Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN

KEPERAWATAN CIDERA OTAK BERAT (COB)


DI RUANG ICU RSUD GAMBIRAN
KOTA KEDIRI

Oleh Kelompok:
Apresheila Azizul
Candra Iriyanto
Heru setiawan
Novita Cahyuni
Ulmaifa Nanda P

PRODI SI - KEPERAWATAN
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
INSTITUT ILMU KESEHATAN BHAKTI WIYATA KEDIRI
TAHUN 2020
BAB I

LAPORAN PENDAHULUAN

A. Definisi
Cedera kepala (trauma capitis) adalah cedera mekanik yang secara langsung atau
tidak langsung mengenai kepala yang mengakibatkan luka di kulit kepala, fraktur tulang
tengkorak, robekan selaput otak dan kerusakan jaringan otak itu sendiri, serta
mengakibatkan gangguan neurologis (Sjahrir, 2012).
Cedera kepala merupakan sebuah proses dimana terjadi cedera langsung atau
deselerasi terhadap kepala yang dapat mengakibatkan kerusakan tengkorak dan otak
(Pierce dan Neil, 2014). Menurut Brain Injury Assosiation of America (2006), cedera
kepala merupakan kerusakan yang disebabkan oleh serangan ataupun benturan fisik dari
luar, yang dapat mengubah kesadaran yang dapat menimbulkan kerusakan fungsi kognitif
maupun fungsi fisik.
Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada
kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas
(Mansjoer, A. 2011).
B. Epidemiologi
Cedera kepala merupakan penyebab utama kecacatan dan kematian, terutama pada
dewasa muda. Di Amerika Serikat, hampir 10% kematian disebabkan karena trauma, dan
setengah dari total kematian akibat trauma berhubungan dengan otak. Kasus cedera
kepala terjadi setiap 7 detik dan kematian akibat cedera kepala terjadi setiap 5 menit.
Cedera kepala dapat terjadi pada semua kelompok usia, namun angka kejadian tertinggi
adalah pada dewasa muda berusia 15-24 tahun. Angka kejadian pada laki-laki 3 hingga 4
kali lebih sering dibandingkan wanita (Rowland et al, 2010). Penyebab cedera kepala di
Indonesia mayoritas karena kecelakaan lalu lintas yang dapat dilaporkan
kecenderungannya dari tahun 2007 dengan 2013 hanya untuk transportasi darat, tampak
ada kenaikan cukup tinggi yaitu dari 25,9 persen menjadi 47,7 persen (RISKESDAS,
2013).
C. Etiologi
Penyebab cedera kepala dibagi menjadi cedera primer yaitu cedera yang terjadi
akibat benturan langsung maupun tidak langsung, dan cedera sekunder yaitu cedera yang
terjadi akibat cedera saraf melalui akson meluas, hipertensi intrakranial, hipoksia,
hiperkapnea / hipotensi sistemik. Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat
berbagai proses patologis yang timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer,
berupa perdarahan, edema otak, kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia, peningkatan
tekanan intrakranial dan perubahan neurokimiawi (Hickey, 2003).
Penyebab cedera kepala terdiri dari kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh,
kecelakaan industri, serangan dan yang berhubungan dengan olah raga, trauma akibat
persalinan. Menurut Mansjoer (2011), cidera kepala penyebab sebagian besar kematian
dan kecacatan utama pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat
kecelakaan lalu lintas.
D. Klasifikasi
Klasifikasi Cedera Kepala antara lain:

Tabel2.1 Kategori Penentuan Keparahan Cedera Kepala berdasarkan Nilai


Glasgow Coma Scale(GCS)
Penentuan Deskripsi
Keparahan
Minor/ Ringan GCS 13 – 15
Sadar penuh, membuka mata bila dipanggil. Dapat terjadi
kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30
menit dan disorientasi. Tidak adafraktur tengkorak, tidak
ada kontusia
cerebral, hematoma.
Sedang GCS 9 – 12
Kehilangan kesadaran, namun masih menuruti perintah
yang sederhana atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi
kurang dari 24 jam. Dapat mengalami fraktur tengkorak.
Berat GCS 3 – 8
Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari
24 jam. Juga meliputi kontusio serebral, laserasi atau
hematoma intracranial. Dengan perhitungan GCS
sebagaiberikut:
 Eye : nilai 2 atau 1
 Motorik: nilai 5 atau<5
 Verbal : nilai 2 atau1
Berat ringannya cedera kepala bukan didasarkan berat ringanya gejala yang muncul
setelah cedera kepala. Ada berbagai klasifikasi yang dipakai dalam penentuan derajat
cedera kepala. Menurut Judha (2011), berdasarkanderajat penurunan tingkat kesadaran
serta ada tidaknya defisit neurologik fokal cidera kepaladikelompokan.
E. Manifestasi Klinis

Menurut Judha (2011), tanda dan gejala dari cidera kepala antaralain:
1. SkullFracture

Gejala yang didapatkan CSF atau cairan lain keluar dari telinga dan hidung
(othorrea, rhinorhea), darah dibelakang membran timphani,
periobitalecimos(brillhaematoma),memardidaerahmastoid(battle sign), perubahan
penglihatan, hilang pendengaran, hilang indra penciuman, pupil dilatasi,
berkurangnya gerakan mata, danvertigo.
2. Concussion
Tanda yang didapat adalah menurunnya tingkat kesadaran kurang dari 5 menit,
amnesia retrograde, pusing, sakit kepala, mual dan muntah. Contusins dibagi
menjadi 2 yaitu cerebral contusion, brainsteam contusion. Tanda yangterdapat:
a. Pernafasan mungkin normal, hilang keseimbangan secara perlahan ataucepat.
b. Pupil biasanya mengecil, equal, dan reaktif jika kerusakan sampai batang otak
bagian atas (saraf kranial ke III) dapat menyebabkan keabnormalan pupil.
Menurut Reisner (2009), gejala klinis cedera kepala yang dapat membantu
mendiagnosis adalah battle sign (warna biru atau ekhimosis dibelakang telinga di atas os
mastoid), hemotipanum (perdarahan di daerah membran timpani telinga), periorbital
ekhimosis (mata warna hitam tanpa trauma langsung), rhinorrhoe (cairan serebrospinal
keluar dari hidung), otorrhoe (cairan serebrospinal keluar dari telinga). Tanda–tanda atau
gejala klinis untuk yang cedera kepala ringan adalah pasien tertidur atau kesadaran yang
menurun selama beberapa saat kemudian sembuh, sakit kepala yang menetap atau
berkepanjangan, mual dan atau muntah, gangguan tidur dan nafsu makan yang menurun,
perubahan kepribadian diri, letargik. Tanda–tanda atau gejala klinis untuk yang cedera
kepala berat adalah perubahan ukuran pupil (anisocoria), trias Cushing (denyut jantung
menurun, hipertensi, depresi pernafasan) apabila meningkatnya tekanan intrakranial,
terdapat pergerakan atau posisi abnormal ekstremitas (Reisner, 2009).
F. Patofisiologi

Cedera kepala atau trauma kapitis lebih sering terjadi daripada trauma tulang
belakang. Trauma dapat timbul akibat gaya mekanik maupun non mekanik. Kepala
dapat dipukul, ditampar, atau bahkan terkena sesuatu yang keras. Tempat yang langsung
terkena pukulan atau penyebab tersebut dinamakan dampak atau impact. Pada impact
dapat terjadi (1) indentasi, (2) fraktur linear, (3) fraktur stelatum, (4) fraktur impresi,
atau bahkan (5) hanya edema atau perdarahan subkutan saja. Fraktur yang paling ringan
ialah fraktur linear. Jika gaya destruktifnya lebih kuat, dapat timbul fraktur stelatum atau
fraktur impresi (Mardjono & Sidharta, 2010).
Selain hal-hal tersebut, saraf-saraf otak dapat terkena oleh trauma kapitis karena
(1) trauma langsung, (2) hematom yang menekan pada saraf
otak,(3)traksiterhadapsarafotakketikaotaktergeserkarenaakselerasi,atau(4) kompresi
serebral traumatik akut yang secara sekunder menekan pada batang otak. Pada trauma
kapitis dapat terjadi komosio, yaitu pingsan sejenak dengan atau tanpa amnesia
retrograd. Tanda-tanda kelainan neurologikapapun tidak terdapat pada penderita
tersebut. Sedangkan kemungkinan lain yang terjadi adalah penurunan kesadaran untuk
waktu yang lama. Derajat kesadaran tersebut ditentukan oleh integirtas diffuse
ascending reticular system. Lintasan tersebut bisa tidak berfungsi sementara tanpa
mengalami kerusakan yang irreversibel. Batang otak yang pada ujung rostral
bersambung dengan medula spinalis mudah terbentang dan teregang waktu kepala
bergerak secara cepat dan mendadak. Gerakan cepat dan mendadak itu disebut
akselerasi. Peregangan menurut poros batak otak ini dapat menimbulkan blokade
reversibel pada lintasan retikularis asendens difus, sehingga selama itu otak tidak
mendapat input aferen, yang berarti bahwa kesadaran menurun sampai derajat yang
terendah (Mardjono & Sidharta, 2010).
Trauma kapitis yang menimbulkan kelainan neurologik disebabkanoleh :
(1) kontusio serebri, (2) laserasio serebri, (3) perdarahan subdural, (4) perdarahan
epidural, atau (5) perdarahan intraserebral. Lesi-lesi tersebut terjadi karena berbagai
gaya destruktif trauma. Pada mekanisme terjadinya trauma kapitis, seperti telah
disebutkan sebelumnya, terjadi gerakan cepat yang mendadak (akselerasi). Selain itu,
terdapat penghentian akselerasi secara mendadak (deakselerasi). Pada waktu akselerasi
berlangsung, terjadi akselerasi tengkorang ke arah impact dan penggeseran otak ke arah
yang berlawanan dengan arah impact. Adanya akselerasi tersebut menimbulkan
penggeseran otak serta pengembangan gaya kompresi yang destruktif, yangakhirnya
akan menimbulkan terjadinya lesi kontusio. Lesi kontusio dapat berupa perdarahan pada
permukaan otak yang berbentuk titik-tik besar dan kecil tanpa kerusakan duramater.
Lesi kontusio di bawah impact disebut lesi kontusio coup, sedangkan lesi di seberang
impact disebut lesi kontusio countrecoup. Ada pula lesi intermediate, yaitu lesi yang
berada di antara lesi kontusio coup dan countrecoup (Mardjono & Sidharta, 2010).

G. Pemeriksaan Fisik
Komponen utama pemeriksaan neurologis pada pasien cedera kepala sebagai
berikut:
1. Bukti eksternal trauma : laserasi dan memar.
2. Tanda fraktur basis cranii: hematom periorbital bilateral, hematom pada mastoid
(tanda Battle), hematom subkonjungtiva (darah di bawah konjungtiva tanpa adanya
batas posterior, yang menunjukkan darah dari orbita yang mengalir ke depan),
keluarnya cairan serebrospinal dari hidung atau telinga (cairan jernih tidak berwarna,
positif mengandung glukosa), perdarahan dari telinga.
3. Tingkat kesadaran (GCS).
4. Pemeriksaan neurologis menyeluruh, terutama reflek pupil, untuk melihat tanda–
tanda ancaman herniasi tentorial (Ginsberg, 2007).
H. Pemeriksaan Penunjang
1. Radiografi kranium: untuk mencari adanya fraktur, jika pasien mengalami gangguan
kesadaran sementara atau persisten setelah cedera, adanya tanda fisik eksternal yang
menunjukkan fraktur pada basis cranii fraktur fasialis, atau tanda neurologis fokal
lainnya. Fraktur kranium pada regio temporoparietal pada pasien yang tidak sadar
menunjukkan kemungkinan hematom ekstradural, yang disebabkan oleh robekan
arteri meningea media (Ginsberg, 2007).
2. CT scan kranial: segera dilakukan jika terjadi penurunan tingkat kesadaran atau jika
terdapat fraktur kranium yang disertai kebingungan, kejang, atau tanda neurologis
fokal (Ginsberg, 2007). CT scan dapat digunakan untuk melihat letak lesi, dan
kemungkinan komplikasi jangka pendek seperti hematom epidural dan hematom
subdural (Pierce & Neil, 2014). mengidentifikasi adanya SOL hemografi,
menentukan ukuran vaskuler, pergeseran jaringan.
3. Angiografiserebral : menunjukan kelainan sirkulasi serebral seperti kelainan
pergeseran jaringan otak akibat odema, perdarahan trauma.
4. EEG : untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya patologi
5. Sinar X : mendeteksis adanya perubahan struktur tulang ( fraktur )
6. Kimia atau elektrolit darah : mengetahui ketidak seimbangan yang berperan dalam
peningkatan TIK atau perubahan status mental.
I. Diagnosis
Diagnosis cedera kepala didapatkan dengan anamnesis yang rinci untuk mengetahui
adanya riwayat cedera kepala serta mekanisme cedera kepala, gejala klinis dan
pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis informasi penting yang harus ditanyakan
adalah mekanismenya. Pemeriksaan fisik meliputi tanda vital dan sistem organ
(Iskandar, 2002). Penilaian GCS awal saat penderita datang ke rumah sakit sangat
penting untuk menilai derajat kegawatan cedera kepala. Pemeriksaan neurologis, selain
pemeriksaan GCS, perlu dilakukan lebih dalam, mencakup pemeriksaan fungsi batang
otak, saraf kranial, fungsi motorik, fungsi sensorik, dan reflek (Sjamsuhidayat, 2010).
J. Penatalaksanaan
Secara umum, pasien dengan cedera kepala harusnya dirawat di rumah sakit untuk
observasi. Pasien harus dirawat jika terdapat penurunan tingkat kesadaran, fraktur
kranium dan tanda neurologis fokal. Cedera kepala ringan dapat ditangani hanya dengan
observasi neurologis dan membersihkan atau menjahit luka / laserasi kulit kepala. Untuk
cedera kepala berat, tatalaksana spesialis bedah saraf sangat diperlukan setelah resusitasi
dilakukan. Aspek spesifik terapi cedera kepala dibagi menjadi dua kategori:
1. Bedah
a. Intrakranial : evakuasi bedah saraf segera pada hematom yang mendesak ruang.
b. Ekstrakranial : inspeksi untuk komponen fraktur kranium yang menekan pada
laserasi kulit kepala. Jika ada, maka hal ini membutuhkan terapi bedah segera
dengan debridement luka dan menaikkan fragmen tulang untuk mencegah
infeksi lanjut pada meningen dan otak.
2. Medikamentosa
a. Bolus manitol (20%, 100 ml) intravena jika terjadi peningkatan tekanan
intrakranial. Hal ini dibutuhkan pada tindakan darurat sebelum evakuasi
hematom intrakranial pada pasien dengan penurunan kesadaran.
b. Antibiotik profilaksis untuk fraktur basis cranii.
c. Antikonvulsan untuk kejang.
d. Sedatif dan obat-obat narkotik dikontraindikasikan, karena dapat memperburuk
penurunan kesadaran (Ginsberg, 2007).
Jika pasien mengalami cidera otak maka perlu diperhatikan
1 Periksa kesadarannya
2 Periksa ABC (airway,birthing,circulation) atau jalan napas, pernapasan
dan sirkulasi.
a) Jalan nafas (airway): jalan nafas dibebaskan dari lidah yang turun
kebelakang dengan posisi kepala ekstensi, kalau perlu dipasang pipa
orofaring atau pipa endotrakeal, bersihkan sisa muntahan, darah,
lender atau gigi plsu. Isi lambung dikosongkan melalui pipa
nosograstrik untuk menghindari aspirasi muntahan.
b) Pernapasan (brething )
Gangguan pernafasan dapat disebabkan oleh kelainan sentral atau
parifer. Kelainan sentral adalah depresi pernafasan pada lesi medulla
oblongata,astatik dan central neurogenik hyperventilation. Penyebab
perifer adalah aspirasi,trauma dada,edema paru. Akibat dari gangguan
pernafasan dapat terjasi hipoksia dan hiperkrania. Tindakan dengan
pemberian oksigen kemudian cari dan atasi faktor penyebab dan kalau
perlu memakai ventilator.
c) Sirkulasi
Hipotensi menimbulkan iskemik yang dapat mengakibatkan kerusakan
sekunder. Jarang hipotensi disebabkan oleh kelainan intrakranial,
kebanyakan olek faktor ekstrakranial yakni berupa hipovolemia akibat
peradangan luar atau repture alat dalam, trauma dada disertai
temponade jantung atau pneumatoraksdan syok septic. Tindakanya
adalah menghentikan perdarahan , perbaikan fungsi jantung dan
mengganti darah yang hilang dengan plasma atau darah.
d) Pemeriksaan fisik
Setelah ABC dilakukan pemeriksaan fisik singkat meliputi
kesadaran,pupil, deficit local serebral dan cidera extrakranial. Hasil
pemeriksaan fisik pertama dicatat sebagai dasar dan tindaklanjut,
setiap perburukan dan salah satu komponen diatas bisa diartikan
sebagai adanya kerusakan sekunder dan harus segera dicari dan
menangulangi penyebabnya.
K. Komplikasi
1. Gejala sisa cedera kepala berat: beberapa pasien dengan cedera kepala berat dapat
mengalami ketidakmampuan baik secara fisik (disfasia, hemiparesis, palsi saraf
cranial) maupun mental (gangguan kognitif, perubahan kepribadian). Sejumlah kecil
pasien akan tetap dalam status vegetatif.
2. Kebocoran cairan serebrospinal: bila hubungan antara rongga subarachnoid dan
telinga tengah atau sinus paranasal akibat fraktur basis cranii hanya kecil dan tertutup
jaringan otak maka hal ini tidak akan terjadi. Eksplorasi bedah diperlukan bila terjadi
kebocoran cairan serebrospinal persisten.
3. Epilepsi pascatrauma : terutama terjadi pada pasien yang mengalami kejang awal
(pada minggu pertama setelah cedera), amnesia pascatrauma yang lama, fraktur
depresi kranium dan hematom intrakranial.
4. Hematom subdural kronik.
5. Sindrom pasca concusio : nyeri kepala, vertigo dan gangguan konsentrasi dapat
menetap bahkan setelah cedera kepala ringan. Vertigo dapat terjadi akibat cedera
vestibular (konkusi labirintin) (Adams, 2000).

1. Konsep Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Cedera Kepala


A. Pengkajian
1) Primary Survey
Adalah suatu kegiatan untuk menilai kondisi penderita (diagnostic)
sekaligus tindakan (resusitasi) untuk menolong nyawa. Kunci utama untuk
penanganan pada pasien trauma adalah penanganan pada keadaan yang
mengancam nyawa (Jakarta Medical Service 119 Training Division, 2012).
a. Airway
Kerusakan otak yang irreversible dapat terjadi 6-8 menit setelah anoxia
otak. Oleh karena itu, prioritas pertama dalam penanganan trauma yaitu
pastikan kelancaran jalan nafas, ventilasi yang adekuat dan oksigenasi. Ini
meliputi pemeriksaan adanya obstruksi jalan nafas yang dapat disebabkan
benda asing, fraktur tulang wajah, fraktur mandibular atau maksila., fraktur
laring atau trakea. Penanganan airway juga harus dipikirkan adanya dugaan
trauma pada vertebra servikal. Usaha untuk membebaskan airway harus
melindungi vertebra servikal. Vertebra servikal harus sangat hati-hati dijaga
setiap saat dan jangan terlalu hiperekstensi, hiperfleksi atau rotasi yang dapat
menggangu jalan nafas. Dalam hal ini dapat dilakukan dengan posisi kepala
dalam keadaan netral, chin lift atau jaw thrust diperlukan juga pada
penanganan airway.
Mekanisme pembersihan Pada oropharing sering dilakukan didalam
pembukaan jalan nafas. Dalam hal ini kelancaran jalan nafas yang dibutuhkan
dalam berbagai posisi dapat terjadi dengan dilakukan nasal atau oropharingeal
airway. Jika tindakan pembersihan jalan nafas ini juga tidak berhasil, maka
dapat dilakukan tindakan intubasi endotrakeal. Tindakan ini dinamakan airway
definitive. Pada airway devinitif maka ada pipa didalam trahea dengan balon
(cuff) yang dikembangkan, pipa tersebut dihubungkan dengan suatu alat bantu
pernafasan yang diperkaya oksigen, dan airway tersebut dipertahankan
ditempatnya dengan plester. Penentuan pemasangan airway definitive
didasarkan pada penemuan-penemuan klinis antara lain :
 Adanya apnea
 Ketidakmampuan mempertahankan airway yang bebas dengan cara-cara
yang lain
 Kebutuhan untuk melindungi airway bagian bawah dari aspirasi darah atau
vomitus
 Ancaman segera atau bahaya potensial sumbatan airway. Seperti multiple
fraktur pada tulang wajah, kejang-kejang yang berkepanjangan
 Cedera kepala tertutup yang memrlukan bantuan nafas (GCS=8)
 Ketidakmampuan mempertahankan oksigenasi yang adekuat dengan
pemberian oksigen tambahan lewat masker wajah
Intubasi nasotrakeal adalah teknik yang bermanfaaat apabila urgensi
pengelolaan airway tidak stabil. Intubasi nasotrakeal secara membuta (blind
nasotrakeal intubation) hanya dilakukan padapenderita yang masih bernafas
spontan. Prosedur ini merupakan kontraindikasi untuk penderita ya ng apnoe.
Fraktur wajah, frajtur frontalis, fraktur basis cranii, dan fraktur lamina
chiriformis merupakan kontrainidikasi relative untuk intubasi nasotrakeal.
Bila kesemua tindakan diatas juga tidak mampu untuk mengatasi
didalam control airway, tindakan krikotiroidotomi dapat dilakukan. Tindakan
ini dinamakan airway surgical.
b. Breathing
Tindakan kedua setelah airway tertangani adalah ventialsi. Penururnan
oksigen yang tajam (10L/min) harus dilakukan suatu tindakan ventilasi.
Analisa Gas darah dan pulse oximeter dapat membantu untuk mengetahui
kualitas ventilasi dari penderita.
Airway yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik. Pertikaran gas
yang terjadi ada saat bernafas mutlak untuk pertukaran oksigen dan
mengeluarkan karbondioksida dari tubuh. Ventilasi yang baik meliputi fungsi
yang baik dari paru, dinding dada dan diafragma. Setiap komponen ini harus di
evaluasi secara cepat.
Tanda hipoksia dan hi[ercarbia bias terjadi pada penderita dengan
kegagalan ventilasi. Kegagalan oksigenasi harus dinilai dengan dilakukan
observasi dan auskultasi pada leher dan dada melalui distensi vena, devasi
trakeal,gerakan paradoksal pada dada, dan suara nafas yang hanya pada satu
sisi (unilateral).
Perlukaan yang mengakibatkan gangguan ventilasi yang berat dalah
tension pneumothorax, flail chest dengan kontusio paru, open pneumothorax,
massive hemothorax. Keadaan-keadaan ini harus dikenali pada saat dilakukan
primary survey. Hematothorax, simple pneumothorax, patahnya tulang iga dan
kontusio paru menggangu ventilasi dalam derajat yang lebih ringan dan harus
dikenali pada saat melakukan secondary survey.
c. Circulation
Perdarahan merupakan sebab utama kematian pasca bedah yang
mungkin dapat diatasi dengan terapi yang cepatdab tepat di rumah sakit. Suatu
keadaan hipotensi harus dianggap disebabkan oleh hipovolemia, sampai
terbukti sebaliknya. Dengan demikian maka diperlukan penilaian yang cepat
dari status henodinamika penderita. Kerusakan pada jaringan lunak dapat
mengenai pembuluh darah besar dan menimbulkan kahilangan darah yang
banyak. Menghebtikan perdarahan yang terbaik adalah dengan tekanan
langsung.
Hipotensi dengan pasien pada multiple trauma selalu disebabkan oleh
kehilangan darah yang banyak. Penanganan segera dengan pemberian larutan
Ringer Laktat secara intravena harus memberikan respons yang baik (2-L pada
dewasa, ana 30ml/kgbb). Peradarahan oleh karena luka yang terbuka dapat di
control dengan penekanan luka secara langsung. Perfusi jaringan dapat di
evaluasi dengan produksi urine dan pengisian kapiler pada ujung-ujung jari
lebih dari 2 menit ini menandakan perfusi jaringan lemah.
Jika hipotensi memberikan respon yang baik pada penanganan pertama,
maka pemberian larutan kristaloid dapat diberikan bahkan sampai dengan
pemberian transfuse darah. Namun jika respon tersebut sedikit atau sama sekali
tidak memberikan respontidak, maka pemberian cairan dengan larutan ringer
laktat (2L) dapat diulang kembali. Kemudian dapat dilakuakn transfuse darah
baik tipe spesifik atau noncross matched universal donor O negative.
Vasopressor tidak boleh diberikan pada pasien dengan syok hipovolemik.
Klasifikasi perdarahan ini berguna untuk memastikan tanda-tanda dini
dan patofisiologi keadaan syok. Terdapat 4 klasifikasi perdarahan antara lain :
- Perdarah kelas 1 (kehilngan volume darah sampai 15%) ; gejala klinis dari
kehilangan volume ini adalah minimal. Bila tidak ada komplikasi, akan
terjadi takikardi minimal. Tidak ada perubahan yang berarti dari tekanan
darah, tekanan nadi, atau frekuensi pernafasan. Pengisisan transkapiler dan
mekanisme kompensasi lain akan memulihkan volume darah dalam 24
jam.
- Perdarahan kelas II (kehilangan darah 15% sampai 30%); gejala-gejala
klinis termasuk takikardi (denyut jantung lebih dari 100 pada orang
dewasa) takipnea, dan penurunan tekanan nadi. Perubahan saraf sentral
yang tidak jelas sperti cemas, ketakutan atau sikap permusuhan, produksi
urine hanya sedikit terpengaruh. Ada penderita yang kadang-kadang
memrlukan transfusi darah, tetapi dapat distabilkan dengan larutan
kristaloid pada mulanya.
- Perdarahan kelas III ( 30% samapi 40% kehilangan volume darah); Akibat
kehilangan darah sebanyak ini (sekitar 2000ml untuk orang dewasa) dapat
sangat parah. Penderitanya hampir selalu menunjukan tanda klasik perfusi
yang tidak adekuat, termasuk takikardi dan takipnea yang jelas, perubahan
penting oada status mental, dan perubahan tekanan darah sistolik. Dalam
keadaaan yang tidak berkomplikasi, inilah jumlah kehilangan darah paling
kecil yang selalu menyebabkan tekanan sistolik menurun. Penderita
dengan kehilangan darah tingkat ini hamper selalu memerlukan transfuse
darah. Keputusan untuk memberi transfuse darah didasarkan atas respon
penderita terhadap resusitasi cairan semula dan peruse dan oksigenasi
organ yang adekuat.
- Perdarahan kelas IV (lebih dari 40% kehilangan volume darah); Dengan
kehilangan darah sebnayak ini, jiwa penderita terancam. Gejala-gejalanya
meliputi takikardia yang jelas, penurunan tekanan darah sistolik yang
cukuo besar, dan tekanan nadi yang sangat sempit (atau tekanan diastolic
yang tidak teraba). Produksi urine hampir tidak ada, kesadaran jelas
menurun. Kulit teraba dingin dan tampak pucat. Penderita ini sering kali
memerlukan transfuse cepat dan intervensi pembedahan segera. Keputusan
tersebut didasarkan atas respon resusitasi cairan yang diberikan.
Kehilangan lebih dari 50% volume darah penderita mengaibatkan
ketidaksadaran, kehilangan denyut nadi, dan tekanan darah.
Patah tulang panjang dapat menimbulkan perdarahan yang berat. Fraktur
kedua femur dapat menimbulkan kehilangan darah did alam tungkai
sampai 3-4 liter. Menimbulkan syok kelas III. Pemasangan bidai yang baik
akan dapat menurunkan perdarahan secara nyata dengan mengurangi
pergerakan dan meningkatkan pengaruh tamponade otot sekitar fraktur.
Pada patah tulang terbuka, penggunaan balut tekan steril umumnya dapat
menghentikan oerdarahan. Resusitasi cairan yang agresif merupakan hal
yang penting disamping usaha menghentikan perdarahan.
d. Disability
Menjelang akhir primary survey dilakukan evaluasi terhadap keadaan
neurologis secara cepat. Yang dinilai disini adalah tingkat kesadaran, serta
ukuran dan reaksi pupil. Suatu cara sederhana untuk menilai tingkat kesadaran
adalah metode AVPU :
A : Alert (sadar)
V : Respon terhadap rangsangan vokal (suara)
P : Respon terhadap rangsangan nyeri (pain)
U : Unresponsive (tidak ada respon)
GCS (Glasgow Coma Scale) adalah system skoring yang sederhana dan
dapat meramal kesudahan (outcome) penderita. GCS ini dapat dilakukan
sebagau pengganti AVPU. Bila belum dilakukannya reeavaluasi pada primary
survey, harus dilakukan pada secondary survey pada saat pemeriksaan
neurologis
Penurunan keasadaran dapat disebabkan penurunan oksigenasi atau
penurun an perfusi ke otak, atau disebabkan trauma langsung padaotak.
Penurunan kesadraan menun tut dilakukannya reevaluasi terhadap oksigenasi,
ventilasi, dan perfusi.
e. Exposure
Keadaan dengan laserasi, kontusio, abrasi, swelling, dan deformitas
sering terjadi pada pasien trauma. Cara yang paling aman dengan membuka
paaian penderita secara keseluruhan. Ini dilakukan dengan tujuan untuk
memudahkan dalam memeriksa dan mengevaluasi keadaan penderitra,
mencegah terjadinya displacement pada fraktur meminimalkan resiko terjadiny
komplikasi lebih lanjut. Hypothermia harus dapat dicegah, fungsi jantung
harus baik, terutama bila volume darah turun. Kain yang steril dapat digunakan
untuk menutupi luka yang terbuka dengan tujuan untuk mencegah kontaminasi
lebih lanjut.
2) Secondary Survey
a. Riwayat Penyakit Sekarang
Adanya penurunan kesadaran, letargi, mual dan muntah, sakit kepala,
wajah tidak simetris, lemah, paralysis, perdarahan, fraktur, hilang
keseimbangan, sulit menggenggam, amnesia seputar kejadian, tidak bisa
beristirahat, kesulitan mendengar, mengecap dan mencium bau, sulit
mencerna/menelan makanan.
b. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien pernah mengalami penyakit system persyarafan, riwayat trauma
masa lalu, riwayat penyakit darah, riwayat penyakit sistemik/pernafasan,
kardiovaskuler dan metabolik.
c. Riwayat Penyakit Keluarga
d. Kebutuhan Dasar
 Eliminasi : Perubahan pada BAK/BAB, inkontinensia, obstipasi, hematuria
 Nutrisi: Mual, muntah, gangguan mencerna/menelan makanan, kaji bising
usus.
 Istirahat: Kelemahan, mobilisasi, tidur kurang.
e. Psikososial
Gangguan emosi/apatis, delirium, perubahan tingkah laku atau
kepribadian.
f.Pengkajian social
Hubungan dengan orang terdekat, kemampuan komunikasi, afasia
motorik atau sensorik, bicara tanpa arti, disartria, anomia.
g. Nyeri/kenyamanan
Skala kepala dengan intensitas dan lokasi berbeda, respons menarik
pada rangsangan nyeri yang hebat, gelisah.
h. Pengkajian Fisik
 Fungsi kognitif
Fungsi kognitif biasanya dikaji dengan mengajukan tiga pertanyaan
orientasi mengenai orang, waktu, tempat. Akan tetapi penting untuk
mendapatkan riwayat mendetail dari pasien guna memfasilitasi pendeteksian
perubahan yang tersembunyi sepanjang waktu.
 Pengkajian tingkat keterjagaan
Dalam mengkaji tingkat keterjagaan pada pasien cedera kepala,
stimulus maksimum harus diberikan secara sistematik dan meningkat untuk
mendapatkan secara efektif respon terbaik/ maksimum pasien. Langkah
pertama upaya membangunkan pasien hanya dengan berbicara, kemudian
berteriak, lalu dengan menggoyangkan, dan selanjutnya dengan memberikan
rangsang nyeri. Pendekatan bertahap seperti ini member pasien kesempatan
untuk mendemonstrasikan peningkatan keterjagaan atau respon sebaliknya.
 Pengkajian mata
Pengkajian mata meliputi evaluasi pupil dan pergerakan ekstraokuler,
yang membantu dalam melokalisasi area disfungsi otak. Pengujian saraf
cranial II (optikus) pada tempat perawatan akut mencakup pendeteksian defek
lapang pandang dan ketajaman penglihatan yang besar. Lapang pandang dapat
secara adekuat dikaji melalui kemampuan pasien untuk mendeteksi gerakan
jari pemeriksa pada setiap lapang pandang. Ketajaman penglihatan dapat
secara kasar dikaji dengan meminta pasien membaca kalimat yang dicetak
pada satu halaman atau menggunakan grafik mata snellen. Jika terdapat
kekhawatiran berkenaan dengan gangguan saraf optic, evaluasi lengkap yang
dilakukan oleh dokter spesialis mata direkomendasikan.
Evaluasi saraf cranial III (okulomotorius) meliputi inspeksi pupil,
termasuk ukuran, bentuk, kesamaan, dan reaksinya terhadap cahaya.
Peningkatan TIK dapat menyebabkn ketidakteraturan bentuk, anisokor, dan
tidak adanya atau sangat sedikitnya reaksi terhadap cahaya.
Saraf cranial III, IV dan VI (okulomotorius, troklearis, abdusens)
seringkali dikelompokkan bersama untuk tujuan pengkajian karena saraf-saraf
tersebut menggerakkan mata. Pengkajian saraf-saraf tersebut dilakukan dengan
meminta pasien mengikuti jari pemeriksa ketika jari tersebut digerakkan
menurut pola huruf H. pengihatan ganda adalah tanda kelemahan otot mata
dengan gangguan saraf cranial.
 Pengkajian respon batang otak
Batang otak dapat dikaji lebih lanjut pada pasien yang tidak sadar
dengan menguji refeks corneal, batuk, dan gag. Reflex corneal merefleksikan
saraf cranial V dan VII (trigeminus dan fasialis). Reflex ini diuji dengan
mengusapkan gumpalan kapas pada konjungtiva bawah setiap mata. Kedipan
kelopak mata bawah mengindikasikan adanya reflex. Sensasi stimulus yang
mengiritasi menunjukkan fungsi utama satu cabang saraf trigeminus, dan
gerakan kelopak mata bawah menujukkan fungsi motorik saraf fasialis.
Saraf cranial IX dan X (glosofaringeus dan vagus) keluar pada
ketinggian medulla dan bertanggung jawab atas reflex batuk dan gag serta
melindungi jalan napas dari aspirasi. Reflex batuk dan gag harus dievaluasi
pada apsien yang terjaga dan tidak sadar.
 Pengkajian fungsi motorik
Pengkajian motorik dilakukan pada pasien terjaga dan kooperatif
dengan meminta pasien menggerakkan ekstremitasnya melawan gravitasi dan
dengan resistansi pasif, pergerakkan terssebut digolongkan menggunakan skala
1-5.
Pasien yang tidak responsive tersebut dapat menampilkan sikap tubuh
lokalisasi, menarik diri, atau fleksor/ ekstensor ebagai respon terhadap
stimulus yang berbahaya. Lokalisasi stimulus nyeri diamati sebagai suatu
respon yang bertujuan karena pasien mampu menunjukkan sumber nyeri dan
bergerak kearah sumber nyeri tersebut dengan satu atau kedua ekstremitas
melewati garis tengah tubuh.

 Pengkajian fungsi pernapasan


Pengkajian fungsi dan pola pernapasan penting dalam mendeteksi
perburukan cedera neurologis dan kebutuhan dukungan mekanik. Banyak bagian
dari kedua hemisfer serebral yang mengatur kendali volunteer terhadap otot yang
dignakan dalam bernapas, dengan serebelum menyesuaikan dan
mengkoordinasikan usaha otot. Serebrum juga sedikit mengendalikan frekuensi
dan irama pernapasan.
Pusat kritis inspirasi dan ekspirasi terdapat dalam medulla oblongata.
Setiap lesi intracranial yang berekpansi secara cepat, seperti perdarahan serebelar,
dapat mengompresi medulla, dan menghasilkan pernapasan ataksik. Pernapasan
tidak teratur tersebut terdiri dari napsa dalam dan dangkal disertai jeda tidak
teratur. Pola pernapasan tersebut menandakan perlunya control jalan nafas
definitive melalui intubasi endotrakeal.
 Pengkajian system tubuh lain
Selain pengkajian system saraf pusat yang menyeluruh, pegkajian
komprehensif dari seluruh system tubuh lain sangat penting dalam
mengindenifikasi secara dini komplikasi dan sekuela pada pasien cedera otak.

B. Diagnosa Keperawatan
a. Resiko perfusi serebral tidakn efektif b.d cidera kepala
b. Pola nafas tidak efektif b.d gangguan neurologis ( cidera kepala )
c. Nyeri akut b.d cidera traumatis
d. Resiko infeksi b.d tindakan invasif

C. Rencana Intervensi Keperawatan


Diagnosa 1: Resiko perfusi serebral tidakn efektif b.d cidera kepala
Tujuan dan kriteria hasil
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1x24 jam keadekuatan aliran darah serebral
meningkat dengan kriteria hasil :
1. Tingkat kesadaran meningkat
2. Tekanan darah sistolik membaik
3. Tekanan darah diastol membaik
4. Reflek syaraf membaik
Intervensi
Manajemen peningkatan tekanan intrakranial
1. Observasi
a. Monitor tanda dan bgejala peningkatan TIK
b. Mnitor intake dan output cairan
2. Terapiutik
a. Cegah terjadinya kejang
b. Atur ventilator agar PaCO2 optimal
c. Pertahankan suhu tubuh normal
3. Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian obat deuretik bila perlu
Diagnosa 2: Pola nafas tidak efektif b.d gangguan neurologis ( cidera kepala )
Kriteria hasil : setelah dilakukan tindakan keperawatan 1x24 jam diharapkan ventilasi
adekuat dan membaik.
Intervensi :
Pemantauan respirasi
1. Observasi
a. Monitor pola nafas dan saturasi oksigen
b. Monitor frekuensi,irama kedalaman dan upaya napas
c. Monitor adanya sumbatan jalan nafas
2. Terapiutik
a. Atur interval pemantauan respirasi sesuai kondisi pasien
3. Edukasi
a. Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
b. Informasikan hasil pemantauan jika perlu
Terapi oksigen
1. Observasi
a. Monitor kecepatan aliran oksigen
b. Monitor posisi alat terapi oksigen
c. Monitor tanda-tanda hiperventilasi
d. Monitor integritas mukosa hidung akibat pemasangan oksigen
2. Terapiutik
a. Bersihkan secret pada mulut, hidung dan trakeajika perlu
b. Pertahankan kepatenan jalan nafas
c. Berikan oksigen jika perlu
3. Edukasi
Ajaran keluarga cara menggunakan O2 dirumah
4. Kolaborasi
Kolaborasi penentuan dosis oksigen
Diagnosa 3: Nyeri akut b.d cidera traumatis
Kriteria hasil : setelah dilakukan tindakan keperawatan 1x24 jam diharapkan tingkat
nyeri menurun.
Intervensi
Manajemen nyeri
1. Observasi
a. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas nyeri
b. Identifikasi skala nyeri
c. Identifikasi respon nyeri non verbal
d. Identifikasi faktor yang memperberat nyeri
e. Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri
f. Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup
g. Monitor efek samping pengunaan analgesik
2. Terapiutik
a. Ber`ikan teknik nonfarmakologi untuk mengurangi rasa nyeri
b. Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri
c. Fasilitasi istirahat dan tidur
3. Edukasi
a. Jelaskan penyebab, periode dan pemicu nyeri
b. Jelaskan strategi meredakan nyeri
c. Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
4. Kolaborasi
a. Kolaborasi pemberian analgesic jika perlu.
Diagnosa 4: Resiko infeksi b.d tindakan invasif
Kriteria hasil : setelah dilakukan tindakan keperawatan 1x24 jam diharapkan derajat
infeksi menurun
Intervensi
Pencegahan inveksi
1. Observasi
a. Monitor tanda dan gejala infeksi lokasl dan sistemik
2. Terapiutik
a. Batasi jumlah pengunjung
b. Berikan perawatan luka pada daerah edema
c. Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien dan lingkungan
pasien
d. Pertahankan teknik aseptik pada pasien yang beresiko tinggi
3. Edukasi
a. Jelaskan tanda dan gejala infeksi
b. Ajarkan cara membersihkan luka
c. Anjurkan meningkatkan asupan cairan
4. Kolaborasi
a. Kolaborasi pemberian imunisasi jika perlu
DAFTAR PUSTAKA

Sjahrir H. 2012. Nyeri Kepala . Yogyakarta. Pustaka Cendekia Press.


Mansjoer, A. 2011. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: FKUI Media Aesculapius

Judha M & Rahil H.N. 2011 Sistem Persarafan Dalam Asuhan Keperawatan. Yogyakarta:
Gosyen Publishing
Ginsberg, Lionel. 2007. Lecture Notes: Neurology. Jakarta: Erlangga

Reisner A., 2009. Understanding Traumatic Brain Injuries. Medical Director of Neuro
Trauma Program. Available: http://www.choa.org/Menus/ Documents/Our
Services/Traumaticbrainiinjury2009.pdf. [Accessed 29 Agustus 2013]

PPNI.2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Jakarta: Dewan pengurus pusat


persatuan perawat nasional indonesia
WOC CIDERA OTAK BERAT

Etilogi : kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian , kecelakaan olahraga, pukulan

Trauma kepala (COB)

Cidera jaringan otak

Kerusakan neuromuskuler Respon peradangan


Px tampak gelisah
Px bertanya tanya keadaanya

Obstruksi trakeobronkial Tegangan dura dan


MK : Ansietas pembulu darah

Resistensi thd pola nafas tak efektif


MK : Nyeri akut

Hipertermi (pe volume darah, pe peermabilitas kapiler , vasodilatasi arterial

TIK Meningkat Nyeri kepala, muntah proyektil, pupil edema Potensial peningkatan TIK

Kejang/ kekacauan mental Perubahan motorik dan sensorik Tk kesadaran menurun

MK : Resiko Cidera Kerusakan persepsi / kongnitif Kelemahan otot

Penurunan ketahanan Tidak mampu mencerna

Tidak mampu bergerak sesuai tujuan Muntah proyektil

Mk : kerusakan mobilitas fisik Mk : perubahan nutrisi kurang


dari kebutuhan

Anda mungkin juga menyukai