Anda di halaman 1dari 15

BAB II

KAJIAN TEORI

A. Pengembangan Model Pembelajaran

Dalam kajian ini dipaparkan dua model penelitian dan pengembangan sistem
pembelajaran yaitu model 4D dan model ADDIE. Model 4D merupakan singkatan dari
Define, Design, Development and Dissemination yang dikembangkan oleh Thiagarajan
(1974). Model ADDIE merupakan singkatan dari Analysis, Design, Development or
Production, Implementation or Delivery and Evaluations yang dikembangkan oleh Dick
and Carry (1996).

Meskipun nama dan istilah yang digunakan berbeda namun model 4D dan
ADDIE memiliki inti kegiatan yang sama. Beberapa kesamaan kegiatan dalam dua model
tersebut misalnya: define memiliki kesetaraan kegiatan dengan analisis. Dua tahap
kegiatan berikutnya yaitu design dan development dimiliki oleh kedua model tersebut.
Perbedaan terletak setelah kegiatan development yaitu model 4D mengakhiri kegiatan
melalui kegiatan dissemination sedangkan model ADDIE, setelah development masih
dilanjutkan dengan kegiatan implementasi dan evaluasi. Model 4D tidak mencantumkan
implementasi dan evaluasi karena menurut pertimbangan rasional mereka, proses
development selalu menyertakan kegiatan pembuatan produk (implementasi), evaluasi
dan revisi.

Dalam perkembangan lebih lanjut, penelitian dan pengembangan model 4D dan


ADDIE juga sering digunakan dalam penelitian dan pengembangan bahan ajar seperti
modul, LKS dan buku ajar. Tidak terbatas pada itu saja, peneliti dapat menggunakan
model ini untuk mengembangkan produk lain, karena pada prinsipnya inti dari prosedur
pengembangan produk sudah terwakili di sini. Peneliti perlu memahami bahwa proses
pengembangan memerlukan beberapa kali pengujian dan revisi sehingga meskipun
prosedur pengembangan dipersingkat namun di dalamnya sudah mencakup proses
pengujian dan revisi sehingga produk yang dikembangkan telah memenuhi kriteria
produk yang baik, teruji secara empiris dan tidak ada kesalahan-kesalahan lagi.

1. Model 4D
Kegiatan-kegiatan yang dilakukan pada setiap tahap pengembangan dapat dijelaskan
sebagai berikut:
a. Define (Pendefinisian)
Kegiatan pada tahap ini dilakukan untuk menetapkan dan mendefinisikan
syarat-syarat pengembangan. Dalam model lain, tahap ini sering dinamakan
analisis kebutuhan. Tiap-tiap produk tentu membutuhkan analisis yang berbeda-

3
4

beda. Secara umum, dalam pendefinisian ini dilakukan kegiatan analisis


kebutuhan pengembangan, syarat-syarat pengembangan produk yang sesuai
dengan kebutuhan pengguna serta model penelitian dan pengembangan (model R
& D) yang cocok digunakan untuk mengembangkan produk. Analisis bisa
dilakukan melalui studi literature atau penelitian pendahuluan. Thiagrajan (1974)
menganalisis 5 kegiatan yang dilakukan pada tahap define yaitu:
1) Front and analysis
Pada tahap ini, guru melakukan diagnosis awal untuk meningkatkan efisiensi
dan efektivitas pembelajaran.
2) Learner analysis
Pada tahap ini dipelajari karakteristik peserta didik, misalnya: kemampuan,
motivasi belajar, latar belakang pengalaman, dsb.
3) Task analysis
Guru menganalisis tugas-tugas pokok yang harus dikuasai peserta didik agar
peserta didik dapat mencapai kompetensi minimal.
4) Concept analysis
Menganalisis konsep yang akan diajarkan, menyusun langkah-langkah yang
akan dilakukan secara rasional
5) Specifying instructional objectives
Menulis tujuan pembelajaran, perubahan perilaku yang diharapkan setelah
belajar dengan kata kerja operasional

Dalam konteks pengembangan bahan ajar (modul, buku, LKS), tahap


pendefinisian dilakukan dengan cara:

1) Analisis kurikulum
Pada tahap awal, peneliti perlu mengkaji kurikulum yang berlaku pada saat
itu. Dalam kurikulum terdapat kompetensi yang ingin dicapai. Analisis
kurikulum berguna untuk menetapkan pada kompetensi yang mana bahan ajar
tersebut akan dikembangkan. Hal ini dilakukan karena ada kemungkinan tidak
semua kompetensi yang ada dalam kurikulum dapat disediakan bahan ajarnya.
2) Analisis karakteristik peserta didik
Seperti layaknya seorang guru akan mengajar, guru harus mengenali
karakteristik peserta didik yang akan menggunakan bahan ajar. Hal ini
penting karena semua proses pembelajaran harus disesuaikan dengan
karakteristik peserta didik. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan untuk
mengetahui karakteristik peserta didik antara lain: kemampuan akademik
individu, karakteristik fisik, kemampuan kerja kelompok, motivasi belajar,
latar belakang ekonomi dan sosial, pengalaman belajar sebelumnya, dsb.
Dalam kaitannya dengan pengembangan bahan ajar, karakteristik peserta
didik perlu diketahui untuk menyusun bahan ajar yang sesuai dengan
5

kemampuan akademiknya, misalnya: apabila tingkat pendidikan peserta didik


masih rendah, maka penulisan bahan ajar harus menggunakan bahasa dan
kata-kata sederhana yang mudah dipahami. Apabila minat baca peserta didik
masih rendah maka bahan ajar perlu ditambah dengan ilustasi gambar yang
menarik supaya peserta didik termotivasi untuk membacanya.
3) Analisis materi
Analisis materi dilakukan dengan cara mengidentifikasi materi utama yang
perlu diajarkan, mengumpulkan dan memilih materi yang relevan, dan
menyusunnya kembali secara sistematis.
4) Merumuskan tujuan
Sebelum menulis bahan ajar, tujuan pembelajaran dan kompetensi yang
hendak diajarkkan perlu dirumuskan terlebih dahulu. Hal ini berguna untuk
membatasi peneliti supaya tidak menyimpang dari tujuan semula pada saat
mereka sedang menulis bahan ajar.
b. Design (Perancangan)
Thiagarajan membagi tahap design dalam empat kegiatan, yaitu: constructing
criterion-referenced test, media selection, format selection, initial design.
Kegiatan yang dilakukan pada tahap tersebut antara lain:
1) Menyusun tes kriteria, sebagai tindakan pertama untuk mengetahui
kemampuan awal peserta didik, dan sebagai alat evaluasi setelah implementasi
kegiatan
2) Memilih media pembelajaran yang sesuai dengan materi dan karakteristik
peserta didik.
3) Pemilihan bentuk penyajian pembelajaran disesuaikan dengan media
pembelajaran yang digunakan. Bila guru akan menggunakan media audio
visual, pada saat pembelajaran tentu saja peserta didik disuruh melihat dan
mengapresiasi tayangan media audio visual tersebut.
4) Mensimulasikan penyajian materi dengan media dan langkah-langkah
pembelajaran yang telah dirancang. Pada saat simulasi pembelajaran
berlangsung, dilaksanakan juga penilaian dari teman sejawat

Dalam tahap perancangan, peneliti sudah membuat produk awal (prototype)


atau rancangan produk. Pada konteks pengembangan bahan ajar, tahap ini
dilakukan untuk membuat modul atau buku ajar sesuai dengan kerangka isi hasil
analisis kurikulum dan materi. Dalam konteks pengembangan model
pembelajaran, tahap ini diisi dengan kegiatan menyiapkan kerangka konseptual
model dan perangkat pembelajaran (materi, media, alat evaluasi) dan
mensimulasikan penggunaan model dan perangkat pembelajaran tersebut dalam
lingkup kecil.
6

Sebelum rancangan (design) produk dilanjutkan ke tahap berikutnya, maka


rancangan produk (model, buku ajar, dsb) tersebut perlu divalidasi. Validasi
rancangan produk dilakukan oleh teman sejawat seperti dosen atau guru dari
bidang studi/bidang keahlian yang sama. Berdasarkan hasil validasi teman sejawat
tersebut, ada kemungkinan rancangan produk masih perlu diperbaiki sesuai
dengan saran validator.

c. Develop (Pengembangan)
Thiagarajan membagi tahap pengembangan dalam dua kegiatan yaitu: expert
appraisal dan developmental testing. Expert appraisal merupakan teknik untuk
memvalidasi atau menilai kelayakan rancangan produk. Dalam kegiatan ini
dilakukan evaluasi oleh ahli dalam bidangnya. Saran-saran yang diberikan
digunakan untuk memperbaiki materi dan rancangan pembelajaran yang telah
disusun. Developmental testing merupakan kegiatan uji coba rancangan produk
pada sasaran subjek yang sesungguhnya. Pada saat uji coba ini dicari data respon,
reaksi atau komentar dari sasaran pengguna model. Hasil uji coba digunakan
memperbaiki produk. Setelah produk diperbaiki kemudian diujikan kembali
sampai memperoleh hasil yang efektif.
Dalam konteks pengembangan bahan ajar (buku atau modul), tahap
pengembangan dilakukan dengan cara menguji isi dan keterbacaan modul atau
buku ajar tersebut kepada pakar yang terlibat pada saat validasi rancangan dan
peserta didik yang akan menggunakan modul atau buku ajar tersebut. Hasil
pengujian kemudian digunakan untuk revisi sehingga modul atau buku ajar
tersebut benar-benar telah memenuhi kebutuhan pengguna. Untuk mengetahui
efektivitas modul atau buku ajar tersebut dalam meningkatkan hasil belajar,
kegiatan dilanjutkan dengan memberi soal-soal latihan yang materinya diambil
dari modul atau buku ajar yang dikembangkan.
Dalam konteks pengembangan model pembelajaran, kegiatan pengembangan
(develop) dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut.
1) Validasi model oleh ahli/pakar. Hal-hal yang divalidasi meliputi panduan
penggunaan model dan perangkat model pembelajaran. Tim ahli yang
dilibatkan dalam proses validasi terdiri dari: pakar teknologi pembelajaran,
pakar bidang studi pada mata pelajaran yang sama, pakar evaluasi hasil
belajar.
2) Revisi model berdasarkan masukan dari para pakar pada saat validasi
3) Uji coba terbatas dalam pembelajaran di kelas, sesuai situasi nyata yang akan
dihadapi.
4) Revisi model berdasarkan hasil uji coba
5) Implementasi model pada wilayah yang lebih luas. Selama proses
implementasi tersebut, diuji efektivitas model dan perangkat model yang
dikembangkan. Pengujian efektivitas dapat dilakukan dengan eksperimen
7

atau Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Cara pengujian melalui eksperimen


dilakukan dengan membandingkan hasil belajar pada kelompok pengguna
model dan kelompok yang tidak menggunakan model. Apabila hasil belajar
kelompok pengguna model lebih bagus dari kelompok yang tidak
menggunakan model maka dapat dinyatakan model tersebut efektif. Cara
pengujian efektivitas pembelajaran melalui PTK dapat dilakukan dengan cara
mengukur kompetensi sebelum dan sesudah pembelajaran. Apabila
kompetensi sesudah pembelajaran lebih baik dari sebelumnya, maka model
pembelajaran yang dikembangkan juga dinyatakan efektif.
d. Disseminate (Penyebarluasan)

Thiagarajan membagi tahap dissemination dalam tiga kegiatan yaitu:


validation testing, packaging, diffusion and adoption. Pada tahap validation
testing, produk yang sudah direvisi ada tahap pengembangan kemudian
diimplementasikan pada sasaran yang sesungguhnya. Pada saat implementasi
dilakukan pengukuran ketercapaian tujuan. Pengukuran ini dilakukan untuk
mengetahui efektivitas produk yang dikembangkan. Setelah produk
diimplementasikan, pengembang perlu melihat hasil pencapaian tujuan. Tujuan
yang belum dapat tercapai perlu dijelaskan solusinya sehingga tidak terulang
kesalahan yang sama setelah produk disebarluaskan. Kegiatan terakhir dari tahap
pengembangan adalah melakukan packaging (pengemasan), diffusion and
adoption. Tahap ini dilakukan supaya produk dapat dimanfaatkan oleh orang lain.
Pengemasan model pembelajaran dapat dilakukan dengan mencetak buku
panduan penerapan model pembelajaran. Setelah buku dicetak, buku tersebut
disebarluaskan supaya dapat diserap (diffusi) atau dipahami orang lain dan
digunakan (diadopsi) pada kelas mereka.

Pada konteks pengembangan bahan ajar, tahap dissemination dilakukan


dengan cara sosialisasi bahan ajar melalui pendistribusian dalam jumlah terbatas
kepada guru dan peserta didik. Pendistribusian ini dimaksudkan untuk
memperoleh respons, umpan balik terhadap bahan ajar yang telah dikembangkan.
Apabila respon sasaran pengguna bahan ajar sudah baik maka baru dilakukan
pencetakan dalam jumlah banyak dan pemasaran supaya bahan ajar itu digunakan
oleh sasaran yang lebih luas.

2. Model ADDIE
ADDIE merupakan singkatan dari Analysis, Design, Development or
Production, Implementation or Delivery and Evaluations. Menurut langkah-langkah
pengembangan produk, model penelitian dan pengembangan ini lebih rasional dan
lebih lengkap daripada model 4D. Model ini memiliki kesamaan dengan model
pengembangan sistem basisdata yang telah diuraikan sebelumnya. Inti kegiatan pada
setiap tahap pengembangan juga hampir sama. Oleh sebab itu, model ini dapat
8

digunakan untuk berbagai macam bentuk pengembangan produk seperti model,


strategi pembelajaran, metode pembelajaran, media dan bahan ajar.
Model ADDIE dikembangkan oleh Dick and Carry (1996) untuk merancang
sistem pembelajaran. Berikut ini diberikan contoh kegiatan pada setiap tahap
pengembangan model atau metode pembelajaran, yaitu:
a. Analysis
Pada tahap ini, kegiatan utama adalah menganalisis perlunya
pengembangan model/metode pembelajaran baru dan menganalisis kelayakan
dan syarat-syarat pengembangan model/metode pembelajaran baru.
Pengembangan metode pembelajaran baru diawali oleh adanya masalah dalam
model/metode pembelajaran yang sudah diterapkan. Masalah dapat terjadi karena
model/metode pembelajaran yang ada sekarang sudah tidak relevan dengan
kebutuhan sasaran, lingkungan belajar, teknologi, karakteristik peserta didik, dsb.
Setelah analisis masalah perlunya pengembangan model/metode
pembelajaran baru, peneliti juga perlu menganalisis kelayakan dan syarat-syarat
pengembangan model/metode pembelajaran baru tersebut. Proses analisis
misalnya dilakukan dengan menjawab beberapa pertanyaan berikut ini: (1) apakah
model/metode baru mampu mengatasi masalah pembelajaran yang dihadapi, (2)
apakah model/metode baru mendapat dukungan fasilitas untuk diterapkan; (3)
apakah dosen atau guru mampu menerapkan model/metode pembelajaran baru
tersebut Dalam analisis ini, jangan sampai terjadi ada rancangan model/metode
yang bagus tetapi tidak dapat diterapkan karena beberapa keterbatasan misalnya
saja tidak ada alat atau guru tidak mampu untuk melaksanakannya. Analisis
metode pembelajaran baru perlu dilakukan untuk mengetahui kelayakan apabila
metode pembelajaran tersebut diterapkan.
b. Design
Dalam perancangan model/metode pembelajaran, tahap desain memiliki
kemiripan dengan merancang kegiatan belajar mengajar. Kegiatan ini merupakan
proses sistematik yang dimulai dari menetapkan tujuan belajar, merancang
skenario atau kegiatan belajar mengajar, merancang perangkat pembelajaran,
merancang materi pembelajaran dan alat evaluasi hasil belajar. Rancangan
model/metode pembelajaran ini masih bersifat konseptual dan akan mendasari
proses pengembangan berikutnya.
c. Development
Development dalam model ADDIE berisi kegiatan realisasi rancangan
produk. Dalam tahap desain, telah disusun kerangka konseptual penerapan
model/metode pembelajaran baru. Dalam tahap pengembangan, kerangka yang
masih konseptual tersebut direalisasikan menjadi produk yang siap
diimplementasikan. Sebagai contoh, apabila pada tahap design telah dirancang
penggunaan model/metode baru yang masih konseptual, maka pada tahap
9

pengembangan disiapkan atau dibuat perangkat pembelajaran dengan


model/metode baru tersebut seperti RPP, media dan materi pelajaran.
d. Implementation
Pada tahap ini diimplementasikan rancangan dan metode yang telah
dikembangkan pada situasi yang nyata yaitu di kelas. Selama implementasi,
rancangan model/metode yang telah dikembangkan diterapkan pada kondisi yang
sebenarnya. Materi disampaikan sesuai dengan model/metode baru yang
dikembangkan. Setelah penerapan metode kemudian dilakukan evaluasi awal
untuk memberi umpan balik pada penerapan model/metode berikutnya
e. Evaluation
Evaluasi dilakukan dalam dua bentuk yaitu evaluasi formatif dan sumatif.
Evaluation formatif dilaksanakan pada setiap akhir tatap muka (mingguan)
sedangkan evaluasi sumatif dilakukan setelah kegiatan berakhir secara
keseluruhan (semester). Evaluasi sumatif mengukur kompetensi akhir dari mata
pelajaran atau tujuan pembelajaran yang ingin dicapai. Hasil evaluasi digunakan
untuk memberi umpan balik kepada pihak pengguna model/metode. Revisi dibuat
sesuai dengan hasil evaluasi atau kebutuhan yang belum dapat dipenuhi oleh
model/metode baru tersebut.

Tabel Rangkuman Aktivitas Model ADDIE

Tahap Aktivitas
Pengembangan
Analisis Pra perencanaan: pemikiran tentang produk (model,
metode, media, bahan ajar) baru yang akan
dikembangkan.
Mengidentifikasi produk yang sesuai dengan sasaran
peserta didik, tujuan belajar, mengidentifikasi
isi/materi pembelajaran, mengidentifikasi lingkungan
belajar dan strategi penyampaian dalam pembelajaran
Desain Merancang konsep produk baru di atas kertas.
Merancang perangkat pengembangan produk baru.
Rancangan ditulis untuk masing-masing unit
pembelajaran. Petunjuk penerapan desain atau
pembuatan produk ditulis secara rinci
Mengembangkan Mengembangkan perangkat produk (materi/bahan dan
alat) yang diperlukan dalam pengembangan. Berbasis
pada hasil rancangan produk, pada tahap ini mulai
dibuat produknya (materi/bahan, alat) yang sesuai
dengan struktur model. Membuat instrumen untuk
mengukur kinerja produk
Implementasi Memulai menggunakan produk baru dalam
pembelajaran atau lingkungan yang nyata. Melihat
kembali tujuan-tujuan pengembangan produk, interaksi
10

antar peserta didik serta


menanyakan umpan balik awal proses evaluasi
Evaluasi Melihat kembali dampak pembelajaran dengan cara
yang kritis. Mengukur ketercapaian tujuan
pengembangan
produk. Mengukur apa yang telah mampu dicapai oleh
sasaran. Mencari informasi apa saja yang dapat
membuat peserta didik mencapai hasil dengan baik.

Contoh-contoh model R&D yang telah dipaparkan pada bagian ini


memberi gambaran bahwa model R&D memiliki tujuan yang sama yaitu
menghasilkan sebuah produk yang teruji secara empiris. Untuk menghasilkan
produk tersebut, maka perlu ada tahapan kegiatan yang terdokumentasi dan
terukur pada semua tahap pengembangan.

R&D membutuhkan waktu yang relatif panjang. Peneliti sering membagi


kegiatan penelitian dalam beberapa tahap. Pada umumnya, kegiatan penelitian
tahun pertama dirancang untuk mengidentifikasi masalah dan merancang produk.
Pada tahun berikutnya, kegiatan penelitian dilakukan untuk
mengimplementasikan rancangan produk pada pengguna. Proses penelitian yang
panjang tersebut tentu saja membutuhkan berbagai jenis data, sumber data dan
metode analisis data yang berbeda-beda. Peneliti dituntut mampu
mengaplikasikan pengetahuan dasar tentang metode penelitian untuk dapat
mengatasi masalah pada saat proses pengembangan berlangsung.

B. Model Pembelajaran Inovatif


Gunter et al (1990:67) mendefinisikan an instructional model is a step-by-step
procedure that leads to specific learning outcomes. Joyce & Weil (1980) mendefinisikan
model pembelajaran sebagai kerangka konseptual yang digunakan sebagai pedoman
dalam melakukan pembelajaran. Dengan demikian, model pembelajaran merupakan
kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam
mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar. Jadi model
pembelajaran cenderung preskriptif, yang relatif sulit dibedakan dengan strategi
pembelajaran. An instructional strategy is a method for delivering instruction that is
intended to help students achieve a learning objective (Burden & Byrd, 1999:85).
Selain memperhatikan rasional teoretik, tujuan, dan hasil yang ingin dicapai,
model pembelajaran memiliki lima unsur dasar (Joyce & Weil (1980), yaitu (1) syntax,
yaitu langkah-langkah operasional pembelajaran, (2) social system, adalah suasana dan
norma yang berlaku dalam pembelajaran, (3) principles of reaction, menggambarkan
bagaimana seharusnya guru memandang, memperlakukan, dan merespon siswa, (4)
support system, segala sarana, bahan, alat, atau lingkungan belajar yang mendukung
11

pembelajaran, dan (5) instructional dan nurturant effects—hasil belajar yang diperoleh
langsung berdasarkan tujuan yang disasar (instructional effects) dan hasil belajar di luar
yang disasar (nurturant effects).

Berikut lima contoh model pembelajaran inofatif, yaitu: model reasoning and
problem solving, model inquiry training, model problem-based instruction, model
pembelajaran perubahan konseptual, dan model group investigation.

a. Model Reasoning and Problem Solving


Di abad pengetahuan ini, isu mengenai perubahan paradigma pendidikan telah
gencar didengungkan, baik yang menyangkut content maupun pedagogy. Perubahan
tersebut meliputi kurikulum, pembelajaran, dan asesmen yang komprehensif (Krulik
& Rudnick, 1996). Perubahan tersebut merekomendasikan model reasoning and
problem solving sebagai alternatif pembelajaran yang konstruktif. Rasionalnya,
bahwa kemampuan reasoning and problem solving merupakan keterampilan utama
yang harus dimiliki siswa ketika mereka meninggalkan kelas untuk memasuki dan
melakukan aktivitas di dunia nyata.
Reasoning merupakan bagian berpikir yang berada di atas level memanggil
(retensi), yang meliputi: basic thinking, critical thinking, dan creative thinking.
Termasuk basic thinking adalah kemampuan memahami konsep. Kemampuan-
kemapuan critical thinking adalah menguji, menghubungkan, dan mengevaluasi
aspek-aspek yang fokus pada masalah, mengumpulkan dan mengorganisasi informasi,
memvalidasi dan menganalisis informasi, mengingat dan mengasosiasikan informasi
yang dipelajari sebelumnya, menentukan jawaban yang rasional, melukiskan
kesimpulan yang valid, dan melakukan analisis dan refleksi. Kemampuan-
kemampuan creative thinking adalah menghasilkan produk orisinil, efektif, dan
kompleks, inventif, pensintesis, pembangkit, dan penerap ide.
Problem adalah suatu situasi yang tak jelas jalan pemecahannya yang
mengkonfrontasikan individu atau kelompok untuk menemukan jawaban dan problem
solving adalah upaya individu atau kelompok untuk menemukan jawaban berdasarkan
pengetahuan, pemahaman, keterampilan yang telah dimiliki sebelumnya dalam
rangka memenuhi tuntutan situasi yang tak lumrah tersebut (Krulik & Rudnick,
1996). Jadi aktivitas problem solving diawali dengan konfrontasi dan berakhir apabila
sebuah jawaban telah diperoleh sesuai dengan kondisi masalah. Kemampuan
pemecahan masalah dapat diwujudkan melalui kemampuan reasoning.
Model reasoning and problem solving dalam pembelajaran memiliki lima langkah
pembelajaran (Krulik & Rudnick, 1996), yaitu: (1) membaca dan berpikir
(mengidentifikasi fakta dan masalah, memvisualisasikan situasi, mendeskripsikan
seting pemecahan, (2) mengeksplorasi dan merencanakan (pengorganisasian
informasi, melukiskan diagram pemecahan, membuat tabel, grafik, atau gambar), (3)
menseleksi strategi (menetapkan pola, menguji pola, simulasi atau eksperimen,
12

reduksi atau ekspansi, deduksi logis, menulis persamaan), (4) menemukan jawaban
(mengestimasi, menggunakan keterampilan komputasi, aljabar, dan geometri), (5)
refleksi dan perluasan (mengoreksi jawaban, menemukan alternatif pemecahan lain,
memperluas konsep dan generalisasi, mendiskusikan pemecahan, memformulasikan
masalah-masalah variatif yang orisinil).
Sistem sosial yang berkembang adalah minimnya peran guru sebagai transmiter
pengetahuan, demokratis, guru dan siswa memiliki status yang sama yaitu
menghadapi masalah, interaksi dilandasi oleh kesepakatan.
Prinsip reaksi yang dikembangkan adalah guru lebih berperan sebagai konselor,
konsultan, sumber kritik yang konstruktif, fasilitator, pemikir tingkat tinggi. Peran
tersebut ditampilkan utamanya dalam proses siswa melakukan aktivitas pemecahan
masalah.
Sarana pembelajaran yang diperlukan adalah berupa materi konfrontatif yang
mampu membangkitkan proses berpikir dasar, kritis, kreatif, berpikir tingkat tinggi,
dan strategi pemecahan masalah non rutin, dan masalah-masalah non rutin yang
menantang siswa untuk melakukan upaya reasoning dan problem solving.
Sebagai dampak pembelajaran dalam model ini adalah pemahaman, keterampilan
berpikir kritis dan kreatif, kemampuan pemecahan masalah, kemampuan komunikasi,
keterampilan mengunakan pengetahuan secara bermakna. Sedangkan dampak
pengiringnya adalah hakikat tentatif krilmuan, keterampilan proses keilmuan,
otonomi dan kebebasan siswa, toleransi terhadap ketidakpastian dan masalah-masalah
non rutin.
b. Model Inquiry Training
Untuk model ini, terdapat tiga prinsip kunci, yaitu pengetahuan bersifat tentatif,
manusia memiliki sifat ingin tahu yang alamiah, dan manusia mengembangkan
indivuality secara mandiri. Prinsip pertama menghendaki proses penelitian secara
berkelanjutan, prinsip kedua mengindikasikan pentingkan siswa melakukan
eksplorasi, dan yang ketiga— kemandirian, akan bermuara pada pengenalan jati diri
dan sikap ilmiah.
Model inquiry training memiliki lima langkah pembelajaran (Joyce & Weil,
1980), yaitu: (1) menghadapkan masalah (menjelaskan prosedur penelitian,
menyajikan situasi yang saling bertentangan), (2) menemukan masalah (memeriksa
hakikat obyek dan kondisi yang dihadapi, memeriksa tampilnya masalah), (3)
mengkaji data dan eksperimentasi (mengisolasi variabel yang sesuai, merumuskan
hipotesis), (4) mengorganisasikan, merumuskan, dan menjelaskan, dan (5)
menganalisis proses penelitian untuk memperoleh prosedur yang lebih efektif.
Sistem sosial yang mendukung adalah kerjasama, kebebasan intelektual, dan
kesamaan derajat. Dalam proses kerjasama, interaksi siswa harus didorong dan
digalakkan. Lingkungan intelektual ditandai oleh sifat terbuka terhadap berbagai ide
yang relevan. Partisipasi guru dan siswa dalam pembelajaran dilandasi oleh
13

paradigma persamaan derajat dalam mengakomodasikan segala ide yang


berkembang.
Prinsip-prinsip reaksi yang harus dikembangkan adalah: pengajuan pertanyaan
yang jelas dan lugas, menyediakan kesempatan kepada siswa untuk memperbaiki
pertanyaan, menunjukkan butir-butir yang kurang sahih, menyediakan bimbingan
tentang teori yang digunakan, menyediakan suasana kebebasan intelektual,
menyediakan dorongan dan dukungan atas interaksi, hasil eksplorasi,formulasi, dan
generalisasi siswa.
Sarana pembelajaran yang diperlukan adalah berupa materi konfrontatif yang
mampu membangkitkan proses intelektual, strategi penelitian, dan masalah yang
menantang siswa untuk melakukan penelitian. Sebagai dampak pembelajaran dalam
model ini adalah strategi penelitian dan semangat kreatif. Sedangkan dampak
pengiringnya adalah hakikat tentatif krilmuan, keterampilan proses keilmuan,
otonomi siswa, toleransi terhadap ketidakpastian dan masalah-masalah non rutin.
c. Model Problem-Based Instruction
Problem-based instruction adalah model pembelajaran yang berlandaskan paham
konstruktivistik yang mengakomodasi keterlibatan siswa dalam belajar dan
pemecahan masalah otentik (Arends et al., 2001). Dalam pemrolehan informasi dan
pengembangan pemahaman tentang topik-topik, siswa belajar bagaimana
mengkonstruksi kerangka masalah, mengorganisasikan dan menginvestigasi masalah,
mengumpulkan dan menganalisis data, menyusun fakta, mengkonstruksi argumentasi
mengenai pemecahan masalah, bekerja secara individual atau kolaborasi dalam
pemecahan masalah.
Model problem-based instruction memiliki lima langkah pembelajaran (Arend et
al., 2001), yaitu: (1) guru mendefisikan atau mempresentasikan masalah atau isu yang
berkaitan (masalah bisa untuk satu unit pelajaran atau lebih, bisa untuk pertemuan
satu, dua, atau tiga minggu, bisa berasal dari hasil seleksi guru atau dari eksplorasi
siswa), (2) guru membantu siswa mengklarifikasi masalah dan menentukan
bagaimana masalah itu diinvestigasi (investigasi melibatkan sumber-sumber belajar,
informasi, dan data yang variatif, melakukan surve dan pengukuran), (3) guru
membantu siswa menciptakan makna terkait dengan hasil pemecahan masalah yang
akan dilaporkan (bagaimana mereka memecahkan masalah dan apa rasionalnya), (4)
pengorganisasian laporan (makalah, laporan lisan, model, program komputer, dan
lain-lain), dan (5) presentasi (dalam kelas melibatkan semua siswa, guru, bila perlu
melibatkan administator dan anggota masyarakat).
Sistem sosial yang mendukung model ini adalah: kedekatan guru dengan siswa
dalam proses teacher-asisted instruction, minimnya peran guru sebagai transmiter
pengetahuan, interaksi sosial yang efektif, latihan investigasi masalah kompleks.
14

Prinsip reaksi yang dapat dikembangkan adalah: peranan guru sebagai


pembimbing dan negosiator. Peran-peran tersebut dapat ditampilkan secara lisan
selama proses pendefinisian dan pengklarifikasian masalah.
Sarana pendukung model pembelajaran ini adalah: lembaran kerja siswa, bahan
ajar, panduan bahan ajar untuk siswa dan untuk guru, artikel, jurnal, kliping, peralatan
demonstrasi atau eksperimen yang sesuai, model analogi, meja dan korsi yang mudah
dimobilisasi atau ruangan kelas yang sudah ditata untuk itu.
Dampak pembelajaran adalah pemahaman tentang kaitan pengetahuan dengan
dunia nyata, dan bagaimana menggunakan pengetahuan dalam pemecahan masalah
kompleks. Dampak pengiringnya adalah mempercepat pengembangan self-regulated
learning, menciptakan lingkungan kelas yang demokratis, dan efektif dalam
mengatasi keragaman siswa.
d. Model Pembelajaran Perubahan Konseptual
Pengetahuan yang telah dimiliki oleh seseorang sesungguhnya berasal dari
pengetahuan yang secara spontan diperoleh dari interaksinya dengan lingkungan.
Sementara pengetahuan baru dapat bersumber dari intervensi di sekolah yang
keduanya bisa konflik, kongruen, atau masing-masing berdiri sendiri. Dalam kondisi
konflik kognitif, siswa dihadapkan pada tiga pilihan, yaitu: (1) mempertahankan
intuisinya semula, (2) merevisi sebagian intuisinya melalui proses asimilasi, dan (3)
merubah pandangannya yang bersifat intuisi tersebut dan mengakomodasikan
pengetahuan baru. Perubahan konseptual terjadi ketika siswa memutuskan pada
pilihan yang ketiga. Agar terjadi proses perubahan konseptual, belajar melibatkan
pembangkitan dan restrukturisasi konsepsi-konsepsi yang dibawa oleh siswa sebelum
pembelajaran (Brook & Brook, 1993). Ini berarti bahwa mengajar bukan melakukan
transmisi pengetahuan tetapi memfasilitasi dan memediasi agar terjadi proses
negosiasi makna menuju pada proses perubahan konseptual (Hynd, et al,. 1994).
Proses negosiasi makna tidak hanya terjadi atas aktivitas individu secara perorangan,
tetapi juga muncul dari interaksi individu dengan orang lain melalui peer mediated
instruction. Costa (1999:27) menyatakan meaning making is not just an individual
operation, the individual interacts with others to construct shared knowledge.
Model pembelajaran perubahan konseptual memiliki enam langkah pembelajaran
(Santyasa, 2004), yaitu: (1) Sajian masalah konseptual dan kontekstual, (2)
konfrontasi miskonsepsi terkait dengan masalah-masalah tersebut, (3) konfrontasi
sangkalan berikut strategi-strategi demonstrasi, analogi, atau contoh-contoh
tandingan, (4) konfrontasi pembuktian konsep dan prinsip secara ilmiah, (5)
konfrontasi materi dan contoh-contoh kontekstual, (6) konfrontasi pertanyaan-
pertanyaan untuk memperluas pemahaman dan penerapan pengetahuan secara
bermakna.
15

Sistem sosial yang mendukung model ini adalah: kedekatan guru sebagai teman
belajar siswa, minimnya peran guru sebagai transmiter pengetahuan, interaksi sosial
yang efektif, latihan menjalani learning to be.
Prinsip reaksi yang dapat dikembangkan adalah: peranan guru sebagai fasilitator,
negosiator, konfrontator. Peran-peran tersebut dapat ditampilkan secara lisan atau
tertulis melalui pertanyaan-pertanyaan resitasi dan konstruksi. Pertanyaan resitasi
bertujuan memberi peluang kepada siswa memangil pengetahuan yang telah dimiliki
dan pertanyaan konstruksi bertujuan memfasilitasi, menegosiasi, dan
mengkonfrontasi siswa untuk mengkonstruksi pengetahuan baru.
Sarana pendukung model pembelajaran ini adalah: lembaran kerja siswa, bahan
ajar, panduan bahan ajar untuk siswa dan untuk guru, peralatan demonstrasi atau
eksperimen yang sesuai, model analogi, meja dan korsi yang mudah dimobilisasi atau
ruangan kelas yang sudah ditata untuk itu.
Dampak pembelajaran dari model ini adalah: sikap positif terhadap belajar,
pemahaman secara mendalam, keterampilan penerapan pengetahuan yang variatif.
Dampak pengiringnya adalah: pengenalan jati diri, kebiasaan belajar dengan bekerja,
perubahan paradigma, kebebasan, penumbuhan kecerdasan inter dan intrapersonal .
e. Model Group Investigation
Ide model pembelajaran geroup investigation bermula dari perpsektif filosofis
terhadap konsep belajar. Untuk dapat belajar, seseorang harus memiliki pasangan atau
teman. Pada tahun 1916, John Dewey, menulis sebuah buku Democracy and
Education (Arends, 1998). Dalam buku itu, Dewey menggagas konsep pendidikan,
bahwa kelas seharusnya merupakan cermin masyarakat dan berfungsi sebagai
laboratorium untuk belajar tentang kehidupan nyata. Pemikiran Dewey yang utama
tentang pendidikan (Jacob, et al., 1996), adalah: (1) siswa hendaknya aktif, learning
by doing; (2) belajar hendaknya didasari motivasi intrinsik; (3) pengetahuan adalah
berkembang, tidak bersifat tetap; (4) kegiatan belajar hendaknya sesuai dengan
kebutuhan dan minat siswa; (5) pendidikan harus mencakup kegiatan belajar dengan
prinsip saling memahami dan saling menghormati satu sama lain, artinya prosedur
demokratis sangat penting; (6) kegiatan belajar hendaknya berhubungan dengan dunia
nyata.
Gagasan-gagasan Dewey akhirnya diwujudkan dalam model group-investigation
yang kemudian dikembangkan oleh Herbert Thelen. Thelen menyatakan bahwa kelas
hendaknya merupakan miniatur demokrasi yang bertujuan mengkaji masalah-masalah
sosial antar pribadi (Arends, 1998). Model group-investigation memiliki enam
langkah pembelajaran (Slavin, 1995), yaitu: (1) grouping (menetapkan jumlah
anggota kelompok, menentukan sumber, memilih topik, merumuskan permasalahan),
(2) planning (menetapkan apa yang akan dipelajari, bagaimana mempelajari, siapa
melakukan apa, apa tujuannya), (3) investigation (saling tukar informasi dan ide,
berdiskusi, klarifikasi, mengumpulkan informasi, menganalisis data, membuat
16

inferensi), (4) organizing (anggota kelompok menulis laporan, merencanakan


presentasi laporan, penentuan penyaji, moderator, dan notulis), (5) presenting (salah
satu kelompok menyajikan, kelompok lain mengamati, mengevaluasi,
mengklarifikasi, mengajukan pertanyaan atau tanggapan), dan (6) evaluating
(masing-masing siswa melakukan koreksi terhadap laporan masing-masing
berdasarkan hasil diskusi kelas, siswa dan guru berkolaborasi mengevaluasi
pembelajaran yang dilakukan, melakukan penilaian hasil belajar yang difokuskan
pada pencapaian pemahaman.
Sistem sosial yang berkembang adalah minimnya arahan guru, demokratis, guru
dan siswa memiliki status yang sama yaitu menghadapi masalah, interaksi dilandasi
oleh kesepakatan. Prinsip reaksi yang dikembangkan adalah guru lebih berperan
sebagai konselor, konsultan, sumber kritik yang konstruktif. Peran tersebut
ditampilkan dalam proses pemecahan masalah, pengelolaan kelas, dan pemaknaan
perseorangan. Peranan guru terkait dengan proses pemecahan masalah berkenaan
dengan kemampuan meneliti apa hakikat dan fokus masalah. Pengelolaan ditampilkan
berkenaan dengan kiat menentukan informasi yang diperlukan dan pengorganisasian
kelompok untuk memperoleh informasi tersebut. Pemaknaan perseorangan berkenaan
dengan inferensi yang diorganisasi oleh kelompok dan bagaimana membedakan
kemampuan perseorangan.
Sarana pendukung model pembelajaran ini adalah: lembaran kerja siswa, bahan
ajar, panduan bahan ajar untuk siswa dan untuk guru, peralatan penelitian yang
sesuai, meja dan korsi yang mudah dimobilisasi atau ruangan kelas yang sudah ditata
untuk itu.
Sebagai dampak pembelajaran adalah pandangan konstruktivistik tentang
pengetahuan, penelitian yang berdisiplin, proses pembelajaran yang efektif,
pemahaman yang mendalam. Sebagai dampak pengiring pembelajaran adalah hormat
terhadap HAM dan komitmen dalam bernegara, kebebasan sebagai siswa,
penumbuhan aspek sosial, interpersonal, dan intrapersonal.
17

BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Model pembelajaran sangat diperlukan untuk memandu proses belajar secara efektif. Model
pembelajaran yang efektif adalah model pembelajaran yang memiliki landasan teoretik yang
humanistik, lentur, adaptif, berorientasi kekinian, memiliki sintak pembelajaran yang sedehana,
mudah dilakukan, dapat mencapai tujuan dan hasil belajar yang disasar.
Model pembelajaran yang dapat diterapkan pada bidang studi hendaknya dikemas koheren
dengan hakikat pendidikan bidang studi tersebut. Namun, secara filosofis tujuan pembelajaran
adalah untuk memfasilitasi siswa dalam penumbuhan dan pengembangan kesadaran belajar,
sehingga mampu melakukan olah pikir, rasa, dan raga dalam memecahkan masalah kehidupan di
dunia nyata. Model-model pembelajaran yang dapat mengakomodasikan tujuan tersebut adalah
yang berlandaskan pada paradigma konstruktivistik sebagai paradigma alternatif.

B. Saran

Anda mungkin juga menyukai