Anda di halaman 1dari 20

B.

PEMBEBASAN IRIAN BARAT

1. Latar Belakang Masalah Irian Barat

Pada awalnya, Irian Barat merupakan wilayah jajahan Belanda dan bagian dari kesatuan dari pulau-pulau
lain di Indonesia dalam Hindia Belanda. Namun, ketika penyerahan kemerdekaan kepada RI, Irian Barat
belum disertakan di dalamnya. Hal ini menyebabkan kepemilikan wilayah itu menjadi permasalahan
antara RI dan Belanda, sehingga munculah upaya pembebasan Irian Barat dari tahu 1945-1963.

Dalam sidang BPUPKI ditegaskan bahwa wilayah Republik Indonesia mencakup seluruh wilayah bekas
Hindia Belanda, yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Oleh karena itu, ketika Indonesia
merdeka maka Irian Barat sudah seharusnya ikut merdeka.

Namun, Belanda tidak mau mengakui kemerdekaan Indonesia, tetapi justru melakukan agresi ke NKRI,
sehingga berkobarlah perang kemerdekaan (1945-1949). Akibat perjuangan Indonesia dan dukungan
forum internasional, Belanda akhirnya mengakui kemerdekaan Indonesia melalui Konferensi Meja
Bundar pada tahun 1949.

Kendati Belanda telah mengakui, namun dalam penyerahan kedaulatan tersebut Irian Barat belum
disertakan dan baru akan dirundingkan satu tahun kemudian.

Pada kenyataannya masalah Irian Barat tidak mudah untuk diselesaikan, karena Belanda tetap bersikeras
mempertahankan wilayah itu. Oleh karena itu, tuntutan yang dilancarkan pihak Indonesia terus
mengalami jalan buntu.

Meskipun mendapati jalan buntu, namun pemerintah Indonesia tidak putus asa. Sebagai solusi pertama,
Indonesia menggunakan jalur diplomasi untuk merundingkan penyerahan Irian Barat ke Indonesia.

2. Perjuangan Pembebasan Irian Barat di Bidang Diplomasi

Setelah setahun, Irian masih tetap dikuasai oleh Belanda, dan usaha-usaha secara bilateral telah
mengalami kegagalan, maka Pemerintah Indonesia sejak tahun 1954 membawa permasalah Irian ke
dalam sidang Majelis Umum PBB. Persoalan Irian berulang kali dimasukkan ke dalam acara sidang
Majelis Umum PBB, tetapi tidak pernah berhasil memperoleh tanggapan positif.

Pada sidang Majelis Umum tahun 1957, Menteri Luar Negeri Indonesia, Roeslan Abdulgani, menyatakan
dalam pidatonya, ketika ikut dalam perdebatan bahwa Indonesia akan menempuh jalan lain yang tidak
akan sampai kepada perang untuk menyelesaikan sengketa Irian dengan Belanda, jika sidang ke-12 PBB
tidak berhasil menyetujui resolusi Irian Barat.
Sayangnya, pidato dari menteri luar negeri tidak dapat merubah pendirian negara-negara pendukung
Belanda, sehingga resolusi yang disponsori 21 negara termasuk Indonesia tidak dapat dimenangkan
karena tidak mencapai 2/3 suara. Negara-negara Barat masih kokoh mendukung posisi Belanda, malah
sikap itu bertambah kuat dengan adanya Perang Dingin antara Blok Timur dan Barat. Dengan demikian
pihak Belanda tetap tidak mau menyerahkan Irian Barat, bahkan mereka tidak mempunyai keinginan
untuk membicarakannya lagi.

Pembebasan Irian Barat merupakan sebuah tuntutan nasional yang didukung oleh semua partai politik
dan semua golongan. Tuntutan itu didasarkan atas pembukaan UUD 45; “Untuk membentuk suatu
pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia”. Sementara Irian adalah bagian mutlak dari tumpah darah Indonesia. Itulah sebabnya,
kabinet-kabinet pada sistem parlementer tidak ada yang beranjak dari tuntutan nasional itu.

Setelah jalan damai yang ditempuh selama satu dasawarsa belum berhasil membebaskan Irian Barat,
maka Pemerintah Indonesia memutuskan untuk menempuh jalan lain. Dalam rangka itu, pada tahun
1957 dilancarkan aksi-aksi pembebasan Irian di seluruh tanah air, yang dimulai dengan pengambil-alihan
perusahaan Belanda di Indonesia oleh kaum buruh dan karyawan. Untuk mencegah anarki dan
menampung aspirasi rakyat banyak, maka Kepala Staf Angkatan Darat, Jenderal Nasution memutuskan
untuk mengambil alih semua perusahaan milik Belanda dan menyerahkannya kepada pemerintah.

Ketegangan antara Indonesia dan Belada mencapai puncaknya pada tanggal 17 Agus 1960. Pada tahun
itu Indonesia secara resmi memutus hubungan diplomatik dengan Pemerintah Belanda.

pembebasan irian barat

Presiden Soekarno dan Ellsworth Bunker

Kemudian, dalam sidang Majelis Umum PBB tahun 1961 kembali masalah Irian diperdebatkan.Sekretaris
Jenderal PBB, U Thant menganjurkan kepada salah seorang diplomat Amerika Serikat, Ellsworth Bunker
untuk mengajukan usulan penyelesaian masalah Irian. Inti dari usulan Bunker secara singkat adalah “agar
pihak Belanda menyerahkan kedaulatan Irian Barat kepada Republik Indonesia. Penyerahan itu dilakukan
melalui PBB dalam waktu dua tahun.”

Presiden Soekarno dan Ellsworth Bunker


Pemerintah RI pada prinsipnya dapat menyetujui usulan tersebut dengan catatan agar waktu penyerahan
diperpendek. Namun pemerintah Belanda mempunyai pendapat sebaliknya. Mereka mau melepaskan
Irian dengan membentuk dulu perwakilan di bawah PBB untuk kemudian membentuk Negara Papua.

Sikap Belanda disamput oleh Indonesia dengan membulatkan tekad untuk mengadakan perjuangan
bersahabat. Presiden Soekarono memformulasikannya sebagai ”Politik konfrontasi dengan uluran
tangan. Palu godam disertai dengan ajakan bersahabat

Usaha Pembebasan Irian Barat di Bidang Militer

Dalam rangka persiapan militer untuk merebut irian melalui jalur konfrontasi, Pemerintah Indonesia
mencari bantuan senjata ke luar negeri. Pada awalnya senjata diharapkan diperoleh dari negara-negara
Blok Barat, khususnya Amerika, tetapi tidak berhasil. Kemudian usaha pembelian senjata dialihkan ke Uni
Soviet,

Pada Desember 1960, Jenderal Nasution bertolak ke Moskow untuk mengadakan perjanjian pembelian
senjata. Kemudian pada tahun 1961, Jenderal Nasution mengunjungi beberapa negara : India, Pakistan,
Australia, Jerman, Prancis, Inggris dll untuk mendengar sikap negara-negara itu, jika terjadi perang antara
Indonesia dengan Belanda. Kesimpulan yang diperoleh Kasad bahwa negara-negara tersebut tidak
mempunyai keterikatan dengan Belanda dalam bidang bantuan militer, meskipun negara-negara
tersebut menekankan supaya perang dihindari dan bahkan ada yang mendukung posisi Belanda.

Di pihak lain, Belanda mulai menyadari apabila Irian Barat tidak segera diserahkan kepada Indonesia,
maka lawannya akan berusaha membebaskan Irian dengan kekuatan militer. Belanda tidak tinggal diam
melihat persiapan-persiapan yang dilakukan oleh Indonesia. Awalnya mereka mengajukan protes kepada
PBB dengan menuduh Indonesia melakukan agresi. Selanjutnya Belanda memperkuat kedudukannya di
Irian dengan mendatangkan bantuan dan mengirimkan kapal perangnya ke perairan Irian di antaranya
kapal induk Karel Doorman.

Pada tanggal 19 Desember 1961, pemerintah mengeluarkan Tri Komando Rakyat (Trikora) yang berisi:

Gagalkan pembentukan negara boneka Papua buatan Belanda

Kibarkan Sang Merah Putih di Irian Barat, tanah air Indonesia

Bersiaplah untuk mobilisasi umum guna mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan tanah air dan
bangsa.

Dengan diucapkannya Trikora maka dimulailah konfrontasi melawan Belanda. Pada tanggal 2 Januari
1962, Presiden Soekarno mengeluarkan keputusan No. 1 tahun 1962 untuk membentuk Komando
Mandala Pembebasan Irian Barat.

Awalnya Belanda meremehkan persiapan-persiapan Komando Mandala tersebut. Mereka menganggap


pasukan Indonesia tidak mungkin dapat masuk ke wilayah Irian. Akan tetapi setelah operasi-operasi
infiltrasi dari pihak Indonesia berhasil yang di antaranya terbukti dengan jatuhnya Teminabuan ke tangan
Indonesia, maka Belanda akhirnya bersedia untuk duduk di meja perundingan. Tidak hanya Belanda,
dunia luar yang dulunya mendukung posisi Belanda di Forum PBB mulai mengerti bahwa Indonesia tidak
main-main.

Pemerintah Belanda juga banyak mendapat tekanan dari Amerika Serikat untuk berunding. Desakan ini
untuk mencegah terseretnya Unni Soviet dan Amerika Serikat ke dalam suatu konfrontasi langsung di
Pasifik, di mana masing-masing pihak memberi bantuan kepada Indonesia dan Belanda. Sehingga, pada
tanggal 15 Agustus 1962, ditandatangani suatu perjanjian antara Pemerintah Indonesia dengan
Pemerintah Belanda di New york.

Perjanjian New York dibuat berdasarkan prinsip-prinsip yang diusulkan oleh Delegasi Amerika Serikat,
Ellsworth Bunker, yang oleh Sekretaris Jenderal PBB diminta untuk menjadi penengah. Persoalan
terpenting dari perjanjian ini adalah mengenai penyerahan pemerintahan di Irian Barat dari pihak
Kerajaan Belanda kepada PBB. Untuk kepentingan tersebut maka dibentuklah United Nation Temporary
Excecutive Authority (UNTEA) yang pada waktunya akan menyerahkan Irian Barat ke Indonesia sebelum
tanggal 1 Mei 1963.

Sementara Indonesia mendapat kewajiban untuk mengadakan Penentuan Pendapat Rakyat di irian
sebelum akhir 1969, dengan ketentuan bahwa: kedua belah pihak, Indonesia dan Belanda, akan
menerima hasil referendum itu. Dedangkan pemulihan hubungan diplomatik keduanya akan dilakukan
npada tahun 1963 itu juga, dengan pembukaan Kedutaan Besar Indonesia di Den Haag dan Kedutaan
Besar Belanda di Jakarta.

Kondisi Irian Barat sendiri sangat memprihatinkan selama berada di bawah Belanda. Tidak ada warisan
belanda yang bisa dipakai sebagai modal untuk membangun daerah itu. Rakyat Irian sama sekali belum
diajari untuk menghasilkanbarang-barang yang mempunyai nilai jual, karena semua barang didatangkan
dari luar negeri. Oleh karena itu, pembangunan Irian menjadi salah satu tantangan negara yang masih
muda ini. Itukah sebabnya Presiden Soekarno mengatakan bahwa pembangunan Irian termasuk ke
dalam Trikora.

Operasi-Operasi Pembebasan Irian Barat

Pada tanggal 17 Agustus 1960, pemerintah Indonesia memutus hubungan diplomatik dengan Belanda.
Setelah Trikora diserukan Soekarno pada tanggal 18 Desember 1961 di Yogyakarta, selanjutnya diadakan
rapat Dewan Pertahanan Nasional dan Gabungan Kepala Staf serta Komando Tertinggi Pembebasan Irian
Barat yang memutuskan untuk membentuk:

Provinsi Irian Barat gaya baru dengan putra Irian sebagai gubernurnya.

Komando Mandala yang langsung memimpin kesatuan-kesatuan Abri dalam tugas merebut Irian Barat.
Pembentukan Provinsi Irian Barat diputuskan melalui penetapan presinden No. 1/1962 dengan ibukota
baru Jayapura (pada masa Belanda dinamai Hollandia). Sesuai dengan Trikora kesiapan di semua bidang
diperkuat. Sistem gabungan kepala staf dan pimpinan angkatan bersenjata berdiri langsung di bawah
Panglima Tertinggi. Angkatan Udara RI pada tanggal 10 Januari 1962 meresmikan pembentukan
Komando Regional Udara I-IV.

Panglima Mandala Soeharto

pembebasan irian barat

Panglima Mandala Soeharto

Selaku Panglima Mandala ditunjuk Brigadir Jenderal Soeharto dan Komanda Mandala berpusat di
Makassar. Pada tanggal 13 Januari 1962, Brigjen Soeharto dilantik menjadi panglima Mandala dan
dinaikkan pangkatnya menjadi Mayor Jenderal. Di samping sebagai Panglima Mandala, Soeharto juga
merangkap sebagai Deputi Kasad Wilayah Indonesia bagian Timur.

Pada bulan Januari di tahun yang sama, juga ditetapkan susunan Komando Tertinggi Pembebasan Irian
Barat sebagai berikut:

Panglima Besar Komando Tertingggi Pembebasan Irian Barat: Presiden Soekarno

Wakil Panglima Besar: Jenderal A. H. Nasution

Kepala Staf: Mayor Jenderal Ahmad Yani

Sementara susunan Komando Mandala:

1.Panglima Mandala: Mayor Jenderal Soeharto

Wakil Panglima I: Kolonel Laut Subono


Wakil Panglima II: Letkol Udara Leo Wattimena

Kepala Staf Umum,: Kolonel Ahmad Tahir

Pada tanggal 15 januari 1962, terjadi peristiwa tragis yakni pertempuran Laut Aru. Dalam pertempuran
yang tidak seimbang antara MTB ALRI melawan kapal perusak dan fregat belanda, gugur Deputi Kasal,
Komodor Yos Sudarso.

Di tengah situasi yang semakin memanas, Trikora diperjelas dengan instruksi Panglima Besar Komando
Tertinggi Pembebasan Irian Barat No. 1 kepada Panglima Mandala yang berisi:

Merencakan, mempersiapkan dengan menyelenggarakan operasi-operasi militer, dengan tujuan untuk


mengembalikan wilayah provinsi Irian Barat ke dalam kekuasaan NKRI.

Mengembangkan situasi di wilayah Provinsi Irian Barat

Sesuai dengan taraf-taraf perjuangan di bidang diplomasi.

supaya dalam waktu yang sesingkat-singkatnya di wilayah Provinsi Irian Barat dapat secara de facto
menjadi daerah-daerah bebas atau berada di bawah kekuasaan NKRI.

Untuk melaksanakan instruksi itu, Panglima Mandala menyusun strategi yang dikenal dengan sebutan
Strategi Panglima Mandala. Untuk mencapai tujuan dari strategi itu, maka penyelesaiin tugas dibagi ke
beberapa fase.

Sampai akhir tahun 1962, operasi difokuskan pada infiltrasi dengan memasukkan 10 kompi ke sasaran-
sasaran tertentu untuk menciptakan daerah bebas de facto yang kokoh. Kesatuan-kesatuan ini juga harus
mengembangkan penguasaan wilayah dengan membawa serta rakyat Irian Barat.

Awal tahun 1963, operasi mulai masuk ke fase eksploitasi dengan mengadakan serangan terbuka
terhadap pusat militer lawan, dan menduduki pos-pos pertahanan penting.

Selanjutnya pada awal 1964, operasi akan memasuki fase konsolidasi dengan menempatkan kekuasaan
RI secara mutlak di seluruh Irian Barat.

Klimaks Pembebasan Irian Barat

Hingga triwulan ketiga 1962,terdapat perkembangan baru di bidang diplomasi, sehingga jadwal
penyelesaian tugas Operasi Mandala harus dipercepat enam bulan.
Operasi Pembebasan Irian Barat

pembebasan irian barat

Operasi Pembebasan Irian Barat

Infiltrasi melalui laut sebagian telah tercium oleh musuh dan mengalami rintangan berat, mulai dari
kapal-kapal Belanda sampai ombak yan gtinggi. Pada bulan April 1962, dilakukan infiltrasi dari udara.
Dengan demikian sampai tanggal 15 Agustus telah diinfiltrasikan 10 kompi.

Sementara itu, telah dipersiapkan pula operasi penentuan yang bernama Operasi Jaya Wijaya dengan
target pelaksanaan pada awal Agustus 1962. Tujuan dari operasi ini adalah untuk merebut daerah Irian
Barat. Operasi Jaya Wijaya dibagi atas Operasi Jaya Wijaya I untuk merebut udara dan laut, Operasi Jaya
Wijaya II bertujuan merebut Biak, Operasi Jaya Wijaya III merebut Hollandia dari Laut, dan Operasi Jaya
Wijaya IV yang bertujuan merebut Hollandia dari udara.

Untuk melaksanakan operasi tersebut, Angkatan Laut Mandala di bawah Kolonel Laut Sudomo
membentuk Angkatan Tugas Amfibi 17, yang terdiri dari tujuh gugus tugas, sedangkan Angkatan Udara
membentuk enam kesatuan tempur baru.

Akan tetapi sebelum Operasi Jaya Wijaya ini dilaksanakan datanglah perintah dari Presiden untuk
menghentikan serangan pada tanggal 18 Agustus 1962.

Perintah presiden diikuti dengan surat perintah Panglima Mandala yang ditujukan kepada seluruh
pasukan dalam jajaran Mandala yang berada di daerah Irian. Isi perintah panglima itu adalah: agar
semua pasukan mentaati perintah penghentian tembak-menembak dan mengadakan kontak dengan
perwira-perwira peninjau PBB.

Surat perintah presiden tersebut dikeluarkan setelah menandatangani persetujuan antara pemerintah RI
dan Belanda mengenai Irian Barat di Markas Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 15 Agustus
1962. Berhasilnya Trikora adalah berkat kerjasama bidang militer dan diplomasi. Diplomasi tanpa adanya
dukungan militer akan sia-sia, seperti yang telah dialami sebelum keluarnya Trikora.

Operasi terakhir yang dilaksanakan adalah operasi Wisnu Murti yakni operasi menghadapi penyerahan
Irian Barat kepada pemerintah Indonesia pada tanggal 1 Mei 1963. Dengan demikian, pada tanggal 1 Mei
1963 tugas Komando Mandala telah selesai dan komando tersebut secara resmi dibubarkan.

C. PERKEMBANGAN EKONOMI PADA MASA DEMOKRASI TERPIMPIN

1. Pembentukan Badan Perencana Pembangunan Nasional

Untuk melaksanakan pembangunan ekonomi di bawah Kabinet Karya maka dibentuklah Dewan
Perancang Nasional (Depernas) pada tanggal 15 Agustus 1959 dipimpin oleh Moh. Yamin dengan
anggota berjumlah 50 orang.

Tugas Depernas :

- Mempersiapkan rancangan Undang-undang Pembangunan Nasional yang berencana

- Menilai Penyelenggaraan Pembangunan

Hasil yang dicapai, dalam waktu 1 tahun Depenas berhasil menyusun Rancangan Dasar Undang-undang
Pembangunan Nasional Sementara Berencana tahapan tahun 1961-1969 yang disetujui oleh MPRS.
Mengenai masalah pembangunan terutama mengenai perencanaan dan pembangunan proyek besar
dalam bidang industri dan prasarana tidak dapat berjalan dengan lancar sesuai harapan. 1963 Dewan
Perancang Nasional (Depernas) diganti dengan nama Badan Perancang Pembangunan Nasional
(Bappenas) yang dipimpin oleh Presiden Sukarno.

2. Penurunan Nilai Uang

Tujuan dilakukan devaluasi :

- Guna membendung inflasi yang tetap tinggi

- Untuk mengurangi jumlah uang yang beredar di masyarakat

- Meningkatkan nilai rupiah sehingga rakyat kecil tidak dirugikan.

Maka pada tanggal 25 Agustus 1959 pemerintah mengumumkan keputusannya mengenai penuruan nilai
uang (devaluasi), yaitu sebagai berikut.

- Uang kertas pecahan bernilai Rp. 500 menjadi Rp. 50

- Uang kertas pecahan bernilai Rp. 1.000 menjadi Rp. 100


- Pembekuan semua simpanan di bank yang melebihi Rp. 25.00

Tetapi usaha pemerintah tersebut tetap tidak mampu mengatasi kemerosotan ekonomi yang semakin
jauh, terutama perbaikan dalam bidang moneter. Para pengusaha daerah di seluruh Indonesia tidak
mematuhi sepenuhnya ketentuan keuangan tersebut.

Pada masa pemotongan nilai uang memang berdampak pada harga barang menjadi murah tetapi tetap
saja tidak dapat dibeli oleh rakyat karena mereka tidak memiliki uang. Hal ini disebabkan karena :

- Penghasilan negara berkurang karena adanya gangguan keamanan akibat pergolakan daerah yang
menyebabkan ekspor menurun.

- Pengambilalihan perusahaan Belanda pada tahun 1958 yang tidak diimbangi oleh tenaga kerja
manajemen yang cakap dan berpengalaman.

- Pengeluaran biaya untuk penyelenggaraan Asian Games IV tahun 1962, RI sedang mengeluarkan
kekuatan untuk membebaskan Irian Barat.

3. Kenaikan Laju Inflasi

Latar Belakang meningkatnya laju inflasi :

- Penghasilan negara berupa devisa dan penghasilan lainnya mengalami kemerosotan.

- Nilai mata uang rupiah mengalami kemerosotan

- Anggaran belanja mengalami defisit yang semakin besar

- Pinjaman luar negeri tidak mampu mengatasi masalah yang ada

- Upaya likuidasi semua sektor pemerintah maupun swasta guna penghematan dan pengawasan
terhadap pelaksanaan anggaran belanja tidak berhasil

- Penertiban administrasi dan manajemen perusahaan guna mencapai keseimbangan keuangan tak
memberikan banyak pengaruh

- Penyaluran kredit baru pada usaha-usaha yang dianggap penting bagi kesejahteraan rakyat dan
pembangunan mengalami kegagalan.

Kegagalan-kegagalan tersebut disebabkan karena:

- Pemerintah tidak mempunyai kemauan politik untuk menahan diri dalam melakukan pengeluaran.

- Pemerintah menyelenggarakan proyek-proyek mercusuar seperti GANEFO (Games of the New


Emerging Forces ) dan CONEFO (Conference of the New Emerging Forces) yang memaksa pemerintah
untuk memperbesar pengeluarannya pada setiap tahunnya.
Dampaknya :

- Inflasi semakin bertambah tinggi

- Harga-harga semakin bertambah tinggi

- Kehidupan masyarakat semakin terjepit

- Indonesia pada tahun 1961 secara terus menerus harus membiayai kekeurangan neraca
pembayaran dari cadangan emas dan devisa

- Ekspor semakin buruk dan pembatasan Impor karena lemahnya devisa.

- 1965, cadangan emas dan devisa telah habis bahkan menunjukkan saldo

negatif sebesar US$ 3 juta sebagai dampak politik konfrontasi dengan Malaysia dan negara-negara barat.

Kebijakan Pemerintah :

- Keadaan defisit negara yang semakin meningkat ini diakhiri pemerintah dengan pencetakan uang
baru tanpa perhitungan matang. Sehingga menambah berat angka inflasi.

- 13 Desember 1965 pemerintah mengambil langkah devaluasi dengan menjadikan uang senilai Rp.
1000 menjadi Rp. 1

Dampaknya dari kebijakan pemerintah tersebut :

- Uang rupiah baru yang seharusnya bernilai 1000 kali lipat uang rupiah lama akan tetapi di
masyarakat uang rupiah baru hanya dihargai sekitar 10 kali lipat lebih tinggi dari uang rupiah baru.

- Tindakan moneter pemerintah untuk menekan angka inflasi malahan menyebabkan meningkatnya
angka inflasi.

B. SISTEM EKONOMI PADA MASA DEMOKRASI TERPIMPIN

1. Sistem Ekonomi Liberal

Sebagai negara yang baru merdeka, kehidupan ekonomi Indonesia masih sangat terbelakang. Upaya
mengadakan pembangunan ekonomi untuk mengubah struktur ekonomi kolonial ke ekonomi nasional
yang sesuai dengan jiwa bangsa Indonesia berjalan tersendat-sendat.

Terdapat empat faktor yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi Indonesia tersendat-sendat yaitu :

• Situasi keamanan dalam negeri yang tidak menguntungkan dengan adanya gerakan separatisme di
berbagai daerah

• Terlalu sering berganti kabinet menyebabkan program-program kabinet yang telah dirancang tidak
dapat dilaksanakan.
• Indonesia hanya mengandalkan satu jenis ekspor terutama hasil bumi sehingga apabila permintaan
ekspor dari sektor itu berkurang akan memukul perekonomian Indonesia.

• Belum memiliki pengalaman untuk menata ekonomi secara baik, belum memilki tenaga ahli dan dana
yang diperlukan belum memadai.

Namun demikian, pemerintah telah mencoba upaya untuk memperbaiki ekonomi melalui langkah-
langkah berikut ini :

a. Nasionalisasi De Javasche Bank

Dalam Keterangan Pemerintah tanggal 28 Mei 1951 di depan DPR, dikemukakan rencana Pemerintah
mengenai nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia. Pada tanggal 19 Juni 1951, dibentuk
Panitia Nasionalisasi De Javasche Bank. Tugas panitia tersebut adalah mengajukan usul mengenai
nasionalisasi, rencana undang-undang nasionalisasi, serta merencanakan undang-undang yang baru
mengenai Bank Sentral. Kemudian pemerintah mengangkat Mr. Syarifuddin Prawiranegara sebagai
Presiden De Javasche Bankberdasarkan keputusan Presiden RI No. 123 tanggal 12 Juli 1951. Sebelumnya,
pemerintah telah memberhentikan Dr. Houwink (WN Belanda) sebagai Presiden De Javasche Bank
berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 122 tanggal 12 Juli 1951.

Pada tanggal 15 Desember 1951, diumumkan UU No. 24 tahun 1951 tentang Nasionalisasi De Javasche
Bank N.V menjadi Bank Indonesia yang berfungsi sebagai bank sentral dan bank sirkulasi. UU tersebut
diperkuat lagi dengan dikeluarkannya UU No. 11 / 1953 dan Lembaran Negara No. 40.

Dengan UU dan Lembaran Negara tersebut dikeluarkan UU Pokok Bank Indonesia yang mulai berlaku
tanggal 1 Juli 1953. Dengan dikeluarkan UU Pokok Bank Indonesia itu, semakin kukuhlah Bank Indonesia
sebagai bank milik pemerintah RI.

b. Sistem Ekonomi Gerakan Benteng

Sumitro Djojohadikusumo berpendapat bahwa pembangunan ekonomi Indonesia pada hakekatnya


adalah pembangunan ekonomi baru sehingga perlu mengubah struktur ekonomi dari sistem kolonial ke
dalam sistem ekonomi nasional. Sumitro mencoba memprektikan pemikiran itu pada sektor
perdagangan. Tujuannya untuk memberikan kesempatan kepada para pengusaha pribumi untuk
berpartisipasi dalam membangun perekonomian nasional.

Program sistem ekonomi dari gagasan Sumitro ini dituangkan dalam program Kabinet Natsir, ketika ia
menjabat sebagai Menteri Perdagangan. Program ekonomi Sumitro ini dikenal dengan Program Ekonomi
Gerakan Benteng atau lebih populer dengan sebutan Program Benteng. Program Benteng dimulai pada
bulan April 1950 dan berlangsung selama tiga tahun, yaitu pada tahun 1950 – 1953.
Akan tetapi, program tersebut tidak berhasil mencapai tujuan. Ketidak-berhasilan itu disebabkan para
pengusaha pribumi terlalu tergantung pada pemerintah. Mereka kurang bisa mandiri untuk
mengembangkannya usahanya.

Ketika Mr. Iskaq Tjokroadisuryo menjabat sebagai Menteri Perekonomian di bawah Kabinet Ali, ia
melanjutkan upaya-upaya untuk mengangkat peran para pengusaha pribumi. Belajar dari kegagalan
sebelumnya, maka pada masa Kabinet Ali I dikeluarkan model baru yang dikenal dengan sebutan Sistem
Ali-Baba, yakni kerja sama antar pengusaha pribumi (Ali) dengan pengusaha nonpribumi (Baba). Ide ini
pun mengalami kegagalan karena pengusaha nonpribumi lebih berpengalaman dibandingkan pengusaha
pribumi.

c. Gunting Syarifuddin

Gunting Syarifuddin dikeluarkan pada tanggal 20 Maret 1950. Syarifuddin adalah seorang Menteri
Keuangan pada saat itu. Disebut Gunting Syarifuddin karena peraturan itu mengharuskan pemotongan
semua uang kertas yang bernilai Rp 2,50 ke atas menjadi dua sehingga nilainya tinggal setengah. Melalui
kebijakan itu, pemerintah berhasil mengumpulkan pinjaman wajib dari rakyat sebesar Rp 1,6 Milyar.
Disamping itu, pemerintah juga mengurangi jumlah uang yang beredar.

C. UPAYA PEMERINTAH DALAM MENGATASI KRISIS EKONOMI

Kehidupan ekonomi Indonesia hingga tahun 1959 belum berhasil dengan baik dan tantangan yang
menghadangnya cukup berat. Upaya pemerintah untuk memperbaiki kondisi ekonomi adalah sebagai
berikut.

Gunting Syafruddin

Kebijakan ini adalah Pemotongan nilai uang (sanering). Caranya memotong semua uang yang bernilai Rp.
2,50 ke atas hingga nilainya tinggal setengahnya. Kebijakan ini dilakukan oleh Menteri Keuangan
Syafruddin Prawiranegara pada masa pemerintahan RIS. Tindakan ini dilakukan pada tanggal 20 Maret
1950 berdasarkan SK Menteri Nomor 1 PU tanggal 19 Maret 1950. Tujuannya untuk menanggulangi
defisit anggaran sebesar Rp. 5,1 Miliar.

Dampaknya rakyat kecil tidak dirugikan karena yang memiliki uang Rp. 2,50 ke atas hanya orang-orang
kelas menengah dan kelas atas. Dengan kebijakan ini dapat mengurangi jumlah uang yang beredar dan
pemerintah mendapat kepercayaan dari pemerintah Belanda dengan mendapat pinjaman sebesar Rp.
200 juta.

Sistem Ekonomi Gerakan Benteng

Sistem ekonomi Gerakan Benteng merupakan usaha pemerintah Republik Indonesia untuk mengubah
struktur ekonomi yang berat sebelah yang dilakukan pada masa Kabinet Natsir yang direncanakan oleh
Sumitro Djojohadikusumo (menteri perdagangan). Program ini bertujuan untuk mengubah struktur
ekonomi kolonial menjadi struktur ekonomi nasional (pembangunan ekonomi Indonesia). Programnya
adalah:

Menumbuhkan kelas pengusaha dikalangan bangsa Indonesia.

Para pengusaha Indonesia yang bermodal lemah perlu diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam
pembangunan ekonomi nasional.

Para pengusaha Indonesia yang bermodal lemah perlu dibimbing dan diberikan bantuan kredit.

Para pengusaha pribumi diharapkan secara bertahap akan berkembang menjadi maju.

Gagasan Sumitro ini dituangkan dalam program Kabinet Natsir dan Program Gerakan Benteng dimulai
pada April 1950. Hasilnya selama 3 tahun (1950-1953) lebih kurang 700 perusahaan bangsa Indonesia
menerima bantuan kredit dari program ini. Tetapi tujuan program ini tidak dapat tercapai dengan baik
meskipun beban keuangan pemerintah semakin besar. Kegagalan program ini disebabkan karena :

Para pengusaha pribumi tidak dapat bersaing dengan pengusaha non pribumi dalam kerangka sistem
ekonomi liberal.

Para pengusaha pribumi memiliki mentalitas yang cenderung konsumtif.

Para pengusaha pribumi sangat tergantung pada pemerintah.

Para pengusaha kurang mandiri untuk mengembangkan usahanya.

Para pengusaha ingin cepat mendapatkan keuntungan besar dan menikmati cara hidup mewah.

Para pengusaha menyalahgunakan kebijakan dengan mencari keuntungan secara cepat dari kredit yang
mereka peroleh.

Dampaknya adalah program ini menjadi salah satu sumber defisit keuangan. Beban defisit anggaran
Belanja pada 1952 sebanyak 3 Miliar rupiah ditambah sisa defisit anggaran tahun sebelumnya sebesar
1,7 miliar rupiah. Sehingga menteri keuangan Jusuf Wibisono memberikan bantuan kredit khususnya
pada pengusaha dan pedagang nasional dari golongan ekonomi lemah sehingga masih terdapat para
pengusaha pribumi sebagai produsen yang dapat menghemat devisa dengan mengurangi volume impor.

Nasionalisasi De Javasche Bank

Seiring meningkatnya rasa nasionalisme maka pada akhir tahun 1951 pemerintah Indonesia melakukan
nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia. Awalnya terdapat peraturan bahwa mengenai
pemberian kredit harus dikonsultasikan pada pemerintah Belanda. Hal ini menghambat pemerintah
dalam menjalankan kebijakan ekonomi dan moneter. Tujuannya adalah untuk menaikkan pendapatan
dan menurunkan biaya ekspor, serta melakukan penghematan secara drastis. Perubahan mengenai
nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia sebagai bank sentral dan bank sirkulasi
diumumkan pada tanggal 15 Desember 1951 berdasarkan Undang-undang No. 24 tahun 1951.

Sistem Ekonomi Ali-Baba

Sistem ekonomi Ali-Baba diprakarsai oleh Iskaq Tjokrohadisurjo (menteri perekonomian kabinet Ali I).
Tujuan dari program ini adalah:

Untuk memajukan pengusaha pribumi.

Agar para pengusaha pribumi bekerjasama memajukan ekonomi nasional.

Pertumbuhan dan perkembangan pengusaha swasta nasional pribumi dalam rangka merombak ekonomi
kolonial menjadi ekonomi nasional.

Memajukan ekonomi Indonesia perlu adanya kerjasama antara pengusaha pribumi dan non pribumi.

Ali digambarkan sebagai pengusaha pribumi sedangkan Baba digambarkan sebagai pengusaha non
pribumi khususnya Cina. Dengan pelaksanaan kebijakan Ali-Baba, pengusaha pribumi diwajibkan untuk
memberikan latihan-latihan dan tanggung jawab kepada tenaga-tenaga bangsa Indonesia agar dapat
menduduki jabatan-jabatan staf. Pemerintah menyediakan kredit dan lisensi bagi usaha-usaha swasta
nasional. Pemerintah memberikan perlindungan agar mampu bersaing dengan perusahaan-perusahaan
asing yang ada. Program ini tidak dapat berjalan dengan baik sebab:

Pengusaha pribumi kurang pengalaman sehingga hanya dijadikan alat untuk mendapatkan bantuan
kredit dari pemerintah. Sedangkan pengusaha non pribumi lebih berpengalaman dalam memperoleh
bantuan kredit.

Indonesia menerapkan sistem Liberal sehingga lebih mengutamakan persaingan bebas.

Pengusaha pribumi belum sanggup bersaing dalam pasar bebas.

Persaingan Finansial Ekonomi (Finek)

Pada masa Kabinet Burhanuddin Harahap dikirim delegasi ke Jenewa untuk merundingkan masalah
finansial-ekonomi antara pihak Indonesia dengan pihak Belanda. Misi ini dipimpin oleh Anak Agung Gde
Agung. Pada tanggal 7 Januari 1956 dicapai kesepakatan rencana persetujuan Finek, yang berisi:

Persetujuan Finek hasil KMB dibubarkan.

Hubungan Finek Indonesia-Belanda didasarkan atas hubungan bilateral.

9
Hubungan Finek didasarkan pada Undang-undang Nasional, tidak boleh diikat oleh perjanjian lain antara
kedua belah pihak.

Hasilnya pemerintah Belanda tidak mau menandatangani, sehingga Indonesia mengambil langkah secara
sepihak. Tanggal 13 Februari 1956 Kabinet Burhanuddin Harahap melakukan pembubaran Uni Indonesia-
Belanda secara sepihak. Tujuannya untuk melepaskan diri dari keterikatan ekonomi dengan Belanda.
Sehingga, tanggal 3 Mei 1956, akhirnya Presiden Soekarno menandatangani undang-undang pembatalan
KMB. Dampaknya adalah banyak pengusaha Belanda yang menjual perusahaannya, sedangkan
pengusaha pribumi belum mampu mengambil alih perusahaan Belanda tersebut.

Rencana Pembangunan Lima Tahun (RPLT)

Masa kerja kabinet pada masa liberal yang sangat singkat dan program yang silih berganti menimbulkan
ketidakstabilan politik dan ekonomi yang menyebabkan terjadinya kemerosotan ekonomi, inflasi, dan
lambatnya pelaksanaan pembangunan.

Program yang dilaksanakan umumnya merupakan program jangka pendek, tetapi pada masa kabinet Ali
Sastroamijoyo II, pemerintahan membentuk Badan Perencanaan Pembangunan Nasional yang disebut
Biro Perancang Negara. Tugas biro ini merancang pembangunan jangka panjang. Ir. Juanda diangkat
sebagai menteri perancang nasional. Biro ini berhasil menyusun Rencana Pembangunan Lima Tahun
(RPLT) yang rencananya akan dilaksanakan antara tahun 1956-1961 dan disetujui DPR pada tanggal 11
November 1958. Tahun 1957 sasaran dan prioritas RPLT diubah melalui Musyawarah Nasional
Pembangunan (Munap). Pembiayaan RPLT diperkirakan 12,5 miliar rupiah.

RPLT tidak dapat berjalan dengan baik disebabkan karena :

Adanya depresi ekonomi di Amerika Serikat dan Eropa Barat pada akhir tahun 1957 dan awal tahun 1958
mengakibatkan ekspor dan pendapatan negara merosot.

Perjuangan pembebasan Irian Barat dengan melakukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda di


Indonesia menimbulkan gejolak ekonomi.

Adanya ketegangan antara pusat dan daerah sehingga banyak daerah yang melaksanakan kebijakan
ekonominya masing-masing.

10

Musyawarah Nasional Pembangunan

Masa kabinet Juanda terjadi ketegangan hubungan antara pusat dan daerah. Masalah tersebut untuk
sementara waktu dapat teratasi dengan Musayawaraah Nasional Pembangunan (Munap). Tujuan
diadakan Munap adalah untuk mengubah rencana pembangunan agar dapat dihasilkan rencana
pembangunan yang menyeluruh untuk jangka panjang. Tetapi tetap saja rencana pembangunan tersebut
tidak dapat dilaksanakan dengan baik karena:

Adanya kesulitan dalam menentukan skala prioritas.


Terjadi ketegangan politik yang tak dapat diredakan.

Timbul pemberontakan PRRI/Permesta.

Hal ini membutuhkan biaya besar untuk menumpas pemberontakan PRRI/ Permesta sehingga
meningkatkan defisit Indonesia. Memuncaknya ketegangan politik Indonesia- Belanda menyangkut
masalah Irian Barat mencapai konfrontasi bersenjata.

11
D. PERKEMBANGAN EKONOMI PADA MASA DEMOKRASI TERPIMPIN

Dalam bidang ekonomi, Presiden Soekarno mempraktikkan sistem ekonomi terpimpin. Presiden secara
langsung terjun dan mengatur perekonomian. Pemusatan kegiatan perekonomian pada satu tangan ini
berakibat penurunan kegiatan perekonomian.

Dalam upaya meningkatkan aktivitas perekonomian Indonesia, pemerintah mengambil beberapa langkah
yang dapat menunjang pembangunan ekonomi Indonesia. Lankah-langkah yang ditempuh pemerintah
adalah sebagai berikut :

a) Devaluasi Mata Uang Rupiah

Sebagai langkah pertama dalam usaha perbaikan keadaan ekonomi, maka pada tanggal 24 Agustus 1959
pemerintah mendevaluasi mata uang Rp 1.000,00 dan Rp 500,00 menjadi Rp 100,00 dn Rp 50,00. Mata
uang pecahan seratus kebawah tidak didavaluasi. Tujuan devaluasi ini adalah untuk meningkatkan nilai
rupiah dan rakyat kecil tidak dirugikan. Pemerintah juga melakukan pembekuan terhadap semua
simpanan di bank-bank yang melebihi jumlah Rp 25.000,00. Namun demikian, tindakan pemerintah itu
tidak dapat mengatasi kemunduran ekonomi sehingga gambaran ekonomi tetap suram.

b) Menekan Laju Inflasi

Dalam upaya membendung inflasi, dikeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2
tahun 1959yang mulai berlaku sejak tanggal 25 Agustus 1959. Peraturan itu dimaksudkan untuk
mengurangi banyaknya uang yang beredar agae dapat memperbaiki kondisi keuangan dan
perekonomian negara.

Penghasilan negara berupa devisa dan penghasilan lain yang merupakan sumber-sumber penting
penerimaan negara mengalami kemosrotan . hal ini berpengaruh terhadap merosotnya nilai mata uang
rupiah. Akibatnya, pemerintah melakukan likuiditas terhadap semua sektor, baik sektor pemerintah
maupun sektor swasta. Keadaan ini merupakan kesempatan yang baik untuk menertibkan setiap
kegiatan pemerintah dan swasta yang sebelumnya tidak dapat dikendalikan.

Sementara itu, sejak tahun 1961 Indonesia secara terus-menerus membiayai kekurangan neraca
pembayarannya dari cadangan emas dan devisa. Pada akhir tahun 1965, untuk pertama kalinya dalam
sejarah keuangan, Indonesia sudah habis membelanjakan cadangan emas dan devisa, serta
memperlihatkan saldo negatif sebesar 3 juta dollar AS. Walaupun demikian, aktivitas perekonomian
masyarakat Indonesia tidak diatur lagi oleh bangsa asing melainkan telah diatur oleh bangsa Indonesia
sendiri.

12

c) Melaksanakan Pembangunan Nasional


Untuk melaksanakan pembangunan nasional, diperlukan modal dan tenaga ahli. Sementara Indonesia
tidak memiliki cukup modal dan tenaga ahli. Karena konfrontasi dengan Malaysia dan memasuhi negara-
negara Barat (Eropa Barat), maka bantuan modal dan tenaga dari luar negeri sangat sulit diperoleh.
Dengan demikian, pembangunan yang direncanakan tidak dapat dilaksanakan dengan mulus sehingga
belum dapat menaikkan taraf hidup rakyat.

Pada tanggal 28 Maret 1963, Presiden Soekarno menyampaikan Deklarasi Ekonomi (Dekon) di Jakarta.
Dekon merupakan strategi dasar dalam ekonomi terpimpin. Tujuan utama Deklarasi Ekonomi itu
adalahuntuk menciptakan ekonomi nasioanal yang bersifat demokratis dan bebas dari imprealisme
untuk mencapai kemajuan ekonomi. Mengingat tidak mudahnya untuk mendapatkan bantuan luar
negeri, maka pemerintah Indonesia menyatakan bahwa ekonomi Indonesia berpegang pada sistem
ekonomi berdikari (berdiri di atas kaki sendiri).

Dekon itu kemudian disusul dengan 14 peraturan pelaksanaan pada tanggal 26 Mei 1963 yang lebih
dikenal dengan Peraturan-peraturan 26 Mei . Deklarasi Ekonomi beserta peraturan-peraturan
pelaksanaannya ternyata tidak berhasil mengatasi kemerosotan ekonomi bahkan memperberat beban
hidup rakyat karena indeks biaya hidup semakin meningkat, harga barang kebutuhan naik, dan juga laju
inflasi sangat tinggi.

Kegagalan itu disebabkan karena beberapa faktor, diantaranya sebagai berikut :

• masalah ekonomi tidak diatasi berdasarkan prinsip-prinsip ekonomi, tetapi diatasi dengan cara-cara
politis.

• Peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah sering bertentangan antara satu peraturan dengan
peraturan yang lainnya.

• Tidak ada ukuran yang obyektif untuk menilai suatu usaha atau hasil dari suatu usaha.

• Terjadinya berbagai bentuk penyelewengan dan salah urus.

Anda mungkin juga menyukai