Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH KELOMPOK

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Keperawatan Medikal Bedah I

Kajian Penyakit ISPA

Dosen pembimbing : Ni Ketut K.M.Kep.Sp,.KMB

Disusun oleh :
Kelompok 1
Kelas 2D

1. Ajeng Aulia (2920183374)


2. Alfatihah Atthariqul Fidaus (2920183375)
3. Alifia Ulfah Ma’rufah (2920183376)
4. Alvie Wijiyanti (2920183377)
5. Ani Nur Rohmah (2920183378)
6. Anis Maisyaroh (2920183379)
7. Annisa Hidayanti (2920183380)

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN NOTOKUSUMO


YOGYAKARTA
2019/2020

1
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) merupakan penyakit
infeksi akut yang menyerang salah satu bagian atau lebih dari saluran
nafas mulai dari hidung (saluran atas) hingga alveoli (saluran bawah)
termasuk jaringan adneksanya seperti sinus, rongga telinga tengah dan
pleura (Irianto, 2015).
Menurut Riskesdas (2013) penyakit Infeksi Saluran Pernafasan
Akut (ISPA) masih menjadi salah satu masalah kesehatan masyarakat
yang pentinguntuk diperhatikan, karena merupakan penyakit akut yang
dapat menyebabkan kematian pada balita di berbagai negara berkembang
termasuk Indonesia.
ISPA disebabkan karena bakteri, virus, jamur dan rickettsia
(Najmah, 2016).
ISPA adalah infeksi akut saluran pernapasan atas maupun bawah
yang disebabkan oleh infeksi jasad renik atau bakteri, virus, maupun
reketsia tanpa atau disertai dengan radang parenkim paru.ISPA
berlangsung sampai 14 hari yang dapat ditularkan melalui air ludah, darah,
bersin maupun udara pernafasan yang mengandung kuman. ISPA diawali
dengan gejala seperti pilek biasa, batuk, demam, bersin-bersin, sakit
tenggorokan, sakit kepala, sekret menjadi kental, nausea, muntah dan
anoreksia (Wijayaningsih, 2013).
Banyak orang tua yang sering mengabaikan gejala tersebut,
sementara kuman dan virus dengan cepat berkembang di dalam saluran
pernafasan yang akhirnya menyebabkan infeksi. Jika telah terjadi infeksi
maka anak akan mengalami kesulitan bernafas dan bila tidak segera
ditangani, penyakit ini bisa semakin parah menjadi pneumonia yang
menyebabkan kematian (IDAI, 2015).

2
ISPA merupakan penyakit yang banyak terjadi di negara
berkembang serta salah satu penyebab kunjungan pasien ke Puskesmas
(40%-60%) dan rumah sakit (15%-30%). Kasus ISPA terbanyak terjadi di
India 43 juta kasus, China 21 kasus, Pakistan 10 juta kasus dan
Bangladesh, Indonesia, Nigeria masing-masing 6 juta kasus. Semua kasus
ISPA yang terjadi di masyarakat, 7-13% merupakan kasus berat dan
memerlukan perawatan rumah sakit (Dirjen PP & PL, 2012). 2 Kasus
ISPA di Indonesia pada tiga tahun terakhir menempati urutan pertama
penyebab kematian bayi yaitu sebesar 24,46% (2013), 29,47% (2014) dan
63,45% (2015). Selain itu, penyakit ISPA juga sering berada pada daftar
10 penyakit terbanyak di rumah sakit (Kemenkes RI, 2015). Terdapat lima
Provinsi dengan ISPA tertinggi yaitu Nusa Tenggara Timur (41,7%),
Papua (31,1%), Aceh (30,0%), Nusa Tenggara Barat (28,3%), dan Jawa
Timur (28,3%). Karakteristik penduduk dengan ISPA yang tertinggi
berdasarkan umur terjadi pada kelompok umur 1- 4 tahun (25,8%).
Penyakit ini lebih banyak dialami pada kelompok penduduk kondisi
ekonomi menengah ke bawah (Kemenkes, 2013).

B. Tujuan
1. Untuk mengetahui penyakit ISPA
2. Gejala dan tanda penyakit ISPA
3. Cara mengatasi penyakit ISPA

3
BAB II
KONSEP DASAR

A. Pengertian
Infeksi saluran pernapasan akut disebabkan oleh virus atau
bakteri. Penyakit ini diawali dengan panas disertai salah satu atau lebih
gejala: tenggorokan sakit atau nyeri telan, pilek, batuk kering atau
berdahak. ISPA selalu menduduki peringkat pertama dari 10 penyakit
terbanyak di Indonesia (Kemenkes RI,2014).
ISPA atau Infeksi Saluran Pernapasan Akut mengandung dua
unsur, yaitu infeksi dan saluran pernapasan bagian atas. Pengertian
infeksi adalah masuknya kuman atau mikroorganisme ke dalam tubuh
manusia dan berkembangbiak sehingga menimbulkan gejala penyakit.
Saluran pemapasan bagian atas adalah yang dimulai dari hidung
hingga hidung, faring, laring, trakea, bronkus dan bronkiolus
(Gunawan, 2010).
ISPA adalah radang saluran pernapasan bagian atas yang
disebabkan oleh infeksi jasad renik, virus maupun riketsia,
tanpa/disertai radang parenkim paru. ISPA adalah penyakit penyebab
angka absensi tertinggi, lebih tertinggi, lebih dari 50% semua angka
tidak masuk sekolah/kerja karena sakit. Angka kekerapan terjadinya
ISPA tertinggi pada kelompok-kelompok tertutup di masyarakat
seperti kesatrian, sekolah, sekolah-sekolah yang sekaligus
menyelenggarakan pemondokkan (boarding school). ISPA bila
mengenai saluran pernapasan bawah, khususnya pada bayi, anak-anak,
dan orang tua, memberikan gambaran klinik yang berat dan jelek,
berupa Bronchitis, dan banyak yang berakhir dengan kematian (Amin,
2011).

4
Istilah ISPA meliputi tiga unsur yakni antara lain:
a. Infeksi
Infeksi merupakan masuknya kuman atau mikroorganisme ke
dalam tubuh manusia dan berkembang biak sehingga menimbulkan
gejala penyakit.
b. Saluran pernapasan
Saluran pernapasan merupakan organ mulai dari hidung hingga
alveoli beserta organ aksesorinya seperti sinus, rongga telinga tengah
dan
pleura.

c. Infeksi Akut
Infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari. Batas hari
ditentukan untuk menunjukkan proses akut meskipun untuk beberapa
penyakit yang dapat digolongkan dalam ISPA proses ini dapat
berlangsung lebih dari 14 hari.

B. Etiologi
ISPA dapat disebabkan oleh virus, bakteri, maupun riketsia.
Infeksi bakterial merupakan penyulit ISPA oleh karena virus, terutama
bila ada apidemi atau pandemi. Penyulit bakterial umumnya disertai
keradangan parenkim. ISPA oleh virus, merupakan penyebab terbesar
dari angka kejadian ISPA. Hingga kini telah dikenal lebih dari 100
jenis virus penyebab ISPA. Infeksi virus memberikan gambaran klinik
yang khas untuk masing-masing jenis virus, sebaliknya beberapa jenis
virus bersama-sama pula memberikan gambaran klinik yang hampir
sama (Amin, 2011).
Klasifikasi ISPA Membuat klasifikasi berarti membuat sebuah
keputusan mengenai kemungkinan tingkat keparahan. Klasifikasi
merupakkan suatu katagori untuk menentukan tindakan yang akan
diambil oleh tenaga kesehatan dan bukan sebagai diagnosis spesifik

5
penyakit. Klasifikasi ini memungkinkan seseorang dengan cepat
menentukan apakah kasus yang dihadapi adalah suatu penyakit serius
atau bukan, apakah perlu dirujuk segera atau tidak (Depkes RI, 2010).
Kriteria atau entry untuk menggunakan pola tata laksana
penderita ISPA adalah balita, dengan gejala batuk atau kesukaran
bernapas. Pola tata laksana penderita ini terdiri dari 4 bagian yaitu,
pemeriksaan, penentuan ada tidaknya tanda bahaya, penentuan
klasifikasi penyakit, dan pengobatan dan tindakan (Utomo, 2012).
Dalam membuat klasifikasi harus dibedakan menjadi 2 (dua):
kelompok umur < 2 bulan dan kelompok umur 2 bulan- < 5 tahun.
Untuk umur 2 bulan- < 5 tahun klasifikasi dibagi menjadi pnemonia
berat, pnemonia, dan bukan pnemonia. Untuk kelompok umur < 2
bulan klasifikasi dibagi atas pnemonia berat dan batuk bukan
pnemonia.(Depkes RI, 2010).
Klasifikasi pnemonia berat didasarkan pada tarikan diding dada
bagian bawah ke dalam (TDDK) pada anak usia 2 bulan sampai < 5
tahun untuk kelompok umur < 2 bulan diagnosis pnemonia berat
ditandai dengan tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam yang
kuat. (TDDK kuat) atau adanya napas cepat 60x/menit atau lebih.
Klasifikasi pnemonia pada anak 2 bulan sampai < 5 tahun ditandai
dengan tidak ada tarikan dinding dada
bagian bawah ke dalam TDDK), adanya napas cepat: 2 bulan - < 12
bulan: > 50x/menit, 12 bulan- <5 tahun: > 40x/menit. Kasifikasi batuk
bukan pnemonia pada anak umur 2 bulan sampai < 5 tahun ditandai
dengan tidak adanya tarikkan dinding dada bagian bawah, tidak ada
napas cepat: 2 bulan-12 bulan: 50x/menit, 12 bulan - < 5 tahun: <
40x/menit, sedangkan untuk anak < 2 bulan klasifikasi batuk bukan
pnemonia ditandai dengan: tidak ada TDDK kuat dan tidak ada napas
cepat, frekuensi napas < 60x/menit (Depkes RI, 2010).

6
C. Patofisiologi

Patogenesa saluran pernapasan selama hidup selalu terpapar


dengan dunia luar sehingga dibutuhkan suatu sistem pertahanan yang
efektif dan efisien dari sisitem saluran pernapasan ini. Ketahanan
saluran pernapasan terhadap infeksi maupun partikel dan gas yang ada
di udara sangat tergantung pada 3 unsur alamiah yang selalu terdapat
pada orang sehat,yaitu: utuhnya epitel mukosa dan gerak moksila,
makrofag alveoli, dan antibodi setempat. Sudah menjadi suatu
kecendrungan, bahwa terjadinya infeksi bakterial, mudah terjadi pada
saluran napas yang telah rusak sel-sel epitel mukosanya, yang
disebabkan oleh infeksi-infeksi terdahulu.Keutuhan gerak lapisan
mukosa dan silia dapat terganggu oleh karena:
a. Asap rokok dan gas S02, polutan utama adalah pencemaran udara.
b. Sindroma imotil.
c. Pengobatan dengan O2 konsentrasi tinggi (25% atau lebih).
Makrofag biasanya banyak terdapat di alveoli dan baru akan
dimobilisasi ke tempat-tempat dimana terjadi infeksi. Asap rokok
menurunkan kemampuan makrofag membunuh bakteri, sedangkan
alkohol, menurunkan mobilitas sel-sel ini. Antibodi setempat pada
saluran napas, adalah Imunoglobulin A (Ig A) yang banyak terdapat di
mukosa. Kurangnyaantibodi ini akan memudahkan terjadinya infeksi
saluran pernapasan, seperti pada keadaan defisiensi Ig A pada anak.
Mereka dengan keadaan-keadaan imunodefisiensi juga akan
mengalami hal yang serupa, seperti halnya penderita-penderita yang
mendapat terapi situastik, radiasi, penderita dengan neoplasma yang
ganas, dan lain-lain. Gambaran klinik radang oleh karena
infeksi sangat tergantung pada karateristik inokulum, daya tahan tubuh
seseorang, dan umur seseorang. Karateristik inokulum sendiri, terdiri
dari

7
besarnya aerosol, tingkat virulensi jasad renik dan banyaknya ( jumlah)
jasad renik yang masuk. Daya tahan tubuh, terdiri dari utuhnya sel
epitel mukosadan gerak mukosilia, makrofag alveoli, dan Ig A (Amin,
2011).
Umur mempunyai pengaruh besar terutama pada ISPA saluran
pernapasan bawah anak dan bayi, akan memberikan gambaran klinik
yang lebih jelek bila dibandingkan dengan orang dewasa. Terutama
penyakit-penyakit yang disebabkan oleh infeksi pertama karena virus,
terutama penyakit-penyakit yang disebabkan oleh infeksi pertama
karena virus, pada mereka ini tampak lebih berat karena belum
diperoleh kekebalan alamiah. Pada orang dewasa, mereka memberikan
gambaran klinik yang ringan sebab telah terjadi kekebalan yang
diberikan oleh infeksinya terdahulunya. Pada ISPA dikenal 3 cara
penyebaran infeksi ini:
a. Melalui aerosol yang lembut, terutama oleh karena batuk-batuk.
b. Melalui aerosol yang lebih kasar, terjadi pada waktu batuk-batuk
dan bersin-bersin.
c. Melalui kontak langsung/tidak langsung dari benda yang telah
dicemari jasad renik (hand to hand transmisssion).
Pada infeksi virus, transmisi diawali dengan penyebaran virus,
melalui bahan sekresi hidung. Virus ISPA terdapat 10-100 kali lebih
banyak dalam mukosa hidung daripada faring. Dari beberapa klinik,
laboratorium, maupun dilapangan, diperoleh kesimpulan bahwa
sebenarnya kontak hand to hand merupakkan modus yang terbesar bila
dibandingkan dengan cara penularan aerogen yang semula banyak
diduga
(Amin, 2011).
Proses penyakit ISPA dapat terjadi karena masuknya beberapa
bakteri dari genus streptococcus, staphylococcus, pneumococus,
haemophilus, boerdetella, korinebakterium dan virus dari golongan
mikrovirus (termasuk didalamnya virus para influenza dan virus

8
campak), adenovirus, koronavirus, pikornavirus, herpesvirus kedalam
tubuh manusia melalui partikel udara (droplet infection). Kuman ini
akan melekat pada sel epitel hidung dengan mengikuti proses
pernafasan maka kuman tersebut bisa masuk ke bronkus dan masuk ke
saluran pernafasan, yang mengakibatkan demam, batuk, pilek, sakit
kepala, dan sebagainya (Marni, 2014).

9
Pathway

Virus bakteri atipikal (mikoplasma) bayi lebih umur

aspirasi substansi asing

Aspirasi mekonium

Terhirup bersama udara melalui hidung Penurunan daya tahan tubuh

Resiko gagal
Infeksiberlajut Proses inflamasi
tumbang

Resiko infeksi
Edemada fasodilatasi
Hipertermi

Obstruksi jalan nafas Gangguan pola tidur

Bersihan jalan nafas


tidak efektif
Muntah, susah menelan

Ketidak seimbangan nutrisi


kurang dari kebutuhan tubuh

10
D. Manifestasi Klinik
a. Rinitis, disebut juga common cold, coryza, cold , atau salesma.
Ditandai dengan pilek, hidung gatal, bersin, hidung tersumbat, iritasi
tenggorokan, dapat disertai demam. Selain itu, dapat ditemukan
gejala umum infeksi virus, seperti mialgia, malaise, iritabel.
Pemeriksaan fisis tidak menunjukan tanda yang khas, dapat
ditemukan edema, dan eritema mukosa hidung, serta limfadenopati
servikasil anterior.
b. Faringitis-Tonsilitis-Tonsilofaringitis bakterial (Steptococcus sp.)
ditandai dengan nyeri tenggorokan dengan awitan mendadak,
disfagia, demam tinggi (dapat mencapai 40ºC) , nyeri kepala, dan
keluhan gastrointestinal, seperti nyeri perut atau muntah. Pada
pemeriksaan fisis ditemukan faring hiperemis, tonsil bengkak
dengan eksudasi, kelenjar getah bening leher anterior bengkak dan
nyeri, ufula bengkak dan hiperemis, petekie palatumole, dan ruam
skarlatina (ruam kemerahan seperti sunbrun dapat rasa gatal;
muncul pada wajah dan leher, menyebar pada dada dan punggung,
kemudian ke seluruh tubuh).
c. Faringitis viral. Ditandai dengan rinorea, suara serak, batuk,
konjungtivis, diare, awitan yang bertahap, melibatkan beberapa
mukosa, dan adanya kontak dengan pasien rinitis.
d. Faringitis difteri. Ditandani dengan membrana simestris (dapat
meluas dari batas anterior tonsil hingga ke palatum mole dan atau ke
uvula), mudah berdarah, berwarna kelabu pada faring.
e. Rinosinusitis. Ditandai dengan rinorea, hidung tersumbat, bersin-
bersin atau gatal, batuk, nyeri tekan wajah/pipi, nyeri kepala, ingus
purulen, postnassal-drip, napas bau, hiposmia/anosmia, dan demam.
Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan edema- eritema mukosa
hidung disertai dengan rinorea, nyeri tekan dilokasi sinus, post

11
nassal-dripdi dinding belakang faring, dan deviasi septumnasi atau
polip sebagai faktor predisposisi.

E. Pemeriksaan Penunjang

1. Faringitis: kultur swab tenggorok pada faringitis bakterial, bertujuan


untuk mendeteksi adanya bakteri streptococcusß –haemolyticus grup A.
2. Rinosinusitis:
a. Roentgen: menunjukan adanya perselubungan homogen, penebalan
mukosa sedikitnya 4mm, atau adanya air fluid level.
b. CT-scan sinus paranasal: dapat memberikan gambaran yang lebi
akurat daripada Roentgen, namun bukan pemeriksaan yang harus
rutin dilakukan.
c. Pemeriksaan mikrobiologi dengan bahan sekret hidung (yang
umunya dilakukan, namun akan ditemukan pula kuman yang
merupakan flora normal hidung disamping kuman patogen). Baku
emasnya adalah spesimen yang didapat dari pungsi atau aspirasi
sinus maksilaris (tidak rutin dilakukan pada anak karna memerlukan
anestesi umum). Diagnosis ditegakkan apabila ditemukan bakteri >
104 U/mL.
d. Pemeriksaan transluminasi untuk mengetahui adanya cairan di sinus
yang sakit (terlihat lebih suram daripada yang sehat).
Beberapa klasifikasi dari ISPA membutuhkan pemeriksaan
penunjang seperti rinosinusitis, akan terlihat corakan bronkhial
pada penderita baru dan penebalan mukosa bagi yang sudah kronis
pada pemeriksaan radiologis, serta adanya peningkatan leukosit (>
20.000/mm3). Pemeriksaan feses tidak mengandung bakteri
patogen, parasit, lemak, dan makanan yang belum dicerna (Dodge,
Gray, dan Short, 2010).

12
F. Komplikasi
Secara umum, IRAA jarang menimbulkan komplikasi. Faringitis
Steptococcus dapat menimbulkan komplikasi akibat penyebaran
langsung (otitis media, rinosinusitis, mastoiditis, adenitis servikal,
abses retrofaringeal/para faringeal, pneumonia) atau penyebaran
hematogen (meningitis, osteomeilitis, artritis septik, demam rematik,
glomerulonefritis).
G. Penatalaksanaan
Infeksi Saluran Pernafasan Akut ringan membutuhkan perawatan
seperti pemberian oksigen untuk membantu pernafasan lebih mudah,
anak ditempatkan pada udara yang lembab, drainase posturnal
(menepuk dada untuk mengeluarkan lendir), istirahat yang cukup, dan
pemberian cukup cairan (Aden, 2010).
1. Terapi nonmedikamentosa, seperti elevasi kepala, minum, dan istirahat
yang cukup bermanfaat dalam tata laksana rinitis.
2. Terapi medikamentosa:
a. Pengobatan simtomatis: dekongestan, antihistamin, atau analgetik.
b. Pada faringitis umumnya hanya diberikan terapi simtomatis. Namun
apabila curiga faringitis streptococcal, berikan antibiotik selama 10
hari: penisilin 15-30 mg/KgBB/hari (3 kali sehari); ampisilin 50-100
mg/KgBB/hari (4 kali sehari); amoksisilin 25-50 mg/KgBB/hari (3
kali sehari); eritromisin 30-50 mg/KgBB/hari (4 kali sehari).
c. Pada rinosinusitis dapat diberikan amoksisilin 45 mg/KgBB/hari (2
kali sehari)

13
H. Pengkajian fokus masalah Oksigenasi :
1. Klien dapat meningkatkan minat dan motivasinya untuk
memperhatikan ketidakefektifan jalan nafas.
2. klien dapat mengenal tentang pentingnya kebutuhan okigenasi.
3. Keluarga selalu mengingatkan hal–hal yang berhubungan dengan
kebutuhan oksigenasi, keluarga menyiapkan sarana untuk membantu
klien dalam menjaga pola nafas , dan keluarga membantu dan
membimbing klien dalam menjaga aktivitas pasien. (Fitria Nita,2009)

I. Diagnosa Keperawatan Prioritas


1. Ketidakefektifan kebersihan jalan nafasb dengan mukosa berlebih
2. Nyeri akut berhubungan dengan agens cedera biologis.

J. Intervensi Keperawatan
1. Oksigenasi
Intervensi:
a. Monitor tanda-tanda vital
b. Bantuan pemberian oksigenasi.
(NANDA,2015)

14
Diagnosa dan Intervensi Keperawatan berdasarkan NANDA, NOC,NIC

No Dx. Kep/Masalah Intervensi


Kolaborasi
Tujuan Intervensi Rasional

1 Nyeri akut Setelah dilakukan


berhubungan tindakan 1. Ukur tanda 1. Mengkaji peningkatan
dengan agens keperawatan dalam tanda vital tekanan
cedera biologis. waktu 3x24 jam, darah,nafas,suhu
DS: masalah Nyeri akut 2. Kaji nyeri untuk mengukur
berhubungan secara adanya nyeri.
Pasien mengatakan
dengan agens komprehensif 2. Dengan mengkaji
mengeluh nyeri
cedera biologis nyeri secara
P: Nyeri bertambah dapat teratasi 3. Anjurkan komperensif dapat
saat bergerak, dengan kriteria pasien untuk mengetahui skala
nyeri hasil: relaksasi (nafas nyeri pasien
berkuranng saat (1605) dalam) 3. Dengan mengkaji
istirahat. 1. Mampu teknik nafas dalam
mengontrol 4. Kolaborasikan diharapkan pasien
Q: Ditusuk - tusuk
nyeri pemberian obat mampu mengurangi
R: Abdomen 2. Melaporkan analgesik rasa nyeri.
nyeri (Ketorolax) 4. Dengan manajemen
S: Skala 3 (0-10)
berkurang pengobatan
T: Terus-menerus 3. Mampu pemberian analgesic
mengenali diharapkan dapat
DO: Pasien tampak
nyeri mengurangi nyeri.
meringis saat
merasa sakit dan
gelisah

1. S: 37,5˚C
2. N: 87x//menit
3. RR: 17x/menit

15
4. TD: 130/80
mmHg
2.
Ketidakefektifan
pola nafas
berhubungn
1.bunyi nafas dapat
dengan mukus
menentukan sekret
berlebih
Manajemen jalan berlebih di jalan nafas
nafas
1.Auskultasi suara 2.memaksimalkan
nafas dan catat ventilasi pernafsan
Setelah dilakukan apabila ada suara
tindakan nafas tambahan
keperawatan selama 2.memaksimalkan 3.membantu pasien dalam
3 x 24 jam ventialasi mengelurkan sekret secara
ketidakefektifan pernafasan(dengan efektif
pola nafas posisi)
berhubungan 3.Ajarkan 4.mempunyai kebutuhan
dengan mukus bagaimana cara oksigen
berlebih dapat melakukan bentuk
teratasi dengan efektif
kriteria hasil: 4.kolaborasikan
1.frekuensi pemberian terapi
pernafasan dalam oksigen
batas normal
18x/menit
2.tidak ada suara
nafas tambahan
3.sesak nafas
berkurang

16
17
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Penyakit ISPA adalah salah satu penyakit yang banyak diderita bayi dan anak-
anak. Penyebab kematian dari ISPA yang terbanyak karena pneumonia. Seperti
yang diuraikan seperti diatas, ISPA merupakan terjadinya infeksi yang parah pada
bagian sinus, tenggorokan saluran udara atau paru-paru. Gejala yang muncul oleh
ISPA adalah hidung tersumbat atau berair, paru-paru terasa terhambat, batuk-batuk
dan tenggorokan terasa sakit. Klasifikasi penyakit ISPA tergantung pada
pemeriksaan dan tanda-tanda bahaya yang diperlihatkan penderita, penatalaksaan
dan pemberantasan kasus ISPA diperlukan kerjasama semua pihak yaitu peran
serta masyarakat untuk menunjang keberhasilan menurunkan angka kesakitan dan
kematian sesuai harapan pembangunan nasional.

18
DAFTAR PUSTAKA

Dinkes Yogyakarta. 2016. Profil Kesehatan Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun


2016. Yogyakarta: Dinas Kesehatan D. I Yogyakarta
Irianto, K. (2015). Memahami Berbagai Macam Penyakit. Bandung: Alfabeta.
Najmah. (2016). Epidemiologi Penyakit Menular. Jakarta: Trans Info Media.
Kemenkes Ri. 2013. Riset Kesehatan Dasar; RISKESDAS. Jakarta: Balitbang
Kemenkes Ri
Kartika Sari Wijayaningsih. 2013. Satndar Asuhan Keperawatan : Jakarta. TIM.
Kemenkes. Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2015-2019.
Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2015.
Kemenkes RI. Profil Kesehatan Indonesia tahun 2014. Jakarta : Kemenkes
RI; 2015.
Amin Z, Bahar A, 2011. Tuberkulosis paru Dalam : Aru W,Sudoyo B S,Idrus
A,Marcellus S,Siti S,eds.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.Edisi ke-5 Jilid
II Bab 243. Jakarta:Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal;998-1003.
Depkes RI. 2010. Capaian Pembangunan Kesehatan Tahun 2011. Jakarta.
Marni. 2014. Buku Ajar Keperawatan Pada Anak Dengan Gangguan
Pernapasan. Yogyakarta: Gosyen Publishing.
Aden, R. 2010. Seputar Penyakit dan Gangguan Lain Pada Anak. Siklus
Hanggar Kreator. Yogyakarta.

19

Anda mungkin juga menyukai