Anda di halaman 1dari 48

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Preeklampsia sampai saat ini masih menjadi masalah yang mengancam dalam

kehamilan, terutama di negara berkembang. Penyakit preeklampsia ini merupakan

penyebab utama kematian maternal di dunia. WHO memperkirakan diseluruh dunia

setiap tahunnya lebih dari 585.000 ibu meninggal pada saat hamil atau bersalin.

Berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia tahun 2012 rata-rata angka

kematian ibu tercatat mencapai 259 kematian per 100.000 kelahiran hidup.

Preeklampsia merupakan penyebab kematian nomor dua di Indonesia1.

Preeklampsia adalah gangguan selama kehamilan yang ditandai dengan

peningkatan tekanan darah dan proteinuria pada usia kehamilan >20 minggu. Pada

penanganan yang tidak tepat Preeklampsia dapat menimbulkan komplikasi yang

serius diantaranya persalinan preterm dan kematian ibu. Kondisi preeklampsia

memberi pengaruh buruk bagi kesehatan janin akibat penurunan perfusi utero

plasenta, hipovolemia, vasospasme, dan kerusakan sel endotel pembuluh darah

plasenta3. Sebuah penelitian juga menemukan bahwa janin dari ibu yang mengalami

preeklampsia, umumnya akan lahir dengan berat badan lahir rendah.4 Bahkan

gangguan ini dapat berakibat kematian bagi janin.3 Pada maternal sendiri, akan

timbul dampak buruk pada berbagai organ yang diakibatkan oleh vasospasme dan

iskemia, terutama pada sistem kardiovaskuler, hemodinamik, hematologi, ginjal,

hepar, otak dan sebagainya.5


2

Komplikasi pada ibu yang mengancam jiwa pada preeklampsia yaitu ablasio

plasenta, gagal ginjal akut, hemolysis, elevated liver enzymes and low platelet count

(HELLP syndrome), konvulsi, edema pulmonar. Dampak dari hasil luaran janin

pada kehamilan dengan preeklampsia di antaranya prematuritas yang dapat dinilai

berdasarkan uji Dubowitz, asfiksia berdasarkan penilaian APGAR, small for

gestational age (SGA) menurut grafik Lubchencho, dan stillbirth.6-8

Berdasarkan data RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado, angka kejadian pre-

eklampsia masih tergolong cukup tinggi. Pada tahun 2013 ditemukan 657 kasus

preeklamsia (PER=452, PEB=205) dari 5.258 persalinan dan tahun 2014 sebanyak

201 kasus (PER=60, PEB=109, super-imposed PE =32) dari 3347 persalinan.9,10

Berdasarkan latar belakang tersebut maka peneliti tertarik untuk melakukan

studi mengenai “Hubungan Cara Persalinan Dan Outcome Fetomaternal Pada

Pasien Preeklampsia Berat” dengan tujuan memberikan informasi tentang kasus

preeklampsia berat dengan cara persalinan dan luaran fetomaternal sebagai bahan

evaluasi untuk menekan angka kematian ibu dan bayi.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan, maka dapat disusun

rumusan masalah Apakah cara persalinan pada ibu preeklampsia berat berhubungan

dengan outcome fetomaternal ?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan Umum

Mengetahui hubungan antara cara persalinan dengan outcome fetomaternal

pada ibu dengan preeklampsia berat.


3

1.3.2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui cara persalinan pada preeklampsia berat.

b. Untuk mengetahui lama perawatan post partum ibu dengan preeklampsia berat.

c. Untuk mengetahui ruang perawatan post partum ibu dengan preeklampsia berat.

d. Untuk mengetahui tekanan darah ibu dengan preeklampsia berat saat pulang.

e. Untuk mengetahui apgar score bayi baru lahir dari ibu dengan preeklampsia berat.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1. Bagi masyarakat

Bagi masyarakat untuk mengetahui tanda dan bahaya dari preeklampsia

berat pada kehamilan sehingga dapat melakukan ANC lebih rutin dan teratur.

1.4.2. Bagi tenaga kesehatan

Hasil penelitian dapat digunakan sebagai bahan kajian tambahan mengenai

cara persalinan yang dilakukan pada preeklampsia berat dengan melihat outcome

fetomaternal.

1.4.3. Bagi RSUD W Z Johannes

Sebagai bahan informasi kepada pihak rumah sakit mengenai hubungan cara

persalinan dengan outcome fetomaternal pada preeklampsia berat sehingga dapat

dijadikan bahan masukan dalam merencanakan, menyusun, dan mengevaluasi

program.

1.4.4. Dinas Kesehatan Kota Kupang

Sebagai bahan pertimbangan untuk membuat kebijaksanaan atas dasar

penelitian ini atau sebagai masukan-masukan dalam rangka menurunkan angka

kesakitan dan kematian ibu dan bayi di kota Kupang.


4

1.4.5. Bagi Peneliti

Sebagai sarana pengembangan ilmu dan masukan untuk penelitian

selanjutnya.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

1.5.1. Ruang Lingkup Tempat

Tempat penelitian yaitu Rumah Sakit Umum Daerah W.Z. Johannes

Kupang.

1.5.2. Ruang Lingkup Waktu

Penelitian ini dilaksanakan bulan Oktober 2019 dimana diambil data tahun

2018.
5

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi dan Klasifikasi

Hipertensi adalah tekanan darah sekurang-kurangnya 140 mmHg sistolik


atau 90 mmHg diastolik pada dua kali pemeriksaan berjarak 4-6 jam pada wanita
yang sebelumnya normotensi. Derajat hipertensi berdasarkan tekanan darah
diastolik pada saat datang, dibagi menjadi:

1. Ringan: tekanan darah diastolik 90-99 mmHg


2. Sedang: tekanan darah diastolik 100-109 mmHg
3. Berat: tekanan darah diastolik lebih besar sama dengan 110 mmHg atau
tekanan darah sekurang-kurangnya 160 mmHg sistolik atau 110 mmHg
diastolik.11
Klasifikasi hipertensi dalam kehamilan yang dipakai di Indonesia berdasarkan
Report of the National High Blood Pressure Education Program Working Group on
High Blood Pressure in Pregnancy yaitu11:

1. Hipertensi Kronik
Hipertensi yang didapatkan sebelum kehamilan, di bawah umur 20 minggu
kehamilan, dan hipertensi tidak menghilang setelah 12 minggu pasca
persalinan.
2. Preeklampsi – eklampsi
Preeklampsi adalah hipertensi yang timbul setelah 20 minggu kehamilan
disertai dengan proteinuria. Eklampsi adalah preeklampsia yang disertai
dengan kejang dan/atau koma.
3. Hipertensi kronik dengan superimposed preeklampsi
Hipertensi kronik disertai tanda-tanda pre-eklampsia atau hipertensi kronik
disertai proteinuria.
6

4. Hipertensi gestasional
Disebut juga transient hypertension, hipertensi yang timbul pada kehamilan
tanpa disertai proteinuria dan hipertensi menghilang setelah 3 bulan
pascapersalinan atau kehamilan dengan tanda-tanda preeklampsia tetapi
tanpa proteinuria.
Preeklampsi merupakan penyulit kehamilan yang akut dan dapat terjadi
ante, intra, dan postpartum. Berdasarkan waktu terjadinya preeklampsia dapat
terjadi pada awal kehamilan yakni pada <34 minggu usia gestasi (early onset pre-
eclampsia) atau setelah usia gestasi 34 minggu (late onset pre-eclampsia).12 Dari
gejala-gejala klinik preeklampsia dapat dibagi menjadi preeklampsia ringan dan
berat13.

1. Preeklamsi Ringan13
- Tekanan darah ≥ 140/90 mmHg pada usia kehamilan > 20 minggu
- Tes celup urin menunjukkan proteinuria 1+ atau pemeriksaan
protein kuantitatif menunjukkan hasil >300 mg/24 jam
2. Preeklamsi Berat
- Tekanan darah >160/110 mmHg pada usia kehamilan >20 minggu
- Tes celup urin menunjukkan proteinuria =2+ atau pemeriksaan
protein kuantitatif menunjukkan hasil >5 g/24 jam
- Atau disertai keterlibatan organ lain:
a. Trombositopenia (<100.000sel/uL) hemolisis mikroangiopati
b. Peningkatan SGOT/SGPT, nyeri abdomen kuadran kanan atas
c. Sakit kepala, skotoma penglihatan
d. Pertumbuhan janin terhambat, oligohidramnion
e. Edema paru dan/atau gagal jantung kongestif
f. Oliguria (<500ml/24jam), kreatinin >1,2 mg/dl
7

Preeklampsia berat dibagi menjadi:

1. Preeklampsia berat dengan impending eklampsi, bila preeklampsia disertai


gejala-gejala subjektif berupa nyeri kepala hebat, gangguan visus, mual dan
muntah, nyeri epigastrium, dan kenaikan progresif tekanan darah.
2. Preeklampsia berat tanpa impending eklampsia
2.2 Epidemiologi
Preeklampsi merupakan kelainan spesifik akibat kehamilan yang diderita 3-
5% ibu hamil seluruh dunia. Kurang lebih 70% wanita yang didiagnosis hipertensi
dalam kehamilan merupakan preeklampsi. WHO memperkirakan kasus
preeklampsi tujuh kali lebih tinggi di negara berkembang daripada di negara maju.
Prevalensi preeklampsi di negara maju 1,3%-6%, sedangkan di negara berkembang
adalah 1,8-18%. Hal ini mungkin disebabkan oleh akses terhadap pelayanan
kesehatan yang masih sulit dijangkau di negara berkembang. Insiden preeklampsi
di Indonesia sendiri adalah 128.273/tahun atau sekitar 5,3%.14

2.3 Faktor Risiko


Beberapa faktor risiko yang dapat dinilai pada kunjungan antenatal pertama
pada anamnesis atau pemeriksaan fisik:

 Usia
Duckitt melaporkan peningkatan risiko preeklampsia hampir 2 (dua) kali

lipat pada wanita hamil berusia 40 tahun atau lebih baik pada primipara (RR

1,68 95%CI 1,23 – 2,29), maupun multipara (RR 1,96 95%CI 1,34 – 2,87).

Usia muda tidak meningkatkan risiko preeklampsia secara bermakna.

(Evidence II, 2004). Robillard, dkk melaporkan bahwa risiko preeklampsia

pada kehamilan kedua meningkat dengan usia ibu (1,3 setiap 5 tahun

pertambahan umur; p<0,0001).14

Menurut Manuaba, salah satu faktor predisposisi kejadian pre-eklampsia


adalah umur yang ekstrim yaitu < 20 dan > 35 tahun yang disebabkan
kehamilan pada usia < 20 tahun adalah kehamilan usia dini memuat resiko
8

yang berat hal ini disebabkan karena emosional ibu belum stabil dan ibu
mudah tegang, secara emosional ketika si ibu mengandung bayinya. Salah
satu dampak resiko kehamilan badalah kombinasi keadaan alat reproduksi
yang belum siap hamil, makin meningkatkan terjadinya resiko dalam bentuk
hipertensi pre-eklampsia atau eklampsia sedangkan pada usia >35 tahun
kemungkinan ibu menderita diabetes gestational, hipertensi dan penyakit
kronis lainnya.15
 Paritas
Duckitt melaporkan nulipara memiliki risiko hampir 3 (tiga) kali lipat (RR
2,91, 95% CI 1,28 – 6,61) (Evidence II, 2004).14
Berdasarkan hasil penelitian Langelo Wahyuny dengan uji odds ratio

diperoleh nilai OR 3,42 dengan tingkat kepercayaan (CI) 95% yaitu 1,73-

6,77. Karena nilai lower limit dan upper limit tidak mencakup nilai 1 dan

didukung oleh nilai p value sebesar 0,00 (0,00< 0,05), maka secara statistik

dikatakan bermakna sehingga penelitian menunjukkan adanya hubungan

yang bermakna antara paritas dengan kejadian preeklampsia.16

 Kehamilan pertama oleh pasangan baru


Kehamilan pertama oleh pasangan yang baru dianggap sebagai faktor risiko,
walaupun bukan nulipara karena risiko meningkat pada wanita yang
memiliki paparan rendah terhadap sperma.14
 Jarak antar kehamilan
Studi yang melibatkan 760.901 wanita di Norwegia, memperlihatkan bahwa
wanita multipara dengan jarak kehamilan sebelumnya 10 tahun atau lebih
memiliki risiko preeklampsia hampir sama dengan nulipara. Robillard, dkk
melaporkan bahwa risiko preeklampsia semakin meningkat sesuai dengan
lamanya interval dengan kehamilan pertama (1,5 setiap 5 tahun jarak
kehamilan pertama dan kedua; p<0,0001).14
 Riwayat preeklampsia sebelumnya
9

Riwayat preeklampsia pada kehamilan sebelumnya merupakan faktor risiko


utama. Menurut Duckit risiko meningkat hingga 7 kali lipat (RR 7,19
95%CI 5,85 – 8,83). Kehamilan pada wanita dengan riwayat preeklampsia
sebelumnya berkaitan dengan tingginya kejadian preeklampsia berat,
preeklampsia onset dini, dan dampak perinatal yang buruk.14
 Riwayat keluarga preeklampsia
Riwayat preeklampsia pada keluarga juga meningkatkan risiko hampir 3
(tiga) kali lipat (RR 2,90 95%CI 1,70 – 4,93). Adanya riwayat preeklampsia
pada ibu meningkatkan risiko sebanyak 3.6 kali lipat (RR 3,6 95% CI 1,49
– 8,67).14
 Kehamilan multipel
Sebuah studi yang melibatkan 53.028 wanita hamil menunjukkan,
kehamilan kembar meningkatkan risiko preeklampsia hampir 3 (tiga) kali
lipat (RR 2.93 95%CI 2,04 – 4,21). Analisa lebih lanjut menunjukkan
kehamilan triplet memiliki risiko hampir 3 kali lipat dibandingkan
kehamilan duplet (RR 2,83; 95%CI 1.25 - 6.40). Sibai dkk menyimpulkan
bahwa kehamilan ganda memiliki tingkat risiko yang lebih tinggi untuk
menjadi preeklampsia dibandingkan kehamilan normal (RR 2,62; 95% CI,
2,03– 3,38).14
 Donor oosit, donor sperma dan donor embrio
Kehamilan setelah inseminasi donor sperma, donor oosit atau donor embrio
juga dikatakan sebagai faktor risiko. Satu hipotesis yang populer penyebab
preeklampsia adalah maladaptasi imun. Mekanisme dibalik efek protektif
dari paparan sperma masih belum diketahui. Data menunjukkan adanya
peningkatan frekuensi preeklampsia setelah inseminasi donor sperma dan
oosit, frekuensi preeklampsia yang tinggi pada kehamilan remaja, serta
makin mengecilnya kemungkinan terjadinya preeklampsia pada wanita
hamil dari pasangan yang sama dalam jangka waktu yang lebih lama.
Walaupun preeklampsia dipertimbangkan sebagai penyakit pada kehamilan
pertama, frekuensi preeklampsia menurun drastis pada kehamilan
berikutnya apabila kehamilan pertama tidak mengalami preeklampsia.
10

Namun, efek protektif dari multiparitas menurun apabila berganti


pasangan.14
Robillard dkk melaporkan adanya peningkatan risiko preeklampsia
sebanyak 2 (dua) kali pada wanita dengan pasangan yang pernah memiliki
istri dengan riwayat preeklampsia (OR 1,8; 95 % CI 95%, 2-2,6).14
 Obesitas sebelum hamil dan Indeks Massa Tubuh (IMT) saat pertama kali
ANC
Obesitas merupakan faktor risiko preeklampsia dan risiko semakin besar
dengan semakin besarnya IMT. Obesitas sangat berhubungan dengan
resistensi insulin, yang juga merupakan faktor risiko preeklampsia. Obesitas
meningkatkan risiko preeklampsia sebanyak 2,47 kali lipat (95% CI, 1,66 –
3,67), sedangkan wanita dengan IMT sebelum hamil > 35 dibandingkan
dengan IMT 19-27 memiliki risiko preeklampsia 4 kali lipat (95% CI, 3,52-
5,49). Pada studi kohort yang dilakukan oleh Conde-Agudelo dan Belizan
pada 878.680 kehamilan, ditemukan fakta bahwa frekuensi preeklampsia
pada kehamilan di populasi wanita yang kurus (BMI< 19,8) adalah 2,6%
dibandingkan 10,1% pada populasi wanita yang gemuk (BMI > 29,0).14
 DMTI (Diabetes Mellitus Tergantung Insulin)
Kemungkinan preeklampsia meningkat hampir 4 (empat) kali lipat bila
diabetes terjadi sebelum hamil (RR 3.56; 95% CI 2,54 – 4,99) (n=56.968).14
 Penyakit Ginjal
Semua studi yang diulas oleh Duckitt risiko preeklampsia meningkat
sebanding dengan keparahan penyakit pada wanita dengan penyakit
ginjal.14
 Sindrom antifosfolipid
Dari 2 (dua) studi kasus kontrol yang diulas oleh Duckitt menunjukkan
adanya antibodi antifosfolipid (antibodi antikardiolipin, antikoagulan lupus
atau keduanya) meningkatkan risiko preeklampsia hampir 10 kali lipat (RR
9,72 ; 95% CI 4,34 – 21,75).14
 Hipertensi kronik
11

Chappell dkk meneliti 861 wanita dengan hipertensi kronik, didapatkan


insiden preeklampsia superimposed sebesar 22% (n=180) dan hampir
setengahnya adalah preeklampsia onset dini (= 34 minggu) dengan keluaran
maternal dan perinatal yang lebih buruk.14

Tabel 1. Faktor Risiko Preeklampsia


2.4 Patofisiologi3,12
Penyebab hipertensi dalam kehamilan hingga kini belum diketahui dengan
jelas. Banyak teori telah dikemukakan tentang terjadinya hipertensi dalam
kehamilan, tetapi tidak ada satupun teori tersebut yang dianggap mutlak benar.
Teori-teori yang kini banyak dianut adalah:

 Teori kelainan vaskularisasi plasenta


Pada kehamilan normal, rahim dan plasenta mendapat aliran darah dari
cabang-cabang arteri uterina dan arteri ovarika. Kedua pembuluh darah
tersebut menembus miometrium berupa arteri arkuata yang akan bercabang
menjadi arteri radialis. Arteri radialis menembus endometrium menjadi
arteri basalis dan bercabang menjadi arteri spiralis. Dengan sebab yang
belum jelas, terjadi invasi trofoblas ke dalam lapisan otot arteri spiralis yang
menimbulkan degenerasi lapisan otot tersebut sehingga terjadi dilatasi arteri
12

spiralis. Invasi trofoblas juga memasuki jaringan sekitar arteri spiralis,


sehingga jaringan matriks menjadi gembur dan memudahkan lumen arteri
spiralis mengalami dilatasi. Vasodilatasi arteri spiralis memberi dampak
penurunan tekanan darah, penurunan resistensi vaskulae dan peningkatan
aliran darah uteroplasenta. Akibatnya, aliran darah ke janin cukup banyak
dan perfusi jaringan juga meningkat, sehingga dapat menjamin
pertumbuhan janin dengan baik. Proses tersebut dinamakan “remodeling
arteri spiralis”.

Gambar 1: Uterine spiral artery “unwinds” and becomes a wider, flaccid


tube to accommodate increased blood flow.Uterine spiral artery remains
tightlycoiled, diminishing placental blood flow

Pada hipertensi dalam kehamilan, tidak terjadi invasi sel-sel trofoblas pada
lapisan otot arteri spiralis dan jaringan matriks sekitarnya. Lapisan otot
arteri spiralis menjadi tetap kaku dan keras, sehingga lumen arteri spiralis
tidak memungkinkan terjadi vasodilatasi. Akibatnya terjadi kegagalan
remodeling arteri spiralis, sehingga terjadi hipoksia dan iskemi plasenta.
13

Gambar 2: Diameter rata-rata arteri spiralis pada kehamilan normal ialah


500 mikron, sedangkan pada preeklamsia diameternya ialah 200
mikron.Vasodilatasi arteri spiralis pada kehamilan normal dapat
meningkatkan 10 kali aliran darah ke uteroplasenta.

 Teori iskemia plasenta, radikal bebas, dan disfungsi endotel


Plasenta yang mengalami iskemia dan hipoksia akan menghasilkan oksidan
(radikal bebas), terutama hidroksil yang sangat toksis terhadap endotel
pembuluh darah. Oksidan ini akan mengubah asam lemak tak jenuh pada
membran sel endotel menjadi peroksida lemak yang destruktif terhadap
membran sel, bahkan inti sel. Pada hipertensi dalam kehamilan telah
terbukti bahwa kadar oksidan meningkat sedangkan antioksidan (misalkan
vitamin E) menurun sehingga dominasi kadar oksidan peroksida lemak
relatif tinggi.
Sel endotel yang terpapar peroksida lemak akan rusak dan menyebabkan
gangguan fungsi bahkan seluruh struktur endotel (endothelial dysfunction),
yang ditandai dengan:
o Gangguan produksi prostaglandin (terutama prostasiklin) yang
merupakan vasodilator kuat
14

o Aggregasi sel trombosit pada daerah endotel yang rusak diikuti


produksi tromboksan (TXA2) yang merupakan vasokonstriktor
kuat. Kadar tromboksan akan jauh lebh tinggi dibandingkan
prostasiklin sehingga menyebabkan vasokonstriksi yang diikuti
peningkatan tekanan darah.
o Terjadinya glomerular endotheliosis
o Peningkatan permeabilitas kapiler
o Peningkatan produksi bahan-bahan vasopressor, seperti: endotelin
denga penurunan vasodilator (NO).
o Peningkatan faktor koagulasi
 Teori intoleransi imunologik antara ibu dan janin
Pada plasenta hipertensi dalam kehamilan, terjadi penurunan ekspresi HLA-
G (human leukocyte antigen- protein G) sehingga menghambat invasi
trofoblas ke dalam desidua dan mengurangi proteksi trofoblas dari lisis oleh
sel NK ibu.
 Teori adaptasi kardiovaskular genetik
Pada hipertensi dalam kehamilan terjadi kehilangan daya refrakter
pembuluh darah terhadap vasopressor disertai peningkatan kepekaan
terhadap bahan-bahan vasopressor yang diteliti sudah terjadi pada trimester
I kehamilan.
 Teori defisiensi gizi
Penelitian membuktikkan konsumsi minyak ikan dapat mengurangi risiko
preeklampsia karena mengandung asam lemak tak jenuh yang dapat
mengjhambat agregasi trombosit, mengurangi produksi tromboksan, serta
mencegah vasokonstriksi vaskular. Beberapa peneliti juga menganggap
bahwa defisiensi kalsium pada diet perempuan hamil mengakibatkan risiko
terjadinya preeklampsia-eklampsia.
 Teori genetik
Genotipe ibu lebih menentukan terjadinya hipertensi dalam kehamilan
secara familial dibandingkan dengan genotipe janin. Telah terbukti bahwa
pada ibu yang mengalami preeklampsia, 26% anak perempuannya akan
15

mengalami preeklampsia pula, sedangkan hanya 8% anak menantu


mengalami preeklampsia.
 Teori inflamasi
Pada preeklampsia terjadi peningkatan stress oksidatif yang memproduksi
debris apoptosis dan nekrotik trofoblas juga meningkat. Makin banyak sel
trofoblast plasenta maka jumlah sisa trofoblas juga meningkat dan
menimbulkan reaksi inflamasi dalam darah ibu menjadi jauh lebih besar.
Respon inflamasi sistemik ini akan menimbulkan gejala preeklampsia pada
ibu.
Plasenta berperan utama dalam patogenesis preeklampsia. Preeklampsia
hanya akan terjadi selama masih ada plasenta dan akan remisi setelah plasenta
dilahirkan. Pada perkembangan plasenta normal, sitotrofoblas akan menginvasi
arteri spiralis ibu dan mengubahnya dari pembuluh darah berdiameter kecil dengan
resistensinya yang tinggi menjadi pembuluh darah berkaliber lebih besar. Proses ini
dimulai pada akhir trimester I kehamilan (minggu 10-12) dan berakhir pada usia
kehamilan 18-20 minggu. Selama invasi vaskular ini berlangsung, sitotrofoblas
juga akan berdiferensiasi dari fenotip epitel menjadi fenotip endotel, suatu proses
yang disebut pseudovaskulogenesis. Selama proses ini berlangsung sitotrofoblas
akan mengalami kontak langsung dengan darah maternal. Proses ini juga
melibatkan sejumlah faktor transkripsi, faktor pertumbuhan, dan sitokin (VE-
cadherin dan integrin alpha v beta-3). Pada preeklampsia, invasi sitotrofoblas gagal
untuk mengubah fenotip epitelial menjadi fenotip endotelial, sehingga invasi arteri
spiralis menjadi dangkal dan diameter arteri spiralis tetap kecil dengan resistensi
yang tinggi yang menyebabkan defek pada sirkulasi uteroplasenta dan perfusi
plasenta memburuk.

Proses pseudovaskulogenesis menurunkan rsistensi vaskular sehingga dapat


meningkatkan aliran darah plasenta yang akan mensuplai oksigen dan nutrisi untuk
fetus secara terus-menerus. Namun, pada preeklampsia, plasenta mengalami
hipoksia pada celah intervili yang dapat memicu stress oksidatif pada jaringan dan
meningrkatkan apoptosis dan nekrosis pada plasenta dan pada akhirnya
menyebabkan disfungsi endotel dan memperberat respon inflamasi sistemik.
16

Faktor angiogenik dianggap mempengaruhi regulasi perkembangan


vaskular plasenta. Soluble Fms-like tyrosine kinase-1 (sFlt-1), vascular endothelial
growth factor (VEGF-1 dan VEGF-2), placental growth factor (PIGF), dan
solubleEndoglin merupakan faktor penting untuk perkembangan vaskular normal.
Oleh karena itu, hilangnya kontrol endotelial dalam perkembangan vaskular
plasenta dapat menyebabkan hipertensi dan peningkatan permeabilitas vaskular
yang menyebabkan proteinuria, dan terganggunya ekspresi faktor koagulasi
endotelial yang dapat menyebabkan koagulopati.

Beberapa penelitian telah melaporkan plasenta merupakan sumber sitokin


inflamasi yang bersirkulasi {peningkatan kadar interferon gamma-inducible
protein (IP-10), monocyte chemotactic protein (MCP-1), intercellular adhesion
molecule (ICAM-1), vascular intercellular adhesion molecule(VCAM-1), dan
penurunan kadar interleukin-10 (IL-10)} dijumpai pada wanita preeklampsia.
17

Gambar 3. Patogenesis Preeklampsia2

2.5 Penegakan Diagnosa 11,13,14


a. Penegakan Diagnosis Hipertensi
Hipertensi adalah tekanan darah sekurang-kurangnya 140 mmHg sistolik
atau 90 mmHg diastolik pada dua kali pemeriksaan berjarak 4-6 jam pada wanita
yang sebelumnya normotensi. Derajat hipertensi berdasarkan tekanan darah
diastolik pada saat datang, dibagi menjadi ringan (90-99 mmHg), sedang (100-109
18

mmHg), dan berat (>110 mmHg). Definisi hipertensi berat adalah peningkatan
tekanan darah sekurang-kurangnya 160 mmHg sistolik atau 110 mmHg diastolik.
Alat tensimeter sebaiknya menggunakan tensimeter air raksa. Berdasarkan
American Society of Hypertension ibu diberi kesempatan duduk tenang selama 15
menit sebelum dilakukan pengukuran tekanan darah. Pemeriksaan dilakukan pada
posisi duduk terlentang, posisi lateral kiri, kepala ditinggikan 300, posisi manset
setingkat dengan jantung, dan tekanan darah diastolik diukur dengan mendengar
bunyi Korotkoff V (hilangnya bunyi). Pemeriksaan tekanan darah pada wanita
dengan hipertensi kronik harus dilakukan pada kedua tangan, dengan menggunakan
hasil pemeriksaan yang tertinggi. Untuk mengurangi kesalahan pemeriksaan
tekanan darah maka pemeriksaan dimulai ketika pasien dalam keadaan tenang,
sebaiknya menggunakan tensimeter air raksa atau yang setara, yang sudah
divalidasi, gunakan ukuran manset yang sesuai, posisi duduk terlentang miring kiri,
kepala ditinggikan 300 sehingga manset sesuai level jantung, gunakan bunyi
Korotkoff V pada pengukuran tekanan darah diastolik.

b. Penentuan Proteinuria

Proteinuria ditetapkan bila ekskresi protein di urin melebihi 300mg dalam


24 jam atau tes urin dipstick ≥ positif 1, dalam dua kali pemeriksaan berjarak 4-6
jam. Proteinuria adalah adanya protein dalam urin ≥ 5 g/24 jam.

Pemeriksaan urin dipstick bukan merupakan pemeriksaan yang akurat


dalam memperkirakan kadar proteinuria. Konsentrasi protein pada sampel urin
sewaktu bergantung pada beberapa faktor, termasuk jumlah urin. Pemeriksaan
kadar protein kuantitatif pada hasil dipstick positif 1 beriksar 0-2400 mg / 24 jam,
dan positif 2 berkisar 700-4000 mg/24 jam. Pemeriksaan tes urin dipstick memiliki
angka postif palsu 67-83%. Positif palsu dapat disebabkan kontaminasi duh vagina,
cairan pembersih, dan urin yang bersifat basa. Konsensus Australian Society for the
Study of Hypertension in Pregnancy (ASSHP) dan panduan yang dikeluarkan oleh
Royal College of Obstetrics and Gynecology (RCOG) menetapkan bahwa
pemeriksaan proteinuria dipstick hanya dapat digunakan untuk tes skrining dengan
19

angka positif palsu yang tinggi, dan harus dikonfirmasi dengan pemeriksaan protein
urin tamping 24 jam atau rasio protein banding kreatinin.

c. Diagnosis Hipertensi dalam Kehamilan

1. Hipertensi kronik adalah hipertensi yang timbul sebelum umur kehamilan 20


minggu atau hipertensi yang pertama kali didiagnosis setelah umur kehamilan
20 minggu dan hipertensi menetap sampai 12 minggu pasca persalinan dengan
tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg atau diastolik ≥ 90 mmHg.
2. Preeklampsia adalah hipertensi yang timbul setelah 20 minggu kehamilan
disertai dengan proteinuria.
a. Preeklampsia Ringan
Suatu sindroma spesifik kehamilan dengan menurunnya perfusi organ
akibat terjadinya vasospasme pembuluh darah dan aktivasi endotel.
Diagnosis preeklampsia ringan ditegakkan dengan kriteria:
 Hipertensi: Sistolik/diastolik ≥ 140/90mmHg
 Proteinuria: ≥300mg/24jam atau ≥1+ dipstick
 Edema: edema lokal tidak dimasukkan dalam kriteria preeklampsia,
kecuali edema pada lengan, muka, perut dan edema generalisata.
b. Preeklampsia Berat
Diagnosis preeklampsia berat ditegakkan dengan kriteria:

 Tekanan darah sistolik ≥ 160mmHg dan tekanan darah diastolik ≥


110mmHg. Tekanan darah tidak menurun meskipun sudah dirawat di
rumah sakit dan sudah menjalani tirah baring.
 Proteinuria lebih 5g/24jam atau ≥+2 dalam pemeriksaan kualitatif.
 Oliguria, yaitu produksi urin kurang dari 500cc/24 jam
 Kenaikan kadar kreatinin plasma
 Gangguan visus dan serebral: penurunan kesadaran, nyeri kepala,
skotoma dan pandangan kabur.
 Nyeri epigastrium atau nyeri pada kuadran kanan atas abdomen (akibat
tegangnya kapsula Glisson)
20

 Edema paru dan sianosis


 Hemolisis mikroangiopatik
 Trombositopenia berat: <100.000 sel/mm3 atau penurunan trombosit
dengan cepat
 Gangguan fungsi hepar (kerusakan hepatoselular): peningkatan kadar
alanine dan aspartate aminotransferase
 Pertumbuhan janin intrauterine yang terhambat
 Sindrom HELLP (hemolisis, elevated liver enzymes and low platelet)
Sindroma HELLP adalah preeklampsia-eklampsia disertai timbulnya
hemolysis, peningkatan enzim hepar, disfungsi hepar, dan
trombositopenia.

Diagnosis:

- Didahului tanda dan gejala yang tidak khas malaise, lemah, nyeri
kepala, mual, muntah
- Adanya tanda dan gejala preeklampsia
- Tanda-tanda hemolisis intravaskular, khususnya kenaikan LDH, AST,
dan bilirubin indirek
- Tanda kerusakan/disfungsi sel hepatosit hepar: kenaikan ALT, AST,
LDH
- Trombositopenia ≤ 150.000ml
- Semua perempuan hamil dengan keluhan nyeri kuadran kanan atas
abdomen tanpa memandang ada tidaknya tanda dan gejala
preeklampsia harus dipertimbangkan sindroma HELLP
Pembagian preeclampsia berat dapat dibagi dalam beberapa kategori yaitu:

 Preeklampsia berat tanpa impending eklampsia


 Preeklampsia berat dengan impending eklampsia dengan gejala-gejala
impending berupa nyeri kepala, mata kabur, nyeri epigastrium, nyeri kuadran
kanan atas abdomen.
3. Eklampsia adalah preeklampsia yang disertai dengan kejang-kejang atau koma.
21

4. Hipertensi kronik dengan superimposed preeklampsia adalah hipertensi kronik


disertai tanda-tanda preeklampsia atau hipertensi kronik disertai proteinuria.
Diagnosis hipertensi kronik dengan superimposed preeklampsia jika ditemukan
beberapa hal dibawah ini:
 Wanita dengan hipertensi dan tidak ada proteinuria pada awal kehamilan
(<20 minggu) mengalami proteinuria, yaitu 0,3 gram protein atau lebih pada
spesimen urin 24 jam.
 Wanita dengan hipertensi dan proteinuria sebelum usia kehamilan 20
minggu,
 Peningkatan proteinuria secara tiba-tiba
 Peningkatan tekanan darah pada wanita yang memiliki riwayat hipertensi
terkontrol sebelumnya secara tiba-tiba
 Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000 sel/mm3)
 Peningkatan ALT atau AST ke level abnormal.
5. Hipertensi gestasional adalah hipertensi yang timbul pada kehamilan tanpa
disertai proteinuria dan hipertensi menghilang setelah tiga bulan pasca
persalinan atau kehamilan dengan tanda-tanda preeklampsia tetapi tanpa
proteinuria.
2.6 Penatalaksanaan
Tujuan utama penanganan preeklampsia adalah mencegah terjadinya
preeklampsia berat atau eklampsia, melahirkan janin hidup dan melahirkan janin
dengan trauma sekecil-kecilnya, mencegah perdarahan intrakranial serta mencegah
gangguan fungsi organ vital.15

2.6.1 Preeklampsia Berat


Pengelolaan preeklampsia dan eklampsia mencakup pencegahan kejang,
pengobatan hipertensi, pengelolaan cairan, pelayanan supportif terhadap
penyulit organ yang terlibat, dan saat yang tepat untuk persalinan.Pemeriksaan
sangat teliti diikuti dengan observasi harian tentang tanda tanda klinik berupa :
nyeri kepala, gangguan visus, nyeri epigastrium dan kenaikan cepat berat badan.
Selain itu perlu dilakukan penimbangan berat badan, pengukuran proteinuria,
22

pengukuran tekanan darah, pemeriksaan laboratorium, dan pemeriksaan USG


dan NST.3
Perawatan preeklampsia berat sama halnya dengan perawatan
preeklampsia ringan, dibagi menjadi dua unsur yakni sikap terhadap
penyakitnya, yaitu pemberian obat-obat atau terapi medisinalis dan sikap
terhadap kehamilannya ialah manajemen agresif, kehamilan diakhiri (terminasi)
setiap saat bila keadaan hemodinamika sudah stabil.15
Medikamentosa
Penderita preeklampsia berat harus segera masuk rumah sakit untuk rawat
inap dan dianjurkan tirah baring miring ke satu sisi (kiri). Perawatan yang
penting pada preeklampsia berat ialah pengelolaan cairan karena penderita
preeklampsia dan eklampsia mempunyai risiko tinggi untuk terjadinya edema
paru dan oligouria. Sebab terjadinya kedua keadaan tersebut belum jelas, tetapi
faktor yang sangat menentukan terjadinya edema paru dan oligouria ialah
hipovolemia, vasospasme, kerusakan sel endotel, penurunan gradient tekanan
onkotik koloid/pulmonary capillary wedge pressure. Oleh karena itu monitoring
input cairan (melalui oral ataupun infus) dan output cairan (melalui urin) menjadi
sangat penting. Artinya harus dilakukan pengukuran secara tepat berapa jumlah
cairan yang dimasukkan dan dikeluarkan melalui urin. Bila terjadi tanda tanda
edema paru, segera dilakukan tindakan koreksi. Cairan yang diberikan dapat
berupa a) 5% Ringer Dextrose atau cairan garam faal jumlah tetesan:<125cc/jam
atau b) infus dekstrose 5% yang tiap 1 liternya diselingi dengan infus Ringer
laktat (60-125 cc/jam) 500 cc.12
Di pasang Foley kateter untuk mengukur pengeluaran urin. Oligouria
terjadi bila produksi urin < 30 cc/jam dalam 2-3 jam atau < 500 cc/24 jam.
Diberikan antasida untuk menetralisir asam lambung sehingga bila mendadak
kejang, dapat menghindari risiko aspirasi asam lambung yang sangat asam. Diet
yang cukup protein, rendah karbohidrat, lemak dan garam.15
Pemberian obat antikejan3,13
MgSO4
23

Magnesium sulfat menghambat atau menurunkan kadar asetilkolin pada


rangsangan serat saraf dengan menghambat transmisi neuromuskular. Transmisi
neuromuskular membutuhkan kalsium pada sinaps. Pada pemberian magnesium
sulfat, magnesium akan menggeser kalsium, sehingga aliran rangsangan tidak
terjadi (terjadi kompetitif inhibition antara ion kalsium dan ion magnesium).
Kadar kalsium yang tinggi dalam darah dapat menghambat kerja magnesium
sulfat. Magnesium sulfat sampai saat ini tetap menjadi pilihan pertama untuk
antikejang pada preeklampsia atau eklampsia.
Cara pemberian MgSO4
- Loading dose : initial dose 4 gram MgSO4: intravena, (40 % dalam 10 cc)
selama 15 menit
- Maintenance dose :Diberikan infus 6 gram dalam larutan Ringer/6 jam; atau
diberikan 4 atau 5 gram i.m. Selanjutnya maintenance dose diberikan 4 gram
im tiap 4-6 jam
Syarat-syarat pemberian MgSO4
- Harus tersedia antidotum MgSO4, bila terjadi intoksikasi yaitu kalsium
glukonas 10% = 1 gram (10% dalam 10 cc) diberikan iv 3 menit
- Refleks patella (+) kuat
- Frekuensi pernafasan > 16x/menit, tidak ada tanda tanda distress nafas
- Jumlah urine minimal 0,5 ml/KgBB/jam
Dosis terapeutik dan toksis MgSO4
- Dosis terapeutik : 4-7 mEq/liter atau 4,8-8,4 mg/dl
- Hilangnya reflex tendon 10 mEq/liter atau 12 mg/dl
- Terhentinya pernafasan 15 mEq/liter atau 18 mg/dl
- Terhentinya jantung >30 mEq/liter atau > 36 mg/dl
Magnesium sulfat dihentikan bila ada tanda tanda intoksikasi atau setelah
24 jam pascapersalinan atau 24 jam setelah kejang terakhir. Pemberian
magnesium sulfat dapat menurunkan risiko kematian ibu dan didapatkan 50 %
dari pemberiannya menimbulkan efek flushes (rasa panas)
Contoh obat-obat lain yang dipakai untuk antikejang yaitu diazepam atau
fenitoin (difenilhidantoin), thiopental sodium dan sodium amobarbital. Fenitoin
24

sodium mempunyai khasiat stabilisasi membrane neuron, cepat masuk jaringan


otak dan efek antikejang terjadi 3 menit setelah injeksi intravena. Fenitoin
sodium diberikan dalam dosis 15 mg/kg berat badan dengan pemberian intravena
50 mg/menit. Hasilnya tidak lebih baik dari magnesium sulfat. Pengalaman
pemakaian fenitoin di beberapa senter di dunia masih sedikit.
Diuretikum3
Diuretikum tidak diberikan secara rutin, kecuali bila ada edema paru-paru,
payah jantung kongestif atau anasarka. Diuretikum yang dipakai ialah
furosemida. Pemberian diuretikum dapat merugikan, yaitu memperberat
hipovolemia, memperburuk perfusi uteroplasenta, meningkatkan
hemokonsentrasi, menimbulkan dehidrasi pada janin, dan menurunkan berat
janin.
Antihipertensi3,13
Masih banyak pendapat dari beberapa negara tentang penentuan batas (cut
off) tekanan darah, untuk pemberian antihipertensi. Misalnya Belfort
mengusulkan cut off yang dipakai adalah ≥ 160/110 mmhg dan MAP ≥ 126
mmHg.
Antihipertensi lini pertama
- Nifedipin. Dosis 10-20 mg/oral, diulangi setelah 30 menit, maksimum 120
mg dalam 24 jam
25

Tabel 2. Jenis Antihipertensi yang dapat digunakan

Kortikosteroid3
Pada preeklampsia berat dapat terjadi edema paru akibat kardiogenik
(payah jantung ventrikel kiri akibat peningkatan afterload) atau non kardiogenik
(akibat kerusakan sel endotel pembuluh darah paru). Prognosis preeklampsia
berat menjadi buruk bila edema paru disertai oligouria.
Pemberian glukokortikoid untuk pematangan paru janin tidak merugikan
ibu. Diberikan pada kehamilan 32-34 minggu, 2x 24 jam. Obat ini juga diberikan
pada sindrom HELLP.
Sikap terhadap kehamilannya15
Berdasar Williams obstetrics, ditinjau dari umur kehamilan dan
perkembangan gejala-gejala preeklampsia berat selama perawatan, maka sikap
terhadap kehamilannya dibagi menjadi:
1. Aktif : berarti kehamilan segera diakhiri/diterminasi bersamaan dengan
pemberian medikamentosa.
2. Konservatif (ekspektatif): berarti kehamilan tetap dipertahankan bersamaan
dengan pemberian medikamentosa.
Perawatan konservatif3
26

Indikasi perawatan konservatif ialah bila kehamilan preterm ≤ 37 minggu


tanpa disertai tanda –tanda impending eklampsia dengan keadaan janin baik.
Diberi pengobatan yang sama dengan pengobatan medikamentosa pada
pengelolaan secara aktif. Selama perawatan konservatif, sikap terhadap
kehamilannya ialah hanya observasi dan evaluasi sama seperti perawatan aktif,
kehamilan tidak diakhiri. Magnesium sulfat dihentikan bila ibu sudah mencapai
tanda-tanda preeclampsia ringan, selambat-lambatnya dalam waktu 24 jam. Bila
setelaah 24 jam tidak ada perbaikan keadaan ini dianggap sebagai kegagalan
pengobatan medikamentosa dan harus diterminasi. Penderita boleh dipulangkan
bila penderita kembali ke gejala-gejala atau tanda tanda preeklampsia ringan.
Perawatan aktif3
Indikasi perawatan aktif bila didapatkan satu atau lebih keadaan di bawah
ini, yaitu:
Ibu
1. Umur kehamilan ≥ 37 minggu
2. Adanya tanda-tanda/gejala-gejala impending eklampsia
3. Kegagalan terapi pada perawatan konservatif, yaitu: keadaan klinik dan
laboratorik memburuk
4. Diduga terjadi solusio plasenta
5. Timbul onset persalinan, ketuban pecah atau perdarahan
Janin
1. Adanya tanda-tanda fetal distress
2. Adanya tanda-tanda intra uterine growth restriction
3. NST nonreaktif dengan profil biofisik abnormal
4. Terjadinya oligohidramnion
Laboratorik
1. Adanya tanda-tanda “sindroma HELLP” khususnya menurunnya trombosit
dengan cepat
27
28

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Kerangka Konsep

Kerangka konsep dalam penelitian ini menggambarkan variabel-variabel

yang akan diukur atau diamati selama penelitian. Tidak semua variabel dalam

kerangka teori dimasukkan ke dalam kerangka konsep, karena keterbatasan peneliti

dalam masalah dana, tenaga, dan waktu.

Variabel Bebas
Variabel Terikat

Cara persalinan Outcome Ibu dan Bayi

Sectio Caesarea Tekanan Darah


Lama perawatan
Pervaginam
Ruang Rawat
APGARD skor

Gambar 3.1 Kerangka Konsep

3.2. Variabel Penelitian

Dalam penelitian ini, Variabel terikat yang akan diteliti pada penelitian ini

adalah variabel preklampsia berat. Peneliti melihat karakteristik pasien

preeklampsia berat berupa umur pasien, paritas, tensi datang, dan hasil

laboratorium berupa proteinuria. Variabel bebas yang akan diteliti pada penelitian

ini adalah Tensi Pulang, Lama Perawatan, Berat Badan bayi, dan Apgar Score.

Variabel bebas akan diteliti berdasarkan jenis persalinan berupa pervaginam dan

sectio caesarea.
29

3.3. Hipotesis Penelitian

Hipotesis penelitian ini adalah terdapat hubungan yang signifikan antara cara

persalinan Sectio Caesarea atau Pervaginam terhadap outcome ibu dan bayi

3.4. Definisi Operasional dan Skala Pengukuran Variabel

Definisi Alat Skala


No Variabel Hasil Ukur
Operasional Ukur Ukur

Preeklampsia Rekam 0. Tidak Nominal


dengan tekanan Medik 1. Ya
darah ≥160/110
mmHg disertai
Preeklampsia proteinuria +2 atau
1.
berat jika terdapat
kelianan berupa
trombositopenia,
peningkatan enzim
hati.

Proses pengeluaran Rekam 0. Sectio Nominal


hasil konsepsi yang Medik caesarea
telah cukup bulan
1. Normal
atau hampir cukup
bulan dan dapat
2. Persalinan hidup diluar
kandungan melalui
jalan lahir atau
melalui jalan lain
dengan bantuan
atau tanpa bantuan

Tekanan pada Rekam 0. <120/80 Ordinal


pembuluh darah Medik mmHg
Tekanan oleh darah yang 1. 120-
3.
darah didorong dengan 139/80-89
tekanan dari mmHg
jantung
30

2. 140-159/
90-99
mmHg
3. ≥160/100
mmHg
Rentan waktu Rekam 0. < 3 hari Ordinal
Lama
4. pasien dirawat Medik 1. >3 hari
perawatan
setelah persalinan

Ruang perawatan 0. ICU Nominal


Ruang
5. pasien pasca 1. Biasa
perawatan
persalinan

Suatu metode Rekam 0. 7-10 Ordinal


sederhana yang Medik 1. 4-6
digunakan untuk 2. 0-3
6. Apgar score
menilai keadaan 3. IUFD
umum bayi sesaat
setelah kelahiran

3.5. Jenis Dan Rancangan Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian analitik observasional

komparatif katagorik tidak berpasangan, dengan rancangan atau desain studi cross-

sectional yang dilakukan secara prospektif. Penelitian dimulai dengan

mengidentifikasi variabel dependen dan independen yang diteliti pada waktu yang

sama.

3.6. Populasi Dan Sampel Penelitian

3.6.1 Populasi Penelitian

Populasi penelitian terdiri dari semua ibu terdiagnosis dengan

preklampsia berat di RSUD Prof. Dr. W.Z. Johannes selama tahun 2018 dan
31

tercatat dalam data rekam medis rumah sakit. Populasi kasus dalam penelitian

ini sebesar kasus.

3.6.2. Sampel Penelitian

Sampel kasus dalam penelitian ini adalah ibu yang melahirkan dan

didiagnosis sebagai preklampsia berat yang memenuhi kriteria inklusi di

RSUD Prof. Dr. W.Z. Johannes selama tahun2018 dan tercatat dalam data

rekam medis rumah sakit.

Kriteria inklusi untuk sampel kasus adalah :

1. Pasien yang menjalani proses persalinan di RSUD Prof. Dr. W.Z.

Johannes selama tahun 2018 dengan diagnosis adanya Preeklamsia

Berat.

2. Pasien yang setelah bersalin dirawat di RSUD Prof. Dr. W.Z.

Johannes.

3. Data perawatan lengkap pada rekam medis

Kriteria eksklusi untuk sampel kasus adalah :

1. Data rekam medik tidak lengkap.

2. Pasien dengan PEB namun tidak melahirkan di RSUD Prof. Dr. W.Z.

Johannes pada tahun 2018.

3. Pasien PEB dengan komplikasi Eklamsia pada perjalananya.

3.6.3. Cara Pengambilan Sampel

Cara pengambilan sampel baik dari sampel kasus maupun kontrol

dilakukan dengan cara total sampling. Teknik total sampling adalah

pengambilan sampel yang sama dengan jumlah populasi yang ada. Sampel
32

diambil dengan cara mengambil data pasien dengan preeklampsia berat dari

data rekam medis RSUD Prof. Dr. W.Z. Johannes. Sampel harus memenuhi

kriteria inklusi dan eksklusi.

3.7. Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan sumber data

sekunder. Data sekunder dikumpulkan dari catatan rekam medis RSUD Prof. Dr.

W.Z. Johannes, yaitu data Ibu yang mengalami preeklampsia berat dan data bayi

yang dilahirkan pada tahun 2018. Data yang akan diambil dalam penelitian ini

meliputi data karakteristik umur ibu, paritas, tensi darah saat datang, protein, lama

perawatan di RS, dan tensi darah saat pulang. Sedangkan data bayi yang akan

diambil adalah berat badan bayi dan apgar score.

3.8 Prosedur Penelitian

Langkah – langkah pengambilan data dari variabel yang akan diteliti adalah

sebagai berikut:

1. Pertama dilakukan penapisan terhadap calon sampel untuk memenuhi kriteria

inklusi dan eksklusi yang telah ditetapkan, yaitu dengan cara melihat data

rekam medis RSUD Prof. Dr. W.Z. Johannes. Kemudian mengelompokkan

sampel ibu yang mengalami preeklampsia berat.

2. Setelah sampel ditentukan, langkah selanjutnya yang dilakukan pada sampel

yang terpilih adalah mengumpulkan data yang sesuai.

3. Setelah data terkumpul secara lengkap, tahap yang dilakukan adalah

melakukan tahap pengolahan data dan analisis data untuk menghasilkan

informasi yang akurat.


33

3.9. Teknik Analisis Data

Masing-masing data diperiksa untuk kelengkapan datanya. Data dianalisis

dan diinterpretasikan dengan menguji hipotesis menggunakan program komputer

SPSS 16.0. Data-data yang terkumpul diolah dengan menggunakan analisis

univariat dan bivariat kemudian disajikan dalam bentuk tabel frekuensi disertai

dengan narasi. Analisis dilakukan untuk mengetahui hubungan antara variabel yang

diteliti menggunakan uji chi-square dan fisher exact test dengan nilai α = 0.05 dan

CI (Confidence Interval) 95%.

3.9.1. Tahap – tahap Pengolahan Data :

1. Cleaning: data yang telah dikumpulkan dilakukan cleaning (pembersihan

data) yaitu sebelum dilakukan pengolahan data, data terlebih dahulu diperiksa

agar tidak terdapat data yang tidak diperlukan dalam analisis.

2. Editing: setelah dilakukan cleaning kemudian dilakukan editing untuk

memeriksa kelengkapan data, kesinambungan dan keseragaman data

sehingga validitas data dapat terjamin.

3. Coding: coding dilakukan untuk memudahkan dalam pengolahan data.

4. Entry Data: yaitu memasukkan data ke dalam program komputer untuk

proses analisis data.

3.9.2. Tahap Analisis Data

Data dianalisis dan diinterpretasikan dengan melakukan pengujian terhadap

hipotesis, menggunakan program komputer SPSS 16.0 dengan tahapan analisis

sebagai berikut :
34

3.9.2.1. Analisis Univariat

Analisis univariat bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan

karakteristik dari sampel penelitian. Analisis ini menghasilkan distribusi

frekuensi dan presentase dari tiap variable. Data hasil penelitian

dideskripsikan dalam bentuk tabel, grafik dan narasi,

3.9.2.2. Analisis Bivariat

Analisis bivariat untuk mengetahui hubungan antar variabel bebas

dengan variabel terikat secara sendiri-sendiri. Uji statistika yang digunakan

yaitu Chi Square digunakan untuk data berskala nominal dengan

menggunakan Confidence Interval (CI) sebesar 95% (α= 0,05). Uji statistik

Chi Square digunakan untuk menganalisis semua variabel yang diteliti.


35

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Penelitian

Rumah Sakit Umum Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang adalah milik

pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur dengan dasar hukum pada surat

Keputusan Menteri Kesehatan No. 94/MENKES/SK/1995 Tentang Rumah Sakit

Umum Prof. Dr. W. Z. 23 Johannes Kupang sebagai Tipe B - pendidikan dan Surat

Keputusan Gubernur No.76/ 1996 tentang Peraturan Daerah tingkat I Nusa

Tenggara Timur serta Landasan Operasional adalah Peraturan Daerah Tingkat 1

No. 14 Tahun 1995. Penelitian ini dilakukan dengan merekap data angka kejadian

preeklampsia berat pada ibu hamil yang melahirkan pada periode 1 Januari 2018

sampai 31 Desember 2018 di RSUD Prof. W.Z. Johannes Kupang.


36

4.2 Analisis dan Pembahasan

Tabel 4.1. Gambaran karakteritik awal sampel penelitian di RSUD Prof. Dr. W. Z.
Johannes Kupang Tahun 2018

Karakteristik Responden
Jumlah (n: 80) Persentase (%)

Usia
- < 20 tahun 1 1.25
- 20-34 tahun 51 63.75
- > 35 tahun 28 35.0

Tekanan darah saat pulang


- <120/80 mmHg 0 0
- 120-139/80-89 mmHg 4 5
- 140-159/ 90-99 mmHg 26 32.5
- ≥160/100 mmHg 50 62.50
Proteinuria
- Negatif 10 12.50
- +1 14 17.5
- +2 25 31.25
- +3 31 38.75
Tanda impending
- Ada 35 43.75
- Tidak ada 45 56.25

Paritas
- Primigravida 33 41.25
- Multigravida 47 58.75
Usia kehamilan
- <34 minggu 27 33.75
- > 34 minggu 53 66.25

Terdapat total 100 kasus Preeklampsia Berat pada ibu hamil pada tahun 2018.

Dari 100 sampel kasus PEB, 20 sampel diekslusikan karena ketidaklengkapan data

rekam medis serta pasien yang datang dengan PEB namun tidak melahirkan. Total

sampel diteliti berjumlah 80 kasus. Dari total 80 kasus, 15 kasus lahir secara

pervaginam (18,75%) dan 65 kasus lahir secara SC (81,25%).


37

Hasil penelitian menunjukkan sebanyak 1 pasien (1.25%) berusia <20 tahun,

51 pasien (63.75%) berusia 20-34 tahun, 28 pasien (35%) yang berusia >35 tahun.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Kongwattanakul et. al (2018) di

Thailand yang menemukan penderita terbanyak preekalmsia pada pasien usia 20-

34 tahun17.

Berdasarkan karakteristik tekanan darah saat pulang, terdapat 0 kasus dengan

TD <120/80 mmHg (0%), 4 kasus dengan TD 120-139/80-89 mmHg (5%), 26

kasus dengan TD 140-159/ 90-99 mmHg 32.5%), dan 50 kasus dengan TD

≥160/100 mmHg (62.5 %).

Preeklamsia berat didefiisikan sebagai tekanan darah > 160/110. Tekanan

darah ini mulai muncul saat usia kehamilan 20 minggu, dapat menghilang beberapa

hari setelah bayi lahir atau dapat menetap dan kembali normal setelah 2-4 minggu

post partum3.

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa hasil urinalisis yang menjadi indikator

pada pasien PEB berupa proteinuria +3 terdapat pada 31 kasus (38.75%),

proteinuria +2 pada 25 kasus (31.25%), proteinuria +1 pada 14 kasus ( 17.5%), dan

proteinuria negatif pada 10 kasus (12.50%).

Selain ditandai adanya tekanan darah tinggi, preeklamsia berat juga ditandai

dengan adanya proteiurin sebagai tanda rusaknya edotel. Pasien tetap dapat

didiagnosis sebagai preeklamsia walaupun proteiuria negatif jika terdapat tanda lain

berupa trombositopenia, peningkatan enzim hati, edema paru, gejala neurologis,

dan adanya gangguan ginjal kreatinin serum18.

Berdasarkan ada tidaknya tanda-tanda impending eklampsia (sakit kepala,


38

pandangan kabur, nyeri ulu hati, mual, muntah), maka pasien PEB yang datang

tanpa disertai tanda impending sebanyak 45 kasus (56.25%) dan disertai tanda

impending sebanyak 35 kasus (43.75%).

Pada penelitian ini didapatkan 35 pasien (43,75%) atau hampir setengah dari

keseluruhan responden yang mempunyai gejala impending eklampsia. Pada

penderita preeklampsia dapat memberikan gejala atau tanda khas sebelum

terjadinya kejang yang disebut sebagai impending eklampsia. Tanda dan gejala

impending eklampsia diantaranya nyeri kepala, mata kabur, mual dan muntah, nyeri

epigastrium, dan nyeri abdomen kuadran kanan atas. Penting dilakukan observasi

mengenai adanya tanda dan gejala impending eklampsia untuk segera mengakhiri

kehamilan, dan apabila dalam waktu 24 jam tidak ada perbaikan maka dianggap

sebagai kegagalan pengobatan medikamentosa sehingga kehamilan harus segera

diakhiri19.

Pada penelitian ini, ditemukan proporsi primigravida yang menderita

preeklampsia berat sebanyak 33 pasien (41,25%) berbanding 47 pasien (58,75%)

yang multigravida. Hasil ini bertolak belakang dengan penelitian yang dilakukan di

Rumah Sakit Dr. H. Soewondo Kendal yang menunjukkan hubungan yang

signifikan antara status gravida dengan preeklampsia. Pada penelitian case control

tersebut disimpulkan bahwa primigravida mempunyai faktor risiko menderita

preeklampsia 2,2 kali lebih besar dibandingkan multigravida. Pada penelitian yang

dilakukan di RSUD Dr. Moewardi Surakarta juga didapatkan hubungan yang

signifikan antara primigravida dengan kejadian preeklampsia yang mana pada

primigravida berisiko 1,458 kali lebih besar untuk menderita preeklampsia


39

dibandingkan multigravida.

Secara teori, primigravida lebih berisiko untuk mengalami prreklampsia

daripada multigravida karena preeklampsia biasanya timbul pada wanita yang

pertama kali terpapar vilus korion. Hal ini terjadi karena pada wanita tersebut

mekanisme imunologik pembentukan blocking antibody yang dilakukan oleh HLA-

G (Human Leukocyte Antigen-G) terhadap antigen plasenta belum terbentuk secara

sempurna, sehingga proses implantasi trofoblas ke jaringan desidual ibu menjadi

terganggu. Primigravida juga rentan mengalami stres dalam menghadapi persalinan

yang akan menstimulasi tubuh untuk mengeluarkan kortisol. Efek kortisol adalah

meningkatkan respon simpatis, sehingga curah jantung dan tekanan darah juga akan

meningkat20.

Preeklampsia juga dibedakan menjadi onset dini dan onset lambat.

Preeklampsia onset dini apabila manifestasi klinis timbul sebelum 34 minggu

kehamilan sementara onset lambat apabila manifestasi klinis timbul setelah 34

minggu.

Beberapa penelitian menemukan bahwa preeklampsia onset dini dan onset

lambat memiliki patofisiologi yang berbeda yang mana preeklampsia onset dini

sering dihubungkan dengan morbiditas dan mortalitas perinatal dan maternal yang

lebih tinggi, karena pada preeklampsia onset dini ditemukan gangguan perfusi

uteroplasenta (peningkatan resistensi aliran uteroplasenta), sementara preeklampsia

onset lambat sering dihubungkan dengan faktor maternal seperti obesitas pada

wanita hamil.

Pada penelitian ini ditemukan 53 pasien (66,25%) dengan preeklampsia onset


40

lambat, yang sering dihubungkan dengan pertumbuhan janin yang baik tanpa

adanya tanda-tanda gangguan pertumbuhan janin dengan gambaran velsometri

doppler arteri uterina yang normal atau sedikit meningkat, yang mana tidak terdapat

gangguan aliran darah umbilikus dan lebih berisiko pada wanita dengan plasenta

yang besar dan luas21.

Setelah dilakukan analisis univariat untuk mendeskripsikan karakteristik

setiap variabel penelitian, selanjutnya dilakukan analisis bivariat untuk mencari

hubungan variabel yang diteliti. Variabel penelitian yang akan dicari hubungannya

disini adalah variabel independen berupa outcome ibu dan bayi dan variabel

dependen cara persalinan (pervaginam dan Sectio Caesarea). Outcome fetomaternal

yang dilihat berupa lama hari rawat, ruangan rawat pasca bersalin, dan tensi darah

saat pasien pulang, serta outcome bayi berupa apgar score. Dari analsis, didapatkan

hasil seperti pada tabel dibawah ini :


41

Tabel 4.2. Hasil Pengolahan Data


Sectio Cesarea Pervaginam Nilai P
n = 65 n = 15
Tekanan darah saat 0,531
pulang
- <120/80 mmHg 3 0
(4,62 %)
- 120-139/80-89 22 5
mmHg (33,84 %) (33,3 %)
- 140-159/ 90-99 24 8
mmHg (36.92 %) (53,33 %)
- ≥160/100 mmHg 16 2
(24,61 %) (13,33)
Lama perawatan 0,01
- < 3 hari 28 12
(43,08 %) (80%)
- > 3 hari 37 3
(56,92%) (20%)
Ruang Perawatan 0,07
- ICU 12 0
(18,46%)
- Ruang rawat 53 15
biasa (81,54 %) (100%)
APGARD 0,000
- 0-3 10 0
(15,38%)
- 4-6 12 1
(18,46 %) (0,06%)
- 7-10 42 9
(64,61 %) (60%)
- IUFD 1 5
(1,53%) (33,33%)

Outcome ibu pada penelitian dilihat dari 3 parameter yaitu tekanan darah saat

pulang, lama perawatan, dan ruang perawatan, dan dibandingkan antara cara

kelahiran pervaginam dan sectio caesarea (SC).


42

Rekomendasi dari Society of Obstetrician and Gynaecologist of Canada

menrekomendasikan rute persalinan pada pasien dengan PEB adalah persalinan

pervaginam. Persalinan dengan sectio caesarea direkomendasikan pada usia

kehamilan yang jauh dari aterm dan terdapat bukti komplikasi pada ibu dan bayi

yang kompromais22.

Pada penelitian ini didapatkan 65 kasus (81,25%) dilakukan persalinan

dengan cara sectio caesarea dan 15 kasus (18,75%) bersalin secara pervaginam.

Diantara persalinan pervaginam tersebut, 1 pasien dilakukan persalinan dengan

percepatan kala 2 menggunakan ekstraksi vakum, sementara sisanya lahir spontan

dan diinduksi.

Dari penelitian tidak didapatkan perbedaan bermakna antara tekanan darah

pulang pada pasien yang di SC ataupun lahir pervaginam. Hal ini dapat disebabkan

karena tekanan darah pada preekalmia tetap dapat tinggi dan dapat menghilang

seebelum 12 minggu setelah kelahiran. Jika tekanan darah menetap setelah 12

minggu pasca kelahiran, maka mengarah ke hipertensi kronik3

Pada penelitian ini ditemukan hubungan bermakna antara lama perawatan,

namun tidak ditemukan hubungan bermakna antara jenis persalninan dan jenis

ruang rawat setelah melahirkan. Pada persalinan dengan pervaginam semuanya

dirawat di ruang biasa sementara pasien dengan SC 18% diriwaat di ICU.

Hasil ini sejalan dengan penelitian observasional dilakukan oleh Coppage

2002 yang menunjukan bahwa persalinan pervaginam memberi keuntungan pada

ibu terutama pada bayi prematur. Sejalan juga dengan penelitian Amoru 2015 yang

menunjukan morbiditas ibu lebih tinggi pada pasien dengan SC23.


43

Sebaliknya, persalinan dengan Sectio Caesarea justru direkomendasikan pada

pasien dengan eklamsia atau dengan kata lain pasien PEB yang sudah mengalami

kejang. Hal ini dibuktikan dengan penelitan oleh Begum et al (2015). Penelitian ini

menunjukan outcome fetomaternal lebih baik pada pasien eklamsia yang di SC

dibanding yang lahir pervaginam24.

Penelitian Levine et al (2016) menemukan bahwa baik persalinan dengan

sectio caesarea maupun persalinan normal yang lama sama-sama berbahaya bagi

ibu. Perjalanan persalinan yang lama berkaitan dengan paparan proses penyakit

PEB. Pada penelitian ini resiko dapat diturunkan jika bayi sudah lahir dalam <24

jam. Sehingga pilihan persalinan pervaginam dengan percepatan sangat

direkomendasikan untuk mengurangi komplikasi pada ibu25.

Pada penelitian ini dari 15 persalinan pervaginam, hanya satu persalinan yang

dilakukan dengan percepatan kala 2 dengan vakum ekstraksi, sementara lainya

hanya diinduksi tanpa percepatan kala 2.

Perbedaan bermakna juga didaptkan pada cara persalinan dan outcome bayi

berupa Apgar Score. Terdapat banyak penyebab bayi tidak dapat mengambil

oksigen yang cukup, sebelumnya, selama dan setelah melahirkan. Salah satu faktor

risiko ibu untuk asfiksia adalah faktor masalah medis yang dialami ibu yang dapat

menurunkan pasokan oksigen ke neonatus seperti preeklampsia. Ibu preeklampsia

dapat meningkatkan risiko asfiksia 2,3 kali. Pada ibu pre eklampsia terdapat invasi

tophoblastic abnormal pada arteri desidua maternal, plasenta abnormal ini diyakini

menyebabkan penurunan perfusi dan iskemia plasenta. Dikaitkan juga dengan cara

persalinan yang merupakan salah satu faktor risiko asfiksia. Persalinan melalui
44

operasi caesar berisiko menjadi asfiksia sebanyak 3,7 kali. Kondisi ini biasanya

terkait dengan operasi caesar darurat. Sehingga pada ibu dengan preeklampsia yang

kebanyakan menjalani operasi seksio sesarea darurat (CITO) akan meningkatkan

resiko asfiksia pada bayi. Karenanya, idealnya untuk seksio sesaria harus diikuti

dengan keterampilan resusitasi dokter anak. Pada penelitian ini, banyaknya operasi

sectio caesarea yang dilakukan darurat akibat keadaan ibu preeklampsia,

menambah kemungkinan untuk terjadinya asfiksia, dibandingkan persalinan

pervaginam26.
45

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 KESIMPULAN

Berdasarkan hasil pengumpulan dan analisis data dalam penelitian ini, maka
didapatkan beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Proses persalinan pada pasien PEB di RSUD Prof. Dr. W.Z. Yohannes
Kupang tahun 2018 lebih banyak menggunakan cara sectio caesarea.
2. Dari semua persalinan pervaginam hanya 1 persalinan yang dilakukan
percepatan kala 2 dengan cara vakum ekstraksi.
3. Terdapat hubungan antara cara bersalin dengan lama perawatan dan apgard
skor.
4. Tidak terdapat hububgan antara cara bersalin dengan ruang rawat dan
tekanan darah saat pulang.

5.2 SARAN

Adapun saran dalam penelitian ini ialah :

1. Perlu dilakukan peneltian dengan jumlah sampel yang lebih besar.

2. Diperlukan penelitian lebih lanjut dengan variable yang berbeda untuk


menilai adanya hububngan jenis persalinan dan outcome fetomaternal pada
pasien PEB.

3. Perlu dilakukan penelitan lebih lanjut tentang faktor-faktor yang


mempengaruhi outcome fetomaternal pada pasien PEB.
46

DAFTAR PUSTAKA

1. Osungbade KO, Ige OK. Public health perspectives of preeclampsia in


developing countries: implication for health system strengthening. J
Pregnancy. 2011:1-2. 2.
2. Guidotti R, Jobson D. Detecting pre-eclampsia: a partical guide. Geneva:
WHO; 2005.
3. Prawirohardjo S. Ilmu kebidanan. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo; 2010.
4. Davison JM, Homouth V, Jeyabalan A, Conrad KP, Karumanchi SA, Quaggin
S, et al. New aspects in the pathophysiology of preeclampsia. J Am Soc
Nephrol. 2004;15: 2440-1.
5. Cunningham FG, Gant NF, Leveno KJ, Gilstrap LC, Hauth JC, Wenstrom KD.
Obstetri williams. Edisi ke-21. Alih Bahasa oleh Andry Hartono, Y. Joko
Suyono, Brahm U. Pendit. Jakarta: EGC; 2005.
6. Uzan J, Carbonnel M, Piconne O, Asmar R, Ayoubi JM. Pre-eclampsia
pathophysiology, diagnosis, and management. Vasc Health Risk Manag. 2011;
7: 467-74.
7. Sultana AJ. Risk factor for preeclampsia and its perinatal outcome. Scholars
Research Library. 2013;4(10):1-5.
8. Backes CH, Markham K, Moorehead P, Cordero L, Nankervis CA, Giannone
PJ. Maternal preeclampsia and neonatal outcome. J Pregnancy. 2011;2011.
Article ID 214365
9. Lombo GE. Karakteristik ibu hamil dengan preeklampsia di RSUP Prof. Dr. R.
D. Kandou Manado periode 1 Januari-31 Desember 2015 [Skripsi]. Manado:
Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulang; 2016.
10. Warouw PC. Karakteristik preeklampsia di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou
Manado periode 1 Januari-31 Desember 2014. Manado: Fakultas Kedokteran
Universitas Sam Ratulangi; 2015.
47

11. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Nasional Pelayan


Kedokteran Tatalaksana Komplikasi Kehamilan : Preeklamsi Jakarta :
Kementian Kesesehatan RI:2015.
12. Petla, L.T., et al., 2013.Biomarkers for the Management of Pre-eclampsia in
Pregnant Women.Indian J Med Res 138, July 2013, pp 60-67.
13. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Buku Saku Pelayanan Kesehatan
Ibu di Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan. Jakarta: Departemen Kesehatan
RI: 2013
14. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Nasional Pelayan
Kedokteran Tatalaksana Komplikasi Kehamilan : Preeklamsi. Jakarta :
Kementian Kesesehatan RI:2017.
15. Manuaba. Ilmu Kebidanan Penyakit Kandungan dan Keluarga Berencana
Untuk Pendidikan Bidan. EGC : Jakarta 2010.
16. Wahyuny L. Faktor Risiko Kejadian Preeklampsia Di RSKD Ibu Dan Anak
Siti Fatimah Makassar Tahun 2011-2012. Fakultas Kesehatan Masyarakat,
Universitas Hasanuddin. 2012
17. Incidence, characteristic, maternal complications, and perinatal outcome
associated with preeclampsia with severe features and HELLP syndrome.
Kongwattanakul, Kiattisak and Saksiriwutho. Thailand : dovepress, 2018,
International Journal of Women's Health.
18. Prawirohardjo. Ilmu Kebidanan. Jakarta : PT Bina Pustaka Sarwono, 2015. pp.
531-559.
19. Wibowo, Irwinda and Frisdiantiny. Diagnosis dan Tatalaksana Preeklamsia.
s.l. : Perhimpunan Obstetri dan Ginekologi Indonesia, 2016.
20. Perbandingan Profil Hematologi pada Preeklampsia/Eklampsia dengan
Kehamilan Normotensi di RSUP Dr. Kariadi Semarang. Giyanto, Candra
Cahyaningtyas; Pramono, Besari Adi;. Semarang : Media Medika Muda, 2015,
Vol. 4.
21. Hubungan Status Gravida dan Usia Ibu terhadap Kejadian Preeklampsia di
RSUP Dr. M. Djamil Padang Tahun 2012-2013. Denantika, Oktaria; Serudji,
Joserizal; Revilla, Gusti;. 1, Padang : Jurnak Kesehatan Andalas, 2015, Vol. 4.
48

22. Hubungan Status Vitamin D terhadap Kejadian Early Onset Preeaclampsia.


Siregar, Dian Riani;. Medan : Repositori Institusi USU, 2019.
23. Diagnosis, Evaluation, and Management of the Hypertensive Disorders of
Pregnancy Excutive Summary. Magee, Laura, Pels, Anouk and Helewa,
Michael. Canada : Journal of Obsetetri and Gynaecology Canada, 2019.
24. Planned caesarean section versus vaginal borth for severe pre-eclamsia.
Amorim, Souza and Katz. s.l. : Cochrane Library, 2017.
25. Feto-Maternal Outcome of Vaginal Delivery and Caesarean Section in
Eclamptic Patient. Begum, Jahan and Anwar. Dhaka : Journal of Dhana
Medical College, 2015.
26. Induction, labor leght and mode of delivery : the impact on preeclampsia -
related adverse maternal outomes. Levine, et al. Philadelpia, USA : National
Health Society, 2016.

Anda mungkin juga menyukai