Oleh Kelompok:
Apresheila Azizul
Candra Iriyanto
Heru setiawan
Novita Cahyuni
Ulmaifa Nanda P
PRODI SI - KEPERAWATAN
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
INSTITUT ILMU KESEHATAN BHAKTI WIYATA KEDIRI
TAHUN 2020
BAB I
LAPORAN PENDAHULUAN
A. Definisi
Cedera kepala (trauma capitis) adalah cedera mekanik yang secara langsung atau
tidak langsung mengenai kepala yang mengakibatkan luka di kulit kepala, fraktur tulang
tengkorak, robekan selaput otak dan kerusakan jaringan otak itu sendiri, serta
mengakibatkan gangguan neurologis (Sjahrir, 2012).
Cedera kepala merupakan sebuah proses dimana terjadi cedera langsung atau
deselerasi terhadap kepala yang dapat mengakibatkan kerusakan tengkorak dan otak
(Pierce dan Neil, 2014). Menurut Brain Injury Assosiation of America (2006), cedera
kepala merupakan kerusakan yang disebabkan oleh serangan ataupun benturan fisik dari
luar, yang dapat mengubah kesadaran yang dapat menimbulkan kerusakan fungsi kognitif
maupun fungsi fisik.
Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada
kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas
(Mansjoer, A. 2011).
B. Epidemiologi
Cedera kepala merupakan penyebab utama kecacatan dan kematian, terutama pada
dewasa muda. Di Amerika Serikat, hampir 10% kematian disebabkan karena trauma, dan
setengah dari total kematian akibat trauma berhubungan dengan otak. Kasus cedera
kepala terjadi setiap 7 detik dan kematian akibat cedera kepala terjadi setiap 5 menit.
Cedera kepala dapat terjadi pada semua kelompok usia, namun angka kejadian tertinggi
adalah pada dewasa muda berusia 15-24 tahun. Angka kejadian pada laki-laki 3 hingga 4
kali lebih sering dibandingkan wanita (Rowland et al, 2010). Penyebab cedera kepala di
Indonesia mayoritas karena kecelakaan lalu lintas yang dapat dilaporkan
kecenderungannya dari tahun 2007 dengan 2013 hanya untuk transportasi darat, tampak
ada kenaikan cukup tinggi yaitu dari 25,9 persen menjadi 47,7 persen (RISKESDAS,
2013).
C. Etiologi
Penyebab cedera kepala dibagi menjadi cedera primer yaitu cedera yang terjadi
akibat benturan langsung maupun tidak langsung, dan cedera sekunder yaitu cedera yang
terjadi akibat cedera saraf melalui akson meluas, hipertensi intrakranial, hipoksia,
hiperkapnea / hipotensi sistemik. Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat
berbagai proses patologis yang timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer,
berupa perdarahan, edema otak, kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia, peningkatan
tekanan intrakranial dan perubahan neurokimiawi (Hickey, 2003).
Penyebab cedera kepala terdiri dari kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh,
kecelakaan industri, serangan dan yang berhubungan dengan olah raga, trauma akibat
persalinan. Menurut Mansjoer (2011), cidera kepala penyebab sebagian besar kematian
dan kecacatan utama pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat
kecelakaan lalu lintas.
D. Klasifikasi
Klasifikasi Cedera Kepala antara lain:
Menurut Judha (2011), tanda dan gejala dari cidera kepala antaralain:
1. SkullFracture
Gejala yang didapatkan CSF atau cairan lain keluar dari telinga dan hidung
(othorrea, rhinorhea), darah dibelakang membran timphani,
periobitalecimos(brillhaematoma),memardidaerahmastoid(battle sign), perubahan
penglihatan, hilang pendengaran, hilang indra penciuman, pupil dilatasi,
berkurangnya gerakan mata, danvertigo.
2. Concussion
Tanda yang didapat adalah menurunnya tingkat kesadaran kurang dari 5 menit,
amnesia retrograde, pusing, sakit kepala, mual dan muntah. Contusins dibagi
menjadi 2 yaitu cerebral contusion, brainsteam contusion. Tanda yangterdapat:
a. Pernafasan mungkin normal, hilang keseimbangan secara perlahan ataucepat.
b. Pupil biasanya mengecil, equal, dan reaktif jika kerusakan sampai batang otak
bagian atas (saraf kranial ke III) dapat menyebabkan keabnormalan pupil.
Menurut Reisner (2009), gejala klinis cedera kepala yang dapat membantu
mendiagnosis adalah battle sign (warna biru atau ekhimosis dibelakang telinga di atas os
mastoid), hemotipanum (perdarahan di daerah membran timpani telinga), periorbital
ekhimosis (mata warna hitam tanpa trauma langsung), rhinorrhoe (cairan serebrospinal
keluar dari hidung), otorrhoe (cairan serebrospinal keluar dari telinga). Tanda–tanda atau
gejala klinis untuk yang cedera kepala ringan adalah pasien tertidur atau kesadaran yang
menurun selama beberapa saat kemudian sembuh, sakit kepala yang menetap atau
berkepanjangan, mual dan atau muntah, gangguan tidur dan nafsu makan yang menurun,
perubahan kepribadian diri, letargik. Tanda–tanda atau gejala klinis untuk yang cedera
kepala berat adalah perubahan ukuran pupil (anisocoria), trias Cushing (denyut jantung
menurun, hipertensi, depresi pernafasan) apabila meningkatnya tekanan intrakranial,
terdapat pergerakan atau posisi abnormal ekstremitas (Reisner, 2009).
F. Patofisiologi
Cedera kepala atau trauma kapitis lebih sering terjadi daripada trauma tulang
belakang. Trauma dapat timbul akibat gaya mekanik maupun non mekanik. Kepala
dapat dipukul, ditampar, atau bahkan terkena sesuatu yang keras. Tempat yang langsung
terkena pukulan atau penyebab tersebut dinamakan dampak atau impact. Pada impact
dapat terjadi (1) indentasi, (2) fraktur linear, (3) fraktur stelatum, (4) fraktur impresi,
atau bahkan (5) hanya edema atau perdarahan subkutan saja. Fraktur yang paling ringan
ialah fraktur linear. Jika gaya destruktifnya lebih kuat, dapat timbul fraktur stelatum atau
fraktur impresi (Mardjono & Sidharta, 2010).
Selain hal-hal tersebut, saraf-saraf otak dapat terkena oleh trauma kapitis karena
(1) trauma langsung, (2) hematom yang menekan pada saraf
otak,(3)traksiterhadapsarafotakketikaotaktergeserkarenaakselerasi,atau(4) kompresi
serebral traumatik akut yang secara sekunder menekan pada batang otak. Pada trauma
kapitis dapat terjadi komosio, yaitu pingsan sejenak dengan atau tanpa amnesia
retrograd. Tanda-tanda kelainan neurologikapapun tidak terdapat pada penderita
tersebut. Sedangkan kemungkinan lain yang terjadi adalah penurunan kesadaran untuk
waktu yang lama. Derajat kesadaran tersebut ditentukan oleh integirtas diffuse
ascending reticular system. Lintasan tersebut bisa tidak berfungsi sementara tanpa
mengalami kerusakan yang irreversibel. Batang otak yang pada ujung rostral
bersambung dengan medula spinalis mudah terbentang dan teregang waktu kepala
bergerak secara cepat dan mendadak. Gerakan cepat dan mendadak itu disebut
akselerasi. Peregangan menurut poros batak otak ini dapat menimbulkan blokade
reversibel pada lintasan retikularis asendens difus, sehingga selama itu otak tidak
mendapat input aferen, yang berarti bahwa kesadaran menurun sampai derajat yang
terendah (Mardjono & Sidharta, 2010).
Trauma kapitis yang menimbulkan kelainan neurologik disebabkanoleh :
(1) kontusio serebri, (2) laserasio serebri, (3) perdarahan subdural, (4) perdarahan
epidural, atau (5) perdarahan intraserebral. Lesi-lesi tersebut terjadi karena berbagai
gaya destruktif trauma. Pada mekanisme terjadinya trauma kapitis, seperti telah
disebutkan sebelumnya, terjadi gerakan cepat yang mendadak (akselerasi). Selain itu,
terdapat penghentian akselerasi secara mendadak (deakselerasi). Pada waktu akselerasi
berlangsung, terjadi akselerasi tengkorang ke arah impact dan penggeseran otak ke arah
yang berlawanan dengan arah impact. Adanya akselerasi tersebut menimbulkan
penggeseran otak serta pengembangan gaya kompresi yang destruktif, yangakhirnya
akan menimbulkan terjadinya lesi kontusio. Lesi kontusio dapat berupa perdarahan pada
permukaan otak yang berbentuk titik-tik besar dan kecil tanpa kerusakan duramater.
Lesi kontusio di bawah impact disebut lesi kontusio coup, sedangkan lesi di seberang
impact disebut lesi kontusio countrecoup. Ada pula lesi intermediate, yaitu lesi yang
berada di antara lesi kontusio coup dan countrecoup (Mardjono & Sidharta, 2010).
G. Pemeriksaan Fisik
Komponen utama pemeriksaan neurologis pada pasien cedera kepala sebagai
berikut:
1. Bukti eksternal trauma : laserasi dan memar.
2. Tanda fraktur basis cranii: hematom periorbital bilateral, hematom pada mastoid
(tanda Battle), hematom subkonjungtiva (darah di bawah konjungtiva tanpa adanya
batas posterior, yang menunjukkan darah dari orbita yang mengalir ke depan),
keluarnya cairan serebrospinal dari hidung atau telinga (cairan jernih tidak berwarna,
positif mengandung glukosa), perdarahan dari telinga.
3. Tingkat kesadaran (GCS).
4. Pemeriksaan neurologis menyeluruh, terutama reflek pupil, untuk melihat tanda–
tanda ancaman herniasi tentorial (Ginsberg, 2007).
H. Pemeriksaan Penunjang
1. Radiografi kranium: untuk mencari adanya fraktur, jika pasien mengalami gangguan
kesadaran sementara atau persisten setelah cedera, adanya tanda fisik eksternal yang
menunjukkan fraktur pada basis cranii fraktur fasialis, atau tanda neurologis fokal
lainnya. Fraktur kranium pada regio temporoparietal pada pasien yang tidak sadar
menunjukkan kemungkinan hematom ekstradural, yang disebabkan oleh robekan
arteri meningea media (Ginsberg, 2007).
2. CT scan kranial: segera dilakukan jika terjadi penurunan tingkat kesadaran atau jika
terdapat fraktur kranium yang disertai kebingungan, kejang, atau tanda neurologis
fokal (Ginsberg, 2007). CT scan dapat digunakan untuk melihat letak lesi, dan
kemungkinan komplikasi jangka pendek seperti hematom epidural dan hematom
subdural (Pierce & Neil, 2014). mengidentifikasi adanya SOL hemografi,
menentukan ukuran vaskuler, pergeseran jaringan.
3. Angiografiserebral : menunjukan kelainan sirkulasi serebral seperti kelainan
pergeseran jaringan otak akibat odema, perdarahan trauma.
4. EEG : untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya patologi
5. Sinar X : mendeteksis adanya perubahan struktur tulang ( fraktur )
6. Kimia atau elektrolit darah : mengetahui ketidak seimbangan yang berperan dalam
peningkatan TIK atau perubahan status mental.
I. Diagnosis
Diagnosis cedera kepala didapatkan dengan anamnesis yang rinci untuk mengetahui
adanya riwayat cedera kepala serta mekanisme cedera kepala, gejala klinis dan
pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis informasi penting yang harus ditanyakan
adalah mekanismenya. Pemeriksaan fisik meliputi tanda vital dan sistem organ
(Iskandar, 2002). Penilaian GCS awal saat penderita datang ke rumah sakit sangat
penting untuk menilai derajat kegawatan cedera kepala. Pemeriksaan neurologis, selain
pemeriksaan GCS, perlu dilakukan lebih dalam, mencakup pemeriksaan fungsi batang
otak, saraf kranial, fungsi motorik, fungsi sensorik, dan reflek (Sjamsuhidayat, 2010).
J. Penatalaksanaan
Secara umum, pasien dengan cedera kepala harusnya dirawat di rumah sakit untuk
observasi. Pasien harus dirawat jika terdapat penurunan tingkat kesadaran, fraktur
kranium dan tanda neurologis fokal. Cedera kepala ringan dapat ditangani hanya dengan
observasi neurologis dan membersihkan atau menjahit luka / laserasi kulit kepala. Untuk
cedera kepala berat, tatalaksana spesialis bedah saraf sangat diperlukan setelah resusitasi
dilakukan. Aspek spesifik terapi cedera kepala dibagi menjadi dua kategori:
1. Bedah
a. Intrakranial : evakuasi bedah saraf segera pada hematom yang mendesak ruang.
b. Ekstrakranial : inspeksi untuk komponen fraktur kranium yang menekan pada
laserasi kulit kepala. Jika ada, maka hal ini membutuhkan terapi bedah segera
dengan debridement luka dan menaikkan fragmen tulang untuk mencegah
infeksi lanjut pada meningen dan otak.
2. Medikamentosa
a. Bolus manitol (20%, 100 ml) intravena jika terjadi peningkatan tekanan
intrakranial. Hal ini dibutuhkan pada tindakan darurat sebelum evakuasi
hematom intrakranial pada pasien dengan penurunan kesadaran.
b. Antibiotik profilaksis untuk fraktur basis cranii.
c. Antikonvulsan untuk kejang.
d. Sedatif dan obat-obat narkotik dikontraindikasikan, karena dapat memperburuk
penurunan kesadaran (Ginsberg, 2007).
Jika pasien mengalami cidera otak maka perlu diperhatikan
1 Periksa kesadarannya
2 Periksa ABC (airway,birthing,circulation) atau jalan napas, pernapasan
dan sirkulasi.
a) Jalan nafas (airway): jalan nafas dibebaskan dari lidah yang turun
kebelakang dengan posisi kepala ekstensi, kalau perlu dipasang pipa
orofaring atau pipa endotrakeal, bersihkan sisa muntahan, darah,
lender atau gigi plsu. Isi lambung dikosongkan melalui pipa
nosograstrik untuk menghindari aspirasi muntahan.
b) Pernapasan (brething )
Gangguan pernafasan dapat disebabkan oleh kelainan sentral atau
parifer. Kelainan sentral adalah depresi pernafasan pada lesi medulla
oblongata,astatik dan central neurogenik hyperventilation. Penyebab
perifer adalah aspirasi,trauma dada,edema paru. Akibat dari gangguan
pernafasan dapat terjasi hipoksia dan hiperkrania. Tindakan dengan
pemberian oksigen kemudian cari dan atasi faktor penyebab dan kalau
perlu memakai ventilator.
c) Sirkulasi
Hipotensi menimbulkan iskemik yang dapat mengakibatkan kerusakan
sekunder. Jarang hipotensi disebabkan oleh kelainan intrakranial,
kebanyakan olek faktor ekstrakranial yakni berupa hipovolemia akibat
peradangan luar atau repture alat dalam, trauma dada disertai
temponade jantung atau pneumatoraksdan syok septic. Tindakanya
adalah menghentikan perdarahan , perbaikan fungsi jantung dan
mengganti darah yang hilang dengan plasma atau darah.
d) Pemeriksaan fisik
Setelah ABC dilakukan pemeriksaan fisik singkat meliputi
kesadaran,pupil, deficit local serebral dan cidera extrakranial. Hasil
pemeriksaan fisik pertama dicatat sebagai dasar dan tindaklanjut,
setiap perburukan dan salah satu komponen diatas bisa diartikan
sebagai adanya kerusakan sekunder dan harus segera dicari dan
menangulangi penyebabnya.
K. Komplikasi
1. Gejala sisa cedera kepala berat: beberapa pasien dengan cedera kepala berat dapat
mengalami ketidakmampuan baik secara fisik (disfasia, hemiparesis, palsi saraf
cranial) maupun mental (gangguan kognitif, perubahan kepribadian). Sejumlah kecil
pasien akan tetap dalam status vegetatif.
2. Kebocoran cairan serebrospinal: bila hubungan antara rongga subarachnoid dan
telinga tengah atau sinus paranasal akibat fraktur basis cranii hanya kecil dan tertutup
jaringan otak maka hal ini tidak akan terjadi. Eksplorasi bedah diperlukan bila terjadi
kebocoran cairan serebrospinal persisten.
3. Epilepsi pascatrauma : terutama terjadi pada pasien yang mengalami kejang awal
(pada minggu pertama setelah cedera), amnesia pascatrauma yang lama, fraktur
depresi kranium dan hematom intrakranial.
4. Hematom subdural kronik.
5. Sindrom pasca concusio : nyeri kepala, vertigo dan gangguan konsentrasi dapat
menetap bahkan setelah cedera kepala ringan. Vertigo dapat terjadi akibat cedera
vestibular (konkusi labirintin) (Adams, 2000).
B. Diagnosa Keperawatan
a. Resiko perfusi serebral tidakn efektif b.d cidera kepala
b. Pola nafas tidak efektif b.d gangguan neurologis ( cidera kepala )
c. Nyeri akut b.d cidera traumatis
d. Resiko infeksi b.d tindakan invasif
Judha M & Rahil H.N. 2011 Sistem Persarafan Dalam Asuhan Keperawatan. Yogyakarta:
Gosyen Publishing
Ginsberg, Lionel. 2007. Lecture Notes: Neurology. Jakarta: Erlangga
Reisner A., 2009. Understanding Traumatic Brain Injuries. Medical Director of Neuro
Trauma Program. Available: http://www.choa.org/Menus/ Documents/Our
Services/Traumaticbrainiinjury2009.pdf. [Accessed 29 Agustus 2013]
Etilogi : kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian , kecelakaan olahraga, pukulan
TIK Meningkat Nyeri kepala, muntah proyektil, pupil edema Potensial peningkatan TIK