Anda di halaman 1dari 87

Khusus Intern

BAHAN AJAR MATA KULIAH


VICTIMOLOGI
PERANAN KORBAN
TERJADINYA KEJAHATAN

I GUSTI NGURAH PARWATA, SH.MH


Dosen Pengajar Bagian Hukum Pidana
PROGRAM STUDI :ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR 2017

0
PELAJARAN 1
Menganalisis berbagai aspek yang berkaitan dengan korban.

PENDAHULUAN


 Pada level kompetensi ini mahasiswa mempunyai kemampuan menjelaskan


tentang korban

KUALITAS MATERI PERKULIHAN

A. JUDUL MATERI PERKULIAHAN : menganalisis berbagai aspek yang


berkaitan dengan korban.

B. SUB-SUBMATERIPERKULIHAN:

C. TUJUAN PEMBELAJARAN

Dengan mempelajari viktimologi diharapkan mahasiswa dapat memperoleh


impromasi yang seluas-luasnya mengenai definisi korban

J. INDIKATOR HASIL EVALUASI PEMBELAJARAN

1. Mahasiswa dapat menjelaskan tentang Definisi Viktimologi

2. Mahasiswa dapat menjelaskan mengenai ruang lingkup

3. Mahasiswa dapat menjelaskan eksistensi dan tujuan viktimilogi 


4. Mahasiswa dapat menjelaskan perbedaan, pesamaan, dan keterkaitan



 viktimilogi dengan hak dan kewajibannya.


D. METODE DAN STRATEGI PROSES PEMBELAJARAN

 Metode Perkuliahan yaitu Problem Based Learning (PBL) pusat pembelajaran


ada pada mahasiswa. Metode yang diterapkan adalah “belajar” (Learning)
bukan “mengajar” (Teaching). 


 Strategi pembelajaran : kombinasi pertemuan tatap muka 50 %

1
(menjelaskan materi kuliah) dan tutorial 50 % ( kemampuan mahasiswa
berdiskusi dalam menulis tugas-tugas). 


 Media instruksional dengan media yang ada dimanfaatkan seperti media


papan tulis, computer, LCD. 


 Cara mengajar dosen dengan power point slide dan secara manual. 


 Cara belajar mahasiswa dalam mata kuliah kriminologi sesuai dengan



 dalam Buku Ajar 
 E. Materiperkuliahan 
 Sistem Pelaksanaan Hukuman Penja
a .
 Ada lima sistem pelaksanaan hukuman penjara yang dikenal

Tujuan Viktimologi
1. Menganalisis berbagai aspek yang berkaitan dengan korban;
2. Berusaha untuk memberikan penjelasan sebab musabab terjadinya viktimisasi;
3. Mengembangkan system tindakan guna mengurangi penderitaan manusia
Fungsi Viktimologi
Viktimologi mempunyai fungsi untuk mempelajari sejauh mana peran dari seorang
korban dalam terjadinya tindak pidana, serta bagaimana perlindungan yang harus
diberikan oleh pemeritah terhadap seseorang yang telah menjadi korban kejahatan. Disini
dapat terlihat bahwa korban sebenarnya juga berperan dalam terjadinya tindak pidana
pencurian, walaupun peran korban disini bersifat pasif tapi korban juga memiliki andil
yang fungsional dalam terjadinya kejahatan. Pada kenyataanya dapat dikatakan bahwa
tidak mungkin timbul suatu kejahatan kalau tidak ada si korban kejahatan, yang
merupakan peserta utama dan si penjahat atau pelaku dalam hal terjadinya suatu
kejahatan dan hal pemenuhan kepentingan si pelaku yang berakibat pada penderitaan si
korban. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa korban mempunyai tanggung jawab
fungsional dalam terjadinya kejahatan

Manfaat Viktimologi
Arif Gosita merumuskan beberapa manfaat dari studi mengenai korban antara lain:
1. Viktimologi mempelajari hakikat siapa itu korban dan yang menimbulkan
korban, apa artinya viktimisasi dan proses viktimisasi bagi mereka yang terlibat
dalam proses viktimisasi. Akibat dari pemahaman itu, maka akan diciptakan
pengertian-pengertian, etiologi kriminal dan konsepsi-konsepsi mengenai usaha-
usaha yang preventif, represif dan tindak lanjut dalam menghadapi dan
menanggulangi permasalahan viktimisasi kriminal di berbagai bidang kehidupan
dan penghidupan;
2. Viktimologi memberikan sumbangan dalam mengerti lebih baik tentang korban
akibat tindakan manusia yang menimbulkan penderitaan mental, fisik dan sosial.
Tujuannya, tidaklah untuk menyanjung (eulogize) korban, tetapi hanya untuk
memberikan beberapa penjelasan mengenai kedudukan dan peran korban serta
hubungannya dengan pihak pelaku serta pihak lain. Kejelasan ini sangat penting

2
dalam upaya pencegahan terhadap berbagai macam viktimisasi, demi
menegakkan keadilan dan meningkatkan kesejahteraan mereka yang terlihat
langsung atau tidak langsung dalam eksistensi suatu viktimisasi.
3. Viktimologi memberikan keyakinan, bahwa setiap individu mempunyai hak dan
kewajiban untuk mengetahui mengenai bahaya yang dihadapinya berkaitan
dengan kehidupan, pekerjaan mereka. Terutama dalam bidang penyuluhan dan
pembinaan untuk tidak menjadi korban struktural atau non struktural. Tujuannya,
bukan untuk menakut-nakuti, tetapi untuk memberikan pengetian yang baik dan
agar waspada. Mengusahakan keamanan atau hidup aman seseorang meliputi
pengetahuan yang seluas-luasnya mengenai bagaimana menghadapi bahaya dan
juga bagaimana menghindarinya.
4. Viktimologi juga memperhatikan permasalahan viktimisasi yang tidak langsung,
misalnya: efek politik pada penduduk “dunia ketiga” akibat penyuapan oleh
suatu korporasi internasional, akibat-akibat sosial pada setiap orang akibat
polusi industri, terjadinya viktimisasi ekonomi, politik dan sosial setiap kali
seorang pejabat menyalahgunakan jabatan dalam pemerintahan untuk
keuntungan sendiri. Dengan demikian dimungkinkan menentukan asal mula
viktimisasi, mencari sarana menghadapi suatu kasus, mengetahui terlebih dahulu
kasus-kasus (antisipasi), mengatasi akibat-akibat merusak, dan mencegah
pelanggaran, kejahatan lebih lanjut (diagnosa viktimologis);
5. Viktimologi memberikan dasar pemikiran untuk masalah penyelesaian viktimisasi
kriminal, pendapat-pendapat viktimologi dipergunakan dalam keputusan-
keputusan peradilan kriminal dan reaksi pengadilan terhadap pelaku kriminal.
Mempelajari korban dari dan dalam proses peradilan kriminal, merupakan juga
studi mengenai hak dan kewajiban asasi manusia.

Uraian di atas pada dasarnya ada tiga hal pokok berkenaan


dengan manfaat studi tentang korban yaitu:
a) manfaat yang berkenaan dengan pemahaman batasan korban, pencipta
korban proses terjadinya -hak korban
b) manfaat yang berkenaan dengan penjelasan tentang peran korban dalam
suatu tindak pidana, usaha membela hak-hak korban dan perlindungan
hukumnya;
c) manfaat yang berkenaan dengan usaha pencegahan terjadinya korban.

Lebih spesifik lagi Dikdik M. Mansur dan Elisatris Gultom memberikan gambaran
manfaat bagi pihak penegak hukum, sebagai berikut :

I. Bagi aparat kepolisian, viktimologi sangat membantu dalam upaya


penanggulangan kejahatan. Melalui viktimologi akan mudah diketahui latar
belakang yang mendorong terjadinya kejahatan, seberapa besar peranan korban
pada terjadinya kejahatan, bagaimana modus operandi yang biasanya dilakukan
oleh pelaku dalam menjalankan aksinya serta aspek aspek lainnya yang terkait.

II. Bagi Kejaksaan, khususnya dalam proses penuntutan perkara pidana di


pengadilan, viktimologi dapat dipergunakan sebagai bahan pertimbangan dalam

3
menentukan berat ringannya tuntutan yang akan diajukan kepada terdakwa,
mengingat dalam praktiknya sering dijumpai korban kejahatan turut menjadi
pemicu terjadinya kejahatan.

III. Bagi hakim tidak hanya menempatkan korban sebagai saksi dalam persidangan
suatu perkara pidana, tetapi juga turut memahami kepentingan dan penderitaan
korban akibat dari sebuah kejahatan atau tindak pidana, sehingga apa yang
menjadi harapan dari korban terhadap pelaku sedikit banyak dapat terkonkritisasi
dalam putusan hakim.

SOAL-SOAL VIKTIMOLOGI

Jawaban Nomor 1
1. a. viktimilisasi adalah sebagai suatu permasalahan manusia yang merupakan
kenyataan social hal ini disebabkan karena Setiap warga negara berhak
mendapatkan rasa aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan sesuai dengan
falsafah Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Apapun model
dan bentuk kekerasan yang dilakukan baik itu berupa ancaman kekerasan,
penyiksaan atau perlakuan yangmerendahkan derajat dan martabat kemanusiaan
adalahmerupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia dan kejahatan terhadap
martabat kemanusiaan.

Contoh kasus yang dapat kita lihat adalah :


- Korban akibat perbuatan manusia, korban akibat perbuatan manusia dapat
menimbulkan perbuatan kriminal misalnya: korban kejahatan perkosaan, korban
kejahatan politik. Dan yang bukan bersifat kriminal (perbuatan perdata) misalnya :
korban dalam bidang Administratif,dan lain sebagainya;

b. obyek studi Viktimologi meliputi :


1. Semua macam, setiap macam perbuatan criminal yang mengakibatkan orang-
oprang menjadi korban, yang sudah atau belum dirumuskan oleh Undang-
undang contohnya : Korban kejahatan konvensional, Korban non-konvensional
dan Korban kejahatan akibat penyalahgunaan kekuasaan (Ilegal abuses of
power) terhadap hak asasi manusia alat penguasa termasuk penangkapan serta
penahanan yang melanggar hukum dan lain sebagainya.
2. Setiap orang atau pihak yang dapat menjadi korban baik orang perorangan
maupun suatu korporasi atau organisasi misalnya pencemaran nama baik,
melakukan penyelewengan wewenang jabatan.
3. Setiap orang atau pihak yang dapat menimbulkan korban artinya dimana disatu
sisi orang tersebut dapat merugikan orang lain sehingga orang tidak merasa
aman akibat tindakanya.
4. Cara-cara viktimisasi atau penimbulan korban baik itu korban kejahatan
perkosaan, politik dan lain sebagainya
5. Bentuk-bentuk viktimisasi yang terdiri dari Primary victimization, adalah

4
korban individual/perorangan bukan kelompok; Secondary Victimization,
korbannya adalah kelompok, misalnya badan hukum; Tertiary Victimization,
yang menjadi korban adalah masyarakat luas; Non Victimozation, korbannya
tidak dapat segera diketahui misalnya konsumen yang tertipu dalam
menggunakan hasil produksi.
6. Akibat viktimisasi
7. Pengaruh viktimisasi
8. Reaksi atau respons terhadap viktimisasi
9. Penyelesaian viktimisasi
10. Pengaturan yang berkaitan dengan viktiminasi ( yang menjadi perhatian
viktimologi )

Jawaban Nomor 2

2. Tujuan viktimologi dan siapa yang perlu viktimologi?


A. Semua masyarakat dan terutama para aparat penegak hukum hal ini disebabkan
karena
1. melalui studi victimologi akan memberikan pemahaman kepada setiap
individu mengenai hak dan kewajibannya dalam rangka mengantisipasi
berbagai bahaya yang mengancamnya;
2. viktimologi memberikan sumbangan pemikiran mengenai masalah
viktimisasi tidak langsung, dampak social polusi industri, viktimisasi
ekonomi, politik dan penyalahgunaan kewenangan.
3. viktimologi memberikan dasar pemikiran dalam penyelesaian viktimisasi
criminal atau factor victimogen dalam sistem peradilan pidana.

B. Pengertian Viktimologi Secara etimologi, victimologi berasal dari kata “Victim”


yang berarti korban dan “Logos” yang berarti ilmu pengetahuan. Dalam
pengertian terminology, victimologi adalah studi yang mempelajari tentang
korban, penyebab terjadinya korban/timbulnya korban dan akibat-akibat
penimbulan korban yang merupakan masalah manusia sebagai suatu kenyataan
social.

Jawaban Nomor 3
A. Manfaat dari Viktimologi adalah Sebagaimana diketahui bahwa viktimologi
juga merupakan sarana penanggulangan kejahatan/ mengantisipasi
perkembangan kriminalitas dalam masyarakat. sehingga viktimologi sebagai
sarana penanggulangan kejahatan juga masuk kedalam salah satu proses
Kebijakan Publik. Antisipasi kejahatan yang dimaksud meliputi
perkembangan atau frekuensi kejahatan, kualitas kejahatan, intensitas
kejahatan dan kemungkinan munculnya bentuk-bentuk kejahatan.

5
-Hak-hak Korban menurut The Declaration of Basic Principles of Justice for Victims
of Crime and Abuse of Power ialah
1. Hak memperoleh informasi;
2. Hak didengar dan dipertimbangkan kepentingannya pada setiap tahapan proses
peradilan pidana;
3. Hak memperoleh bantuan yang cukup;
4. Hak memperoleh perlindungan terhadap privasi dan keamanan

B. Kewajiban Korban Kriminalitas ialah


- tidak sendiri membuat korban dengan mengadaka pembalasan
- berpartisipasi dalam masyarakat mencegah perbuatan korban lebih banyak lagi
- mencegah kehancuran sipelaku baik oleh diri sendiri maupun orang lain
- mencegah kehancuran sipelaku baik oleh diri senndiri maupun oleh orang lain
- ikut serta membina pelaku atau pembuat korban
- bersedia dibina atau membina diri sendiri untuk tidak menjadi korban lagi
- tidak memnuntut restitusi yang tidak sesuai dengan kemampuan pelaku
- menjadi saksi bila tidak membahayakan diri sendiri dan ada jaminan keamananya.

Jawaban Nomor 4

a. Korban tidak saja dipahami sebagai obyek dari suatu kejahatan tetapi juga harus
dipahami sebagai subyek yang perlu mendapat perlindungan secara social dan
hukum . pada dasarnya korban adalah orang baik, individu, kelompok ataupun
masyarakat yang telah menderita kerugian yang secara langsung telah terganggu
akibat pengalamannya sebagai target dari kejahatan subyek lain yang dapat
menderita kerugian akibat kejahatan adalah badan hukum.
- Menurut Arif Gosita Pengertian korban adalah mereka yang menderita jasmani
dan rohani sebagai tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri
sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang
menderita.
- Hak-hak korban yaitu :
a. mendapatkan ganti kerugian atas penderitaanya
b. menolak restitusi dari pelaku / tidak memerlukanya
c. mendapatkan restitusi/ kompensasi
d. mendapatkan pembinaan dan rehabilitas
e. mendapatkan hak miliknya
f. mendapatkan bantuan penasehat korban
g. mempergunakan upaya hukum.

b. Jenis-jenis Viktimisasi menurut wolfgang ialah


1. Unrelated victims, yaitu korban yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan
terjadinya korban, misalnya pada kasus kecelakaan pesawat. Dalam hal ini
tanggungjawab sepenuhnya terletak pada pelaku.
2. Provocative Victims, yaitu seseorang yang secara aktif mendorong dirinya menjadi
korban, misalnya kasus selingkuh, dimana korban juga sebagai pelaku.

6
3. Participating Victims, yaitu seseorang yang tidak berbuat tetapi dengan sikapnya
justru mendorong dirinya menjadi korban
4. Biologically weak Victims, yaitu mereka yang secara fisik memiliki kelemahan atau
potensi untuk menjadi korban, misalnya orang tua renta, anak-anak dan orang yang
tidak mampu berbuat apa-apa.
5. Socially Weak Victims, Yaitu mereka yang memiliki kedudukan social yang lemah
yang menyebabkan mereka menjadi korban, misalnya korban perdagangan
perempuan, dan sebagainya.
6. Self Victimizing Victims, yaitu mereka yang menjadi korban karena kejahatan yang
dilakukannya sendiri, pengguna obat bius, judi, aborsi dan prostitusi.

Jawaban Nomor 5
a. tentu saja pelaksanaan pembangunan dapat menjadi factor viktimogen, hal ini
disebabkan akibat adanya perubahan dalam struktur kehidupan masyarakat
terutama dalam tuntutan perekonomian dan sosial budaya masyarakat.

> Salah satu contoh kehidupan dikota Jakarta. Banyak orang melakukan bermacam-
macam tindakan criminal dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sesuai dengan
berjalanya proses pelaksanaan pembangunan hal ini disebabkan karena jumlah
tenaga kerja yang diserap tidak sesuai dengan hasil yang diperoleh sehingga ini
menjadi salah satu factor viktimogen tindak criminal yang artinya berbagai macam
korban tinka criminal, mulai dari korban perampokan, pemerkosaan, pembunuhan
dan modus lain sebagainya.

b. peran seorang korban viktimisasi criminal ialah


1.Korban mempunyai kesempatan untuk tampil artinya seorang korban diberikan
kesempatan untuk melakukan pembuktian kesaksian baik secara lisan maupun
tertulis untuk mengungkap tindakan criminal tersebut.
2. Korban diberdayakan/ada pemberdayaan korban / tidak diluar sistem , dalam hal
ini korban berhak mendapatkan perlindungan dari polisi atau aparat penegak
hukum untuk mendapatkan keadilan.
3. Meminimalisasi penyalahgunaan wewenang, secara langsung disini pihak korban
bisa melakukan kerjasama dengan aparat untuk melakukan pengumpulan bukti-
bukti dan saksi dalam mengungkap tabir kejahatan tersebut.

Jawaban Nomor 6

Peranan korban dalam terjadinya suatu kejahatan ialah


a. Salah satu pengakibat terjadinya suatu kejahatan
b. Pelaku serta terlaksananya suatu kejahatan
c. Yang dijadikan korban

7
d. Pemberi kesempatan terlaksananya suatu kejahatan
e. Korban pelaku kejahatan

Contoh kasus:
Misalnya pada zaman sekarang ini banyak wanita yang menggunakan pakaian yang
tidak wajar atau terlalu terbuka sehingga hal ini mendorong terjadinya suatu tindak
kejahatan seperti pemerkosaan.

Jawaban Nomor 7

Kedudukan korban dalam terjadinya suatu kejahatandalam analisa viktimologi


baik dalam tindak criminal maupun non-kriminal ialah

a. Pihak yang terlibat dalam terjadinya suatu kejadian


b. Partisipasikan dalam berlangsungnya suatu kejahatan ( aktif /pasif )
c. Obyek pelaksanaan suatu kejahatan
d. Pihak yang dirugikan
e. Pihak yang dikorbankan
f. Pihak yang mengadu
g. Pihak yang menuntut ganti rugi
h. Pihak yang menentukan penghukuman pelaku

8
1. VICTIMOLOGY (VIKTIMOLOGI) Rani Hendriana, S.H., M.H
2. Viktimologi  Victim (korban)  Logi (pengetahuan)
Ilmu Pengetahuan * ―victima‖ (Korban)  Bahasa Latin *―Logos‖
(ilmu pengetahuan)  Bahasa Yunani = Viktimologi berarti ilmu
pengetahuan tentang korban
3.  ZVONIMIR PAUL-SEPAROVIC: VICTIMOLOGY REFERS TO
SCIENCE DEALING WITH THE STUDY OF THE VICTIM 
J.E.SAHETAPY: VIKTIMOLOGI SECARA SINGKAT ADALAH ILMU
ATAU DISIPLIN YANG MEMBAHAS PERMASALAHAN KORBAN
DALAM SEGALA ASPEK  ARIF GOSITA: VIKTIMOLOGI ADALAH
SUATU STUDI ATAU PENGETAHUAN ILMIAH YANG MEMPELAJARI
MASALAH PENGORBANAN KRIMINAL SEBAGAI SUATU MASALAH
MANUSIA YANG MERUPAKAN SUATU KENYATAAN SOSIAL
1. 4. KEDUDUKAN VIKTIMOLOGI Kedudukan Viktimologi
sebagai ilmu baru, apakah hanya merupakan bagian dari
kriminologi atau sudah merupakan disiplin yang mandiri
(sejajar dengan ilmu lainnya)?
2. 5. Separovic Dasar pembedaan terletak pada ruang
lingkup kajian. Apabila obyek kajian Viktimologi hanya
korban akibat kejahatan saja, maka viktimologi hanya
sebagian dari kajian masalah kejahatan dan sebagai

9
akibatnya menjadi bagian dari Kriminologi. (didukung oleh
Schneider) Apabila obyek Viktimologi meliputi semua korban,
termasuk korban bencana alam, maka viktimologi merupakan
suatu disiplin ilmu tersendiri (Didukung oleh Mandelshon)
3. 6. Nagel seorang kriminolog yang berpendirian
viktimologi sebagai bagian kriminologi mencoba memberikan
penjelasan kedudukan viktimologi. Apabila kriminologi tetap
berpegang sebagai suatu ilmu pengetahuan tentang
kejahatan, berarti konsep kriminologi yang demikian itu
sangat sempit hanya mengkaji tentang etiologi kriminal.
Kriminologi dalam arti etilogi kriminal, dengan tegas tidak
dapat disetujui, sebab hanya mempelajari penjahatnya berarti
merupakan ilmu pengetahuan yang sempit dan berat
sebelah. Dengan demikian obyek kriminologi tidak sesuai
dengan kenyataan, bahwa kejahatan di samping penjahat
terdapat korban.
4. 7. Iswanto (1995, dalam Disertasinya) Viktimologi
pengetahuan sebagai yang suatu mandiri. disiplin Pandangan
ilmu ini berdasarkan pendapat pakar hukum pidana
(kriminolog) dan simposium
5. 8.  Scafer (1968) Viktimologi merupakan suatu disiplin
ilmu pengetahuan yang mandiri atas dasar hubungan antara
penjahat-korban (criminal-victim relationship). Hal itu berarti
bahwa terjadinya kejahatan atas interaksi antara penjahat dan
korban sekaligus adanya pengakuan peranan dan
tanggungjawab. Di samping itu, viktimologi menuntut agar

10
supaya pembuat kejahatan bertanggung jawab terhadap
kerugian pisik, morel maupun nyawa korban.
6. 9.  Simposium Simposium Internasional Pertama
Tentang Viktimologi di Yerusalem yang diselenggarakan pada
tahun 1973, menyimpulkan bahwa : 1.Viktimologi dirumuskan
sebagai suatu studi ilmiah mengenai korban; 2.Kriminologi
telah dipercaya dengan suatu orientasi viktimologi (Gosita,
1977)
7. 10. Seminar Kriminologi ke VI di Universitas
Diponegoro Semarang (tanggal 16-18 September 1991),
secara tidak langsung telah mengakui eksistensi viktimologi
atau ―Criminal-Victim Relationship‖ dengan penjelasan:
...bahwa database statistik kriminal yang merupakan
seperangkat hasil analisis data mengenai kejahatan yang
merupakan hal-hal yang berkaitan langsung dengan peristiwa
kejahatan yaitu: 1. bentuk tindak pidana yang meliputi (a)
aturan pidana yang dilanggar dan ancaman pidananya, (b)
waktu dan tempat tindak pidana; 2. pelaku tindak pidana
termasuk (a) biodata, (b) hubungan keluarga dengan korban;
3. penyelesaian perkara; dan 4. . korban tindak pidana
8. 11. PEMBAGIAN VIKTIMOLOGI A. Viktimologi Dalam
Arti Sempit/Viktimologi Khusus Ilmu pengetahuan empiris
yang berkaitan dengan korban dari kejahatan/perbuatan
yang dapat dihukum  viktimimologi penal/kriminal B.
Viktimologi Dalam Arti Luas/ General Victimology
Mencangkup seluruh ilmu pengetahuan tentang korban pada

11
umumnya  Termasuk dalam lingkup ini meliputi korban
dari perbuatan yang dapat dihukum/kecelakaan (lalu-
lintas/kerja/bencana alam), korban dari masyarakat, korban
dari negara. C. Viktimologi Baru/ NewVictimology Ilmu
pengetahuan tentang korban yang mencangkup korban
penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran HAM, dan
korban yang dimaksud kriminologi radikal (korban kejahatan
konvensional dan yang dilakukan oleh khas yang berkuasa)
9. 12. Kritik yang memunculkan Viktimologi Baru (Tokoh
R.Elias)  Penguasa hukum yang bertindak melalui
aparataparat telah mendefinisikan hukum lebih merupakan
kepentingan klas atau kelompoknya daripada kepentingan
masyarakat banyak.  Dengan demikian korban pelanggaran
HAM/Penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh para
penguasa tidak kelihatan. Baru terlihat setelah hal tersebut
dirumuskan dalam undangundang/discourse.
10. 13. TUJUAN VIKTIMOLOGI A. To Analize the
manifold aspect of the victim’s problem Menganalisis
berbagai aspek masalah korban  Kerugian/Penderitaan
Korban (fisik, kerugian materiil, sosial/psikologis, lamanya
penderitaan)  a second victimizationin criminal justice
system B. To explain the causes for victimization Menjelaskan
sebab-sebab terjadinya pengorbanan (timbulnya korban) C.
Develop a system of measures for reducing human suffering
Menciptakan suatu sistem kebijakan dalam upaya untuk
mengurangi penderitaan manusia

12
11. 14. PENGERTIAN KORBAN Pengertian korban
secara umum pada hakikatnnya dapat dikategorikan menjadi
dua, yaitu: 1. Dalam sejarah dikenal beberapa istilah; Korban
dalam arti ―sacrifice‖  artinya bentuk korban (pengorbanan)
yang dikaitkan dengan hal-hal yang bersifat metafisik,
supranatural, misalnya korban dalam upacara keagamaan dan
atau sejenisnya, untuk persembahan dewa, pengampunan,
penghormatan, ungkapan terimakasih, penebusan dosa, dll;
―Propitiatory‖  untuk meminta belas kasihan dewa;
―Holocaust‖  Pengorbanan Pembakaran; ―Komuni‖
Pengorbanan sebagian yang sisanya dimakan bersama.
12. 15. 2. Korban dalam Konsep Keilmuan
(Victimological) Objek Korban dalam viktimologi dikenal
dengan korban dalam konsep kelilmuan, antara lain: Korban
akibat kejahatan atau perbuatan yang dapat dihukum (victim
of crime), korban kecelakaan (victim of accident), korban
bencana alam (victim of natural disaster), korban
kesewenang-wenangan penguasa atau korban atas
pelanggaran hak asasi manusia (victim of illegal abuses of
public power) maupun korban dari penyalahgunaan
kekuasaan di bidang ekonomi (victim of illegal abuses of
economic power)
13. 16.  Pengkajian secara keilmuan tidak hanya
terbatas pada individu, akan tetapi bisa juga berupa
kelompok orang, masyarakat, korporasi, swasta maupun
pemerintah/negara, bahkan lebih luas lagi termasuk di

13
dalamnya langsung mengalami dari keluarga dekat korban
kerugian dan ketika atau tanggungan orang-orang
membantu yang korban mengatasi penderitaannya atau
untuk mencegah viktimisasi.
14. 17. Pengertian Korban dalam beberapa Ahli dan
Regulasi  Webster, Kamus, Webster a) suatu makhluk hidup
yang dikorbankan kepada dewa atau dalam melaksanakan
upacara agama; b) seseorang yang dibunuh, dianiaya, atau
didendan oleh orang lain; seseorang yang mengalami
penindasan, kerugian, atau penderitaan; c) seseorang yang
mengalami kematian, luka-luka dalam berusaha
menyelamatkan diri; d) seseorang yang diperdaya, ditipu,
atau mengalami penderitaan; seseorang yang dipekerjakan
atau dimanfaatkan secara sewenang-wenang dan tidak layak.
15. 18.  Kamus Umum Bahasa Indonesia
(Poerwadarminta, 1983) Mengartikan korban: 1. Pemberian
untuk menyatakan kebaktian (kerelaan hati dsb); 2. Orang
yang menderita kecelakaan karena perbuatan (hawa nafsu,
dsb); 3. Orang yang mati; 4. Orang yang mati karena
menderita kecelakaan, karena tertimpa bencana alam seperti
banjir, gempa bumi, dsb
16. 19.  Sahetapy Orang perorangan atau badan
hukum yang menderita luka-luka, kerusakan atau bentuk-
bentuk kerugian lainnya yang dirasakan, baik secara fisik
maupun secara kejiwaan. Kerugian tersebut tidak hanya
dilihat dari sisi hukum saja, tetapi juga dilihat dari segi

14
ekonomi, politik maupun social budaya. Mereka yang
menjadi korban dalam hal ini dapat dikarenakan kesalahan si
korban itu sendiri, peranan korban secara langsung atau
tidak langsung, dan tanpa adanya peranan dari si korban
17. 20.  Arif Gosita Mereka yang menderita baik
jasmaniah dan orang rohaniah lain sebagai yang akibat
mencari tindakan pemenuhan kepentingan bagi diri sendiri
atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan hak
asasi pihak yang dirugikan
18. 21.  Muladi Orang-orang baik secara individual
maupun kolektif telah menderita kerugian, termasuk kerugian
fisik atau mental, emosional, ekonomi atau gangguan
substansial terhadap hak-haknya yang fundamental, melalui
perbuatan atau omisi yang melanggar hukum pidana di
masing-masing penyalahgunaan kekuasaan negara, termasuk
19. 22.  Deklarasi PBB dalam The Declaration of
Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of
Power 1985 ―victims means persons who, individually or
collectively, have suffered harm, including physical or mental
injury, emotional suffering, economic loss or substantial
impairment of their fundamental rights, through acts or
omission of criminal laws operative within Member States,
including those laws proscribing criminal abuse of power‖……
Through acts or omissions that do not yet constitute
violations of national criminal laws but of internationally
recognized norms relating to human rights‖

15
20. 23.  Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006
tentang Perlindungan Saksi dan Korban menyebutkan
pengertian mengenai korban. Seseorang yang mengalami
penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang
diakibatkan oleh suatu tindak pidana‖  PP No 3 Tahun
2002 tentang Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi
terhadap Korban Pelanggaran HAM yang Berat Orang
perseorangan/kelompok orang yang mengalami penderitaan
baik fisik, mental, maupun emosional, kerugian ekonomi, atau
mengalami pengabaian, pengurangan atau perampasan hak-
hak dasarnya, sebagai akibat pelanggaran HAM yang berat,
termasuk korban adalah ahli warisnya.
21. 24. Macam-macam Korban berdasarkan Konggres
PBB ketujuh: 1. Korban kejahatan Konvensional 2. Korban
non-konvensional 3. Korban kejahatan akibat
penyalahgunaan kekuasaan (Ilegal abuses of power) terhadap
HAM
22. 25. Kriterium obyek yang menderita (Separovic) 1.
Korban Individual; 2. Korban Kolektif; 3. Korban Abstrak; 4.
Korban pada diri sendiri.
23. 26. Tujuan Viktimologi I Menganalisis BERBAGAI
ASPEK MASALAH KORBAN
24. 27. BERBAGAI ASPEK MASALAH KORBAN Tujuan
Viktimologi yang Pertama Pembicaraan  orientasi pada
kerugian &/ penderitaan korban akibat tindak pidana yang
menimpanya (viktimisasi)

16
25. 28. KERUGIAN &/PENDERITAAN KORBAN
Kerugian/ penderitaan:  Dapat dialami satu jenis 1. Luka
Fisik 2. Kerugian Materi 3. Kerugian Sosial dan Psikologis 
Lamanya Penderitaan  Perhatian terhadap Korban
Pidana/Kedudukan Korban dalam Peradilan Pidana Tindak
Sistem  Dapatpula dirasakan sekaligus
26. 29. 1. Luka Fisik  Termasuk yang mudah terlihat
(bandingkan dg kerugian/penderitaan lain)  Penganiayaan
ringan, cenderung dihiraukan sebagai luka fisik tidak begitu
 Korban cenderung akan merasakan penderitaan yang
serius apabila menderita  Luka fisik yang serius & sangat
menggangu aktifitas kerja/ hingga tidak berfungsinya salah
satu/beberapa organ tubuh (cacat seumur hidup)
27. 30. 2. Kerugian Materi  Kerugian di bidang
Materi  uang/hilangnya pendapatan yg seharusnya
diperoleh, maupun properti lainnya  Properti  lainnya
perhiasan/kendaraan, kaca hilanganya jendela/pintu yang
dirusak, dll kerusakan yg ditimbulkan akibat tindak pidana yg
terjadi
28. 31. Kerugian Materi Pasca (setelah terjadinya)
Tindak Pidana  Pengeluaran (biaya) transportasi/
akomodasi selama proses penyelesaian perkara tindak pidana
 Biaya pengobatan &/ terapi psikologis  Korban yg
mengalami luka fisik/ goncangan jiwa
29. 32. 3. Kerugian Sosial dan Psikologis  Berkaitan
atas kerugian dengan suatu rangkaian akibat/efek tindak

17
pidana  Dampak sosial & Psikologis yang paling terasa
terjadi pada korban tindak pidana pemerkosaan  Sosial 
sorotan, pergunjingan, pengucilan oleh masyarakat sekitarnya
maupun
30. 33.  Psikologis  Trauma yg pernah dialami
seseorang akibat tindakan yg menyakitkan & menakutkan
akan terus membekas pada diri seseorang. Terus menerus
dlm keadaan tegang, bimbang, takut, lambat laun mengalami
kelainan jiwa (Psychoneurose) (Jersild 1973, dalam Lefrancois
1984)  Mereka tidak mau bergaul, enggan makan &
membersihkan diri, sehingga fisiknya lemah dan sakit maka
timbulah Psycosomatris (Djam’an, 1970)  Selain derita fisik,
ia akan merubah kebiasan makan & tidur, mempunyai rasa
takut akan serangan balas dendam, takut diperkosa lagi,
takut reaksi negatif keluarga, dan menujukan tanda derita
emosional lain (Peters, 1973)  Menurunnya harga diri,
konsekuensi ketidakmampuan untuk menyenangkan dalam
hubungan heteroseksual secara normal, dan perilaku
ancaman bunuh diri (Weis dan Borges, 1973)
31. 34. Lamanya Penderitaan Korban dapat
mengalami penderitaan berkelanjutan  Dalam Iswanto &
Angkasa:  Prosentase lama pengaruh yg diderita:Kerugian
keuangan (financial loss), pengaruh fisik (physical effect), dan
pengaruh psikologis (psychology effect)  Tiga kategori
tambahan: Any effect‖ mencangkup semua kategori. ―Possible
emotional need‖ mencangkup pengaruh sosial dan psikologis

18
pada diri korban. ―Possible financial need‖ mencangkup
semua pengaruh yang mungkin mempengaruhi keuangan
korban 
32. 35.  Jangka waktu pengaruh dari berbagai
tindak pidana terhadap korban juga diteliti oleh Maguire
(1982) untuk korban perampokan. Brown dan Yantzi (1980)
meneliti untuk warga Kanada korban segala jenis tindak
pidana. Temuan pengaruh yang diderita korban juga
cenderung sama. Para korban berharap ada kemajuan dalam
kasus yang menimpa mereka dan juga imbalan, serta
dilakukan pendekatan konservatif oleh para profesional
dalam sistem hukum pidana.
33. 36. Pengaruh-pengaruh tersebut dapat diringkas:
a. Korban biasanya menderita secara fisik dan emosional
setelah tindak pidana, Ada yang perlu perawatan medis,
kebanyakan memerlukan dukungan emosional. Peran teman
atau keluarga sangat berarti di sini; b.Jumlah korban yang
mengemukakan kerugian keuangan mereka (yang tidak
memiliki kartu jaminan sosial) hanya sedikit. Pengaruh ini
baru muncul setelah beberapa bulan; c.Di lain pihak,
pengaruh mental, fisik dan pengaruh keluarga dan
lingkungan sosial akan memberatkan bagi korban. Mereka
merasakan hal ini sangat berat. Beberapa dari mereka
mengharap dukungan dari kelompok penyantun dan
pendukung korban; d. Dalam kaitannya dengan sistem
hukum pidana dan sumber kompensi korban mengharapkan

19
adanya informasi dan kemajuan pada kasus mereka.
34. 37. Perhatian terhadap Korban Tindak Pidana/
Kedudukan Korban dalam SPP Kedudukan korban dalam
Sistem Peradilan Pidana saat ini tampaknya belum
ditempatkan secara adil. Hal tersebut cenderung berimplikasi
terhadap dua hal yang fundamental berupa:  Tiadanya
perlindungan hukum bagi korban, dan;  Tiadanya putusan
hakim yang memenuhi rasa keadilan bagi korban, masyarakat
luas (Angkasa) pelaku maupun
35. 38.  Karmen serta Graborsky : Korban tindak
pidana sebagai "invisible" atau "forgotten‖  Elias: Korban
telah menjadi korban keduakalinya (a second victimization)
dalam Sistem Peradilan Pidana atau warga negara klas dua (a
second class citizen).  Soedarto: Kedudukan korban atau
orang yang dirugikan dalam perkara pidana selama ini
sangat memedihkan, korban dari kejahatan seolah-olah
dilupakan.
36. 39.  Shapland mengatakan bahwa korban tindak
pidana menjadi ―Forgotten man‖ (Shapland, et al. 1985)
dalam SPP atau ―Kurangnya memperhatikan peran korban
dalam proses pidana‖ (Shapland, et al. 1985). Harding (1982)
mengatakan bahwa ―Negara melalui pejabat dalam SPP
sedikit kurang memberikan perhatian pada kebutuhan-
kebutuhan korban‖.  Dalam situasi demikian, maka tepat
bila Cristie (1977) mengatakan bahwa korban merupakan
pihak yang kalah total dalam situasi ini (dalam SPP). Paling

20
utama adalah hilangnya keterlibatan diri dalam kasus yang
menimpanya.  Minimal terdapat dua hal yang harus
direnungkan bersama, selain untuk perlindungan terhadap
korban serta menuju putusan yang memenuhi rasa keadilan.
Pertama, atas ―jasa‖ korban tindak pidana yang memegang
peranan penting dalam tahap sub sistme kepolisian, dan
Kedua atas kerugian dan/atau penderitaan korban yang
dialami.
37. 40. TujuanViktimologi II Menjelaskan Sebab-Sebab
Terjadinya Korban
38. 41. Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Viktimisasi
Tujuan Viktimologi II PERANAN KORBAN Kriminologi 
Dilihat dari Aspek Pelaku Viktimologi  Dilihat dari Aspek
Korban RISIKO KORBAN
39. 42. PERANAN KORBAN Hentig 
Menghipotesakan bahwa dalam Beberapa hal Korban
membentuk dan mencetak penjahat dan kejahatannya
Wolfgang  Berdasasarkan Studi Data Statistik ditemukan
bahwa satu korban di antara empat kasus pembunuhan ikut
mempercepat pembunuhan Amir  Dalam kasus
Pemerkosaan, Korban berpartisipasi dan mempercepat satu
diantara lima kasus perkosaan Meir & Meite  Dalam kasus
Pemerkosaan, Victim Precipitation mencapai sekitar 4-19%
karena Kelalaian Korban
40. 43. 6 Tipologi Korban (Mandelsohn) 1. THE
―COMPLETELY INNOCENT VICTIM‖  Korban yang sama

21
sekali tidak bersalah 2. THE ―VICTIM WITH MINOR GUILT‖
AND THE ―VICTIM DUE TO HIS IGNORANCE‖  Korban
dengan kesalahan kecil dan korban yang disebabkan
kelalaian 3. THE ―VICTIM AS GUILTY AS THE OFFENDER AND
VOLUNTARY VICTIM‖  Korban sama salahnya dengan
pelaku dan korban sukarela. 4. THE ―VICTIM MORE GULTY
THAN THE OFFENDER‖  Korban kesalahannya lebih besar
daripada pelaku 5. THE ―MOST GUILTY VICTIM‖ AND THE
―VICTIM AS IS GUILTY ALONE‖  Korban yang sangat salah
dan korban sebagai satu-satunya yang bersalah 6. THE
―SIMULATING VICTIM‖ AND THE ―IMAGINE AS VICTIM‖ 
Korban pura-pura dan korban imajinasi
41. 44. Victim Precipitation Typology (Stephen
Scahfer) 1. Unrelated Victims 2. Provocative Victims 3.
Precipitative Victims 4. Biologically Weak Victims 5. Socially
Weak Victims 6. Self-Victimizing 7. Political Victims.
42. 45. Klasifikasi Korban Atas Tingkat Peranannya
(Ezzat A. Fattah) 1.Nonparticipating Victims; 2. Latent or
Predisposed Victim; 3. Provocative Victim; 4. Participating
Victim; 5. False Victims
43. 46. RISIKO KORBAN  Dalam kondisi dan situasi
tertentu cenderung mudah terjadi viktimisasi  Terjadinya
kejahatan menunjukkan  Terdapat ciri-ciri tertentu,
keteraturan, unsur-unsur tipikal pada kepribadian korban &
sikap korban terhadap pelaku dalam terjadinya kejahatan
44. 47. RISIKO KORBAN Separovic Pribadi (Biologis

22
usia, jenis kelamin, kesehatan (terutama kes. jiwa) Sosial 
korban imigran, buatan masyarakat, minoritas, jabatan,
hubungan pribadi, dll Situasi  keadaan konflik, tempat dan
waktu
45. 48. Risiko Korban Berdasarkan Psikologi, Sosial
dan Biologi  13 Tipe Korban (Hans Von Hentig) 1. The
young 2. The female 3. The old 4. The mentally defective and
other mentally deranged 5. Immigrants 6. Minorities 7. Dull
normals 8. The depresed 9. The acquisitive 10. The wanton
11. The lonesome and broken heart 12. Tormentors 13. The
blocked, exempted, and fighting.
46. 49. Tiga Fator Utama yang Mempunyai Risiko
Viktimisasi (STEINMETZ) A. Attractiveness  mengacu pada
nilai bagi pelaku tindak pidana potensial melakukan tindak
pidana terhadap obyek tertentu B. Proximity  pendekatan
sosial dan geografik (antara korban dan pelaku potensial) C.
Exposure  sejauh mana pelaku tindak pidana diberikan
kesempatan untuk melakukan tindak pidana ketika mereka
berhubungan dengan target yang sangat menarik  Ingat
kata ―BANG NAPI‖: Kejahatan bukan hanya dari niat pelaku
tapi karena adanya kesempatan.
47. 50. TujuanViktimologi III ―Develop a system of
measures for reducing human suffering‖ (Menciptakan upaya
manusia) suatu sistem kebijakan dalam untuk mengurangi
penderitaan
48. 51. Restitusi dan Kompensasi  Merupakan

23
bagian atas kebijakan dalam upaya mengurangi penderitaan
korban (Materi: Dr. Angkasa)
49. 52. RESTITUSI Perbaikan atau Restorasi perbaikan
atas kerugian baik fisik, morel, maupun harta benda,
kedudukan dan hak-hak Korban atas serangan penjahat.
Merupakan bentuk pertanggungjawaban penjahat yang
berkarakter pidana. Dibayar oleh penjahat (Pelaku)
berdasakan putusan pengadilan atas tuntutan korban melalui
proses peradilan pidana (Materi: Dr. Angkasa) Ex: Penjelasan
Pasal 35 ayat (2) UU No 26 Tahun 2004 ttg Pengadilan HAM
―Ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau
keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga dapat berupa
pengembalian harta milik, pembayaran ganti kerugian untuk
kehilangan atau penderitaan atau penggantian biaya untuk
tindakan tertentu‖ (Rani)
50. 53. KOMPENSASI Berkaitan dengan keseimbangan
korban akibat dari perbuatan jahat merupakan indikasi
pertanggungjawaban masyarakat atas tuntutan pembayaran
kompensasi yang berkarakter perdata. Kompensasi diminta
oleh korban dalam bentuk permohonan dan apabila
dikabulkan dibayar oleh masyarakat (negara). (Materi: Dr.
Angkasa) Ex: Penjelasan Pasal 35 ayat (1) UU No 26 Tahun
2004 ttg Pengadilan HAM ―Ganti kerugian yang dibayar
Negara karena pelaku tidak dapat memberikan ganti
kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya‖ -
(Rani)

24
51. 54. RESTITUSI
52. 55. LATAR BELAKANG SEJARAH RESTITUSI
(SEJARAH KORBAN) SCAHAFER Membagi Tiga Periode: 1. The
Golden Age of The Victim (Jaman Keemasan Korban); 2. The
Decline of The Victim (Jaman Kemunduran Korban); 3. The
Revival of The Victim’s Importance (Jaman Kebangkitan
Korban) (Materi: Dr. Angkasa)
53. 56. 1. The Golden Age of The Victim (Jaman
Keemasan Korban)  Kontrol sosial dipegang oleh keluarga
atau/klan;  Posisi individu korban/pelaku cenderung
diambil alih oleh seluruh keluarga suku Ex: Bangsa Cheyene
dan Comance (serangan terhadap individu adalah serangan
terhadap klas/bangsanya)  Bentuk: Revange dan ganti rugi
uang (Akibat perkembangan sosial ekonomi, tetapi bersifat
separodis terutama di kota)  Apabila gantirugi dibayar 
Acara pidana selesai (Apabila korban menyetujui)  Pelaku
yang mengingkari kesepakatan dengan tidak membayar ganti
rugi akan menjadi Friedlos (orang yang diluar perlindungan
hukum)
54. 57.  Besarnya ganti rugi bervariasi tergantung
dari (Ex: Suku Ifigoa, di Luson Utara) 1. Sifat Kejahatan; 2.
Kedudukan klas yang terlibat; 3. Solidaritas dan perilaku
kedua kelompok yang terlibat; 4. Kepribadian dan reputasi
dari dua kepala kelompok; 5. Kedudukan Geografis. (Materi:
Dr. Angkasa)
55. 58. The Golden Age of The Victim Kebudayaan

25
Primitif  Pembalasan Kejahatanterhadap
keluarga/marga/salah satu anggotanya  kelompok korban
turut pembalasan Rani Perubahan kontrol arah sosial :
Individu  Keluarga/klan korban (konsep asli pertanggung
jawaban kolektif) Sehingga terdapat ―hak korban atas ganti
kerugian akibat tindak pidana  ditanggung oleh pelaku‖-
Besarnya ganti rugi bervariasi tergantung faktor yg mnjdi
acuan. - Ex; Ifugao, Jerman, Inggris, dll (berbeda2) - Pelaku
yg tdk memberikan ganti rugi  Friedlos (org diluar
perlindungan hukum) Kelompok primitif menetap  tingkat
perkembangan ekonomi/nilai  luka jasmani/balas dendam
diganti dg barang2 yg mempunyai nilai ekonomis
56. 59. 2. The Decline of The Victim (Jaman
Kemunduran Korban)  Negara– Penguasa & Gereja 
mengambil alih dan memonopoli lembaga hukum;  Denda
secara berangsur-angsur masuk ke kas negara (dengan
pembayaran berlipat) yang ditarik dari pelaku dan pelakunya
tetap di pidana;  Kewajiban untuk menganti kerugian
menjadi terpisah dari lapangan hukum pidana;  Kejahatan
dipandang merupakan pelanggaran terhadap hak-hak
individu sehingga hubungan korban dan pelaku (penjahat)
lebih memiliki aspek keperdataan daripada aspek pidana.
(Materi: Dr .Angkasa)
57. 60. Hak korban dalam ganti rugi diganti dengan
denda yang besarnya ditaksir oleh pengadilan dan dibayar
oleh pelaku kepada Raja. Hilangnya konsepsi ganti rugi

26
kepada korban karena keinginan pihak Raja dan kaum
Bangsawan Feodal untuk memperoleh kekuasaan yg lebih
besar terhadap rakyatnya dan arogansi Raja dan kaum
Bangsawan yang berusaha mengambil alih seluruh komposisi
korban. Rani
58. 61. 3. The Revival of The Victim’s Importance
(Jaman Kebangkitan Korban) Dikatakan adanya kebangkitan
kepentingan korban ketika terdapat suatu pandangan
tentang peradilan yang menuntut agar korban diilihat lagi
dalam pengertian yang lebih baik sebagai orang yang dilukai
maupun sebagai pelaku. (Materi: Dr. Angkasa)
59. 62. Terdapat konsekuensi pertanggungjawaban
fungsional adanya pelaku dan korbannya.  Pelaku 
diwujudkan restitusi/kompensasi atas dalam kesalahan yg
dilakukan terhadap korban  Korban terhadap 
diwujudkan korban supaya dalam tidak tuntutan melakukan
provokasi dan merangsang penjahat untuk melakukan tindak
pidana, serta aktif mencegah terjadinya viktimisasi Rani
60. 63. MANFAAT RESTITUSI Manfaat Restitusi bagi
Korban 1. Sebagai penggantian kerugian finansial, perbaikan
dan/atau pengobatan atas luka-luka fisik maupun
penderitaan psikologis sebagai korban tindak pidana yang
telah menimpanya; 2.Restitusi akan sangat berarti, mengingat
setiap korban tindak pidana saat ini cenderung menjadi
korban ganda; pertama, menjadi korban atas tindak pidana
yang menimpanya, dan kedua, menjadi korban ketika

27
memasuki sistem peradilan pidana yang paradigmanya masih
berorientasi terhadap pelaku. (Materi: Dr. Angkasa)
61. 64. Manfaat Restitusi bagi Pelaku 1.Merupakan
cara yang efektif untuk rehabilitasi pelaku, karena restitusi
memberikan akses dan kesempatan bagi pelaku untuk
terlibat dalam kegiatan atau aktivitas bermakna yang
bermanfaat menumbuhkan harga diri; dengan restitusi
dirasakan akan meringankan beban kesalahan pelaku dan
pelaku cenderung lebih mudah diterima kembali oleh korban
dan/atau masyarakat dalam kehidupan sosialnya; 2.
Memberikan nilai pendidikan yang baik, dalam hal
pertanggungjawaban diri terhadap perbutannya yang telah
menimbulkan kerugian dan/atau penderitaan bagi orang lain
(korban);
62. 65. 3. Mempunyai efek pencegahan (deterrence
effect) dengan asumsi bahwa seseorang yang pernah
melaksanakan restitusi tidak akan kembali melakukan tindak
pidana selesai menjalankan sanksi pidananya; 4) Apabila
diintegrasikan dengan lembaga pidana bersyarat, restitusi
dapat menghindari pengaruh buruk dari kehidupan di dalam
penjara berupa prisonisasi. (Materi: Dr. Angkasa)
63. 66. Manfaat Restitusi bagi Pemerintah dan/
masyarakat 1.Dengan efek pencegahan yang dimilikinya
maka restitusi akan menurunkan angka residivisme; 2.
Restitusi yang diintegrasikan dengan lembaga pidana
bersyarat, akan mengurangi populasi hunian penjara

28
(lembaga pemasyarakatan) sekaligus penghematan dana
pengeluaran pemerintah; dengan tidak masuknya pelaku
menjalani pidana penjara di lembaga pemasyarakatan maka
pemerintah dapat menghemat dana yang seharusnya
dikeluarkan untuk memberi makan, perawatan serta
pembinaan bagi narapidana. (Materi: Dr. Angkasa)
64. 67. Eglash, menggambarkan bahwa restitusi
merupakan cara efektif untuk rehabilitasi bagi pelaku.
Pertama restitusi memberikan akses dan kesempatan bagi
pelaku untuk terlibat dalam kegiatan bermakna yang
bermanfaat menegakkan harga diri. Selanjutnya Eglash yakin
bahwa restitusi membuat perasaan lebih baik. Restitusi
merupakan latihan psikologi yang dapat melatih ego bagi
pelaku. Dasar argumennya adalah dengan memberi restitusi
bagi korban yang membutuhkan dirasakan akan
meringankan beban kesalahan pelaku dan dapat diterima di
masyarakat di masa mendatang. (Materi: Dr. Angkasa)
65. 68. Galaway  Restitusi berdasar pendapat
Galaway dapat dibedakan dalam empat tipe yaitu: Monetary-
victim restitution, Monetary–community restitution, Service-
victim restitution dan Service-community restitution. 
Galaway dalam menyusun tipe restitusi didasarkan atas dua
variabel yakni: (1) Pelaku memberikan restitusi dalam bentuk
uang atau pelayanan; dan (2) Penerima restitusi adalah
korban sesungguhnya atau pihak yang menggantikannya
66. 69. 1) Monetary-victim restitution Pelaku secara

29
langsung membayar kepada korban berupa uang yang
jumlahnya didasarkan atas jumlah kerugian atau penderitaan
korban. Besarnya dan pelaksanaannya ditetapkan serta
diawasi oleh pengadilan. 2) Monetary- community restitution
Pelaku membayar ganti kerugian bukan terhadap individu-
individu sebagaimana di atas, tetapi kepada kelompok
masyarakat. 3) Service-victim restitution, dan 4)
Servicecommunity restitution Pada hakikatnya sama dengan
pengertian kedua macam restitusi tersebut di atas. Letak
perbedaannya adalah pada service-victim restitution dan
servicecommunity restitution bentuk ganti ruginya
(restitusinya) bukan uang tetapi berupa pelayanan. (Materi:
Dr. Angkasa)
67. 70. Schneider Prosedur pelaksanaan restitusi,
terdapat 5 cara program restitusi dapat diakui eksistensinya:
1. Pertama, model ―basic restitution‖ dengan prosedur pelaku
membayar kepada pengadilan, dan pengadilan kemudian
memberikan uang tersebut kepada korban; 2. Kedua, model
―expanded basic restitution‖ dengan prosedur pelaku
dicarikan pekerjaan (bagi pelaku yang berpenghasilan rendah
dan pelaku berusia muda);
68. 71. 3. Ketiga, model ―victim assistance‖ dengan
prosedur pelaku diberi kesempatan membantu korban
sehingga korban dapat menerima ganti rugi secara penuh; 4.
Keempat, model ―victim assistance-offender accountability‖
dengan prosedur dilakukan negosiasi dan kadang-kadang

30
mempertemukan kedua belah pihak demi penyelesaian yang
memuaskan; 5. Kelima, model ―community accountability-
deterrence‖ dengan prosedur permintaan ganti rugi
dimintakan oleh sekelompok orang sebagai wakil dari
masyarakat. Permintaan ganti rugi meliputi jenis pekerjaan
yang harus dilakukan, maupun jadwal pembayaran ganti rugi.
(Materi: Dr. Angkasa)
69. 72. KOMPENSASI
70. 73. KOMPENSASI Berkaitan dengan keseimbangan
korban akibat dari perbuatan jahat merupakan indikasi
pertanggungjawaban masyarakat atas tuntutan pembayaran
kompensasi yang berkarakter perdata. Kompensasi diminta
oleh korban dalam bentuk permohonan dan apabila
dikabulkan dibayar oleh masyarakat (negara). (Materi: Dr.
Angkasa)   Ex: Penjelasan Pasal 35 ayat (1) UU No 26
Tahun 2004 ttg Pengadilan HAM ―Ganti kerugian yang
dibayar Negara karena pelaku tidak dapat memberikan ganti
kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya‖ -
(Rani)
71. 74. New Zealand  Negara pertama yg
membentuk UU ttg Kompensasi atas Korban Tindak Pidana,
―Criminal Injuris Compensation Act 1963‖ * Falsafah 
Kewajiban Masyarakat terhadap orang2 menderita
merupakan tanggung jawab negara, karena negara telah
gagal mencegah terjadinya tindak pidana * Pertimbangan: 
Faktor Pelaku: Kemampuan bertanggung jawab (umur,

31
kesehatan, mental, pengaruh alkohol)  Faktor Korban:
Victim precipitated crimes Rani
72. 75. Ideologi Kompensasi Van Dijk menyebut
dengan istilah ―victimagogic‖ yang meliputi empat ideologi
pokok sebagai berikut. Pertama, ideologi perhatian (the care
ideology), kedua, ideologi resosialisasi atau rehabilitasi (the
resocialisation or rehabilitation ideology), ketiga ideologi
pembalasan atau peradilan pidana (retribution or criminal
justice ideology), dan keempat ideologi radikal atau
antiperadilan pidana (radical or anti-criminal justice ideology).
73. 76. 1.Ideologi perhatian  Disandarkan pada
prinsip negara kesejahteraan (welfare state) yang
memandang bahwa masyarakat harus turut serta
menanggung beban atas kemungkinan penderitaan dari
masyarakat lainnya yang tertimpa musibah berupa wabah
penyakit, kecelakaan atau pengangguran. Hakikat utama dari
ideologi ini adalah kesejahteraan. Salah satu bentuk
pelaksanaan ideologi ini berupa pemberian kompensasi
berupa fasilitas pengobatan bagi korban penganiayaan atau
korban perkosaan. 2.Ideologi resosialisasi atau rehabilitasi 
Memusatkan perhatian bukan pada korban tetapi lebih
kepada usaha untuk memahami pelaku dengan harapan
terjadi resosialisasi konstruktif pada diri pelaku.
74. 77. 3. Ideologi retributif  Menekankan perlunya
memberikan kompensasi kepada korban sesuai dengan
tingkat kejahatan yang menimpa korban, serta memberi

32
peluang akses korban dalam Sistem Peradilan Pidana untuk
menyatakan tuntutannya berupa permintaan ganti kerugian
maupun hukuman atas diri pelaku. 4. Ideologi radikal 
Menitik beratkan pada usaha menerapkan sistem baru yang
berlandaskan pada prinsip-prinsip hukum perdata.
Pelaksanaan atas ideologi radikal sudah dilaksanakan di
Amerika, Inggris dan Skotlandia. (Materi: Dr. Angkasa)
75. 78. Downer & Lab ―Landasan Filosofis
Kompensasi‖ 1. Alasan pertama Berdasar kontrak sosial
(social contract). Dalam hal ini pemerintah memberikan
kompensasi kepada warga negaranya karena mereka telah
melaksanakan kewajiban membayar pajak dan pungutan
lainnya. Dengan demikian warga negara berhak mendapat
perlindungan keamanan dan jaminan hidup dari negara.
Apabila warga masyarakat menjadi korban maka merupakan
kewajiban dari negara untuk memberikan kompensasi atas
dasar kontrak sosial.
76. 79. 2. Alasan kedua  Menyangkut kesejahteraan
sosial (social welfare) yang mempunyai pandangan bahwa
pemerintah mempunyai ketentuan tentang standar hidup
minimum sebagai penilaian bagi mereka yang tidak mampu,
tidak berpenghasilan tetap dan warga negara yang kurang
beruntung lainnya. Pada korban akibat tindak pidana
digolongkan ke dalam katagori yang harus mendapatkan
bantuan karena kondisi yang serba kekurangan. (Materi: Dr.
Angkasa)

33
77. 80. Landasan Filosofis Penerapan Pemberian
Kompensasi di Indonesia 1. Pertama  Menyangkut aspek
kemanusian dan keadilan sosial sebagaimana selaras dengan
perumusan Sila ke 2 dan Sila ke 5 Pancasila yakni
―Kemanusiaan yang adil dan beradab‖ serta ―Keadilan bagi
seluruh rakyat Indonesia‖, sehingga pemerintah mempunyai
kewajiban untuk memberikan bantuan kepada korban tindak
pidana yang mengalami kerugian dan/atau penderitaan. Bagi
korban perkosaan kompensasi sangatlah tepat mengingat
kerugian dan/atau penderitaannya cenderung sangat besar
dan berat.
78. 81. 2. Kedua  Berdasar kontrak sosial (social
contract). Dalam hal ini pemerintah memberikan kompensasi
kepada warga negaranya karena mereka telah melaksanakan
kewajiban membayar pajak dan pungutan lainnya. Dengan
setiap warga negara berhak mendapat demikian
perlindungan keamanan dan jaminan hidup dari pemerintah.
Apabila warga masyarakat menjadi korban tindak pidana
maka pemerintah dianggap telah gagal dalam memenuhi
kewajibannya yakni mencegah atau melindungi warganya
dari kejahatan sehingga pemerintah memiliki tanggungjawab
moral untuk memberikan kompensasi.
79. 82. Pada hemat penulis tangggung jawab atas
kegagalan pemerintah dalam melaksanakan tugas melindungi
warganya menjadi korban kejahatan dapat disandarkan pada
Undang-undang No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara

34
Republik Indonesia. Dalam Pasal 13 Undang-undang tersebut
merumuskan tentang tugas pokok Kepolisian Negara
Republik Indonesia yang meliputi: (a). memelihara keamanan
dan ketertiban masyarakat; (b). menegakkan hukum; (c).
memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan
kepada masyarakat. Pada ketentuan huruf (c) tersebutlah
tampaknya landasan pemberian kompensasi dapat
disandarkan. (Materi: Dr. Angkasa)
80. 83. Macam Bentuk Kompensasi Kompensasi yang
diterima korban dapat merupakan pemenuhan atas harapan
korban berupa: 1) Pemberian sejumlah uang; 2) Pemberian
informasi tentang kemajuan penyelesaian kasusnya; 3)
Pengobatan atas luka-luka yang diderita, serta ; 4) Pemulihan
emosional melalui perawatan medik bagi korban yang
megalami kegoncangan mental. (Materi: Dr Angkasa)
81. 84. Korban yang dapat menerima Kompensasi 1)
Korban tindak pidana yang kasusnya tidak terungkap; 2)
Korban tindak pidana yang pelakunya tidak tertangkap atau
melarikan diri; 3) Korban tindak pidana yang pelakunya tidak
dapat dipertanggung jawabkan secara pidana; 4) Korban
dunia; tindak pidana yang pelakunya meninggal
82. 85. 5) Korban tindak pidana yang pelakunya tidak
dalam posisi yang mampu untuk membayar yang disebabkan
karena masih muda dan belum berpenghasilan, pelakunya
secara ekonomi sangat tidak mampu; 6) Korban sangat
menginginkan dan membutuhkan mendapat kompensasi; 7)

35
Korban tidak dalam posisi mendapat pertanggungan dari
program asuransi. Dasar pemikirannya adalah program
kompensasi tidak dimaksudkan menjadikan seseorang lebih
diuntungkan. (Materi: Dr. Angkasa)
83. 86. Manfaat Kompensasi 1) Kompensasi dalam
bentuk pemberian sejumlah uang dapat dirasakan oleh
korban sebagai hal yang sangat bermanfaat dan dapat
diibaratkan sebagai obat panacea; 2) Kompensasi juga
dirasakan lebih memenuhi rasa keadilan terutama bagi
korban tindak pidana yang pelakunya tidak dapat
dipertanggungjawabkan atas perbuatannya sebagaimana
diatur dalam hukum pidana; pelakunya belum atau tidak
tertangkap; pelakunya melarikan diri; pelakunya meninggal
dunia; tindak pidana yang kasusnya tidak terungkap; serta
pelakunya dalam posisi yang tidak mampu membayar
restitusi; 3) Kompensasi dapat menumbuhkan rasa
kepercayaan dan penghormatan bagi korban terhadap
pemerintah yang dirasakan turut peduli dan
bertanggungjawab terhadap warganya yang mengalami
kerugian dan/atau penderitaan sebagai korban tindak pidana.
(M: Dr. Angkasa)
84. 87. Stefen Scrafer Kompensasi lebih bersifat
keperdatataan yang timbul dari permintaan korban dan
dibayar oleh masyarakat/negara/sebagai bentuk
pertanggungjawaban masyarakat/negara Restitusi lebih
bersifat pidana yang timbul dari putusan pengadilan pidana

36
dan dibayar oleh terpidana/ sebagai bentuk
pertanggungjawaban terpidana -Rani-
85. 88. 5 Sistem pemberian Restitusi dan Kompensasi
kepada korban kejahatan: 1. Ganti rugi (damages) yang
bersifat keperdataan, diberikan melalui proses perdata.
Sistem ini memisahkan tuntutan ganti rugi korban dari
proses pidana. 2) Kompensasi yang bersifat keperdataan
diberikan melalui proses pidana. 3) Restitusi yang bersifat
perdata dan bercampur dengan sifat pidana, dan diberikan
dalam proses pidana. 4) Kompensasi yang bersifat perdata
diberikan melalui proses pidana, dan didukung oleh sumber-
sumber penghasilan negara. 5) Kompensasi yang bersifat
netral diberikan melalui prosedur khusus. -Rani-
86. 89. KORBAN KORPORASI
87. 90. Korporasi mempunyai kekuatan yang besar,
sehingga aktivitas kejahatannya sering ditanggapi secara
diskriminatif. Sering kegiatan aktivitas illegal korporasi (WCC)
tidak ditanggapi sebagai kejahatan (Hanya merupakan
musibah) dan mereka tidak menyadari bahwa telah menjadi
korban. Terdapat keengganan korban untuk melapor karena
tidak tahu harus kemana melapor dan merasa sulit untuk
membuktikan. (Materi: Dr. Angkasa)
88. 91. Walau sulit untuk mengukur korban korporasi
tetapi bukanlah berarti tidak mungkin. Caranya dengan
Victim Survey dan pencatatan kerugian aktivitas kejahatan
korporasi. Realitanya korban kejahatan korporasi sangatlah

37
besar. Misalnya ditemukan 330.0000 kecelakaan kerja yang
disebabkan oleh kondisi tempat bekerja. Perbandingannya
7:1 dengankejahatan konvensional. (Materi: Dr. Angkasa)
89. 92. Korporasi juga terlibat dalam pemasaran
produk yang tidak teruji secara memadai (12:1 dibandingkan
dengan kejahatan konvensional) Kesimpulannya bahwa
masyarakat lebih berisiko menjadi korban kejahatan korporasi
dibandingkan dengan kejahatan konvensional. (Materi: Dr.
Angkasa)
90. 93. Korban North Sea Oil menewaskan 160 orang
dianjuangan piper Alpha. Penyebabnya tidak cermatnya lolos
uji keamanan (Dipaksakannya para pekerja untuk berada
dalam situsi kerja yang membahayakan, yang sebenarnya
dapat dihindari dan dicegah). Korban korporasi pada industri
farmasi pada kasus ―THALIDOMIDE‖ Tahun 1960’an
mengakibatkan setidaknya 8.000 anak cacat. (Materi: Dr.
Angkasa)
91. 94. Kejahatan korporasi di bidang Farmasi
dilakukan dengan penyuapan petugas kontrol, kecurangan
dalam pengujian obat, periklanan yang menyesatkan dan
penyuapan terhadap para medik. Namun demikian,
penegakan hukum terhadap kejahatan korporasi tetap sulit
karena: kadang tidak tampak sebagai kejahatan, korban
memandang hanya sebagai kesialan, korban pasif, korban
tidak tahu harus kemana melapor, sulit pembuktiannya di
samping kekuatan kapitalisme, serta adanya kolusi antara

38
korporasi dengan petugas. (Materi: Dr. Angkasa)
92. 95. BYSTANDER INTERVENTION IN A CRIME BY:
LEONARD BICMAN
93. 96. Viktimologi tidak hanya mencangkup korban
dan pelaku kejahatan saja. Namun, juga meliputi orang yang
ada disekitarnya tempat kejadian dan saksi. Intervensi
Bystander secara langsung maupun tidak telah memberikan
keuntungan tidak saja bagi korban tetapi juga bagi
masyarakat secara keseluruhan. Viktimologi harus
memperluas cakupannya dengan memasukan tidak hanya
korban dan pelaku kejahatan saja tetapi juga Bystander.
(Materi: Dr. Angkasa)
94. 97. MACAM BYSTANDER Dapat dibedakan: 1.
Terlibat secara tidak langsung (hanya melaporkan kejahatan
kepada Polisi) 2. Terlibat secara langsung (Turut menolong
korban saat terjadinya tindak pidana)  Kedua macam
memberikan Bystander manfaat bagi ini sama-sama korban
dan masyarakat. (Materi: Dr. Angkasa)
95. 98. MANFAAT BYSTANDER 1. Pertolongan korban
pelacakan (Polisi dapat menemukan pelaku kejahatan dengan
cepat dengan melcak berdasarkan informasi Bystander); 2.
Meningkatkan akurasi statistik kriminal (meningkatnya
intervensi warga negara akan mendorong pada informasi yg
lebih akurat mengenai angka kejahatan); 3. Pencegahan
kejahatan (intervensi masyarakat meciptakan atmosfer yg
tidak kondusif bagi aktivitas kriminal kohesivitas sosial –

39
angka keterlibatan Bystander akan meningkatkan indeks
kebersamaan sosial) (Materi: Dr. Angkasa)
96. 99. ARMED ROBERT IN POST-CIVIL WAR NIGERIA
THE ROLE OF THE VICTIM BY: NWOKOCHA KU NKPA
97. 100. Von Hentig: Dalam beberapa hal korban
membentuk dan mencetak kejahatan dan penjahatnya Untuk
memahami sifat dan cakupan kejahatan perampokan
bersenjata di Nigeria, sangat prnting kiranya dipelajari
seluruh aspek korban yg dapat dianggap dapat bertanggung
jawab atas viktimisasi. Ellenberger mempunyai padangan
bahwa apabila terdapat kriminogenesis (faktor mendorong
munculnya kejahatan), maka di sana pula terdapat
viktimogenesis (faktor yg menggerakan sesorang menjadi
korban). (Materi: Dr. Angkasa)
98. 101. Kontribusi Korban pada Kejahatan
Perampokan Bersenjata di Nigeria ―Dalam beberapa kejadian
perampokan, tampak bahwa para korban karena tingkah
lakunya sendiri telah menarik perhatian si perampok‖
99. 102. Bentuk Andil Korban - Memamerkan
kekayaan peran ―Good Samaritan‖ (Orang yang suka
menolong) - Bahaya profesi; - Kecerobohan berbicara; - Tidak
hati-hati dengan harta milik; - Mudah percaya pada orang
asing; -Kesalahan petugas bank (Materi: Dr.Angkasa)
100. 103. PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN - UU
No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban-
101. 104. Pengertian * Perlindungan  Segala upaya

40
pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan
rasa aman kepada Saksi & Korban yg wajib dilaksanakan oleh
LPSK atau lembaga lainnya yg sesuai dg ketentuan UU ini
(Pasal 1 (6)) * Saksi  Orang yg dapat memberikan
keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan,
penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang
suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri,
dan/ia alami sendiri (Pasal 1 (1)) * Korban  Seseorang yang
mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian
ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana (Pasal 1
(2)) - Rani-
102. 105. Urgensi Perlindungan Saksi & Korban 
Penegak hukum dalam mencari dan menemukan kejelasan
tentang tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak
pidana sering mengalami kesulitan karena tidak dapat
menghadirkan Saksi/dan Korban disebabkan adanya
ancaman, baik fisik maupun psikis dari pihak tertentu; 
Keberadaan Saksi dan Korban dalam proses peradilan pidana
selama ini kurang mendapatkan perhatian masyarakat dan
penegak hukum;  Sehubungan dengan hal tersebut, perlu
dilakukan perlindungan bagi Saksi dan/atau Korban yang
sangat penting keberadaannya dalam proses peradilan
pidana  -Rani-
103. 106. ASAS dan Tujuan ASAS: a. Penghargaan atas
harkat dan martabat manusia; b. Rasa aman; c. Keadilan; d.
Tidak diskriminatif; e. Kepastian hukum TUJUAN Perlindungan

41
S&K bertujuan memberikan rasa aman kpd S&/K dalam
memberikan keterangan pd setiap proses peradilan pidana. -
Rani-
104. 107. Syarat Pemberian Perlindungan Saksi &
Korban Perjanjian perlindungan LPSK terhadap Saksi
&/Korban Tindak Pidana sebagaimana dimaksud dlm Pasal 5
ayat (2) diberikan dg pertimbangan syarat: a. Sifat pentingnya
keterangan Saksi &/Korban; b. Tingkat ancaman yg
membahayakan Saksi&/Korban; c. Hasil analisis tim
medis/psikolog terhadap Saksi&/Korban; d. Rekam jejak
kejahatan yg pernah dilakukan oleh Saksi&/Korban. (Pasal 28)
- Rani-
105. 108. Hak Saksi&Korban * Seorang saksi dan
korban berhak: a) memperoleh perlindungan atas keamanan
pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari
ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan,
sedang, atau telah diberikannya; b) ikut serta dalam proses
memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan
dukungan keamanan; c) memberikan keterangan tanpa
tekanan; d) mendapat penerjemah; e) bebas dari pertanyaan
yang menjerat; f) mendapatkan informasi mengenai
perkembangan kasus; g) mendapatkan informasi mengenai
putusan pengadilan;
106. 109. h) mengetahui dalam hal terpidana
dibebaskan; i) mendapat identitas baru; j) mendapatkan
tempat kediaman baru; k) memperoleh penggantian biaya

42
transportasi sesuai dengan kebutuhan; l) mendapat nasihat
hukum; m) dan/atau memperoleh bantuan biaya hidup
sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir. (Pasal
5 ayat 1)  Diberikan kpd S&/K tindak pidana dlm kasus-
kasus tertentu sesuai dg keputusan LPSK. (Pasal 5 ayat 2)
107. 110. * Korban dalam pelanggaran HAM yang
berat selain berhak atas hak sebagaimana dimaksud dlm
Pasal 5, juga berhak utk mendapatkan: a. Bantuan medis; b.
Bantuan rehabilitasi psiko-sosial. (Pasal 6) * Korban melalui
LPSK berhak mengajukan ke pengadilan berupa: a. Hak atas
kompensasi dalam kasus pelanggaran HAM yang berat; b.
Hak atas restitusi atau ganti kerugian yg menjadi tanggung
jawab pelaku tindak pidana. (Pasal 7)
108. 111. * (1) Saksi dan/atau korban yang merasa
dirinya berada dalam ancaman yang sangat besar, atas
persetujuan hakim dapat memberikan kesaksian tanpa hadir
langsung di pengadilan tempat perkara tersebut sedang
diperiksa; (2) Saksi dan/atau korban sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat memberikan kesaksiannya secara tertulis
yang disampaikan di hadapan pejabat yang berwenang dan
membubuhkan tanda tangannya pada berita acara yang
memuat kesaksiaannya tersebut; (3) Saksi dan/atau korban
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat pula didengar
kesaksiannya secara langsung melalui sarana elektronik
dengan didampingi oleh pejabat yang berwenang. (Pasal 9)
109. 112. (1) Saksi, korban dan pelapor tidak dapat

43
dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata, atas
laporan, kesaksian yang akan datang, sedang, atau telah
diberikannya; (2) Seorang saksi yang juga tersangka dalam
kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan
pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan
pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan
dijatuhkan; (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud ayat (1)
tidak berlaku terhadap saksi, korban, dan pelapor yang tidak
memberikan tidak dengan itikad baik. (Pasal 10) - Rani-
110. 113. Tata cara Pemberian Perlindungan a. Saksi
&/Korban, baik atas inisiatif sendiri maupun atas permintaan
pejabat yg berwenang mengajukan permohonan scr tertulis
kpd LPSK; b. LPSK segera melakukan pemeriksaan terhadap
permohonan; c. Keputusan LPSK diberikan secara tertulis
paling lambat 7 hari sejak permohonan perlindungan
diajukan. (Pasal 29) - Rani-
111. 114. * (1) Dalam hal LPSK menerima permohonan
S&/K, S&/K menandatangi pernyataan kesediaan mengikuti
syarat dan ketentuan perlindungan S&/K; (2) Penyataan
kesediaan, memuat: a. Kesediaan S&/K utk memberikan
kesaksian dlm proses peradilan; b. ---menaati aturan yg
berkenaan dg keselamatannya; c. --- tidak berhubungan dg
cara apapun dg orang lain selain atas persetujuan LPSK
selama ia berada dlm perlindungan LPSK; d. --- tidak
memberitahukan kepada siapa pun mengenai keberadaannya

44
di bawah perlindungan LPSK; e. Hal-hal lain yg dianggap
perlu olh LPSK (Pasal 30)
112. 115. * LPSK wajib memberikan perlindungan
sepenuhnya kepada S&/K, termasuk keluarganya, sejak
ditandatanganinya pernyataan kesedian sebagaimana
dimaksud dlm Pasal 30. (Pasal 31) * Penghentian
Perlindungan atas Keamanan S&/K: 1. S&/K meminta agar
perlindungan trhdpnya dihentikan dlm hal permohonan
diajukan atas inisiatif sendiri; 2. Atas pemrintaan pejabat yg
berwenang dlm hal permintaan perlindungan trhdp S&/K
berdasarkan atas permintaan pejabat yg bersangkutan; 3.
S&K melanggar ketentuan sebagaimana tertulis dlm
perjanjian; 4. LPSK berpendapat bahwa S&/K tidak lagi
memerlukan perlindungan berdasarkan bukti-bukti yg
menyakinkan. (Pasal 32 ayat 1) - Rani-
113. 116. Tata cara Pemberian Bantuan * Bantuan
sebagaimana dimaksud dlm Pasal 6 diberikan kepada
seorang S&/K atas permintaan tertulis dri yg bersangkutan
atau pun orang yang mewakilinya kpd LPSK. (Pasal 33) * 1.
LPSK menentukan kelayakan diberikannya bantuan kpd S&/K;
2. Dalam hal S&/K layak diberi bantuan, LPSK menentukan
jangka waktu dan besaran biaya yg diperlukan. (Pasal 34) *
Keputusan LPSK mengenai pemberian bantuan kpd S&/K
harus diberitahukan secara tertulis kpd yg bersngkutan paling
lama 7 hari sejak diterimanya permintaan tersebut. (Pasal 35).
- Rani-

45
114. 117. Kerjasama 1. Dalam melaksanakan pemberian
perlindungan dan bantuan, LPSK dapat bekerjasama dg
instansi terkait yg berwenang; 2. Dalam melaksanakan
perlindungan dan bantuan, instansi terkait sesuai dg
kewenangannya wajib melaksanakan keputusan LPSK sesuai
dg ketentuan yang diatur dlm UU ini. (Pasal 36) - Rani-
115. 118. RESTORATIVE JUSTICE
116. 119.  Restorative Justice adalah suatu respon
terhadap tindak pidana yang menitik beratkan pada
pemulihan korban yang menderita kerugian, memberikan
pengertian kepada pelaku untuk bertanggung jawab atas
tindak pidana yang mereka lakukan, dan membangun
masyarakat yang damai. Restorative Justice dapat
digambarkan sebagai suatu tanggapan kepada perilaku
kejahatan untuk memulihkan kerugian yang diderita oleh
para korban kejahatan dan untuk memudahkan perdamaian
antar pihak-pihak yang saling bertentangan (Kevin I. Minor
and J. T. Morrison. 1996. "A Theoretical Study and Critique of
Restorative Justice." In Restorative Justice: International
Perspectives, edited by Burt Galaway and Joe Hudson.
Monsey, NY; Amsterdam, The Netherlands: Criminal Justice
Press and Kugler Publications)
117. 120. Tony Marshall: Restorative justice sebagai
suatu proses di mana semua pihak yang berhubungan
datang berkumpul untuk memutuskan solusi secara bersama
akibat dan pengaruhnya pada masa depan.

46
118. 121. Hudson Joe: Restorative justice mempunyai
kaitan hubungan yang lebih luas antara pelaku, korban dan
masyarakat. Semua pihak dilibatkan dalam penyelesaian
masalah dan berdamai. Kejahatan dilihat lebih dari sekedar
suatu pelanggaran hukum pidana. Sebagai gantinya,
fokusnya diberikan pada korban dan masyarakat dan masing-
masing mempunyai peran dalam menanggapi suatu
kejahatan yang diperbuat. Sebagai hasil pertemuan dengan
korban, pelaku diharapkan untuk mendapatkan satu
pemahaman tentang konsekuensi dari perilaku mereka
sehingga dapat merasakan suatu penyesalan‖
119. 122. Burt Galaway and Joe Hudson, bahwa definisi
restorative justice meliputi beberapa unsur pokok, antara lain:
"Pertama, kejahatan dipandang sebagai suatu konflik antara
individu yang dapat mengakibatkan kerugian pada korban,
masyarakat, maupun pelaku itu sendiri; Kedua, tujuan dari
proses peradilan pidana harus menciptakan perdamaian
dalam masyarakat, semua pihak dan mengganti kerugian
yang disebabkan oleh perselisihan tersebut; Ketiga, proses
peradilan pidana memudahkan peranan korban, pelaku, dan
masyarakat untuk menemukan solusi dari konflik itu.
120. 123. Manfaat dengan mengunakan restoratif
justice, di mana restorative justice dalam memperbaiki sistem
peradilan pidana biasa mempunyai manfaat sebagai berikut:
 Memandang tindakan kejahatan dengan penuh
pemahaman: tidak hanya mengetahui pengertian dari

47
kejahatan, tetapi juga mengenali bahwa pelaku, korban
kejahatan, masyarakat dan bahkan dirinya sendiri; 
Melibatkan banyak pihak: dengan cara memberikan kepada
pemerintah, pelaku, korban maupun masyarakat untuk ikut
berperan aktif;  Mengukur kesuksesan dengan cara yang
berbeda: dibandingkan dengan hanya memberikan hukuman
yang berat, tetapi berusaha untuk memperbaiki atau
mencegahnya;  Memberikan pengertian tentang arti
pentingnya keterlibatan masyarakat dalam menanggapi dan
mengurangi kejahatan, sehingga pemerintah tidak mengatasi
kejahatan sendirian.
121. 124. UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak * ―Sistem Peradilan Pidana Anak wajib
mengutamakan pendekatan Keadilan Restoratif‖ Pasal 5 ayat
(1)  (Ayat 3  wajib diversi) * Keadilan restoratif adalah
―Penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan
pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang
terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil
dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan
semula, dan bukan pembalasan‖. Pasal 1 angka (6) * Diversi
adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses
peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana  1 (7)

48
122. FERDY ACHMAD RAZZAAQ 110111100067 UTS
Viktimologi Soal No 1 Dalam Buku Bunga Rampai Viktimisasi
karangan JE.Sahetapy dan kawan- kawan menjelaskan bahwa
Viktimilogi merupakan istilah yang berasal dari bahasa latin
―Victima‖ yang berarti korban dan ―logos‖ yang berarti ilmu,
merupakan suatu bidang ilmu yang mengkaji permasalahan
korban beserta segala aspeknya. Pada awal
perkembangannya, viktimologi baru mendapat perhatian dari
kalangan ilmuwan terhadap persoalan korban dimulai pada
saat Hans von Hentig pada Tahun 1941 menulis sebuah
makalah yang berjudul ―Remark on the interaction of
perpetrator and victim.‖ Tujuh Tahun kemudian beliau
menerbitkan buku yang berjudul The Criminal and his victim
yang menyatakan bahwa korban mempunyai peranan yang
menyatakan bahwa korban mempunyai peranan yang
menentukan dalam timbulnya kejahatan. Viktimologi meneliti
topic-topik tentang korban, seperti: peranan korban pada
terjadinya tindak pidana, hubungan antara pelaku dengan
korban, rentannya posisi korban dan peranan korban dalam
system peradilan pidana. Selain itu, menurut Muladi
viktimologi merupakan studi yang bertujuan untuk : 

49
Menganalisis berbagai aspek yang berkaitan dengan korban;
 Berusaha untuk memberikan penjelasan sebab musabab
terjadinya viktimisasi;  Mengembangkan system tindakan
guna mengurangi penderitaan manusia. Menurut J.E.
sahetapy ruang lingkup viktimologi ―meliputi bagaimana
seseorang (dapat) menjadi korban yang ditentukan oleh
victim yang tidak selalu berhubungan dengan masalah
kejahatan, termasuk pula korban kecelakaan, dan bencana
alam selain dari korban kejahatan dan penyalahgunaan
kekuasaan‖. Suatu viktimisasi antara lain dapat dirumuskan
sebagai suatu penimbunan penderitaan (mental,fisik, sosial,
ekonomi, moral) pada pihak tertentu dan dari kepentingan
tertentu. Menurut J.E. Sahetapy, viktimisasi adalah
penderitaan, baik secara fisik maupun psikis atau mental
berkaitan dengan perbuatan pihak lain. Lebih lanjut J.E.
Sahetapy berpendapat mengenai paradigma viktimisasi yang
meliputi : 1. Viktimisasi politik, dapat dimasukkan aspek
penyalahgunaan kekuasaan, perkosaan hak-hak asasi
manusia, campur tangan angkatan bersenjata diluar
fungsinya, terorisme, intervensi, dan peperangan lokal atau
dalam skala internasional;
123. 2. 2. Viktimisasi ekonomi, terutama yang terjadi
karena ada kolusi antara pemerintah dan konglomerat,
produksi barang- barang tidak bermutu atau yang merusak
kesehatan, termasuk aspek lingkungan hidup; 3. Viktimisasi
keluarga, seperti perkosaan, penyiksaan, terhadap anak dan

50
istri dan menelantarkan kaum manusia lanjut atau orang
tuanya sendiri; 4. Viktimisasi media, dalam hal ini dapat
disebut penyalahgunaan obat bius, alkoholisme, malpraktek
di bidang kedokteran dan lain-lain; 5. Viktimisasi yuridis,
dimensi ini cukup luas, baik yang menyangkut aspek
peradilan dan lembaga pemasyarakatan maupun yang
menyangkut dimensi diskriminasi perundangundangan,
termasuk menerapkan kekuasaan dan stigmastisasi
kendatipun sudah diselesaikan aspek
peradilannya.Viktimologi dengan berbagai macam
pandangannya memperluas teori-teori etiologi kriminal yang
diperlukan untuk memahami eksistensi kriminalitas sebagai
suatu viktimisasi yang struktural maupun nonstruktural secara
lebih baik. Selain pandangan-pandangan dalam viktimologi
mendorong orang memperhatikan dan melayani setiap pihak
yang dapat menjadi korban mental, fisik, dan sosial. Soal No
2 Adnan Buyung Nasution, praktisi hukum sekaligus Anggota
Tim Perumus RUUPS, memberikan gambaran realita
kedudukan saksi dan korban. Peran saksi dan korban dalam
proses peradilan pidana selama ini kurang mendapatkan
perlindungan, khususnya dari parat penegak hukum. Hal ini
disebabkan masih lemahnya ketentuan peraturan perundang-
undangan yang menjamin Bagaimana kedudukan korban
dimuka pengadilan? Apakah ada jaminan perlindungan yang
diberikan oleh sistem KUHAP dalam meberikan perlindungan
terhadap korban?. Penuturan pendapat Martiman

51
Prodjohamidjojo menyoroti sebagai berikut: ‖Pengaturan
tentang korban dalam sistem peradilan pidana, di dalam
KUHAP hanya ada beberapa pasal yang secara spesifik
mengatur hak korban, yaitu hak ketika ia menjadi saksi (Pasal
160 ayat (1) huruf b) yang berisi ‖Yang pertama-tama
didengar keterangannya adalah korban yang menjadi saksi.‖
Saksi korban-orang yang dirugikan akibat terjadinya
kejahatan atau pelanggaran-pelanggaran- didengar pertama
sebelum saksi lainnya karena ia dianggap sebagai saksi
utama.‖ Disatu sisi KUHAP menempatkan korban pada
tempat terpenting namun pada pelaksanannya bukti formal
berupa pengakuan atau kesaksian sejak berlakunya KUHAP,
tidak lagi menjadi materi utama penyidikan suatu tindak
pidana, karena kedua macam alat bukti ini masih dapat
disangkal terdakwa dalam sidang pengadilan, sehingga
penyidik
124. 3. dituntut untuk mengutamakan bukti materiil
melalui penyidikan intensif dalam semua tahap-tahap
penyidikan, sebagai contoh pada kasus perkosaan dan
pemukulan maka untuk dapat meyakinkan hakim perlu
dihadirkan hasil visum et repertum, sementara untuk kasus
perkosaan sangat jarang sekali adanya saksi yang melihat
langsung kejadian tersebut. Soal no 3 Hambatan pelaksanaan
perlindungan saksi dan korban dalam UU No. 13 Tahun 2006
tentang Perlindungan Saksi dan Korban (―UU 13/2006‖)
antara lain:  Belum adanya definisi mengenai

52
pelapor,whistleblower dan justice collaborator (saksi pelaku
yang bekerja sama);  Belum adanya jaminan perlindungan
dan reward atau penghargaan terhadap whistleblower dan
justice collaborator;  Belum adanya pengaturan mengenai
perlindungan terhadap saksi ahli;  Ketentuan kelembagaan
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (―LPSK‖) yang masih
lemah mengenai kesekretariatan, organisasi, dan struktur
organisasi LPSK.  Tidak adanya pengaturan lebih lanjut
mengenai ketentuan pembentukan LPSK di daerah; 
Keberadaan LPSK dan UU 13/2006 masih belum dipahami
dan diketahui aparat penegak hukum di daerah;  Jaminan
hukum pemberian bantuan, restitusi, dan kompensasi yang
saat ini belum cukup kuat karena hukum acaranya masih
diatur dalam peraturan pemerintah bukan setingkat undang-
undang. Terkait kendala dan kelemahan tersebut, LPSK
mengajukan upaya revisi UU 13/2006 dan saat ini telah
mendapatkan izin prakarsa dari Presiden RI. Soal no 4
Sebelum masuk hubungan antara ilmu viktimologi dengan
hukum pidana saya terlebih dahulu mencari apa yang
berkaitan yang menurut J.E Sahetapy merupakan sisi dari
mata uang yang saling berkaitan. Hubungan antara
viktimologi dengan hukum pidana yaitu tidak lepasnya
viktimologi itu sendiri dari bagian kriminologin itu sendiri
dan Khusus mengenai hubungan antara kriminologi dan
hukum pidana dikatakan bahwa keduanya merupakan
pasangan atau dwi tunggal yang saling melengkapi karena

53
orang akan mengerti dengan baik tentang penggunaan
hukum terhadap penjahat maupun pengertian mengenai
timbulnya kejahatan dan cara-cara pemberantasannya
sehingga memudahkan penentuan adanya kejahatan dan
pelaku kejahatannya. Hukum pidana hanya mempelajari delik
sebagai suatu pelanggaran hukum, sedangkan untuk
mempelajari bahwa delik merupakan perbuatan manusia
125. 4. sebagai suatu gejala social adalah kriminologi.
Dilihat dari hubungan antara viktimologi dengan hukum
acara pidana sendiri dapat dilihat dari bagaimana hami
dalam menjatuhkan putusan melihat dari sisi korban bukan
hanya ditinjau dari sudut pandang terdakwa saja. Dan
dewasa ini sangat jarang hakim yang sebelum menjatuhkan
putusan melakukan penilaian seperti ini. Soal No 5 Sebelum
menelaahnya lebih dalam kasus AQJ maka kita harus
mengetahui kasus yang dilakukan oleh AQJ sendiri,yang
disini AQJ anak yang masih belia yang belum memiliki surat
ijin mengemudi kemudian mengendarai mobil sport milik
kakaknya yang bertujuan hendak mengantarkan pacarnya
pulang kerumah. Dan pada saat perjalanan pulang AQJ
terlibat insiden kecelakaan hebat yang menewaskan hingga
enam orang penumpang mobil mini bus yang ditabrak oleh
AQJ di ruas tol jagorawi. Perbuatan tersebut merupakan
perbuatan yang keji dan tak bertanggung jawab, perbuatan
tersebut sangatlah merugikan korban dibanyak variable atau
hal. Padahal didalam Undang-Undang sebenarnya perilaku

54
demikian telah disinggung yaitu dalam UU No 22 tahun 2009
yang berbunyi sebagai berikut Disini apabila ditinjau dari
sudut pandang Korban sangat lah dirugikan, didalam
perspektif viktimologi maka korban memiliki beberapa aspek
yaitu diantaranya;  Luka Fisik  Kerugian Materi 
Kerugian Sosial dan Psikologis  Lamanya penderitaan 
Perhatian Terhadap Korban Tindak Pidana Jika kita
hubungkan dengan korban kecelakaan AQJ maka sudah jelas
korban disini sudah memenuhi aspek aspek diatas misalnya
Luka Fisik Tentu saja korban mengalami luka fisik setelah
ditabrak oleh pelaku, luka fisik ini adalah luka yang terlihat
dengan kasat mata, luka fisik ini bisa bervariasi mulai dari
luka fisik ringan seperti lecet sampai luka fisik berat seperti
patah tulang yang bahkan mengharuskan untuk di amputasi
(definisi dari luka berat sendiri diatur didalam pasal 90 Kitab
Undang-undang Hukum Pidana) Kerugian materi Disini
korban juga pasti mengalami kerugian materi, seperti
kerugian materi dari pakaian yang rusak akibat tabrak lari
tersebut sampai dengan biaya-biaya yang keluar untuk
perawatan luka fisik yang timbul dari tabrakan tersebut
126. 5. Kerugian social dan psikologis Kerugaian social
dan psikologis mungkin bentuknya bisa dibilang abstrak
karena tak bisa dilihat secara riil, namun bisa dibuktikan
dengan keterangan ahli, misalnya menjadi pendiam atau
trauma akibat dari kejadian tabrak lari tersebut Lamanya
penderitaan Dalam kasus tabrak lari pun dipastikan korban

55
akan mengalami penderitaan, namun jangka waktunya ialah
berbeda-beda tergantumg subyek orangnya Perhatian
terhadap korban tindak pidana Disini perhatian akan korban
ialah sangat minim, korban bisa menjadi korban untuk kedua
kalinya karena didalam system korban seakan tidak
diperhatikan, korban agak kurang diperhatikan karena hanya
menitikberatkan perhatiannya kepada pelaku saja sehingga
agak melupakan korban, padahal korban sudah banyak
mengalami kerugian tetapi malah mendapat kerugian
tambahan akibat dari system yanag ada. Dan apabila
dikaitkan dengan UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak * ―Sistem Peradilan Pidana Anak wajib
mengutamakan pendekatan Keadilan Restoratif‖ Pasal 5 ayat
(1)(Ayat 3 wajib diversi) * Keadilan restoratif adalah
―Penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan
pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang
terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil
dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan
semula, dan bukan pembalasan‖. Pasal 1 angka (6) Diversi
adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses
peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Jadi
dalam UU No. 11 Tahun 2012 sangat jelas disini AQJ sangat
dilindungi oleh UU Sistem Peradilan Pidana Anak dan korban
menurut pandangan saya makin dirugikan dengan tidak
dapatnya di proses ke pengadilan sebagaimana seperti yang
korban harapkan terkait hukuman pidana yang dijatuhkan

56
kepada AQJ.
6. Sumber Referensi Adnan Buyung Nasution, Rancangan
Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban, Sebuah
Komentar, Makalah disampaikan dalam Simposium Nasional
Tinjauan Kritis RUU Perlindungan Saksi dan Korban, Universitas
Brawijaya Malang, 20 Maret 2002 JE. Sahetapy (ed), Viktimologi
Sebuah Bunga Rampai, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1987
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2006
Tentang Perlindungan Saksi dan Korban Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak http://en.wikipedia.org/wiki/Victimology&gt
http://news.detik.com/read/2013/09/09/081616/2352793/10/1/ini-
kronologi-kecelakaan-beruntun-yang-melibatkan-anak-ahmad-
dhani

57
Perlindungan Saksi & Korban
Sebagai Whistleblower
127. 1. Disampaikan Oleh :A.H.Semendawai, SH,
LL.MKetua LPSK RI
128. 2. ―Kita sebenarnya manusiabiasa yang berada
dalamsituasi luar biasa. Namun,kita telah melakukansesuatu
yang benar yangseharusnya dilakukan olehsemua orang‖.
JeffreyWigandKatakanlah yang benar itu,walaupun pahitLPSK
129. 3. Peran Whistleblower• Whistleblowers
memegang perandalam membongkar bermacampelanggaran
hukum, atau kejahatan,maladministrasi,
kecurangan,mismanajemen salah pengurusan,kelalaian yang
memiliki dampak yangmerugikan bagi publik.• WB tidak
hanya dikenal dalampengungkapan suatu tindak-
pidana,tetapi perbuatan curang lainnya baikyang merugikan
masyarakat (publicsector) maupun perusahaan (privatesector)
dalam perkara perdata,perburuhan, kesehatan,
lingkunganhidup, dll.LPSK
130. 4. LPSKPeranan Partisipasi Masyarakat• Banyak
orang bertanya-tanya bagaimana KPK bisa menangkap

58
tangan praktiksuap/pemerasan, atau dari mana KPK bisa
mengendus korupsi ketika belum terjadi.Apakah KPK punya
ribuan kamera yang memantau seluruh pejabat di negeri
inisetiap hari? atau, ada jutaan mikrofon yang menguping
percakapan setiap prosespengadaan di seluruh daerah?•
Keberhasilan KPK dalam menangkap koruptor ternyata
merupakan hasil dari peranserta dan kepedulian masyarakat
dalam melaporkan kasus korupsi. KPK sangatmengharapkan
peran serta masyarakat untuk memberikan akses informasi
ataupunlaporan adanya dugaan tindak pidana korupsi (TPK)
yang terjadi di sekitarnya.Informasi yang valid disertai bukti
pendukung yang kuat akan sangat membantuKPK dalam
menuntaskan sebuah perkara korupsi.• PP 71 tahun 2000
tentang Partisipasi Masyarakat dalam Pencegahan
danpemberantasan Korupsi.Saksi dilindungi oleh
negara.Kasus Korupsiterbongkar
131. 5. Why Are Whistleblowing ProgramsImportant?•
U.S. companies lose over $400 billion a year to fraud.•
Average loss per company: $2,199,930.• 37% of respondents
report significant economic crimes during past 2years.•
Auditors only detect approximately 19% of all frauds.• The
largest frauds/bankruptcies in history occurred during the
past 3years.• Approximately one third of American employees
have witnessed unethicalor illegal conduct in their workplace.
Of these, over half did not disclosewhat they observed.•
Employees typically have limited knowledge of who to

59
contact if theybecome aware of inappropriate acts in the
organization.• An analysis of business crises between 1990
and 2000 found thatmanagement is frequently aware of
problems, and ignores them until acrisis develops or an
employee blows the whistle on the activity.• Auditors cannot
audit every process and transaction all the time.
132. 6. Sejumlah Wistleblower Terkenal Frank
Serpico: The first (in the late 60s) andmost famous police
officer to report widespreadcorruption in a police department
(New YorkCitys), he risked his life to come forward. Daniel
Ellsberg: He risked severe pressure andretaliation from the
federal government in 1971when he leaked the "Pentagon
Papers" to The NewYork Times, revealing the secret pretexts
for thewar in Vietnam. He was a U.S. State Departmentanalyst
before becoming a whistleblower. "Deep Throat" (now
known to be the late W.Mark Felt): He gave Washington Post
reporters theinformation about then-President
Nixonsinvolvement in the Watergate illegalities in 1972.This
whistleblowing eventually led to Nixonsresignation from
office and prison terms for twomembers of his staff.
133. 7. Lanjutan Famous WB Karen Silkwood: In
1974, she exposed serious safetyviolations at her workplace,
a nuclear plant inOklahoma. The film "Silkwood" is an
account of herstory; her death at the wheel of her car as she
wasdriving to meet a reporter has been alleged to be
ahomicide. Jeffrey Wigand: In 1996, Wigand blew the

60
whistleon the cigarette industry when he revealed
theintentional manipulation of nicotine, known as"impact
boosting," by his former employer, Brown &Williamson, in an
interview on the televisionprogram 60 Minutes. Linda Tripp:
She told the Office of IndependentCounsel that her friend
had committed perjury —starting the whole "Monica
Lewinsky affair" in 1998.The Clinton administration then
leaked personalinformation about her, and she successfully
pursueda lawsuit based on this violation of the Privacy Act
of1974
134. 8. Lanjutan Famous WB• Sherron Watkins: An
Enron Whistleblowerand former vice president, she exposed
thehighly irregular accounting methods beingused by the
company to hide the true state ofits financial affairs in 2001.
Enron later filedthe largest corporate bankruptcy on record
—too late for investors, unfortunately.• Coleen Rowley: A
special agent with the FBI,she revealed the agencys inaction
andmistakes that may have allowed the September11, 2001
terrorist attacks on the World TradeCenter and the Pentagon.
135. 9. Definisi WB whistleblowing berarti suatu
pengungkapan yangmelibatkan atau dilakukan oleh
seseorang, ataudari anggota sebuah organisasi
(mantananggota), mengenai sesuatu perbuatan yangimmoral,
atau praktek yang tidak sah, ataupraktek-praktek tertentu di
bawah kendalipimpinan mereka, yang merugikan
kepentinganpublik dimana seseorang yang

61
melakukanpengungkapan tersebut berpotensi
mendapatkanbalasan atau tindakan tertentu (Near dan
Miceli) Dalam peraturan perundang-undanganIndonesia
posisinya seringkali disamakan denganPELAPOR. Namun
definisi yang lebih baku diatur didalamSEMA 4/2011 dan
Peraturan Bersama Definisi : Whistleblower atau
whistleblowingsebenarnya merupakan sebuah istilah
yangbelum baku. Istilah ini justru tidak memilikidefinisi
hukum yang umummya disepakati.
136. 10. Problematika yg dihadapi WB Belum
mendapatkan apresiasi yang baik, minimnyadukungan,
perlindungan apalagi penghormatan/penghargaan yang
memadai bagi mereka sering tidak sesuaidengan pentingnya
pengungkapan mereka bagi penegakanhukum dan
kepentingan publik yang telah dicederai. Ketika mereka
berbicara untuk mengungkap praktik-praktiktidak sah yang
dilakukan atasan, rekan, mitra bisnis atauklien mereka,
mereka mempertaruhkan pekerjaan,pendapatan dan
keamanan mereka. Mereka dipojokkan, dikucilkan, dicap
penghianat, cari muka,sok pahlawan, laporannnya tidak
ditindak-lanjuti diturunkanpangkat atau jabatan,
diberhentikan dari pekerjaannya,dituntut balik, sering-kali
bertahun-tahun berkutat dgnkasusnya dsb. Seorang
Pelapor dijadikan Tersangka, baik dalam kasus yangdia
laporkan maupun yang lainnya krn diduga melakukansuatu
tindak pidana, namun pengananannya dilakukanbersamaan

62
atau mendahului dari kasus yang dilaporkannya.
137. 11. Prinsip DasarPerlindungan thp WB Lembaga
dan MekanismePenerimaan Pelaporan yangkridibel,
sederhana danprofesional Dapat menjaga rahasia
pelapor Kepastian tindak-lanjut darilaporan Informasi
yang jelas kepadaPelapor atas perkembanganlaporan
Kemampuan melindungi Pelapor Tindakan pemulihan
terhadapPelapor Sanksi terhadap pihak yangmelakukan
serangan balik kepadaPelapor
138. 12. Jawaban atas Permasalahan WB Dibentuk
WB Program atau Sistem di
berbagaiKementerian/lembaga/Perusahaan/LembagaPenegak
an hukum/lembaga negara penerimalaporan atau
pengaduan PP 71 Tahun 2000 tentang
PartisipasiMasyarakat dalam Pencegahan danPemberantasan
Korupsi SEMA No 04 tahun 2011 / 10 Agustus
2011Tentang Perlakuan thp pelapor (Whistleblower)dan Saksi
pelaku yang Bekerjasama (JusticeCollaborators) dalam
Perkara Tindak PidanaTertentu. Peraturan Bersama
tentangPelapor, Saksi Pelapor dan Saksi Pelaku YangBekerja-
sama Revisi UU 13 tahun 2006 ttg Perlindungan Saksidan
Korban
139. 13. Peraturan PerUU-an terkait WB Undang-
Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan
TindakPidana Korupsi. Undang-Undang No. 30 Tahun 2002
tentang Komisi PemberantasanTindak Pidana Korupsi

63
Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 – UU No. 23 Tahun
2003 tentangTindak Pidana Pencucian Uang Undang-
Undang No. 13 Tahun 2006 UU tentang Perlindungan Saksi
danKorban Undang-Undang No 27 tahun 2008 tentang
Ombusdman UU tindak pidana khusus lainnya misalnya UU
Narkotika dan Terorisme Peraturan Pemerintah No 71
Tahun 2000 tentang Tata Cara PelaksanaanPeran Serta
Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam
Pencegahandan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi PP
57 Tahun 2003 tentang Tata Cara Perlindungan Khusus Bagi
Pelapordan saksi Tindak Pidana Pencucian Uang
140. 14. KONSEPWHISTLEBLOWER DANJUSTICE
COLLABORATORSEMA WB : Yang bersangkutan merupakan
pihak yangmengetahui dan melaporkan tindak pidana serta
bukanmerupakan bagian dari pelaku kejahatan
yangdilaporkannya. JC : Yang bersangkutan merupakan
salah satu pelaku,mengakui kejahatan yang dilakukannya,
bukan pelakuutama dalam kejahatan terseb ut, serta
memberikanketerangan sebagai saksi dalam proses peradilan.
141. 15. SEMA No. 4 Tahun 2011
142. 16. Peraturan Bersama MENTERI HUKUM DAN
HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA JAKSA AGUNG
REPUBLIK INDONESIA KEPALA KEPOLISIAN NEGARA
REPUBLIK INDONESIA KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI
REPUBLIK INDONESIA KETUA LEMBAGA PERLINDUNGAN
SAKSI DAN KORBAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR :

64
M.HH-11.HM.03.02.th.2011 NOMOR : PER-
045/A/JA/12/2011 NOMOR : 1 Tahun 2011 NOMOR :
KEPB-02/01-55/12/2011 NOMOR : 4 Tahun 2011 
TENTANG PERLINDUNGAN BAGI PELAPOR, SAKSI PELAPOR
DAN SAKSI PELAKU YANG BEKERJASAMA
143. 17. UU No 13 tahun 2006 tentangPerlindungan
Saksi dan Korban LPSK mendapatkan mandat dari undang-
undang untuk memastikan perlindunganpelapor agar tidak
dapat dituntut secarahukum baik pidana maupun
perdatasehubungan dengan laporan dankesaksiannya Yang
dimaksud dengandalam UU ini pelapor adalah orang
yangmemberikan informasi kepada penegakhukum mengenai
terjadinya suatu tindakpidana. (Pasal 10 ayat (1) UU No 13
Tahun2006) Terbatas dalam Laporan tentang
TindakPidana Kepada Aparat Penegak Hukum
144. 18. Lanjutan : UU juga memberikan tugas bagi
LPSK untuk memastikankeringanan hukuman bagi tersangka
yang juga dijadikansaksi oleh LPSK (pasal 10 ayat (2) UU No.
13 tahun 20006) Pelapor mengajukan permohonan
perlindungan ke LPSKsebagaiaman prosedur permohonan
perlindungan saksidan korban. Diputuskan melalui
paripurna dengan merujuk KetentuanPasal 28 dan Pasal 5
ayat (2).Catatan : Mengatur tentang Justice Collaborator,
tetapi tdk dibuatsecara detil dan operasional. Tidak
memungkinkan untuk tidak dituntut
145. 19. Bentuk perlindungan LPSK kepada WB1.

65
Terhadap Pelapor yang dijadikan Terdakwa dalamperkara
Pencemaran Nama Baik dalam prosespemeriksaan di
Pengadilan (perlindungan hukum).2. Terhadap Pelapor dan
Saksi, juga Terdakwa untuk kasusyang sama, rekomendasi
pengurangan hukumannya(perlindungan hukum)3.
Mendampingi Pelapor untuk menyampaikan laporannyake
Aparat Penegak Hukum .4. Dalam hal pelapor mendapatkan
intimidasi danancaman maka LPSK berdasarkan mandatnya
dalampasal 28 dapat memberikan perlindungan
(perlindunganfisik dan/ atau perlindungan hukum)
146. 20. Lanjutan Perlindungan Fisik Perlindu
ngan
Hukum Perlindungan Kerahasiaan Pemenuhan hak
-hak
Prosedural Penanganan Medis dan Psykologi
147. 21. Mekanisme Permohonan Perlindungan
Prosedur perlindungan bagi whistleblower mengikutiproses
yang berlaku dalam permohonan perlindungansaksi dan
korban. LPSK perlu membangun link sistem pelaporan
danperlindungan whistleblower yang terpadu denganinstansi
lainnya (penegak hukum, lembaga negara,BUMN, maupun
privat sektor)
148. 22. BAGAN ALIR PERMOHONANemail Surat/fax
telpdatanglangsungaparat penegak hukum/
lainnyaREGISTRASIPEMERIKSAAN FORMAT/ TELAAH
ADMINLENGKAPTELAAH SUBSTANSIRAPAT PARIPURNA
ANGGOTA7 HARI30HARIKELENGKAPANDOK/
INVESTIGASITDK LENGKAPDITERIMA DITOLAKMEMENUHI

66
SYARATFORMIL & MATERIILDLM
KEWENANGANLPSKPEMENUHANHAKPROSEDURALBANTUAN
KOMPENSASIRESTITUSIPERLINDGNFISIK/HUKUMBID.
BANTUANKOMPENSASI & RESTITUSIBIDPERLINDUNGANTDK
MEMENUHISYARAT FORMIL&
MATERIILBUKANKEWENANGAN
LPSKSURATPEMBERITAHUANUNIT
PENERIMAANPERMOHONAN LPSK
149. 23. Syarat untuk mendapatkan perlindunganbagi
Pelapor dan Saksi Pelapor• adanya informasi penting yang
diperlukan dalammengungkap terjadinya atau akan terjadinya
suatu tindakpidana serius dan/atau terorganisir;• adanya
ancaman yang nyata atau kekhawatiran akanadanya ancaman
atau tekanan, baik secara fisik maupunpsikis terhadap
Pelapor dan Saksi Pelapor ataukeluarganya apabila tindak
pidana tersebut diungkapmenurut keadaan yang sebenarnya;
dan• laporan tentang adanya ancaman atau tekanan
tersebutdisampaikan kepada pejabat yang berwenang
sesuaidengan tahap penanganannya dan dibuatkan berita
acarapenerimaan laporan.
150. 24. SYARAT UNTUK MENDAPATKAN
PERLINDUNGANSEBAGAI SAKSI PELAKU YANG
BEKERJASAMA tindak pidana yang akan diungkap
merupakan tindak pidanaserius dan/atau terorganisir;
memberikan keterangan yang signifikan, relevan dan andal
untukmengungkap suatu tindak pidana serius dan/atau

67
terorganisir; bukan pelaku utama dalam tindak pidana yang
akandiungkapnya; kesediaan mengembalikan sejumlah aset
yang diperolehnya daritindak pidana yang bersangkutan, hal
mana dinyatakan dalampernyataan tertulis; dan adanya
ancaman yang nyata atau kekhawatiran akan
adanyaancaman, tekanan, baik secara fisik maupun psikis
terhadap saksipelaku yang bekerjasama atau keluarganya
apabila tindak pidanatersebut diungkap menurut keadaan
yang sebenarnya.
151. 25. Penutup Perlindungan terhadap Pelapor
Penting’ Melindungi Pelapor yang beriktikad baik
dpatmenyelamatkan berbagai kepentingan Berbagai usaha
untuk melindungi pelapor sdhdilakukan; perlu ada kerja-sama
penanganan yangbaik antar lembaga Perlu ditumbuhkan
Kesadaran kepada Masyarakat danaparat penegak hukum
untuk tidak melakukantindakan yang dapat mengancam atau
menimbulkankekerasan serta kesulitan thp pelapor, saksi
pelapordan saksi pelaku.
152. 26. Lahir di Ulak Baru OKU - Sumatera Selatan, 28
September 1964, menyelesaikan studiS1 di FH Universitas
Islam Indonesia (UII) Yogyakarta (1991) dan Master Hukum
diNorthwestern University School of Law (2004) Chicago,
USA. Tamat kuliah di UII,Semendawai bergabung dengan
Lembaga Kajian Hak-Hak Masyarakat (LEKHAT)Yogyakarta
(1991-1993) sebagai Direktur Eksekutif; menjadi pengacara
satu Law Officedi Yogyakarta (1994-1998); juga aktif sebagai

68
sekjen the Yogyakarta Young LawyersClub. Desember 2008
pindah ke Jakarta menjadi pengacara di Lembaga Studi
danAdvocacy Masyarakat (ELSAM 1998-2008); mulai 1999 –
2006 menjadi KoordinatorDivisi Pelayanan Hukum ELSAM;
juga menjadi Koordinator Tim Advocacy PembelaAktifis
Lingkungan (TAPAL) Jakarta (2000-2003); sebagai Koordinator
BadanPengawas Perkumpulan Sawit Watch Bogor (2004–
2008). Pernah aktif di koalisimasyarakat sipil untuk advokasi
RUU Perlindungan Saksi dan Korban. Pada tahun2006-2008
menjadi Koordinator Koalisi Nasional Revisi KUHP. Terlibat
sebagai anggotaTim Pemerintah dalam penyusunan sejumlah
Peraturan PerUU-an. Pada 2007diangkat menjadi Deputi
Direktur ELSAM; sampai akhirnya terpilih menjadi
KetuaLembaga Perlindungan Saksi dan Korban(LPSK) periode
2008-2013.Abdul Haris Semendawai, S.H., LLM.(Ketua LPSK RI)

69
HUKUM PIDANA ADAT
HUKUM PIDANA ADAT
153. Identifikasi difinisi / batasan hukum pidana adat dari beberapa
referensi, serta jelaskan, adakah perbedaan yang ditunjukkan oleh
masing-masing difinisi / batasan tersebut.
Terhadap pengertian hukum pidana adat ditemukan dalam beberapa
pandangan.

5. I Made Widnyana menyebutkan hukum pidana adat adalah hukum yang


hidup (the living law), diikuti dan ditaati oleh masyarakat adat secara
terus menerus, dari satu generasi ke generasi berikutnya. Pelanggaran
terhadap aturan tata tertib tersebut dipandang dapat menimbulkan
kegoncangan dalam masyarakat karena dianggap mengganggu
keseimbangan kosmis masyarakat, oleh sebab itu, bagi si pelanggar
diberikan reaksi adat, koreksi adat atau sanksi adat oleh masyarakat
melalui pengurus adatnya.[1]
6. Hilman Hadikusuma menyebutkan hukum pidana adat adalah hukum yang
hidup (living law) dan akan terus hidup selama ada manusia budaya, ia
tidak akan dapat dihapus dengan perundang-undangan. Andaikata
diadakan juga undang-undang yang menghapuskannya, akan percuma
juga. Malahan, hukum pidana perundang-undangan akan kehilangan
sumber kekayaannya oleh karena hukum pidana adat itu lebih erat
hubungannya dengan antropologi dan sosiologi dari pada perundang-
undangan.

Beberapa bahan bacaan lainnya menarik sebuah konklusi dasar dari apa yang

70
telah diterangkan konteks di atas, dimana disampaikan bahwa hukum pidana
adat adalah perbuatan yang melanggar perasaan keadilan dan kepatutan
yang hidup dalam masyarakat sehingga menimbulkan adanya gangguan
ketentraman dan keseimbangan masyarakat bersangkutan. Oleh karena itu,
untuk memulihkan ketentraman dan keseimbangan tersebut terjadi reaksi-
reaksi adat sebagai bentuk wujud mengembalikan ketentraman magis yang
terganggu dengan maksud sebagai bentuk meniadakan atau menetralisir
suatu keadaan sial akibat suatu pelanggaran adat.

Sesungguhnya tidaklah jau berbeda mengenai definisi dari 2 ahli di


atas,namun di temukan alasan yang berbeda kenapa hukum adat tersebut
masih tetap ada hingga sekarang.

______________________________________________________
Dimana Hilman Hadikusuma berpendapat bahwa pidana adat akan terus hidup selama
ada manusia budaya dan tidak dapat di hapuskan oleh perundang-undangan sedangkan
I Made Widnyana mengatakan bahwa hukum pidana adat akan terus ditaati dan diikuti
oleh masyarakat adat dari satu generasi ke generasi berikutnya dan apabila terjadi
pelanggaran terhadap aturan tata tertibnya akan menimbulkan goncangan dalam
masyarakat.
______________________________________________________
Berkaitan dengan bahasan di atas, I Made Widnyana dalam bukunya
menyebutkan ada 5 (lima) sifat hukum pidana adat.
Pertama, menyeluruh dan menyatukan karena dijiwai oleh sifat kosmis yang
saling berhubungan sehingga hukum pidana adat tidak membedakan
pelanggaran yang bersifat pidana dan perdata.
Kedua,ketentuan yang terbuka karena didasarkan atas ketidakmampuan
meramal apa yang akan terjadi sehingga tidak bersifat pasti sehingga
ketentuannya selalu terbuka untuk segala peristiwa atau pebuatan yang
mungkin terjadi.

71
Ketiga, membeda-bedakan permasalahan dimana bila terjadi peristiwa
pelanggaran yang dilihat bukan semata-mata perbuatan dan akibatnya tetapi
dilihat apa yang menjadi latar belakang dan siapa pelakunya. Oleh karena itu,
dengan alam pikiran demikian maka dalam mencari penyelesaian dalam suatu
peristiwa menjadi berbeda-beda.
Keempat, peradilan dengan permintaan dimana menyelesaikan pelanggaran
adat sebagian besar berdasarkan adanya permintaan atau pengaduan, adanya
tuntutan atau gugatan dari pihak yang dirugikan atau diperlakukan tidak
adil.
Kelima, tindakan reaksi atau koreksi tidak hanya dapat dikenakan pada si
pelaku tetapi dapat juga dikenakan pada kerabatnya atau keluarganya bahkan
mungkin juga dibebankan kepada masyarakat bersangkutan untuk
mengembalikan keseimbangan yang terganggu. (salah satu acuan ke nomor
2).

______________________________________________________
Sifat hukum pidana adat tidak mengenal ―prae extence regel‖. Apa
yang melandasi, kenapa hukum adat dikatakan tidak mengenal ―prae extence
regel‖?

Hal ini merupakan salah satu sifat dari hukum adat yang di kemukakan oleh I
Made Widnyana, dimana ketentuan yang terbuka karena didasarkan atas
ketidakmampuan meramal apa yang akan terjadi sehingga tidak bersifat pasti
sehingga ketentuannya selalu terbuka untuk segala peristiwa atau pebuatan
yang mungkin terjadi. Yang harus kita pahami disini ialah Hukum adat ini
sendiri berlainan dengan hukum kriminal Barat, hukum Adat tidak mempunyai
sistem pelanggaran yang tertutup. Hukum adat tidak mengenal sistem ―prae-

72
existente regels‖, artinya tidak mengenal sistem pelanggaran hukum yang
ditetapkan terlebih dahulu sebagaimana dalam ―asas legalitas‖ yang tertuang
dalam Pasal 1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

Seluruh lapangan hidup menjadi batu ujian perihal apa yang dilarang
dan apa yang dibolehkan. Tiap-tiap perbuatan atau tiap-tiap situasi yang tidak
selaras dengan atau yang memperkosa keselamatan masyarakat, keselamatan
golongan famili atau keselamatan teman semasyarakat (anggota famili, dan
sebagainya), dapat merupakan pelanggaran hukum.
Dengan demikian maka di dalam hukum Adat, suatu perbuatan yang tadinya
tidak merupakan delik adat, pada suatu waktu dapat dianggap oleh hakim
atau oleh kepala adat sebagai perbuatan yang menentang tata tertib
masyarakat sedemikian rupa, sehingga dianggap perlu diambil upaya adat
(adatreaksi) guna memperbaiki hukum.
________________________________________________________________________
Identifikasi, dasar hukum yang secara implisit dapat dijadikan dasar
berlakunya hukum pidana adat.
---------------------------------------------------------------------------------------
---------------------
Ada beberapa dasar hukum yang dapat dijadikan dasar dalam berlakunya
Hukum Adat di Indonesia pada saat ini antara lain :

1 Ketentuan UUD 1945


Dalam pasal 18 B ayat (2) Undang Undang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945
―Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum
adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai

73
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia, yang diatur dalam undang-undang‖.

Dalam pasal ini sudah jelas dituliskan bahwa mayarakat adat diakui dan
dihormati kesatuan-kesatuannya berserta hak-hak tradisionalnya, karena oleh
sebab itu lah perlu adanya hukum adat dan hukum pidana adat

UU Drt. No. 1 tahun 1951 tentang tindakan sementara untuk


menyelenggarakan kesatuan susunan, kekuasaan dan acara pengadilan sipil.
Pasal 1 ayat 2 UU Drt. 1 tahun 1951 secara berangsur-angsurkan ditentukan
oleh menteri kehakiman, dihapus:
• Segala pengadilan swapraja kecuali peradilan Islam negara Sumatera Timur
dahulu, Kalimantan Barat dan negara Indonesia Timur dahulu.
• Segala pengadilan adat kecuali Pengadilan Islam. Pasal 1 ayat 3 UU Drt. No.
1 tahun 1951 hakim desa tetap dipertahankan.

1. UU No. 5 tahun 1960 tentang UUPA.


1) Pasal 2 ayat (4) UUPA mengatur tentang pelimpahan wewenang
kembali kepada masyrakat hukum adat untuk melaksanakan hak
menguasai atas tanah, sehingga masyrakat Hukum Adat merupakan
aparat pelaksana dari hak menguasai negara atas untuk mengelola
tanah yang ada di wilayahnya.
2) Pasal 3 UUPA bahwa pelaksanaan hak ulayat masyarakat Hukum
Adat, sepanjang menurut kenyataannya harus sedemikian rupa
sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara,
berdasarkan persatuan bangsa dan tidak boleh bertentangan
dengan UU atau peraturan yang lebih tinggi.

74
3) Pasal 5 UUPA menyebutkan bahwa Hukum Agraria yang berlaku
atas bumi, air, udara dan ruang angkasa adalah Hukum Adat
sepanjang (dengan pembatasan) tidak bertentangan dengan
kepentingan nasional, negara, sosialisme dan undang-undang.
4) Pasal 22 terjadinya hak milik berdasarkan ketentuan Hukum Adat
akan diatur dengan PP.

2. UU No. 4 tahun 2004 yang menggantikan UU No. 14 tahun 1970 tentang


Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.

1) Pasal 25 ayat (1) yang isinya segala putusan pengadilan selain


harus memuat dasar-dasar putusan, juga harus memuat pasal-
pasal tertentu dari peraturan yang bersangkutan atau sumber
hukum tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.
2) Pasal 28 ayat (1) yang isinya tentang hakim sebagai penegak
hukum dan keadilan wajib menggali mengikuti dan memahami
nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.

3. Undang-Undang No.39 tahun 1999 tentang HAM ini, boleh dibilang


sebagai operasionalisasi dari TAP MPR XVII/1998 yang menegaskan bahwa
hak-hak masyarakat hukum adat sebagai bagian dari Hak Asazi Manusia.
Pasal 6 UU No.39/1999, menyebutkan:
____________________________________________________________________
Dalam rangka penegakkan hak asasi manusia, perbedaan dan
kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan
dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan pemerintah.Indentitas budaya
masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi,
selaras dengan perkembangan jaman.

75
Penjelasan pasal 6 ayat (1) UU ini menyatakan bahwa ―hak adat‖ yang secara
nyata masih berlaku dan dijunjung tinggi di dalam lingkungan masyarakat
hukum adat harus dihormati dan dilindungi dalam rangka perlindungan dan
penegakakan Hak Asasi Manusia dalam masyarakat yang bersangkutan
dengan memperhatikan hukum dan perundangan-undangan.
Sedangkan penjelasan untuk ayat (2) dinyatakan bahwa dalam rangka
penegakkan hak asasi manusia, identitas budaya nasional masyarakat hukum
adat, hak-hak adat yang masih secara nyata dipegang teguh oleh masyarakat
hukum adat setempat tetap dihormati dan dilindungi sepanjang tidak
bertentangan dengan asas-asas hukum negara yang berintikan keadilan dan
kesejahteraan rakyat.

4. UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, lebih tertuju pada


penegasan hak-hak masyarakat hukum adat untuk mengelola sistem
politik dan pemerintahannya sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum
adat setempat. Pasal 203 ayat (3), umpamanya menyebutkan:
―Pemilihan Kepala Desa dalam kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan yang diakui keberadaannya berlaku
ketentuan hukum adat setempat yang ditetapkan dalam perda dengan
berpedoman pada Peraturan Pemerintah‖.
Pasal ini sekaligus memberi makna bahwa masyarakat hukum adat sesuai
perkembangannya dapat mengembangkan bentuk persekutuannya menjadi
pemerintahan setingkat desa sebagaimana disebutkan dalam penjelasan Pasal
202 ayat (1): ―Desa yang dimaksud dalam ketentuan ini termasuk antara lain
Nagari di Sumatera Barat, Gampong di provinsi NAD, Lembang di Sulawesi
Selatan, Kampung di Kalimantan Selatan dan Papua, Negeri di Maluku‖.

76
A.PENDAHULUAN
Tentunya ungkapan “ubi ius ibi societas” tidak asing lagi didengar atau pun
di ungkapkan dikalangan akademisi, mahasiswa ataupun pegiat-pegiat hukum.
Ungkapan yang disampaikan oleh filsuf Yunani yang bernama Cicero ini jika
diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berarti “dimana ada masyarakat maka disitu
ada hukum”, ungkapan sederhana ini menjelaskan bahwa hukum akan tercipta
dengan sendirinya ditengah-tengah masyarakat dan selalu hadir dengan dinamika-
dinamika baru yang mengitu perkembangan sosial masyarakatnya.
Setiap masyarakat atau setiap kelompok membutuhkan cara tertentu untuk
menyelesaikan sengketa dan menegakkan norma-norma yang tumbuh ditengah
masyarakat, kemungkinan setiap masyarakat membutuhkan mekanisme untuk
mengubah norma-norma dan menerapkannya pada situasi-situasi baru.[2]
Tentunya mekanisme penyelesaian sengketa dan penegakkan norma-norma yang
tumbuh ditengah masyarakat tersebut menjadi sumber dan landasan yang tidak
kaku. Hukum yang berkembang ditengah masyraakat yang hari ini kita kenal
dengan istilah hukum adat merupakan nilai-nilai yang sejak lama yang sejak lama
diakui sebagai norma. Nilai – nilai ataupun norma-norma tersebut sudah lama
tumbuh ditengah-tengah masyarakat bangsa Indonesia, bangsa yang masyarakatnya
memiliki keanekaragaman suku, ras, agama dan adat yang menyebar di wilayah
nusantara. Tersebarnya keanekaragaman tersebut tumbuh nilai-nilai ataupun
norma-norma yang diakui di masing-masing wilayah yang mempunyai hukum adat.
Diakuinya hukum adat tersebut sudah menjadi suatu hal yang otomatis cara
penyelesaiannyapun secara adat. Berdasarkan kesimpulan Hasil Seminar Hukum

77
Adat dan Pembangunan Hukum Nasional pada tahun 1976 yang diselenggarakan
oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) maka Hukum Adat diartikan
sebagai, “hukum Indonesia asli yang tidak tertulis dalam bentuk perundang-
undangan Republik Indonesia yang disana-sini mengandung unsur agama.” Salah
satu bentuk pengakuan hukum seperti ini harusya menjadi suatu hal yang konsisten
ditegakan dan dijaga eksistensinya. Eksistensi berlakunya hukum adat selain
dikenal dalam instrumen hukum nasional juga diatur instrumen Internasional.
Ketentuan Pasal 15 ayat (2) International Covenant on Civil and Political Rights
(ICCPR) menyebutkan bahwa, “Nothing in this article shall prejudice the trial and
punishment of any person for any act or omission which, at the time when it was
committed, was criminal according to the general principles of law recognized by
the community of nations”. Kemudian rekomendasi dari Konggres Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) tentang “The Prevention of Crime and the Treatment of
Offenders” dinyatakan bahwa sistem hukum pidana yang selama ini ada di beberapa
negara (terutama yang berasal/diimpor dari hukum asing semasa zaman kolonial),
pada umumnya bersifat “obsolete and unjust” (telah usang dan tidak adil) serta
“outmoded and unreal” (sudah ketinggalan zaman dan tidak sesuai dengan
kenyataan). Alasannya karena sistem hukum di beberapa negara tidak berakar pada
nilai-nilai budaya dan bahkan ada “diskrepansi” dengan aspirasi masyarakat, serta
tidak responsif terhadap kebutuhan sosial masa kini. Kondisi demikian oleh
konggres PBB dinyatakan sebagai faktor kontribusi untuk terjadinya kejahatan.
Terminologi hukum pidana adat, delik adat, hukum pelanggaran adat atau hukum
pidanaadat cikal bakal sebenarnya berasal dari hukum adat. Apabila dikaji dari
perspektif sumbernya, hukum pidana adat juga bersumber baik sumber tertulis dan
tidak tertulis. Tegasnya, sumber tertulis dapat merupakan kebiasaan-kebiasaan
yang timbul, diikuti serta ditaati secara terus menerus dan turun temurun oleh
masyarakat adat bersangkutan. Untuk sumber tertulis misalnya dapat dilihat dalam
Kitab Ciwasasana atau Kitab Purwadhigama pada masa Raja Dharmawangsa pada
abad ke-10, Kitab Gajahmada, Kitab Simbur Cahaya di Palembang, Kitab Kuntara
Raja Niti di Lampung, Kitab Lontara “ade” di Sulawesi Selatan, Kitab Adi Agama dan
Awig-Awig di Bali, dan lain sebagainya. Kemudian sumber tidak tertulis dari hukum

78
pidana adat adalah semua peraturan yang dituliskan seperti di atas daun lontar,
kulit atau bahan lainnya.[3] Pada tulisan ini penulis tidak akan banyak membahas
bagaimana latar belakang hadirnya hukum pidana di Indonesia, karena hal di atas
bisa menjadi representasi eksistensi hukum pidana di Indonesia. Langsung pada
substansi pembahasan, tulisan ini akan sedikit menguraikan bagaimana eksistensi
hukum pidana adat di Indonesia dan bagaimana praktek, serta Reformasi hukum
pidana adat di Indonesia. B.PEMBAHASAN Dikaji dari perspektif normatif, teoretis,
asas dan praktik dimensi dasar hukum dan eksistensi keberlakukan hukum pidana
adat bertitik tolak berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (3) sub b Undang-Undang
Darurat Nomor 1 Tahun 1951 (LN 1951 Nomor 9). Pada ketentuan sebagaimana
tersebut di atas disebutkan, bahwa: “Hukum materiil sipil dan untuk sementara
waktupun hukum materiil pidana sipil yang sampai kini berlaku untuk kaula-kaula
daerah Swapraja dan orang-orang yang dahulu diadili oleh Pengadilan Adat, ada
tetap berlaku untuk kaula-kaula dan orang itu dengan pengertian bahwa suatu
perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap perbuatan pidana, akan
tetapi tiada bandingnya dalam Kitab Hukum Pidana Sipil, maka dianggap diancam
dengan hukuman yang tidak lebih dari tiga bulan penjara dan/atau denda lima ratus
rupiah, yaitu sebagai hukuman pengganti bilamana hukuman adat yang dijatuhkan
tidak diikuti oleh pihak yang terhukum dan penggantian yang dimaksud dianggap
sepadan oleh Hakim dengan besar kesalahan terhukum, bahwa bilamana hukuman
adat yang dijatuhkan itu menurut pikiran hakim melampaui padanya dengan
hukuman kurungan atau denda yang dimaksud di atas, maka atas kesalahan
terdakwa dapat dikenakan hukuman pengganti setinggi 10 tahun penjara, dengan
pengertian bahwa hukuman adat yang menurut paham hakim tidak selaras lagi
dengan jaman senantiasa diganti seperti tersebut di atas, bahwa suatu perbuatan
yang menurut hukum yang hidup harus dianggap perbuatan pidana yang ada
bandingnya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Sipil, maka dianggap
diancam dengan hukuman sama dengan hukuman bandingnya yang paling mirip
kepada perbuatan pidana tersebut”. Ada 3 (tiga) konklusi dasar dari ketentuan Pasal
5 ayat (3) sub b Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951. Pertama, bahwa
tindak pidana adat yang tiada bandingan atau padanan dalam KUHP dimana sifatnya

79
tidak berat atau dianggap tindak pidana adat yang ringan ancaman pidananya
adalah pidana penjara dengan ancaman paling lama tiga bulan dan/atau denda
sebanyak lima ratus rupiah (setara dengan kejahatan riangan), minimumnya
sebagaimana termaktub dalam ketentuan Pasal 12 KUHP yaitu 1 (satu) hari untuk
pidana penjara dan pidana denda minimal 25 sen sesuai dengan ketentuan Pasal 30
KUHP. Akan tetapi, untuk tindak pidana adat yang berat ancaman pidana paling
lama 10 (spuluh) tahun, sebagai pengganti dari hukuman adat yang tidak dijalani
oleh terdakwa. Kedua, tindak pidana adat yang ada bandingnya dalam KUHP maka
ancaman pidananya sama dengan ancaman pidana yang ada dalam KUHP seperti
misalnya tindak pidana adat Drati Kerama di Bali atau Mapangaddi (Bugis) Zina
(Makasar) yang sebanding dengan tindak pidana zinah sebagaimana ketentuan
Pasal 284 KUHP. Ketiga, sanksi adat sebagaimana ketentuan konteks di atas dapat
dijadikan pidana pokok atau pidana utama oleh hakim dalam memeriksa, mengadili
dan memutus perbuatan yang menurut hukum yang hidup (living law) dianggap
sebagai tindak pidana yang tiada bandingnya dalam KUHP sedangkan tindak pidana
yang ada bandingnya dalam KUHP harus dijatuhkan sanksi sesuai dengan ketentuan
KUHP.[4] Selain ketentuan Pasal 5 ayat (3) sub b Undang-Undang Darurat Nomor 1
Tahun 1951 maka dasar hukum berlakunya hukum pidana adat juga mengacu
ketentuan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Secara eksplisit maupun implisit ketentuan Pasal 5 ayat (1), Pasal 10 ayat (1) dan
Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 meletakan dasar eksistensi
hukum pidana adat. Ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009 menentukan bahwa, “Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti,
dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”,
kemudian ketentuan Pasal 10 ayat (1) menyebutkan bahwa, “Pengadilan dilarang
menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan
dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk
memeriksa dan mengadilinya”, berikutnya ketentuan Pasal 50 ayat (1) menentukan,
“”Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat
pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber
hukum tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili”. Kemudian dalam

80
prakteknya Mahkamah Agung Republik Indonesia telah mengeluarkan beberapa
Yurisprudensi mengenai Hukum Pidana adat di Indonesia, beberapa Yurisprudensi
MA RI tersebut akan dikutip dan dituangkan dalam tulisan. 1. Putusan Mahkamah
Agung RI Nomor 666 K/Pid/1984 tanggal 23 Februari 1985 Pada dasarnya Putusan
Mahkamah Agung RI Nomor 666 K/Pid/1984 tanggal 23 Februari 1985 merupakan
perkara yang berasal dari Putusan Pengadilan Negeri Luwuk Nomor 27/Pid/1983 jo
Putusan Pengadilan Tinggi Palu Nomor 6/Pid/1984 tanggal 9 April 1984. Pada
Putusan Pengadilan Negeri Luwuk Nomor 27/Pid/1983 mengadili perkara
hubungan kelamin di luar perkawinan. Pada tingkat pengadilan negeri hakim
memutuskan bahwa terdakwa telah melanggar hukum yang hidup di wilayah
Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat 3 sub b
UU Dart Nomor 1 tahun 1951 yang unsur-unsurnya: Unsur pertama suatu
perbuatan yang melanggar hukum yang hidup. Unsur Kedua perbuatan pelanggaran
tersebut tidak ada bandingannya dalam KUH Pidana. Unsur Ketiga perbuatan
pelanggaran tersebut masih tetap berlaku untuk kaula-kaula dan orang-orang yang
bersangkutan. Adapun ratio decidendi Putusan Pengadilan Negeri Luwuk Nomor
27/Pid/1983 menyatakan bahwa perbuatan hubungan kelawin di luar perkawinan
oleh seorang laki-laki (penduduk Banggai) dengan seorang perempuan dewasa yang
mengakibatkan hamilnya siperempuan dapat dianggap melanggar hukum yang
hidup dan melanggar kaidah-kaidah kepatutan serta suatu perbuatan yang
melanggar moral karena perbuatan tersebut tidak dikualifikasikan sebagai delik
oleh KUH Pidana (tidak ada bandingannya). Oleh karena itu, hakim memutuskan
bahwa terdakwa telah melakukan kejahatan melakukan suatu perbuatan yang
menurut hukum yang hidup harus dianggap perbuatan pidana, tetapi tiada
bandingannya dalam Kitab Hukum Pidana Sipil. Kemudian Putusan Pengadilan
Negeri Luwuk Nomor 27/Pid/1983 dikuatkan oleh Putusan Pengadilan Tinggi Palu
Nomor 6/Pid/1984 tanggal 9 April 1984 dengan dilakukan perbaikan dan
penambahan berupa pertimbangan dimana untuk memenuhi rasa keadilan
masyarakat yang mengganggap perbuatan tersebut adalah tindak pidana maka
hakim memutuskan terdakwa telah melakukan kejahatan bersetubuh dengan
seorang wanita di luar nikah. Akan tetapi oleh Mahkamah Agung melalui Putusan

81
Mahkamah Agung RI Nomor 666 K/Pid/1984 tanggal 23 Februari 1985 maka
putusan Pengadilan Tinggi tersebut diperbaiki sekedar kualifikasi dimana
perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa merupakan suatu perbuatan yang
dikategorisasikan sebagai perbuatan zinah menurut hukum adat. Pada dasarnya
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 666 K/Pid/1984 tanggal 23 Februari 1985
tidak menetapkan sanksi adat atas pelanggaran yang dilakukan oleh terdakwa.
Hakim yudex facti (Pengadilan Negeri/Pengadilan Tinggi) dan hakim yudex yuris
(Mahkamah Agung RI) langsung menetapkan hukuman bagi terdakwa melalui
sanksi pidana. Tegasnya, dengan kata lain sanksi pidana yang dijatuhkan oleh hakim
bukan merupakan hukuman pengganti. Terhadap putusan konteks di atas maka H.R.
Otje Salman Soemadiningrat menyebutkan sampai sekarang pun masih banyak
hakim yang mendasarkan putusannya pada hukum pidana adat atau menganggap
hukum pidana adat masih berlaku. Pertama bahwa hukum adat tidak mengenal
pemisahan secara tegas antara hukum pidana dengan hukum perdata (privat). Dan
diantara keduanya saling berkaitan satu sama lain. Sehubungan dengan hal tersebut,
tidak ada perbedaan prinsip prosedur penyelesaian perkara-perkara pelanggaran
adat. Jika terjadi pelanggaran para fungsionaris hukum (penguasa/kepala adat)
berwenang mengambil tindakan konkret, baik atas inisiatif sendiri atau
berdasarkan pengaduan pihak yang dirugikan. Hal ini semata-mata dilakukan untuk
menetapkan hukum (verklaring van recht) berupa sanksi adat (adatreactie) yang
dianggap dapat membetulkan hukum adat yang dilanggar tersebut. Sanksi adat ini
dapat dilakukan oleh si pelanggar dengan cara membayar ganti rugi, kepada pihak
yang terkena akibat pelanggaran tersebut (rechtsherstel), atau membayar uang adat
kepada pihak yang terkena dan/atau masyarakat. Terakhir, bahwa setiap hukum
adat selalu berkaitan atau mengandung unsur budaya dan keyakinan (magis
religius) yang hidup dalam masyakarat. Begitu pula dalam hal berhubungan
kelamin, sesuatu yang karena sifatnya dianggap sakral dan tabu (Pemali: Jawa)
dilakukan oleh orang kecuali bagi mereka yang sudah resmi menjadi suami istri
atau dalam sebuah ikatan rumah tangga. Dalam perspektif yang demikian, berarti
setiap hukum yang hidup dengan tidak mengandung unsur magis religius atau tidak
berhubungan dengan unsur budaya dan keyakinan yang tumbuh dalam masyarakat,

82
bukanlah hukum adat. 2. Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1644 K/Pid/1988
tanggal 15 Mei 1991 Pada dasarnya, Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1644
K/Pid/1988 tanggal 15 Mei 1991 merupakan perkara yang berasal dari Putusan
Pengadilan Negeri Kendari Nomor 17/Pid/B/1987/PN.Kdl tanggal 15 Juni 1987 jo
Putusan Pengadilan Tinggi Sulawesi Tenggara Nomor 32/Pid/B/1987/PT Sultra
tanggal 11 Nopember 1987. Kasus posisi Putusan Pengadilan Negeri Kendari Nomor
17/Pid/B/1987/PN.Kdl tanggal 15 Juni 1987 bahwa seorang terdakwa telah
melakukan perbuatan susila di desa Parauna, Kecamatan Unaaha, Kodya Kendari.
Akibat perbuatan tersebut maka Kepala Adat Tolake menangani peristiwa secara
adat. Kemudian kepala adat menyatakan pelaku telah melanggar norma adat
kesusilaan sehingga Kepala Adat Tolake menetapkan suatu reaksi adat berupa
sanksi adat “Prohala” yaitu pelaku harus membayar seekor kerbau dan satu piece
kain kaci. Perbuatan tersebut telah dilaksanakan oleh pelaku. Akan tetapi masalah
tersebut diusut lagi oleh Kepolisian dan selajutnya diserahkan kepada pihak
Kejaksaan. Kemudian oleh pihak kejaksaan perkara tersebut dilimpahkan ke
pengadilan negeri Kendari dimana terdakwa didakwa dengan dakwaan telah
melanggar tindak pidana berupa dakwaan primair melanggar Pasal 53 jo Pasal 285
KUH Pidana, dakwaan subsidair melanggar Pasal 281 ayat (1) ke-1e KUH Pidana
dan dakwaan lebih subsidair lagi melanggar Pasal 5 ayat 3 sub b UU Dart Nomor 1
tahun 1951. Kemudian Putusan Pengadilan Negeri Kendari Nomor
17/Pid/B/1987/PN.Kdl tanggal 15 Juni 1987 pada dasarnya menyatakan bahwa
terdakwa terbukti sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana adat
“memperkosa” sebagaimana dalam dakwaan subsidair lagi dengan ratio decidendi
putusan sebagai berikut: ØBahwa hakim Pengadilan Negeri Kendari menolak
pledooi terdakwa yang mengemukakan bahwa terdakwa telah dijatuhi sanksi adat
“Prohala” oleh kepala adat dan pemuka adat sehingga dengan diadilinya lagi
terdakwa berdasarkan KUH Pidana di Pengadilan Negeri berarti terdakwa telah
diadili dua kali dalam masalah yang sama (ne bis in idem). ØBahwa penolakan
tersebut didasarkan bahwa menurut ketentuan Undang-Undang Kekuasaan
Kehakiman ditetapkan badan peradilan negara sebagai satu-satunya badan yustisi
yang berwenang mengadili perkara tindak pidana adalah Pengadilan Negeri.

83
ØBahwa hakim menilai unsur dakwaan dakwaan primair melanggar Pasal 53 jo
Pasal 285 KUH Pidana, dakwaan subsidair melanggar Pasal 281 ayat (1) ke-1e KUH
Pidana tidak terbukti dan yang terbukti adalah dakwaan lebih subsidair lagi
melanggar Pasal 5 ayat 3 sub b UU Dart Nomor 1 tahun 1951 yang pada pokoknya
menyatakan bahwa perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap
sebagai perbuatan pidana dan yang ada bandingannya dalam KUH Pidana maka
perbuatan itu dianggap diancam dengan hukuman yang sama dengan hukuman
bandingannya yang paling mirip perbuatan pidana itu. Kemudian atas Putusan
Pengadilan Negeri Kendari Nomor 17/Pid/B/1987/PN.Kdl tanggal 15 Juni 1987 itu
terdakwa mengajukan pemeriksaan banding ke Pengadilan Tinggi Sulawesi
Tenggara. Atas permohonan banding tersebut maka Putusan Pengadilan Tinggi
Sulawesi Tenggara Nomor 32/Pid/B/1987/PT Sultra tanggal 11 Nopember 1987
pada dasarnya menguatkan putusan Pengadilan Negeri dengan sekedar
memperbaiki kualifikasi dimana terdakwa dijatuhkan hukuman karena bersalah
melakukan “perbuatan pidana adat Siri” dengan ratio decidendi putusan sebagai
berikut: ØPerbuatan terdakwa menurut hukum adat yang masih hidup di dalam
masyarakat Tolaki adalah merupakan perbuatan yang sangat tercela yang
menimbulkan “Siri” dan harus dikenakan sanksi adat yakni keluarga yang
dipermalukan (Tomasiri) dapat mengakibatkan korban jiwa (Siri Ripoamateng/Siri
dipomate). ØDelik adat yang dilanggar oleh terdakwa adalah delik adat Siri
Ripoamateng/Siri dipomate adalah suatu perbuatan yang melanggar kesusilaan dan
merendahkan martabat keluarga perempuan. ØBahwa perbuatan pidana adat yang
dilakukan oleh terdakwa tersebut tidak ada bandingannya di dalam KUH Pidana dan
oleh karena itu menurut hakim banding terdakwa harus dipersalahkan melanggar
hukum adat berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (3) sub b UU Dart Nomor 1 Tahun
1951. Atas Putusan Pengadilan Tinggi Sulawesi Tenggara Nomor
32/Pid/B/1987/PT Sultra tanggal 11 Nopember 1987 tersebut maka terdakwa
menyatakan kasasi ke Mahkamah Agung RI. Kemudian Putusan Mahkamah Agung
RI Nomor 1644 K/Pid/1988 tanggal 15 Mei 1991 pada pokoknya menyebutkan
bahwa Mahkamah Agung setelah memeriksa perkara ini berpendirian yudex factie
dinilai telah salah menerapkan hukum sehingga putusannya harus dibatalkan dan

84
selanjutnya Mahkamah Agung RI mengadili sendiri perkara tersebut. Pada
hakikatnya pendirian Mahkamah Agung berdasarkan pertimbangan hukum sebagai
berikut: ØBahwa terdakwa yang oleh Kepala Adat harus membayar seekor kerbau
dan satu piece kain kaci karena telah melakukan pelanggaran adat itu adalah
merupakan suatu hukuman adat (sanksi adat). Hukuman mana telah dijalani
terdakwa. ØBahwa hukuman adat tersebut adalah sepadan dengan kesalahan
terhukum sehingga menurut ketentuan Pasal 5 ayat (3) sub b UU Drt Nomor 1
Tahun 1951 sehingga terdakwa tidak dapat dijatuhi hukuman pidana lagi oleh
pengadilan. ØBerdasarkan pertimbangan tersebut di atas maka Mahkamah Agung
kemudian membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Sulawesi Tenggara dan
mengadili sendiri perkara tersebut dengan menyatakan tuntutan penuntut umum
pada kejaksaan negeri Kendari tidak dapat diterima dan membebankan biaya
perkara kepada negara. Konklusi dasar dari yurisprudensi Mahkamah Agung
tersebut menentukan bahwa Mahkamah Agung RI sebagai Badan Peradilan
Tertinggi di Indonesia tetap menghormati putusan Kepala Adat (Pemuka Adat) yang
memberikan “sanksi adat” terhadap para pelanggar norma hukum adat. Badan
Peradilan Umum tidak dapat dibenarkan mengadili untuk kedua kalinya pelanggar
hukum adat tersebut dengan cara memberikan pidana penjara (ex Pasal 5 ayat (3)
sub b UU dart Nomor 1 tahun 1951 jo pasal-pasal KUH Pidana). Oleh karena itu,
konsekuensi logisnya dapat dikatakan bahwa bila Kepala Adat tidak pernah
memberikan “sanksi adat” terhadap pelanggar hukum adat, maka hakim badan
peradilan negara berwenang penuh mengadilinya berdasarkan ketentuan Pasal 5
ayat (3) sub b UU dart Nomor 1 tahun 1951 jo pasal-pasal KUH Pidana. C.PENUTUP
Peranan Hukum pidana adat sebagai hukum tidak tertulis adalah sebagai
pembaharuan hukum di bangsa ini. Nilai-nilai hukum pidana adat yang tidak
terkoodifikasi akan selalu hidup ditengah-ditengah masyarakat. Norma-norma yang
sakral dan diakui masyarakat ini harapannya bisa di harmonisasi oleh lembaga
negara agar bisa menjadi hukum positif yang bisa menjadi payung utuk mencapai
cita-cita bangsa.

85
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/dou_rangga/pidana-
adat_55108453a333112e3cba832a

86

Anda mungkin juga menyukai