Berbagai literatur medik telah membahas mengenai sindroma delirium namun
kondisi ini sering tidak dikenali dan dievaluasi dengan baik serta ditatalaksana dengan tepat sehingga memberikan luaran yang buruk. Luaran buruk berupa penurunan status fungsional, lamanya perawatan, meningkatkan biaya perawatan rumah sakit, serta mortalitas. Sindroma delirium adalah sindroma neuropsikiatri berlangsung akut, sementara, dapat dicegah dan biasanya reversibel. Usia lanjut merupakan kelompok risiko tinggi terjadinya sindroma delirium. Sebagian besar ditemukan pada usia lanjut yang renta, perawatan rumah sakit serta perawatan jangka panjang. Kondisi yang juga sering dijumpai pada pasien geriatri dirumah sakit. Pasien yang yang berusia 70 tahun atau lebih sepertiganya mengalami delirium . Diperkirakan separuh pasien yang datang ke rumah sakit dengan sindroma delirium, dan sebahagiannya terjadi sindroma delirium selama perawatan rumah sakit. Pada kasus bedah elektif terjadinya sindroma delirium sebesar 15% - 25%. Pada operasi fraktur panggul dan operasi kardiak terjadinya delirium sebesar 59%. Terjadinya sindroma delirium pada perawatan ICU sebesar 75%, di IGD sebesar 10% - 15%., dan sebesar 85% pada kasus paliatif. Prevalensi sindroma delirium diruang rawat akut geriatri RSCM adalah 23% (tahun 2004) sedangkan insidensnya mencapai 17% pada pasien yang sedang dirawat inap (2004. Insiden delirium dapat dijadikan sebagai marker kualitas pelayanan rumah sakit dan memberikan peluang penting untuk peningkatan kualitas pelayanan. Sindroma delirium memiliki banyak nama, beberapa literatur menggunakan istilah seperti acutemental status change altered mental status, reversibel dementia, toxic/metabolic encephalopathy, organic brain syndrome, dysergasticreaction dan acute confusional state. Untuk keseragaman istilah agar terjamin standarisasi identifikasi gejala dan tanda maka buku ini menggunakan istilah sindoma delirium.
PATOFISIOLOGI
Mekanisme patofisiologi yang mendasari terjadnya sindroma delirium masih
belum jelas. Sindroma delirium lebih diduga merupakan gangguan fungsional dari pada lesi struktural, dengan gambaran karakteristik pada electroensephalogram (EEG)berupa gangguan fungsional global dan perlambatan umum aktifitas kortikal. Hipotesis saat ini menyatakan sindroma delirium sebagai hasil akhir dari berbagai mekanisme patogen yang menyebabkan disfungsi beberapa area otak dan sistem neurotransmiter. Defisiensi neurotransmiter asetilkolin sering dihubungkan dengan sindroma delirium dimana asetilkolin berperan utama dalam kesadaran dan atensi. Penyebab defisiensi neurotransmiter antra lain gangguan metabolisme oksidatif diotak yang dikaitkan dengan hipoksia dan hipoglikemia. Faktor lain yang berperan yakni meningkatnya sitokin otak pada penyakit akut. Sstem neurotransmiter dapait dipengaruhi secara tidak langsung, misalnya pada keadaan sepsis dimana terjadi respon inflamsi sistemik yang mencetuskan kaskade neuroinflamasi lokal , aktivasi endotelial, gangguan aliran daragh, apoptosis neuronal dan disfungsi neurotransmiter. Neuroinflamasi menyebabkan overaktivasi mikkroglia, menyebabkan respon neurotoksk dengan cedera neuronal lebih lanjut. Gangguan atau defisiensi asetilkolin atau neurotransmiter lain maupun peningkatan sitokin menyebabkan peningkatan sitokin otak yang akan mengganggu transduksi sinyal neurotransmiter serta second massenger system. Pada gilirannya, kondisi tersebut akan memunculkan gejala-gejala serebral dan aktivitas psikomotor yang terdapat pada sindrom delirium.
FAKTOR PREDISPOSISI DAN FAKTOR PENCETUS
Penyebab sindroma delirium multifaktorial, sering disebabkan adanya hubungan timbal balik antara kerentanan pasien( faktor predisposisi) dengan kejadian noxius insult ( faktor pencetus) . Adanya faktor predisposisi yang tinggi misalnya demensia dengan rendanya faktor pencetus seperti pengobatan sedatif dosis tunggal dapat mencetuskan terjadinya sindroma delirium. Pasien usia lanjut dengan rendahnya faktor predisposisi dapat terjadi sindroma delirium bila mendapatkan besarnya faktor pencetus. Mekanismen hubungan timbal balik ini menggunakan model multifaktorial sindroma delirium (gambar 1) Faktor predisposisi antara lain : gangguan faal kognitif ringan (mild cognitif impairment = MCI sampai demensia, riwayat delirium, usia lanjut (>70 tahun), penyakit berat yang mendasari dan multimobirditas, gangguan fungsional, depresi, penyalagunaan alkohol, riwayat stroke atau serangan iskemi, gangguan sensori ( penglihatan atau pendengaran), usia lanjut yang rapuh, (fragile), usia lanjut yang sedang menggunakan obat yang mengganggu faal neurotransmiter otak(misalnya ranitidin, simetidin,siprofloksasin, psikotropika), polifarmasi,dan komorbiditas. Pasien dengan demensia memiliki risiko 2-5 kali terjadinya sindroma delirium. Faktor pencetus yang sering dijumpai antara lain pneumonia, infeksi saluran kemih, endokarditis, abses abdomen, infeksi sendi, dan kondisi akut lain seperti hiponatremi,dehidrasi, hipoglikemi dan CVD, serta perubahan lingkungan ( perubahan ruangan misalnya). Pada usia lanjut sindroma delirium dapat muncul sebagai gejala utama pada infark miokard akut dan gagal jantung kongestif sedangkan gejala khasnya berupa nyeri dada atau dispnu biasnya minimal atau tidak tampak. Faktor pencetus sindroma delirium akut pada pasien usia lanjut yang dirawat dirumah sakit antara lain restrain, malnutrisi, penambahan lebih dari tiga obat selama beberapa hari sebelumnya ( lebih dari 70% merupakan obat-obatan psikoaktf), penggunaan kateter urin, dan kejadian iatrogenik.
GEJALA KLINIS Gambaran utama sidroma delirium akut adalah onset yang berlangsung akut dan berkurangnya perhatian.