Anda di halaman 1dari 18

BAGIAN ILMU PENYAKIT SARAF LAPORANKASUS

FAKULTAS KEDOKTERAN DESEMBER 2019


UNIVERSITAS PATTIMURA

GUILLAIN BARRE SYNDROM (GBS)

OLEH:

CHRISTA GISELLA PIRSOUW

2018-84-048

PEMBIMBING:

dr. PARNINGOTAN Y. SILALAHI, Sp.S, M.Kes

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK

PADA BAGIAN ILMU PENYAKIT SARAF

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. M. HAULUSSY

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PATTIMURA

AMBON

2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas

berkat dan anugerah-Nya, penulis dapat menyelesaikan laporan kasus dengan judul

“Guillain Barre Syndrome”. Laporan kasus ini disusun sebagai salah satu syarat

untuk menyelesaikan tugas kepaniteraan klinik pada bagian Ilmu penyakit dalam

RSU dr. M. Haulussy Ambon.

Penyusunan laporan kasus ini dapat diselesaikan dengan baik karena adanya

bantuan, bimbingan, dan dorongan dari berbagai pihak. Untuk itu, pada kesempatan

ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada dr. Parningotan Y. Silalahi,

Sp.S, M.Kes selaku pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu, pikiran,

dan tenaga untuk membantu penulis dalam menyelesaikan laporan kasus ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan laporan kasus ini masih belum

sempurna. Oleh karena itu, saran dan kritik yang bersifat membangun dari berbagai

pihak sangat penulis harapkan demi perbaikan penulisan laporan kasus ini ke

depannya. Semoga laporan kasus ini dapat memberikan manfaat ilmiah bagi semua

pihak yang membutuhkan.

Ambon, Desember 2019

Penulis

1
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ………………………………………………………….... i

KATA PENGANTAR ...……………………………………………………….. ii

DAFTAR ISI ...………………………………………………………………… iii

BAB I. PENDAHULUAN ……………………………………………………. 1

BAB II. LAPORAN KASUS ….……………………………………………… 2

BAB III. DISKUSI …...……………………………………………………….. 3

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………. 16

2
BAB I
PENDAHULUAN

Menurut Centers of Disease Control and Prevention / CDC (2012), Guillain

Barre Syndrom (GBS) adalah penyakit langka di mana sistem kekebalan seseorang

menyerang sistem syaraf tepi dan menyebabkan kelemahan otot bahkan apabila

parah bisa terjadi kelumpuhan. Hal ini terjadi karena susunan syaraf tepi yang

menghubungkan otak dan sumsum belakang dengan seluruh bagian tubuh kita

rusak. Kerusakan sistem syaraf tepi menyebabkan sistem ini sulit menghantarkan

rangsang sehingga ada penurunan respon sistem otot terhadap kerja sistem syaraf.1

Guillain Barre Syndrome (GBS) adalah sekelompok gangguan yang

diperantarai sistem imun yang secara umum dicirikan dengan disfungsi motorik,

sensorik dan otonom. Dalam bentuknya yang klasik, GBS adalah suatu acute

inflammatory demyelinating polyneuropathy (AIDP), yang dicirikan dengan

kelemahan otot simetris ascending progresif, dan hiporefleks dengan atau tanpa

gejala sensorik atau otonom; walapun begitu varian yang melibatkan saraf kranialis

atau keterlibatan motorik murni dapat juga dijumpai. Selain AIDP, bentuk yang

paling umum dikenali, varian lainnya mencakup acute motor axonal neuropathy

(AMAN) dan acute motor-sensory axonal neuropathy (AMSAN). Pada kasus yang

berat, kelemahan otot dapat menyebabkan gagal nafas, dan disfungsi otonom dapat

memperumit penggunaan obat sedatif dan vasoaktif.2

Dengan terkendalinya poliomyelitis, GBS menjadi penyebab paling penting

dari acute flaccid paralysis. Penyakit ini terjadi di seluruh dunia dan mengenai anak-

anak maupun orang dewasa. Guillain Barre Syndrome adalah diagnosis yang secara

3
utama dibuat dengan riwayat penyakit dan gejala klinis. Infeksi gastrointestinal atau

pernafasan ringan mendahului gejala neuropatik pada 1 hingga 3 minggu

sebelumnya (kadang-kadang lebih lama) pada sekitar 60% kasus.2

Penelitian kini menunjukkan bahwa Campylobacter jejuni adalah

organisme penginfeksi yang paling sering dijumpai namun hanya dijumpai pada

proporsi kecil kasus. Kejadian sebelumnya atau penyakit yang berhubungan lainnya

mencakup viral exanthems dan penyakit virus lainnya cytomegalovirus (CMV),

Epstein-Barr virus (EBV), infeksi bakteri selain Campylobacter (Mycoplasma

pneumoniae, Lyme disease), paparan terhadap agen trombolitik, dan limfoma

(terutama Hodgkin disease).2

Guillain Barre Syndrome adalah suatu penyebab disabilitas jangka panjang

yang penting untuk sedikitnya 1000 orang tiap tahun di Amerika Serikat. Karena

GBS terjadi pada umur yang relatif muda dan harapan hidup yang masih panjang

setelah GBS,setidaknya 50.000 orang di Amerika Serikat mengalami efek residual

dari GBS. Lebih kurang 40% pasien yang diopname dengan GBS akan memerlukan

rehabilitasi saat dirawat. Untuk pasien GBS yang memerlukan opname untuk

rehabilitasi,perlunya penggunaan ventilator memberikan dugaan yang kuat akan

panjangnya masa rawat inap untuk rehabilitasi.2

4
BAB II
LAPORAN KASUS

Pasien laki-laki umur 32 tahun dibawa keluarganya dengan keluhan kram

dan lemah seluruh badan. Pasien mengaku keluhan dirasakan sejak ± 2 hari SMRS.

Sebelumnya pasien mengonsumsi obat antibiotic ciprofloxacin tab, kemudian

pasien merasa kram mulai dari ujung-ujung jari hingga tangan, kaki dan seluruh

tubuh, diikuti kelemahan seluruh anggota gerak. Setelah itu pasien tidak mampu

berdiri dan berjalan. Pasien juga mengeluhkan mata merah yang sudah dirasakan

sejak ± 2 minggu SMRS. Awalnya mata pasien kemasukan serangga, kemudian

pasien mengucek matanya hingga merah. Pasien menggunakan obat tetes mata

lubricant dan kortikosteroid, tetapi mata pasien semakin bengkak, kemudian pasien

menggunakan obat tetes mata antibiotik. Karena keluhan tidak berkurang, pasien

mengonsumsi obat antibiotic ciprofloxacin. Pusing (-), mual muntah (-), demam

disangkal, BAB BAK lancar. Sebelumnya pasien tidak pernah mengalami keluhan

yang sama. Riwayat penyakit sebelumnya, pasien pernah kejang 3 kali pada tahun

2016.

Pada pemeriksaan fisik pasien tampak sakit sedang, kesadaran compos

mentis GCS E4V5M6, gizi baik, tanda-tanda vital tekanan darah 140/80 mmHg,

nadi 81 x/menit, pernapasan 20 x/menit, suhu 36,3’c. Pada pemeriksaan mata

didapatkan okuli dextra merah dan edema (+). Pada pemeriksaan reflex fisiologis,

didapatkan refleks bisep dan trisep (+) menurun, reflex patella (-). Pada

pemeriksaan labroratorium dalam batas normal.

5
BAB III

DISKUSI

Guillain Barre syndrome ( GBS ) adalah suatu kelainan sistem kekebalan

tubuh manusia yang menyerang bagian dari susunan saraf tepi dirinya sendiri

dengan karekterisasi berupa kelemahan atau arefleksia dari saraf motorik yang

sifatnya progresif. Kelainan ini kadang kadang juga menyerang saraf sensoris,

otonom, maupun susunan saraf pusat.3 Kelemahan dan paralisis yang terjadi pada

GBS disebabkan karena hilangnya myelin, material yang membungkus saraf.

Hilangnya myelin ini disebut demyelinisasi. Demyelinisasi menyebabkan

penghantaran impuls oleh saraf tersebut menjadi lambat atau berhenti sama sekali.

GBS menyebabkan inflamasi dan destruksi dari myelin dan menyerang beberapa

saraf. Oleh karena itu GBS disebut juga Acute Inflammatory Demyelinating

Polyradiculoneuropathy (AIDP).3,4

Dalam kasus ini, gejala klinis mengarah pada diagnosis GBS adalah rasa

kram yang dimulai dari ujung-ujung jari hingga tangan, kaki dan seluruh tubuh serta

kelemahan seluruh anggota gerak. Pada GBS, diagnosis terutama ditegakkan secara

klinis. GBS ditandai dengan timbulnya suatu kelumpuhan akut yang bersifat

ascending disertai hilangnya refleks-refleks tendon dan didahului parestesi

dua atau tiga minggu setelah mengalami demam disertai disosiasi

sitoalbumin pada likuor dan gangguan otonom, sensorik dan motorik perifer.

Kriteria diagnosa yang umum dipakai adalah kriteria dari National Institute

of Neurological and Communicative Disorder and Stroke (NINCDS), yaitu :5

6
Gejala utama

1. Kelemahan yang bersifat progresif pada satu atau lebih ekstremitas dengan

atau tanpa disertai ataxia

2. Arefleksia atau hiporefleksia yang bersifat general

Gejala tambahan

1. Progresivitas dalam waktu sekitar 4 minggu

2. Biasanya simetris

3. Adanya gejala sensoris yang ringan

4. Terkenanya SSP, biasanya berupa kelemahan saraf facialis bilateral

5. Disfungsi saraf otonom

6. Tidak disertai demam

7. Penyembuhan dimulai antara minggu ke 2 sampai ke 4

Pemeriksaan LCS

1. Peningkatan protein

2. Sel MN < 10 /ul

Pemeriksaan elektrodiagnostik

1. Terlihat adanya perlambatan atau blok pada konduksi impuls saraf

Gejala yang menyingkirkan diagnosis

1. Kelemahan yang sifatnya asimetri

2. Disfungsi vesica urinaria yang sifatnya persisten

3. Sel PMN atau MN di dalam LCS > 50/ul

4. Gejala sensoris yang nyata

7
GBS harus dibedakan dengan beberapa kelainan susunan saraf pusat seperti

myelopathy, dan poliomyelitis. Pada myelopathy ditemukan adanya spinal cord

syndrome dan pada poliomyelitis kelumpuhan yang terjadi biasanya asimetris, dan

disertai demam.3 Myositis juga memberikan gejala yang mirip dengan GBS, namun

kelumpuhan yang terjadi sifatnya paroxismal. Pemeriksaan CPK menunjukkan

peningkatan sedangkan LCS normal.3

Etiologi GBS belum diketahui secara pasti namun GBS dapat dipicu oleh

infeksi pencetus pada 2/3 kasus, yang pada umumnya infeksi gastrointestinal dan

pernafasan. Infeksi pencetus GBS seperti Campylobacter jejuni (C. jejuni), M.

pneumonia, Cytomegalovirus (CMV), dan beberapa agen infeksi lain. Ada banyak

laporan dari GBS sebelumnya patogen infeksi termasuk Epstein-Barr Virus (EBV),

Mycoplasma pneumonia, H. influenza, virus varicella-zoster, virus influenza,

adenovirus, parainfluenza 1 virus, virus herpes simpleks, HIV, dan lain-lain pada

multivariat analisis menunjukkan bahwa pada pasien GBS, infeksi EBV (10%) dan

Mycoplasma pneumonia (5%) lebih sering daripada kelompok control. Selain

infeksi, terdapat beberapa faktor pencetus terkait GBS terkait yang sebelumnya

telah dilaporkan seperti pembedahan, kanker, kehamilan, penyakit autoimun,

penggunaan obat-obatan, anestesi spinal, sengatan serangga, epidural-anestesi

umum, bedah untuk obesitas dan operasi transplantasi.

Pada pasien ini, dicurigai karena infeksi virus adenovirus yang merupakan

salah satu penyebab konjungtivitis virus terkait mata merah pada pasien dan juga

adenovirus merupakan agen infeksi lain dari pencetus GBS. Sedangkan terkait

faktor pencetus penggunaan obat-obatan tidak dapat dipastikan pada pasien ini.

8
Guillain Barre Syndrome diklasifikasikan sebagai berikut:

a. Acute Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy (AIDP)

Acute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy (AIDP)

adalah jenis paling umum ditemukan pada GBS, yang juga cocok dengan gejala asli

dari sindrom tersebut. Manifestasi klinis paling sering adalah kelemahan

anggota gerak proksimal dibanding distal. Saraf kranialis yang paling umum

terlibat adalah nervus facialis. Penelitian telah menunjukkan bahwa pada AIDP

terdapat infiltrasi limfositik saraf perifer dan demielinasi segmental makrofag.5

b. Acute motor axonal neuropathy (AMAN)

Acute motor axonal neuropathy (AMAN) dilaporkan selama musim panas

SGB epidemik pada tahun 1991 dan 1992 di Cina Utara dan 55% hingga 65% dari

pasien SGB merupakan jenis ini. Jenis ini lebih menonjol pada kelompok anak-

anak, dengan ciri khas degenerasi motor axon. Klinisnya, ditandai dengan

kelemahan yang berkembang cepat dan sering dikaitkan dengan kegagalan

pernapasan, meskipun pasien biasanya memiliki prognosis yang baik. Sepertiga

dari pasien dengan AMAN dapat hiperrefleks, tetapi mekanisme belum jelas.

Disfungsi sistem penghambatan melalui interneuron spinal dapat meningkatkan

rangsangan neuron motorik.5

c. Acute Motor Sensory Axonal Neuropathy (AMSAN)

Acute Motor Sensory Axonal Neuropathy (AMSAN) adalah penyakit akut

yang berbeda dari AMAN, AMSAN juga mempengaruhi saraf sensorik

9
dan motorik. Pasien biasanya usia dewasa, dengan karakteristik atrofi otot.

Dan pemulihan lebih buruk dari AMAN.5

d. Miller Fisher Syndrome

Miller Fisher Syndrome adalah karakteristik dari triad ataxia, arefleksia, dan

oftalmoplegia. Kelemahan pada ekstremitas, ptosis, facial palsy, dan bulbar palsy

mungkin terjadi pada beberapa pasien. Hampir semua menunjukkan IgG auto

antibodi terhadap ganglioside GQ1b. Kerusakan imunitas tampak terjadi

di daerah paranodal pada saraf kranialis III, IV, VI, dan dorsal root ganglia.5

Pada pemeriksaan refleks fisiologis pada pasien didapatkan refleks bisep dan

trisep (+) menurun, refleks patella (-). Hal tersebut sesuai dengan teori, yaitu pada

pemeriksaan neurologis ditemukan adanya kelemahan otot yang bersifat difus dan

paralisis. Refleks tendon akan menurun atau bahkan menghilang. Refleks patologis

seperti refleks Babinsky tidak ditemukan.3

Pada pemeriksaan penunjang, dapat dilakukan spinal tap (tusuk lumbal) dan

tes fungsi saraf yang umumnya digunakan untuk mengkonfirmasikan diagnosis

sindrom Guillain-Barre, yaitu :

1. Spinal tap (tusuk lumbalis) = (lumbar puncture)

Prosedur ini melibatkan menarik sejumlah kecil cairan dari kanal tulang

belakang di daerah (lumbar. Cairan cerebrospinal kemudian diuji untuk jenis

tertentu perubahan yang biasanya terjadi pada orang yang memiliki sindrom

Guillain-Barre. Jika Anda memiliki GBS, tes ini dapat menunjukkan

10
peningkatan jumlah protein ( 1 – 1,5 g / dl ) dalam cairan tulang belakang

tanpa diikuti kenaikan jumlah sel lain sebagai tanda infeksi lain.3,4

Pemeriksaan cairan cerebrospinal pada 48 jam pertama penyakit tidak

memberikan hasil apapun juga. Kenaikan kadar protein biasanya terjadi pada

minggu pertama atau kedua. Kebanyakan pemeriksaan LCS pada pasien akan

menunjukkan jumlah sel yang kurang dari 10 / mm3 pada kultur LCS tidak

ditemukan adanya virus ataupun bakteri.3

2. Tes fungsi saraf

- Elektromiografi membaca aktivitas listrik dalam otot Anda untuk

menentukan apakah kelemahan Anda disebabkan oleh kerusakan otot atau

kerusakan saraf.4 Gambaran elektromiografi pada awal penyakit masih

dalam batas normal, kelumpuhan terjadi pada minggu pertama dan

puncaknya pada akhir minggu kedua dan pada akhir minggu ke tiga mulai

menunjukkan adanya perbaikan. Pada pemeriksaan EMG minggu pertama

dapat dilihat adanya keterlambatan atau bahkan blok dalam penghantaran

impuls, gelombang F yang memanjang dan latensi distal yang memanjang.

Bila pemeriksaan dilakukan pada minggu ke 2, akan terlihat adanya

penurunan potensial aksi (CMAP) dari beberapa otot, dan menurunnya

kecepatan konduksi saraf motorik.3

- Studi konduksi saraf menilai bagaimana saraf dan otot menanggapi

rangsangan listrik kecil. Jika Anda memiliki GBS, hasilnya mungkin

menunjukkan melambatnya fungsi saraf, yang biasanya menunjukkan

bahwa kerusakan meliputi selubung mielin dari saraf perifer.

11
3. MRI

Pemeriksaan MRI akan memberikan hasil yang bermakna jika dilakukan kira

kira pada hari ke 13 setelah timbulnya gejala. MRI akan memperlihatkan

gambaran cauda equina yang bertambah besar. Hal ini dapat terlihat pada

95% kasus GBS.3

4. Pemeriksaan Serum CK

Pemeriksaan serum CK biasanya normal atau meningkat sedikit. Biopsi otot

tidak diperlukan dan biasanya normal pada stadium awal. Pada stadium lanjut

terlihat adanya denervation atrophy.3

Pada pasien belum dilakukan pemeriksaan penunjang terkait. Tetapi

disarankan untuk melakukan pemeriksaan EMG dan MRI untuk mengkonfirmasi

diagnosis pasti dan rencana pengobatan lebih lanjut. Pada pasien hanya dilakukan

pemeriksaan laboratorium terkait untuk menyingkirkan kecurigaan penyebab

keluhan pasien.

Pada mayoritas pasien dengan GBS, terapi harus dimulai secepat mungkin

setelah diagnosis ditegakkan. Dua minggu setelah gejala motorik tampak,

efektivitas pemberian imunoterapi tidak dapat diketahui dengan pasti. Terapi

imunomodulator seperti plasmaferesis atau imunoglobulin intravena (IVIg) sering

digunakan. Manfaat kortikosteroid pada GBS masih belum jelas. Dapat diberikan

vitamin neurotropik. Keputusan untuk menggunakan terapi imunomodulator

adalah berdasar pada derajat keparahan penyakit, progresifitas dan lamanya waktu

antara gejala pertama dengan manifestasi klinisnya. Nyeri yang timbul pada GBS

dapat diberikan Gabapentin (15 mg/kgBB/hari) atau Karbamazepin (300 mg/hari).

12
Heparin (Dosis 2x5000 unit subkutan) atau enoxaparin (40 mg) digunakan dalam

pencegahan trombosis vena.5

Plasma exchange therapy (PE) telah dibuktikan dapat memperpendek

lamanya paralisa dan mepercepat terjadinya penyembuhan. Waktu yang paling

efektif untuk melakukan PE adalah dalam 2 minggu setelah munculnya gejala.

Regimen standard terdiri dari 5 sesi (40 – 50 ml / kg BB) dengan saline dan

albumine sebagai penggantinya. Perdarahan aktif, ketidakstabilan hemodinamik

berat dan septikemia adalah kontraindikasi dari PE.3

Intravenous inffusion of human Immunoglobulin (IVIg) dapat menetralisasi

autoantibodi patologis yang ada atau menekan produksi auto antibodi tersebut.

IVIg juga dapat mempercepat katabolisme IgG, yang kemudian menetralisir

antigen dari virus atau bakteri sehingga T cells patologis tidak terbentuk. Pemberian

IVIg ini dilakukan dalam 2 minggu setelah gejala muncul dengan dosis 0,4 g / kg

BB / hari selama 5 hari. Pemberian PE dikombinasikan dengan IVIg tidak

memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan hanya memberikan PE atau

IVIg.3

Fisioterapi juga dapat dilakukan untuk meningkatkan kekuatan dan

fleksibilitas otot setelah paralisa.3

Tatalaksana pada pasien ini dilakukan terapi simptomatik dengan

pemberian IVFD RL 20 tpm, methylprednisone 3 x 125mg/iv, sebagai

kortikosteroid yang secara luas digunakan untuk mengobati berbagai gangguan

autoimun dan sekali diharapkan efektif untuk GBS. Namun, sebagian besar

13
percobaan menunjukkan tidak ada manfaat dari kortikosteroid. Sebuah uji coba

Belanda menyarankan kombinasi metilprednisone intravena diikuti oleh IVIG

mempercepat pemulihan pasien GBS sedikit lebih dari IVIG saja. Ada laporan lain

menunjukkan bahwa kortikosteroid mungkin efektif terhadap rasa sakit dari GBS.

Karena kurangnya temuan yang lebih yang mendukung khasiat kortikosteroid

dalam GBS, kortikosteroid tidak dianjurkan atau setidaknya tidak boleh digunakan

sendiri dalam pengobatan GBS. Kemudian diberikan juga clobazam 2 x 10 mg po

sebagai antikonvulsan, haloperidol 0,5 mg dan trihexipenidil 0,5 mg dalam capsul

dengan pemberian 3 x 1 capsul sebagai antipsikotik untuk mengurangi rasa cemas,

methycobal 3 x 500 mg sebagai neuroprotective agent dalam pengobatan neuropati

perifer. Pasien GBS dengan gejala sisa neurologis dan cacat yang signifikan hampir

selalu memiliki cedera aksonal, sehingga pemulihannya membutuhkan regenerasi

dari situs lintang aksonal. Neuroprotective agent yang dapat membatasi jumlah

cedera saraf selama fase penyakit dan meningkatkan regenerasi perbaikan saraf /

akson selama fase pemulihan GBS sangat dibutuhkan karena dapat membatasi

gejala sisa neurologis permanen pada pasien GBS. Selain itu, pada pasien ini juga

diberikan atorvastatin 1 x 20 mg.

Komplikasi dari sindrom Guillan-Barre dapat termasuk kesulitan bernapas,

yang merupakan sebuah komplikasi berpotensi mematikan sindrom Guillain-Barre

adalah kelemahan atau kelumpuhan bisa menyebar ke otot yang mengontrol

pernapasan. Sedangkan komplikasi jangka panjang, seperti komplikasi serius,

masalah permanen dengan sensasi dan koordinasi, termasuk beberapa kasus

kecacatan parah, kontraktur pada sendi.3 Kekambuhan sindrom Guillain- Barre.4

14
Serta kematian akibat dari komplikasi seperti sindrom gangguan pernapasan dan

serangan jantung.4 Tingkat keparahan, gejala awal sindrom Guillain-Barre secara

signifikan meningkatkan risiko komplikasi jangka panjang yang serius.

Sebanyak 60-80% pasien GBS sembuh sempurna setelah 6-8 bulan. Sisanya

mengalami disabilitas karena melibatkan otot pernapasan dan gangguan fungsi

otonom. Kematian pada penderita biasanya disebabkan oleh aritmia, gagal nafas,

infeksi, pneumonia aspirasi, dan emboli paru. Guillain-Barre syndrome dalam

bentuk yang berat memiliki dampak jangka panjang yang serius terhadap

pekerjaan dan kehidupan pasien, meskipun setelah 3-6 tahun onset gejala.

Pemulihan biasanya memerlukan waktu bertahun-tahun. Faktor prognostik negatif

yang menentukan dalam perkembangan GBS ialah usia lanjut, gangguan nervus

kraniais, adanya kebutuhan ventilasi mekanik,dan pola lesi aksonal.5

15
BAB IV

KESIMPULAN

Guillain Barre syndrome (GBS) merupakan suatu kelainan sistem

kekebalan tubuh manusia yang menyerang bagian dari susunan saraf tepi dirinya

sendiri dengan karekterisasi berupa kelemahan atau arefleksia dari saraf motorik

yang sifatnya progresif. Kelainan ini kadang kadang juga menyerang saraf sensoris,

otonom, maupun susunan saraf pusat.3 Kelemahan dan paralisis yang terjadi pada

GBS disebabkan karena hilangnya myelin, material yang membungkus saraf.

Hilangnya myelin ini disebut demyelinisasi. Demyelinisasi menyebabkan

penghantaran impuls oleh saraf tersebut menjadi lambat atau berhenti sama sekali.

Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik pada kasus ini, pasien

didiagnosis dengan GBS. Tatalaksana yang diberikan bersifat terapi simptomatik.

Pada pasien ini perlu dilakukan pemeriksaan penunjang lebih lanjut, salah satunya

terkait EMG, sehingga dapat dilakukan terapi kausatif yang lebih tepat serta

pencegahan terkait kemungkinan komplikasi yang dapat terjadi.

16
REFERENSI

1. Fauci, Braundwald, Kasper, Hauser, Longo, Jameson, Loscalzo. Harrison’s

Principle of Internal Medicine. Edisi 17. The McGraw Hill’s Company;

2008.

2. Tutiek Rahayu. Guillain Barre syndrome (GBS). Internet. 2013 [cited on

Desember 2019] Available from :

https://journal.uny.ac.id/index.php/wuny/article/download/3525/pdf

3. Dewanto G et al. Panduan Praktis Tatalaksana Penyakit Saraf. Jakarta:

EGC, 2007.

4. Japardi I. Sindroma Guillain-Barre. Medan: USU Digital Library, 2002.

5. Ginsberg L. Lecture Notes Neurologi. Jakarta: Penerbit Erlangga, 2005.

17

Anda mungkin juga menyukai