Anda di halaman 1dari 9

ASUHAN KEPENATAAN INTRA ANESTESI PADA PASIEN APENDICITIS

PERFORASI DI RUANG OPERASI 6 IBS RSI SULTAN AGUNG

DISUSUN OLEH:
FAJAR ARIFUDDIN YAHYA

PELATIHAN PENATA ANESTESI ANGKATAN 1


2019
ASUHAN KEPENATAAN INTRA ANESTESI PADA PASIEN DI RUANG OPERASI
3 IBS RSI SULTAN AGUNG

DEFINISI
Asuhan kepenataan anestesi merupkan penerapan fungsi dan kegiatan yang menjadi
wewenang dan tanggung jawab penata anestesi dalam memberikan pelayanan kepenaataan
anestesi untuk pasien dan atau masalah saat periode peri anestesi pre-intra-pasca anestesi
serta pelayanan lain yang sesuai bidangnya seperti pelayanan kritis,gawat darurat,
penatalaksanaan nyeri di dalam satu tim pengelolaan pelayanan Anestesi.
Intra anestesi adalah suatu pelayanan anestesi yang perlu dipantau selama operasi
yaitu keadaan umum pasien secara menyeluruh baik peralatan maupun obat-obatan sesuai
dengan perencanaan teknik anestesi, dan pendokumentasian semua tindakan yang
dilakukanagar seluruh tindakan tercatat dengan baik dan benar (PMK Nomor 18 Tahun
2016).

Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis dan merupakan penyebab


abdomen akut yang paling sering. Penyakit ini dapat mengenai semua umur baik laki-laki
maupun perempuan, tetapi lebih sering menyerang laki-laki berusia 10-30 tahun (Mansjoer,
2010). Apendisitis adalah penyebab paling umum inflamasi akut pada kuadran kanan bawah
rongga abdomen dan penyebab paling umum untuk bedah abdomen darurat (Smeltzer, 2005).
Apendisitis adalah peradangan apendiks yang mengenai semua lapisan dinding organ tersebut
(Price, 2005).

RSI Sultan Agung ditetapkan menjadi rumah sakit kelas B melalui surat keputusan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia No H.K 03.05/I/513/2011 yang ditandatangani oleh
Direktur Jenderal Bina Upaya kesehatan. Itu artinya, semenjak tanggal 21 Februari 2011,
secara fisik, peralatan, SDI serta prosedur pelayanan telah memenuhi standar Rumah Sakit
kelas B.Dengan telah terakreditasi 16 bidang pelayanan, menjadi bukti kesanggupan pihak
RSI Sultan Agung untuk tidak membeda-bedakan segala jenis golongan masyarakat dalam
memberikan pelayanan yang optimal. Hal tersebut dibuktikan dengan diterimanya semua
jenis asuransi yang dimiliki oleh pasien, mulai dari Asuransi Kesehatan (ASKES)
PNS,Sukarela sampai Asuransi untuk masyarakat kurang mampu atau lebih dikenal dengan
JAMKESMAS (Jaminanan Kesehatan Masyarakat). Sehingga dengan demikian, semua
lapisan masyarakat yang menggunakan layanan kesehatan di RSI SA berhak menerima jenis
tindakan kesehatan yang sama tanpa membeda-bedakan. Tanggal 16 juli 2014 RSI-SA resmi
dinyatakan “ Lulus Tingkat Paripurna” oleh Ketua Komite Akreditasi Rumah Sakit (KARS)
DR dr Sutoto M.Kes. Rumah Sakit Sultan Agung Semarang memiliki 389 tempat tidur yang
terbagi atas 4 kamar VVIP, 75 VIP, 98 kelas 1, 67 Kelas 2, 91 Kelas 3, 10 ICU, 2 PICU, 10
IGD, 11 TT BBL, 11 Kamar Bersalin, 6 Ruang operasi, 4 Ruang isolasi. Memiliki dokter
anestesi 6 orang dan penata anestesi 5 orang.
Apendicitis di lakukan di ruangan ok 3 di Rumah Sakit Sultan Agung. Fasilitas yang
ada di ruang operasi 3 yaitu mesin anestesi 1 unit , monitor 1 unit, meja operasi 1, standar
infus 3, bantal 2 , meja spinal 1 , troly anestesi 1 yang berisi: alkohol swab 10, spuit 20 cc
1pcs, torniquet 1, plester mata 1, plester ETT 1, botol laborat merah 5 dan ungu 5, spidol
permanen 1, ballow / reservoir ukuran (0,5 liter, 1 liter, 2 liter)masing masing 1, laringoskop
anak 1 set ( 0, 1, 2 ), laringoskop dewasa 1 set ( 2, 3, 4 ), magil foscep dewasa 1 buah, tongue
spatel ,stylet 5.

ETIOLOGI
Apendisitis umumnya disebabkan oleh infeksi bakteri. Namun terdapat banyak sekali
faktor pencetus terjadinya penyakit ini. Diantaranya obstruksi yang terjadi pada lumen
apendiks yang biasanya disebabkan karena adanya timbunan tinja yang keras (fekalit),
hiperplasia jaringan limfoid, penyakit cacing, parasit, benda asing dalam tubuh, tumor primer
pada dinding apendiks dan striktur. Penelitian terakhir menemukan bahwa ulserasi mukosa
akibat parasit seperti E Hystolitica, merupakan langkah awal terjadinya apendisitis pada lebih
dari separuh kasus, bahkan lebih sering dari sumbatan lumen. Beberapa penelitian juga
menunjukkan peran kebiasaan makan (Sjamsuhidajat, De Jong, 2004)
GAMBARAN KLINIS

PATOFISIOLOGI
Secara fisiologis apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir tersebut normalnya
dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran lendir di
muara apendiks tampaknya berperan pada patogenesis apendisitis. Imunoglobulin sekretoar
yang dihasilkan oleh Gut Associated Lymphoid Tissue (GALT) yang terdapat di sepanjang
saluran cerna termasuk apendiks adalah IgA, imunoglobulin tersebut sangat efektif sebagai
pelindung terhadap infeksi. Namun demikian, pengangkatan apendiks tidak mempengaruhi
sistem imun tubuh karena jumlah jaringan limfe disini sangat kecil jika dibandingkan dengan
jumlahnya di saluran cerna dan di seluruh tubuh. Istilah usus buntu yang dikenal di
masyarakat awam adalah kurang tepat karena usus yang buntu sebenarnya adalah sekum.
Apendiks diperkirakan ikut serta dalam sistem imun sekretorik di saluran pencernaan, namun
pengangkatan apendiks tidak menimbulkan defek fungsi sistem imun yang jelas (Schwartz,
2000).
PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada penderita apendisitis meliputi penanggulangan
konservatif dan operatif.
1. Penanggulangan konservatif Penanggulangan konservatif terutama diberikan pada
penderita yang tidak mempunyai akses ke pelayanan bedah berupa pemberian
antibiotik. Pemberian antibiotik berguna untuk mencegah infeksi. Pada penderita
apendisitis perforasi, sebelum operasi dilakukan penggantian cairan dan elektrolit,
serta pemberian antibiotik sistemik (Oswari, 2000). 19

2. Operatif Bila diagnosa sudah tepat dan jelas ditemukan apendisitis maka tindakan
yang dilakukan adalah operasi membuang appendiks. Penundaan appendektomi
dengan pemberian antibiotik dapat mengakibatkan abses dan perforasi. Pada abses
apendiks dilakukan drainase (Oswari, 2000).
PENGKAJIAN
a. Pengkajian umum
 Nama
 Umur
 Jenis kelamin
 Berat badan
 Tinggi badan
 Riwayat Alergi
 Riwayat operasi
 Inform consent
 Riwayat pemakai alkohol, obat-obatan, perokok
 Terakhir makan dan minum
 ASA
 Mallapati
b. Riwayat Kesehatan
Pengkajian ulang riwayat kesehatan pasien harus meliputi riwayat penyakit yang pernah
diderita dan alasan utama pasien mencari pengobatan. Riwayat kesehatan pasien adalah
sumber yang sangat baik. Sumber berharga lainnya adalah rekam medis dari riwayat
perawatan sebelumnya .
c. Pengkajian Psikososiospiritual
 Kecemasan praoperatif
 Perasaan
 Konsep diri
 Sumber koping
 Kepercayaan spiritual
 Pengetahuan, persepsi dan pemahaman tentang tindakan operasi
d. Pemeriksaan Fisik
1. Pemeriksaan tanda-tanda vital
Pemeriksaan awal fisik dilakukan dengan memeriksa tanda-tanda vital . Tanda vital
diukur untuk menentukan status kesehatan atau untuk menilai respons pasien terhadap
stress intervensi pembedahan. Pemeriksaan TTV meliputi pengukuran suhu , nadi,
tekanan darah, dan frekuensi pernapasan. Sebgai indicator dari status kesehatan ,
ukuran-ukuran ini menandakan keefektifan sirkulasi respirasi, serta fungsi neurologis
dan endokrin tubuh . karena sangat penting, maka disebut dengan vital.

2. Kepala dan leher


Riwayat keperawatan akan mendeteksi adanya cedera intracranial dan deformitas local
atau congenital. Perawat mulai dengan menginspeksi posisi kepala dan gambaran wajah
pasien. Posisi kepala normalnya tegak dan stabil.
Perawat mengobservasi gambaran wajah pasien, melihat kelopak mata, alis,lipatan
nasolabial, dan mulut untuk mengetahui bentuk dan kesimetrisannya, sedikit
ketidaksimetrisan merupakan suatu hal yang normal . jika terdapat ketidaksimetrisan
pada wajah, maka perawat menilai apakah seluruh bagian atau hanya sebagian dari
wajah saja yang terkena. Berbagai gangguan neurologis seperti paralisis saraf fasial,
akan memengaruhi saraf lain yang juga mempersarafi otot-otot wajah.

3. Mata
Mata dan kelopak mata orang yang kekurangan nutrisi atau dehidrasi Nampak seperti
tenggelam atau cekung karena lemak dan cairan yang tersimpan di belakang bola mata
hilang. Ptosis (turunnya kelopak) dapat disebabkan oleh edema, kelemahan oto, defek
congenital, atau masalah neurologis yang disebabkan oleh trauma atau
penyakit.Konjuntiva adalah membrane mukosa tipis dan transparan yang melapisi
bagian posterior kelopak mata dan melipat kea rah bola mata untuk melapisi bagian
anterior bola mata. Sclera dikaji warnanya , biasanya putih . warna kekuningan
merupakan indikasi ikterus atau masalah sistemik. Pada individu yang berkulit hitam,
sclera normal juga bisa terlihat kuning, terdapat titik kecil, gelap, dan berpigmen.
Pemeriksaan konjungtiva praoperatif akan memberiakan data dasar untuk
intervensi.Pupil normal berbentuk bulat, letaknya di tengah , dan memiliki ukuran yang
sama antara kiri dan kanan. Terdapat kurang lebih 5% individu yang secara normal
memiliki perbedaan dalam ukuran pupil. Perbedaan ini disebut anisokor. Ukuran pupil
bervariasi pada tiap individu yang terpapar cahaya dalam jumlah yang sama. Pupil yang
lebih kecil ditemukan pada lansia. Individu dengan myopia (hanya dapat melihat dari
dekat) mempunyai pupil yang lebih besar, sedangkan individu hipertopi (hanya dapat
melihat jauh) mempunyai pupil yang lebih kecil. Diameter pupil normal adalah 2-6 mm
. pupil yang ukurannya kurang dari 2 mm disebut konstriksi (miosis), sedangkan pupil
yang berukuran lebih dari 6 mm disebut dilatasi (midriasis).

4. System saraf
Selama mengkaji riwayat kesehatan dan pemeriksaan fisik, perawat mengobsevasi
tingkat orientasu,kesadaranm mood pasien, serta memperhatikan apakah pasien dapat
menjawab pertanyaan dengan tepat dan dapat mengingat kejadian yang baru dan
kejadian masa lal. Pasien yang akan menjalani pembedahan karena penyakit neurologis
(misalnya tumor otak) keungkinan menunjukkan gangguan tingkat kesadaran atau
perubahan perilaku, tingkat kesadaran dapat berubah karena anestesi umum. Namun
setelah efek anestesi menghilang , tingkat respons pasien akan kembali pada tingkat
respons sebelum operasi.
Jika pasien akan mendapatkan anestesi spinal, maka pengkajian praoperatif terhadap
fungsi dan kekuatan motorik kasar sering dilakukan . anestesi spinal menyebabkan
ekstremitas bawah mengalami paralisis sementara. Perawat harus menyadari adanya
kelemahan atau gangguan mobilisasi pada ekstrimitas bawah pasien agar perawat tidak
cemas jika seluruh fungsi motorik tidak kembali normal pada saat efek anestesi spinal
menghilang.
Pengkajian sensibilitas prabedah sangat bermanfaat sebagai bahan evaluasi pada saat
pascaanestesi di ruang pemulihan

5. Sestem endokrin
Pada diabetes yang tidak terkontrol , bahaya utama yang megancam hidup adalah
hipoglikemia. Hipoglikemia perioperatif mungkin terjadi selama anestesi, akibat asupan
karbohidrat pasctif yang tidak adekuat atau pemberian obat insulin yang berlebihan ,
bahaya lain yang mengancam pasien tetapi onsetnya tidak secepat hipoglikemia adalah
asidosis atau glukosuria. Secara umum, resiko pembedahan bagi pasien dengan diabetes
mellitus yang tidak terkontrol tidak lebih besar dari pasien nondiabetes, namun
pemantaun kadar gula darah secara rutin penting dilakukan sebelum , selama, dan
setelah pembedahan.
Pasien yang mendapat kortikosteroid berisiko mengalami insufisiensi adrenal. Oleh
karena itu, penggunaan medikasi steroid untuk segala tujuan selama tahun-tahun
sebelumnya harus dilaporkan pada ahli anestesi dan ahli bedah.

6. Sistem Pernapasan
Pemeriksaan praoperatif sistem pernapasan dapat menjadi data dasar rencana intervensi
pascaoperatif. Pemeriksaan dimulai dengan melihat keadaan umum sistem peranapasan
dan tanda-tanda abnormal seperti sisnosis, pucat, kelelahan, sesak napas, batuk,
penilaian produksi sputum, dan lainnya. Karena harus melakukan pengkajian fisik
secara inspeksi, maka perawat harus memahami kondisi sistem pernapasan dalm rongga
torak secara imajiner. Hal ini sangat berguna bagi perawat dalam memeriksa kondisi
normal dan abnormal dari interpretasi pemeriksaan fisik.

7. Pemeriksaan abdomen
Pada anamnesis penderita akan mengeluhkan nyeri atau sakit perut. Ini terjadi karena
hiperperistaltik untuk mengatasi obstruksi dan terjadi pada seluruh saluran cerna,
sehingga nyeri viseral dirasakan pada seluruh bagian perut perut.

8. Pemeriksaan Status lokalis abdomen kuadran kanan bawah


1. Nyeri tekan (+) Mc. Burney. Pada palpasi didapatkan titik nyeri tekan kuadran kanan
bawah atau titik Mc. Burney dan ini merupakan tanda kunci diagnosis.

2. Nyeri lepas (+) karena rangsangan peritoneum. Rebound tenderness (nyeri lepas
tekan) adalah nyeri yang hebat di abdomen kanan bawah saat tekanan secara tiba-tiba
dilepaskan setelah sebelumnya dilakukan penekanan perlahan dan dalam di titik Mc.
Burney.

3. Defence muscular adalah nyeri tekan seluruh lapangan abdomen yang menunjukkan
adanya rangsangan peritoneum parietal.

4. Rovsing sign (+) adalah nyeri abdomen di kuadran kanan bawah apabila dilakukan
penekanan pada abdomen bagian kiri bawah, hal ini diakibatkan oleh adanya nyeri
lepas yang dijalarkan karena iritasi peritoneal pada sisi yang berlawanan.

5. Psoas sign (+) terjadi karena adanya rangsangan muskulus psoas oleh peradangan
yang terjadi pada apendiks.

6. Obturator sign (+) adalah rasa nyeri yang terjadi bila panggul dan lutut difleksikan
kemudian dirotasikan ke arah dalam dan luar secara pasif, hal tersebut menunjukkan
peradangan apendiks terletak pada daerah hipogastrium (Departemen Bedah UGM,
2010).

9. Sistem Integumen
Melihat seluruh permukaan kulit secara teliti. Perhatian utama ditujukan pada daerah
tonjolan tulang seperti siku, sakrum, dan skapula. Selama pembedahan, pasien harus
berbaring dalam satu posisi tertentu dan bisanya sampai beberapa jam. Dengan
demikian, pasien rentan mengalami ulkus tekan atau dekubitus terutama jika kulit
pasien tipis, kering, dan turgor kulintya buruk. Kondisi keseluruhan kulit juga
menunjukkan kadar hidrasi pasien. Lansia berisiko mangalami gangguan integritas
kulit akaibat posisi dan pergeseran di atas meja ruang operasi yang dapat menyebabkan
kulit lecet dan tertekan. Lakukan palpasi dengan mencubit kulit untuk menentukan
tingkat hidrasi tubuh.

10. Sistem Muskuloskeletal


Periksa adanya deformitas atau kelainan bentuk pada seluruh ekstremitas, meliputi
adanya benjolan, ketidaksejajaran pada seluruh fungsi skeletal dan kemampuan dalam
melakukan rentang gerak sendi. Periksa adanya kondisi kelemahan atau kelumpuhan
dari fungsi seluruh ekstremitas. Ditemukannya kelainan akan memberikan data dasar
untuk pemenuhan informasi pascabedah terutama dalam melakukan latihan pergerakan
sendi pascabedah.

DIAGNOSA / MASALAH KEPERAWATAN


1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan disfungsi neuromuskule dampak
sekunder dari obat pelumpuh otot.
2. resiko gangguan cairan dan elektrolit berhubungan dengan vasodilatasi pembuluh
darah
3. resiko aspirasi berhubungan dengan penuruan tingkat kesadaran

RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN (RENPRA)


Nama klien :.................................... Umur : ....th....bln....hr L/P
Ruangan :..................................... No.RM: ...........

Diagnosa Hasil Yang Diharapkan Intervensi


Pola napas tidak efektif pola napas pasien 1. Bersihkan secret pada
berhubungan dengan efektif/normal jalan napas
disfungsi neuromuskule 2. Jaga patensi jalan napas
dampak sekunder dari obat Kriteria hasil : 3. Pasang dan beri suplai
pelumpuh otot. O2 yang adekuat
1. Frekuensi napas normal
4. Monitor perfusi jaringan
2. Irama napas teratur
perifer
3. Ekspansi dada simetris
5. Monitor irama, ritme,
4. Jalan napas pasien lancer
dan usaha respirasi
5. Tidak terjadi sianosi,
6. Monitor pola nafas dan
saturasi O2 96-100%
tanda hipoventilasi

resiko gangguan cairan dan Keseimbangan cairan dalam 1. Kaji tinkat kekurangan
elektrolit berhubungan ruang intrasel dan ekstrassel volume cairan
dengan vasodilatasi tercukupi 2. Kolaborasi untuk
pembuluh darah Kriteria hasil: pemberian cairan dan
1. Akral kulit hangat elektrolit
2. Hemodinamik stabil 3. Monitor hemodinamik
3. Intake dan output imbang 4. Monitor perdarahan
4. Urine output 1-2 cc/kg
BB/ jam
5. Hasil laboratorium
elektrolit darah normal
resiko aspirasi Klien tidak terjadi aspirasi 4. Atur posisi pasien
berhubungan dengan Kriteria hasil: 5. Pantau tanda-tanda
penuruan tingkat kesadaran 1. Pasien mampu menelan aspirasi
2. Bunyi paru bersih 6. Pantau tingkat
3. Tonus otot nafas adekuat kesadaran: reflek batuk,
reflek muntah,
kemampuan menelan
7. Pantau status paru
8. Bersihan jalan nafas
9. Kolaboras dengan dokter

IMPLEMENTASI / CATATAN PERKEMBANGAN


Nama klien :.................................... Umur : ....th....bln....hr L/P
Ruangan :..................................... No.RM: ...........
No. Ndx Tanggal/Waktu Perkembangan (SOAPIER) Nama dan tanda
tangan perawat

Anda mungkin juga menyukai