Anda di halaman 1dari 32

HUKUM INTERNASIONAL

Pengakuan Negara Baru (Teori-Teori Pengakuan)

BY PROF. DR. S.M. NOOR, S.H., M.H. · NOVEMBER 9, 2012

Di kalangan para sarjana hukum internasional, terdapat 2 (dua) golongan besar yang
mengemukakan pendapat yang berbeda.

Golongan pertama berpendapat, bahwa apabila semua unsur kenegaraan telah dimiliki oleh suatu
masyarakat politik, maka dengan sendirinya telah merupakan sebuah negara dan harus diperlakukan
secara demikian oleh negara--negara lainnya. Jadi secara ipso facto harus menganggap masyarakat
politik yang bersangkutan sebagai suatu negara dengan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang
dengan sendirinya melekat padanya.

Pengakuan hanyalah bersifat pernyataan dari pihak--pihak lain, bahwa suatu negara baru telah
mengambil tempat disamping negara-negara yang telah ada. Golongan pertama ini dikatakan
menganut teori declaration.

Sebaliknya golongan kedua berpendapat, walaupun unsur-unsur negara telah dimiliki oleh suatu
masyarakat politik, namun tidak secara langsung dapat diterima sebagai negara di tengah-tengah
masyarakat internasional. Terlebih dahulu harus ada pernyataan dari negara-negara lainnya, bahwa
masyarakat politik tersebut benar-benar telah memenuhi semua syarat sebagai negara.

Apabila telah ada pernyataan demikian dari negara-negara lainnya, masyarakat politik tersebut
mulai diterima sebagai anggotabaru dengan kedudukannya sebagai sebuah negara, di tengah-tengah
negara lainnya yang telah ada. Setelah itu barulah dapat menikmati hak-haknya sebagai negara baru.
Golongan kedua ini dikatakan menganut teori Konstitutif.

Diantara kedua golongan ini terdapat beberapa sarjana yang menganut pendirian jalan tengah,
memang selalu terdapat perbedaan dalam praktek negara dalam memberikan pengakuan terhadap
negara atau pemerintah baru yang pada hakekatnya dapat dikembalikan pada perbedaan pendapat
antara penganut teori deklarator dan teori konstitutif. Penganut teori deklarator antara lain: Brierly,
Erich, Fiscker Williams, Francois, Tervboren, Schwezen-berger. Dalam tulisan ini akan dibahas
beberapa pendapat Para sarjana tersebut.

Brierly menganggap teori konstitutif sulit dipertahankan secara konsekuen dengan mengemukakan,
bahwa kemung-kinan ada suatu negara yang diakui oleh negara A, tetapi tidak diakui oleh negara B,
dengan demikian pada saat yang sama negara yang bersangkutan bagi negara. A merupakan pribadi
internasional, tetapi tidak untuk negara B.

Demikian Pula kritik terhadap teori konstitutif terletak pada adanya keharusan bagi penganutnya,
bahwa suatu negara yang tidak diakui tidak memiliki hak-hak dan kewajiban menurut hukum
internasional misalnya intervensi pada umumnya dianggap sebagai suatu perbuatan illegal, namun
tidak demikian jika dilakukan terhadap negara yang tidak diakui sebaliknya jika negara yang tidak
diakui terlibat dalam suatu peperangan, maka negara tersebut tidak berkewajiban menghormati
hak-hak negara netral sebagaimana diharuskan oleh hukum internasional.

Erich berpendapat bahwa ia cenderung mengatakan bahwa pengakuan itu sifatnya declaration
semata, karena yang diakui adalah negara yang sudah ada. Kalau suatu pemerintah asing mengakui
suatu negara baru, maka pemerintah itu menyatakan sikapnya, bahwa ia berhadapan dengan
kenyataan yaitu dengan suatu badan tersusun yang tidak dapat dibantah lagi dan diakui karena
memang ada dalam kenyataan.

Schwarzenberger condong pada teori deklaration, tetapi tidak dinyatakan secara tegas. la
berpendapat bahwa setiap negara bebas untuk memberikan atau menolak memberikan pengakuan.
Dengan demikian dapat terjadi suatu negara dalam hubungannya dengan satu atau beberapa subyek
Hukum Internasional, tetapi tidak dengan yang lainnya.

Teori Konstitutif

Penganut teori ini adalah Wheaton, Hershey, Von Liszt, Moore, Schuman dan Lauterpacht dalam
pembahasan ini akan diuraikan beberapa pendapat dari pelopor aliran/teori ini.

Isheaton berpendapat bahwa jika negara baru ingin berhubungan dengan negara-negara lainnya
dalam masyarakat internasional yang anggota-anggotanya memiliki hak-hak dan kewajiban tertentu
dan diakui oleh masing-masing, maka negara baru itu terlebih dahulu memerlukan pengakuan dari
negara-negara lainnya sebelum dapat mengambil bagian sepenuhnya dalam kehidupan antar
negara.

Moore berpendapat bahwa meskipun sebuah negara baru memiliki hak-hak dan atribut-atribut
kedaulatan, terlepas dari soal pengakuan, tetapi hanya jika negara baru itu diakui barulah mendapat
jaminan untuk menggunakan hak-haknya itu.

Lauterpacht berpendapat bahwa suatu negara untuk menjadi pribadi internasional hanya melalui
pengakuan saja. Namun walaupun pemberian pengakuan itu sepenuhnya merupakan kebijakan dari
negara yang memberikannya, tindakan itu bukanlah suatu tindakan yang semena-mena saja, tetapi
pengakuan atau penolakan itu harus dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip hukum.

Jadi pengakuan itu memang konstitutif sifatnya, tetapi ada kewajiban bagian negara-negara yang
telah ada, jika semua syarat kenegaraan pada negara baru itu telah dipenuhi, untuk memberikan
pengakuan yang telah menjadi hak negara baru itu.

Teori Jalan Tengah

Kedua teori yang telah dikemukakan tidak sepenuhnya memuaskan, sehingga beberapa sarjana
telah merumuskan teori baru yang dinamakan teori jalan tengah atau teori pemisah. Penganut teori
ini adalah : Rivier, Cavare, Verdross dan Starke.

Rivier berpendapat bahwa adanya suatu negara yang berdaulat adalah terlepas dari adanya
pengakuan negara--negara lain. pengakuan hanya merupakan pencatatan dari suatu hal yang telah
terjadi dan sifatnya hanya persetujuan akan hal tersebut. Dengan demikian pengakuan mengadakan
ikatan formal untuk menghormati pribadi baru itu, hak-hak dan atribut kedaulatan di bawah hukum
internasional. Hanya sesudah mendapat pengakuan, penggunaan hak-hak tersebut akan terjamin.
Hubungan politik yang teratur hanya mungkin terjadi antara negara-negara yang saling mengakui.
Starke berpendapat, bahwa kebenaran mungkin berada di tengah-tengah kedua teori itu.

Praktek internasional menunjukkan bahwa baik teori deklarasi maupun konstitutif keduanya dianut.
Teori konstitutif digunakan apabila pengakuan itu diberikan karena alasan-alasan politik. Negara-
negara biasanya memberikan atau menolak memberikan pengakuan atas dasar prinsip--prinsip
hukum atau berdasarkan preseden. Demikian juga pengakuan ditangguhkan karena alasan politik
sampai akhirnya pengakuan diberikan sebagai imbalan atas pemberian keuntungan diplomatik
secara materil dari negara atau pemerintah yang meminta pengakuan.

Starke menunjukkan pula, bahwa teori declaration mendapat dukungan dari asas-asas yang berlaku
dalam masalah pengakuan, yaitu

Jika timbul persoalan dalam badan pengadilan negara--negara baru mengenai lahirnya negara itu,
tidak penting untuk memperhatikan bilamana mulai berlakunya perjanjian-perjanjian dengan
negara-negara lain yang memberikan pengakuan itu jika semua unsur kenegaraan secara nyata telah
dipenuhi, maka saat itulah yang menentukan lahirnya negara tersebut.

Pengakuan terhadap, suatu negara mempunyai akibat surat (retroaktif) sampai saat lahirnya negara
itu secara nyata sebagai negara merdeka. Asas ini juga berlaku terhadap perkara-perkara di
pengadilan yang dimulai sebelum tanggal diberikannya pengakuan itu.
Jika diteliti praktek yang berlaku mengenai persoalan pengakuan ini, terdapat kenyataan bahwa
hanya negara-negara yang menentang lahirnya suatu negara yang membuat pernyataan, sedangkan
pada umumnya pengakuan yang diberikan pada suatu negara yang baru lahir hanya bersifat implisit,
yaitu tampak adanya pengakuan dalam bentuk pernyataan-pernyataan, kecuali negara yang baru
lahir tersebut membuat arti dan hubungan yang khusus dengan negara-negara tertentu. Tidak
banyak negara lahir di tahun 60 dan 70-an, terutama negara kecil di kawasan Afrika, Pasifik dan
Karibia, tanpa disambut berbagai pernyataan pengakuan tetapi itu bukan berarti bahwa
kelahirannya ditolak oleh masyarakat internasional. Tetapi ada beberapa pengecualian dimana
kelahiran suatu negara ditentang oleh masyarakat internasional dengan merujuk pada sikap PBB.

Sejarah mencatat ada beberapa negara yang kelahiran-nya ditentang oleh masyarakat internasional,
yang pada akhirnya negara baru tersebut akan bidang keberadaannya.

Rhodesia misalnya yang memproklamirkan kemer-dekaannya pada tanggal 11 Nopember 1965


melalui kelompok minoritas kulit putih yang dibawah pimpinan Ian Smith dengan melepaskan diri
dari kekuasaan Inggris, mendapat kecaman keras dari PBB yang meminta kepada negara-negara
anggota PBB untuk tidak mengakuinya dan tidak mengadakan hubungan diplomatik dan hubungan-
-hubungan lainnya dengan kekuasaan yang illegal tersebut.

Rhodesia tidak dapat bertahan lama dan kemudian digantikan oleh Zimbabwe yang lahir pada tahun
1980. Contoh lain yaitu kelahiran negara yang ditentang oleh masyarakat internasional ialah Turkish
Republic of Northern Cyprus tanggal 15 November 1983. Dalam waktu tiga hari Dewan Keamanan
PBB mengeluarkan resolusi yang mengecam pendirian negara tersebut yang menyebutnya “Legally
Invalid“.

Pakistan adalah satu-satunya negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB yang menentang resolusi
tersebut dan sampai sekarang hanya. Turki yang mengakui negara tersebut.

Demikian pula dengan negara Israel yang lahir tanggal 14 Mei 1948, sampai sekarang masih tetap
tidak diakui oleh negara--negara Arab, kecuali negara yang telah membuat perjanjian perdamaian
dengan negara tersebut, yaitu : Mesir pada bulan Maret 1979 dan Yordania pada bulan Oktober
1994.

Negara-negara berpenduduk Islam non-Arab lainnya juga tidak mempunyai hubungan dengan Israel.
Walaupun Israel telah menjadi anggota PBB sejak tanggal 11 Mei 1949, namun keanggotaanya sama
sekali tidak merubah sikap kelompok negara tersebut, sampai dicapainya penyelesaian secara
menyeluruh sengketa Timur Tengah dengan mengakui hak rakyat Palestine untuk mendirikan
negaranya sendiri di wilayah Palestine.
Dari contoh yang telah dikemukakan, nyatalah bahwa pengakuan adalah suatu kebijaksanaan politik.
Pengakuan negara hanya dilakukan satu kali, perubahan bentuk suatu negara tidak akan merubah
statusnya sebagai negara. Sebagai contoh: Perancis sejak tahun 1791 sampai tahun 1875 beberapa
kali mengalami perubahan, dari kerajaan, republik, kekaisaran, kembali ke kerajaan dan republik
dengan pembentukan Republik III tahun 1875, Republik IV tahun 1941 dan sejak tahun 1958
Republik V tetap merupakan negara Perancis.

Prof. Dr. S.M. Noor, S.H., M.H.

Lahir di Bulukumba 2 Juli 1955, Menamatkan S1, S2 dan Program Doktor PPS Unhas 2003- 2008.
Adalah Professor Hukum yang suka Sastra terbukti sudah tiga novel yang telah terbit dari buah
tangannya: “Putri Bawakaraeng” (Novel) Lephas Unhas 2003; “Pelarian” (Novel) Yayasan Pena
(1999); “Perang Bugis Makassar, (Novel) Penerbit Kompas (2011). Selain sebagai Staf Pengajar pada
Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Unhas, Golongan IV B, 1998 hingga sekarang, juga
menjabat sebagai Ketua Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Unhas; Dosen Luar Biasa Pada
Fakultas Syariah IAIN Alauddin, Makassar 1990-2003; Dosen Luar Biasa Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu
Politik Unhas untuk mata kuliah Politik dan Kebijaksanaan Luar Negeri Cina serta Hukum
Internasional 2002 – sekarang. Beberapa buku yang telah dipublikasikan antara lain “Sengketa Asia
Timur” Lephas-Unhas 2000. Tulisannya juga dapat ditemui dalam beberapa Harian: Pedoman Rakyat
(kolumnis masalah-masalah internasional), pernah dimuat tulisannya di Harian: Fajar dan Kompas
semenjak mahasiswa; menulis pada beberapa jurnal diantaranya Amannagappa, Jurisdictionary dan
Jurnal Ilmiah Nasional Prisma. Kegiatan lain diantaranya: narasumber diberbagai kesempatan
internasional dan nasional, Narasumber Pada Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional (KIPNAS) Jakarta
1987; Narasumber pada Overseas Study On Comparative Culture And Government Tokyo (Jepang)
1994; Shourt Course Hubungan Internasional PAU Universitas Gajah Mada Yogayakarta 1990;
Seminar Hukum Internasional Publik Universitas Padjajaran Bandung 1992; Seminar Hukum dan
Hubungan Internasional Departemen Luar Negeri RI Jakarta 2004. Juga pernah melakukan penelitian
pada berbagai kesempatan antara lain: Penelitian Tentang Masalah Pelintas Batas Di Wilayah
Perairan Perbatasan Indonesia-Australia Di Pantai Utara Australia dan Kepualauan Wakatobi,
Sulawesi Tenggara Tahun 1989; Penelitian Tentang Masalah Alur Selat Makassar dalam Perspektif
Pertahanan dan Keamanan Nasional Indonesia. Gelar guru besar dalam Bidang Hukum Internasional
Pada Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin telah dipertahankan Di Depan Rapat Senat Terbuka
Luar Biasa Universitas Hasanuddin “Perang Makassar (Studi Modern Awal Kebiasaan dalam Hukum
Perang)” pada hari Selasa 2 November 2010 (Makassar).

YOU MAY ALSO LIKE...

Pengertian Sengketa, Internasional Dalam Kasus Laut Cina

FEBRUARY 8, 2012

Sumber-sumber Hukum Internasional

AUGUST 12, 2012

FOLLOW:

ARTIKEL TERBARU

KLIPING OPINI

Prabowo Presiden RI 2024

KLIPING OPINI

Political Stress Syndrome Pascapolitik Demokrasi

KLIPING OPINI

Duka Pahlawan Demokrasi yang tidak Berujung

KOLOM DOSEN UNHAS

Run Makassar dan 3C Asa Sang Pj. Wali Kota

KLIPING OPINI

Delik Makar, Perspektif Teoretis dan Praktik Empiris

ARTIKEL PILIHAN

KLIPING OPINI

Political Stress Syndrome Pascapolitik Demokrasi

1 JUL, 2019

KLIPING OPINI

Duka Pahlawan Demokrasi yang tidak Berujung

15 JUN, 2019

KLIPING OPINI

Delik Makar, Perspektif Teoretis dan Praktik Empiris

15 JUN, 2019


KLIPING OPINI

Prabowo Presiden RI 2024

1 JUL, 2019

KOLOM DOSEN UNHAS

Run Makassar dan 3C Asa Sang Pj. Wali Kota

15 JUN, 2019

Negara Hukum © 2019. All Rights Reserved.

[user_ip]

DAFTAR

A.M. Fatwa

Fatwa telah menjadi ikon sebuah perlawanan dan sikap kritis terhadap rezim otoriter Orde Lama dan
Orde Baru. Itulah sebabnya sejak muda ia sudah mengalami teror dan tindak kekerasan yang
dilakukan oleh intel-intel kedua rezim otoriter tersebut, hingga keluar masuk rumah sakit dan
penjara. Terakhir ia dihukum penjara 18 tahun (dijalani efektif 9 tahun lalu dapat amnesti) dari
tuntutan seumur hidup, karena kasus Lembaran Putih Peristiwa Tanjung Priok 12 September 1984
dan khutbah-khutbah politiknya yang kritis terhadap Orde Baru. Dari keluar masuk tahanan politik
sebelumnya dia mukim di balik jeruji 12 tahun. Meski berstatus narapidana bebas bersyarat (1993-
1999) dan menjadi staf khusus Menteri Agama Tarmidzi Taher dan Quraish Shihab saat itu, mantan
Sekretaris Kelompok Kerja Petisi 50 itu bersama Amien Rais menggulirkan gerakan reformasi, hingga
Presdien Soeharto mengundurkan diri pada tanggal 21 Mei 1998. Pernah menjabat beberapa
jabatan struktural dan jabatan semi official pada pemda DKI Jakarta dan Staf Khusus Gubernur Ali
Sadikin di bidang politik dan agama ini terpilih menjadi wakil rakyat pertama kali dalam pemilu 1999
dari daerah pemilihan DKI Jakarta, dan diamanahi tugas sebagai Wakil Ketua DPR RI (1999-2004).
Pada periode 2004-2009 ia terpilih mewakili rakyat dari daerah pemilihan Bekasi dan Depok dan
diamanahi tugas sebagai Wakil Ketua MPR RI. Dan pada periode 2009-2014 ia terpilih sebagai
anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia dari DKI Jakarta. Pada 14 Agustus 2008 ia
dianugrahi oleh Negara berupa Tanda Kehormatan Bintang Mahaputera Adipradana di Istana
Negara. Dan pada tanggal 29 Januari 2009 ia memperoleh Award sebagai Pejuang Anti Kezaliman
dari Pemerintah Republik Islam Iran yang disampaikan oleh Presdien Mahmoud Ahmadinejab di
Teheran. Dari buah pikirannya telah lahir tidak kurang dari 24 buku, yaitu: Dulu Demi Revolusi, Kini
Demi Pembangunan (1985), Demi Sebuah Rezim, Demokrasi dan Keyakinan Beragama diadili (1986,
2000), Saya Menghayati dan Mengamalkan Pancasila Justru Saya Seorang Muslim (1994), Islam dan
Negara (1995), Menggungat dari Balik Penjara (1999) , Dari Mimbar ke Penjara (1999), Satu Islam
Multipartai (2000), Demokrasi Teistis (2001), Otonomi Daerah dan Demokratisasi Bangsa (2003),
PAN Mengangkat Harkat dan Martabat Bangsa (2003), Kampanye Partai Politik di Kampus (2003),
Dari Cipinang ke Senayan (2003), Catatan dari Senayan (2004), Problem Kemiskinan, Zakat sebagai
Solusi Alternatif (bersama Djamal Doa dan Arief Mufti, 2004), PAN Menyonsong Era Baru, Keharusan
Pengungkapan Kebanaran untuk Rekonsiliasi Nasional (2005), Menghadirkan Moderatisme Melawan
Terorisme (2006-2007), dan Satu Dasawarsa Reformasi Antara Harapan dan Kenyataan (2008),
Grand Design Penguatan DPD RI, Potret Konstitusi Paska Amandemen UUD 1945 (Penerbit Buku
Kompas, September 2009). Atas kreativitas dan produktivitasnya menulis buku, Meseum Rekor
Indonesia (MURI) memberinya penghargaan sebagai anggota parlemen paling produktif menulis
buku, selain penghargaan atas pledoi terpanjang yang ditulisnya di penjara Masa Orde Baru.
Pemikiran dan pengabdiannya pada masyarakat, khususnya di bidang pendidikan luar sekolah, A.M.
Fatwa dianugrahi gelar Dokter Honoris Causa oleh Universitas Negeri Jakarta (UNJ) pada Juni 16 Juni
2009. e-mail: emailfatwa@yahoo.go.id atau amfatwa@dpd.go.di.

SELANJUTNYA

FOLLOW

KEAMANAN

Orde Baru dan Penyalahgunaan Kekuasaan: Studi Kasus Peristiwa Tanjung Priok

4 Juli 2012 09:57 Diperbarui: 4 Juli 2012 09:57 1 1 1



Kekuasaan jelas menggoda. Dalam konteks politik, Niccolo Machiavelli memandang kekuasaan
cenderung dilanggengkan oleh setiap penguasa lewat berbagai cara. Cara apapun tidak menjadi
persoalan, yang penting kekuasaan itu dapat dipertahankan. Dari pandangan Machiavelli ini tersirat
diterimanya cara-cara kekerasan dan represi (coercion, violence) yang tidak etis dalam
mempertahankan kekuasaan. John Locke di Inggris, Montesqiueu di Prancis, dan Thomas Jefferson di
Amerika Serikat juga beranggapan bahwa penguasa cenderung memiliki ambisi untuk berkuasa
terus-menerus. Karenanya, kepentingan penguasa sering bertolak belakang dengan kepentingan
rakyat banyak.

Dalam banyak sistem sosial dan politik kekuasaan memang dicoba-batasi agar tidak menjadi absolut
atau totaliter, termasuk dalam pandangan Machiavelli yang menghendaki Italia menjadi negara
republik. Ada banyak cara diusulkan untuk membatasi kekuasaan. Para filosof, ahli hikmah dan etika
mengajarkan agar kekuasaan dipegang oleh figur filosof dan tokoh bermoral (ulama, cendekiawan).
Kekuasaan berada di bawah hukum, bukan lagi “Aku [baca: raja] adalah hukum”. Dari sisi struktur
dan sistem, pemikir-pemikir politik lalu menganjurkan agar kekuasaan dibagi (separation of power)
antara lembaga-lembaga negara; otoritas dibelah (distribution of power), seperti pada ajaran trias
politica.
Dalam sistem politik totaliter, kekuasaan menjadi absolut, terpusat pada segelintir elite (oligarkhi)
yang berlaku zalim, dan tidak mengenal partisipasi publik dalam kehidupan politik, baik yang
konvensional (seperti: memberikan suara dalam pemilu, diskusi politik, membentuk dan bergabung
dalam suatu kelompok kepentingan) maupun yang non-konvensional (seperti unjuk rasa). Padahal
partisipasi ini mengingatkan pada pentingnya jaminan akan pelaksanaan kebebasan-kebebasan asasi
(civil rights), seperti kebebasan menyatakan pendapat, berkumpul dan penghormatan terhadap hak
asasi warga negara. Civil rights adalah salah satu dari dua kaki demokrasi, sedang kaki yang satunya
lagi adalah parlementarisme, yang terkait dengan keharusan adanya parlemen, partai politik, dan
pemilihan umum.

Demokrasi, menurut Bertrand Russel, mengandung kelemahan, terutama menyangkut dua hal:
keputusan yang harus cepat diambil dan menyangkut kemampuan atau pengetahuan seorang
pengambil kebijakan. Pada tingkat ini biasanya terjadi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power),
dimana kewenangan yang dimiliki pejabat publik bukan digunakan untuk kemaslahatan publik, tetapi
untuk kepentingan pribadi sang pejabat. Mengingat besarnya kekuatan godaan dan tarikan
kekuasaan terhadap para penguasa, Lord Acton membuat suatu tesis aksiomatik yang sangat
terkenal: “Power tends to corrupt. Absolute power corrupts absolutely.”

Sayangnya, menurut saya, sebagai sistem, demokrasi kekurangan alat (tool) untuk mengontrol
penyalahgunaan kekuasaan, selain dengan jaminan partisipasi publik dalam perumusan dan
pelaksanaan kebijakan, yang antara lain dicerminkan dengan pengawasan masyarakat dan parlemen
atas kinerja pemerintah, serta penggunaan hukum sebagai sistem pemberi sanksi atas ilegalitas
kekuasaan. Karena itu, moralitas dan akhlak agama mempunyai peran signifikan, sebagaimana
dilihat para filosof da ahli hikmah di atas.

Orde Baru yang Otoriter

Orde Baru mungkin bukan termasuk rezim totaliter yang absolut, tapi sebuah rezim otoriter karena
masih membiarkan adanya partisipasi politik pada tingkat paling rendah (Fatah, 1994a), yang umum
disebut dengan pseudo participation. Pemilu-pemilu di masa Orde Baru bersifat semu; demokrasi
yang diterapkan hanya procedural saja dan mengabaikan aspek substantif berupa jaminan civil
rights. Yang tengah berlangsung adalah pemusatan kekuasaan secara akumulatif pada diri Presiden
Soeharto.

Ada dua cara menjelaskan fenomena tersebut (Fatah, 1994b). Pertama, dari sisi kultur politik, terjadi
paralelisme historis antara raja Jawa dan Presiden Orde Baru. Artinya, rezim Orde Baru
mengembangkan kultur Jawa dalam menjalankan kekuasaan, yang memandang kekuasaan secara
monopolistik, tidak mengenal pembagian, dan anti-kritik atau anti-oposisi yang dianggap sebagai
budaya Barat. Kedua, struktur politik yang dibangun, yang menempatkan Presiden Soeharto dalam
tiga posisi sentral, yaitu: (i) sebagai Ketua Dewan Pembina Golongan Karya (Golkar), (ii) Panglima
Tertinggi ABRI yang berdwifungsi, dan (iii) sebagai kepala eksekutif sekaligus.

Pola distribusi kekuasaan seperti itu memperlihatkan Presiden memusatkan kekuasaan, baik pada
level infrastruktur maupun suprastruktur politik. Secara suprastruktur, sebagai Ketua Dewan
Pembina Golkar, yang berperan sebagai mesin politik pengumpul suara (legitimasi), Presiden
menguasai secara langsung hegemoni Golkar atas partai politik. Hal ini juga berpengaruh pada fungsi
kontrol legislatif di DPR. Akibatnya, kekuasaannya sebagai kepala eksekutif tidak mendapat kontrol
dari legislatif.

Presiden juga mengapresiasi kedudukannya sebagai Panglima Tertinggi ABRI secara politik. Seorang
mantan perwira tinggi yang menjadi anggota DPR pernah berkata, bahwa untuk menjadi petinggi
ABRI seorang perwira harus “kuliah di Uncen” dulu. Yang dimaksudnya adalah “Universitas
Cendana”, dimana Soeharto menjadi rektornya. Di samping itu, penerapan Dwifungsi ABRI pada
jabatan-jabatan penting politik, birokrasi dan BUMN akhirnya berfungsi ganda: di satu sisi
memotong basis-basis kekuatan politik masyarakat sampai di tingkat terendah, sekaligus
memindahkan basis-basis kekuatan tersebut ke tangan militer. Simpulan demikian, masih menurut
Fatah (1994a), mengafirmasi banyak studi sebelumnya, seperti studi Karl D. Jackson (1978), Lance
Castles (1982), John A. MacDougall (1982), dan Richard Tanter (1991).

Analisis lain atas pemusatan kekuasaan dalam negara Orde Baru dapat dijelaskan dengan konsep
negara integralistik (Budiman, 1996; Simanjuntak, 1997). Konsepsi ini antara lain mempersepsikan
Indonesia sebagai sebuah keluarga besar, yang dipimpin seorang “bapak” yang bijaksana, mengerti
dan bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hajat hidup “anak-anak”-nya yang bernama rakyat.
Tugas pemimpin adalah menafsirkan kehendak rakyatnya, sementara tugas rakyat adalah mengikuti
pemimpin.

Fenomena lain dari format politik Orde Baru adalah marginalisasi politik dan panglimaisasi
pembangunan/ekonomi. Setelah kehancuran ekstrim kiri (PKI), Islam Politik adalah korban langsung
dari strategi ini. Dimulai dengan peminggiran terhadap tokoh-tokoh Masyumi di masa awal Orde
Baru, dilanjutkan dengan penyederhanaan—melalui fusi—partai-partai politik sealiran (1973),
pemojokan Islam Ekstrim Kanan melalui aksi-aksi intelijen (seperti isu Komando Jihad dan Jamaah
Imran), hingga akhirnya pewajiban asas tunggal pada partai politik dan organisasi sosial-
kemasyarakatan (1985). Dalam proses politik demikianlah, yaitu pada saat hampir semua kekuatan
sosial politik ditundukkan rezim Orde Baru, kecuali beberapa cendekiawan dan “mantan” politisi
serta perwira ABRI yang tergabung dalam Petisi 50 yang tetap bersuara kritis, sebuah peristiwa
pembunuhan terhadap massa yang melakukan protes/unjuk rasa terjadi di Tanjung Priok pada
malam hari tanggal 12 September 1984.
Peristiwa Tanjung Priok

Negara, melalui organnya yang disebut pemerintah (eksekutif), merupakan penerima otoritas yang
sah untuk menggunakan kekerasan menurut hukum. Pada masa Orde Baru yang otoritarian, dimana
berlangsung terus penyalahgunaan kekuasaan untuk pelanggengan kekuasaan, maka penggunaan
kekerasan secara salah (illegal) juga terjadi, bahkan tidak hanya berlangsung sekali.

Salah satu peristiwa penggunaan kekerasan terhadap rakyat yang fenomenal adalah Peristiwa
Tanjung Priok. Fenomenal, karena peristiwa ini berlangsung (tidak hanya terjadi) di depan mata
Istana Negara, yang merupakan pusat atau sumber “legalitas” tindak kekerasan tersebut. Dari sisi
historis perkembangan sistem politik Orde Baru, peristiwa ini dianggap memberi jalan mulus bagi
akhir proses pembentukan format politik rezim Orde Baru yang otoriter dan hegemonik dengan
disahkan lima paket undang-undang politik pada tahun 1985, yaitu UU No. 1 tentang Pemihan
Umum, UU No. 2 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD, UU No. 3 tentang Partai
Politik dan Golongan Karya, UU No. 5 tentang Referendum, dan UU No. 8 tentang Organisasi
Kemasyarakatan.

Saya (dan H.R. Dharsono) bukanlah korban langsung Peristiwa Tanjung Priok, karena kami memang
tidak ikut dalam prolog (pendahuluan) peristiwa itu, baik dalam pengajian-pengajian keagamaan
yang keras mengecam penguasa dan kebijakan Orde Baru maupun dalam unjuk rasa malam 12
September tersebut. Tetapi kami adalah “mantan” aktivis politik pro-demokrasi dan korektor Orde
Baru yang dikorbankan oleh rezim Orde Baru, yaitu untuk memberi peringatan keras kepada para
dissident (pembangkang) untuk tutup mulut mengkritisi pemusataan kekuasaan dan pincangnya
pembangunan.

Bagi saya, penangkapan dan pemenjaraan terhadap saya (dan H.R. Dharsono) merupakan
pemberangusan terhadap pendapat-pendapat yang berbeda mengenai Peristiwa Tanjung Priok.
Pandangan saya (dan H.R. Dharsono) tertuang dalam sebuah dokumen yang terkenal sebagai
Lembaran Putih Petisi 50 tertanggal 17 September 1984. Lembaran Putih mencoba mengemukakan
fakta-fakta dan simpulan sementara yang berbeda dari penjelasan resmi pemerintah yang
disampaikan Panglima ABRI/Pangkop-kamtib Jenderal (TNI) L.B. Moerdani. Karena itu, Lembaran
Putih menganjurkan agar pemerintah sebaiknya membentuk “suatu komisi yang bebas (independen)
untuk mengumpulkan keterangan yang jujur mengenai kejadian September 1984 di Tanjung Priok.
Laporan Komisi itu harus diumumkan kepada khalayak ramai, supaya kita semuanya dapat menarik
pelajaran daripadanya” (Fatwa, 2000).

Dengan memenjarakan kami, menolak pembentukan fact finding commission, dan hanya
membolehkan satu penjelasan resmi atas Peristiwa Tanjung Priok, negara (baca: pemerintah) Orde
Baru yang otoriter rupanya menginginkan kepatuhan total rakyatnya, termasuk menguasai
kesadaran mereka akan kebenaran dan menciptakan suatu kesadaran semu (false consciousness).
Pangkopkamtib L.B. Moerdani, dengan ditemani Abdurrahman Wahid, berkeliling ke pesantren-
pesantren besar di Jawa untuk menjelaskan tindakan pemerintah dalam Peristiwa Tanjung Priok.

Dalam bahasa Antonio Gramsci (1991), tindakan penguasa Orde Baru itu adalah hegemoni atas ide-
ide atau hegemoni wacana dalam “masyarakat politik” yang menafikan wacana lainnya yang
dilontarkan masyarakat madani. Hak asasi publik atas informasi (yang benar), termasuk dimana para
korban yang meninggal dikuburkan, dan hak untuk berbicara politik pun terabaikan. Negara
demikian, menurut Taufik Abdullah (2000), adalah “negara serakah”, the greedy state, yaitu negara
yang tidak puas hanya dengan sentralisasi kekuasaan dan kepatuhan warganya, tetapi ingin
mendapatkan kekuasaan yang lebih besar, ingin menguasai seluruh sistem kesadaran dan ingatan
kolektif bangsa.

Jadi, terkait dengan Peristiwa Tanjung Priok, rezim Orde Baru bukan saja menggunakan kekerasan
untuk menyelesaikan unjuk rasa massa, tetapi juga menggunakan cara-cara lainnya untuk
memaksakan kepentingannya: hukum untuk membungkam suara-suara kritis, dan hegemoni wacana
dengan menciptakan kesadaran semu akan fakta sesungguhnya pelanggaran HAM yang berat.

Tak Ada Pelanggaran HAM dalam Peristiwa Tanjung Priok?

Reformasi membuka “kotak Pandora”. Kesadaran semu masyarakat terbongkar. Menggema di


seluruh Indonesia kesadaran baru, perlunya sejarah ditulis ulang karena kita mengalami krisis
kepercayaan pada sejarah yang diajarkan penguasa selama ini. Masyarakat, korban dan keluarga
korban kekerasan dan penyalahgunaan kekuasaan rezim Orde Baru menuntut agar kepalsuan
dibongkar, kebenaran sejarah disampaikan, dan keadilan ditegakkan, termasuk dengan memberikan
reparasi kepada korban dan keluarganya, baik berupa kompensasi, restitusi, rehabilitasi, penetapan
kebenaran, dan jaminan akan tidak terulangnya pelanggaran HAM berat (gross violation of human
rights) itu di masa depan.

Komnas HAM, yang sempat digelari sebaqgai “si malin kundang” dari rezim Orde Baru, telah
menyelidiki Peristiwa Tanjung Priok dan menyimpulkannya sebagai peristiwa pelanggaran HAM yang
berat. DPR juga sudah mengakuinya sebagai pelanggaran HAM yang berat dan merekomendasikan
kepada Presiden Abdurrahman Wahid untuk membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc sesuai UU No. 26
Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, yaitu untuk memeriksa kasus-kasu pelanggaran HAM yang
berat dalam Peristiwa Tanjung Priok (dan Timor Timur pasca-Jajak Pendapat 1999). Presiden Wahid
dan lalu Presiden Megawati Soekarnoputri pun telah membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc dimaksud
di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Sayangnya, sebagaimana juga putusan-putusan atas Pengadilan HAM Ad Hoc Timor Timur yang
mengecewakan dilihat dari standar hukum HAM internasional, putusan-putusan Pengadilan HAM Ad
Hoc Tanjung Priok pun demikian adanya. Bahkan putusan akhir Mahkamah Agung (MA) atas
Peristiwa Tanjung Priok sungguh sangat miris: tak ada pelanggaran HAM dalam peristiwa ini!
Menolak putusan MA itu saya telah mengeluarkan press release (terlampir).

Tinggallah kini para pencari keadilan menunggu di pintu Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).
Semoga kebenaran sejarah bisa diungkap dan keadilan bisa ditegakkan. Sehingga era reformasi tidak
lagi mewarisi produk-produk penyalahgunaan kekuasaan oleh rezim Orde Baru. Dalam masa transisi
politik seperti sekarang ini, rasanya perlu untuk ingat nasih bijak Lawrence Whitehead dalam artikel
berjudul “Consolidation of Fragile Democracy” (dalam Tanuredjo, 2003). Katanya, "Kalau kejahatan
besar tak diselidiki dan pelaku-pelakunya tidak dihukum, tidak akan ada pertumbuhan keyakinan
terhadap kejujuran secara nyata, tidak akan ada penanaman norma-norma demokrasi dalam
masyarakat pada umumnya, dan karena itu tidak terjadi konsolidasi demokrasi."

Daftar Pustaka:

Abdullah, Taufik, 2000. “Sejarah, Nostalgia, dan Kegetiran Kini”. Orasi Kebudayaan pada Peringatan
Ulang Tahun I The Habibie Center, Jakarta, 22 November.

Budiman, Arief, 1996. Teori Negara: Negara, Kekuasaan dan Ideologi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.

Fatah, Eep Saefullah, 1994a. “Unjuk Rasa, Gerakan Massa dan Demokratisasi: Potret Pergeseran
Politik Orde Baru”, Prisma, No. 4, April.

Fatah, Eep Saefullah, 1994b. Masalah dan Prospek Demokrasi di Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Fatwa, A.M., 2000. Demi Sebuah Rezim, Demokrasi dan Keyakinan Beragama Diadili. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.

Fatwa, A.M., 2002. Satu Islam Multi Partai, Membangun Integritas di Tengah Pluralitas. Bandung:
Mizan. Cetakan ke-2.
Fatwa, A.M., 2005. Pengadilan HAM Ad Hoc Tanjung Priok, Pengungkapan Kebenaran untuk
Rekonsiliasi Nasional. Jakarta: Dharmapena Publishing.

Simanjuntak, Marsilam, 1997. Pandangan Negara Integralistik. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Tanuredjo, Budiman, 2003. “Rekonsiliasi Menuju Indonesia Baru 2004”. Kompas, 16 Desember.

Tim MAULA, ed., 1999. Jika Rakyat Berkuasa, Upaya Membangun Masyarakat Madani dalam Kultur
Feodal. Bandung: Pustaka Hidayah.

(Ceramah dalam kegiatan Pembekalan Mahasiswa PTIK Angkatan 43 di Auditorium PTIK, Jakarta
pada tanggal 6 April 2006)

Kedudukan Presiden sebagai Panglima Tertinggi atas ABRI seharusnya ditafsirkan dalam kaitan fungsi
Presiden menurut Pasal 10, Pasal 11 dan Pasal 12 UUD 1945, yaitu untuk menyatakan perang dan
untuk menyatakan negara dalam keadaan bahaya.

Hubungan antara Islam dan rezim Orde Baru dapat dijelaskan dalam beberapa fase: (i) fase
marjinalisasi atau hegemonic (1968-1985), (ii) fase understanding atau resiprokal (1986-1989), (iii)
fase akomodasionis (1990-1998). (Lihat: Fatwa, 2002: 37-38, 45-46).
Pada tanggal 26 Juli 1984 Wakil Gubernur DKI Jakarta Mayjen Edi Nalapraya—yang pernah menjadi
Asisten Intel Laksusda Jaya yang sering menangkap dan menahan saya—mengabarkan bahwa karena
setelah sekian lama saya ditekan dan diteror dengan berbagai cara tapi tidak bisa berubah, maka
terpaksa saya akan diselesaikan secara hukum.

Rupanya, sehari sesudah Peristiwa Tanjung Priok, Radio Australia menyiarkan bahwa saya ditahan
oleh Kopkamtib. Dua hari sesudahnya, saat saya bertemu dengan Mayjen Pol. Soehadi di rumah
Jenderal Pol. Soetjipto Joedodihardjo, mereka heran melihat saya belum ditahan karena menurut
informasi intelijen mestinya beberapa hari lalu saya sudah ditahan. Beliau menasehati saya untuk
sabar dan tetap konsisten berjuang karena, katanya, saya pasti akan ditahan.

Pada tanggal 19 September 1984 saya pun ditahan. Atas tuduhan subversif, saya dihukum 18 tahun
penjara, yang saya jalani selama 9 tahun lebih (saya diberi status bebas bersyarat pada tahun 1993).

KOMPASIANA ADALAH PLATFORM BLOG, SETIAP ARTIKEL MENJADI TANGGUNGJAWAB PENULIS.

LABEL hankam politik

REKOMENDASI

Disponsori

25 Insanely Cool Products From America Finally in Indonesia

Next Tech

Sensor di Media Sosial, Perlukah?

Disponsori

This Cheap Drone Is The Most Amazing Invention In Indonesia, 2018

Next Tech

Kitabisa Wujudkan Pendidikan untuk Korban Tsunami Sangiang

Recommended by

REKOMENDASI UNTUK ANDA

POWERED BY 
Infrastruktur Bicara tentang Peradaban Masa Depan

Tri AdhiantoTjahyono

148

Petuah Master Oogway Pasca-Putusan MK Soal Hasil Sengketa Pilpres 2019

L. Wahyu Putra Utama

103

Jadilah Pelaku Pancasila

cladita pamungkas putri

25

KOMENTAR

SELANJUTNYA

KIRIM

TERBARU

[Aashi] Catat Rindu Pencatat Hitam

Sari Aryanto

Mahasiswa KKN UM Bangsri Sukses Membuat Papan Nama Jalan di Desa Bangsri

Inka AnlaRitama

Puisi | Musim Hujan Kali Ini

Ratna Sari

Dialog Trah Ronggolawe (e)


Rusman

HEADLINE

Gerai Buku Kompas, Tak Populer Padahal Sangat Memuaskan

Hendra Wardhana

70

Sapi, Adakah Fungsi Sosial Budayanya bagi Orang Sumba?

Rofinus D Kaleka

14

Peraih K-Rewards Periode Juni 2019!

Kompasiana

514

Daftar Capim KPK, Hakim "Kopi Sianida" Punya Catatan Kontroversial

Yon Bayu

269

TENTANG KOMPASIANA

SYARAT DAN KETENTUAN

FAQ KOMPASIANA

KONTAK KAMI

JARINGAN

© 2018 KOMPASIANA.COM. A SUBSIDIARY OF KG MEDIA.

ALL RIGHTS RESERVED

NULIS


DAFTAR

Lily Sugianto

Pemerhati Sosial

SELANJUTNYA

FOLLOW

POLITIK PILIHAN

Perjuangan Pembebasan Irian Barat

4 Maret 2015 16:22 Diperbarui: 4 Maret 2015 16:22 1 0 0



”Kami telah mengadakan perundingan-perundingan bilateral, harapan lenyap, kesadaran hilang,


bahkan toleransi pun mencapai batasnya. Semuanya itu telah habis dan Belanda tidak memberikan
alternatif lainnya, kecuali memperkeras sikap kami!”

– “Membangun Dunia Baru” –

(Pidato Presiden Soekarno di depan forum PBB, 30 September 1960.)

Latar Belakang

Sebelum nama Papua (Irian) Barat dikenal, ada banyak nama yang diberikan untuk menyebut pulau
yang berada di ujung timur Indonesia ini, misalnya pada akhir tahun 1300, Kerajaan Majapahit
menyebut Papua dengan dua nama, yakni Wanin dan Sram. Tahun 1545, Inigo Ortiz de Retes pelaut
asal Spanyol memberi nama Nueva Guinee / Nugini.Sekitartahun 1646, Kerajaan Tidore memberi
nama untuk pulau ini Papa-Ua, kemudian berubah menjadi Papua. Pada masa pemerintahan kolonial
Belanda, wilayah ini dikenal dengan sebutan Nederlands Nieuw-Guinea atau Dutch New Guinea,
Nugini Nederland atau Nugini Belanda. Adapun proses nama Papua menjadi Irian merupakan proses
sejarah yang akan dibahas dalam tulisan ini. Oleh karenanya dalam rangka menghormati proses
bersejarah tersebut, untuk pembahasan selanjutnya penulis akan lebih sering menggunakan kata
Irian karena sesuai dengan tema dan judul tulisan ini.

Pulau yang terletak di wilayah paling timur Indonesia ini terkenal dengan kekayaan sumber daya
alam seperti emas dan bahan industri lainnya, hingga membuat Irian Barat menjadi daya tarik
tersendiri bagi bangsa-bangsa kolonial, di antaranya adalah Belanda yang telah menjajah Irian Barat
sejak tahun 1828. Hal ini dapat dibuktikan melalui peninggalan Benteng Fort Du Bus di Teluk Triton,
Kabupaten Kaimana, Papua Barat. Nama Ford du Bus diambil dari nama Gubernur Jenderal Hindia
Belanda yang berkuasa saat itu, L.P.J. Burggraaf du Bus de Gisignies. Namun secara politik praktis,
penjajahan Belanda di Papua Barat baru dimulai pada tahun 1898, yaitu ketika parlemen Belanda
menyetujui pembentukan struktur pemerintahan pertama di Manokwari dan Fakfak yang berada
dibawah komando kepemimpinan administrasi Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia.

Berlangsungnya Perang Pasifik yang merupakan bagian dari Perang Dunia II telah mengubah posisi
Belanda di Indonesia. Kedudukan Belanda yang telah berlangsung selama tiga setengah abad
digantikan oleh Jepang pada tanggal 19 April 1942. Berakhirnya Perang Dunia II dengan kekalahan
telak Jepang atas Sekutu yang dipimpin oleh Amerika Serikat ditandai dengan pengumuman Jepang
menyerah tanpa syarat pada tanggal 15 Agustus 1945. Pengumuman ini didengar oleh tokoh
perjuangan kemerdekaan Indonesia, dan tanpa menunggu janji Jepang yang akan memberikan
kemerdekaan kepada Indonesia pada 24 Agustus 1945, serta atas desakan para pemuda, Soekarno-
Hatta kemudian memproklamirkan Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Keesokan
harinya yaitu 18 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) melantik Soekarno
sebagai Presiden dan Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden.

Disisi lain, Belanda menganggap kekalahan Jepang merupakan peluang baru bagi negaranya untuk
kembali menguasai Indonesia, terutama Irian Barat. Tindakan ini tidak hanya dilakukan melalui
serangkaian agresi militer namun juga pemboikotan ekonomi dan politik manipulatif, di antaranya
menggunakan alasan etnis, bahwa Irian Barat berbeda dengan bangsa Indonesia. Tujuannya agar
Irian Barat dapat dipisahkan dari wilayah kesatuan Indonesia.

Persoalan pembebasan Irian Barat tentu saja tidak bisa dilepaskan dari pertarungan politik global
yang saat itu terpecah antara Blok Barat dan Blok Timur. Peran Soekarno dalam membangun
kekuatan Gerakan Non Blok melalui kebijakan politik luar negeri Indonesia yang Bebas dan Aktif
sebagaimana yang dirumuskan oleh Muhammad Hatta tidak hanya berhasil membuat posisi
Indonesia menjadi negara yang sangat disegani di dunia internasional tetapi juga berhasil
menggalang dukungan dari negara-negara tetangga.
***

Strategi Politik Luar Negeri Indonesia

Sebagai negara yang baru merdeka, Indonesia harus menghadapi banyak masalah di berbagai sektor,
di antaranya sektor ekonomi, sosial, politik, dan militer. Masuknya Sekutu melalui AFNEI (Allied
Forces Netherland East Indies) dan kedatangan kembali Belanda melalui NICA (Nederlands Indies
Civil Administration) untuk mengambil alih pendudukan Jepang menimbulkan perlawanan di
berbagai daerah. Selain menghadapi agresi Belanda, Indonesia juga harus menghadapi
pemberontakan dari kelompok-kelompok yang tidak puas dengan kinerja pemerintah. Banyaknya
pergantian kabinet di masa Demokrasi Liberal juga mewarnai perjalanan Indonesia di awal masa
proklamasi. Kontak fisik antara Inonesia dan Belanda menimbulkan korban di kedua belah pihak,
kondisi ini membuat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memutuskan untuk campur tangan.

Pemerintah kemudian menyusun kebijakan politik luar negerinya agar pelaksanaannya tidak
bertentangan dengan kepentingan nasional yaitu pengakuan atas kemerdekaan Indonesia serta
mendapat dukungan dunia internasional dalam menghadapi agresi Belanda. Pada masa Orde Lama,
landasan operasional politik luar negeri sebagian besar dinyatakan melalui maklumat dan pidato-
pidato Presiden Soekarno. Beberapa saat setelah kemerdekaan, dikeluarkan Maklumat Politik
Pemerintah tanggal 1 November 1945, yang memuat hal-hal sebagai berikut:

Politik damai dan hidup berdampingan secara damai

Politik tidak campur tangan dalam urusan dalam negeri negara lain

Politik bertetangga baik dan kerjasama dengan semua negara di bidang ekonomi, politik dan lain-lain

Politik berdasarkan Piagam PBB

Pada dasarnya pengertian politik luar negeri merupakan “action theory” atau kebijakan yang diambil
oleh negara dalam hubungannya dengan dunia internasional, untuk mencapai tujuan / kepentingan
nasional. Secara umum, politik luar negeri merupakan suatu perangkat formula nilai, sikap, arah
serta sasaran untuk mempertahankan, mengamankan, memajukan dan mewujudkan kepentingan
nasional di dalam percaturan dunia internasional.Kepentingan nasional Indonesia pasca proklamasi
kemerdekaan mencakup dua hal. Pertama, memperoleh pengakuan dunia internasional bahwa
Indonesia adalah negara yang merdeka dan berdaulat. Kedua, mempertahankan Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang mencakup seluruh wilayah bekas jajahan Hindia Belanda, termasuk Irian
Barat. Hal ini sesuai dengan azas Uti Possidetis Juris yang berlaku umum dalam hukum internasional,
bahwa negara yang merdeka mewarisi wilayah bekas negara penjajahnya (Penjelasan Pasal 6 ayat
(1) huruf a UU No. 43 Tahun 2008).

Berangkat dari landasan dasar politik luar negeri Indonesia yang tercantum pada alinea pertama
Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, bahwa “Kemerdekaan adalah hak segala bangsa dan
oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan
perikemanusiaan dan perkeadilan.” Bangsa Indonesia memandang sikap Belanda dan Sekutunya
untuk merebut kembali kemerdekaan Indonesia merupakan bentuk penjajahan yang harus
dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perkeadilan. Serta mengancam dasar
negara Pancasila yang menjadi landasan riil politik luar negeri Indonesia. Sebagai ideologi negara,
Pancasila merupakan cara pandang bangsa Indonesia baik terhadap diri, lingkungan, negara maupun
dunia internasional. Kelima sila yang termuat dalam Pancasila berisi pedoman dasar dalam
melaksanakan kehidupan berbangsa dan bernegara yang ideal dan mengikat seluruh bangsa
Indonesia.

Memperjuangkan NKRI

Sejarah pembebasan Irian Barat adalah bagian dari sejarah Indonesia dalam memperjuangkan
terwujudnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) melalui lobi-lobi internasional. Perjuangan
ini dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Tindakan langsung dilakukan dengan
mengemukakan persoalan Indonesia di hadapan sidang Dewan keamanan PBB. Sementara tindakan
tidak langsung adalah menjalin hubungan baik dengan negara-negara yang mendukung Indonesia
dalam sidang-sidang PBB.

Selain upaya di atas, Indonesia juga melakukan perundingan langsung dengan Belanda untuk
menyelesaikan konflik antara Indonesia-Belanda menyangkut persoalan wilayah-wilayah yang masih
dikuasai Belanda. Di tengah upaya diplomasi ini, Belanda sering kali melanggar kesepakatan dengan
melancarkan agresi militer. Atas tindakan ini Belanda mendapat kecaman dari dunia internasional,
terutama dari negara-negara yang mengakui kemerdekaan Indonesia. Akibat tekanan internasional,
Belanda akhirnya bersedia untuk melakukan perundingan kembali, hingga terbentuknya Republik
Indonesia Serikat: Berikut proses memperjuangkan NKRI:

a. NKRI Periode tahun 1946


Indonesia mengirimkan misi diplomatik pertamanya ke Belanda untuk berunding dengan pihak
Sekutu dan Belanda pada tanggal 14 - 25 April 1946 di Hooge Veluwe, Belanda. Hasil perundingan:
Belanda tidak bersedia memberikan pengakuan de facto kedaulatan RI atas Sumatera. Belanda
hanya mengakui kemerdekaan Jawa dan Madura dikurangi daerah-daerah yang telah diduduki
Pasukan Sekutu dan Belanda.

b. NKRI Periode tahun 1947

"Indonesian Office" atau Kantor Urusan Indonesia didirikan di Singapura, Bangkok, dan New Delhi
untuk menjadi perwakilan resmi Pemerintah RI, sekaligus menembus blokade ekonomi Belanda
terhadap Indonesia.

Indonesia dan Belanda menandatangani Perjanjian Linggarjati, dimana pihak Belanda mengakui
kedaulatan RI hanya sebatas Jawa, Sumatera, dan Madura.

Segi positif Perjanjian Linggarjati ialah adanya pengakuan de facto atas Republik Indonesia yang
meliputi Jawa, Madura, dan Sumatera. Sementara segi negatifnya ialah bahwa wilayah RI dari
Sabang sampai Merauke (Kalimantan, Maluku dan Irian Barat) yang seluas Hindia Belanda tidak
tercapai.

Pemerintah Mesir yang diwakili oleh Abdul Mounem menyampaikan pengakuan resminya terhadap
kemerdekaan Indonesia.

c. NKRI Periode tahun 1948

Mufti Agung Haji Amin El Husni berkunjung ke Indonesia untuk menyampaikan dukungan dan
simpati rakyat Palestina atas perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Wakil Presiden merangkap Perdana Menteri RI Mohammad Hatta menyampaikan prinsip-prinsip


kebijakan luar negeri RI yang bebas dan aktif di hadapan Sidang Badan Pekerja Komite Nasional
Indonesia Pusat (KNIP).

Untuk menembus blokade ekonomi Belanda, Menteri Kemakmuran RI Dr. A.K. Gani berangkat dalam
sebuah misi diplomatik ke Kuba untuk menjalin hubungan kerjasama dengan negara-negara Amerika
Latin.
Belanda melakukan agresi militer untuk kedua kalinya terhadap Indonesia. Presiden Soekarno,
Wapres Moh. Hatta dan Menteri Luar Negeri Agus Salim ditangkap Belanda di ibukota Yogyakarta
dan kemudian diasingkan ke Pulau Bangka, Sumatera.

Sidang Kabinet Darurat RI kemudian menunjuk Menteri Kemakmuran Sjafruddin Prawiranegara agar
membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukittinggi, Sumatera Barat. A.A.
Maramis yang saat itu sedang berada di New Delhi menjadi Menteri Luar Negeri PDRI.

d. NKRI Periode tahun 1949

Dewan Keamanan (DK) PBB mengeluarkan resolusi agar Belanda dan Indonesia segera
menghentikan segala aktifitas militer. Belanda diminta DK PBB untuk melepaskan semua tahanan
politik yang ditahan sejak awal Agresi Militer II.

Untuk membantu Indonesia yang sedang diserang Belanda, India dengan dukungan Birma
menyelenggarakan Konferensi Asia mengenai Indonesia di New Delhi. Konferensi dipimpin langsung
oleh PM India Jawaharlal Nehru. Semua delegasi yang hadir saat itu, mulai dari negara-negara Asia
hingga Australia dan Selandia Baru dari Pasifik, mengutuk Agresi Militer II Belanda.

Pemerintah Birma (kini Myanmar) memberi dukungan bagi perjuangan Indonesia melawan Belanda
dengan mengizinkan pesawat "Indonesian Airways" Dakota RI-001 Seulawah untuk beroperasi di
Birma. Pesawat Seulawah adalah hadiah dari rakyat Aceh kepada Presiden Soekarno. Selain itu,
Birma juga memberi bantuan peralatan radio yang memungkinkan Indonesia membangun jaringan
komunikasi radio antara pusat pemerintahan RI di Jawa - PDRI di Sumatera - Perwakilan RI di
Rangoon, dan Perutusan RI untuk PBB.

Konferensi Inter-Indonesia diselenggarakan di antara "negara-negara federal" di Hindia Belanda,


seperti: Jawa Tengah, Bangka, Belitung, Riau, Kalimantan Barat, Dayak Besar. Dalam Konferensi,
negara-negara tersebut memberi kedaulatan negaranya kepada Republik Indonesia.

Persetujuan Konferensi Meja Bundar (KMB) antara Republik Indonesia, Bijeenkomst voor Federaal
Overleg (BFO) dan Belanda di Den Haag tanggal 27 Desember 1949. Persetujuan ini disaksikan oleh
United Nations Commission for Indonesia (UNCI) perwakilan PBB. Hasil persetujuan KMB:

Belanda menyerah dan mengakui kedaulatan Indonesia tanpa syarat dan tidak dapat ditarik kembali,
kecuali Papua (Irian) bagian Barat. Indonesia ingin agar semua bekas daerah Hindia Belanda menjadi
wilayah kesatuan Indonesia. Namun Belanda menolak dan ingin Irian Barat tetap terpisah karena
perbedaan etnis. Karena itu pada pasal 2 disebutkan, masalah Irian Barat akan diselesaikan dalam
waktu satu tahun setelah terbentuknya RIS (Republik Indonesia Serikat).

Indonesia akan berbentuk Negara Serikat (RIS) yang merupakan bagian dari Belanda, dan Kerajaan
Belanda sebagai pemimpin.
RIS harus menanggung semua hutang Belanda yang dibuat sejak tahun 1942

Makna Pembebasan Irian Barat

Lepasnya satu-persatu negara boneka bentukan Belanda seperti yang terjadi pada Konferensi Inter-
Indonesia membuat Belanda mencari siasat untuk mempertahankan Irian Barat. Karena azas Uti
Possidetis Juris dalam hukum internasional telah mengatur, bahwa setiap negara yang merdeka
mewarisi wilayah bekas negara penjajahnya (Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a UU No. 43 Tahun
2008). Maka sebagai negara kolonial, Belanda tidak memiliki pilihan lain kecuali tunduk pada aturan
hukum internasional tersebut.

Alasan etnis yang digunakan Belanda saat menolak menyerahkan Irian Barat, sebenarnya hanya
untuk menutupi niat liciknya. Alasan sesungguhnya adalah, dari hasil penelitian yang pernah
dilakukan oleh Belanda, ternyata bumi Irian Barat merupakan tambang emas dan uranium terbesar
di dunia, yang tidak akan habis digali selama 100 tahun (sekarang berdiri perusahaan asing Freeport
Sulphur milik Amerika). Karena itu, secara diam-diam pada tanggal 19 Pebruari 1952 Belanda
memasukkan wilayah Irian Barat ke dalam Konstitusinya untuk menguasai tambang emas dan
uranium tersebut. Akibat tindakannya ini, Belanda tidak hanya melanggar azas Uti Possidetis Juris
hukum internasional melainkan juga melanggar persetujuan Konferensi Meja Bundar (Round Table
Conference) yang telah disepakati dengan RIS.

Soekarno menyebut tindakan Belanda melakukan pengeksploitasi sumber daya alam di Irian Barat
sebagai Neo-Kolonialisme dan Neo-Imperialisme. Karena itu, Soekarno memilih cara yang lebih tegas
selain tetap menggunakan jalur diplomasi politik, yaitu nasionalisasi perusahaan asing milik Belanda,
dan mengirim pasukan Trikora untuk membebaskan Irian Barat dari tangan Belanda.

Pembebasan Irian Barat dengan Diplomasi Politik

a. Perundingan Bilateral Indonesia Belanda

Pada tanggal 24 Maret 1950 diselenggarakan Konferensi Tingkat Menteri Uni Belanda – Indonesia.
Konferensi memutuskan untuk membentuk suatu komisi yang anggotanya wakil-wakil dari Indonesia
dan Belanda untuk menyelidiki masalah Irian Barat. Hasil kerja Komisi ini harus dilaporkan dalam
Konferensi Tingkat Menteri II di Den Haag pada bulan Desember 1950. Pembicaraan dalam tingkat
ini tidak menghasilkan penyelesaian masalah Irian Barat. Pertemuan Bilateral antara Indonesia-
Belanda berturut-turut diadakan pada tahun 1952 dan 1954, namun hasilnya tetap sama yaitu,
Belanda tidak bersedia mengembalikan Irian Barat kepada Indonesia sesuai hasil KMB.

b. Melalui Forum PBB


Setelah menjadi anggota PBB yang ke-60 pada tanggal 28 September 1950, Indonesia berupaya
mengajukan masalah Irian Barat dalam forum PBB. Sidang Umum PBB yang pertama kali membahas
masalah Irian Barat dilaksanakan pada tanggal 10 Desember 1954, namun sidang ini gagal mencapai
2/3 suara dukungan yang diperlukan untuk mendesak Belanda. Secara berturut-turut Indonesia
mengajukan sengketa Irian Barat dalam Majelis Umum X tahun 1955, Majelis Umum XI tahun 1956,
dan Majelis Umum XII tahun 1957, tetapi hasil pemungutan suara tetap tidak mencapai 2/3 suara.

c. Dukungan Negara Negara Asia Afrika (KAA)

Gagal dengan jalur diplomatik di tingkat global, Indonesia kemudian menempuh jalur diplomasi di
tingkat regional dengan mencari dukungan dari negara-negara Asia Afrika. Konferensi Asia Afrika
yang diadakan di Bandung tahun 1955 dan dihadiri 29 negara-negara di kawasan Asia Afrika ini
secara bulat mendukung upaya bangsa Indonesia untuk memperoleh kembali Irian sebagai wilayah
yang sah dari RI. Namun suara bangsa Asia Afrika dalam forum PBB tetap tidak dapat menarik
dukungan internasional dalam sidang Majelis Umum PBB. Konferensi inilah yang menjadi tonggak
lahirnya Gerakan Non Blok (GNB).

GNB mempunyai arti khusus bagi bangsa Indonesia, sebagai negara netral yang tidak memihak. Hal
tersebut tercermin dalam Pembukaan UUD 1945 yang menyatakan bahwa “kemerdekaan adalah hak
segala bangsa, dan oleh sebab itu maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak
sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”. GNG sesuai dengan politik luar negeri yang bebas
dan aktif, dimana Indonesia memilih untuk menentukan jalannya sendiri dalam upaya membantu
tercapainya perdamaian dunia dengan mengadakan persahabatan dengan segala bangsa. Serta ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan
sosial. Kedua mandat tersebut menjadi bagian dalam prinsip dasar GNB, yang dikenal dengan
Dasasila Bandung.

Pembebasan Irian Barat dengan Konfrontasi Politik dan Ekonomi

Kegagalan pemerintah Indonesia untuk mengembalikan Irian Barat melalui jalur bilateral, Forum PBB
dan dukungan Asia Afrika, membuat pemerintah RI memilih jalur lain, yaitu jalur konfrontasi. Berikut
adalah upaya Indonesia mengembalikan Irian Barat melalui jalur konfrontasi politik dan ekonomi
yang dilakukan secara bertahap:

a. Pembatalan Uni Indonesia Belanda (RIS) dan kembali ke NKRI

Setelah gagal mengembalikan Irian Barat melalui jalur diplomasi, pemerintah RI mulai bertindak
tegas dengan tidak lagi mengakui RIS yang dibentuk melalui persetujuan KMB. Hal ini tidak hanya
berarti pembatalan RIS secara sepihak oleh pemerintah RI, melainkan juga pembatalan seluruh
persetujuan KMB. Pada tanggal 17 Agustus 1950, RIS resmi dibubarkan dan Indonesia kembali dalam
bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.

b. Pembentukan Pemerintahan Sementara Propinsi Irian Barat.

Ali Sastroamidjojo membentuk Propinsi Irian Barat dengan ibu kota Soasiu, Tidore Maluku Utara.
Pembentukan propinsi itu diresmikan tanggal 17 Agustus 1956. Propinsi ini meliputi wilayah Irian
Barat yang masih diduduki Belanda dan daerah Tidore, Oba, Weda, Patrani, serta Wasile di Maluku
Utara.

c. Pemogokan Total Buruh Indonesia

Sepuluh tahun menempuh jalan damai, tidak menghasilkan apapun. Karena itu, sesuai dengan
perintah Soekarno dalam rapat umum yang diadakan pada tanggal 2 Desember 1957, terjadi
pemogokan total oleh buruh-buruh yang bekerja pada perusahaan-perusahaan milik Belanda. Pada
hari itu juga Soekarno mengeluarkan larangan beredarnya semua terbitan dan film yang
menggunakan bahasa Belanda. Kemudian maskapai penerbangan Belanda, KLM dilarang mendarat
dan terbang di seluruh wilayah Indonesia.

d. Nasionalisasi Perusahaan Milik Belanda

Pada tanggal 3 Desember 1957 semua kegiatan perwakilan konsulat Belanda di Indonesia diminta
untuk dihentikan. Penghentian kegiatan ini dalam rangka proses pengambil-alihan (nasionalisasi)
modal perusahaan-perusahaan asing milik Belanda yang ada di seluruh Indonesia, sesuai dengan
Peraturan Pemerintah No. 23 tahun 1958.

e. Pemutusan Hubungan Diplomatik

Dalam pidatonya yang berjudul ”Jalan Revolusi Kita Bagaikan Malaikat Turun Dari Langit (Jarek)”
pada HUT Proklamasi Kemerdekaan RI ke 15 tanggal 17 Agustus 1960, Presiden Soekarno
memaklumatkan pemutusan hubungan diplomatik dengan Belanda. Tindakan ini merupakan reaksi
atas sikap Belanda yang dianggap tidak menghendaki penyelesaian secara damai pengembalian Irian
Barat kepada Indonesia. Bahkan menjelang bulan Agustus 1960, Belanda mengirimkan kapal induk ”
Karel Doorman” ke Irian Barat melalui Jepang. Disamping meningkatkan armada lautnya, Belanda
juga memperkuat armada udaranya dan angkutan daratnya di Irian Barat. Karena itulah pemerintah
RI mulai menyusun kekuatan bersenjatanya untuk mempersiapkan segala kemungkinan.

Pembebasan Irian Barat dengan Konfrontasi Militer


Langkah diplomasi politik dan konfrontasi ekonomi yang dilakukan Indonesia ternyata belum mampu
memaksa Belanda untuk menyerahkan Irian Barat. Bahkan di sidang Majelis Umum PBB XVI tahun
1961, Belanda mengumumkan berdirinya Negara Papua dan mengajukan usulan dekolonisasi di Irian
Barat yang dikenal dengan ”Rencana Luns”.

Menanggapi rencana licik Belanda, pada tanggal 19 Desember 1961 di Alun-alun Yogyakarta,
Presiden Soekarno mengumumkan pelaksanaan Trikora. Langkah pertama pelaksanaan Trikora
adalah pembentukan suatu komando operasi yaitu ”Komando Mandala Pembebasan Irian Barat”
dengan panglima komando Brigjend. Soeharto yang pangkatnya telah dinaikkan menjadi Mayor
Jenderal. Tujuan Komando Mandala yang bermarkas di Makassar ini adalah melaksanakan operasi
militer untuk merebut kembali Irian Barat dari penjajahan Belanda. Operasi militer ini didukung Uni
Soviet dengan memberi bantuan perlengkapan perang.

Dukungan Uni Soviet (PM. Nikita Kruschev) kepada Indonesia menimbulkan ketegangan politik
internasional, terutama pihak Sekutu Amerika Serikat yang mendukung Belanda. Presiden Amerika
Serikat John Fitzgerald Kennedy menganggap dukungan dan hubungan diplomatik antara Uni Soviet
dan Indonesia akan membahayakan posisi Amerika Serikat di Asia. Pertama, sebagai sekutu Belanda,
Amerika akan dicap sebagai negara pendukung penjajah. Kedua, kehadiran Uni Soviet sebagai simbol
kekuatan Blok Timur menjadi ancaman bagi wilayah yang selama ini menjadi kekuasaan Blok Barat,
yaitu Pasifik Barat Daya.

Melalui Sekjend PBB U Than, Kennedy mengirim diplomatnya yang bernama Elsworth Bunker untuk
mengadakan pendekatan kepada Indonesia dan Belanda. Sesuai dengan tugas diberikan oleh
Sekjend PBB, Elsworth Bunker mengadakan penelitian dan mengajukan usulan yang dikenal dengan
”Proposal Bunker”. Isi Proposal Bunker adalah ”Belanda harus menyerahkan kedaulatan atas Irian
Barat kepada Indonesia melalui PBB dalam jangka waktu paling lambat dua tahun”. Usulan ini
menimbulkan reaksi, pihak Indonesia meminta agar waktu penyerahan dipersingkat. Sementara
Belanda menyetujui dengan syarat kedaulatan tetap diserahkan kepada Negara Papua Merdeka.
Melihat adanya intervensi asing Amerika dalam persoalan pembebasan Irian Barat memaksa
Soekarno untuk menyusun serangan terbuka melalui Operasi Jaya Wijaya pada bulan Maret hingga
Agustus 1962 yang dipimpin oleh Kolonel Soedomo. Pada tanggal 18 Agustus 1962, Dewan Markas
Besar PBB menyerukan resolusi gencatan senjata.

Kemerdekaan Irian Barat dan Berintegrasi dalam NKRI

Operasi infiltrasi yang dilakukan pasukan Jaya Wijaya berhasil mengepung beberapa kota penting di
Irian Barat. Terdesak dengan kondisi tersebut, ditambah desakan Amerika yang mengkhawatirkan
peran Uni Soviet di wilayah Pasifik Barat Daya, Belanda akhirnya bersedia menyerahkan Irian Barat
kepada Indonesia melalui Persetujuan New York / New York Agreement. Isi dari persetujuan
tersebut adalah:
Pemerintahan sementara PBB (UNTEA – United Nations Temporary Executive Authority) akan
mengambil alih pemerintahan Belanda di Irian Barat dan proses ini akan segera dilakukan selambat-
lambatnya tanggal 1 Oktober 1962

Proses akhir penarikan pasukan sipil dan militer Belanda selambat-lambatnya tanggal 1 Mei 1963

Pemerintah RI secara resmi akan menerima penyerahan pemerintahan Irian Barat dari pemerintahan
sementara PBB (UNTEA) elambat lambatnya tanggal 1 Mei 1963

Indonesia menerima kewajiban mengadakan Penentuan Pendapat rakyat di Irian Barat, sebelum
akhir tahun 1969.

Sesuai dengan perjanjian New York, pada tanggal 1 Mei 1963 berlangsung upacara serah terima
pemerintahan Irian Barat dari pemerintahan sementara PBB (UNTEA) kepada pemerintah Republik
Indonesia. Upacara ini berlangsung di Hollandia (Jayapura). Dalam peristiwa itu bendera PBB
diturunkan dan kemudian bendera Merah Putih berkibar. Moment ini sekaligus menandakan
resminya Irian Barat menjadi propinsi ke 26 Negara Kesatuan Republik Indonesia. Delegasi Indonesia
menyambut hasil perjanjian ini dengan rasa haru, lega, dan mengucapkan puji syukur kepada Tuhan
Yang Maha Esa.

Perjuangan pembebasan Irian Barat yang telah berlangsung selama 20 tahun telah selesai.
Pembebasan Irian Barat sekaligus menandakan perwujudan dari persatuan dan kesatuan wilayah
NKRI seperti yang diamanatkan dalam Proklamasi 17 Agustus 1945. Nama Papua Barat kemudian
diubah menjadi Irian Jaya yang merupakan akronim dari “Ikut Republik Indonesia Anti Nederland”.

Untuk memperingati perjuangan pembebasan Irian Barat, sebuah Patung didirikan di Lapangan
Banteng. Patung yang memiliki makna simbolis “Kebebasan dari belenggu-belenggu penjajah” ini
merupakan karya Hendrik Hermanus Joel Ngantung atau yang lebih dikenal dengan nama Henk
Ngantung, Gubernur DKI Jakarta pada masa ini. Patung pembebasan Irian Barat ini diresmikan pada
tanggal 17 Agustus 1963 oleh Presiden Soekarno.

Kesimpulan
Melalui pembahasan yang telah diuraikan di atas, dapat disimpulkan bahwa perjuangan pemerintah
Indonesia dalam pembebasan Irian Barat bukan merupakan tindakan aneksasi kepada bangsa lain,
karena secara de facto dan de jure Irian Barat merupakan bagian dari wilayah Indonesia, sesuai
dengan azas Uti Possidetis Juris dalam hukum internasional yang menyebutkan, “that old
administrative boundaries will become international boundaries when a political subdivision
achieves independence”. Proses integrasi Irian Barat ke dalam NKRI dilakukan oleh pemerintah
Soekarno melalui langkah-langkah sebagai berikut:

Jalur Diplomatik, untuk menggalang dukungan internasional dan mengadakan perundingan-


perundingan dengan pihak Belanda.

Membangun Solidaritas antar negara bekas jajahan bangsa kolonial melalui Gerakan Non Blok yang
menjadi kekuatan baru dalam mengimbangi arogansi Blok Barat dan Blok Timur.

Ketika jalur diplomatik tidak berjalan sesuai harapan, Soekarno melakukan pemboikotan apapun
yang berkaitan dengan Belanda, seperti nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing milik Belanda
yang ada di seluruh Indonesia, pelarangan buku dan film Belanda, hingga pelarangan pesawat
Belanda untuk melintasi wilayah Indonesia.

Setelah kedua langkah di atas ternyata tidak membuah hasil, pemerintah Soekarno kemudian
memutuskan menempuh jalur militer dengan mengirim pasukan Trikora dan Operasi Jaya Wijaya.

1.Anonymous, “Sejarah Pergantian Nama Pulau Papua” – diakses


darihttp://sejarahwp.blogspot.com/2013/09/sejarahnamapapua.html?m=1, pada tanggal 20
November 2014.

2.John Anari, S. Komp, “Analisis Penyebab Konflik Papua & Solusinya secara Hukum Internasional” –
diakses darihttp://oppb.webs.com/Konflik_Papua.pdf, pada tanggal 20 November 2014.
Otis Simopiaref, “Pudi Belum Mengenal Penganeksasian Papua Barat” – diakses dari
http://www.library.ohiou.edu/indopubs/1997/11/10/0032.html, pada tanggal 22 November 2014.

Sri Endang Susetiawati, “Apa yang Dilakukan oleh Soekarno, Saat Merebut Irian Jaya?”– diakses dari
http://sejarah.kompasiana.com/2011/05/05/apa-yang-dilakukan-oleh-soekarno-saat-merebut-irian-
jaya-361271.html, pada tanggal 24 November 2014.

Enggar Rahmawati, “Konflik Indonesia Belanda”– diakses dari http://tradisional-


rahma.blogspot.com/2012/05/konflik-indonesia-belanda.html, pada tanggal 24 November 2014.

Cahya Fauzi, “Komparasi Strategi Politik Luar Negeri Indonesia (BebasAktif) Pada masa Pemerintahan
Soekarno dan Gusdur” – diakses dari
http://www.academia.edu/8896726/KOMPARASI_STRATEGI_POLITIK_LUAR_NEGERI_INDONESIA_B
EBAS_AKTIF_PADA_MASA_PEMERINTAHAN_SOEKARNO_DAN_GUS_DUR, pada tanggal 24
November 2014

(1) Slamet Teguh, “Sengketa batas Maritim Indonesia Selat Malaka”, Program Pascasarjana tehnik
Geomatika Fakultas tehnik Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta – diakses dari
http://www.scribd.com/doc/242241542/SELAT-MALAKA-docx, pada tanggal 24 November 2014.
(2)KNPB: “Merdeka” Antara Mimpi dan Khayalan - diakses dari
https://westpapuainfo.wordpress.com/2013/11/, pada tanggal 24 November 2014.

Anonim, “Peran-Peran Ir. Soekarno yang Bersejarah” – diakses dari


http://suaraindonesiakini.blogspot.com/2011/10/peran-peran-ir-soekarno-yang-bersejarah.html,
pada tanggal 26 November 2014.

Dwi Nugroho, “Perjuangan Bangsa Indonesia Merebut Irian Barat / Papua” – diakses dari
http://mayachitchatting.wordpress.com/2012/05/23/kekalahan-belanda-mempertahankan-irian-
jaya-sebagai-wilayah-jajahannya-yang-sarat-dengan-emas-mineral-lain-migas-dan-kayu/, pada
tanggal 27 November 2014.

Ahmaris, “Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia Melalui Diplomasi” (ed) – diakses


dari https://ahmaris.wordpress.com, pada tanggal 27 November 2014

Paul R. Hensel and Michael E. Allison, “The Colonial Legacy and Border Stability: Uti Possidetis and
Territorial Claims in the Americas” – diakses dari http://www.paulhensel.org/Research/io05.pdf,
pada tanggal 27 November 2014
KOMPASIANA ADALAH PLATFORM BLOG, SETIAP ARTIKEL MENJADI TANGGUNGJAWAB PENULIS.

LABEL politik

REKOMENDASI

Disponsori

Selfie Quadcopter Revolution in Indonesia. The Idea is Genius

Next Tech

Pelajaran Berharga dari Profesor Eddy di Mahkamah Konstitusi

Gerai Buku Kompas, Tak Populer Padahal Sangat Memuaskan

Disponsori

25 Insanely Cool Products from the USA Finally Here

Next Tech

Recommended by

REKOMENDASI UNTUK ANDA

POWERED BY 

Anda mungkin juga menyukai