pilar yang membangun tingkah laku
individu, yaitu Activating Event (A), Belief (B), dan Emotional Consequence (C).
selain itu ditambah pula dengan Disputing (D) dan Effect (E). kerangka pilar ini yang
kemudian dikenal dengan konsep atau teori ABC.

d. Asumsi Tingkah Laku Bermasalah

Dalam perspektif pendekatan konseling rasional emotif tingkah laku


bermasalah adalah tingkah laku yang disasarkan pada cara berpikir yang
irasional.

e. Tujuan Konseling

Tujuan konseling reb adalah memperbaiki dan mengubah sikap,


persepsi, cara berpikir, keyakinan serta pandangan konseli yang irasional dan
tidak logis menjadi pandangan yang rasional dan logis agar dia dapat
mengembangkan diri, meningkatkan aktualisasi dirinya seoptimal mungkin
melalui tingkah laku kognitif dan afektif yang positif.

f. Prosedur konseling

Proses konseling rational emotive behavior memiliki karakteristik tahapan


atau prosedur yang dielaborasi dari prosedur yang dikemukakan oleh Hansen
(1982) maupun Seligman (2006), sebagai berikut:

54
1. Pembinaan hubungan konseling

2. Tahap pengelolaan pemikiran dan cara pandang

3. Tahap pengelolaan emosi atau afektif

4. Tahap pengelolaan tingkah laku

g. Teknik konseling

Teknik konseling dengan pendekatan Rational Emotive Behavior (REB) dapat


dikategorikan menjadi tiga kelompok , yaitu:

1) Teknik kognitif

2) Teknik emotif

3) Teknik behavior

h. Keunggulan dan keterbatasan

Keunggulan :

1) Pendekatan ini tidak dapat digunakan secara efektif pada individu yang
mempunyai gangguan atau keterbatasan mental, seperti schizophrenia,
dan mereka yang mempunyai kelainan pemikiran yang berat.

2) Pendekatan ini terlalu diasosiasikan dengan penemunya, Albert Ellis.

3) Pendekatan ini langsung dan berpotensi membuat konselor terlalu fanatik


da nada kemungkinan tidak merawat klien seideal yang semestinya.

4) Pendekatan yang menekankan pada perubahan pikiran bukanlah cara yang


paling sederhana dalam membantu klien mengubah emosinya.

Keterbatasan:

1) Pendekatan ini jelas, mudah dipelajari dan efektif. Kebanyakan klien


hanya mengalami sedikit kesulitan dalam mengalami prinsip ataupun
terminology REB.

55
2) Pendekatan ini dapat dikombinasikan dengan teknik tingkah laku lainnya
untuk membantu klien mengalami apa yang mereka pelajari lebih jauh
lagi.

3) Pendekatan ini relatif singkat dan klien dapat melanjutkan penggunaan


pendekatan ini.

4) Pendekatan ini telah menghasilkan banyak literatur dan penelitian untuk


klien dan konselor.

5) Pendekatan ini terus – menerus berevolusi selama bertahun – tahun dan


teknik – tekniknya telah diperbaiki.

6) Pendekatan ini efektif dalam mengatasi gangguan depresi dan anseitas.

4.Pendekatan Solution – Focused Brief Counseling (SFBC)

a. Latar Belakang

Konseling singkat berfokus solusi (SFBC), dipelopori oleh Insoo Kim Berg
dan Steve DeShazer. SFBC merupakan salah satu pendekatan konseling
post-modern dengan mengedepankan keberdayaan konseli untuk mencari jalan
keluar atau solusi sehingga konseli akan memilih sendiri tujuan yang hendak ia
capai (Corey, 2013; Capuzzi dan Gross, 2011).

b. Hakikat Manusia

Manusia adalah makhluk yang sehat dan kompeten. SFBC merupakan model
konseling yang nonpatologis yang menekankan pentingnya kompetensi manusia
darpada kekurangmampuan, dan kekuatan daripada kelemahannya.

c. Pandangan Tentang Kepribadian

Dalam pelaksanaan bantuan terhadap konseli, SFBC tidak menggunakan teori


kepribadian dan psikopatologi yang berkembang saat ini. Konselor SFBC
berkeyakinan bahwa kita tidak bisa memahami secara pasti tentang penyebab
masalah individu.

56
d.Asumsi Tingkah Laku Bermasalah

Secara teoritis SFBC memandang masalah konseli bisa dilihat bahwa individu
menjadi bermasalah karena ketidakmampuannya untuk mencari dan
mengefektifkan dalam melakukan pemecahan yang telah dilakukannya. Dengan
kata lain, SFBC tidak ada memberikan konsep khusus tentang masalah yang
dialami oleh konseli dan sejatinya konselor tidak bisa memahami secara pasti
tentang penyebab masalah individu.

e.Tujuan Konseling

Tujuan utama dari SFBC meliputi membantu klien untuk mengadopsi


pergeseran sikap dan bahasa klien dari berbicara mengenai permasalahan menjadi
berbicara tentang berbagai solusi.

f. Prosedur konseling

Berdasarkan prinsip dasar penerapan SFBC, menunjukan bahwa dalam


aplikasinya pendekatan SFBC telah memiliki rambu - rambu tertentu agar proses
konseling memiliki daya efektifitas dan efisien terutama proses pemecahan
masalah. Meski demikian pendekatan ini tetap menekankan pembinaan hubungan
yang kolaboratif pada awal sesi sehingga diharapkan antara konselor dan konseli
bersama – sama merancang alternatif pemecahan masalah secara tepat.

g. Teknik konseling

Beberapa teknik dari SFBC (Corey, 2013; Capuzzi dan Gross, 2011) adalah:

1) Pertanyaan Pengecualian (Exception Question)

2) Pertanyaan Keajaiban (Miracle Question)

3) Pertanyaan Berskala (Scaling Question)

4) Rumusan Tugas Sesi Pertama (Formula First Session Task/ FFST)

5) Umpan balik (feedback)

6) Presession Change Question (Pertanyaan Perubahan Prapertemuan)

57
h. Keunggulan dan keterbatasan

Keunggulan:

1) Berfokus pada solusi

2) Treatment terfokus pada hal yang spesifik dan jelas

3) Penggunaan waktu yang efektif

4) Berorientasi pada di sini dan sekarang (here and now)

5) Penggunaan teknik intervensi bersifat fleksibel dan praktis

Keterbatasan:

1) Dalam waktu relatif singkat konselor harus mampu melakukan penilaian


untuk membantu konseli memformulasikan tujuan khusus, dan secara
efektif menggunakan intervensi yang tepat hal ini dapat menimbulkan
kesan prematur.

2) Posisi not-knowing dapat menjadi kendala dalam setting multikultural.

3) Konseling bertujuan tidak secara tuntas menyelesaikan masalah konseli.

4) Dalam penerapannya menuntut keterampilan konselor dalam penggunaan


bahasa.

5) Dalam proses konseling akan terjadi hambatan ketika konseli sulit untuk
diajak berimajinasi.

6) Tidak ada seperangkat “resep pemecahan masalah” atau solusi secara tepat
yang harus diikuti semuanya tergantung subjektivitas konseli.

7) Kurangnya pengalaman konselor memungkinkan memandang SFBC


hanya sebagai teknik.

8) Kurangnya perhatian pada pendefinisian problem atau menyederhanakan


problem.

58
Keterampilan dasar konseling
A. Keterampilan Antarpribadi

Keterampilan antarpribadi mencakup kemampuan konselor dalam


mendampingi klien, mendengarkan mereka, dan mendorong mereka menceritakan apa
saja yang ada dalam benak mereka. Leod (2006:536) mengemukakan bahwa
keterampilan antarpribadi berkaitan dengan konselor mendemonstrasikan perilaku
mendengar, berkomunikasi, empati, kehadiran, kesadaran komunikasi non verbal,
sensitivitas terhadap kualitas suara, responsivitas terhadap ekspresi emosi,
pengambilalihan, menstruktur waktu, dan menggunakan bahasa.

Dengan kata lain dalam keterampilan antarpribadi ini dan berdasar pada
faktor-faktor yang mempengaruhinya, maka konselor seharusnya untuk sadar akan
budaya dan nilai-nilai yang dimiliki oleh setiap individu (klien) maupun yang ia miliki
sendiri serta mampu meningkatkan gaya atau pendekat konselingnya secara tepat.

Berkaitan dengan berbagai keterampilan wawancara, Ivey (2003) membuat


sebuah hirarki keterampilan yang dipergunakan untuk membantu berkomunikasi lebih
intensif dengan klien. Keterampilan ini disebut keterampilan mikro (microskills).
Hirarki keterampilan dapat dilihat dalam gambar 5

59
Keterampilan-keterampilan antarpribadi dasar secara umum dapat dikelompokkan
dalam tiga jenis keterampilan, yakni:

1. Keterampilan Verbal

Keterampilan ini mengacu pada isi verbal dari proses konseling. Konselor
menggunakan keterampilan ini memberi ini untuk memberi perhatian pada klien yang
pada gilirannya akan memperlancar jalannya percakapan. Penggunaan keterampilan ini
membantu klien merasa cukup nyaman untuk memberi informasi pada konselor
sehingga konselor dapat menelaah pokok permasalahan. Ketrampilan verbal mencakup
tanggapan-tanggapan verbal, kualitas vokal yang memadai, dan alur verbal.

Kemampuan menanggapi mencakup sejumlah keterampilan dalam wawancara. Ada


sejumlah keterampilan berbeda yang dapat diringkas sebagai berikut:

a. Paraphrase (parafrase)

Keterampilan ini menunjuk pada pengulangan kata-kata dan pemikiran kunci


dari klien. Pengulangan kata-kata aatau kalimat ini secara utuh, apa adanya dan tanpa
merubah makna dari ungkapan klien. Perubahan kata boleh dilakukan guna rasiona
kalimat namum perubahan itu tidak mengeser arti kata atau kalimat klien (Mappiare,
1998:44)

b. Reflecting of feelings (Pemantulan perasaan-perasaan)


Keterampilan ini teknik yang digunakan konselor untuk memantulkan
perasaan/sikap yang terkandung di balik pernyataan klien. Dalam hal ini konselor
bertugas untuk mendengar secara cermat, menafsirkan perasaan yang tersirat dan
merumuskannya dalam kalimat jelas (gamblang) yang berisi kata perasaan menurut
dugaan konselor.
c. Interpretation (Penafsiran)
Keterampilan ini mencakup pemberian nama dan pengambaran secara positif
pemikiran-pemikiran, perasaan-perasaan, dan perilaku klien (Yeo, 2003:69).
Penafsiran akan memberi satu cara pandang alternatif bagi klien sehingga ia dapat
melihat dirinya sendiri dan masalah-masalahnya dengan cara berbeda.

d. Summarization (Peringkasan)

Peringkasan dalah suatu cara untuk meninjau ulang isi wawancara,

60
mengumpulkan kembali unsur-unsur umum dan rincian-rinciannya. Peringkasan
juga memberi konselor satu kesempatan untuk mengetahui pemikirannya itu tepat
atau tidak, dan hal ini memberikan jeda untuk wawancara (Ivey, 1987)

e. Clarification (Penajaman/Memperjelas)

Keterampilan yang mengacu pada perumusan inti-inti kalimat dan gagasan


klien dalam bentuk lain dengan makna yang sama (Mappiare, 1998:116). Selain itu
penajaman membantu klien dalam menggali pernyataan-pernyataannya dan makna
yang melekat dalam kata-kata yang dipergunakannya. Hal ini akan mengarahkan klien
untuk memahami lebih jauh pokok pembicaraan itu dan memberikan keterbukaan yang
lebih besar untuk menghadapi hal-hal yang terkait dengan masalahnya (Yeo, 2003:74)

f. Open and closed question (Pertanyaan tertutup dan terbuka)


Keterampilan yang mengacu pada kemampuan konselor utnuk mengajukan
pertanyaan-pertanyaan dalam memperjelas masalah-masalah klien.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut mengarahkan konselor menuju pemahaman yang
lebih baik terhadap situasi-situasi klien dan juga mengarahkan klien untuk
menceritakan masalahnya dengan jelas.
Pertanyaan-pertanyaan terbuka adalah pertanyaan-pertanyaan yang tidak dapat
dijawab dengan sedikit kata atau kalimat tunggal. Pertanyaan seperti itu mendorong
klien utnuk berbicara dan memberi informasi sebanyak mungkin. Sedangkan
pertanyaan-pertanyaan tertutup adalah pertanyaan-pertanyaan yang daapat dijawab
dengan ”ya” atau tidak” atau dengan sedikit kata-kata saja. Pertanyaan-pertanyaan ini
dimaksdkan untuk mendapatkan informasi, kejelasan, fokus, dan mengarahkan klien
pada satu masalah khusus yang mau dibicarakan (Yeo, 2003:75).

Menurut Surya (2003:116), ketrampilan bertanya dapat dikembangkan dengan


memperhatikan beberapa hal yaitu (1) perhatikan suasana konseling dan klien, (2)
kuasai materi yang berkaitan dengan pertanyaan, (3) ajukan pertanyaan dengan cara
yang jelas dan terarah, serta tidak keluar dari topik bahasan, (4) segera berikan respon
balikan terhadap jawaban pertanyaan yang diajukan dengan sikap yang baik dan
empatik.

2. Keterampilan Non verbal

Komunikasi atau keterampilan merupakan bentuk komunikasi yang ikut

61
memwarnai corak konseling sebagai suplemen, komplemen, dan substitusi komunikai
verbal (Surya, 2003:121). Keterampilan ini mengacu pada perilaku non-verbal
konselor yang dapt menyebabkan kemajuan dalam proses konseling dan
memperlihatkan pendampingan pada klien. Penampilan dan sikap tubuh konselor
memperlihatkan besarnya perhatian dan keprihatian konselor yang sulit diungkapkan
dengan kata-kata (Yeo, 2003).

Menurut Egan (1986), diantara sikap non verbal konselor yang dapat
meningkatkan hubungan konseling diantaranya adalah (1). Menghadapi klien secara
sejajar (facing the person squarely), (2) Memperlihatkan sikap tubuh terbuka (adopting
an open posture), (3) Posisi tubuh kedepan (learning forward), (4) Mempertahankan
kontak mata (maintaining eye contact), (5) Bersikap rileks (being relaxed)

Selain itu menurut Hutahuruk (1983) beberapa sikap atau keterampilan non
verbal konselor sebagai berikut:

a. Posisi badan (termasuk gerak isyarat dan eksprsi muka) diantara posisi badan yang
baik dalam attending mencakup

1. Duduk dengan badan menghadap klien

2. Tangan diatas pangkuan atau berpegang bebas atau kadang-kadang digunakan untuk
menunjukkan gerak isyarat yang sedang dikomunikasikan secara verbal

3. Responsif dengan menggunakan bagian wajah, umpamanya senyum spontan atau


anggukan kepala sebagai persetujuan atau pemahaman dan kerutan dahi tanda tidak
mengerti

4. Badan tegak lurus tanpa kaku dan sesekali condong kearah klien untuk
menunjjukkan kebersamaan dengan klien.

Posisi badan yang tidak baik mencakup:

a. Duduk dengan badan dan kepala membungkuk menghadap klien.

b. Duduk dengan sangat kaku

c. Gelisah atau tidak tenang (resah)

d.Mempergunakan tangan, kertas dan kuku tangan.

62
e. Sama sekali tanpa gerak isyarat pada tangan

f. Selalu meukul-mukul dan menggerakkan tangan dan lengan.

g. Wajah tidak menunjukkan perasaan

h. Terlalu banyak senyum, kerutan dahi atau anggukan kepala yang tidak berarti

b. Kontak mata

1. Kontak mata yang baik berlangsung dengan melihat klien pada waktu dia
berbicara kepada konselor dan sebaliknya. Kontak mata harus dipertahankan
atau dipelihara dengan menggunakan pandangan spontan yang
mengekspresikan minat dan keinginan mendengarkan serta merespon klien.

2. Kontak mata yang tidak baik mencakup:

2.1. Tidak pernah melihat klien

2.2. Menatap klien untuk secara tetap dan tidak memberi

kesempatan klien untuk membalas tatapan.

2.3. Mengalihkan pandangan dari klien segera sesudah klien

melihat kepada konselor.

c. Mendengarkan

Mendengarkan dalam keterampilan ini adalah mendengar dengan tepat dan


mengingat apa yang klien katakan dan bagaimana mengatakannya. Dengan mendengar
yang tepat memungkinkan konselor merumuskan tanggapan yang dapat menangkap
dengan tepat perasaan dan pikiran klien. Cara mendengarkan yang baik mencakup (1)
memelihara perhatian penuh dengan terpusat kepada klien, (2) mendengarkan segala
suatu yang dikatakan oleh klien, (3) Mendengarkan keseluruhan pribadi klien
(kata-katanya, perasaan dan perilakunya). Memahami pesan baik verbal maupun non
verbal dari diri klien (4) Mengarahkan apa yang konselor katakan terhadap apa yang
telah dikatakan oleh klien.

3. Keterampilan Mengamati Klien

63
Konselor dalam hal ini dituntut untuk sungguh-sungguh sadar akan apa yang
sedang klien katakan khususnya melalui gerakan-gerakan tubuh mereka, raut wajah,
kualitas vokal, dan ketidaksesuaian antara bahasa non verbal dengan
ungkapan-unkapan verbal mereka. Perilaku non verbal klien harus secara cermat
diamati ketika ia sedang menyampaikan satu informasi penting tentang dirinya dan
situasinya. Ivey (2003:95) mengemukakan bahwa keterampilan mengamati klien ini
akan membantu konselor untuk merespon dan mengetahui apa dan bagaimana bahasa
verbal dan non verbal klien. Selain itu juga mengamati perbedaan-perbedaan
multibudaya yang berkaitan dengan ungkapan-ungkapn verbal dan nonverbal klien.

B. Keterampilan Intervensi

Keterampilan intervensi adalah kemampuan konselor untuk melibatkan klien


dalam pemecahan masalah. Dalam proses pemecahan masalah, konselor perlu
memiliki pengetahuan tentang berbagai strategi dan cara yang berbeda untuk menolong
klien menghadapi masalah.

Ada beragam strategi dan cara yang diusulkan oleh berbagai aliran atau
pendekatan konseling. Pendekatan ini dapat membentang dari pendekatan
psikodinamis (psikoanalisis, Adlerian) sampai pendekatan eksistensial, pendekatan
Rogerian yang terpusat pada klien sampai terapi rasional emotif behavior, realitas dan
analisis transaksional. Dalam hal ini konselor sebaiknya menguasai satu pendekatan
dasar dan kemudia berusaha memadukan

cara-cara yang bermanfaat dari berbagai pendekatan lainnya demi penanganan efektif
terhadap masalah-masalah klien.

C. Keterampilan Integrasi

Keterampilan ini mengacu pada kemampuan-kemampuan konselor untuk


menerapakan strategi-strategi pada situasi-situasi khusus, sambil mengingat konteks
budaya dan sosio-ekonomi klien (Yeo, 2003). Hal ini dikarenakan konseling tidak
dapat dipraktikkan tanpa memperhatikan konteks budaya. Setiap klien yang hadir
dengan cara pikir tertentu yang sebagian besar dipengaruhi oleh sistem nilai dan
sistem budayanya.

64
Teknik – Teknik Khusus Konseling
1. Latihan Asertif

Teknik ini digunakan untuk konseli yang mengalami kesulitan untuk


menyatakan diri bahwa tindakannya adalah layak atau benar, latihan ini bermanfaat
untuk membantu konseli yang tidak mampu mengungkapkan perasaan yang
sesungguhnya ia rasakan.

2.Desentisitasi Sistematis

Merupakan teknik konseling behavioral yang memfokuskan bantuan untuk


menenangkan konseli dari ketegangan yang dialami dengan cara mengajarkan atau
mengajak konseli untuk rileks.

3.Pengkondisian Aversi

Teknik ini dimaksudkan untuk meningkatkan kepekaan konseli agar


mengamati respons pada stimulus yang disinergikan dengan kebalikan stimulus
tersebut.

4.Pembentukan Perilaku Model

Teknik ini dapat digunakan untuk membentuk perilaku baru pada konseli dan
memperkuat perilaku yang sudah terbentuk.

5.Permainan Dialog

Teknik ini digunakan dengan cara konseli dikondisikan untuk mendialogkan


dua kecenderungan yang saling bertentangan, yaitu kecenderungan top dog.

6.Bermain Proyeksi

Dalam teknik ini konselor meminta konseli untuk mencoba atau melakukan
hal – hal yang diproyeksikan orang lain.

7.Pemberian Tugas Rumah (Home Work Assignment)

Teknik ini dimaksudkan untuk membina dan mengembangkan sikap – sikap


tanggung jawab, kepercayaan pada diri sendiri serta kemampuan untuk mengarahkan
diri, mengolah diri konseli dan mengurangi ketergantungan pada konselor.

65
8.Imitasi

Teknik untuk menirukan secara terus menerus suatu model perilaku tertentu
dengan maksud menghadap dan menghilangkan perilakunya sendiri yang bersifat
negative.

9.Bermain Peran

Teknik ini untuk mengekspresikan berbagai jenis perasaan yang menekan


perasaan – perasaan negatif melalui suatu suasana yang dikondisikan sedemikian rupa
sehingga konseli dapat secara bebas mengungkapkan dirinya sendiri melalui peran
tertentu.

10. Teknik Kursi Kosong (Empty Chair)

Teknik ini untuk membantu konseli yang mengalami masalah berkenaan


dengan terhambatnya komunikasi dengan orang lain, permasalahan yang
dimaksudkan adalah ketidakberanian / ketidaksanggupan konseli untuk berhadapan
dengan orang yang dimaksud.

66
DAFTAR PUSTAKA

Corey, Gerald. 2013. Theory and Practise of Counseling and Psycotherapy.

Boston: Thompson/ Brook.Cole.

Egan, Gerard. 1986. The Skilled Helper: A Systematic Approach to Effective

Helping. Brooks/Cole Publishing

Gladding, Samuel. 2012. Konseling: Profesi yang Menyeluruh. Jakarta: Indeks.

Hutahuruk, T. dan Pribadi, S. Konseling Mikro. Jakarta: Dekdikbud Dikti

P2LPTK

Ivey, A.E. dan Ivey, M.B. 2003. Intentional Interviewing and Counseling:

Facilitating Client Development in a Multicultural Society. CA:

Brooks/Cole Thomson Learning.

Ivey, Allen E, Ivey, M.B, Downing, L.S. 1987. Counseling and Psychoterapy;

Integrating Skills, Theory, and Practice: Second Edition. New Jersey: Prentice
Hall inc.

Leod. J.M. Pengantar Konseling: Teori dan Studi Kasus. Terjemahan oleh A.K Anwar.
2006. Jakarta: Kencana Prenada Media Group

Lesmana, J.M. 2006. Dasar-dasar Konseling. Jakarta: UI Press

Mappiare. A, AT. 1998. Teknik-teknik Komunikasi dalam Konseling. Suplemen

Kuliah. Malang: Jurusan BK FIP UM

Mulawarman. ddk. 2019. Psikologi Konseling: Sebuah Pengantar Bagi Konselor


Pendidikan. Jakarta: PRENADAMEDIA GRUP.
Surya, M. 2003. Psikologi Konseling. Bandung: C.V. Pustaka Bani Quraisy.

Thompson, C.L., Rudolph, L.B., Henderson, D. 2004. Counseling Children. The

USA: Brooks/Cole.

67
Yeo, Antony. 2003. Konseling: Suatu Pendekatan Pemecahan Masalah.
Terjemahan A. Wuisan. Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia

68
BAB VIII

Penilaian dan Penelitian dalam Konseling

Menurut Gladding, 2009 Penelitian adalah suatu cara ilmiah untuk menjawab
pertanyaan atau masalah dengan cara mengumpulkan data dan fakta secara sistematis,
terorganisasi serta menginterpreasikannya sesuai dengan jenis maupun bentuk datanya.
Sedangkan menurut Creswell, 2015 penelitian adalah Sebuah proses dari beberapa
tahapan untuk mengumpulkan dan menganalisis guna meningkatkan atau memperkaya
pemahaman diri atas sebuah topik atau masalah.

Secara umum jenis penelitian dibagi menjadi tiga jenis metode penelitian, yaitu
kuantitatif, kualitatif, dan gabungan. Metode atau pendekatan kuantitatif adalah
pendekatan yang mengkuantifikasi temuan-temuan kedalam angka-angka dan
analisis datanya menggunakan statistik sebagai alat.Metode penelitian kualitatif
adalah pendekatan yang temuan-temuan penelitiannya tidak diperoleh melalui
prosedur statistik atau bentuk perhitungan lainnya, prosedur ini menghasilkan
temuan-temuan yang diperoleh dari data-data yang dikumpulkan dengan
menggunakan beragam sarana. Menurut Emzir, pendekatan Mixed Methods
merupakan salah satu pendekatan yang cenderung didasarkan pada paradigma
pengetahuan pragmatik (seperti oerientasi konsekuensi, orientasi masalah, dan
pluralistik). Pendekatan ini menggunakan strategi penelitian yang melibatkan
pengumpulan data baik secara simultan maupun secara sequensial untuk memahami
masalah penelitian sebaik-baiknya. Pendekatan Mixed Methods disebut juga sebagai
Penelitian gabungan. Berorientasi pada tindakan dengan menggunakan baik metode
kuantitatif maupun metode kualitatif dalam proses pelaksanaan suatu penelitian yang
sama.

Penelitian gabungan merupakan suatu prosedur untuk pengumpulan data, analisis


data, dengan penggunaan gabungan secara sekuensial metode kuantitatif dan kualitatif
atau sebaliknya, dalam memperoleh pemahaman yang lebih mendalam terhadap
masalah utama.

69
Secara umum, penelitian berlangsung melalui tahap Identifikasi masalah penelitian,
melakukan tinjauan bahan literatur, menentukan tujuan penelitian, mengumpulkan data,
menganalisis dan menafsirkan data, melaporkan dan menilai penelitian (Creswell,
2008).

1.Identifikasi Masalah Penelitian Penelitian dirangsang oleh adanya masalah yang


perlu dipecahkan. Identifikasimasalah penelitian terdiri atasmerinci isu-isu yang perlu
diteliti, mengembangkan justifikasi yang menyebabkan perlunya isu-isu tersebut
diteliti, dan menentukan pihak yang dapat memperoleh manfaat dari penelitian
tersebut.

2.Peninjauan Bahan Kepustakaan Peninjauan kepustakaan penting dilakukan


untuk mengetahui penelitian apa saja yang sudah ada terkait penelitian yang akan
dilakukan dan menemukan teori yang dapat dijadikan dasar penelitian. Meninjau bahan
pustaka berarti peneliti berupaya menemukan ringkasan, buku, jurnal, dan publikasi
terindeks berkaitan dengan topikyang akan diteliti. Hasilnya berupa bacaan terpilih dan
ringkasan yang dimasukkan sebagai tinjauanpustaka.

3.Merinci Tujuan Penelitian Peneliti perlu menspesifikasikan topik penelitian


sehingga dapat diteliti.Pernyataan masalah yang spesifik adalah pernyataan tujuan.
4.MengumpulkanDataBukti di lapangan membantu memberikan jawaban terhadap
pertanyaan dan hipotesis penelitian.

5.Menganalisis dan MenafsirkanDataSelama atau segera setelah pengumpulan


data, peneliti perlu memahami informasi yang disediakan subjek penelitian.
6.Melaporkan dan Menilai Penelitian Setelah penelitian selesai, Peneliti membuat
laporan tertulis dan menyebarkannya kepada pihak-pihak yang dapat memperoleh
manfaat dari laporan tersebut.

70
Hasil Penelitian Mengenai Efikasi, Efektivitas dan Faktor-faktor Umum Dalam
Perubahan Terapeutik

Efikasi mengacu pada sejauh mana efek dari proses konseling atau psikoterapi
bekerja dalam seting “laboratorium”. Studi efikasi menampilkan kelompok-kelompok
konseli yang ditetapkan dengan baik atau memenuhi kriteria tertentu

Efektivitas mengacu pada sejauh mana konseling dan psikoterapi bekerja di


lingkungan sebenarnya. Studi efektivitas cenderung memasukan klien yang lebih
beragam, termasuk mereka yang memiliki profil diagnostik kompleks.

Faktor-faktor yang berkontribusi dalam proses dan pengalaman konseling ada tiga
(Dykes,Kopp &Postings, 2014) yaitu: Karakteristik Konseli, Karakteristik Konselor
dan Konteks Konseling

Pemahaman Terhadap Hasil Penelitian Konseling

Hal-hal yang dapat digali yaitu melalui pertanyaan sebagai berikut :

1. Apakah tujuan penelitiannya?

2. Apakah penelitan terfokus pada populasi/kelompok konseli khusus?

3. Apakah penelitiannya dalam lingkup teoritis tertentu?

4. Bagaimana pelaksanaan atau prosedur penelitiannya?

5. Apa jenis metode penelitian yang digunakan kuantitatif, kalitatif atau


gabungan?

6. Apa hasil penelitiannya?

7. Apa saja implikasi temuannya bagi konselor dan konseli?

8. Apakah temuan/hasil penelitiannya memiliki implikasi yanga lebih luas?

71
DAFTAR PUSTAKA

Mappiare, Andi. 2006. Kamus Konseling dan Psikoterapi. Jakarta: PT. Rajawali
Grafindo Persada.

Mulawarwan dan Nugraheni, Edwindha Prafitra dkk. 2019. Psikologi Konseling


Sebuah Pengantar Bagi Konselor Pendidikan. Semarang : PRENADAMEDIA
GROUP

Surya,Muhammad. 2003. Psikologi Konseling. Bandung : Pustaka Bani Quraisy

72
BAB IX

Nilai,Etika serta Keyakinan dalam Konseling

Hakikat Kode Etik Dalam Profesi Konselor

Pada hakikatnya praktik konseling mencakup dimensi moral dan etika yang kuat.
Faktor nilai, keyakinan dan etik adalah masalah yang krusial dalam proses konseling.
Hal ini wajar karena nilai-nilai, keyakinan dan etika merupakan hal yang kompleks
serta menyangkut pribadi individu itu sendiri. Selain itu konseling lebih bersifat sarat
terhadap nilai-nilai, keyakinan maupun etika didalamnya daripada bersifat bebas nilai
(value free). Dengan demikian konselor perlu memahami implikasi-implikasi dari
sistem nilai, keyakinan serta standar kerja dan tingkah laku (etik) konselor dalam
menjalankan tugas profesionalnya. Dalam bab ini akan dibahas mengenai makna nilai,
keyakinan dan etik pada proses konseling. Selain itu bahasan akan mengarah pada
beberapa isu etika dalam proses konseling.

Hubungan Kode Etik, Moral dan Etika

Kode etik itu secara umum berisi sejumlah pasal-pasal yang berkenaan dengan
bagaimana suatu anggota dari profesi tertentu bertindak. Terdapat beberapa hal yang
boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan oleh setiap anggota profesi tersebut.

Moral, diambil dari bahasa Latin mos (jamak, mores) yang berarti
kebiasaan, adat. Sementara moralitas secara lughowi juga berasal dari
kata mos bahasa Latin (jamak, mores) yang berarti kebiasaan, adat
istiadat. Kata ’bermoral’ mengacu pada bagaimana suatu
masyarakat yang berbudaya berperilaku. Dan kata moralitas juga
merupakan kata sifat latin moralis,mempunyai arti sama dengan moral hanya
ada nada lebih abstrak. Kata moral dan moralitas memiliki arti yang sama,
maka dalam pengertiannya lebih ditekankan pada penggunaan
moralitas, karena sifatnya yang abstrak.

Etika merupakan standar tingkah laku seseorang, atau sekelompok orang yang
didasarkan atas nilai-nilai yang disepakati. Setiap kelompok profesi (termasuk konselor)

73
pada dasarnya merumuskan standar tingkah lakunya yang dijadikan sebagai pedoman
dalam menjalankan tugas dan kewajiban profesional.

Isu-isu Etik dalam Praktik Konseling

Setiap klien yang mempercayakan semua masalah yang ia hadapi kepada konselor
pasti ingin mengetahui sejauh mana perlindungan yang akan diperolehnya dengan
mempercayakan masalahnya tersebut. Dengan menceritakan masalahnya kepada orang
lain (konselor), ia ada dalam posisi yang “tidak aman” dari segala penyalah gunaan dan
manipulasi.

Konselor sebagai seorang professional juga tidak mudah mengintepretasikan


panduan etik dari organisasi profesinya, dan menerapkan dalam situasi-situasi tertentu.
Hal ini membutuhkan sensivitas etis yang memadai. Walaupun terdapat kode etik yang
sudah mengatur bagaimana konselor bertindak dalam menjalankan tugasnya terkadang
juga tidak dapat memberi jawaban terhadap dilema yang dihadapi konselor. Dengan
demikian konselor harus memutuskan sendiri apa yang terbaik untuk kliennya. Corey
dkk (2005: 39-telah mengidentifikasi langkah-langkah membuat keputusan etik yang
muaranya dapat membantu para konselor untuk memikirkan masalah-masalah etis.

Identifikasi maslah atau dilemma. Kumpulkan informasi yang akan memberikan


penjelasan tentang masalah. Hal ini akan membantu konselor menentukan apakah
masalah utamanya etis, legal, professional, klinis atau moral.

Identifikasi isu-isu potensial. Nilailah hak, tanggugjawab dan kesejahteraan dari


semua orang yang terlibat dalam situasi tersebut.

Lihatlah kode etik yang relevan dengan permasalahan untuk dipakai sebagai
penuntun umum. Perimbangkan pakah nilai-nilai dan etika yang dianut adalah sejalan
atau berkonflik dengan penuntun tersebut.

Pahamilah hukum dan aturan yang berlaku. Penting untuk menentukan apakah
ada hukum atau aturan yang terkait dengan dilemma etik ini.

Carilah konsultasi dari lebih dari satu sumber untuk mendapatkan berbagai
perspektif tentang dilema tersebut. Lakukanlah konsultasi dengan ahli atau para

74
professional yang paham tentang isu yang tercakup dalam situasi yang dipertanyakan
tersebut.

Lakukan brainstorming mengenai berbagai macam tindakan yang dapat


dijalankan. Lanjutkan untuk mendiskusikan alternative/opsi/pilihan dengan
professional lain. Sertakan klien dalam proses pertimbangan opsi tindakan.

Jelaskan (tetap sertakan klien) konsekuensi dari berbagai macam tindakan, dan
refleksikan implikasi dari setiap tindakan untuk klien anda.

Tentukan apa langkah yang kemungkinannya paling baik. Sekali tindakan telah
diimplementasikan, tindak lanjutilah untuk menilai hasilnya dan menentukan apakah
diperlukan tindakan selanjutnya.

Dalam pengambilan langkah-langkah etis ini konselor perlu memahami bahwa


perlu pemikiran yang matang untuk melakukannya. Dengan kata lain kematangan
professional sebagai landasan pengambilan keputusan etis ini menyiratkan bahwa
konselor bertanya tentang kesulitan-kesulitan yang dialami kepada kolega. Hal ini
dikarenakan bukan dibuat semata-mata untuk konselor namun adanya keterlibatan
antara konselor dank lien dalam proses membuat keputusan etis ini. Berikut ini
beberapa isu-isu etik yang berkembang dalam praktik konseling :

1. Isu konfidensialitas (kerahasiaan)

Konfidensialitas berkaitan dengan apakah hal-hal yang dibicarakan dalam


konseling itu bersifat rahasia atau tidak. Konfidensialitas melindungi klien dari
penyampaian informasi dalam bentuk apapun tanpa izin dari klien.

Konfidensialitas berbeda dengan privasi yaitu sesuatu yang bersifat pribadi dan
tidak perlu diketahui atau dikemukakan kepad pihak lain. Dengan kata lain privasi itu
berhubungan dengan hak individu untuk kehidupannya sendiri tanpa ada campur
tangan dari pihak lain. Sementara konfidensialitas berhubungan dengan pengendalian
informasi yang diterima sesorang. Sebuah informasi dikatakan konfidensial jika
dianggap tidak perlu dan seharusnya tidak disampaikan ke pihak lain atau publik
(Latipun, 2004: 214).

Menurut Baruth dan Robinson III (1987) penyampaian informasi tanpa izin klien
dianggap pelanggaran privasi klien, karena apa yang disampaikan klien kepada

75
konselor dianggap sebagai privileged communication (Lesmana, 2006:200). Privileged
communication adalah komunikasi yang memberi suatu hak legal kepada klien dan
melindungi klien dari kemungkinan penyampaian secara publik informasi-informasi
yang telah diberikan klien tanpa ijinnya.

Seiring dengan beberapa penjelasan mengenai konfidensialitas tersebut, maka


permasalahannya adalah apakah seluruh informasi yang dinyatakan oleh klien bersifat
konfidensial?. Dengan kata lain, apa yang menjadi tolak ukur atau pedoman bahwa
sesuatu (informasi) yang disampaikan klien itu dapat bersifat rahasia? apakah
konfidensialitas dapat dibatalkan?. Schneiders dalam Latipun (2004) mengungkapkan
bahwa prinsip kewajiban konfidensial itu adalah relatif, karena ada kondisi-kondisi
yang dapat mengubahnya dari semula konselor wajib merahasiakan pada situasi yang
lain menjadi sangat mungkin dan perlu diungkapkan.

Corey (2005: 41) menyebutkan beberapa keadaan yang menyebabkan pembatalan


konfidensialitas dan konselor harus melaporkannya secara hukum:

a. Ketika klien merupakan bahaya bagi orang lain atau bagi dirinya sendiri.

b. Bila terapis percaya bahwa klien dibawah usia 16 adalah korban dari incest,
perkosaan, penganiayaan anak, atau kejahatan lainnya.

c. Bila terapis menentukan bahwa klien memerlukan hospitalisasi

(pengobatan)

d. Bila informasi menjadi isu dalam tidakan pengadilan

e. Bila klien meminta catatannya diserahkan kepada dirinya sendiri atau kepada
orang ketiga lainnya.

Menjaga konfidensialitas merupakan kewajiban primer dari hubungan terapeutik


yang terbangun antara konselor dan klien. Hal ini dimaksudkan untuk melindungi apa
yang disampaikan klien. Ketika menjelaskan kepada klien bahwa apa yang mereka
sampaikan dalam sesi konseling umumnya akan dijaga konfidensialitasnya, maka
konselor sebaiknya mengatakan kepada klien batasan (limitasi) terhadap
konfidensialitas ini.

2. Isu etika berkaitan dengan penggunaan sentuhan

76
Menurut Leod (2006: 456) ketakutan utama yang mendasari penggunaan sentuhan
adalah sentuhan akan mengarah kepada pemuasan seksual dipihak klien, konselor
(terapis) atau keduanya. Masalah etika lainnya adalah klien dapat merasa teraniaya, dan
disentuh berarti berlawanan dengan keinginan sebenarnya. Selain itu ada larangan dari
agama atau budaya untuk disentuh oleh orang asing atau jenis kelamin yang berbeda.
Bagi konselor masalah lain muncul dari kekhawatiran akan dituntut klien dengan
tuduhan terlalu mengintimidasi atau eksploitatif. Walaupun demikian, jelas semua ittu
bergantung kepada integritas terapis, dan seberapa jauh eksplorasinya terhadap makna
sentuhan bagi mereka secara pribadi.

Berkaitan dengan hal ini Hunter dan Struve (1998) dalam Leod (2006) membuat
beberapa rekomendasi tentang penggunaan sentuhan dalam konseling. Sentuhan adalah
tepat secara klinis ketika:

a. klien ingin disentuh atau disentuh

b. tujuan dari sentuhan jelas

c. sentuhan tersebut jelas demi kepentingan klien

d. terapis/konselor memiliki pengetahuan cukup tentang pengaruh penggunaan


sentuhan

e. batasan yang mengatur penggunaan sentuhan jelas dipahami oleh klien dan
terapis (konselor)

f. hubungan terapis-klien telah berkembang dengan cukup

g. sebtuhan dapat ditawarkan kepada semua tipe klien

h. konsultasi atau supervisi tersedia dan dapat digunakan

i. terapis merasa nyaman dengan sentuhan (tidak canggung/tidak bertentangan


dengan nilai-nilai yang dianutnya)

j. batasan yang mengatur penggunaan sentuhan jelas dipahami oleh klien dan
terapis.

Sentuhan tidak disarankan ketika:

77
a. fokus dari terapi tersebut melibatkan kandungan seksual yang berkaitan dengan
sentuhan

b. adanya risiko kekerasan

c. sentuhan tersebut terjadi secara sembunyi-sembunyi

d. konselor/terapis meragukan klien untuk mengatakan ”tidak”

e. konselor/terapis telah dimanipulasi atau dirayu untuk melakukan sentuhan

f. sentuhan digunakan untuk mengganti terapi verbal

g. klien tidak ingin menyentuh atau disentuh

h. konselor/terapis tidak nyaman menggunakan sentuhan

78
Daftar Pustaka

Cavanagh, Michael & Levitoc, Justin. 2002. The Counseling Experience, A Theoritical
and Practical Approach. Illionis: Waveland Press Inc

Hutchins, D.E dan Meo, K.K. 1987. Mengintegrasikan Ancangan-ancangan Pokok


Konseling. Disadur oleh A. Mappiare. Bina Bimbingan. 4 (5), 35-40.

Mappiare, Andi. 2006. Kamus Konseling dan Psikoterapi. Jakarta: PT. Rajawali
Grafindo Persada.

Mulawarwan dan Nugraheni, Edwindha Prafitra dkk. 2019. Psikologi Konseling


Sebuah Pengantar Bagi Konselor Pendidikan. Semarang : PRENADAMEDIA
GROUP

Surya,Muhammad. 2003. Psikologi Konseling. Bandung : Pustaka Bani Quraisy

79

Anda mungkin juga menyukai