Anda di halaman 1dari 37

15

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Risiko Investasi


2.1.1 Pengertian Risiko Investasi
Alasan utama orang berinvestasi adalah untuk memperoleh keuntungan.
Dalam konteks manajemen investasi, tingkat keuntungan investasi disebut sebagai
return. Suatu hal yang wajar jika investor menuntut tingkat pengembalian tertentu
atas dana yang diinvestasikannya. Return yang diharapkan investor dari investasi
yang dilakukannya merupakan kompensasi atas biaya kesempatan (opportunity
cost) dan risiko penurunan daya beli akibat adanya pengaruh inflasi.
Seorang investor perlu membedakan antara return yang diharapkan
(expected return), dengan return yang aktual (actual return). Antara tingkat
pengembalian yang diharapkan dan tingkat pengembalian yang aktual yang
diperoleh investor sangat mungkin berbeda dan perbedaan inilah yang merupakan
risiko yang harus selalu dipertimbangkan oleh investor sebelum memutuskan
untuk berinvestasi. Adapun pengertian risiko yang dijabarkan oleh Tandelilin
(2001:48) sebagai berikut :
“Risiko merupakan kemungkinan perbedaan antar return aktual dengan
return yang diharapkan. Semakin besar kemungkinan perbedaannya,
berarti semakin besar risiko investasi tersebut.”
Pengertian lain dari risiko yang dikemukakan oleh Gitman (2003:237)
sebagai berikut :
“Risk is the chance of financial loss or more formally, the variability of
return associated with a given assets.”
Artinya bahwa risiko adalah kemungkinan kerugian atau lebih formal diartikan
sebagai variabilitas pengembalian yang terkait dengan aset yang diserahkan.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka penulis dapat menyimpulkan
bahwa risiko adalah suatu kemungkinan dimana investor tidak mendapatkan
return yang sesuai dengan harapannya.
16

2.1.2 Jenis-Jenis Risiko Investasi


Adapun jenis-jenis risiko yang mungkin dihadapi oleh para investor dalam
melakukan kegiatan investasi seperti yang dikemukakan oleh Reilly, et al
(2000:15) diantaranya :
1. Business risk
Kemungkinan kerugian yang diderita perusahaan karena keuntungan yang
diperoleh lebih kecil dari keuntungan yang diharapkan. Business risk ini
berkaitan dengan cakupan usaha perusahaan.
2. Financial risk
Risiko yang timbul dari cara perusahaan membiayai kegiatannya, misalnya
penggunaan utang dalam membiayai aset perusahaan.
3. Liquidity risk
Adanya ketidakpastian yang timbul pada saat sekuritas berada di pasar
sekunder. Risiko ini berkaitan dengan kecepatan pembelian/penjualan suatu
aset serta tingkat harga yang terbentuk dalam transaksi tersebut.
4. Exchange Rate Risk
Risiko ini berkaitan dengan fluktuasis nilai tukar mata uang domestik dengan
nilai mata uang negara lainnya. Risiko ini biasanya dihadapi oleh investor
internasional atau perusahaan yang menggunakan mata uang asing dalam
kegiatan operasionalnya maupun pendanaan.
5. Country Risk
Risiko ini berkaitan dengan kestabilan politik serta kondisi lingkungan
perekonomian di suatu negara.
Kemudian Ahmad (2004) menjelaskan pula mengenai risiko investasi.
Menurutnya risiko investasi ada tujuh, yaitu :
1. Risiko Inflasi (Inflation Risk)
Risiko inflasi terjadi bila ada peningkatan harga barang/jasa akan menurunkan
nilai mata uang.
2. Risiko Pasar (Market Inflation)
Risiko ini terjadi bila penurunan harga saham terjadi maka akan
mengakibatkan capital loss. Risiko ini muncul sebagai akibat dari variability
17

return pasar yang disebabkan oleh terjadinya bear /bull market karena adanya
kondisi ekonomi yang terus berubah-ubah.
3. Risiko Sektoral
Risiko ini dipengaruhi oleh kinerja usaha industri-industri yang tergabung
dalam suatu sektor yang dipengaruhi oleh kondisi lingkungan (life cycle),
kondisi peraturan dan iklim usaha.
4. Risiko Tingkat Suku Bunga (Interest Rate Risk)
Risiko ini muncul dari perubahan dalam tingkat suku bunga yang ada di pasar.
Risiko tingkat suka bunga mempunyai pengaruh yang sama terhadap surat
berharga. Perubahan tingkat suku bunga ini akan menyebabkan terjadinya
fluktuasi harga surat-surat berharga.
5. Risiko Kredit ( Credit Risk)
Risiko timbul jika perusahaan menerbitkan efek hutang dan instrumen pasar
yang tidak mampu untuk membayar pokok hutang dan bunga tertunggak.
6. Risiko Mata Uang (Currency Risk)
Risiko ini timbul apabila terjadi perubahan nilai mata uang negara asing
dibandingkan dengan mata uang domestik sehingga akan mengurangi tingkat
hasil dari investasi asing. Hal ini terjadi karena nilai mata uang asing itu
menurun sehingga nilai investasi langsungnya menjadi lebih kecil.
7. Assets Class Risk
Saham obligasi, dan kas (atau instrumen pasar yang lainnya) merupakan tiga
kelas aset yang paling utama. Jika seorang investor tidak berimbang dalam
melakukan diversifikasi terhadap investasinya, dengan demikian risikonya
akan semakin mengecil.
Dengan adanya risiko-risiko investasi di atas, maka investor dituntut untuk
berhati-hati dan melakukan analisa yang matang. Informasi yang lengkap dan
pemahaman yang komprehensif akan membantu investor dalam melakukan
keputusan instrumen investasi apa yang paling tepat untuknya.
18

2.1.3 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Risiko Investasi


Berdasarkan beberapa pendapat dan penelitian yang telah dilakukan oleh
penelitian-penelitian sebelumnya maka penelitian ini mengkombinasikan faktor-
faktor yang mempengaruhi risiko investasi baik faktor mikro maupun makro.
Faktor mikro atau fundamental yang mempengaruhi risiko investasi salah satunya
adalah kebijakan dividen dan faktor makro yang mempengaruhi risiko investasi
diantaranya yaitu tingkat suku bunga dan nilai kurs.
Menurut Halim, (2003: 47) dalam Zubaidah (2003), terdapat beberapa
faktor yang mempengaruhi risiko investasi, yaitu:
1. Risiko Bisnis, merupakan risiko yang timbul akibat menurunnya
profitabilitas perusahaan emiten
2. Risiko likuiditas, berkaitan dengan kemampuan saham yang bersangkutan
untuk dapat segera diperjual belikan tanpa mengalami kerugian yang berarti.
3. Risiko Tingkat Bunga, merupakan risiko yang timbul akibat perubahan
tingkat bunga yang berlaku di pasar. Biasanya risiko ini berjalan berlawanan
dengan harga-harga instrumen pasar modal.
4. Risiko pasar, merupakan risiko yang timbul akibat kondisi perekonomian
negara yang berubah-ubah dipengaruhi oleh resesi dan kondisi
perekonomian lain.
5. Risiko daya beli, merupakan risiko yang timbul akibat pengaruh perubahan
tingkat inflasi, dimana perubahan ini akan menyebabkan berkurangnya daya
beli yang diinvestasikan maupun bunga yang diperoleh dari investasi.
Sehingga menyebabkan nilai riil pendapatan akan lebih kecil.
6. Risiko mata uang, merupakan risiko yang timbul akibat pengaruh perubahan
nilai tukar mata uang domestik (misalnya rupiah) dengan mata uang negara
lain (misalnya dolar Amerika).

2.1.4 Ukuran Risiko Investasi


Yang dimaksud dengan risiko investasi adalah potensi kerugian yang
diakibatkan oleh penyimpangan tingkat pengembalian yang diharapkan dengan
tingkat pengembalian aktual. Risiko merupakan besarnya penyimpangan antara
19

tingkat pengembalian aktual (actual return) dengan tingkat pengembalian yang


diharapkan (ER – expected return). Risiko dinyatakan sebagai seberapa jauh hasil
yang diperoleh dapat menyimpang dari hasil yang diharapkan, maka digunakan
ukuran penyebaran. Alat statistika sebagai ukuran penyebaran, yaitu varians dan
standar deviasi.
Variabel ini diukur dengan menggunakan standar deviasi. Adapun
persamaannya sebagai berikut:


Standar Deviasi (σ ) =

Dimana :
Rij = Tingkat keuntungan yang terjadi pada kondisi j
E (Ri) = Tingkat keuntungan yang diharapkan
n = Banyaknya kondisi
Sumber : Makaryanawati dan Ulum, 2009

2.2 Kebijakan Dividen


2.2.1 Pengertian Kebijakan Dividen
Dividen merupakan hak pemegang saham biasa (common stock) untuk
mendapatkan bagian dari keuntungan perusahaan. Jika perusahaan memutuskan
untuk membagi keuntungan dalam dividen, semua pemegang saham biasa
mendapatkan haknya yang sama. Hanafi (2004 :p.361) dalam Vianita,
menyatakan bahwa dividen merupakan kompensasi yang diterima oleh pemegang
saham, di samping capital gain. Dividen ini untuk dibagikan kepada para
pemegang saham sebagai keuntungan dari laba perusahaan. Dividen ditentukan
berdasarkan dalam rapat umum anggota pemegang saham dan jenis
pembayarannya tergantung kepada kebijakan pemimpin. Kebijakan dividen
merupakan bagian yang menyatu dengan keputusan pendanaan perusahaan. Rasio
pembayaran dividen menentukan jumlah laba yang ditahan sebagai sumber
pendanaan. Dengan demikian dimungkinkan membagi laba sebagai dividen dan
pada saat yang sama menerbitkan saham baru. Kebijakan dividen bersangkutan
dengan penentuan pembagian pendapatan (earning) antara pengunaan pendapatan
20

untuk dibayarkan kepada para pemegang saham sebagai dividen atau untuk
digunakan didalam perusahaan, yang berarti laba tersebut harus ditahan didalam
perusahaan (Riyanto 2001: p.265 dalam Puspita 2009).
Persentase dari pendapatan yang akan di bayarkan kepada pemegang
saham sebagai cash dividend disebut dividend payout ratio. Dengan demikian
dapatlah dikatakan bahwa makin tingginya dividend payout ratio yang ditetapkan
oleh perusahaan berarti makin kecil dana yang tersedia untuk ditanamkan kembali
di dalam perusahaan yang ini berarti akan menghambat pertumbuhan perusahaan
(Riyanto 2001:p.266 dalam Puspita 2009). Kebijakan terhadap pembayaran
dividen merupakan keputusan yang sangat penting dalam suatu perusahaan.
Kebijakan ini melibatkan dua pihak yang mempunyai kepentingan yang berbeda,
yaitu pihak pertama para pemegang saham dan pihak kedua perusahaan itu
sendiri. Dividen diartikan sebagai pembayaran kepada para pemegang saham oleh
pihak perusahaan atas keuntungan yang diperolehnya. Kebijakan dividen adalah
kebijakan yang berhubungan dengan pembayaran dividen oleh pihak perusahaan,
berupa penentuan besarnya pembayaran dividen dan besarnya laba ditahan untuk
kepentingan pihak perusahaan (Alexander, et.al, 1993 dalam Prihantoro,2003
dalam Puspita 2009).
Menurut Brigham dan Ehrhardt (2002:699), kebijakan dividen yang
optimal adalah kebijakan yang menciptakan keseimbangan diantara dividen saat
ini dan pertumbuhan dimasa mendatang, sehingga akan memaksimalkan harga
saham. Oleh karena itu, manajer keuangan dalam menentukan kebijakan dividen
perusahaan harus hati-hati. Jika perusahaan menjalankan kebijakan untuk
membagikan tambahan dividen tunai sehingga jumlah dividen yang dibagikan
naik, hal ini dapat meningkatkan harga saham. Tetapi, meningkatnya dividen
tunai, akan mengakibatkan jumlah dana yang tersedia untuk reinvestasi menjadi
sedikit, sehingga tingkat pertumbuhan yang diharapkan untuk masa mendatang
akan rendah, dan hal ini akan mengakibatkan turunnya harga saham.
21

2.2.2 Teori Kebijakan Dividen


Kebijakan terhadap pembayaran dividen merupakan keputusan yang
sangat penting dalam suatu perusahaan. Kebijakan ini melibatkan dua pihak yang
mempunyai kepentingan yang berbeda, yaitu pihak pertama para pemegang saham
dan pihak kedua perusahaan itu sendiri. Dividen diartikan sebagai pembayaran
kepada para pemegang saham oleh pihak perusahaan atas keuntungan yang
diperolehnya. Kebijakan dividen adalah kebijakan yang berhubungan dengan
pembayaran dividen oleh pihak perusahaan, berupa penentuan besarnya
pembayaran dividen dan besarnya laba ditahan untuk kepentingan pihak
perusahaan. (Alexander, et.al, 1993 dalam Prihantoro, 2003: p.8 dalam
Puspita, 2009).
Beberapa teori yang berkaitan dengan dividen dan asumsi–asumsi yang
mendasarinya (Puspita, 2009) dan (Wirjono, 2003) :
1. Dividen tidak relevan
Menurut Modigliani dan Miller (1961) dalam Saxena (1999) dalam Puspita
(2009) dan Wirjono (2003) dividen payout ratio tidak mempunyai pengaruh
pada harga saham perusahaan atau biaya modalnya. Modigliani dan Miller
menyatakan bahwa dividen payout ratio adalah tidak relevan, selanjutnya nilai
perusahaan ditentukan oleh earning power dari asset perusahaan. Sementara
itu keputusan apakah laba yang diperoleh akan dibagikan dalam bentuk
dividen atau akan ditahan tidak mempengaruhi nilai perusahaan. Untuk
membuktikan teorinya, Modigliani dan Miller mengemukakan berbagai
asumsi sebagai berikut:
a. Tidak ada pajak perseorangan dan pajak penghasilan perusahaan
b. Tidak ada biaya emisi atau flotation cost dan biaya transaksi
c. Kebijakan penganggaran modal perusahaan independen terhadap dividen
payout ratio
d. Investor dan manajer mempunyai informasi yang sama tentang
kesempatan investasi di masa yang akan datang.
e. Distribusi pendapatan di antara dividen dan laba ditahan tidak berpengaruh
terhadap tingkat keuntungan yang disyaratkan oleh investor.
22

2. Bird in the hand theory


Sementara itu, menurut Gordon dan Litner (1956) dalam Saxena (1999) dalam
Puspita (2009) dan Wirjono (2003) tingkat keuntungan yang disyaratkan akan
naik apabila pembagian dividen dikurangi, karena investor lebih yakin
terhadap penerimaan dividen daripada kenaikan nilai modal (capital gain)
yang akan dihasilkan dari laba yang ditahan. Modigliani dan Miller (1961)
dalam Puspita (2009) dan Wirjono (2003) berpendapat dan telah dibuktikan
secara matematis bahwa investor merasa sama saja apakah menerima dividen
saat ini atau menerima capital gain di masa yang akan datang. Dengan kata
lain, tingkat keuntungan yang disyaratkan tidak dipengaruhi oleh dividen
payout ratio. Pendapat Gordon dan Litner (1956) dalam Saxena (1999) oleh
Modigliani dan Miller (1961) diberi nama bird in the hand fallacy. Gordon
dan Litner (1956) dalam Saxena (1999) dalam Puspita (2009) dan Wirjono
(2003)beranggapan investor memandang bahwa satu burung di tangan lebih
berharga daripada seribu burung di udara. Sementara Modigliani dan Miller
berpendapat bahwa tidak semua investor berkepentingan untuk
menginvestasikan kembali dividen mereka di perusahaan yang sama dengan
memiliki risiko yang sama. Oleh sebab itu, tingkat risiko pendapatan mereka
di masa yang akan datang bukannya ditentukan oleh dividen payout ratio
tetapi ditentukan oleh tingkat risiko investasi baru.
3. Teori Perbedaan Pajak ( Tax preference theory )
Teori ini diajukan oleh Litzenberger dan Ramaswamy dalam Puspita
(2009) dan Wirjono (2003). Mereka menyatakan bahwa karena adanya
pajak terhadap keuntungan dividen dan capital gains, para investor lebih
menyukai capital gain karena dapat menunda pembayaran pajak. Oleh
karena itu investor mensyaratkan suatu tingkat keuntungan yang lebih
tinggi pada saham yang memberikan dividend yield tinggi, capital gain
yield rendah dari pada saham dengan dividend yield rendah, capital
gains yield tinggi. Jika pajak atas dividen lebih besar dari pajak atas
capital gains, perbedaan ini akan makin terasa. Jika investor hanya
23

membeli saham untuk jangka waktu satu tahun, maka tidak ada bedanya
antara pajak atas capital gain dan pajak atas dividen. Jadi investor akan
meminta tingkat keuntungan setelah pajak yang lebih tinggi terhadap saham
yang memiliki dividend yield yang tinggi daripada saham dengan dividend
yield yang rendah. Oleh karena itu, teori ini menyarankan bahwa perusahaan
sebaiknya menentukan dividend payout ratio yang rendah atau bahkan tidak
membagikan dividen.
4. Signaling Theory
Menurut dividend irrelevance theory (MM), setiap orang (investor dan
manajer) memiliki informasi identik mengenai laba akan datang dan dividen
perusahaan. Kenyataannya, investor yang berbeda memiliki pandangan berbeda
terhadap tingkat pembayaran dividen akan datang dan ketidakpastian yang
melekat dalam pembayaran tersebut, karena manajer memiliki informasi lebih
banyak tentang prospek akan datang daripada pemegang saham. Kenaikan
dividen seringkali diikuti dengan kenaikan harga saham, sedangkan
pemotongan atau pengurangan dividen diikuti dengan penurunan harga saham.
Hal ini mengindikasikan bahwa investor lebih menyukai dividen daripada
capital gains. MM menyatakan, perusahaan enggan mengurangi dividen
sehingga tidak akan meningkatkan dividen, kecuali perusahaan mengantisipasi
adanya laba berjumlah besar pada periode akan datang. Kenaikan dividen yang
lebih tinggi daripada yang diharapkan menjadi sinyal bagi investor bahwa
perusahaan mengalami pertumbuhan laba yang baik. Sebaliknya, penurunan
dividen akan menjadi sinyal pertumbuhan laba yang buruk pada masa akan
datang. Pengumuman dividen yang meyebabkan perubahan harga
mengindikasikan adanya information/signaling content (kandungan informasi).
5. Clientele Effect
Menurut teori ini, pemegang saham dapat diklasifikasikan dalam beberapa
kelompok (Pettit, 1977) dalam Puspita (2009) dan Wirjono (2003) kelompok-
kelompok yang berbeda (different groups) atau clienteles dari pemegang saham
menyukai kebijakan pembayaran dividen yang berbeda. Menurut teori ini,
perusahaan dapat mengubah kebijakan pembayaran dividen karena pemegang
24

saham dengan sendirinya akan menjual sahamnya kepada investor lain jika
mereka tidak suka dengan kebijakan yang baru.

2.2.3 Jenis-Jenis Dividen


Kebijakan dividen merupakan keputusan manajemen perusahaan.
Kebijakan dividen atau keputusan dividen pada dasarnya adalah menentukan porsi
keuntungan yang akan dibagikan kepada pemegang saham dan yang akan ditahan
sebagai bagian dari laba ditahan (Levy dan Sarnat, 1990 dalam Wirjono, 2003).
Dividen yang akan dibagikan oleh perusahaan dapat terbagi dalam beberapa jenis,
yaitu (Sitanggang, 2007):
1. Dividen tunai (cash dividen), yaitu dividen yang dibagikan kepada pemegang
saham dalam bentuk uang cash.
2. Dividen saham (stock dividen), yaitu dividen yang dibagikan perusahaan
dalam bentuk saham perusahaan sehingga jumlah saham perusahaan menjadi
bertambah. Namun demikian cash flow perusahaan tidak terganggu karena
perusahaan tidak perlu mengeluarkan uang cash.
3. Dividen property (property dividen), yaitu dividen yang dibagikan dalam
bentuk aktiva lain selain kas atau saham, misalnya aktiva tetap dan surat-surat
berharga.
4. Dividen likuidasi (liquidating dividen), yaitu dividen yang diberikan kepada
pemegang saham sebagai akibat dilikuidasikannya perusahaan. Dividen
diperoleh dari selisih antara nilai realisasi aset perusahaan dikurangi dengan
semua kewajibannya.

2.2.4 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kebijakan Dividen


Kebijakan dividen atau keputusan dividen pada hakikatnya adalah
menentukan porsi keuntungan yang akan dibagikan kepada para pemegang saham,
dan yang akan ditahan sebagai bagian dari laba ditahan. (Levy dan Sarnat,
dalam Sutrisno, 2001: 2). Menurut Bringham dan Gapenski (1996) dalam
Yuniningsih (2002), perusahaan berkepentingan untuk mendonasi ekspansi dan
meningkatkan pertumbuhan perusahaan, sementara di lain pihak dalam hal ini
25

investor, mereka mengharapkan adanya pembagian keuntungan atas laba yang


diperoleh (dividen). Perusahaan harus bisa membuat sebuah kebijakan yang
optimal. Kebijakan yang diambil harus bisa memenuhi keinginan kedua belah
pihak dimana perusahaan tetap bisa memenuhi kebutuhan dana, sedangkan pihak
investor memperoleh apa yang diinginkan, sehingga investor tidak mengalihkan
investasinya ke perusahaan lain. Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk
melakukan penelitian mengenai kebijakan dividen, khususnya faktor-faktor yang
mempengaruhinya.
Dalam penilitian ini faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan dividen
sebagai berikut:
1. Keputusan Investasi
a. Pengertian Investasi
Secara umum investasi berarti penundaan konsumsi saat ini untuk
konsumsi di masa yang akan datang. Dengan pengertian bahwa investasi adalah
menempatkan modal atau dana pada suatu asset yang diharapkan akan
memberikan hasil atau akan meningkatkan nilainya di masa yang akan datang.
Dari sini, investasi berarti diawali dengan mengorbankan potensi konsumsi saat
ini untuk mendapatkan peluang yang lebih baik atau besar di masa yang akan
datang.
Keputusan Investasi merupakan kegiatan untuk menentukan campuran dan
tipe assets yang ada pada bagian kiri neraca perusahaan. Assets mix ditentukan dan
dipelihara pada tingkat optimal dari masing-masing bagian aktiva. Keputusan ini
penting karena akan mempengaruhi keberhasilan perusahaan dalam mencapai
tujuan yaitu memaksimumkan nilai perusahaan. (Gitman, 2003). Selaras dengan
Brealey & Myers (2000) bahwa keputusan investasi (penganggaran modal)
merupakan inti dari seluruh analisis keuangan yaitu membuat keputusan yang
memaksimumkan nilai perusahaan. Menurut Bodie, et all (2004:4) pengertian
investasi adalah:
“Investment is commitment of current resources in the expectation of
deriving greater resources in the future.”
26

Artinya bahwa investasi adalah komitmen sumber daya saat ini yang diharapan
dapat memberi sumber daya yang lebih besar di masa depan.
Melalui pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa suatu investasi adalah
kegiatan penanaman modal untuk memperoleh hasil dimasa yang akan datang
yang memperhatikan kemakmuran dari investor itu sendiri.
Gitman dan Joehnk (2005:3) juga mengemukakan bahwa investasi adalah :
“Any vehicle into which funds can be placed with the expectation that it
will generate positive income and / or preserve or increased its value.”
Artinya bahwa investasi merupakan wadah dimana dana dapat ditempatkan
dengan harapan bahwa itu akan menghasilkan pendapatan yang positif dan / atau
memelihara atau meningkatkan nilainya.
Jadi, investasi merupakan penempatan dana pada berbagai aktiva
keuangan dengan harapan akan diperolehnya tingkat keuntungan yang optimal
pada waktu yang akan datang. Untuk memperoleh keuntungan, maka perusahaan
memerlukan investasi guna memperlancar proses operasinya. Investasi adalah
mengeluarkan dana untuk satu atau lebih assets yang akan digunakan untuk
beberapa jangka waktu dimasa depan. Investasi yang dilakukan perusahaan untuk
memperlancar proses operasinya berupa investasi pada aktiva. Dalam mengelola
aktiva atau assets yang dimiliki oleh perusahaan, seorang manajer keuangan harus
dapat menentukan seberapa besar alokasi untuk masing-masing aktiva (aktiva
tetap maupun aktiva lancar) sehubungan dengan bidang usaha dari perusahaan
tersebut. Keputusan investasi sangat penting karena akan mempengaruhi
keberhasilan pencapaian tujuan perusahaan dan merupakan inti dari seluruh
analisis keuangan (Gitman; 2000 dan Brealy & Myers; 2000).
Keputusan Investasi merupakan kegiatan untuk menentukan campuran dan
tipe asset yang ada pada bagian kiri neraca perusahaan. Asset mix ditentukan dan
dipelihara pada tingkat optimal dari masing-masing bagian aktiva. Keputusan ini
penting karena akan mempengaruhi keberhasilan perusahaan dalam mencapai
tujuan yaitu memaksimumkan nilai perusahaan (Gitman, 2000). Selaras dengan
Brealey & Myers (2000) bahwa keputusan investasi (penganggaran modal)
27

merupakan inti dari seluruh analisis keuangan yaitu membuat keputusan yang
memaksimumkan nilai perusahaan.
Investasi, yang lazim disebut juga dengan istilah penanaman modal atau
pembentukan modal merupakan komponen kedua yang menentukan tingkat
pengeluaran agregat. Dengan demikian istilah investasi dapat diartikan sebagai
pengeluaran atau pembelanjaan atau penanaman-penanaman modal perusahaan
untuk membeli barang-barang modal dan perlengkapan-perlengkapan untuk
menambah kemampuan memproduksi barang-barang dan jasa-jasa yang tersedia
dalam perekonomian. Pertambahan jumlah barang modal ini memungkinkan
perekonomian tersebut menghasikan lebih banyak barang dan jasa di masa yang
akan datang. Adakalanya penanaman modal dilakukan untuk menggantikan
barang-barang modal yang lama yang telah harus dan perlu didepresiasikan.
(KumpulBlogger.com 2008).

b. Jenis-Jenis Investasi
Investasi merupakan sebuah cara alternatif yang dapat digunakan untuk
meningkatkan nilai aset di masa depan, dengan melakukan investasi, menurunnya
purchasing power akibat inflasi dapat di ofsett oleh return yang di dapatkan dari
investasi. Investasi sendiri dapat digolongkan ke dalam dua jenis, yaitu
(www.zonaekis.com,2010): :
1. Investasi pada real asset
Investasi pada real asset dapat dilakukan dengan membeli peralatan,
pendirian pabrik, perbaikan mesin produksi, dan lain-lain.
2. Investasi pada financial asset
Sedangkan investasi pada financial asset (instrumen keuangan) dapat
dilakukan pada pasar uang (berupa sertifikat deposito, commercial papper,
dan lain-lain) maupun pasar modal (berupa saham, obligasi, dan lain-lain).

c. Ukuran Investasi
Investasi adalah suatu kegiatan penanaman modal pada aktiva-aktiva yang
bersifat jangka panjang, yaitu aktiva riil (aktiva yang berwujud) dan aktiva
28

financial yang jangka waktu pengembaliannya/tingkat returnya akan diperoleh


lebih dari lima tahun. Untuk mengukur pertumbuhan investasi yang akan
dilakukan perusahaan, maka dapat menggunakan rumus (Haruman, 2006) :
Total Assets − Total Assets t −1
Investasi = X 100%
Total Assets t −1
Berdasarkan uraian di atas, modal kerja dan aktiva tetap sangat berperan
dalam kinerja perusahaan sehingga dibutuhkan pemikiran yang matang dalam
mengambil keputusan untuk melakukan investasi pada aktiva tetap dan modal
kerja. Suatu perusahaan akan melakukan investasi jika investasi tersebut dianggap
menguntungkan bagi perusahaan, sehingga dapat meningkatkan laba perusahaan.

2. Profitabilitas
Profitabilitas merupakan kemampuan perusahaan untuk menghasilkan laba
pada masa mendatang dan merupakan indikator dari keberhasilan operasi
perusahaan. Perusahaan yang mempunyai profitabilitas yang tinggi akan menarik
minat investor untuk menanamkan modalnya dengan harapan akan mendapatkan
keuntungan yang tinggi pula. (Kim et al.1993) dalam Supriyono dan Amin
(2000) dalam Kusumawati dan Sudento (2005). Oleh karena dividen diambil
dari keuntungan bersih yang diperoleh perusahaan, maka keuntungan tersebut
akan mempengaruhi besarnya dividen payout ratio. Perusahaan yang memperoleh
keuntungan cenderung akan membayar porsi keuntungan yang lebih besar sebagai
dividen. Semakin besar keuntungan yang diperoleh, maka akan semakin besar
pula kemampuan perusahaan untuk membayar dividen (Damayanti dan
Achyani, 2006 dalam Puspita 2009).
Profitabilitas yaitu menunjukan kemampuan perusahaan untuk
memperoleh keuntungan dari penggunaan modalnya. Rasio profitabilitas akan
memberikan jawaban akhir tentang efektivitas menjamin perusahaan. Rasio ini
memberi gambaran tentang tingkat efektivitas pengelolaan perusahaan. Setiap
perusahaan dalam menjalankan kegiatan bisnisnya akan berusaha untuk
menghasilkan laba atau profit yang optimal. Menurut Gitman (2000: 617) adalah:
29

“Profitability is the relationship between revenues and cost generated by


using the firm assets current and fixed in productive activities”.
Artinya bahwa Profitabilitas adalah hubungan antara pendapatan dan biaya yang
dihasilkan dengan menggunakan aset perusahaan saat ini dan tetap dalam kegiatan
produktif.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa profitabilitas adalah
hubungan antara pendapatan dan biaya yang menunjukkan kemampuan
perusahaan dalam menghasilkan laba.
EAT
Profitabilitas (ROI) = X 100%
TA
(Sutrisno, 2000)

3. Likuiditas (Qucik Ratio)


Menurut Sutrisno (2005), likuiditas merupakan kemampuan perusahaan
untuk membayar kewajiban-kewajibannya yang segera harus dipenuhi. Semakin
tinggi likuiditas sebuah perusahaan, maka kemampuan perusahaan di dalam
membayar kewajiban-kewajibannya akan semakin baik. Rasio likuiditas pun
banyak macamnya, diantaranya adalah quick ratio yang menghitung seberapa
besarkah perusahaan dapat membayar hutang lancarnya dengan aset yang paling
lancar yaitu aset tanpa inventori.
Dengan demikian likuiditas dapat diperoleh dengan rumus :
Current Assets − Inventory
Likuiditas = X 100%
Current Liabilities

(Sutrisno, 2000)

4. Leverage (Debt To Equity Ratio)


Debt to equity ratio mencerminkan kemampuan perusahaan dalam memenuhi
seluruh kewajibannya, yang ditunjukkan oleh berapa bagian modal sendiri yang
digunakan untuk membayar hutang. (Prihantoro, 2003). Rasio ini mencerminkan
kemampuan perusahaan dalam memenuhi seluruh kewajibannya yang ditunjukkan
oleh beberapa bagian modal sendiri yang digunakan untuk membayar hutang.
30

Semakin besar rasio ini menunjukkan semakin besar kewajibannya dan rasio yang
semakin rendah akan menunjukkan semakin tinggi kemampuan perusahaan
memenuhi kewajibannya. Apabila perusahaan menentukan bahwa pelunasan
utangnya akan diambilkan dari laba ditahan, berarti perusahaan harus menahan
sebagian besar dari pendapatannya untuk keperluan tersebut, yang ini berarti hanya
sebagian kecil saja pendapatan yang dapat dibayarkan sebagai dividen (Riyanto
2001:267). Peningkatan utang ini akan mempengaruhi tingkat pendapatan bersih yang
tersedia bagi pemegang saham, artinya semakin tinggi kewajiban perusahaan, akan
semakin menurunkan kemampuan perusahaan membayar dividen (Sudarsi 2002:80).
Oleh karena itu, semakin rendah DER akan semakin tinggi kemampuan perusahaan
untuk membayar semua kewajibannya. Semakin besar proporsi utang yang digunakan
untuk struktur modal suatu perusahaan, maka akan semakin besar jumlah kewajiban
(Prihantoro ,2003: p.10). Peningkatan hutang pada gilirannya akan mempengaruhi
besar kecilnya laba bersih yang tersedia bagi para pemegang saham termasuk dividen
yang akan diterima, karena kewajiban tersebut lebih diprioritaskan daripada
pembagian dividen (Prihantoro, 2003: p.10). Jika beban hutang tinggi, maka
kemampuan perusahaan untuk membagi dividen akan semakin rendah, sehingga DER
mempunyai hubungan negatif dengan dividend payout ratio (Prihantoro ,2003:
p.10).
Pendanaan ini merupakan salah satu keputusan keuangan yang harus
ditetapkan oleh manajer keuangan. Pendanaan ini sama dengan penentuan struktur
modal perusahaan. Apakah modal perusahaan akan diambil dari luar atau dari
dalam perusahaan. Atau kedua-duanya dengan proporsi yang berbeda. Menurut
Brealey et al. (2001:490):
”Leverage ratio is measure how much financial leverage the firm has
taken on debt to equity”.
Artinya bahwa rasio leverage adalah mengukur berapa banyak leverage keuangan
perusahaan telah diambil pada hutang terhadap ekuitas.
Kemudian menurut Van Horne (2001:470) dalam Puspita 2009:
“Capital structure, the mix (or proportion) of a firm’s permanent long–
term financing represented by debt, preferred stock, and common stock
equity.”
31

Artinya bahwa struktur modal, gabungan (atau proporsi) pembiayaan permanen


perusahaan jangka panjang diwakili oleh hutang, saham preferen, dan ekuitas
saham biasa.
Dari beberapa pengertian tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
struktur modal memberikan gambaran bagaimana pembiayaan perusahaan
dilakukan dengan menggunakan sumber dana jangka panjang dan modal sendiri
berupa saham biasa, saham preferen dan laba yang ditahan.
Menurut Brigham dan Ehrhardt (2002:632):
“The optimal capital structure is the one that maximizes the price of the
firm’s stock, and this generally calls for a debt ratio that is lower than the
one that maximizes expected EPS.”
Artinya bahwa struktur modal yang optimal adalah salah satu yang
memaksimalkan harga saham perusahaan, dan ini umumnya disebut sebagai rasio
utang yang lebih rendah daripada memaksimalkan EPS yang diharapkan.
Selanjutnya menurut Damodaran (2001:560), bahwa :
“The optimal capital structure hypothesis is to examine the stock price
reaction to actions taken by firms either to increase or decrease
leverage.They make these changes to get closer to their optimal capital
structures, both debt-increasing and debt-decreasing actions should be
accompanied by positive excess returns, at least on average.”

Artinya bahwa hipotesis struktur modal yang optimal adalah untuk menguji reaksi
harga saham untuk tindakan yang diambil oleh perusahaan baik untuk menambah
atau mengurangi leverage. Mereka membuat perubahan ini agar mendapat struktur
modal optimal, baik meningkatan hutang dan menurunkan hutang harus disertai
dengan pengembalian pendapatan yang positif, setidaknya rata-rata.
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa, struktur modal yang
optimal adalah struktur modal perusahaan yang dapat meminimalkan biaya modal
dan menaikkan harga saham perusahaan.
32

Menurut Mayo (2001:448) leverage dibagi menjadi dua jenis:


(a) Operating Leverage (leverage operasi):
Leverage operasi timbul pada saat perusahaan menggunakan biaya tetap pada
produksi tanpa memperhatikan jumlah biaya tersebut, dari pada biaya variabel
untuk menghasilkan mutu pada output.
(a) Financial leverage (Leverage keuangan):
Artinya bahwa leverage keuangan merupakan penggunaan dana untuk
perusahan/orang lain dalam pengembalian perjanjian untuk membayar sebuah
return tetap atas penggunaan dana hutang atau saham preferen dari keuangan.
Rasio leverage digunakan untuk mengukur seberapa jauh perusahaan didanai
dengan hutang.
Modal yang akan digunakan oleh perusahaan dalam menjalankan
operasionalisasinya dapat berasal dari pinjaman pihak ketiga. Hanya yang menjadi
permasalahan adalah seberapa besar perusahaan harus menentukan besarnya
modal sendiri yang akan digunakan juga seberapa besar modal pinjaman tersebut
akan digunakan. Sementara Debt To Equity Ratio dapat diartikan jumlah modal
sendiri perusahaan yang dibiayai oleh hutang yang berasal dari kreditur. Para
kreditur memperhatikan equity yang memberi batas keamanan, akan tetapi dengan
bertambahnya dana melalui hutang para pemilik memperoleh manfaat yakni dapat
mempertahankan pengendalian atas perusahaan dengan suatu investasi yang
terbatas. Adapun rasio yang digunakan sebagai dasar pembahasan adalah debt to
equity ratio. Debt to equity ratio merupakan perhitungan sederhana yang
membandingkan total hutang perusahaan dari modal pemegang saham. (Jurnal
Ekonomi Akuntansi: www.petra.ac.id, 2005). Hal tersebut sesuai dengan
pendapat Ross et al. (2003:66) yang menyatakan bahwa:
“Debt to equity ratio is dividing total debt with total equity”.
Artinya bahwa Rasio hutang terhadap ekuitas adalah membagi total hutang
dengan total ekuitas.
Pernyataan tersebut didukung oleh pendapat Brealey et al. (2001:490)
“Debt to equity is long term debt of the firm dividing equity“. Dapat disimpulkan
bahwa debt to equity ratio merupakan rasio yang membandingkan total hutang
33

dengan total ekuitas dari pemegang saham. Dengan demikian, debt to equity ratio
juga dapat memberikan gambaran mengenai struktur modal yang dimiliki oleh
perusahaan sehingga dapat dilihat seberapa besar modal sendiri yang dimiliki
perusahaan yang diperoleh dapat menjamin jumlah hutangnya.
Total Debt
Financing = DER = X 100%
Total Equity

Sumber : Sutrisno, 2000

2.2.5 Ukuran Kebijakan Dividen


Dividen adalah pembagian keuntungan yang diberikan perusahaan
penerbit saham tersebut atas keuntungan yang dihasilkan perusahaan. Dividen
diberikan setelah mendapat persetujuan dari pemegang saham dalam RUPS.
Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa kebijakan dividen
merupakan keputusan yang diambil oleh manajer keuangan dalam menentukan
proporsi pendapatan yang akan dibagikan kepada para pemegang saham sebagai
dividen yang diukur dengan besarnya Dividend Payout Ratio (DPR) dan
pendapatan yang akan diinvestasikan kembali dalam perusahaan sebagai laba
ditahan. ( Goh dan Koher, 2003).

Dividend per lembar


DPR = x 100%
Laba bersih saham

2.3 Sertifikat Bank Indonesia (SBI)


2.3.1 Pengertian Sertifikat Bank Indonesia (SBI)
Sebagaimana tercantum dalam UU No.13 Tahun 1968 tentang Bank
Sentral, salah satu tugas Bank Indonesia (BI) sebagai otoritas moneter adalah
membantu pemerintah dalam mengatur, menjaga dan memelihara kestabilan nilai
Rupiah. Bank Indonesia merupakan salah satu lembaga negara yang berwenang
dalam menetapkan suku bunga untuk menjaga kestabilan moneter. Salah satu
piranti moneter tidak langsung Bank Indonesia yaitu menggunakan Operasi Pasar
Terbuka (OPT) yang dilaksanakan untuk mempengaruhi likuiditas Rupiah di
34

pasar uang, yang pada gilirannya akan mempengaruhi tingkat suku bunga. Operasi
pasar terbuka ini dilakukan melalui dua cara yaitu penjualan Sertifikat Bank
Indonesia dengan sistem pelelangan dan Intervensi Rupiah.
Berdasarkan Surat Edaran Bank Indonesia No.8/13/DPM tentang
Penerbitan Sertifikat Bank Indonesia Melalui Lelang, Sertifikat Bank Indonesia
yang selanjutnya disebut SBI adalah surat berharga dalam mata uang Rupiah yang
diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu
pendek. Pengertian Sertifikat Bank Indonesia dari situs www.bi.go.id dijelaskan
bahwa sertifikat bank Indonesia adalah :
“Surat berharga atas unjuk dalam rupiah yang diterbitkan Bank Indonesia
sebagai pengakuan hutang jangka pendek dengan sistem diskonto.”
Dalam menjaga kelangsungan variabel makro ekonomi suatu negara,
pemerintah biasanya menetapkan suku bunga. Menurut Khalwaty (2000:143)
definisi dari suku bunga adalah :
”Suku bunga merupakan instrumen konvensional untuk mengendalikan
atau menekan laju pertumbuhan inflasi.
Secara teori tingkat bunga yang dibayarkan bank adalah tingkat bunga
nominal yang merupakan penjumlahan tingkat bunga riil ditambah inflasi
(Mankiw, 2003 dalam www.scribd.com). Adanya kenaikan atau penurunan
inflasi akan berdampak pada kenaikan atau penurunan tingkat bunga kredit. Suku
bunga kredit yang ada pada saat ini dianggap beberapa kalangan baik dari pelaku
bisnis maupun pakar ekonomi belum optimal. Mereka menuntut agar Bank
Indonesia selaku penguasa moneter mempengaruhi suku bunga deposito dan suku
bunga kredit berkaitan dengan turunnya SBI agar dapat meningkatkan atau
mengembangkan sektor riil lewat kegiatan investasinya. Namun tuntutan itu
belum atau baru sedikit yang dipenuhi (Info Bank, 2004).
Menurut Karl dan Fair (2001:635) dalam www.KumpulBlogger.com,
suku bunga adalah pembayaran bunga tahunan dari suatu pinjaman, dalam bentuk
persentase dari pinjaman yang diperoleh dari jumlah bunga yang diterima tiap
tahun dibagi dengan jumlah pinjaman. Kemudian pengertian suku bunga menurut
Sunariyah (2004:80) adalah harga dari pinjaman. Suku bunga dinyatakan sebagai
35

persentase uang pokok per unit waktu. Bunga merupakan suatu ukuran harga
sumber daya yang digunakan oleh debitur yang harus dibayarkan kepada kreditur.

2.3.2 Fungsi Sertifikat Bank Indonesia (SBI)


SBI merupakan salah satu mekanisme yang digunakan Bank Indonesia
untuk mengontrol kestabilan nilai Rupiah. Dengan menjual SBI, Bank Indonesia
dapat menyerap kelebihan uang primer yang beredar. Fungsi suku bunga menurut
Sunariyah (2004:81) adalah :
1. Sebagai daya tarik bagi para penabung yang mempunyai dana lebih untuk
diinvestasikan.
2. Suku bunga dapat digunakan sebagai alat moneter dalam rangka
mengendalikan penawaran dan permintaan uang yang beredar dalam suatu
perekonomian. Misalnya, pemerintah mendukung pertumbuhan suatu sektor
industri tertentu apabila perusahaan-perusahaan dari industri tersebut akan
meminjam dana. Maka pemerintah memberi tingkat bunga yang lebih rendah
dibandingkan sektor lain.
3. Pemerintah dapat memanfaatkan suku bunga untuk mengontrol jumlah uang
beredar. Ini berarti, pemerintah dapat mengatur sirkulasi uang dalam suatu
perekonomian. (KumpulBlogger.com 2009).

2.3.3 Tujuan Penerbitan Sertifikat Bank Indonesia


Sebagai otoritas moneter, BI berkewajiban memelihara kestabilan nilai
Rupiah. Dalam paradigma yang dianut, jumlah uang primer (uang kartal + uang
giral di BI) yang berlebihan dapat mengurangi kestabilan nilai Rupiah. SBI
diterbitkan dan dijual oleh BI untuk mengurangi kelebihan uang primer tersebut.
(Oktavia, 2007).

2.3.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Sertifikat Bank Indonesia (SBI)


Suku bunga itu sendiri ditentukan oleh dua kekuatan, yaitu : penawaran
tabungan dan permintaan investasi modal (terutama dari sektor bisnis). Tabungan
adalah selisih antara pendapatan dan konsumsi. Bunga pada dasarnya berperan
36

sebagai pendorong utama agar masyarakat bersedia menabung. Jumlah tabungan


akan ditentukan oleh tinggi rendahnya tingkat bunga. Semakin tinggi suku bunga,
akan semakin tinggi pula minat masyarakat untuk menabung, dan sebaliknya.
Tinggi rendahnya penawaran dana investasi ditentukan oleh tinggi rendahnya
suku bunga tabungan masyarakat. (KumpulBlogger.com 2009).

2.3.5 Dasar Hukum Sertifikat Bank Indonesia (SBI)


Dasar hukum penerbitan SBI adalah UU No.13 Tahun 1968 tentang Bank
Sentral, Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.31/67/KEP/DIR tanggal 23
Juli 1998 tentang Penerbitan dan Perdagangan Sertifikat Bank Indonesia serta
Intervensi Rupiah, dan Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/2/PBI/2004 tanggal 16
Februari 2004 tentang Bank Indonesia – Scripless Securities Settlement System.
(Oktavia, 2007).

2.3.6 Karakteristik Sertifikat Bank Indonesia (SBI)


Karakteristik dari Sertifikat Bank Indonesia (SBI) yang dimuat dalam
leaflet Bank Indonesia, sebagai berikut :
1. Jangka waktu maksimum 12 bulan
2. Denominasi, dari yang terendah Rp 50 juta sampai dengan yang tertinggi Rp
100 miliar.
3. Pembelian SBI oleh masyarakat minimal Rp 100 juta dan selebihnya dengan
kelipatan Rp 50 juta.
4. Pembelian SBI didasarkan dengan nilai tunai yang diperoleh dengan rumus
sebagai berikut :
NilaiNomialΧ360
Nilai Tunai =
[360 + (TingkatDiskontoΧJangkaWaktu )]
5. Pembeli SBI memperoleh hasil berupa nilai diskonto yang dibayar dimuka,
yang diperoleh dengan rumus berikut :
Nilai Diskonto = Nilai Nominal – Nilai Tunai
6. Pajak penghasilan atas diskonto dikenakan secara final sebesar 15%.
7. SBI diterbitkan tanpa warkat (scripless).
37

8. SBI dapat diperdagangkan di pasar sekunder.


(Oktavia, 2007)

2.3.7 Ukuran Sertifikat Bank Indonesia (SBI)


Melalui penggunaan SBI, Bank Indonesia secara tidak langsung dapat
mempengaruhi tingkat suku bunga di pasar uang dengan jalan mengumumkan
step out rate (SOR) yaitu tingkat suku bunga yang diterima oleh BI atas
penawaran tingkat bunga dari peserta lelang harian, maupun lelang mingguan.
Selanjutnya step out rate (SOR) tersebut akan dipakai sebagai indikator bagi
tingkat suku bunga transaksi di pasar uang pada umumnya.
Sedangkan cara penentuan suku bunga SBI dihitung dengan cara
menghitung weight average dari SBI yang telah terjual dengan tingkat
diskontonya masing-masing, suku bunga SBI yang berlaku pada saat itu dengan
rumus seperti dibawah ini :
Suku Bunga SBI = ΣΜ i⋅ ⋅ Wi
Dimana :
M i = Nominal SBI yang terjual kepada peserta i

Wi = Tingkat Diskonto yang ditawarkan peserta i


(Oktavia, 2007).

2.4 Nilai Tukar (Kurs)


2.4.1 Pengertian Nilai Tukar (Kurs)
Nilai tukar (exchange rate) atau dikenal dengan kurs adalah harga mata
uang suatu negara terhadap negara lain atau mata uang suatu negara dinyatakan
dalam mata uang negara lain. Nilai tukar merupakan salah satu variabel penting
dalam suatu perekonomian terbuka, karena variabel ini berpengaruh pada
variabel-variabel lain seperti harga produk, tingkat bunga, neraca pembayaran,
dan neraca transaksi berjalan (ekspor dikurangi impor). Peranan tersebut berkaitan
erat dengan tingkat harga relatif dari barang-barang domestik dan barang-barang
luar negeri dalam suatu hubungan perdagangan internasional.
38

Suatu perekonomian dapat memiliki tingkat nilai tukar yang berubah-ubah


setiap waktu. Ketika nilai mata uang suatu negara meningkat relatif terhadap nilai
mata uang negara lain, mata uang negara tersebut mengalami apresiasi. Apresiasi
mata uang domestik akan berakibat pada makin mahalnya produk domestik di luar
negeri dan barang-barang impor menjadi lebih murah (dengan asumsi harga
domestik di kedua negara konstan). Demikian sebaliknya, ketika nilai mata uang
suatu negara menurun relatif terhadap nilai mata uang negara lain maka mata uang
negara tersebut mengalami depresiasi. Depresiasi mata uang domestik akan
berakibat pada makin murahnya produk domestik di luar negeri dan barang-
barang impor akan lebih mahal. Perubahan harga relatif akibat adanya apresiasi
ataupun depresiasi mata uang akan berpengaruh pada kondisi perdagangan luar
negeri suatu negara.
Ada beberapa definisi mengenai kurs atau dikenal dengan istilah foreign
exchange rate/ currencies rate, antara lain:
Pengertian kurs valuta asing dikemukakan oleh Brigham (2000:878),
sebagai berikut:
“ An exchange rate specifics the number of units of a given currency that
can be purchased for one unit of another currency”.
Artinya bahwa nilai tukar secara spesifik adalah jumlah unit dari suatu mata uang
yang dapat dibeli untuk satu unit mata uang lain.
Selanjutnya Brealey, et al (2000:179) mengemukakan pula definisi dari
kurs, sebagai berikut:
“The number of unit of one currency that can be purchased with one unit
of another currency is called the foreign exchange rate”.
Artinya bahwa nilai tukar merupakan jumlah unit dari satu mata uang yang dapat
dibeli dengan satu unit mata uang lain disebut kurs mata uang asing.
Dengan kata lain nilai tukar digunakan sebagai alat untuk mengukur harga
suatu mata uang atas dasar atau uang yang lain. Apabila permintaan atas suatu
mata uang meningkat atau terjadi penurunan terhadap penawaran akan suatu mata
uang, maka exchange rate akan semakin tinggi. Nilai tukar mata uang suatu
negara akan berbeda dengan nilai mata uang asing lainnya, ini disebabkan oleh
39

kondisi paritas (perbedaan daya beli) atau secara teori ekonomi, perubahan nilai
tukar, tingkat harga, dan tingkat suku bunga dikaitkan dengan situasi ekonomi
makro negara tersebut hal ini merupakan kondisi paritas internasional.
Menurunnya kurs Rupiah terhadap mata uang asing khususnya Dolar AS memiliki
pengaruh negatif terhadap ekonomi dan pasar modal (Sitinjak dan Kurniasari, 2003
dalam Oktavia 2007).

2.4.2 Penentuan Nilai Tukar (Kurs)


Dalam menentukan nilai tukar, terdapat beberapa faktor yang
mempengaruhi pergerakan nilai tukar, yaitu (Oktavia, 2007) :
1. Faktor Fundamental
Faktor fundamental berkaitan dengan indikator-indikator ekonomi seperti
inflasi, suku bunga, perbedaan relatif pendapatan antar-negara, ekspektasi pasar
dan intervensi Bank Sentral.
2. Faktor Teknis
Faktor teknis berkaitan dengan kondisi penawaran dan permintaan devisa pada
saat-saat tertentu. Apabila ada kelebihan permintaan, sementara penawaran
tetap, maka harga valas akan naik dan sebaliknya.
3. Sentimen Pasar
Sentimen pasar lebih banyak disebabkan oleh rumor atau berita-berita politik
yang bersifat insidentil, yang dapat mendorong harga valas naik atau turun
secara tajam dalam jangka pendek. Apabila rumor atau berita-berita sudah
berlalu, maka nilai tukar akan kembali normal.

2.4.3 Sistem Nilai Tukar (Kurs)


Konsep penentuan kurs diawali dengan konsep Purchasing Power Parity
(PPP), kemudian berkembang konsep dengan pendekatan neraca pembayaran
(balance of payment theory). Perkembangan konsep penentuan kurs valuta asing
selanjutnya adalah pendekatan moneter (monetary approach). Pendekatan
moneter menekankan bahwa kurs valuta asing sebagai harga relatif dari dua jenis
mata uang, ditentukan oleh keseimbangan permintaan dan penawaran uang.
40

Pendekatan moneter mempunyai dua anggapan pokok, yaitu berlakunya teori


paritas daya beli dan adanya teori permintaan uang yang stabil dari sejumlah
variabel ekonomi agregate. Hal tersebut berarti model pendekatan moneter
terhadap kurs valuta asing dapat ditentukan dengan mengembangkan model
permintaan uang dan model paritas daya beli. (Jurnal Bisnis dan Ekonomi,
www.stie-stikubank.ac.id, 2002)
Menurut Kuncoro (2001: 26-31) dalam Oktavia (2007), terdapat beberapa
sistem kurs mata uang yang berlaku di perekonomian internasional, yaitu:
1. Sistem kurs mengambang (floating exchange rate), sistem kurs ini ditentukan
oleh mekanisme pasar dengan atau tanpa upaya stabilisasi oleh otoritas
moneter. Di dalam sistem kurs mengambang dikenal dua macam kurs
mengambang, yaitu :
a. Mengambang bebas (murni) dimana kurs mata uang ditentukan
sepenuhnya oleh mekanisme pasar tanpa ada campur tangan pemerintah.
Sistem ini sering disebut clean floating exchange rate, di dalam sistem ini
cadangan devisa tidak diperlukan karena otoritas moneter tidak berupaya
untuk menetapkan atau memanipulasi kurs.
b. Mengambang terkendali (managed or dirty floating exchange rate) dimana
otoritas moneter berperan aktif dalam menstabilkan kurs pada tingkat
tertentu. Oleh karena itu, cadangan devisa biasanya dibutuhkan karena
otoritas moneter perlu membeli atau menjual valas untuk mempengaruhi
pergerakan kurs.
2. Sistem kurs tertambat (peged exchange rate). Dalam sistem ini, suatu Negara
mengkaitkan nilai mata uangnya dengan suatu mata uang negara lain atau
sekelompok mata uang, yang biasanya merupakan mata uang negara partner
dagang yang utama “Menambatkan“ ke suatu mata uang berarti nilai mata
uang tersebut bergerak mengikuti mata uang yang menjadi tambatannya. Jadi
sebenarnya mata uang yang ditambatkan tidak mengalami fluktuasi tetapi
hanya berfluktuasi terhadap mata uang lain mengikuti mata uang yang
menjadi tambatannya.
41

3. Sistem kurs tertambat merangkak (crawling pegs). Dalam sistem ini, suatu
negara melakukan sedikit perubahan dalam nilai mata uangnya secara periodic
dengan tujuan untuk bergerak menuju nilai tertentu pada rentang waktu
tertentu. Keuntungan utama sistem ini adalah suatu negara dapat mengatur
penyesuaian kursnya dalam periode yang lebih lama dibanding sistem kurs
tertambat. Oleh karena itu, sistem ini dapat menghindari kejutan-kejutan
terhadap perekonomian akibat revaluasi atau devaluasi yang tiba-tiba dan
tajam.
4. Sistem sekeranjang mata uang (basket of currencies). Banyak negara terutama
negara sedang berkembang menetapkan nilai mata uangnya berdasarkan
sekeranjang mata uang. Keuntungan dari sistem ini adalah menawarkan
stabilitas mata uang suatu negara karena pergerakan mata uang disebar dalam
sekeranjang mata uang. Seleksi mata uang yang dimasukkan dalam
“keranjang“ umumnya ditentukan oleh peranannya dalam membiayai
perdagangan negara tertentu. Mata\uang yang berlainan diberi bobot yang
berbeda tergantung peran relatifnya terhadap negara tersebut. Jadi sekeranjang
mata uang bagi suatu negara dapat terdiri dari beberapa mata uang yang
berbeda dengan bobot yang berbeda.
5. Sistem kurs tetap (fixed exchange rate). Dalam sistem ini, suatu Negara
mengumumkan suatu kurs tertentu atas nama uangnya dan menjaga kurs ini
dengan menyetujui untuk menjual atau membeli valas dalam jumlah tidak
terbatas pada kurs tersebut. Kurs biasanya tetap atau diperbolehkan
berfluktuasi dalam batas yang sangat sempit. (Oktavia, 2007).

2.4.4 Sejarah Perkembangan Kebijakan Nilai Tukar (Kurs) di Indonesia


Sejak tahun 1970, negara Indonesia telah menerapkan tiga sistem nilai
tukar, (Jurnal Bisnis dan Ekonomi, www.stie-stikubank.ac.id, 2002) yaitu:
1. Sistem kurs tetap (1970- 1978)
Sesuai dengan Undang-Undang No.32 Tahun 1964, Indonesia menganut sistem
nilai tukar tetap kurs resmi Rp. 250/US$, sementara kurs uang lainnya dihitung
berdasarkan nilai tukar rupiah terhadap US$. Untuk menjaga kestabilan nilai
42

tukar pada tingkat yang ditetapkan, Bank Indonesia melakukan intervensi aktif
di pasar valuta asing.
2. Sistem mengambang terkendali (1978-Juli 1997)
Pada masa ini, nilai tukar rupiah didasarkan pada sistem sekeranjang mata uang
(basket of currencies). Kebijakan ini diterapkan bersama dengan dilakukannya
devaluasi rupiah pada tahun 1978. Dengan sistem ini, pemerintah menetapkan
kurs indikasi (pembatas) dan membiarkan kurs bergerak di pasar dengan spread
tertentu. Pemerintah hanya melakukan intervensi bila kurs bergejolak melebihi
batas atas atau bawah dari spread.
3. Sistem kurs mengambang (14 Agustus 1997-sekarang)
Sejak pertengahan Juli 1997, nilai tukar rupiah terhadap US$ semakin
melemah. Sehubungan dengan hal tersebut dan dalam rangka mengamankan
cadangan devisa yang terus berkurang maka pemerintah memutuskan untuk
menghapus rentang intervensi (sistem nilai tukar mengambang terkendali) dan
mulai menganut sistem nilai tukar mengambang bebas (free floating exchange
rate) pada tanggal 14 Agustus 1997. Penghapusan rentang intervensi ini juga
dimaksudkan untuk mengurangi kegiatan intervensi pemerintah terhadap rupiah
dan memantapkan pelaksanaan kebijakan moneter dalam negeri.

2.4.5 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Nilai Tukar (Kurs)


Ada beberapa faktor utama yang mempengaruhi tinggi rendahnya nilai
tukar mata uang dalam negeri terhadap mata uang asing. Faktor-faktor tersebut
adalah (KumpulBlogger.com 2009):
1. Laju inflasi relative
Dalam pasar valuta asing, perdagangan internasional baik dalam bentuk
barang atau jasa menjadi dasar yang utama dalam pasar valuta asing, sehingga
perubahan harga dalam negeri yang relatif terhadap harga luar negeri
dipandang sebagai faktor yang mempengaruhi pergerakan kurs valuta asing.
Misalnya, jika Amerika sebagai mitra dagang Indonesia mengalami tingkat
inflasi yang cukup tinggi maka harga barang Amerika
43

juga menjadi lebih tinggi, sehingga otomatis permintaan terhadap barang


dagangan relatif mengalami penurunan.
2. Tingkat pendapatan relative
Faktor lain yang mempengaruhi permintaan dan penawaran dalam pasar mata
uang asing adalah laju pertumbuhan riil terhadap harga-harga luar negeri. Laju
pertumbuhan riil dalam negeri diperkirakan akan melemahkan kurs mata uang
asing. Sedangkan pendapatan riil dalam negeri akan meningkatkan permintaan
valuta asing relatif dibandingkan dengan supply yang tersedia.
3. Suku bunga relative
Kenaikan suku bunga mengakibatkan aktifitas dalam negeri menjadi lebih
menarik bagi para penanam modal dalam negeri maupun luar negeri.
Terjadinya penanaman modal cenderung mengakibatkan naiknya nilai mata
uang yang semuanya tergantung pada besarnya perbedaan tingkat suku bunga
di dalam dan di luar negeri, maka perlu dilihat mana yang lebih murah, di
dalam atau di luar negeri. Dengan demikian sumber dari perbedaan itu akan
menyebabkan terjadinya kenaikan kurs mata uang asing terhadap mata uang
dalam negeri.
4. Kontrol pemerintah
Menurut Madura (2003:114) dalam www.KumpulBlogger.com, bahwa
kebijakan pemerintah bisa mempengaruhi keseimbangan nilai tukar dalam
berbagai hal termasuk:
a. Usaha untuk menghindari hambatan nilai tukar valuta asing.
b. Usaha untuk menghindari hambatan perdagangan luar negeri.
c. Melakukan intervensi di pasar uang yaitu dengan menjual dan membeli
mata uang.
Alasan pemerintah untuk melakukan intervensi di pasar uang adalah:
1) Untuk memperlancar perubahan dari nilai tukar uang domestik yang
bersangkutan.
2) Untuk membuat kondisi nilai tukar domestik di dalam batas-batas yang
ditentukan.
3) Tanggapan atas gangguan yang bersifat sementara.
44

d. Berpengaruh terhadap variabel makro seperti inflasi, tingkat suku bunga


dan tingkat pendapatan.
5. Ekspektasi
Faktor kelima yang mempengaruhi nilai tukar valuta asing adalah ekspektasi
atau nilai tukar di masa depan. Sama seperti pasar keuangan yang lain, pasar
valas bereaksi cepat terhadap setiap berita yang memiliki dampak ke depan.
Sebagai contoh, berita mengenai bakal melonjaknya inflasi di AS mungkin
bisa menyebabkan pedagang valas menjual Dollar, karena memperkirakan
nilai Dollar akan menurun di masa depan. Reaksi langsung akan menekan
nilai tukar Dollar dalam pasar.
Kemudian menurut Madura (2003:111-123), untuk menentukan perubahan
nilai tukar antar mata uang suatu negara dipengaruhi oleh beberapa faktor yang
terjadi di negara yang bersangkutan yaitu selisih tingkat inflasi, selisih tingkat
suku bunga, selisih tingkat pertumbuhan GDP, intervensi pemerintah di pasar
valuta asing dan expectations (perkiraan pasar atas nilai mata uang yang akan
datang).

2.4.6 Ukuran Nilai Tukar (Kurs)


Nilai tukar rupiah per Dollar yang digunakan dalam penelitian ini adalah
data nilai tukar kurs tengah. Perhitungan yang digunakan untuk mencari rata-rata
kurs tengah Rupiah per Dollar AS bulanan, adalah berikut (www.scribd.com,
2010):

Nilai kurs jual terhadap USD + Nilai kurs beli terhadap USD
Kurs tengah =
2

Perkembangan nilai tukar rupiah terhadap beberapa mata uang negara lain
terutama Dollar AS ternyata kekuatannya menurun. Penurunan tersebut tidak
terlepas dari faktor-faktor fundamental antara lain inflasi dan suku bunga. Bahwa
perbedaan tingkat suku bunga di dalam negeri dan di luar negeri yang
perubahannya dapat terjadi secara cepat seharusnya menjadi pertimbangan untuk
45

pengendalian nilai tukar secara jangka pendek. Sedangkan perbedaan tingkat


harga yang perubahannya relatif lebih lambat menjadi pertimbangan untuk
menentukan arah perkembangan nilai tukar dalam jangka panjang. Selain itu
daripada secara langsung memperhatikan perubahan-perubahan faktor tersebut,
pemerintah mungkin lebih memperhatikan dampak dari perubahan faktor-faktor
luar negeri pada neraca pembayaran yang terdiri dari transaksi berjalan dan
transaksi modal. Berhubung lalu lintas modal, pemerintah banyak tergantung pada
hasil negoisasi yang cenderung bersifat politis, maka aliran modal swasta
barangkali lebih penting dalam manajemen nilai tukar khususnya dalam jangka
pendek.
Inflasi atau kenaikan harga secara umum yang terus menerus akan
cenderung memperlemah nilai tukar. Hal ini disebabkan dengan semakin
meningkatnya harga barang dalam negeri akan berakibat meningkatnya
permintaan terhadap impor dan menurunnya ekspor Indonesia ke negara lain.
Begitu pula untuk suku bunga pinjaman dalam negeri yang semakin meningkat
akan cenderung memperkecil ekspor dan memperkuat impor Indonesia.
Berbicara tentang nilai tukar tersebut, sebagian para ahli berpendapat bahwa
perubahan kurs sejak 1972 adalah sebagai kosekuensi dari adanya perbedaan
tingkat inflasi di antara negara-negara di dunia. Sebenarnya pandangan ini
merupakan penerapan teori Paritas Daya Beli (Purchasing Power Parity).
Menurut teori ini, perubahan kurs mata uang suatu negara dengan negara lain
tergantung pada perbedaan tingkat inflasi di kedua negara tersebut. Suatu negara
yang tingkat inflasinya lebih tinggi cenderung mengalami depresiasi terhadap
mata uang negara lain. Namun pada kenyataannya perhitungan kurs atas dasar
Teori Paritas Daya Beli ini mengalami kesulitan, terutama dalam mengukur
perbedaan harga relatif atau inflasi serta menekankan komposisi barang yang
dipakai dalam perhitungan tingkat inflasi. (Oktavia, 2007).
46

2.5 Hubungan Kebijakan Dividen, Tingkat Suku Bunga Sertifikat Bank


Indonesia (SBI) dan Nilai Tukar (Kurs) terhadap Risiko Investasi
2.5.1 Hubungan Kebijakan Dividen dengan Risiko Investasi
Menurut Chen dan Steiner (1999) dalam www.KumpulBlogger.com
variabe risiko mempunyai hubungan negatif dan signifikan terhadap kebijakan
dividen. Dengan tingginya risiko investasi yang dihadapi perusahaan akan
diantisipasi dengan kebijakan pembayaran dividen yang rendah. Dividen yang
rendah dapat digunakan untuk menghindari pemotongan dividen dimasa
mendatang sehingga pengalokasian sebagian keuntungan pada laba ditahan dapat
digunakan untuk investasi lebih lanjut. (kumpulblogger.com 2010).

2.5.1.1 Hubungan Keputusan Investasi, Profitabilitas, Likuiditas dan


Leverage terhadap Kebijakan Dividen
Masalah dalam kebijakan dan pembayaran dividen mempunyai dampak
yang sangat baik bagi para investor maupun bagi perusahaan yang akan
membayarkan dividennya. Pada umumnya para investor mempunyai tujuan utama
untuk meningkatkan kesejahteraannya yaitu dengan mengharapkan return dalam
bentuk dividen maupun capital gain. Di lain pihak, perusahaan juga
mengharapkan adanya pertumbuhan secara terus menerus untuk mempertahankan
kelangsungan hidupnya, yang sekaligus juga harus memberikan kesejahteraan
yang lebih besar kepada para pemegang sahamnya. Tentunya hal ini akan menjadi
unik karena kebijakan dividen adalah sangat penting untuk memenuhi harapan
para pemegang saham terhadap dividen, dan dari satu sisi juga tidak harus
menghambat pertumbuhan perusahaan. (Widiyanti 2009).
Pertumbuhan perusahaan dan dividen adalah kedua hal yang diinginkan
perusahaan tetapi sekaligus merupakan suatu tujuan yang berlawanan. Untuk
mencapai tujuan tadi perusahaan menetapkan kebijakan dividen yaitu kebijakan
yang dibuat oleh perusahaan untuk menetapkan proporsi pendapatan yang
dibagikan sebagai dividen yang dibayar, berarti semakin sedikit laba yang dapat
ditahan dan sebagai akibatnya ialah menghambat pertumbuhan perusahaan.
Sebaliknya, kalau perusahaan ingin menahan sebagian besar labanya tetap di
47

dalam perusahaan berarti bagian dari laba yang tersedia untuk pembayaran
dividen adalah semakin kecil. Akibatnya, dividen yang di terima pemegang saham
atau investor bisa dan tidak sebanding dengan risiko yang mereka tanggung.
(Damayanti dan Achyani, 2006: p.53 dalam Puspita 2009).
Mengingat akan arti penting laba, baik bagi perusahaan maupun bagi pihak
investor, dimana perusahaan berkepentingan untuk menjaga kelangsungan hidup
perusahaan. Perusahaan berkepentingan untuk meningkatkan pertumbuhan
perusahaan, sementara di lain pihak investor mengharapkan adanya pembagian
keuntungan atas laba yang diperoleh ( dividen ). Perusahaan harus bisa membuat
sebuah kebijakan yang optimal. Kebijakan yang diambil harus bisa memenuhi
kebutuhan dana, sedangkan pihak investor memperoleh apa yang diinginkan,
sehingga investor tidak mengalihkan investasinya ke perusahaan lain. (Levy dan
Sarnat, dalam Sutrisno, 2002:2).

1. Hubungan Keputusan Investasi dengan Kebijakan Dividen


Dalam meningkatkan nilai perusahaan, disamping membuat kebijakan
dividen, perusahaan dituntut untuk tumbuh. Pertumbuhan dapat diwujudkan
dengan menggunakan kesempatan investasi sebaik-baiknya. Investasi
berhubungan dengan pendanaan dan apabila investasi sebagian besar didanai
internal equity, sehingga akan mempengaruhi besarnya dividen yang dibagikan,
dan apabila dana internal equity kurang mencukupi dari dana yang dibutuhkan
untuk investasi maka bisa dipenuhinya dari eksternal khususnya dari hutang.
Perusahaan yang cenderung menggunakan sumber dana eksternal untuk mendanai
tambahan investasi akan membagikan dividen yang lebih besar (Surasni, 1998,
dalam Yuniningsih, 2002). Untuk itulah, manajer harus dapat menentukan
kebijakan dividen yang memberikan keuntungan kepada investor. Di sisi lain
harus menjalankan perusahaan dengan tingkat pertumbuhan yang diharapkan

2. Hubungan Profitabilitas dengan Kebijakan Dividen


Selain variabel investasi, variabel lainnya yang mempengaruhi kebijakan
dividen adalah variabel profitabilitas, likuiditas dan leverage. Faktor profitabilitas
48

berpengaruh terhadap kebijakan dividen karena dividen adalah sebagian dari laba
bersih yang diperoleh perusahaan, oleh karena itu dividen akan dibagikan apabila
perusahaan memperoleh keuntungan. Perusahaan yang semakin besar
keuntungannya akan membayar porsi pendapatan yang semakin besar sebagai
dividen (Sudarsi 2002:79). Oleh karena dividen diambil dari keuntungan bersih
yang diperoleh perusahaan, maka keuntungan tersebut akan mempengaruhi
besarnya dividen payout ratio. Perusahaan yang memperoleh keuntungan
cederung akan membayar porsi keuntungan yang lebih besar sebagai dividen.
Semakin besar keuntungan yang diperoleh, maka akan semakin besar pula
kemampuan perusahaan untuk membayar dividen. (Damayanti dan Achyani,2006
dalam Puspita 2009).

3. Hubungan Likuiditas dengan Kebijakan Dividen


Sedangkan untuk variabel likuiditas, likuiditas bukan digunakan
membayar dividen tetapi dialokasikan pada pembelian aktiva tetap atau aktiva
lancar yang permanen, guna memanfaatkan kesempatan investasi yang ada, serta
untuk biaya operasional. Profitabilitas tinggi pada saat ini tidak mempengaruhi
kenaikan dividen saat ini dan perusahaan tidak akan meningkatkan atau
menurunkan dividen sebagai respon terhadap fluktuasi keuntungan yang sifatnya
sementara (Riyanto, 2001 dalam Mulato 2008).

4. Hubungan Leverage dengan Kebijakan Dividen


Dalam penelitian ini, variabel leverage yang digunakan adalah Debt to
equity ratio. Debt to equity ratio mencerminkan kemampuan perusahaan dalam
memenuhi seluruh kewajibannya, yang ditunjukkan oleh berapa bagian modal
sendiri yang digunakan untuk membayar hutang. Debt to equity ratio merupakan
rasio yang digunakan untuk mengukur tingkat leverage (penggunaan utang)
terhadap total shareholders’ equity yang dimiliki perusahaan (Ang 2007:18.35
dalam Puspita 2009). Faktor ini mencerminkan kemampuan perusahaan dalam
memenuhi seluruh kewajibannya yang ditunjukkan oleh beberapa bagian modal
sendiri yang digunakan untuk membayar hutang. Semakin besar rasio ini
49

menunjukkan semakin besar kewajibannya dan rasio yang semakin rendah akan
menunjukkan semakin tinggi kemampuan perusahaan memenuhi kewajibannya.
Apabila perusahaan menentukan bahwa pelunasan utangnya akan diambilkan dari
laba ditahan, berarti perusahaan harus menahan sebagian besar dari
pendapatannya untuk keperluan tersebut, yang ini berarti berarti hanya sebagian
kecil saja yang pendapatan yang dapat dibayarkan sebagai dividen (Riyanto
2001:267 dalam Puspita 2009). Peningkatan utang ini akan mempengaruhi
tingkat pendapatan bersih yang tersedia bagi pemegang saham, artinya semakin
tinggi kewajiban perusahaan, akan semakin menurunkan kemampuan perusahaan
membayar dividen (Sudarsi 2002:80). Prihantoro (2003) menyatakan bahwa debt
equity ratio mencerminkan kemampuan perusahaan dalam memenuhi seluruh
kewajibannya, yang ditunjukkan oleh berapa bagian modal sendiri yang
digunakan untuk membayar hutang. Oleh karena itu, semakin rendah DER akan
semakin tinggi kemampuan perusahaan untuk membayar semua kewajibannya.
Semakin besar proporsi utang yang digunakan untuk struktur modal suatu
perusahaan, maka akan semakin besar jumlah kewajiban (Prihantoro, 2003:
p.10). Peningkatan hutang pada gilirannya akan mempengaruhi besar kecilnya
laba bersih yang tersedia bagi para pemegang saham termasuk dividen yang akan
diterima, karena kewajiban tersebut lebih diprioritaskan daripada pembagian
dividen. Jika beban hutang tinggi, maka kemampuan perusahaan untuk membagi
dividen akan semakin rendah, sehingga DER mempunyai hubungan negatif
dengan dividend payout ratio (Prihantoro ,2003: p.10).
Jadi, jika tingkat profitabilitas perusahaan tinggi, tingkat likuiditas rendah
dan tingkat leverage yang tinggi maka akan semakin tinggi pula tingkat
kemungkinan dividen yang akan dibagikan oleh perusahaan. Dividen yang
dibayarkan kepada para pemegang saham tergantung kepada kebijakan masing-
masing perusahaan, sehingga memerlukan pertimbangan yang lebih serius dari
manajemen perusahaan. (Levy dan Sarnat, dalam Sutrisno, 2001:2 ).
50

2.5.2 Hubungan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dengan


Risiko Investasi
Pada kondisi perekonomian seperti saat ini, risiko meningkat tanpa diikuti
kenaikan harapan keuntungan yang proporsional. Banyak sekali faktor yang
mempengaruhi fluktuasi risiko investasi. Salah satunya adalah tingkat suku bunga
yang merupakan faktor di luar fundamental perusahaan. Apabila tingkat suku
bunga tinggi, maka para investor akan lebih tertarik untuk menyimpan uang
mereka di bank, dan sebaliknya jika tingkat suku bunga rendah, maka para
investor akan lebih memilih berinvestasi di saham. Walaupun risiko yang
diakibatkannya lebih besar, namun para investor mengejar tingkat pengembalian
yang lebih tinggi sebab bunga bank sudah dianggap tidak memadai lagi.
(Makaryanawati dan Ulum, 2009).
Tingkat suku bunga merupakan persentase dari pokok pinjaman yang
harus dibayar oleh peminjam kepada pemberi pinjaman sebagai imbal jasa yang
dilakukan dalam suatu periode tertentu yang telah disepakati kedua belah pihak.
Sunariyah (2006:105) mengemukakan bahwa apabila tingkat bunga meningkat
maka jumlah tabungan juga akan meningkat. Hal ini sangat rasional karena bunga
adalah sebagai daya tarik agar individu yang kelebihan dana akan menabung.
Karvof (2004:79) mengungkapkan bahwa secara teoritis hubungan antara tingkat
suku bunga dan kinerja pasar modal adalah negatif atau berbanding terbalik.
Kenaikan suku bunga pada umumnya akan membuat harga saham turun karena
akan memotong laba perusahaan. Hal ini terjadi dengan 2 (dua) cara. Pertama,
kenaikan suku bunga akan meningkatkan biaya modal (cost of capital) dalam
bentuk beban bunga yang harus ditanggung perusahaan, sehingga labanya bisa
terpangkas. Kedua, ketika suku bunga tinggi, biaya produksi akan meningkat dan
harga produk akan semakin mahal sehingga konsumen mungkin menunda
pembeliannya dan menyimpan dananya di bank. Akibat selanjutnya penjualan
perusahaan menurun dan penurunan penjualan mengakibatkan laba juga menurun
dan akan menekan harga sahamnya yang listing di bursa. Berdasarkan pendapat di
atas, menunjukkan bahwa tingkat suku bunga merupakan hal penting dan salah
satu faktor yang mempengaruhi risiko investasi. Jika tingkat suku bunga tinggi,
51

maka akan mengakibatkan harga saham turun dan risiko investasi menjadi
menurun. Sebaliknya, jika tingkat suku bunga rendah, maka akan mengakibatkan
harga saham naik dan risiko investasi menjadi meningkat. (Makaryanawati dan
Ulum, 2009).

2.5.3 Hubungan Nilai Tukar (kurs) dengan Risiko Investasi


Perubahan nilai kurs timbul apabila terdapat perubahan kurs antara tanggal
transaksi dan tanggal penyelesaian pos moneter yang timbul dari transaksi dalam
mata uang asing. Tingkat keuntungan yang diharapkan dari adanya investasi akan
menurun dengan cepat jika nilai kurs berubah tajam, sehingga bagi para pelaku
ekonomi semakin rendah tingkat perubahan nilai kurs adalah semakin baik. Hal
ini akan mempengaruhi keputusan seorang investor dalam berinvestasi.
Permintaan terhadap saham menjadi turun dan risiko saham meningkat. Oleh
karena itu, dalam melakukan investasi, seorang investor tentu akan menanamkan
modalnya pada perusahaan yang mempunyai kinerja yang baik. Kinerja yang baik
menunjukkan bahwa perusahaan dapat meningkatkan kekayaan bagi pemegang
sahamnya. Artinya, perusahaan berhasil memberikan tingkat pengembalian
sebagaimana yang diharapkan oleh investor, yang berupa capital gain atau
dividen. (Zubaidah, 2004).

Anda mungkin juga menyukai