DISUSUN OLEH:
Ajeng Puspitasari
1810221020
PEMBIMBING :
Dalam kesempatan ini puji dan syukur penulis hanturkan kehadirat Allah
SWT atas rahmat, nikmat, serta hidayah Nya dalam penulisan tugas referat ini.
Serta salawat serta salam senantiasa tercurah kepada nabi Muhammad SAW dan
keluarganya serta para sahabat. Tugas referat yang berjudul “Gambaran Radiologis
pada Pielonefritis” dapat terselesaikan dengan baik.
Penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar- besarnya
kepada dr. Suhermi Ismail, Sp.Rad selaku pembimbing kepaniteraan klinik
radiologi RS Persahabatan.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan
makalah ini, oleh karena itu peneliti memohon maaf yang sebesar-besarnya. Semoga
makalah yang disusun penulis ini dapat bermanfaat bagi bangsa dan negara serta
masyarakat luas pada umumnya di masa yang akan datang.
Penulis
ii
PENGESAHAN
Pembimbing
Ditetapkan di : Jakarta
iii
Daftar Isi
Kata Pengantar........................................................................................................ ii
Pengesahan ............................................................................................................ iii
Daftar Isi ........................................................................................................................ iv
Daftar Gambar ....................................................................................................... vi
Daftar Tabel .......................................................................................................... vii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
I.1 Latar Belakang............................................................................................... 1
I.2 Tujuan Penulisan. .......................................................................................... 2
iv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Pronefros.............................................................................................. 4
Gambar 2 Mesonefros ......................................................................................... 5
Gambar 3 Metanefros .......................................................................................... 6
Gambar 4 Gambar Skematik Tunas Ureter menembus Mesoderm Metanefros .... 8
Gambar 5 Organ Traktus Urinarius. .................................................................... 9
Gambar 6 Anatomi Vaskularisasi Ginjal ............................................................... 11
Gambar 7 Saluran Kemih .................................................................................. 14
Gambar 8 Anatomi zona Pada kelenjar prostat .................................................. 15
Gambar 9 Patofisiologi Pielonefritis.................................................................. 21
Gambar 10 Interleukin 6 awali respon seluler fisiologis .................................... 21
Gambar 11 IVP pada pielonefritis akut ............................................................... 24
Gambar 12 IVP pada pielonefritis kronik ........................................................... 25
Gambar 13 Contrast-enhanced ultrasound .......................................................... 27
Gambar 14 Ultrasonografi pada pielonefritis akut bakterial ............................... 27
Gambar 15 CT ginjal menunjukkan adanya infark ............................................. 28
Gambar 16 Multifokal Pielonefritis Akut............................................................ 29
Gambar 17 Pielonefritis akut difus pada ginjal kiri............................................. 29
Gambar 18 Pielonefritis Xanthogranuloma Kronik ............................................ 29
Gambar 19 CT Scan pielonefritis kronik............................................................. 30
Gambar 20 Pielonefritis akut multifokal ............................................................. 31
Gambar 21 Renal Scintigraphy ........................................................................... 32
v
DAFTAR Tabel
vi
BAB I
PENDAHULUAN
Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan penyebab yang cukup banyak hingga
menyebabkan pasien datang ke instalasi gawat darurat (IGD). Berkisar 11.5% dari
seluruh pasien di IGD Amerika Serikat datang dengan keluhan nyeri perut dan
terdiagnosis ISK. Berdasarkan data internasional terkait seluruh populasi di dunia
berkisar 150 juta orang menderita ISK setiap tahunnya (Raymond, 2019).
Infeksi urologi dapat dibedakan menjadi ISK bagian bawah (vesika urinaria
dan uretra) dan ISK bagian atas (ginjal dan ureter). ISK bagian atas disebut juga
dengan pielonefritis. Angka kejadian pielonefritis akut tanpa komplikasi jauh lebih
sedikit bila dibandingkan dengan sistitis (1 kasus pielonefritis dalam 25 kasus
sistitis), dengan puncak angka kejadian tahunan 25 kasus diantara10.000 wanita
yang berusia 15-34 tahun. Frekuensi dari infeksi saluran kemih (ISK) menempati
urutan kedua setelah infeksi saluran pernapasan pada populasi anak (William,
2005).
Infeksi bakteri merupakan penyebab paling sering terjadinya pielonefritis.
Komplikasi pielonefritis akut merupakan suatu kondisi gawat darurat dan
membutuhkan penanganan antibiotik intravena segera. Infeksi pada pielonefritis
akut biasanya terjadi akibat infeksi yang bersifat ascending atau infeksi yang
menyebar secara hematogen. Timbulnya infeksi yang berulang, umumnya jika
terjadi kelainan pada struktural dan fungsi pada saluran genitourinari menandakan
terjadinya pielonefritis kronik.
Manifestasi klinis berupa demam dan nyeri di area flank dengan atau tanpa
gejala sistitis. Peningkatan dari leukosit merupakan temuan klinis yang dapat
dilihat pada pemeriksaan urin. Fluoroquinolone dan sefalosporin merupakan terapi
yang sering digunakan untuk terapi pielonefritis. Prognosis yang baik didapatkan
pada pielonefritis yang tidak berkomplikasi, dan prognosis buruk didapatkan pada
pielonefritis emfisematosa.
vii
Dari penjelasan diatas, sangat penting untuk mengetahui gambaran radiologi
pada pielonefritis untuk membantu diagnosis dan tatalaksana yang tepat.
viii
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
9
II.3 Embriologi Sistem Kemih
a. Sistem ginjal
Pada manusia terdapat 3 proses pembentukan ginjal:
1. Pronefros
Proses yang digambarkan oleh 7-10 kelompok sel padat di daerah leher. Kelompok
yang pertama membentuk nefrotom vestigium yang menghilang sebelum
nefrotom yang di sebelah kaudal terbentuk. pada akhir minggu 4, semua tanda
sistem pronefros menghilang.
2. Mesonefros
Mesonefros dan salurannya berasal dari mesoderm intermedia (dari
segmen lumbal bagian atas L3). Pada minggu ke 4, sistem mesonefros mulai
tampak. Saluran ini memanjang dengan cepat, membentuk sebuah gelung yang
berbentuk huruf S dan terdapat glomerolus diujung medialnya dan membentuk
simpai bowman. Simpai bowman + glomerolus => korpuskulus mesonefrikus
(ginjal). Di sebelah lateral, saluran yang bermuara pada saluran pengumpul
memanjang => duktus mesonefrikus/duktus wolf.
10
terdapat gonad, sehingga rigi-rigi yang dibentuk ke 2 organ besar tadi disebut rigi
urogenital.
11
3. Metanefros
Proses ini tampak minggu ke 5. Satuan-satuan ekskresi berkembang dari
mesonefros metanefros dan akan berfungsi pada trimester pertama.
C. Sistem Pengumpul
Berkembang dari tunas ureter (tonjolan saluran mesonefros yang di dekat
muara kloaka). Tunas ureter menembus jaringan metanefros yang menutup ujung
distalnya sebagai topi. Tunas melebar membentuk piala ginjal(pelvis renalis)
primitif dan terbagi menjadi kranial dan kaudal membentuk kalises mayores.
12
bersama-sama berkas kapiler dikenal sebagai glomeruli membentuk nefron/ satuan
eksresi. ujung proksimal masing-masing nefron membentuk simpai bowman, yang
didalamnya berisi glomerulus. sedangkan ujung distalnya membentuk hubungan
terbuka dengan salah satu saluran pengumpul, sehingga terbentuk jalan
penghubung dari glomerulus ke salah satu saluran pengumpul. pemanjangan
saluran ekskresi terus menerus mengakibatkan pembentukan tubulus kontortus
proksimal, ansa henle, dan tubulus kontortus distal. Ginjal berkembang dari 2
sumber yang berbeda :
1. Mesoderm metanefros yang akan membentuk satuan eksresi.
2. Tunas ureter yang membentuk sistem pengumpul.
Pada saat lahir, ginjal berlobulasi. Selama masa anak-anak, gambaran lobulasi
menghilang karena pertumbuhan nefron lebih lanjut. Akan tetapi, jumlahnya tidak
bertambah (Langman, 2010).
E. Posisi Ginjal
Ginjal yang semula terletak di daerah panggul akan bergeser
kedudukannya lebih ke kranial ke rongga perut. Naiknya ginjal disebabkan oleh
kurangnya kelengkungan maupun pertumbuhan tubuh di daerah lumbal dan sakral.
Di panggul, metanefros menerima aliran darah dari sebuah cabang panggul dari
aorta. Dalam perjalanan naik ke rongga perut, ginjal diperdarahi oleh pembuluh-
pembuluh nadi yang berasal dari aorta yang letaknya semakin meninggi.
Pembuluh-pembuluh yang lebih rendah biasanya akan berdegenerasi (Langman,
2010).
F. Fungsi Ginjal
Metanefros baru berfungsi pada akhir trimester pertama. Air kemih
mengalir ke rongga amnion dan bercampur dengan cairan amnion. cairan ini
ditelan oleh janin dan memasuki saluran pencernaan untuk diserap ke dalam aliran
darah dan berjalan melewati ginjal untuk kembali diekskresi ke dalam cairan
amnion. Selama masa janin, ginjal tidak berfungsi untuk ekskresi bahan-bahan
sisa, karena plasenta menjalankan fungsi ini (Langman, 2010).
G. Kandung Kemih dan Uretra
Selama perkembangan minggu 4 sampai 7, septum urorektal
membagi kloaka menjadi saluran anorektal dan sinus urogenitalis. Selaput kloaka
13
terbagi menjadi membrana urogenitalis di anterior dan membrana analis di
posterior. Tiga bagian sinus urogenitalis primitif dapat dibagi menjadi:
1. Kandung kemih : Pada awalnya, kandung kemih berhubungan langsung dengan
allantois, tetapi setelah allantois tertutup, maka yang tersisa hanya korda fibrosa
yang tebal (urakus) dan korda ini menghubungkan puncak kandung kemih dengan
umbilikus. Pada orang dewasa, dikenal sebagai ligamentum umbilikus medial.
2. Sinus urogenitalis bagian panggul : Berupa saluran yang agak sempit yang pada
pria membentuk uretra pars prostatika dan pars membranosa.
3. Sinus Urogenitalis Tetap (sinus urogenitalis bagian penis) : merupakan bagian
yang sangat memipih ke samping dan terpisah dari dunia luar oleh membrana
urogenitalis (perkembangan urogenitalis berbeda pada kedua jenis kelamin).
14
kemih yang di bentuk kedua saluran itu juga berasal dari mesoderm. lalu, lapisan
mesoderm segitiga tadi diganti oleh epitel endoderm, sehingga seluruh permukaan
dalam kandung kemih dilapisi oleh epitel endoderm (Langman, 2010).
H. Uretra
Epitel uretra berasal dari endoderm, Sedangkan jaringan penyambung dan
jaringan otot polosnya berasal dari mesoderm splangnik. Pada akhir bulan ketiga,
epitel pars prostatika mulai berploriferasi dan membentuk sejumlah tonjol keluar
yang menembus mesenkim di sekitarnya. Pada pria, tunas-tunas ini membentuk
kelenjer prostat (Langman, 2010).
II.4 Anatomi Sistem Kemih
Traktus urinarius dibagi menjadi dua bagian yaitu traktus urinarius bagian
atas yang terdiri dari ginjal dan ureter serta traktus urinarius bagian bawah yang
terdiri dari vesika urinaria dan uretra.
a. Ginjal
15
Sepasang ginjal berwarna kemerahan, berbentuk seperti kacang merah,
terletak diatas pinggang diantara peritoneum dan dinding posterior abdomen
(retroperitoneal). Ginjal berada diantara T12 dan L3, dimana terlindungi oleh iga
11 dan 12. Ginjal kanan sedit lebih dibawah posisinya daripada ginjal kiri, karena
terdesak oleh liver.
Ginjal orang dewasa panjangnya 10-12 cm, lebar 5-7 cm, dan ketebalannya
3 cm. Pada batas cekungan medial, tiap ginjal berhadapan dengan columna
vertebralis. Di dekat cekungan pertengahan tersebut (pada 1/3 tengah tepi medial
ginjal), terdapat lekukan yang disebut hilum renalis, dimana arteri renalis dan nervi
renalis masuk ke ginjal, serta vena renalis dan pelvis renalis keluar dari ginjal.
Pada ginjal, terdapat dua kutub, yaitu kutub superior dengan kutub inferior.
Permukaan pada ginjal terdiri atas permukaan anterolateral dan posteromedial.
Terdapat tiga lapisan jaringan yang mengelilingi ginjal, dari dalam ke luar yaitu
kapsula renalis/ kapsula fibrosa, kapsula adipose/ perinephric fat capsule, dan fascia
renalis. Ketiga lapisan tersebut melindungi ginjal dari trauma dan membuat ginjal
tetap terletak pada tempatnya.
Perdarahan masuk ke ginjal melalui arteri renalis. Arteri renalis ini
mendapatkan aliran darah dari aorta abdominal. Arteri renalis bercabang menjadi
arteri segmental. Kemudian arteri segmental bercabang menjadi arteri interlobar
yang berjalan di bagian luar medulla. Arteri interlobar yang berjalan ke perbatasan
korteks dan medulla disebut arteri arkuata Arteri arkuata bercabang-cabang
membentuk arteri interlobular yang berada di antara lobus renalis. Arteri
interlobular akan bercabang menjadi arteriola afferent yang akan masuk ke
corpuscle renalis menjadi kapiler glomerular lalu keluar dari corpuscle renalis
sebagai arteriola efferent. Kemudian arteriola efferent terbagi-bagi untuk
membentuk kapiler peritubular. Kalpiler ini berlanjut menjadi vena interlobular,
lalu darah keluar ke vena arkuata, kemudian ke vena interlobar dan darah dari ginjal
keluar melalui vena renalis ke vena cava inferior (Moore, 2013).
16
Gambar 2. Anatomi dan Vaskularisasi Ginjal ( Moore, 2013)
b. Ureter
Merupakan sepasang saluran muscular yang keluar dari ginjal ke vesica
urinaria. Panjangnya 25-30 cm. Ureter dimulai pada bagian renal pervis yang
berbentuk corong. Ureter berjalan inferior dan medial, di atas permukaan anterior
otot psoas major. Ureter terletak retroperitoneal. Pada laki-laki, basis vesica
urinaria berada di antara rectum dan simfisis pubis, sedangkan pada perempuan,
basis vesica urinaria menduduki inferior uterus dan anterior vagina. Pada basis
vesica urinaria, ureter membelok medial.
Ureter terdiri atas dua bagian yaitu bagian abdominal dan bagian panggul. Pada
17
bagian abdominal, ureter berjalan vertikal dari batas pelvis renalis yang kemudian
bifurkasi (melintas melewati) A. illiaca communis dan turun pada M. Psoas Major.
Pada bagian panggul, perjalanan ureter dimulai ketika masuk PAP (Pintu Panggul
Atas). Ketika memasuki area ini, ureter membentuk flexura marginalis. Kemuadian
ureter menyilang bifurkasi A. iliaca communis, di sebelah ventral articulation
sacroilliaca. Lalu ke tepi incissura ischiadica major. Ureter kemudian berjalan di
sebelah medial arteri/vena/ nervus obturatoria, lalu turun ke bawah berjalan di
sebelah ventral arteri illiaca interna.
Selama melintas dari pelvis renalis sampai vesica urinaria, ureter memiliki tiga
tempat penyempitan, yaitu (1) di tempat peralihan pelvis renalis dengan ureter, (2)
pada flexura marginalis ureter, (3) pada muara ureter ke dalam vesica urinaria. Pada
muara ureter ke dalam vesica urinaria, ureter menembus aspek vesica urinasia dan
melintas serong/oblik sehingga mencegah aliran balik urin.
Ureter diperdarahi oleh cabang A. renalis, cabang aorta abdominalis, cabang A.
testicularis/ A. ovarica, cabang arteri illiaca communis, cabang arteri vesicalis
inferior. Ginjal dan ureter dipersarafi oleh nn renalis. Persarafan simpatis ini berasal
dari segmen T10-L1 atau 2 yang melewati Nn splanchnicus minor, Nn splanchnicus
imus, dan Nn splanchnicus lumbalis menuju pleksus coeliacus dan selanjutnya
plexus renalis. Persarafan simpatis ini akan mengatur kecepatan pembentukan urin
dengan mengubah aliran darah dan tekanan darah pada nephron, menstimulasi
pengeluaran rennin, yang akan membatasi kehilangan air dan garam pada urin
dengan menstimulasi reabsorbsi pada nephron. Sedangkan persarafan
parasimpatisnya berasal dari N. Vagus (Moore, 2013).
c. Vesika Urinaria
Vesica urinaria merupakan organ muscular berbentuk kantong yang berfungsi
sebagai tempat penyimpanan sementara urin. Bagian superior vesica urinaria di
lapisi oleh selapis peritoneum. Terdapatt beberapa ikat pada vesica urinaria, yaitu
Ligamentum umbilicalemedianus, mediale, lateral dan ligamentum pubovesical.
Ligamentum umbilicale medianus yang berasal dari urakus, terdapat pada anterior,
batas superior ke arah umbilicus. Ligamentum umbilicale lateral berjalan sepanjang
tepi vesica urinaria ke umbilicus. Selain itu juga terdapat ligamentum umbilicale
mediale (lebih lateral dari ligamentum umbilicale medianus) yang berasal dari a.
18
umbilikalis. Terdapat pula ligamentum pubovesical yang disertai dengan
pubouretrhral pada perempuan dan puboprostatica pada laki-laki.
Pada penampang sectional, mukosa vesica urinaria membentuk rugae, yang
akan menghilang ketika vesica urinaria terisi penuh. Area triangular yang
membatasi pintu masuk ureter (orificium ureteris dextra dan sinistra) ke vesica
urinaria dan pintu masuk ke uretra dari vesica urinaria (orificium urethral internus)
disebut trigonum vesicae yang terletak di mukosa permukaan posteroinferior. Area
yang mengelilingi orificium urethral internus disebut collum vesicae/neck vesia
urinaria. Perdarahan vesika urinaria terdiri dari A. vesicalis superior yang
mensuplai banyak cabang menuju fundus vesicae, ductus deferens, testis,dan ureter.
A. vesicalis inferior seringkali muncul bersama A. rectalis media, mendarahi
fundus vesicae, gl. prostate, gl. vesiculosa dan bagian bawah ureter. Kadang-
kadang mempercabangkan A. Deferentialis (Moore, 2013).
d. Uretra
Merupakan saluran kecil dari orificium urethral internus ke bagian eksterior
tubuh. Ureter pada laki-laki selain berperan sebagai alat ekskresi urin, juga berperan
untuk mentransport semen. Pada laki-laki, urethra juga berjalan dari orificium
urethral internus ke eksterior, tetapi urethra pada laki-laki lebih panjang, sekitar 20
cm. Urethra awalnya melalui prostat kemudian ke otot-otot dalam dari perineum,
lalu berakhir di penis. Urethra pada laki-laki melintasi masa gl. Prostata, menembus
diaphragma urogenitale, bulbus penis, corpus spongiosum penis dan glans penis.
Urethra pada pria terdiri dari tiga region anatomical, yaitu: (1) Urethra pars
prostatica, (2) urethra pars membranacea, dan (3) urethra pars cavernosa/spongiosa
(lewat bulbus, corpus spongiosum dan glans penis).
Urethra pars prostatica panjangnya 3-4 cm, menembus gl prostata yang lebih
dekat ke permukaan anterior, dinding posteriornya memiliki rigi: crista urethralis.,
terdapat bangunan: sinus prostaticus; colliculus seminalis (verumontanum);
utriculus prostaticus; dan muara ductus ejaculatorius.
Urethra pars membranacea merupakan bagian terpendek, tersempit, berjalan
dari prostat menuju bulbus penis; melintasi diaphragma urogenitale, 2,5 cm
postero-inferior symphysis pubis. Diliputi otot polos dan di luarnya oleh M.
sphincter urethrae; disarafi oleh N. splanchnicus pelvicus.
19
Urethra pars spongiosa panjangnya 15 cm, berjalan dari ujung urethra pars
membranacea sampai dengan orificium urethrae externum di ujung glans penis.
Melebar di bulbus penis: fossa intrabulbar dan di glans penis: fossa navicularis
(Moore, 2013).
20
Gambar 4 Anatomi zona pada kelenjar prostat (Snell, 2012)
1. Batas-Batas Prostat
Menurut Snell (2012), batas-batas anatomi kelenjar prostat adalah sebagai
berikut:
• Superior: Basis prostat berlanjut dengan collum vesicae, otot polos berjalan
tanpa terputus dari satu organ ke organ yang lain. Uretra masuk ke pusat basis
prostat.
• Inferior: apex prostat terletak pada facies superior diafragma urogenitale.
Uretra meninggalkan prostat tepat di atas apex facies anterior.
• Anterior: facies anterior prostatae berbatasan dengan simfisis pubis,
dipisahkan oleh lemak ekstraperitoneal yang terdapat di dalam cavum
retropublicum (cavum Retzius). Selubung fibrosa prostat dihubungkan dengan
aspek posterior os pubis oleh ligamentum puboprostaticum. Ligamentum
puboprostaticum terletak di samping kanan dan kiri linea mediana dan
merupakan penebalan fascia pelvis.
21
ujung bawah excavatio rectovesicalis peritonealis, yang awalnya meluas ke
bawah sampai ke corpus perianale.
• Lateral: facies lateralis prostatae difiksasi oleh serabut anterior musculus
levator ani pada saat serabut ini berjalan ke posterior dari os pubis.
2. Lobus Prostat
Prostat terbagi dalam lima lobus. Lobus anterior prostat terletak di depan
uretra dan tidak mempunyai jaringan kelenjar. Lobus medius/medianus adalah
kelenjar berbentuk baji yang terletak di antara uretra dan ductus ejaculatorius.
Facies superior lobus medius berhubungan dengan trigonum vesicae, bagian ini
mengandung banyak kelenjar. Lobus posterior terletak di belakang uretra dan di
bawah ductus ejaculatorius dan juga mengandung jaringan kelenjar. Lobus lateralis
dextra dan sinistra terletak di samping uretra dan dipisahkan satu dengan yang lain
oleh alur vertikal dangkal yang terdapat pada permukaan posterior prostat. Masing-
masing lobus lateralis mengandung banyak kelenjar (Snell, 2012).
3. Zona Prostat
Prostat terbagi dalam empat zona. Zona anterior/ventral sesuai dengan lobus
anterior, tidak mengandung kelenjar, terdiri atas stroma fibromuskular dan
merupakan sepertiga dari keseluruhan bagian prostat. Zona perifer sesuai dengan
lobus lateral dan posterior dan merupakan 70% massa kelenjar prostat, zona perifer
rentan terhadap inflamasi dan merupakan tempat asal perkembangan keganasan
pada prostat. Zona sentral, terletak antara kedua duktus ejakulatorius sesuai dengan
lobus medius/medianus dan merupakan 25% massa kelenjar prostat. Zona
transisional, bersama-sama dengan kelenjar periuretra disebut dengan kelenjar
preprostatik dan merupakan 5% massa kelenjar prostat, zona transisional bersama-
sama dengan stroma fibromuskular anterior dapat berkembang menjadi Benign
Prostatic Hyperplasia (BPH). Kelenjar-kelenjar periuretra, terdiri dari dutus-
duktus kecil dan susunan sel-sel asinar abortif tersebar sepanjang segmen uretra
proksimal (Snell, 2012).
Kelenjar prostat mendapatkan pasokan darah dari arteri yang berasal dari
arteri vesikalis inferior, pudendal interna, dan rectal media (hemoroidal),
sedangkan Aliran vena yang berasal dari prostat menuju pleksus periprostatik, yang
bersambung dengan vena dorsalis profunda penis dan vena iliaka interna
22
(hipogastrik) (McAninch et.al, 2013). Suplai arteri pada prostat dapat dilihat pada
gambar 3 .
Kelenjar prostat menerima persarafan dari simpatis dan parasimpatis pleksus
hipogastrik inferior, sedangkan aliran saluran limfatik menuju iliaka internal
(hipogastrik), sakral, vesikalis, dan nodus limfatik iliaka eksternal (McAninch et.al,
2013). Kelenjar prostat menerima persarafan dari simpatis dan parasimpatis pleksus
hipogastrik inferior, sedangkan aliran saluran limfatik menuju iliaka internal
(hipogastrik), sakral, vesikalis, dan nodus limfatik iliaka eksternal (McAninch et.al,
2013).
Pielonefritis terjadi akibat adanya infeksi pada ginjal yang disebabkan oleh
bakteri atau virus. Terdapat banyak jenis bakteri dan virus yang dapat
menyebabkan pielonefritis, bakteri yang paling sering menyebabkan pielonefritis
adalah Eschericia coli. Bakteri dan virus dapat mencapai ginjal melalui proses
ascending dari vesika urinaria atau terbawa melalui aliran darah dari bagian tubuh
yang lain (NIDDK, 2012).
Berkisar 30% dari seluruh infeksi nosokomial adalah ISK. Hal ini
disebabkan karena penggunaan dari kateter pada pasien yang lebih meningkatkan
risiko untuk terjadinya infeksi. Bakteri seperti Staphylococcus aureus dapat
mencapai ginjal secara hematogen. Berdasarkan proses infeksi ascending yang
terjadi, lokasi yang akan mengalami infeksi lebih dulu adalah bagian korteks
renalis dan dapat berlanjut hingga medulla yang terjadi dalam 24-48 jam (NIDDK,
2012).
II.6 Klasifikasi Pielonefritis
a. Pielonefritis Akut
23
b. Peilonefritis Kronik
Pielonefritis kronik juga berasak dari adanya bakteri, tetapi dapat juga
karena faktor lain seperti obstruksi obstruksi saluran kemih dan refluks urin.
Pielonefritis kronik dapat merusak jaringan ginjal secara permanen akibat
inflamasi yang berulang kali dan timbulnya jaringan parut dan dapat menyebabkan
terjadinya renal failure (gagal ginjal) yang kronik. Ginjal pun membentuk jaringan
parut progresif, berkontraksi dan tidak berfungsi. Proses perkembangan kegagalan
ginjal kronis dari infeksi ginjal yang berulang-ulang berlangsung beberapa tahun
atau setelah infeksi yang gawat.
24
Terapi 1. Antibiotik parenteral : 1. Pasien dewasa dapat
tetap diberikan 24 jam melakukan pengulangan
setelah bebas demam pemeriksaan kultur urin
2. Antibiotik diberikan 10- setelah terapi selesai untuk
14 hari pada pielonefritis memastikan bahwa terapi
akut tanpa komplikasi berhasil.
3. Setelah selesai 10-14 2. Jika pada pemeriksaan
hari, dilanjutkan masih didapatkan adanya
antiobiotik profilaksis tanda-tanda infeksi maka
hingga VUR dapat dilakukan terapi antibiotik
disingkirkan. lagi selama 14 hari
3. Jika masih terjadi lagi
maka dilakukan terapi
antibiotik selama 6
minggu.
Komplikasi 1. Bakterimia 1. Skar ginjal
2. Infeksi berulang 2. Gagal ginjal
Prognosis Tanpa komplikasi atau Tanpa komplikasi atau
penyulit, prognosis baik penyulit, prognosis baik.
Prognosis menjadi buruk jika
sudah mencapai fase gagal
ginjal.
Risiko yang paling sering terjadi pada pasien yang menderita pielonefritis
adalah pasien yang memiliki infeksi pada vesika urinaria dan juga masalah pada
struktural atau anatomis dari traktus urinariusnya. Pada proses yang normal, urin
akan mengalir satu arah yaitu dari ginjal menuju vesika urinaria. Namun, aliran
urin dapat terhambat pada pasien dengan adanya masalah pada struktural traktus
urinariusnya seperti adanya batu atau pun Benign Prostate Hyperplasia (BPH).
Urin dapat mengalami refluks pada satu atau kedua ginjal, hal ini disebut dengan
Vesicouretheral Refux (VUR). VUR terjadi karena masalah pada katup di vesika
urinaria yang seharusnya dapat mencegah adanya aliran balik urin ke ureter namun
tidak berfungsi. VUR banyak terjadi pada anak. Wanita hamil dan pasien dengan
diabetes atau dengan sistem imun yang rendah juga memiliki faktor risiko yang
lebih tinggi terjadinya pielonefritis (NIDDK, 2012).
25
4. Kelainan anatomis (perlengketan labia)
5. Refluk vesikoureter
7. Neurogenic bladder
Ketika bakteri masuk kedalam parenkim ginjal dengan tekanan yang sangat
tinggi, daerah fokal infeksi dan inflamasi semakin berkembang dan beberapa tahap
kompleks inflamasi bertingkat terbentuk. Bila proses ini tidak dicegah dengan
pengobatan, hal ini dapat menyebabkan kerusakan ginjal berat atau jaringan parut.
Lebih lanjut, bila infeksi berulang terus menerus tanpa terapi yang adekuat, hasil
jangka panjang adanya jaringan parut ginjal yang signifikan, yang lebih ekstrim
lagi menyebabkan refluk nephropahy, yang menyebabkan end stage renal disease.
Infeksi bakteri pada saluran kemih menyebabkan pelepasan sitokin
proinflamasi seperti Interleukin-6 dan Interleukin-8 ke aliran darah sehingga
menyebabkan respon pejamu pada pasien dengan pielonefritis. Normalnya
Interleukin-6 urin tidak ditemukan pada urin orang sehat. Peningkatan Interleukin-
26
6 serum kebanyakan ditemukan pada pasien dengan demam oleh karena
pielonefritis (Harrison, 2015).
Pada pielonefritis, infeksi bakteri telah mencapai ginjal yang menyebabkan
respon lokal pejamu, meningkatkan respon sitokin Interleukin-6 lainnya yang
diperantarai mediator pejamu. Interleukin-6 muncul di urin dalam 6 jam setelah
terjadinya proses infeksi dengan tingkat sensitifitas 88% sampai pada 24 jam
pertama kemudian menurun setelah 6 jam terapi serta meningkat lebih lama pada
pasien bakterinemia.
Respon sitokin saluran kemih diawali ketika bakteri mencapai permukaan
mukosa. Penempelan pada sel epitel mengaktifkan rangkaian pertama sitokin
termasuk diantaranya adalah IL-6, IL-1, IL-8 dan kemokin lainnya. Besar dan
pelepasan sitokin dipengaruhi oleh virulensi dari infeksi kuman, termasuk fimbrae.
Aktivasi sel epitelial diikuti oleh munculnya neutrofil dan sel inflamasi lainnya di
daerah lokal dan beberapa saat kemudian diikuti oleh respon sitokin. Inflamasi
lokal menyebabkan gejala lokal yang berhubungan dengan pielonefritis.
Peningkatan suhu dan respon fase akut bila bakteri, komponen bakteri, atau
mediator pejamu, keluar dari saluran kemih dan mencapai hepar, hipotalamus atau
daerah sistemik lain dimana muncul respon pejamu.
Bakteri Escherichia coli menempel pada reseptor pada permukaan sel
dengan menggunakan vili atau P fimbrae, setelah menempel bakteri akan masuk
kedalam sel dimana akan terjadi proses replikasi. Penempelan atau invasi
kemudian mengaktifkan proses apoptosis didalam sel yang akan mengakibatkan
eksfoliasi dan pelepasan sel rusak dari pejamu. Interaksi antara Escherichia coli
dan pejamu akan menginduksi sitokin inflamasi yang akan mengakibatkan
masuknya leukosit polimorfonuklear kedalam sel. Gambar 10. memperlihatkan
rangkaian respon fisiologis pada proses inflamasi. Secara ringkas dapat dilihat
pada gambar 9. yang menerangkan patofisiologi pielonefritis yang disebabkan oleh
Escherichia coli sebagai berikut ini.
27
Gambar 9. Patofisiologi pielonefritis yang disebabkan oleh Escherichia coli
28
terutama CRP dan faktor maturasi untuk limfosit mukosa. Interleukin-6 disintesis
oleh bermacam-macam sel termasuk makrofag, fibroblast, sel endotelial dan sel
epitel tubulus renalis.
Pemeriksaan awal konsentrasi IL-6 pada urin dapat berguna sebagai
petanda diagnostik perubahan pielonefritis pada neonatus untuk mencegah
6
timbulnya parut ginjal. Konsentrasi interleukin-6 pada urin meningkat pada menit
awal kerusakan mukosa. Setelah beberapa jam, leukosit polimorfonuklear muncul
23
dan diekskresikan pada urin. Berdasarkan hasil penelitian di California tahun
2001, respon IL-6 stabil tetapi segera menurun setelah pemberian antibiotik, hal
ini menunjukkan adanya kerusakan ginjal pada saat awal terjadinya pielonefritis.
29
2. Pemeriksaan Fisik
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium
1. Urinalisis
Urinalisis merupakan pemeriksaan urin dengan menggunakan sampel urin.
Sampel urin dikumpulkan dalam sebuah wadah yang kemudian diserahkan
kepada petugas kesehatan untuk diperiksakan di laboratorium dan kemudian
dianalisis. Apabila didapatkan adanya leukosit dan bakteri pada urin maka
dapat dikatakan pasien mengalami infeksi pada traktus urinariusnya.
2. Kultur Urin
Kultur urin dilakukan dengan meletakkan sebagian sampel urin pada
sebuah tabung atau cawan patri yang telah diberikan sebuah media untuk
mengembangkan bakteri tersebut. Membutuhkan waktu 1-3 hari untuk dapat
mengidentifikasi bakteri yang dilakukan kultur.
3. Pemeriksaan Darah
Pemeriksaan dilakukan dengan mengambil sampel darah pasien kemudian
dilakukan pemeriksaan di laboratorium.
Tabel 1. Perbedaan hasil laboratorium pada pielonefritis akut dan kronik :
Akut Kronik
Urinalisis 1. Piuria 1. Leukositosis
2. Hematuria 2. Proteinuria
3. White blood cell casts
Kultur Urin 1. ≥ 105 colony-forming units per 1. Positif hanya saat
mL terjadi infeksi yang
aktif
Pemeriksaan Darah 1. Leukocytosis 1. Elevated levels of C-
2. Increased erythrocyte reactive protein
sedimentation
3. Elevated levels of C-reactive
protein
30
b. Radiologi
Tabel 2. Perbedaan gambaran IVP pada pielonefritis akut dan kronik (William,
2012):
Akut Kronik
1. Pembengkakan parenkim ginjal fokal atau 1. Mengecilnya ginjal dengan permukaan
difus yang menekan kalik dan pelvis renalis yang berbenjol
2. Nefrogram yang tidak homogen 2. Menipisnya parenkim ginjal
3. Kompresi atau perpindahan letak kalik- 3. Perubahan-perubahan pada bentuk kalik
kalik dan pelvis renalis 4. Menurunnya fungsi ginjal
31
Gambar 11. IVP pada pielonefritis akut. Gambar a. Pielonefritis akut difus
bagian kanan. Ginjal kanan memiliki tampilan yang membengkak dan adanya
opasifikasi yang terhambat pada sistem pengumpulan. Gambar b. Dilatasi dari
sistem pengumpulan di ginjal kanan.
Gambar 12. IVP pada Pielonefritis kronik. Terlihat adanya perubahan pada
parenkim ginjal yang berbenjol dan perubahan pada bentuk kaliks
2. Pemeriksaan Cystography
Saat terduga adanya VUR atau VUR harus disingkirkan, hal tersebut masih
menjadi indikasi dari pemeriksaan sistogram. Begitu pula pada pasien dengan
pielonefritis kronik, sangat penting untuk mengevaluasi adanya VUR. Pada pasien
anak, dilakukan peningkatan kontras pada US, vesika urinaria diisi dengan agen
kontras US. Retrograde urethrocystography dan micturition urethrography sangat
bermanfaat untuk mendeteksi adanya obstruksi pada saluran kemih bagian bawah
seperti adanya striktur uretra pada pasien laki-laki (Wong, 2014).
32
3. Pemeriksaan Ultrasound/Doppler Sonography
33
Fase Kortikal Fase Parenkimal Awal Fase Parenkimal Akhir
Pielonefritis Fokal
Abses
Gambar 13. Contrast-enhanced ultrasound
34
Pielonefritis fokal dikarakteristikan dengan massa berbentuk baji atau bulat.
Pada pemindaian yang tertunda yaitu 4-6 jam setelah pemberian kontras, inversi
dari lesi dapat terlihat: bagian yang mengalami inflamasi yang seharusnya
hipodens menjadi hiperdens. Area yang mengalami infeksi akan memberikan
gambaran seperti lurik hal ini menggambarkan adanya penurunan dari aliran dan
konsekuensi dari hipokonsentrasi kontras yang mencapai tubulus yang terinfeksi,
yang diakibatkan karena obstruksi dari tubulus akibat adanya debris inflamasi,
kompresi eksternal dari proses inflamasi pada interstisial dan fungsi yang tidak
baik akibat adanya iskemik tubular.
Pielonefritis difus dapat menyebabkan pembesaran menyeleruh pada ginjal.
Tanda radiologi lain yang tidak spesifik ditandai dengan penebalan dan
peningkatan mukosa, perubahan inflamasi pada fascia gerota dan atau sinus renalis
dan efusi. Serta infark dapat memberikan asfek yang serupa pada CT dengan area
yang lemah, namun beberapa fitur dapat dibedakan.
Gambar 15. CT pada ginjal yang menunjukkan infark pada kutub bagian bawah
ginjal kanan. Infark renalis dapat menunjukan adanya pielonefritis fokal
meskipun tanpa ditandai adanya pembesaran dan tanda dari pielitis seperti
“cortyical sign” (panah).
35
Gambar 16. Multifokal pielonefritis akut. Kiri: Potongan koronal menunjukkan
adanya edema pada ginjal kiri dengan wedge-shaped hypodense multipel (panah) pada
pasien wanita 35th post partum. Kanan: Menunjukkan potongan baji halus hipodens
pada kutub atas dan bawah (panah)
Gambar 17. Pielonefritis akut difus pada ginjal kiri. Kiri: pielitis luas dengan
infiltrasi periureteral. Kanan : gambaran lurik, di kutub atas dan dilatasi sistem
pengumpulan
36
Gambar 19. CT scan pielonefritis kronik, mennjukkan adanya atrofi pada ginjal
kanan dengan bekas luka multipel disertai dilatasi kaliks.
37
Gambar 20. Pielonefritis Akut Multifokal
6. Renal Scintigraphy
38
Gambar 21. Renal Scintigraphy pada pasien anak laki-laki usia 7 tahun. (a).
Pemeriksaan DMSA scan yang pertama menunjukkan perbedaan fungsi ekskresi
ginjal: 46% pada ginjal kiri dan 54% pada ginjal kanan. (b) pemantauan setelah 8
bulan: 47% ginjal kiri dan 53% ginjal kanan.
39
2. Abses Abdomen
Abses intra-abdominal terus menjadi masalah penting dan serius dalam
praktik bedah. Perawatan yang tepat sering tertunda karena sifat tidak jelas dari
banyak kondisi yang mengakibatkan pembentukan abses, yang dapat membuat
diagnosis dan lokalisasi menjadi sulit. Gejala yang timbul berupa nyeri abdomen
yang persisten, demam dan takikardia yang persisten.
3. Kolesistitis
Kolesistitis merupakan suatu inflamasi pada kandung empedu yang
umumnya disebabkan karena obstruksi duktus sistikus akibat batu empedu.
Gejala yang timbul berupa nyeri abdomen kanan atas yang dapat menjalar ke
area pundak kanan dan punggung kanan, dapat terjadi demam, mual dan juga
muntah.
1. Terapi Medikamentosa
40
mengami pielonefritis akan bebas demam dalam waktu 48 jam setelah pemberian
antibiotik yang pertama (William, 2005).
41
yang sangat baik dan pasien dapat memperoleh kesembuhan yang maksimal. Namun
pada pasien dengan pielonefritis dengan komplikasi atau dengan penyulit seperti
pielonefritis emfisematosa dengan diabetes melitus, memiliki prognosis yang sangat
buruk bila dibandingkan dengan pielonefritis yang tanpa komplikasi. Pada pasien
dengan pielonefritis kronik dengan komplikasi termasuk glomerulosklerosis fokal
dan renal scarring yang berlangsung terus-menerus memiliki prognosis yang sangat
buruk dapat menyebabkan terjadinya end-stage renal failure. Pada pasien anak yang
mengalami pielonefritis kronik yang disebabkan adanya VUR umumnya dapat
memperoleh kesembuhan yang baik, hal ini didukung dengan dilakukan tindakan
operasi pada pasien.
42
BAB IV
KESIMPULAN
1. Pielonefritis adalah infeksi parenkim ginjal dan biasanya merupakan lanjutan dari
sistitis akut (penyebaran asenden). Pada neonatus, pielonefritis akut muncul
dengan sepsis dengan gejala letargi, kejang, syok, suhu yang tidak stabil, ikterik
fisiologis yang persisten.
2. Diagnosis Pielonefritis dapat ditegakan melalui pemeriksaan radiologi. Terdapat
beberapa pemeriksaan radiologi yang digunakan dalam membantu penegakan
diagnosis Pielonefritis seperti pemeriksaan foto polos abdomen (disebut juga
dengan Blass Nier Oversich/BNO), pemeriksaan BNO-IVP atau disebut juga
dengan intravenous urography atau excretrory urography, pemeriksaan
ultrasonografi (USG), pemeriksaan Computed Tomography scan (CT scan),
pemeriksaan Magnetic Resonance Imaging (MRI) serta pemeriksaan Tc-99m
DSMA Scan.
3. Kasus pielonefritis akut tanpa komplikasi dapat dilakukan pemeriksaan ultrasound
(US) dalam 24 jam untuk menyingkirkan adanya obstruksi. Pencitraan lebih lanjut
dibutuhkan saat terapi yang sudah diberikan gagal, penyebab atau suspek
komplikasi dan juga untuk mengevaluasi penyakit atau diagnosis banding saat
kondisi klinis dan hasil laboratorium tidak spesifik
4. Pemeriksaan USG memiliki keunggulan yakni mobile, dapat dilakukan dengan
cepat, murah, tidak menggunakan radiasi, tidak invasif, mudah ditemukan di rumah
sakit dan dapat menilai efek akibat obstruksi
5. Pemeriksaan CT scan memiliki keunggulan yakni dapat dilakukan pada pasien
yang sulit menahan kemih atau obesitas, waktu akuisisi gambar lebih cepat, dapat
secara baik menilai ukuran ginjal serta dapat digunakan menilai suatu komplikasi.
6. Pemeriksaan MRI memiliki keunggulan yakni dapat melakukan diferensiasi
jaringan lunak lebih baik, dapat menilai pielonefritis akut, renal scarring dan
tumor ginjal. MRU juga berguna untuk mendeteksi dan melihat adanya kelainan
kongenital pada ginjal dan saluran urogenital pada anak dan dewasa.
7. Pasien pielonefritis akut berisiko terhadap bakterimia dan memerlukan terapi
antimikrobial yang intensif. Terapi parenteral diberikan selama 24 sampai 28 jam
sampai pasien afebril. Pada pasien dengan pielonefritis kronik tetap memerlukan
43
terapi antimikrobial sampai terbukti sudah tidak ada lagi tanda-tanda terjadinya
infeksi.
8. Prognosis dari kesembuhan pielonefritis bergantung pada penyulit dan juga ada
atau tidaknya komplikasi yang terjadi. Pielonefritis yang terjadi berulang dapat
menyebabkan terjadinya end-stase renal failure.
44
DAFTAR PUSTAKA
El-Ghar, M., H. Refaie, D. Sharaf dan T. El-Diasty, 2014, Diagnosing urinary tract
abnormalities: intravenous urography or CT urography?, “Reports in
Medical Imaging”, 14(7): 55-63
Grover, V.P., J.M. Tognarelli, M.M. Crossley, I.J. Cox, S.D. Taylor- Robinson dan
M.J. McPhall, 2015, Magnetic resonance imaging: principles and
techniques: lessons for clinicians, “Journal of Clinical and Experimental
Hepatology”, 5(3): 246-255
Johansen TE, 2004, The role of imaging in urinary tract infections, “World J Urol”,
Vol. 22, No. 5, hlm. 392-298
[NIDDK] National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Diseases, 2012,
Pyelonephritis: Kidney Infection, “National Kidney and Urologic Diseases
Information Clearinghouse”
Schaeffer AJ. Urinary tract infection. In: Gillenwater JY, Grayhack JT, Howards
SS, Mitchell ME, 2002, Adult and pediatric urology. 4th ed, “Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins”
Snell, R.S, 2012, Clinical Anatomy by Regions 9th Edition. Philadelphia: Wolters
Kluwer Health/Lippincott Williams & Wilkins
Soenen O, Balliauw C, Oyen R, Zanca F, 2017, Dose and image quality in low-
dose CT for urinary stone disease: added value of automatic tube current
modulation and iterative reconstruction techniques, “Radiat Prot Dosim”,
45
Vol. 174, No. 2, hlm. 242-249
Wein, AJ, Kavoussi, LR, Partin, AW, Peters, CA, 2016, Campbell-Walsh Urology,
Eleventh Edition International Edition. Philadelphia: Elsevier.
Wong LS, Tse KS, Fan TW, et al., 2014, Voiding urosonography with second-
generation ultrasound contrast versus micturating cystourethrography in the
diagnosis of vesicoureteric reflux, “Eur J Pediatr”, Vol. 173, hlm. 1095
Yoo JM, Koh JS, Han CH, et al, 2010, Diagnosing acute pyelonephritis with CT,
99mTc-DMSA SPECT, and Doppler ultrasound: a comparative study,
“Korean J Urol”, Vol. 51, hlm. 260–265
46