Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH MPKT A

“Punahnya Bahasa Daerah di Indonesia”

Disusun oleh:

Elaine Chairmandy Afla [1906362250]


I Gusti Ayu Vidya Lestari
Ulys Respati Lestari [1906291771]
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Kebudayaan adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan cipta, rasa, karsa, dan hasil karya
masyarakat. Menurut teori sejarah, kebudayaan Indonesia sudah ada sejak dulu bahkan
sebelum nenek moyang bangsa Indonesia mengenal bahasa, walau kebudayaan yang
mereka miliki masih cukup sederhana. Kebudayaan yang masih ada saat ini merupakan
akibat dari masyarakat yang mempertahankannya dan menyebarkannya secara turun
temurun. Melville J.Herkovits menyatakan bahwa kebudayaan merupakan sesuatu yang
bersifat superorganic, karena kebudayaan bersifat turun temurun dari generasi ke generasi
berikutnya, walaupun manusia yang ada didalam masyarakat senantiasa silih berganti
disebabkan kematian dan kelahiran.

Indonesia merupakan negara yang memiliki kebudayaan yang beragam. Bahkan beberapa
dari kebudayaan Indonesia sudah tercatat dan diakui secara internasional. Bagi Indonesia,
kebudayaan seperti sebuah harta karun, merupakan jati diri yang bernilai tinggi.
Kebudayaan Nasional Indonesia adalah keseluruhan proses dan hasil interaksi antar-
Kebudayaan yang hidup dan berkembang di Indonesia.

Mengingat betapa pentingnya budaya bagi Indonesia sendiri, tentunya negara


mengupayakan pelestarian kebudayaan di Indonesia. Salah satu upaya itu terlihat dari
serangkaian peraturan perundang – undangan yang dibuat di Indonesia. Bahkan Undang –
Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 dalam Pasal 32
menyebutkan :

“Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia serta penjelasannya antara lain


menyatakan usaha kebudayaan harus menuju kearah kemajuan adab, budaya dan persatuan
dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat
memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri, serta mempertinggi
derajat kemanusiaan bangsa Indonesia.”

Dengan adanya peraturan ini dibuat juga serangkaian Undang – Undang (UU) yang secara
khusus membahas masalah kebudayaan Indonesia, contohnya UU No 5 Tahun 2007
tentang Pemajuan Kebudayaan. UU ini secara khusus mendefinisikan objek kebudayaan
yang dilindungi, amtara lain tradisi lisan, manuskrip, adat istiadat, ritus, pengetahuan
tradisional, teknologi tradisional, bahasa, permainan rakyat, dan olahraga· tradisional.

Namun serangkaian upaya negara nyatanya mendapat hasil yang kurang memuaskan.
Masih banyak kebudayaan Indonesia yang terancam bahkan sudah punah. Hal ini
dibuktikan dengan data Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, jumlah kesenian yang
hampir punah dihitung pada tahun 2015 mencapai angka 167 kebudayaan. Angka ini
memang cukup besar, belum lagi sudah ada beberapa kebudayaan yang sudah punah.

Kepunahan adalah sebuah akhir dari fase sebuah keadaan. Dari yang ada menjadi tiada,
dari yang lahir kemudian hilang. Dalam beberapa aspek, kepunahan sering kali
diidentikkan dengan ketiadaan peran untuk menjaga hal-hal yang diharapkan tetap hidup.
Kepunahan kebudayaan dapat terjadi apabila kebudayaan itu tidak diteruskan kepada
keturunan selanjutnya. Contoh kebudayaan yang rentan akan kepunahan adalah bahasa
daerah. Besar kemungkinan karena bahasa merupakan kebudayaan yang cukup sulit dan
membutuhkan waktu yang lama untuk dipelajari.

Bukti konkrit dalam masalah ini adalah punahnya bahasa Tandia. Bahasa asli penduduk
Tandia, Distrik Rasiei, Kabupaten Teluk Wondama, Papua Barat, dipastikan punah. Saat
ini idak ada lagi penuturnya, dan tak lagi dikenal oleh masyarakat sukunya. Punahnya
bahasa Tandia disebabkan sejumlah faktor, di antaranya perkawinan antarsuku yang terjadi
selama ratusan tahun. Banyaknya laki- laki suku Mbakawar menikahi perempuan suku
Wamesa (Wandamen), mengakibatkan anak-anak mereka lebih mengenal bahasa ibunya,
ketimbang bahasa dari keluarga ayahnya.

1.2 Rumusan Masalah


BAB II

ISI

2.1 Sosialisasi

2.1.1. Pengertian Sosialisasi

Definisi budaya menurut Selo Soemardjan dan Sulaeman Sumardi, yaitu semua hasil
karya, rasa, cipta, dan karsa masyarakat (Soekanto, 1990:189).1 Menurut Koentjaraningrat
sebagaimana dikutip Abdul Chaer dan Leonie dalam bukunya Sosiolinguistik bahwa bahasa
bagian dari kebudayaan. Jadi, hubungan antara bahasa dan kebudayaan merupakan hubungan
yang subordinatif, dimana bahasa berada dibawah lingkup kebudayaan. Bahasa menjadi
identitas suatu masyarakat. Bahasa daerah yang merupakan bagian dari kebudayaan dapat
dilestarikan melalui proses sosialisasi dalam masyarakat.

Dengan pertambahan usia dan perkembangannya, seorang anak manusia belajar


mengenai pola-pola tindakan dalam interaksi dengan berbagai manusia lain di sekelilingnya,
yang disebut dengan sosialisasi (Koentjaraningrat, 2009:1986).2 Berdasarkan pengertian
tersebut dapat dipahami bahwa sosialisasi adalah proses pembelajaran yang dilakukan individu
dalam mengenal dan memahami pola-pola interaksi dalam lingkungan sosialnya sejak Ia
dilahirkan hingga akhir hayatnya di dalam suatu budaya masyarakat. Dalam proses belajar
unsur-unsur kebudayaan tersebut terjadi pewarisan nilai-nilai budaya dari satu generasi ke
generasi berikutnya yang berlangsung secara turun-temurun.

2.1.2. Penerapan Sosialisasi

Berger dan Luckman (1967) menyatakan bahwa sosialisasi berlangsung dalam dua
fase, yaitu sosialisasi primer dan sosialisasi sekunder. Sosialisasi primer berlangsung dalam
keluarga sedangkan sosialisasi sekunder terjadi di luar lingkup keluarga. Dalam lingkungan
keluarga, seseorang pertama kali mempelajari bahasa yang digunakan di lingkungan
masyarakat sekitarnya. Sedangkan di luar lingkungan keluarganya, seorang individu dapat
memahami bahasa daerahnya melalui media pendidikan, baik formal maupun informal.

1
Irmayanti Meliono dkk, Buku Ajar MPKT A Tim Revisi, (Depok: Universitas Indonesia, 2017), hlm.
154.
2
Ibid, hlm. 164.
Dalam lingkungan keluarga, bahasa daerah dapat dilestarikan dengan selalu diwariskan
ke generasi berikutnya. Orang tua dapat mengajarkan bahasa daerahnya kepada sang anak
dengan menerapkan dialog berbahasa daerah di lingkungan keluarganya. Namun saat ini
banyak generasi muda yang tidak mewarisi bahasa ibu dari orang tuanya akibat adanya
pernikahan campuran, sedang seharusnya seorang anak dapat mewarisi bahasa daerah kedua
orang tuanya agar kelestarian bahasa daerah tetap terjaga. Bahasa daerah ini hendaknya dapat
disosialisasikan oleh orang tua sebagai lingkungan pertama yang ditemui oleh anaknya.

Di luar lingkungan keluarga, dalam rangka menjaga bahasa daerah dari kepunahan
UNESCO sejak tahun 1999 menetapkan tanggal 21 Februari sebagai Hari Bahasa Ibu
Internasional.3 Penetapan ini merupakan bentuk sosialisasi penanaman kesadaran pendidikan
bahasa ibu kepada generasi penerus bangsa. Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, memperingati hari ini setiap tahunnya dengan
menggelar acara yang menampilkan berbagai pertunjukan dengan bahasa daerah, seperti puisi
dan teater yang menggunakan bahasa daerah. Dengan adanya kegiatan-kegiatan berbahasa
daerah seperti ini, diharapkan tumbuh kesadaran kita untuk memelihara bahasa daerah sebagai
salah satu kekayaan bangsa.

2.1 Enkulturasi
2.1.1 Pengertian Enkulturasi
Enkulturasi atau pembudayaan merupakan suatu proses pembelajaran dan penyesuaian
alam pikiran dan sikap seorang individu dengan adat istiadat, sistem, norma, dan peraturan
yang hidup di dalam kebudayaannya. Bersamaan dengan proses sosialisasi kebudayaan yang
dilakukan individu karena hakikat dasar manusia sebagai makhluk sosial, setiap individu
mengalami proses enkulturasi atau pembudayaan ini yang merupakan proses penananam nilai
dan sistem norma yang berlaku di masyarakat. Penanaman ini dapat dimulai dari keluarga
sebagai circle pertama yang dimiliki seseorang. Keluarga melalui orang tua mengajarkan nilai
atau normal moral yang baik dan buruk di mata masyarakat kepada anaknya. Seiring
bertambahnya usia, seorang individu akan bertumbuh dan berjumpa dengan nilai-nilai yang

3
Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, “Jaga Bahasa
Daerah dari Kepunahan”, http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/berita/2804/jaga-bahasa-daerah-
dari-kepunahan, (diakses pada 24 November 2019).
berlaku di masyarakat melalui proses enkulturasi secara non-formal, yaitu mengalami dan
mengamati secara langsung nilai-nilai tersebut.4
Selain orang tua, lingkungan sekitar, dan sekolah, enkulturasi juga dilakukan oleh
pemerintah daerah dan lembaga masyarakat non-formal seperti masyarakat budaya tertentu
untuk mengajarkan kembali budaya dan bahasa daerah mereka dengan memasukkan kurikulum
pengajaran bahasa daerah dalam sekolah-sekolah.
Enkulturasi atau pembudayaan dapat dilakukan dengan proses meniru. Semakin sering
seseorang melihat sesuatu, maka hal tersebut akan ia tiru dan lakukan. Semakin sering ia
meniru hal tersebut, maka tindakannya akan menjadi permanen dan norma yang mengatur
tindakannya akan “dibudayakan”. Proses enkultuasi atau pembudayaan akan terjadi apabila
terdapat motivasi dan dorongan internal dari individu untuk mempelajari kebudayaan yang
dimiliki oleh masyarakatnya. Pembudayaan juga mungkin terjadi karena proses eksternal,
dimana terdapat dorongan dari institusi yang melakukan penanaman nilai tersebut kepada para
individu, termasuk oleh negara.5

2.1.2 Penerapan Enkulturasi


Dalan menyelesaikan masalah ini, proses enkulturasi dapat menjadi salah satu alternatif
yang dapat dilakukan. Proses enkulturasi yang dimaksud disini adalah melalui pengajaran
formal di sekolah yang diprakarsai oleh pemerintah. Karena akar dari permasalahan yang ada
adalah tidak adanya penerus penutur bahasa tersebut, maka enkulturasi melalui pendidikan
formal dapat menjadi solusinya. Proses ini akan dimulai dari pemerintah mengidentifikasi
bahasa-bahasa daerah dan kebudayaan yang ada dan memasukkannya ke dalam kurikulum
daerah setempat. Bahasa dan kebudayaan ini akan diajarkan kepada masyarakat daerah
setempat melalui sekolah dan akan menjadi bagian dari pelajaran wajib, dengan demikian
penutur bahasa dan penerus budaya yang ada tersebut akan tetap ada dan budaya tersebut tidak
akan terancam punah. Hal ini mengacu pada prinsip pembudayaan dimana terjadi penanaman
nilai yang menimbulkan kebiasaan dan hal tersebut menjadi permanen dalam diri seseorang
tersebut.
Selain melalui pendidikan wajib, proses enkulturasi ini juga dapat dilakukan melalui
mata pelajaran pilihan pada pendidikan tinggi. Apabila pada saat ini sudah ada jurusan “Sastra
Jawa”, kedepannya pemerintah dapat memperbanyak peminatan mengenai kebudayaan dan

4
Tim Revisi, Buku Ajar MPKT A (Jakarta: PPKPT Universitas Indonesia, 2007), hlm. 165-167.
5
Nandang Hendriawan dan Yani Sri Astuti, "Proses Enkulturasi Sebagai Pendidikan Kecakapan Hidup
(Life Skill Education) Pada Masyarakat Kampung Naga Desa Neglasari Kecamatan Salawu Kabupaten
Tasikmalaya", Jurnal Siliwangi 3 (2017), hlm. 167.
bahasa-bahasa yang ada di seluruh Indonesia guna mencegah kepunahan ini terjadi. Walaupun
pada akhirnya peminatnya hanya sedikit, tetapi ketika sudah ada silabus tertentu maka hal ini
juga akan mencegah budaya tersebut menjadi punah karena dapat dipelajari selalu.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA

Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2019.
Jaga Bahasa Daerah dari Kepunahan.
http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/berita/2804/jaga-bahasa-daerah-
dari-kepunahan, (diakses pada 24 November 2019).

Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 1995. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: PT.
Rineka Cipta.

Harthana, Timbukthu. Bahasa Tandia di Papua Barat Punah.


https://regional.kompas.com/read/2012/02/03/2236208/Bahasa.Tandia.di.Papua.Barat.
Punah.?page=all., diakses pada 25 November 2019

Hendriawan, Nandang dan Yani Sri Astuti. "Proses Enkulturasi Sebagai Pendidikan Kecakapan
Hidup (Life Skill Education) Pada Masyarakat Kampung Naga Desa Neglasari
Kecamatan Salawu Kabupaten Tasikmalaya". Jurnal Siliwangi 3 (2017). Hlm. 167.

Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Statistik Kebudayaan 2016.


http://publikasi.data.kemdikbud.go.id/uploadDir/isi_5808B5CD-F78A-4A7C-A886-
3DB9D1CF688B_.pdf, (diakses pada 25 November 2019).

Tim Revisi. 2017. Buku Ajar MPKT A. Jakarta: PPKPT Universitas Indonesia.

Wijaya, Andri. Bedikekh pada Masyarakat Pekon Sukarame Kecamatan Balik Bukit
Kabupaten Lampung Barat.
http://jurnal.fkip.unila.ac.id/index.php/PES/article/download/16509/pdf, (diakses pada
24 November 2019).

Anda mungkin juga menyukai