Anda di halaman 1dari 10

TUGAS MATA KULIAH PSIKOLOGI KESEHATAN

PENERAPAN TEORI PERUBAHAN PERILAKU TERHADAP KONSISTENSI


PENGGUNAAN ALAT PELINDUNG DIRI PADA PEKERJA

Dian Tami Wahyuningtyas – 101611133223


Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Airlangga, Surabaya

Abstrak
Seluruh pekerjaan yang dilakukan di tempat kerja memiliki faktor resiko kerja yaitu
keselamatan kerja, apabila tidak diperhatikan dengan benar justru berdampak buruk pada
pekerja. Penggunaan APD (Alat Pelindung Diri) merupakan pengendalian risiko terakhir untuk
melindungi tenaga kerja dari bahaya Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3). Menerapkan
kepatuhan menggunakan APD penting dilakukan sebagai tanggung jawab perusahaan untuk
melindungi tenaga kerja dari bahaya Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3). Era globalisasi
sekarang ini menuntut pelaksanaan keselamatan dan kesehatan ditempat kerja. Dalam
pekerjaan sehari-hari pekerjaan akan terpajan dengan berbagai risiko penyakit akibat kerja.
Upaya pencegahan penyakit akibat kerja perlu ditingkatkan untuk meminimalisir risiko
penyakit yang timbul akibat pekerjaan atau lingkungan kerja (Anies, 2005:2)

Kata Kunci : Alat Pelindung Diri, Kesehatan dan Keselamatan Kerja

Pendahuluan
Keselamatan kerja telah banyak diperhatikan sejak zaman dahulu. Hammurabi, raja
Babilonia pada tahun 2040 SM telah membuat dan memberlakukan suatu peraturan bangunan
yang dikenal sebagai The Code of Hammurabi. Beberapa pasal dalam peraturan tersebut antara
lain: (a) apabila seseorang membuat bangunan dan bangunan tersebut runtuh sehingga
menimbulkan korban jiwa maka pembuat bangunan tersebut harus dihukum mati dan (b)
apabila bangunan yang dibuat runtuh dan menimbulkan kerusakan pada hak milik orang lain
maka pembuat bangunan harus mengganti semua kerusakan yang ditimbulkannya. Jadi aspek
keamanan telah menjadi persyaratan utama yang mutlak harus dipenuhi sejak zaman dahulu
kala, Suhendro (2003). Lima abad kemudian, Mozai raja setelah Hammurabi mengharuskan
para ahli bangunan bertanggung jawab pula pada keselamatan para pelaksana dan pekerjanya,
Suma’mur (1981). Masalah-masalah keselamatan kemudian meluas ke Yunani, Romawi dan
lain-lain, misalnya di Perancis tahun 1840, Inggris tahun 1644, Belgia tahun 1810, Denmark
dan Swiss tahun 1877, Amerika Serikat tahun 1886, dan sebagainya. Selanjutnya diadakan
konggres-konggres internasional misalnya di Paris tahun 1889, di Bern tahun 1891 dan di
Milan tahun 1894, Suma’mur (1981). Pada abad sembilan belas, di tahun 1904 perhatian
terhadap kecelakaan dan kondisi kerja di dalam pekerjaan pembangunan diadakan untuk
melayani permintaan masyarakat, tetapi sampai 1926 peraturan pembangunan yang telah
dihasilkan adalah dalam lingkup terbatas yaitu hanya diberlakukan bagi lokasi yang di atasnya
ada gaya mekanis yang digunakan. Dari 1930 sampai 1948 peraturan-peraturan tersebut telah
menjadi ketinggalan jaman sebab intervensi Perang Dunia Kedua, Davies (1996).

Setelah itu, karena bertambahnya angka kecelakaan, maka diberlakukan berbagai


peraturan baru, misalnya The Building (Safety Health and Welfare) Regulation 1948; The
Construction (General Provision) Regulation 1961; Contruction (Health and Welfare)
Regulation 1966; The Health and safety at Work (HSW) Act 1974; Management of Health and
Safety at Work Regulation 1992; Construction Design and Management (CDM) 1994; The
Construction Health, Safety and Welfare (CHSW) Regulation 1996, Davies (1996). Kemudian
muncul Health and safety in roof work HSG33 (Second edition) HSE Books 1998 ISBN 0 7176
1425 5; Health and safety in cons-truction HSG150 (Second edition) HSE Books 2001 ISBN 0
7176 2106 5 (www.hsebooks.co.uk; www.hse.gov.uk). Untuk pekerjaan-pekerjaan secara
umum, berlaku pula OHSAS 18001 tahun 1999.
Data tentang kecelakaan kerja secara umum dapat digambarkan sebagai berikut. Di
Singapura 6,3 per 1000 pekerja di tahun 1998 (data dari aposho-kohsa). Di Malaysia, angka
kecelakaan tercatat 16 tiap 1000 pekerja pada tahun 1994 dan 11 per 1000 pekerja pada tahun
2000 (Regional Conference on OSH di Kuala Lumpur pada 20th March 2001). Di Thailand
terdapat sekitar 769 orang meninggal dalam kecelakaan kerja tahun 2003, atau bertambah lebih
dari 18 persen dibandingkan dengan tingkat kecelakaan pada tahun 2002. Jumlah korban juga
bertambah, sekitar 189.621 orang pada tahun 2001 hingga lebih dari 200.000 orang pada tahun
2003, atau setara dengan 600 kecelakaan setiap hari. (Kompas 1/5/2004). Di Indonesia tahun
2004, 1.736 pekerja meninggal di tempat kerja, 9.106 mengalami cacat dan 84.576 lainnya
sementara tidak mampu bekerja tetapi kemudian dapat bekerja kembali, Depnakertrans (2005).
Sementara itu, di negara maju misalnya Inggris, kecelakaan fatal sudah relatif kecil, yaitu 4
dari 100.000 pekerja di tahun 1999, Howarth (2000). Di Amerika, angka persentase kecelakaan
pekerjaan konstruksi mencapai 12%, Barrie (1990). Oleh karena itu di Indonesia masih perlu
usaha-usaha yang terencana dan terkoordinasi agar dapat mencapai hasil baik, yang pada
gilirannya akan meningkatkan citra di forum internasional.
Sedangkan di Indonesia, keselamatan kerja sudah diadakan sejak zaman penjajahan
Belanda, namun sasarannya lebih banyak ke hasil kerja dan alat-alat kerja dibanding
memperhatikan pekerjanya. Program itu lebih dikenal dengan “kerja paksa”. Setelah merdeka,
perhatian tentang keselamatan dan kesehatan serta kesejahteraan pekerja mulai banyak
diperhatikan terbukti dari peraturan-peraturan dan undang-undang yang dihasilkan. Bersumber
dari pasal 27 ayat 2 UUD 1945, terbit beberapa UU dan kemudian PP dan Keputusan Menteri,
yang antara lain sebagai berikut. UU Kerja tahun 1951, UU Kecelakaan tahun 1951, PP tentang
istirahat bagi pekerja tahun 1954, UU No. 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja, UU No.
13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Per Menaker No. 01/1980 tentang K3 pada Konstruksi
Bangunan, SKB Men PU dan Menaker No. 174/Men/1986 – 104/kpts/1986 tentang
Keselamatan & Kesehatan Kerja pada Tempat Kegiatan Konstruksi, Keputusan Men PU No.
195/kpts/1989 tentang K3 pada tempat konstruksi di lingkungan PU, Peraturan Menteri Tenaga
Kerja Nomor : PER.05/MEN/1996 tentang Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan
Kerja., Surat Edaran Menteri PU Nomor: 03/SE/M/2005 Perihal Penyelenggaraan Jasa
Konstruksi untuk Instansi Pemerintah TA 2005. Walaupun telah banyak usaha yang dijalankan,
namun Indonesia masih menempati urutan ke lima (terburuk) di kawasan ASEAN setelah
Singapura sebagai urutan pertama yang disusul oleh Malaysia, Thailand dan Filipina (Subdit
Kesehatan Kerja dan Lingkungan Kerja Depnakertrans, 12/5/05).
Untuk kasus-kasus kecelakaan kerja konstruksi, beberapa kejadian yang sempat dicatat
dapat disampaikan pada tulisan ini adalah sebagai berikut: Lima buruh bangunan tewas terjatuh
dari lantai 15 di proyek gedung di Slipi Jaya Jakarta, Suara Merdeka (5/9/1991); Empat pekerja
tewas tertimbun reruntuhan bangunan yang mereka kerjakan di Medan, Kompas (25/ 3/1991);
Empat tewas terjebak gas beracun pada proyek pembersihan kerak gorong-gorong saluran uap
di PLTU Semarang, Suara Merdeka (5/6/1991) dan hal ini terulang lagi pada peristiwa di
Jakarta tahun 2005; Jembatan layang Grogol seberat 600 ton ambruk dengan korban tewas 3
orang, Kompas (23/3/1996); Dua pekerja tewas tertimpa beton, sementara sembilan pekerja
lain terluka dan sore harinya dua lainnya tewas kena setrum di proyek pembangunan
Apartemen di Kelapa Gading Jakarta, Kompas (6/6/2003); Pembangunan ruko di Sunter akibat
salah metode pelaksanaan, Kompas Cyber Media (3/ 6/2004); Balok penopang jembatan
Suramadu runtuh, seorang pekerja tewas, Suara Merdeka Cyber News (14/6/2004). Dinding
bandara ambruk 8 tewas di Dubai pada pembangunan terminal baru bandara yang direncanakan
berbentuk satu sayap pesawat raksasa sepanjang hampir satu kilometer, Suara Merdeka
CyberNews (28/9/2004).
Melihat besarnya angka kecelakaan kerja tersebut maka harus diselenggarakan
pengendalian risiko berupa eliminasi, substitusi, teknik, administratif dan penggunaan APD.
Berbagai upaya untuk mencegah kecelakaan kerja dan melindungi tenaga kerja dengan
penggunaan APD namun masih seringkali ditemukan tenaga kerja yang tidak patuh dalam
menggunakan APD. Menurut Sari (2012) menyebutkan dalam penelitiannya bahwa 26,3 %
tenaga kerja yang jarang menggunakan APD pernah mengalami kecelakaan kerja saat bekerja.
Hal ini berarti kepatuhan dalam menggunakan APD juga memiliki hubungan untuk terjadinya
kecelakaan kerja.
Banyak faktor yang menjadi penyebab tenaga kerja tidak patuh menggunakan APD
meskipun perusahaan telah menyediakan APD dan menerapkan peraturan yang mewajibkan
tenaga kerja menggunakan APD. Banyak pekerja belum menyadari bahwa pentingnya
keselamatan dan kesehatan kerja dalam melaksanakan pekerjaan. Hal ini masih terlihat dari
banyaknya pekerja yang tidak menggunakan alat pelindung diri dengan lengkap, walaupun alat
pelindung diri bukan satu-satunya sarana untuk menghindari kecelakaan kerja, namun
merupakan alternatif terakhir untuk menghindari bahaya-bahaya tersebut. Kecelakaan kerja
dapat menimpa setiap orang dalam melakukan pekerjaan, karena kecelakaan kerja merupakan
suatu kejadian atau peristiwa yang tidak diinginkan terhadap manusia, merusak harta benda
atau kerugian terhadap proses dalam suatu pekerjaan.
Untuk membantu mengubah perilaku tidak aman tenaga kerja menjadi perilaku aman,
banyak perusahaan yang mulai menggunakan model perilaku ABC untuk membantu mengubah
perilaku tenaga kerja. Model perilaku ABC ialah suatu model perubahan perilaku yang terdiri
dari Antecedent-Behavior-Consequence yang cocok digunakan untuk mempromosikan
perilaku Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Antecedent ialah sesuatu yang datangnya lebih
dahulu sebelum terjadi perilaku atau behavior. Antecedent dapat dikatakan sebagai pemicu
suatu perilaku atau dapat dikatakan mengapa orang berperilaku seperti itu. Consequence ialah
sesuatu yang mengikuti perilaku atau dengan kata lain akibat dari perilaku yang dilakukan
(Anonim, 2010). Teori dalam model perilaku ABC ini sesuai dengan The lawfullness of
behavior dalam ilmu perilaku yang disampaikan oleh As’ad (1998).
As’ad (1998) mengemukakan bahwa tingkah laku manusia timbul karena adanya
stimulus, tidak ada tingkah laku manusia yang terjadi tanpa adanya stimulus, stimulus
merupakan sebab terjadinya perilaku, dan semakin besar stimulus yang ada maka semakin
besar kemampuannya untuk menggerakkan tingkah laku.
Penggunaan model perilaku ABC merupakan salah satu cara yang efektif untuk
memahami mengapa perilaku bisa terjadi dan merupakan cara yang efektif untuk meningkatkan
perilaku yang diharapkan karena dalam model perilaku ini terdapat konsekuensi yang
digunakan untuk memotivasi agar frekuensi perilaku yang diharapkan dapat meningkat serta
model perilaku ABC ini berguna untuk mendisain intervensi yang dapat meningkatkan perilaku,
individu, kelompok, dan organisasi. Dalam hal ini perilaku yang diharapkan frekuensinya
meningkat ialah perilaku aman (Geller, 2005).

Metode
Metode yang dipakai dalam penulisan artikel ini berupa studi literatur dari 15 artikel
jurnal yang membahas tentang penerapan teori perubahan perilaku terhadap penggunaan alat
pelindung diri pada pekerja.

Pembahasan

Berdasarkan literatur yang sudah ada, masih banyak ditemui pelanggaran pekerja
lapangan terhadap pemakaian Alat Pelindung Diri (APD) bahkan sampai menyebabkan
kecelakaan kerja. Kurangnya pengetahuan pekerja ternyata bukan menjadi satu-satunya
penyebab hal tersebut terjadi, tetapi banyak faktor yang menyebabkan pekerja tersebut lalai
dalam penggunaan APD, diantaranya adalah perilaku kepatuhan yang kurang terhadap
pemakaian APD saat bekerja, kurangnya pelatihan terkait langkah-langkah keselamatan kerja
untuk para pekerja terkait dengan pentingnya penggunaan APD serta cara memakai APD
yang benar. Kurangnya kepatuhan dalam mengolah limbah bekas aktivitas pabrik ternyata
juga menjadi salah satu penyebab kecelakaan kerja.

Perlu dikaji ulang penerapan penyuluhan serta pelatihan tentang keselamatan kerja
karena masih banyak kasus-kasus kecelakaan kerja yang terjadi. Apabila dikaji dengan teori
perubahan perilaku ABC, maka perlu diadakan penyuluhan serta pelatihan terkait penggunaan
APD yang baik dan benar. Pengetahuan dan sikap tenaga kerja terhadap perilaku aman dan K3
merupakan antecedent atau pemicu internal dalam penelitian ini. Pemicu internal yaitu hal yang
dapat memicu seseorang untuk berperilaku yang berasal dari dalam diri orang tersebut.
Pengetahuan merupakan hal utama yang dibutuhkan untuk mengadopsi suatu perilaku karena
untuk mengadopsi suatu perilaku seseorang harus mengetahui perilaku tersebut terlebih dahulu.
Berdasarkan hal tersebut manajemen dapat meningkatkan pengetahuan tenaga kerja
terhadap perilaku aman dan K3 dengan menggunakan pendekatan manusia, seperti pembinaan
dan pelatihan, promosi dan kampanye K3, komunikasi K3 (Ramli, 2013). Dengan strategi
untuk meningkatkan pengetahuan ini diharapkan tenaga kerja dapat berperilaku aman sesuai
dengan pengetahuannya. Strategi ini memang membutuhkan waktu yang relatif lama namun
perubahan perilaku yang terjadi dapat bersifat permanen (Notoatmodjo, 2007).
Menurut Wexley & Yukl (1976) dalam As’ad (1998) menyatakan bahwa untuk tenaga
kerja yang telah lama bekerja sebaiknya perlu dilakukan training ulang sebagai bentuk
penyegaran bagi tenaga kerja. Training ini juga dapat digunakan untuk mengingatkan kembali
terhadap hal yang mungkin terlupakan oleh tenaga kerja sehingga perilaku aman yang
diharapkan dapat terjadi lebih baik. Hal yang dapat mendukung terciptanya perilaku aman dan
meingkatkan Keselamatan dan Kesehatan Kerja di tempat kerja ialah komitmen manajemen.
Menurut Ramli (2013), komitmen manajemen merupakan kunci keberhasilan
pelaksanaan K3 dalam suatu perusahaan atau organisasi. Komitmen manajemen ini
ditunjukkan dengan cara diantaranya, memberikan contoh yang baik terhadap keselamatan dan
kesehatan kerja sehari-hari, seperti pemakaian APD yang benar, menyediakan sumber daya
yang mendukung pelaksanaan keselamatan dan kesehatan kerja serta perilaku aman,
menempatkan K3 sebagai prioritas dalam rapat dan pengambilan keputusan, dan meluangkan
waktu untuk terlibat dalam forum atau kegiatan K3 di perusahaan.
Selain antecedent, consequence juga dapat digunakan untuk memotivasi terjadinya
suatu perilaku. Reward dan punishment merupakan suatu bentuk konsekuensi atau akibat yang
diterima tenaga kerja akibat perilaku mereka. Reward atau penghargaan merupakan bentuk
penguatan positif sedangkan punishment atau hukuman identik dengan menerima sesuatu yang
tidak kita inginkan atau kehilangan sesuatu yang kita miliki atau kita inginkan (The Keil Centre,
2002).
Inti dari adanya consequence ialah untuk mempengaruhi frekuensi terjadinya perilaku
tersebut. Dalam hal ini perilaku yang ingin ditingkatkan frekuensinya ialah perilaku aman. Dan
cara yang baik untuk meningkatkan frekuensi terjadinya perilaku aman ialah dengan pemberian
penguatan positif berupa pujian atau hadiah. Persepsi inilah yang perlu dirubah (The Keil
Centre, 2002). Perubahan persepsi bisa dilakukan dengan sosialisasi, diskusi K3, komunikasi
K3 ataupun seminar.
Peranan konsekuensi sebagai motivasi untuk meningkatkan frekuensi perilaku aman
dibutuhkan. Frekuensi positif contohnya berupa pemberian pujian terhadap tenaga kerja yang
menggunakan earplug dapat meningkatkan motivasi tenaga kerja untuk selalu menggunakan
earplug tersebut atau APD lainnya. Penghargaan lain yang dapat dilakukan manajemen ialah
dengan menjadikan tenaga kerja yang berperilaku mana tersebut sebagai contoh bagi rekan
kerja yang lain sehingga dapat memotivasi diri tenaga kerja dan rekan kerjanya untuk
berperilaku lebih aman dan menggunakan APD ketika bekerja.
Tabel 1. Systematic Review
No. First Author (Year) Population Main Result
1. Chen (2016) 60 UKM Perilaku pekerja pada awal penyuluhan
masih konsisten menggunakan APD tetapi
perlahan-lahan konsistensinya hilang.
2. Griffin (2000) 1.403 Pengetahuan pekerja mempengaruhi
karyawan di 7 perilaku terhadap pemakaian APD karena
manufaktur dari tabel analisis didapat p < 0,001 yang
dan berarti pengetahuan pekerja mempengaruhi
pertambangan perilakunya.
di Australia
3. H. Lingard (2002) 25 karyawan Dengan tingkat
dari 14 usaha 0,05, peningkatan dalam penggunaan Alat
konstruksi Pelindung Diri adalah signifikan
(t = 3,352, df = 13, P = .005) yang berarti
adanya perubahan perilaku pekerja setelah
adanya penyuluhan.
4. Norris (2013) 413 karyawan Dengan memberikan materi yang relevan
dari 11 institusi maka tingkat kepatuhan pekerja
bangunan meningkat.
5. Anozie (2017) 54 Pekerja telah mendapatkan pelayanan
administrator pelatihan tentang keselamatan kerja dan
rumah sakit. 40% memiliki pengetahuan dan kepatuhan
yang baik terkait penggunaan APD.
6. Beam (2011) 10 karyawan Ditemukan hasil bahwa kurangnya
rumah sakit konsistensi karyawan terhadap perilaku
memakai APD.
7. Mathews (2008) 2588 Terdapat peningkatan kepatuhan pekerja
paramedis di sebesar 40% dalam konsistensinya
California memakai APD saat bekerja.
8. Mitchell (2013) 11 perwakilan Setelah dilakukan pelatihan, 54% pekerja
pekerja rumah masih melepas APD pada saat bekerja.
sakit
9. Truong 2009 403 pekerja 4,2% partisipan memiliki tingkat
rotan kepatuhan yang baik, 69% memiliki
kepatuhan rata-rata, dan 26,8% memiliki
tingkat kepatuhan yang rendah terhadap
penggunaan APD.
10. Norkaew (2010) 330 petani Sebanyak 81,9% peserta dari seluruh
yang responden memiliki pengetahuan dan
menggunakan konsistensi yang buruk terkait
pestisida perlindungan diri.
11. Runyan (2008) 866 pekerja 54% responden sudah cukup baik dalam
sektor ritel konsistensi penggunaan APD yang baik
dan benar.
12. Yuantari (2015) 57 petani yang 80% dari responden menyatakan
menggunakan pentingnya penggunaan APD untuk
pestisida keselamatan saat bekerja.
13. Zellmer (2015) 30 tenaga 60% petugas kesehatan sudah mengetahui
kesehatan cara penggunaan APD yang baik dan benar
serta memathui penggunaan APD secara
konsisten.
14. Akduman (1999) 597 tenaga Terdapat 22% partisipan yang
kesehatan menggunakan APD dengan baik maka
perlu pelatihan lebih lanjut untuk
mengurangi paparan kerja.
15. Chia (2005) 10.236 tenaga Sebanyak 32,5% dokter, 48,7% perawat,
kesehatan di 9 dan 77,1% staf administrasi menyetujui
layanan pemakaian APD dan konsistensi
kesehatan pemakaiannya untuk melindungi diri dari
bahaya akibat kerja.

Gambar 1. Model Iklim dan Keselamatan Kerja


Antecedents of Determinants of Components
Safety Perfomance Safety Perfomance Safety Perfomance

Management
Values
Safety Knowledge & Safety Task
Climate Skill Perfomance Safety
Motivation Contextual
Additional Sub-
Perfomance
dimensions

Dalam studi penelitian Griffin (2000) terdapat representasi skematis dari hubungan
yang diusulkan antara iklim keselamatan kerja berdasarkan penelitian sebelumnya dalam
pekerjaan literatur kerja. Model tersebut menunjukkan bahwa keamanan iklim adalah faktor
penting bahwa pengaruh iklim keselamatan pada kinerja keselamatan dimediasi oleh
pengetahuan, keterampilan, dan motivasi. Model iklim keselamatan yang ada tidak membuat
perbedaan yang terkandung dalam kerangka kerja yang diusulkan dan terkadang memasukkan
faktor penentu atau komponen keselamatan kerja sebagai elemen iklim keselamatan. Untuk
Contohnya, keterlibatan pekerja dalam keselamatan adalah hal biasa dikutip sebagai elemen
penting dari iklim keselamatan (De-dobbeleer & Beland, 1991; Rundmo, 1994). Namun,
keterlibatan pekerja mengacu pada perilaku individu dan harus diklasifikasikan sebagai
komponen keselamatan kerja. Begitu pula dengan nilai yang dimiliki individu dalam
menempatkan keamanan pribadi (Cox &. Tail, 1991) lebih merupakan motivasi individu dari
aspek iklim keselamatan.

Kesimpulan
Berdasarkan studi literatur di atas dapat disimpulkan bahwa perilaku pekerja dalam
menggunakan APD dipengaruhi dari pengetahuan, ketrampilan dan motivasi. Sedangkan
konsistensi pemakaian APD pada pekerja dapat ditingkatkan apabila pekerja sering
mendapatkan pelatihan terkait penggunaan alat pelindung diri dengan menggunakan teori
perubahan perilaku.

Daftar Pustaka

Anozie, Lawani, Eze. 2017. Knowledge, Attitude and Practice of Healthcare Managers to
Medical Waste Management and Occupational Safety Practices: Findings from
Southeast Nigeria. Journal of Clinical and Diagnostic Research. 2017 Mar, Vol-11(3):
IC01-IC04
Beam, Gibbs, Boulter. 2011. A Method For Evaluating Health Care Workers’ Personal
Protective Equipment Technique. American Journal of Infection Control June 2011
Chen, Li, Zou. 2016. Study Protocol: A Cluster Randomized Controlled Trial To Assess The
Effectiveness Of A Multi-Pronged Behavioural Intervention To Improve Use Of
Personal Protective Equipment Among Migrant Workers Exposed To Organic
Solvents In Small And Medium-Sized Enterprises. Chen Et Al. Bmc Public Health
(2016) 16:580
Chia, Koh, Fones. 2015. Appropriate Use Of Personal Protective Equipment Among
Healthcare Workers In Public Sector Hospitals And Primary Healthcare Polyclinics
During The SARS Outbreak In Singapore
Griffin, Neal. 2000. Perceptions of Safety at Work: A Framework for Linking Safety Climate to
Safety Performance, Knowledge, and Motivation. Journal of Occupational Health
Psychology 2000, Vol. 5. No- 3, 347-358
Irlianti, Dwiyanti. 2014. Analisis Perilaku Aman Tenaga Kerja Menggunakan Model Perilaku
ABC (Antecedent Behavior Consequence). The Indonesian Journal of Occupational
Safety and Health, Vol. 3, No. 1 Jan-Jun 2014:94-106
Lingard, Helen. 2002. The Effect Of First Aid Training On Australian Construction Workers’
Occupational Health And Safety Motivation And Risk Control Behavior. Journal of
Safety Research 33 (2002) 209– 230
Mathews, Leiss, Lyden. 2008. Provision And Use Of Personal Protective Equipment And
Safety Devices In The National Study To Prevent Blood Exposure In Paramedics
Mitchell, Roth, Gravel. 2013. Are Health Care Workers Protected? An Observational Study
Of Selection And Removal Of Personal Protective Equipment In Canadian Acute
Care Hospitals. R. Mitchell Et Al. / American Journal Of Infection Control 41 (2013)
240-4
Norkaew, Siriwong, Siripattanakul. 2010. Knowledge, Attitude, And Practice (Kap) Of Using
Personal Protective Equipment (Ppe) For Chilligrowing Farmers In Huarua Sub-
Distfuct, Mueang District, Ubonrachathani Province, Thailand. J Health Res 20 70,
24(~"Ppp2i ): 93- 100
Norris, Myers. 2013. Determinants Of Personal Protective Equipment (PPE) Use In UK
Motorcyclists: Exploratory Research Applying An Extended Theory Of Planned
Behaviour. Accident Analysis And Prevention 60 (2013) 219– 230
Runyan, Vladutiu, Rauscher. 2008. Teen Workers’ Exposures To Occupational Hazards And
Use Of Personal Protective Equipment. American Journal Of Industrial Medicine
51:735–740 (2008)
Truong, Siriwong, Gobson. 2009. Assessment Of Knowledge, Attitude And Practice On
Using Of Personal Protective Equipment In Rattan Craftsmen At Trade Village,
Kienxuong District, Thaibinh Province, Vietnam. Warasan Wichai Witthayasat
Kanphaet. 2009 January 1; 23(Suppl): 1–4.
Yuantari, Gestel, Straalen. 2015. Knowledge, Attitude, And Practice Of Indonesian Farmers
Regarding The Use Of Personal Protective Equipment Against Pesticide Exposure.
Environ Monit Assess (2015) 187:142
Zellmer, Hoff, Safdar. 2015. Variation In Health Care Worker Removal Of Personal
Protective Equipment. American Journal Of Infection Control 43 (2015) 750-1

Anda mungkin juga menyukai