Anda di halaman 1dari 36

Persembahan

Sebuah keberhasilan tanpa terukir kepedulian bagi


mereka yang mendapatkan dukungan

Thanks to:
Tuhan yang maha Esa
Atas limpahan rahmat dan karunia_Nya
Kedua orang tua
Yang telah memberikan kasih sayang tiada tara
Saudara
Karnanya aku kenal kedamaian dan kebersamaan

Daftar isi

1. Persembahan…………………………………………1.
2. Everything Con Sider The End……………………3.
3. Memorize this moment……………………………25.

4.tentang penulis………………………………………35.

1
Everything Con Sider The End

Sang mentari mulai mengintip dengan malu-malu dari ufuk timur, Formatted: Indonesian
Formatted: Indonesian
cahaya indahnya mulai terasa silau di pandang mata, burung-burung
Formatted: Indonesian
beryanyi riang kesana kemari, daun-daun dengan suka hati menari-nari
menyambut sinar cahaya yang akan membantu mereka berfotosintesis.

2
Jendela kecil dari rumah sederhana itu mulai terbuka sesosok gadis
berumur enam belas tahun tampak menjulurkan kepalanya keluar jendela
berusaha menikmati hembusan demi hembus segarnya udara pagi ini,
sesekali ia menyunggingkan seyum memandang hamparan luas kebun teh
yang terlihat begitu sejuk di pelupuk mata, satu menit, dua menit, tiga
menit, gadis berwajah manis itu masih menatap hamparan luas hijau itu, ia Formatted: Indonesian
Formatted: Indonesian
nampak ceria seakan tersembunyi beribu kebimbangan di setiap ujung
senyum indahnya.
Sudah menjadi kewajiban di dalam rumah sederhana itu, makan pagi
bersama di ruang tengah. Sebelum memulai kegiatan keluar rumah gadis
yang biasa dipanggil Eni itu hanya mengaduk-aduk sarapan paginya sambil, Formatted: Indonesian

sesekali mengamati tiap wajah anggota keluarganya. Bibirnya seakan ingin


mengucap sesuatu tapi segera diurungkan, ketika melihat wajah teduh
ayahnya. Sekali lagi ia mulai menarik nafas panjang mencoba merangkai
kata demi kata untuk mengutarakan keinginannya.
“ Yah, Eni mau kerja.. ” ucapnya seketika membuat seluruh pasang
mata melihat ke arahnya. Seketika suasana menjadi hening. Tak ada
sepatah katapun yang keluar dari mulut ayah, mamah, adek maupun Formatted: Indonesian
Formatted: Indonesian
kakaknya. Setelah beberapa saat keheningan menyelimuti mereka, suara
gelak tawaku mengisi ruangan kecil itu. Eni yang tadinya mantap
memutuskan untuk bekerja, malah mulai sedikit diterpa keraguan. Namun
gadis itu tetap mencoba dan berusaha meyakinkan keluarganya bahwa ia
tak sedang main-main.
Gadis itu terus berusaha melontarkan setiap kalimat yang telah
berhasil ia rangkai dalam benaknya. Seminggu terakhir ini ia berusaha
menghancurkan tembok-tembok ketidak percayaan dalam fikiran
keluarganya.
“ Ntos Ni, teu keudah mamah nu bade damel. Eni pan bade sakola
1
deui” ucap mamahya

1
Udah Ni, gak usah Mamah yang mau kerja. Kan Eni mau sekolah lagi (Sunda)

3
Ibu gadis itu memotong pembicaraan anak ketiganya dengan nada
sedikit nanar.
“Wios Mah. Eni damel wae”2. Eni mencoba meyakinkan Mamahnya
kembali.
“Eni masih kecil mau kerja apa?”. Teh Ina, kakak Eni turut angkat
bicara. “Masa’ Eni mau jualan kantong plastic dipasar?”. Tambahnya lagi
diiringi gelak tawa.
“Enya meureun ijazah SMP oge masih teu acan di bagikeun ntos
nyarios hoyong damel”3 sambung Mamahnya.
“Itu urusan belakangan, Mah. Allah pasti ngasih jalan sama Eni
Mamah gak usah khawatir dan harus yakin…”.
Tanpa Eni sadari dibalik ketidak pecayaan yang ditunjukkan oleh
kakak perempuan dan ibunya selain adik dan kakak laki-lakinya yang diam.
Ada sebuah hati yang tau bahwa Eni tidak sedang bercanda untuk sekedar
mengusir keheningan di mejaa makan. Hati itu tahu bahwa Eni bersungguh-
sungguh dalam tiap kata yang ia ucapkan. Tapi hati itu pula tak dapat
berbuat apa-apa untuk mencegah putri kesayangannya agar tidak memilih
berbanting tulang diusianya yang baru 16 tahun. Karna saat ini beliau sadar
sebagai kepala keluarga yang harusnya mampu menanggung semua beban
anggota keluarganya. Saat ini beliau tak cukup mampu untuk itu. Bahkna
malah tak berdaya apa-apa dalam kondisi buruk seperti ini.
Ayah dari empat anak itu beranjak meninggalkan sarapan paginya
yang baru berkurang beberapa suap. Eni melihat ayahnya dengan tatapan
bersalah. Ia baru sadar bahwa ternyata semua yang telah ia ucapkan tadi
telah menyakiti hati teduh ayahnya. Meskipun sebenarnya Eni tak pernah
menyinggung keberadaan ayahnya, yang sudah empat bulan lebih tak
memiliki pekerjaan.

2
Udah Ma, Eni kerja aja!
3
Ia mungkin, ijazah SMP aja masih belum dibagiin, udah bilang mau kerja!

4
Seketika Eni pun teringat akan keadaan keluarganya sebelum krisis
ekonomi yang menghantam keluarganya, tentu saja dulu ia sangat bahagia,
berkecukupan. Eni pun kembali menarik nafas panjang berusaha
meneguhkan kembali dinding-dinding ketabahan di hatinya, dengan di
penuhi rasa bersalahpun Eni melangkahkan kaki meninggalkan ruangan itu
pergi menuju kamar pribadinya, ia tak melakukan apa-apa namun hanya
berjalan kesana kemari layaknya setrikaan ia terus berfikir dan berfikir
bagaimana caranya ia bias bekerja di usianya yang masih baru SMP ini.

Gadis berpendirian teguh itu masih mengurung diri di kamar mininya


ia pandangi jam dinding lusuh yang terpangpang di atas tempat tidurnya.
Jam jarum sudah menunjukkan pukul 09:30 malam, ternyata ia baru
tersadar bahwa ia sudah seharian bertapa di dalam kamarnya iapun
beranjak untuk mulai berwudu’ dan melaksanakan sholat, sholat ini ia
khususkan bukan seperti sebelumnya ia kerjakan karena kewajiban, tapi ini
sholat keinginan yaitu untuk melaksanakan sholat hajat. Eni
menghamparkan sejadah hijaunya diatas dinginnya lantai-lantai kamar,
bersujud dan terus bersujud memohon jalan yang terbaik pada sang malik
“Ya Allah berikanlah jalan terbaik pada masalah hamba, Ajarkan
hamba untuk bersabar dan terus bersyukur atas ujian yang telah engkau
berikan, berikanlah kesabaran pula pada kedua orang tua hamba, dan
ajarkan kami untuk saling bahu membahu dalam kebaikan”. Ucap Eni
seraya berdo’a
Eni pun berniat untuk melelapkan semua kebimbangannya hari ini
dalam buaian mimpi, namun kata-kata sang teteh tentang pekerjaan
menjual kantong plastik masih terngiang jelas di gendang telinganya sampai
akhirnya bunga-bunga mimpinya menghampiri Eni.
Udara pagi baru saja tersembur untuk bisa di hirup segarnya oleh
makhluk bumi, tapi Eni sudah bangun jauh sebelum itu, hari ini terpaksa
akan mengikuti tilah kakak keduanya yang sudah bekerja di kota
metropolitan Jakarta. Dengan berat hati Eni menuruti sang kakak agar Eni

5
bias melanjutkan pendidikan di SMK, walau Eni berkata bahwa ia memilih
untuk bekerja, namun jauh di lubuk hatinya yang paling dalam, ia masih
tetap kukuh dengan pendiriannay untuk bias berjihat di dalam penjara suci
dan ia berharap semua itu akan tetap terwujud walau bukan saat ini.
Enipun melangkahkan kaki menuju sekolah SMK yang di maksud.
Gadis itu di temani mamah dan tetehnya, yang memang juga menempuh
pendidikan di sekolah tersebut. Tetehnya yang biasa di panggil Ina itu
memang termasuk kategori siswi tauladan, kebanggaan sekolah. jadi tak
heran jika sejak satu langkah pertama mereka menginjak kaki di depan
gerbang sekolah sudah banyak guru-guru maupun teman-teman sang teteh
yang menyambut kehadiran mereka
Uang pendaftaran yang seharusnya di bayar 100 ribu jadi berkurang
menjadi 20 ribu rupiah, tentu saja tak luput dari peran sang teteh sebagai
siswi teladan sekolah.
Hari ini adalah hari libur sekolah, jadi tidak ada kegiatan yang bisa Eni
lakukan selain berdiam diri seharian di rumah kecilnya. Eni begitu benci
suasana diam seperti ini, maka iapun mulai mengorek-ngorek laci untuk
mencari data-data yang harus ia lengkapi, sebagai persyaratan pendaftaran
sekolah beberapa hari yang lalu. Eni mulai mengobrak ngabrik semua laci
yang ada di rumahnya, hingga akhirnya iapun menemukan sebuah laci
tempat menyimpan data-data penting keluarganya ia terus membolak balik
kertas itu dan matanyapun terhenti saat pandangannya menyapu kertas-
kertas berisikan data milik tetehnya, disitu ada fotokopi ktp, ijazah mulai
dari TK sampai SMP. Namun yang menarik perhatiannya adalah ijazah SMP
sang teteh yang menampilkan jejeran nilai yang begitu memuaskan.
“sepertinya, hanya aku yang tidak memiliki kemampuan, mencetak nilai
bagus di kelurga ini” Eni membatin.
Ketika Eni sudah menemukan semua yang ia perlukan, sorenya Eni
putuskan untuk pergi jalan-jalan sebentar, sekedar bermain kerumah
tetangga untuk menghilangkan jenuh setelah seharian hanya duduk diam
termangu di istana kecilnya, tak sadar terbawa suasana terbawa cerita

6
akan dirinya yang mulai mengaduk keluh kesahnya akan keinginannya
untuk bisa bekerja, kemudian tak di sangka-sangka oleh Eni, ternyata
tetangganya malah menawarkan Eni untuk bekerja di sebuah pabrik, meski
beliau masih ragu akan Eni di terima atau tidak, karena selain Eni belum
mempunyai ijazah, Eni juga tidak memiliki KTP sebagai salah satu
terpenting dalam formulir lamaran kerja. Dan Enipun menyadari hal itu.
Tapi eni malah mengangguk mantap menerima tawaran itu tak ada yang
tahu apa yang ia pikirkan saat ini hanya Allah dan dirinyalah yang tahu.
“Alhamdulillah, semoga ini menjadi awal yang baik. Amien”. Syukur
Eni sembari memeluk KTP dan Ijazah SMP tetehnya, seakan itu adalah
harapan satu-satunya yang ia punya untuk bisa bekerja.
Eni mulai mementukan dimana ia akan mulai melamar kerja. Ia hanya
tinggal menyiapkan perlengkapan lainnya. Namun hati ibu mana yang akan
rela dan tega begitu saja membiarkan anaknya yang sebenarnya masih
masa senang-senang di usia ABG, untuk berkecimpung dalam kerasnya
hidup, beliau adalah mamah Hasna begitulah orang-orang memanggilnya
beliau adalah mamah dan teman yang baik bagi Eni putrinya.
Layaknya Eni yang keras kepala, tentu saja mamah Hasna juga keras
kepala dan tetap tidak mengizinkan Eni untuk mengakhiri sekolahnya
dengan membanting tulang. Tapi bukan Eni namanya jika belum berhasil
melunakkan hati mamahnya berbagai alasan yang sebenarnya tak pernah
terlintas di fikirannya ia gunakan agar sang mamah mau mengizinkan
bekerja, hingga akhirnya mamah pun tak bisa berkata apa-apa dan
menyerahkan keputusan pada putrinya.
Masih saja terlintas difikiran Eni, bahwa ia sangat ingin melanjutkan
pendidikannya di balik jeruji suci tembok pesantren, namun ia berfikir
bahwa itu tidak memungkinkan bahwa terlalu mustahil untuk bisa di
wujudkan saat ini. Tentu saja Eni tidak mau membebani ayahnya dengan
keinginannya yang tak pernah suram itu, karena mimpi tersebut sudah ia
rajut dari kelas 2 SMP.

7
Eni berusaha payah menyelesaikan lamaran pekerjaan yang harus ia
selesaikan selama dua hari, melepaskan cincin emas pemberian ayahnya
yang di jual untuk di pergunakan melengkapi lamarannya. Dua hari
kemudian, Eni benar-benar sudah membulatkan tekadnya hari ini ia akan
melamar kerja.
Tepatnya hari jum’at pukul 04:00 pagi sudah bangun dengan jam
alarm seperti sudah biasanya, melakukan tugas pagi dengan beres-beres,
tidak cuma Eni, semua bergantian bagi-bagi tugas, ada yang menyapu,
mengepel, cuci piring dan lain sebagainya, sehingga setelah shalat subuh
tidak ada lagi waktunya untuk tidur. Bahkan moment bersama keluarga
seakan akan terasa kebersamaanya setelah subuh. Eni mengakhiri tugasnya
dengan tangkas dan mengingat harinya untuk kerja, ia segera melihat
lamarannya dan memasukannya kedalam tas.
Pukul 06:30 sudah siap dan rapi, lanjut berpamitan kepada kedua
orang tuannya satu persatu ia temui yang tidak satu tempat
keberadaannya, yang pertama ia temui mamahnya yang berada di ruang
tengah
“Mah Eni bade berangkat ngalamar damel”.4 Katanya sambil
menggenggam tangan mamahnya untuk dicium meminta restu
“beneran bade damel nie ? tras kumaha sakolana, engkin Aa
ngambek teurang Eni damel”.5
Eni masih menggenggam tangan mamahnya sambil menjawab
pertanyaan dengan tatapan serius pada mamahnya untuk meyakinkannya
“wios mah Eni damel wae, sakola bade liren, soal Aa’ ngambek
engkin urusan belakangan, lagian Aa’ teu aya masih uih bulan hareup”.6
Eni memang sudah merencanakan agar tidak diketahui kakak ke satu
nya yang sering di panggil Aa’Irfan, ia hanya pulang 1, atau 2 bulan sekali.
4
Mah eni mau berangkat ngelamar kerja.
5
Beneran mau kerja Nie ?terus gimana sekolahnya ? nanti kakak marah tahu Eni kerja.
6
Udah mah eni kerja aja sekolah mau berhenti soal kakak marah urusan belakangan, lagian aa gak ada
masih pulang bulan depan.

8
“Nya entos ari eta kaputusan Eni, sing hade di jalan”.7
mamah Hasna berkaca-kaca matanya dicampur rasa khawatir yang
terlihat dari raut wajahnya.
Sambil melangkhkan kaki berpapasan sama teh ina yang mau pamit
juga sambil menunggu sebentar kemudian baru sama-sama untuk
menemui ayahnya. Mungkin sang kakak bingung melihat adenya.
“Nie kok gak pake seragam?”
Dari awal emang teh ina gak percaya kalaa adenya mau kerja
“Eni mau kerja teh” jawabnya singkat
“kerja apa kamu dek”
“aku mau kerja di pabrik teh”
“Yang bener aja kamu dek”
“Ia teh”
Ina merasa aneh dengan jawaban Eni yang begitu serius, dan tidak
beranggapan becanda lagi dengan penampilan Eni semua terjawab,
menyakinkan Ina.
Langkah kaki dengan tujuan yang sama dua sodara tersebut, mencari
sang ayah, yang rupanya telah mereka temukaan di halaman rumah,
sedang menyiram tanaman. Eni memang selalu menyimak wajah ayahnya
yang terlihat kebingungan, ditambah memikirkan saudara-saudaranya
memerlukan biaya tak cukup sedikit untuk sekolah. melihat situasi, kondisi
seperti itu ia merasa iba, sudah sepantasnya ia sebagai anak harus
melakukan sesuatu, membuat fikirannya bercagak kemana-mana. sambil
meratapi sebentar kemudian Eni dan Ina mendekati sang ayah untuk pamit.
“Ayah, eni bade damel.”8

7
Ya udah kalua itu keputusan Eni, hati-hati di jalan
8
Bapak Eni mau kerja

9
“Damel dimana nie”
“Di pabrik” sebelum ayahnya melontarkan pertanyaan lagi Eni
langsung menyekak ucapannya
“Entosnya yah eni bade berangkat doaken supaya katarima”9
“asalamualaikum”
“Wa’alaikum salam, hati-hati di jalan” ucap ayahnya, yang di susul
teh ina untuk bersalaman
Saat perjalanan berlangsung sang teteh mulai membuka mulut,
mengomentari ade yang terlihat aneh
“kamu cantik dek, berpenampilan seperti itu”
“Maksud nya teh” sedikit ngeles
“iakan biasanya kamu gak pernah kaya gitu” sambil mengejeknya
“ah teteh mah, suka begitu,” merasa kakaknya sedang mengoco-
ngoconya walau diri sebetulnya sadar.
Bagaimana kakaknya bilang seperti itu, ya! Jelas heranlah melihat
ade, yang tadinya males banget kalau di suruh dandan untuk sekedar
beralas bedak atau merawat rambut agar selalu di sisir rapi, selalu di
hiraukan, saat ini sang kakak melihat tak cuman rambut panjang yang
terikat rapi, bahkan sang ade menambahkan merah di bibirnya.
Lanjut lagi ucapan sang kakak dengan perasaan gak enak terhadap
adenya
“dek masa kamu kerja sedangkan teteh sekolah”
“gak apa-apa teh, yang penting teteh sekolah yang bener (berlaga
menasehati) teteh harus lebih berhasil dari pada Eni” seyum
Sang kakak mulai kaku untuk mengucapkan sesuatu pada sang ade,

9
Udah ya pak eni bade berangkat doain biar di terima

10
“Ya sudah teh dek pamit doain, biar keterima kerja” dengan
mencium tangannya. Saat berbeda arah yang memisahkan mereka.
Eni menyetop angkot, memasukinya dengan berdesak desakan sama
anak sekolah, dua kali naik angkot untuk sampai tujuan, dalam keadaan
angkot berlaju serasa hati eni bergemuruh dengan ucapanya
“Aku ikhlas kalau aku harus kerja, mungkin denga aku kerja, aku
tidak kawatir untuk teteh, karena dengan aku kerja, aa bisa bantu teteh
sekolah lulus dengan tidak kawatir kurang biaya, dari pada harus terputus
di tengah jalan, sayang satu tahun lagi.” Dalam hati eni bersuara.
Ketika sampai tujuan, pas, depan gerbang pabrik gadis itu berdiri
mematung bingung, apa yang harus ia lakukan pertama kali sedangkan
gerombolan orang berserautan di depannya ada yang meangkirkan
kendaraan, ada yang masih membeli sarapa pagi dan lain sebagainya.
Dan ketika bel berbunyi menandakan masuknya kerja, orang-orang
cepat cepat memasuki ruangan kerja masing-masing yang tadinya rame di
lapangan hanya tersisa orang orang yang mau melamar kerja dan scurity.
Gadis polos dengan keadaan masih bingung,
“Non ada yang bisa saya bantu” seorang security yang
menghampirinya
“ia pak saya mau melamar kerja”
“oh, mari non saya antar ke ruang tunggu”
“terimakasih pak”
“ia non, sama-sama”
Sesampai di ruang tunggu tidak hanya sedikit orang yang duduk
menunggu panggilan untuk di terima atau tidak diterimanya, gadis itu
langsung bergabung dengan yang lain menunggu giliran. Merasa yakin dan
tidak akan di terima kerja setelah apa yang ia lihat dan dengar dari mulai

11
umurnya 20 tahun ke atas, yang kebanyakan mereka sudah berpengalaman
kerja.
Beberapa orang sudah dipanggil, akhirnya Eni kena gilirannya juga,
pertama ia langsung di lontarkan pertanyaan oleh scurity perempuan
“kamu pengen kerja bagian apa disini”
“terserah bu”. Dengan jawaban singkat yang membingungkan scurity
untuk mengetes, dari pada scurity itu pusing karena masih banyak yang
menunggu giliran akhir nya gadis itu di alihkan agar tukar posisi untuk
menghadap langsung ke atasan, bos korea.
Pertanyaan pertama sama
“kamu mau kerja bagian apa di sini” suaranya yang berlogat korea
“terserah yang penting saya kerja” menjawab dengan ketidak tahuan
“apa kamu punya pengalaman kerja?” tanyanya lagi
Gadis ittu hanya menjawab dengan gelengan kepala menandakan ia
belom pengalaman kerja.
“ya sudah jika kamu mau, saya tempatkan kamu di bagian helfer”
“iya yang penting saya kerja”
Setelah lamaran kerja lengkap di periksa dengan tidak di ragukan
bahwa itu ijzah, ktp milik sang kakak mungkin dengan wajah yang hampir
sama, akhirnya di terima. Langsung hari ini ia diterima. Rasa syukur ia
mengucap Alhamdulillah. padahal waktu di awal gadis itu sudah merasa
kecil hati melihat banyak yang lain nya tidak di terima. Itu merupakan
sebuah keberuntungan yang telah berpihak kepadanya
Di bawanya masuk keruangan yang berbaris-baris oleh prempuan bos
korea dan di tempatkan di len 6. Dalam ruangan gemuruh mesinpun terasa
menyambutnya. Yang sebelunnya tidak pernah di dengar oleh gadis itu, ia
melihat langsung orang-orang yang sibuk dengan pekerjaannya masing-
masing, ada yang menyetrika di sebutnya bagian (iron), berkemas-kemas di

12
sebutnya bagian (packing), menjahit di sebutnya bagian (sewwing),
memotong bahan di sebutnya bagian (cuting) benerin mesin di sebutnya
bagian (mekanik). begitulah yang ia ketahui.
Bos pun memanggil supervisor
“Supervisor line 6 “seraya memanggil
Kemudian datang wanita cantik menghadap padannya,
“Ya madam, ada apa?” Jawabnya
Dan gadis itupun tahu bahwa atasannya yang berkulit putih dan
berasal dari korea itu bernama madam.
“Tolong beri petunjuk bagaimana cara ia harus bekerja” ujar atasan
“Baik madam” ujar supervisor
lalu madam menyerahkan gadis polos itu kepada supervisor
Eni telah mengetahui jenis pekerjaannya, supervisor mengajaknya
ketempat ia bekerja dan tidak diduga ia mendapatkan patner kerja seorang
laki –laki tampan yang berumur sekitar 20 tahunan. Enipun berkenalan
dengannya ternyata laki – laki tampan itu memiliki nama yang unik dengan
nama “ujo” sedangkan Eni memperkenalkan dirinya dengan nama
samarannya yaitu “ina”. Posisi ujo dalam hal ini adalah sebagai seorang
penjahit (sewing) sedangkan Eni adalah seorang helper, yang man setiap
helper harus siap selalu untuk membantu seorang sewwing. Tugas eni
adalah mengambil kapur dan menukar jarum yang patah keruang mekanik
dan mematrun baju dan mengambil bahan diruang cutting dan memotong
bahan yang berlebihan dan kekurangan atau menggabungkan bahan untuk
dijadikan sebuah baju yang indah. Dengan pekerjaan itu yang selalu
menuntutnya agar tetap berdiri. Bisa dibayangkan rasa lelah yang
menyelimuti diri eni. Walau badan terasa sangat lelah, tetapi eni tetap
semangat untuk menuruti semua perintah atasannya dengan sebaik
mungkin. Apa yang disuruh itulah yang ia kerjakan.

13
Hari pertama kerja eni merasa letih yang luar biasa, terasa keringat
sebiji jagung mengalir deras keseluruh badan. Dengan menguras tenaga ia
pun menghela nafas panjang. Ia hanya memiliki 2 waktu untuk istirahat
ketika shalat dan makan. Hari ini dia tidak mendpat kerja lembur
dikarenakan ia pekerja baru.
Wajahnya pun terlihat kusam dan kakinya yang terasa mati rasa
ketika ia ingin kembali kerumah. Tetapi ia harus mengacuhkan apa yang ia
rasakan disamping itu ia tidak lupa membersihkan bajunya yang kotor
karena debu.
Jalanan terlihat begitu ramai yang dipenuhi anak –anak yang baru
pulang dari sekolah yang mengikuti kegiatan ekstra kulikuler. Terbesit dihati
eni keinginan untuk melanjutkan sekolah disebuah pondok pesantren.
Sore itu mama hasna menyiapkan makanan untuk eni, enipun
menyatap makanan setelah ia menunaikan shalat ashar, mamah hasna pun
bertanya
“Nie kumaha damelna?”10 Tanya mamah
“Alhamdulillah mah kerja eni enak” jawaban eni bertolak belakang
dengan apa yang dialaminnya.
“Damel naon nie?” 11Tanya mamah
“Helper mah” jawabnya pelan
“Oh…” jawab mamah
Padahal mamah Eni tidak mengetahui bahwa helper itu apa dalam
benaknya. Mamah eni menyuruhnya untuk istirahat karena sudah
mengetahui pekerjaan eni enak.
Hari demi hari badan eni pun terlihat semakin kurus, karena ketidak
nyamanan yang harus ia rasakan ketika ia bekerja dan firasat seorang
mamahpun menyertainnya. Ia menyembunyikan segala sesuatu yang tidak
10
Nie gimana kerjannya?
11
Kerja apa nie?

14
ingin diketahui orang tuannya karena takut khawatir, Dengan bekerja setiap
hari dengan berdiri, terjadi pembengkakkan pada kaki eni. Setiap pulang
kerja orang tua eni menyuruhnya untuk berhenti dari pekerjaannya. Dalam
waktu seminggu mama hasna melihat tangan sang putri yang membengkak
dan lecet yang mengeluarkan cairan nanah dari tangannya. Karena
keteguhan eni yang bekerja tak pernah menolak apa yang disuruh
supervisornya. Terkadang supervisornya meraja lela dengan tidak segan –
segan menyuruhnya untuk memotong bahan dengan menggunakan gunting
besar dan berat yang seharusnya dilqkukqn oleh kariawan laki-laki.
Hebatnya eni ia tetap semangat untuk bekerja tanpa memperdulikan
tangannya yang sakit. Namun mama hasna menyadari apa yang sebenarnya
terjadi pada putrinnya, mungkin ia bisa menyaembunyikan kakinya yang
bengkak dengan menggunakan kaos kaki yang selalu menemani disetiap ia
melangkah, tapi tidak dengan tangannya karena setiap ingin pergi untuk
bekerja ia tidak lupa besalaman dengan kedua orang tuannya. Tidak terfikir
oleh eni membeli sesuatu yang bisa menutupi tangannya seperti sarung
tangan.
Dengan keras kepala gadis itu selalu bertahan untuk tetap bekerja
semaksimal mungkin untuk membahagiakan kedua orng tuannya yang
teercinta. Sebagai bawahan pasti selalu ada yang memarahinnya itulah
yang terkadang mebuat hati eni down dan ingin cepat keluar dari kerja. Eni
tidak berani menceritakan pengalaman pahitnya selama ia bekerja dipabrik
kepadaorang tuannya seperti dimarahin oleh atasannya. Ia hanya
menceritakan pengalaman manisnya ketika mempunyai banyak teman yang
menyayanginnya sebagai penghibur sementara dengan canda tawa yang ia
rasakan ketika istirahat bersama. Agar orang tuannya tidak
menghawatirkannya.
Teman adalah hadiah terbaik dimanapun kita berada. Sama seperti
yang eni rasakan karena teman – temannyalah yang membuat ia tegar dan
bertahan. Walau kesenangannya hanya ia rasakan ktika waktu istirahat.

15
Suasana istirahat dipabrik sangat ramai yang membuatnya memiliki
banyak teman tak luput dari canda guraunnya. Walaupun sedang asyik eni
tetap tahu waktu apa yang harus ia kerjakan lebih utama. Contoh ketika
adzan berkumandang ia bergegas menunaikan shalat meskipun teman –
teman eni masih asyik mengobrol. Eni adalah orang pertama yang
biasannya pergi kemushollah dan orang terakhir yang meninggalkan
musholla. Dia selalu berdo’a panjang karena keinginannya. Karena ia yakin
dengan mendekatkan diri kepada sang Khaliq maka semua masalah akan
terselesaikan dengan sendirinnya. Karena dengan do’alah yang mungkin
bisa menjadi penawan baginya dengan berkeyakinan bahwa Allah Swt
selalu berada dimanapun ia berada. Dalam do’a yang sering ia panjatkan
setelah shalat yaitu
“Ya Allah sebenarnya bukan ini yang aku inginkan, aku ingin berjihad
dijalanMu dengan melanjutkan sekolah disebuah pondok pesantren tapi ini
adalah sebuah pilihan yang harus aku jalani, jika ini jalan terbaik semoga
aku bisa menerimannya dengan ikhlas dan ringankanlah bebanku (titik
bening membasahi wajahnya)”
Ada seorang yang jika melihatnya menangis maka akan
menghiburnya orang yang sudah menganggapnya sebagai anak sendiri. Jika
ia dimarahi atasan maka orang itu akan menenangkannya. Orang itu selalu
memberi arahan dan tak pernah menolak hasil kerja keras eni seperti
teman –teman lainnya. Eni memanggilnya dengan sebutan paman.
Sedangkan paman itu sendiri memanggilnya dengan nama bungsu.
Ketika metting berlangsung dengan sengaja teman–teman bercanda
gurau meledek eni, sehingga supervisor memarahi eni karena perhatian
yang lain tertuju kepada eni, bagaimana tidak marah karena metting ini
sedang membahas bagaimana cara memperbaiki barang-barang yang
banyak sekali rejeckan dan lain sebagainnya malah dihiraukan oleh anggota
pekerjaannya. Satu jam metting berlangsung yang biasa dalam satu minggu
dua kali yaitu hari rabu dan jum’at.

16
Satu bulan bekerja akhirnya ia menerima gaji pertamanya yaitu Rp
900.000.00,- walaupun nominal ini sangat sedikit tapi sangat berharga
untuk eni. Setelah menerima gaji pertamanya ada salah satu temannya
yang meledeknya dan berkata “Bagaimana anak kecil seperti kamu bisa
mendapatkan gaji?” ledek temannya, sedang yang dibicarakan hanya
tersenyum ramah. Saat pulang kerja lagi-lagi ia menjadi orang pertama
yang langsung pulang tidak seperti teman lainnya yang hanya
menghabiskan waktu untuk hal–hal yang kurang berguna. Terkadang
sebagian dari temannya mengajak gadis itu untuk sekedar menikmati uang
gajian mereka, hanya saja gadis yang di panggil Eni menolaknya dengan
sopan.
Sesampai di rumah gadis yang berumur 16 tahun itu segera
memberikan uang gajiannya kepada mamanya, dengan hati bahagia penuh
sumringah dan seketika itu juga rasa bahagia itu pudar, karena mamahnya
menolak uang hasil jerih payahnya dengan alasan malu yang tidak bisa
memberikan sesuatu yang mesti di lakukan orang tua kepada anaknya,
malah sebaliknya.
Rasa sedih merambat sesal seakan sesuatu yang ia hasilkan tidak ada
gunanya, hingga beberapa jam kemudian gadis yang bernama Eni itu
mendengar bunyi-bunyian seperti listrik yang membutuhkan pulsa. Seperti
biasanya Aa’nya membelikan pulsa yang seharga sekitar 400,000 ribu.
Namun sekarang Aa’nya akan pulang tiga hari lagi, dalam keadaan gelap
tanpa cahaya.
Atas izin bapaknya, mamah Eni berbicara kepada Eni untuk
meminjam uang, seakan Eni orang asing, sedangkan gadis itu menginginkan
sebagai anak orang tuanya yang bisa membantu mereka, bukan untuk
dipinjamkan atau diganti. Hanya saja mamahnya bersih kukuh akan
menggantinya jika Aa’nya pulang nanti.
Saat Aa’nya pulang, mereka menyambutnya dengan gembira,
entahlah dengan gadis itu yang masih memikirkan tentang alasan mengapa
ia memilih bekerja bukan sekolah, yang kini telah ia jalani selama satu

17
bulan. Eni tak berani keluar sebelum dipanggil Aa’nya lantaran ia yang
masih takut, namun Aa’ nya mulai menyadari ketidak hadiran adeknya yang
biasa paling heboh menyambutnya dengan banyak hal yang diinginkan
entah itu oleh-oleh atau uang yang di bawa, dan bertanya sama mamahnya
semua baru terjawab saat mamahnya bercerita. Mau tidak mau Aanya
harus mengerti tidak bisa menyalahkan Eni atas keputusannya, sedikit
kecewa melihat eni tak melanjutkan pendidikannya padahal sudah
berusaha paya untuk membiayai Eni. Sebagai laki-laki Irpan sudah mencoba
memenuhi keinginan adek-adeknya tidak dengan Eni karena melampaui
batas. Irfan meminta maaf belum bisa menyekolahkan eni di pesantren,
tapi suatu saat ia berjanji untuk itu. “kalau mau kerja, kerja aja dulu”
katanya seperti itu. Dan Irfan saat ini hanya bisa meyuruhnya untuk bisa
menyisihkan uang gajiannya untuk bisa di tabung.
Semakin kesini gadis itu tidak betah karena supervaisor selalu
seenaknya menyuruh. Saat memotong tali yang sulit eni kerjakan dengan
model tengtop yang targetnya harus mencapai 900, dengan terburu-buru
dengan keadaan badan yang tidak bisa terkontrol tiba-tiba gunting
mendarat tepat menusuk ibu jari kakinya tembus kebawah melukai dengan
sedikit merobek kulitya, darahpun melebar memerah di lantai spontan ia
berteriak “aw”.
Asisten itu mendekati suara teriakan tersebut, yang dilihatnya adalah
gadis yang sudah ia anggap anaknya, langsung menangani dan
membawanya ke ruang klinik di obatinya dari mulai yang di basuh alkohol
hingga terbungkus kain kasa, dan menyuruhnya untuk istirahat.
Lagi-lagi gadis itu masih tetap memaksakan diri untuk kembali
ketempat kerjanya, untuk menuntaskan tugasnya yang banyak. Dengan
keadaan masih seperti itu ia mampu berjalan dengan memincang.
3 bulan sudah bekerja supervisiornya meminta dirinya untuk di
perpanjang. Dan merasa sudah lama gadis itupun mulai berani untuk sedikit
membantah kalau kerjaa nya tidak sesuai. Tidak terlalu dipikirkan soal
kerjaan saat ini bahkan kalau semisalnya dia kerja lembur teman-teman

18
mengerti akan dirinya yang membutuhkan istirahat. Menyuruhnya untuk
tidur sebentar di bawah meja bertumpukan bahan-bahan, sedikit melepas
dahaga, nanti akan membangunkannya kembali. Ia selalu ceritakan hal-hal
konyol di pabrik pada orang tuanya. Hingga tidak ada rasa khawatir lagi.
Rasa bosan ingin mencari pengalaman menyelinap di fikiran eni 7
bulan sudah bekerja. Mengalami banyak hal sampai demo naiki gajipun ia
pernah rasakan. Ia mulai bolos kerja dan memutuskan hari esoknya ia akan
berhenti dengan alasan istirahat.
I bulan istirahat Ia mulai melamar kerja kembali. Karena sudah
pengalaman kerja jadi ia tidak repot seperti baru pertamanya, diterima lagi
dan supervisoirnya sangat baik, atasan yang lainpun begitu. Atasan yang
paling gadis itu kagumi adalah pak dahlan yang membuat dirinya tergugah
lagi untuk melanjutkan keinginannya mondok. Dengan melihat pribadinya
yang selalu mengisi metting, berwibawa dalam segi berbicara. Tak cuman
itu ia juga sering berpapasan kalau di musollah dengan sapaannya yang
ramah tak pernah marah, nadanya pelan.
4 bulan sudah kerja di pabrik, Aa’nya yang menyuruh berhenti
memberitahukannya kabar gembira bahwa ia siap membiayai gadis itu
untuk pergi mondok ke pesantren yang ia mau, dan itu amat sangat jauh
dari kampung halaman. Tidak lain yang terinspirasi oleh “kaka guru” sejak
kelas 2 SMP.
Tetehnya sudah lulus dari SMK yang mau mulai kuliah dengan
beasiswa dan ayahnya sudah bekerja walau dengan modal pinjaman. Hari
liburan menjelang lebaran gadis itu memutuskan untuk berhenti kerja.
Allah menjawab doanya, sekaligus bekal disaat semangat ia di patahkan”.
###
Saat merasakan hidup jauh dari orang tua yang mengharuskan
bertahan kesempatan yang harus di syukuri, untuk menjalani dengan penuh
rintangan, tantangan-tantangan baru. Ia berperang dengan jalan hidup
sendirian menghancurkan tembok ketakutan untuk ijtihad menahan panah-

19
panah kepedihan gejolak hati meniti jalan serba-serbi, lika-liku kehidupan.
Tidak bisa membuat orang tuanya khawatir akan keberadaan Eni di sini
yang sering sakit atau mendapat masalah, Mencoba bersikap manis walau
sedemikian pahit hingga lelah itu sudah menghampiri puncaknya.
Beban berat karena kedudukan telah melemahkan kesadaran, yang
sebenarnya kehormatan adalah cobaan. Semangat itu menembus pedihnya
kehidupan. Hanya butuh keikhlasan menerima hidup ini apa adanya
memperbanyak syukur, bersandar kepada Allah dan yakin pada
pertolongan_Nya
Menjauhi keluhan, kesedihan, keterputusasaan, kerinduan, dan lain
sebagainya. Bahkan dibalik ini, ada sebuah cinta yang ia istimewakan oleh
gadis itu, hingga jauhpun tidak ada alasan untuk melupakan, karena sejarah
telah melengkapi hidupnya. Diam yang menjadi isyarat menyukainya.
terlalu istimewa untuk di ungkapkan kata-kata indahpun tidak ada yang
menyamai ke istimewaannya di hatiku ia selalu berkembang di hatiku
menumbuhkan rasa sayang ku semakin dalam. Semoga saja ia terjaga oleh
doa yang selalu ku panjat. Rasa serius yang tak pernah berpikir sementara
mengharapkan kekal. Aku memilihnya dengan rasa yang tak di undang dan
yang selalu ku gandengkan dengan doa, “Robbanaa hablana min azwaajina
wadzurriatina qurratu a’yun waj’alna lilmuttaqina imama”. Saat alam
berbeda yang ku pijak di atasnya Antara diriku denganmu, Jauh di pelasok
pulau madura aku berada.Dalam penjara suci ini aku terdiam dan
menahanSunyi, senyap, aku terpaku dalam sepi. Mencoba kuat dalam
mendaki cobaan hidup. Haruskah aku bangun dan bangkit mengakhiri kisah
pilu, segera.!
Berartikah sejarah ini? Mungkin akan ia lihat di kebelakangan hari.
Gadis yang membangun rasa, jadi ia harus kuat dan kokoh.
“Jika ia bukan jodohku, semoga apa yang ku rasakan selama ini ada
hikmahnya dibalik beban kehidupan, yang mengharuskan untuk bersabar,
semoga saja menjadi pupuk iman yang tertanam dalam diri yang tertahan.
Allah maha pengasih maha penyayang mengetahui segala sesuatu yang di
rencanakan, semoga saja ia menjadi kekasih Allah yang baik dan menyadari
ada dari hamba Allah yang tulus mencintainya”

20
Semoga cinta dalam diamnya tidak sia-sia, yang akhirnya orang yang
dicintai menyadari ketulusannya. (Pengorbanan hati) Tidak ada hubungan,
hanya terikat oleh doa. Tanpa banyak orang yang mengetahui lebih
tentangnya.
Ia akan bertemu dengan orang yang dicintainya, dengan perasaan
yang sama. 6 tahun telah menjaga perasaannya agar tetap terkendali, dan 4
tahun sudah gadis itu tidak pernah melihatnya. Sesuai yang ia harapkan
terkabulkan semuanya, kado terindah untuk kedua orang tuanya adalah ia
sebagai anak soleh dan hafidhoh. Sebaliknya kado terindah yang ia terima
adalah calon suami yang di idam-idamkan sejak SMP yang berbeda 6 tahun,
yang sudah menjadi Dosen dan pengusaha.
Banyak hal yang ingin ia sampaikan “subhanallah” ia berdoa semoga
semuanya menikmati sajian Allah di dalam kehidupan pesantren yang
mereka berada di dalamnya.
“Dream can take you anywhere cause dream like the air we can find anywhere
take the dream that can take you anywhere cause where’s there’s a will there’s
a way and where’s theren’t a will theresan’t a way”
Di lihat buku dairy yang lusuh tentang kehadirannya setiap saat
Malam memancarkan sinarnya, ketika bulan berseri di atas awan gelap
dengan ta’jubku bersuara, “subhanallah”. Alangkah indahnya malam ini
dengan menatap langit yang sama tanpa sadar ku bergumam “bagaimana
kabar mu disana?” seseorang yang ku istimewakan selain keluarga yang
hingga akhirnya entah apa yang sedang aku rasakan dengan timbul
bayangan di sudut imajinasiku. Memikirkannya tanpa alasan, dan
membuat terseyum memuja dalam bayangan sekilasku. Masih punya cinta
yang berbeda terhadapnya, mencitainya karena agama mengajarkan.
Tanpa ku sadari ku telah berpikir, berbicara tentang cinta.
Tepatnya ada di bawah gedung lantai sekolah tanpa beralas ku
duduk menyilang entah apa yang akan di kerjakan, melepas kesepian,
malam yang begitu sunyi berusaha menyenangi untuk bercakap dengan
mawar indah berwarna kuning “hai mawar cantik” dengan kelopak segar di
pandang “aku ingin memetikmu” tak ada jawaban hanya bergoyang di

21
terpa angin. Banyak sekali duri yang nampak di tangkainya, jika aku
memetiknya tanpa alas akan sedikit terluka.
Allah memang senantiasa menguji hambanya, tapi Allah tidak akan
membiarkan hambanya sendirian dalam menjalani ujian hidup. Allah akan
sedia menemani.
Seiring berjalannya waktu tak terasa ia akan berdiri di panggung
wisuda, yang menghadirkan keluarga tercintanya.
Sesungguhnya ia tak pandai merangkai kata, yang ia tulis hanya nyata
sekalipun derita fakta, namun itu dari hatinya mata yang membuatnya
sadar untuk bercerita mata hati melihat dari apa yang terjadi pada dirinya.

Formatted: Left, Indent: First line: 0"

22
Hidup yang menjangkitku

Mampu membuatku tertatih tak selera

Dan berpaling dari sang pencipta agung

Memberantas senyum dan tawa

Mengakhiri bahagia dalam gejora

Saat ku tulis cerita mungil ini

Bahagia itu tlah pudar tak bernuansa

Raga itu tlah kering tak tersisa

Kemana ku harus mencari jejak para syuhada’

Bila raga ini saja tak mampu tegak dengan gagah

Terkulai dalam lorong kesesatan

Menjelma menjadi monster yang mampu menguasai

Kejaman manusia darat

Ego ini terlalu besar untuk berangan-angan.

Wahai! Inilah aku dalam keadaan yang ronta

Ini semua karna garis-mu

Kau yang membuatku rapuh

23
Kau yang membuatku lemah

Tapi kenapa kau yang membuat semua ini indah

Menjadikan warna pelangi yang bermakna

Sungguh inilah janji-mu padaku

Kerikil seribu rintangan itu

Mematahkan kehidupan yang mengenaskan

Sehingga aku kembali bangkit dan tersenyum merekah.’S

Erren menghilang

24
Memorize this moment

“Tengteng...teng...“ Bunyi jaros telah berdencang keras, semua santri

wati lari berhamburan dari rayon ke kelas masing-masing. Riuh-rinai para

santri yang berlari seperti sekumpulan lebah tengah keluar dari sarangnya,

dan pengurus yang di panggil muallimah mulai menghitung satu sampai lima, Formatted: Indonesian

menggunakan bahasa ARAB, di pintu gerbang depan mushallah. Formatted: Indonesian

Sedang dua anak santri sibuk menata kasur dan bantal, untuk membuat

celah-celah di dalamnya,”RA..” Tutur salah seorang di antara mereka, kalap.

“Tenang saja, put ” Kata seorang yang di panggil Rafa, dengan senyum

tersungging meyakinkan. Mereka Pun tidak bicara lagi, setelah badan mereka

menyelusup ke celah-celah tumpukan kasur dan bantal, BERHASIL.

Pagi menyingsing, dan gelap yang membayang telah sirna, oleh mentari

yang baru saja bangkit di ufuk timur, sinarnya yang kemilau seperti panah Formatted: Indonesian

cahaya yang menerobos ke celah-celah jendela kelas, dalam waktu singkat.

Terdengar tawa di antara rafa bersama teman-temannya, setelah

menceritakan apa yang di lakukannya tadi malam,

“Pantas saja, tadi malam sepi “ Kata Coli yang dari tadi juga mendengarkan.

Dengan polos dan lugunya Syifa malah berkata,

“Emang kemana aja, Ra “Ucapnya lirih, sedang yang lain menatap Syifa heran,

padahal baru saja di ceritakan oleh Rafa. Formatted: Indonesian

25
“Kita ke planet mars , Syif “ Kata putri, geregetan.

“Apa, Syifa mau ikut “ Sergah Rafa mencoba bergurau.

“Di ajak mengubur Kok mau, sesak-sesakan dengan tumpukan kasur, loh” Kata

Coli, tertawa. Sedang Syifa hanya diam, seperti orang yang sedang linglung.

Biasanya bagi santri yang baru mondok di pesantren selalu mengeluh

atau merengek kepada orang tuanya, seperti meminta mainan baru, kepada

mereka. Dengan alasan yang dari dulu ga’ punah-punah, (Emang Denosaurus).

Pasti ga’ betah di pondok, dari mulai kegiatannya yang padat, seperti kegiatan

sekolah, jimbas, komdas, kompil, muajjah, bahkan untuk sholat berjamaah

saja, mesti di bel. Formatted: Indonesian


Formatted: Indonesian

Itupun yang di landa Rafa dan teman-temannya, kesedihan yang

melanglanya, membuat mereka gundah, hanya termangu dalam pikiran masing-

masing. Sekolahnya sulit, lulusnya rumit, dan butuh kesabaran untuk

menjalaninya, sebagai pengabdi masyarakat. Beda dengan kehidupannya di

pulau gili, untuk bertahan hidup, ia harus berjuang. Jika liburan tiba, Rafa

ikut bapaknya ke laut untuk mencari ikan, sebelum matahari muncul di ufuk

timur.

Kekaguman Rafa kepada orang tuanya, membuatnya menurut pasrah,

Ketika kedua orang tuanya memaksanya untuk mondok, terutama bapaknya, Formatted: Indonesian

walau ia belum mengerti Kenapa mesti di pesantren? Padahal ketika ia akan di

masukkan kepesantren, bapaknya menjual perahu satu-satunya milik mereka.

Dunia memiliki matahari hingga saat ini, beberapa sunset tersaksikan

dengan takjub, membentuk aksara penuh sastra. Sedang jaros terdengar

26
lantang dari sebrang mushallah, para santri wati bergegas masuk kemantiqoh

muharromah masing-masing, untuk menyambut sholat magrib.

Sebagian santri wati masih mengantri dengan antrean panjang di dapur

umum, sekitar jam Empat telah berlalu, ta’jil pun habis di bagi-bagikan, tidak

sedikit para santri yang belum mendapatkan bagian ta’jil, termasuk Rafa. Formatted: Indonesian
Formatted: Indonesian
Sedang matahari mulai kabur untuk mengambil waktu peristirahatan, hanya

mencoba pasrah dalam raut muka kecewa, sehingga terbesit ide.

“AROFA!“. Terdengar suara muallimah nisa, yang melengking keras

memanggilnya. Serontak membuatnya kaget, Rafa berbalikkan badan Formatted: Indonesian

kebelakang menghadap muallimah nisa yang terkenal galak dan garang

seantoro pondok, mungkin karna jabatannya yang menjadi Koor Mahkamah,

juga sebagai kepercayaan para nyai. Formatted: Indonesian


Formatted: Indonesian

Rafa hanya tersenyum kalap, celingukan pura-pura tidak mendengarkan

panggilan muallimah nisa.

“limadza Anti, huna? Anti, tidak mendengar bunyi bunyi jaros, ya!” Tanya

muallimah nisa serius.

“Ana, puasa kak! “ Kata Rafa berusaha tenang, sambil menampakkan muka

memelas penuh harap

Kemudian berucap “Di dapur kehabisan ta’jil kak!” Berusaha menjelaskan,

sementara tangannya terangkat, bukti tidak mendapatkan apa-apa, dalam

gemetar yang sangat tanpak. Sepertinya muallimah nisa mengerti tentang ke

inginannya, masa’ ia tega membiarkan santri berbuka tanpa ta’jil, gumam Rafa
Formatted: Indonesian
dalam hati kala itu, dan ternyata benar muallimah nisa mengizinkannya walau Formatted: Indonesian
Formatted: Indonesian
hanya Lima menit untuk beli ta’jil, HORE.
Formatted: Indonesian

27
Hari telah berlalu dengan cepat, matahari yang bersinar hingga di

ujung tombak, seperti cahaya yang menembus kegelapan, setelah jam

sebelumnya pelajaran insya’ yang membuat para santri serasa di penjara,

kenapa tidak! setiap kali pertemuan, harus membuat cerita menggunakan Formatted: Indonesian

bahasa Arab, atau mengisi soal yang membosankan sehingga tidak jarang para

santri wati mendapat ASHLIHI.

Setelah pergantian jam pelajaran seorang Ustad yang kocak masuk

kelas mereka, membuat para santri itu tersenyum bahagia.

“QIYAAMAN” Suara ketua kelas terdengar melengking keras,

serontak santri yang lain berdiri dengan reflek, ustad Rahman pun masuk dan

menyuruh para santri untuk duduk setelah pembacaan do’a selesai.

“Toyyib Akhwati, materi kita kali ini adalah membuat pantun” ucapnya dengan

logat yang khas Ala madura. Sedang para santri hanya menyimaknya dengan

sunyi, sementara Rafa menyoret-nyoret bukunya, terlihat mengutarakan

senyum sendiri, setelah ustad Rahman menjelaskan beliau menyuruh santri

untuk membuat pantun.

“Ana Ustad” Teriak Rafa dengan senyum aneh dan langsung mengangkat

tangannya tinggi-tinggi, baru kalinya ia mau mengerjakan soal dengan cepat.

“Ngga’ salah, kamu mau membaca pantun” Tanya putri heran.

“Tenang saja, put” Ungkap Rafa, setelah ustad Rahman berkata

TAFADDHOLII. Rafa sedikit menarik nafas panjang-panjang lalu membaca

pantunnya.

“ANAK SEMUT SEDANG BERDENDANG

28
ITIK AYAM MEMBAWA LONTONG

SYIFA IMUT JANGAN DI PANDANG

BISA-BISA DIBAWA POCONG”.

Sepontan saja para santri tertawa terpigkal-pingkal saat Rafa

membaca pantunnya, ruangan mendadak ramai di penuhi dengan tawa. Namun

hanya satu santri yang dari tadi hanya diam, tidak tersenyum apalagi tertawa,

Syifa hanya melihat sinis ke arah Rafa.

“Mana ada pantun semacam itu, Ra” Kata Putri heran, ketika Rafa telah duduk

disampingnya dengan raut wajah senang.

“kamu belum tahu, ya. Pantun ini sudah di angkat ke layar HUTAN loh” kata

Rafa tertawa.

“Pantas saja seram, ternyata ada pertunjukan di HUTAN, ya” Ujar Coli Formatted: Indonesian

menimpali, Mereka tertawa kembali, setelah ustad Rahmanpun pergi, meski Formatted: Indonesian
Formatted: Indonesian
mereka tidak paham dengan perkataan Coli yang sering melenceng. Formatted: Indonesian
Formatted: Indonesian
Suhu panas tertancap nyata, membakar kulit, kerontang mengukir Formatted: Indonesian
Formatted: Indonesian
segala tempat. Para santri wati beranjak pulang setelah jaros berbunyi Formatted: Indonesian

lantang. Namun semua harus berubah ketika terdengar sebuah kabar. Rafa

harus pulang,ia berjalan dengan bersusah payah, tak pelak setelah ia sampai

di rumahnya, sehabis deru mesin perahu yang seperti membatoknya, ia harus

mendengar sebuah kabar tentang kepergian.

Rafa hanya berdiri mematung di tengah ruangan sempit yang ramai,

bapaknya telah pergi untuk selamanya, terdengar tangis dan raut sedih

memukau, seakan memekakkan gendang telinga, ketika melihat sosok

29
pahlawannya yang terbujur kaku tak bernyawa, saat itu juga membuatnya

terkulai lemas tak berdaya, perih yang merambat hingga terhujam kuat

kedasar hati, kakinya pun kebas dan ngilu seperti manusia kehabisan darah.

Semenjak itu ia bagai hujan lebat yang di muntahkan secara tiba-tiba,

deras mengguyur bumi, meningkahi setiap jengkal tanah, helai daun-daun. Formatted: Indonesian

Bumi yang mengering seketika basah oleh tangisan yang tak kunjung reda,

rintihan lembut dan isak tangis tertahan disaat Rafa mencoba untuk

mendekati lelaki yang terbaring kaku.

“Bapak telah pergi “ Ucapnya dengan suara tercegat tak terdengar, entahlah

dengan emmaknya atau saudara lelakinya ia tak tahu.

Setelah pemakaman bapaknya, Rafa tidak lagi keluar, ia mengurung diri

di kamarnya, sesekali emmaknya menengok, menyuruhnya untuk ihklas dan

bersabar. Tanpaknya, emmaknya sudah menerima kepergian bapaknya, tidak Formatted: Indonesian

dengan Rafa baginya itu terlalu cepat.

Hingga ia menuliskan puisi untuk bapaknya:

Puisi untuk bapak.

Saatku tulis puisi ini, raga itu telah pergi jauh tanpa sisa

Keringat itu telah kering tanpa asa

kenangan yang mengeja butiran sang embun

menguap tak berdaya

hari-hari beratmu tak pernah membuatmu berkeluh kesah

30
tak terhitung peluh yang mengalir membasahi baju liris-liris ke

sukaanmu

yang telah terkoyak di bagian lengan

wahai... kehidupan ini memang tak abadi

namun waktu yang cepat bagai ujung bilah ke gelapan

yang mampu menjadi nahkoda tuk arungi kehidupan

demi anak ciptaan tuhan!. Kedua bahumu terbentang nyata

menyayangiku

tanganmu menyergap banyak beban

walau sering, aku tak pernah menghargai jerih payahmu..

“DHET...DHET..DHET DHET DHET.. “Perahu pun berangkat membawa

Rafa menuju pulau pesantrennya, di pulau SUMENEP. Setelah perahu di

hidupkan oleh pak joko, bau solar pun menyergap membuat mual, dengan

perahu yang hanya bermuatan sekitar lima belas orang dewasa, membuat

perahu yang di cet hijau tua terasa sesak di penuhi para penumpang, walau

berat akhirnya Rafa terpaksa kembali ke pesantren, demi orang tuanya.

Sesampai di pesantren Rafa hanya diam menuju kamarnya, ia tidak

menghiraukan pembicaraan teman-temannya, walau Coli dan teman-temannya Formatted: Indonesian

mencoba menghiburnya, Rafa tetap diam tidak banyak bicara.

Matahari mulai tenggelam di balik selubung cakrawala, terang

berangsur bertukar dengan gelap, pesantren Al-Huda pun segera larut dalam

dekapan malam, sayatan dalam do’a yang mencoba menikam jantung langit. Dan

31
di titik inilah ujian keimanan tanpak dalam sujud panjang, sepercik ungkapan

rindu yang akan tersampaikan, ketika benar-benar mengadunya hanya kepada

yang MAHA dari segala yang MAHA.

Sebuah pesan dari bapaknya, yang di lontarkan ketika akan

masuk pesantren.

“Nak, dalam islam tak penting sekeren apapun fisik seseorang,

yang di ukur, yang mendapat tempat di sisi ALLAH, adalah siapa

yang mampu menjadi hambanya yang bertaqwa,” Tutur bapaknya kala

itu. Linangan air mata pun membasahi pelupuk matanya, ia sesenggukan

meratap dengan sangat, menyesali apa yang sudah terjadi, dan sekarang Rafa

mengerti kenapa bapaknya memaksanya untuk sekolah di pesantren, bapaknya Formatted: Indonesian

ingin ia sebagai pangabdi masyarakat.

“Ra,” terdengar suara yang mengagetkan Rafa dari belakang.

“Syif, kamu belum tidur” tanya Rafa, sambil menghapus air matanya, Syifa

mendekatinya dan memeluknya .

“Ra! yang ihklas, kita semua ngga’ ingin keadaanmu kayak gini terus”sementara

Putri dan Coli menyusul syifa, mereka berpelukan.

“Makasih semua, dan maaf banget buat Syifa, aku ngga’ sengaja buat pantun

waktu itu, aku hanya asal.” Elak Rafa tulus.

“kamu masih ingat Ra, aku sudah maafin kok, santai aja”

“Kayak kita ngga’ kenal kamu saja.” Ujar Coli mencoba memecahkan

keheningan.

32
“kita ngga’ mau pondok ini, kayak kuburan, Ra.” Terang Coli mengingatkan

kembali kebiasaan nakal mereka.

“Bantu aku untuk berubah, ya.” Ujar Rafa.

“Pasti” kata mereka hampir bersamaan.

1 tahun telah berlalu kisah lama telah menjadi sejarah, tidak ada

kesalahan yang tidak bisa di maafkan.

Seorang gadis kecil yang mungkin bisa dibilang nakal, Rafa kecil yang

dekat sekali dengan bapaknya, ia sering di ajak pergi kemana-mana, mungkin

dari itulah Rafa yang berusia dua belas tahun menjadi liar tidak bisa diam, Formatted: Indonesian

ketika ia di mondokkan. Jika dia diberi kitab suci Al-Qur’an oleh mamaknya

Rafa langsung lari, seorang Ustad di mushallah sudah mencoba mengajarinya, Formatted: Indonesian

tapi gadis kecil itu tak mau patuh.

Hanya kepada bapaknya ia mau patuh, dan mau mendengar. Sayangnya

bapaknya jarang sekali di rumah lantaran merantau menjadi nelayan. Sejak

itulah ia menjadi liar, tidak mau menurut sama sekali apalagi membantu

pekerjaan mamaknya, selalu lari entah kemana mamaknya telah payah untuk

mendidiknya.

Mengapa seperti ini. Tuhan! apa karena aku yang nakal, Engkau marah Formatted: Indonesian
Formatted: Indonesian
terhadapku, sehingga bapak yang kau ambil, untuk selamanya. Separuh jalan

yang terbentang, hanya selangkah aku sampai, namun aku harus tertinggal,

karna aku tak becus menjadi hamba yang bisa di harapkan.

Tuhan! tolong jangan hilangkan dia, dalam sujud ku berdo’a, menyiram

ke angkuhannya yang tersesat, mungkin dulu aku hanya berjalan tanpa

33
koridor-koridor syari’at islam yang suci, mungkin juga aku tidak berbeda,

seperti orang yang berjalan di atas orang-orang fasiq itu.

Mungkin hanyalah harapan yang mustahil, jika ku harapkan kembali

keberadaannya, sejarah itu telah usai oleh waktu, dengan wajah masa yang

baru. Kesadaran ini telah terlambat, jika ku tunjukkan pada bapak, bahwa aku

telah berubah.

Rafa diam sejenak, lalu menoleh keasal suara itu, ketika ia mendengar

namanya di panggil. Ia berjalan kearah panggung seraya melihat kearah

mamaknya, ia tak percaya apa yang telah ia lakukan sebelumnya, ketika sampai

didepan panggung ia tersenyum hormat pada pengasuh pondok Al-huda atas

penghargaan yang ia dapatkan.

Mungkin sebuah piala kecil tak berharga pada mereka yang selalu

memperolehnya, namun sebaliknya rasanya Rafa ingin sekali loncat dengan

girang dan teriak sepuasnya, menatap benda mungil itu dengan takjub. Hidup

itu memang terlalu indah, terlalu nikmat untuk di hancurkan dengan petaka

dan ratap tangis atas sesuatu yang memang tak dapat diubah atau usaha yang

pada mulanya mesti diperjuangkan, mesti dipertahanka dengan bijak. Hingga

keramaian dan kebersamaan memadu syahdu pada keberhasilan yang pada

akhirnya menuai perpisahan saat moment itu tercatat 18 Mei 2017 pada

sejarah yang terganti sudah, dalam akhir wisuda.

Hanya saja sesuatu yang teriring dengan air mata itu tak dapat di

hindar lagi, Rafa menahan tangis agar tak tertumpah seperti sobat karibnya

(Coli, Putri, dan Syifa) membendung sedih seraya pamit kepada sobat-

34
sobatnya. Mengamit tangan mamaknya dan beranjak kembali ketempat

lahirnya.

Teringat kembali sebuah pesan dari bapaknya, kala ia mendengar

sambutan dari presiden turki, bapak Erdogan di radio. sehingga membuatnya

bertanya sampai saat ini, ia belum mengerti benar.

“Rafa, cobe’ abhes oreng-oreng e sekitarra be’en,” tutur

bapaknya tanpa melirik kearah Rafa di sampingnya, kemudian

melanjutkan”Aroa ajuang benne keng terro dheddhiye pahlawan, tape

generasi ghode kodhu ajuang agi ka ommat, pakoat niatta be’en,

jereya se bhekal ngello’ semangatta be’en.” Tuturnya sangat sederhana. Formatted: Indonesian

Hanya saja waktu itu ia mencampakkan begitu saja nasehat bapaknya,

kini telah memasuki masa lalu yang telah hilang dalam kenyataan, akan Formatted: Indonesian

sejarah. Namun tetap saja cinta itu telah menyinari hatinya, dan mampu Formatted: Indonesian
Formatted: Indonesian
membuatnya berubah dan bangkit kemudian melesatkan cita-cita orang

tuanya, cewek itu mulai mengerti mengapa orang tuanya memondokkannya,

yang rupanya mereka ingin anaknya sebagai abdi masyarakat. Dengan langkah

penuh percaya ia hentakkan kakinya mengintai semangatnya, berdiri tegak,

mengisi keheningan di depan orang banyak, melesatkan karya perubahan untuk

Agama dan Bangsanya.

35
Ashet Gilraj

Di penghujung tulisan
Sekilas tentang penulis:

Dini Haryanti dalam pena Erren menghilang, lahir di sukabumi cibadak 31 maret
1996, anak ketiga dari empat bersaudara, yang insyallah akan lulus dari P.P Al-mien,
mulai menulis sejak ia mau wisuda 2017.

Eviyatul siska dalam pena Ashet Gilraj, lahir di gili-raja, sebuah pulau dikawasan
lombang

Kabupaten sumenep, pada 06 April 1999. Mondok di TMI Al-mien

Prenduan sumenep.

Saran dan kritik dapat di alamatkan FB Erren menghilang

36

Anda mungkin juga menyukai