Patologi 1 Granuloma
Patologi 1 Granuloma
Patologi 1 Granuloma
Oleh :
Kelompok A
PPDH Semester Periode I Tahun 2019/2020
Dosen Penguji:
Drh Vetnizah Juniantito, PhD, APVet
Inflamasi granulomatosa merupakan pola khas dari inflamasi kronis pada kondisi infeksi
atau tanpa infeksi. Infeksi yang dapat menyebabkan inflamasi granulomatosa, di antaranya adalah
jamur, virus, bakteri, cacing, dan protozoa. Inflamasi granulomatosa juga dapat muncul sebagai
manifestasi penyakit akibat keracunan, alergi, autoimun, neoplasma, dan kondisi-kondisi dengan
penyebab yang belum diketahui. Granuloma merupakan lesi fokal berbatas jelas yang merupakan
agregasi makrofag, sel-sel epiteloid, dan multinucleated giant cell. Granuloma dengan susunan
renggang dan difus juga dapat dijumpai. Granuloma umumnya terbentuk sebagai bentuk
pertahanan host terhadap iritan yang persisten (Adhikari et al. 2013).
Klasifikasi inflamasi granuloma semakin berkembang karena pemahaman akan
pathogenesis penyakit dan kemajuan dalam bidang biologi molekuler. Bentuk inflamasi
granuloma dibagi menjadi granuloma difus (lepromatous) dan granuloma nodular (tuberculoid).
Nodular granuloma
Contoh dari nodular granuloma (tuberculoid) adalah granuloma yang disebabkan oleh
Mycobacterium bovis atau Mycobacterium tuberculosis, serta oleh infeksi fungi, seperi
coccidiomycosis. Nodular granuloma secara makroskopik terlihat berwarna abu-abu hingga putih,
berbentuk bulat atau oval, terasa lunak hingga keras. Nodular granuloma terbentuk karena respon
limfositik tipe TH1 pada berbagai spesies, terutama manusia, hewan ternak, dan monyet rhesus.
Granuloma ini umumnya terbentuk di paru-paru dan organ parenkim lainnya karena pintu masuk
infeksi merupakan saluran pernapasan.
Tahapan pembentukan nodular granuloma terbagi atas tiga tahap, yaitu stage I granuloma,
stage II granuloma, stage III granuloma, dan stage IV granuloma. Stage I granuloma merupakan
proses terjadinya infiltrasi neutrophil, monosit, makrofag, γ/β T limfosit, dan sel NK pada lesi
beberapa hari setelah terjadinya infeksi. Makrofag epiteloid juga terbentuk pada stage ini. Lapisan
tipis jaringan ikat, limfosit B, dan MGC terbentuk pada stage II granuloma, yaitu pada 48 jam
hingga beberapa minggu setelah terjadinya infeksi. Area tengah lesi dapat mengalami kaseasi dan
mineralisasi serta dipadati makrofag pada beberapa minggu hingga satu bulan setelah infeksi yang
merupakan stage III granuloma. Limfosit, sel plasma, zona fibroblast, dan kapsul jaringan ikat
fibrosa mengelilingi area tersebut. Setelah beberapa bulan infeksi, yaitu pada stage IV granuloma,
lesi dapat dilapisi oleh dinding kapsula tebal dan area pada lesi dapat termineralisasi. Dinding
kapsula dapat terdegradasi ketika mikroorganisme dilepaskan dari bagian dalam lesi.
Difuse granuloma
Granuloma tipe ini berhubungan dengan respon imun adaptif tipe TH2 yang terlihat pada
Johne’s disease pada sapi dan domba. Difuse granuloma seringkali terlihat abu-abu hingga putih,
tersebar luas, tidak berbatas jelas dengan jaringan, dan keras. Difuse granuloma memiliki sedikit
limfosit dan sel plasma. Lesi ini umumnya ditemukan pada lamina propria kolon dan ileum serta
pada limfonodus mesenterica.
Eosinophilic granuloma
Beberapa tipe inflamasi kronis mengalami infiltrasi eosinophil, makrofag, limfosit, dan sel
plasma. Eosinophilic granuloma menandakan adanya eosinofil. Granuloma tipe ini secara
makroskopik terlihat seperti papula, nodul, plaque, dan luka pada kulit, telapak kaki, dan mukosa.
Secara mikroskopik, inflamasi tipe ini ditunjukkan dengan keberadaan eosinofil, makrofag, dan
eosinofil disekeliling kolagen (Zachary dan McGavin 2012).
Agen Penyebab
BAGIAN 2
Ketiadaan Rigor Mortis
Hewan yang terinfeksi Bacillus anthracis tidak mengalami rigor mortis saat mati. rigor
mortis membutuhkan ATP untuk dapat berlangsung. Bakteri penyebab antraks memiliki toksin,
yaitu edema factor (EF) atau calmodulin dependent adenylate cyclase. Toksin tersebut memiliki
kemampuan untuk mencegah kekakuan otot dengan menstimulasi pelepasan cAMP secara konstan
sehingga konsentrasi cAMP dalam tubuh tidak pernah rendah. Hal ini menyebabkan hewan tidak
mengalami rigor mortis karena otot masih memiliki cAMP dalam jumlah cukup untuk relaksasi
otot sehingga rigor mortis tidak terjadi.
Otot lurik dari lobster Norwegia (Nephrops norvegicus) tidak menunjukkan kondisi rigor
mortis yang umumnya terjadi pada otot lurik. Berdasarkan penelitian, diketahui bahwa pada 12
hingga 24 jam pasca mati dengan suhu penyimpanan 10ºC, lobster Norwegia tidak mengalami
rigor mortis, namun mengalami pemecahan protein myofibril. Pemecahan protein menghalangi
rigor mortis dengan aktivasi beberapa system proteolitik, seperti cathepsins, calpains, dan system
lainnya yang dapat ditemukan baik pada vertebrata maupun invertebrata (Gornik et al. 2009).
BAGIAN 3
Imbibisi Hemoglobin dan Peradangan
BAGIAN 4
Sepsis
Sepsis didefinisikan sebagai infeksi yang disertai dengan manifestasi sistemik infeksi.
Kerusakan organ tidak terjadi secara lokal, namun sepsis mengindikasikan adanya malfungsi dari
satu atau lebih organ. Enam situs yang paling sering berhubungan dengan sepsis adalah
pneumonia, infeksi pada system sirkulasi temasuk endocarditis, intravascular catheter-related
sepsis, infeksi intraabdominal, sepsis urological, dan infeksi luka operasi.
Systemic inflammatory response syndrome (SIRS) merupakan reaksi peradangan yang
tidak normal karena kejadian yang mengawalinya. SIRS dapat terjadi akibat kausa non infektif,
seperti trauma, pankreatitis, dan prosedur bypass jantung. Infeksi yang terjadi merangsang kaskade
sitokin melalui Toll-like receptors pada sel peradangan yang mensekresikan sekresi berlebihan
dari banyak mediator peradangan, seperti IL-1, TNFα, IL-6, nitric oxide (NO), dan platelet
activating factor (PAF). Hal ini secara sistemik memengaruhi fungsi organ dengan merusak sel
epitel dan endotel, infiltrasi sel radang, infiltrasi pembekuan darah, stimulasi hormone, dan
aktivasi system saraf otonom. Rangsangan dari mikroorganisme dapat dipicu oleh endotoxin, yaitu
lipopolisakarida dari bakteri Gram negative berbentuk batang dan superantigen dari bakteri Gram
positif kokus. System saraf kolinergik penting dalam menekan produksi sitokin tersebut. Adanya
respon seimbang dalam eliminasi infeksi pada fase awal SIRS dapat berujung pada kesembuhan,
namun jika respon tidak seimbang, yaitu dengan adanya produksi berlebihan dari sitokin maka
dapat terjadi disfungsi organ secara akut dan mengakibatkan kematian.
Kalainan beberapa organ dapat ditemukan pada kondisi sepsis. Lesi yang dapat ditemukan
adalah iskemia pada jantung, vasculitis dan thrombosis pada pembuluh darah, infark cerebral
karena thromboemboli, hypoxic-ischaemic encephalopathy, meningitis, edema pulmonum,
alveolar collapse, acute renal failure, deplesi dan hiperplasi lipid kelenjar adrenal, hemoragi
parenkim, disseminated intravascular coagulation, dan end stage liver disease (Lucas 2007),
gastritis hemoragi, dan peritonitis ((Zachary dan McGavin 2012).
DAFTAR PUSTAKA