Anda di halaman 1dari 9

BAB III

ANALISA KASUS

Penderita dirawat di bangsal saraf RSUD Palembang Bari karena sulit


berjalan yang disebabkan kelemahan pada tungkai kanan dan lengan kanan yang
terjadi secara tiba-tiba. Menurut teori terdapat beberapa kondisi yang dapat
menyebabkan kelemahan yaitu infeksi, neurologi, endokrin, inflamasi,
rheumatologi, genetik, metabolik, disebabkan oleh elektrolit atau karena obat-
obatan. Pada orang dewasa, gangguan neurologi, infeksi, dan obat-obatan
merupakan penyebab tersering kelemahan.13

Gambar 3.1 Penyebab kelemahan otot akibat infeksi dan gangguan


neurologi13

Kelemahan yang memiliki onset akut paling sering disebabkan oleh adanya
stroke atau infeksi. Sedangkan kelemahan yang beronset akut dan fokal lebih sering
karena gangguan neurologi seperti stroke. Stroke menurut WHO adalah suatu tanda

83
84

klinis yang berkembang cepat akibat gangguan otak fokal atau global dengan
gejala-gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih dan cepat menyebabkan
kematian tanpa adanya penyebab lain yang jelas selain vaskulat. Stroke dengan
defisit neurologik yang terjadi tiba-tiba dapat disebabkan oleh iskemia atau
perdarahan otak.3,4
Sejak kurang lebih 2 jam sebelum masuk rumah sakit, saat penderita selesai
mandi dan ingin shalat ashar, tiba-tiba penderita mengalami kelemahan pada
tungkai kanan dan lengan kanan tanpa disertai kehilangan kesadaran. Kelemahan
yang terjadi tiba-tiba saat penderita beraktivitas mengarahkan pada kemungkinan
stroke yang disebabkan karena perdarahan. Baik itu perdarahan intraserebral
ataupun perdarahan subarachnoid. Aktivitas dapat menyebabkan peningkatan kerja
dari sistem saraf simpatetik, untuk memenuhi kebutuhan energi sehingga jantung
akan meningkatkan aktivitas dengan berkontraksi lebih kuat dan cepat untuk
mengalirkan oksigen lebih banyak sehingga akan terjadi peningkatan cardiac
output. Pembuluh darah perifer juga akan akan mengalami vasokontriksi untuk
meningkatkan resistensi tahanan perifer. Proses ini akan menyebabkan peningkatan
tekanan darah. Tekanan darah yang meningkat terus menerus ini dapat
menyebabkan kerusakan endotel sehingga menyebabkan pembuluh darah lebih
mudah untuk pecah bila tekanan darah meningkat terlalu masif.14
Saat serangan penderita merasa sakit kepala, tidak disertai mual dan muntah,
tanpa disertai kejang, tanpa disertai gangguan rasa pada sisi yang lemah, dan tanpa
disertai rasa baal, dan kesemutan. Gejala ini merupakan gejala klinis dari
peningkatan tekanan intrakranial. Hal ini menyingkirkan kemungkinan terjadinya
stroke yang disebabkan oleh stroke iskemik. Karena pada stroke iskemik jarang
terjadi peningkatan tekanan intrakranial. Nyeri kepala terjadi karena adanya dilatasi
vena intrakranium yang menyebabkan terjadinya traksi dan regangan struktur-
sensitif-nyeri dan regangan arteri basalis otak. Muntah terjadi karena adanya
stimulasi chemoreceptor trigger zone (CTZ) akibat proses edema yang terjadi
akibat perdarahan dari stroke.15
Tidak adanya kejang mengarahkan pada letak lesi kemungkinan bukan
terdapat di korteks serebri, karena pada lesi yang terletak di korteks serebri biasanya
terjadi kejang akibat aktivitas neuronal motorik berlebihan. Tidak ada gangguan
85

rasa pada sisi yang lumpuh menyingkirkan kemungkinan lesi di korteks serebri.
Karena pusat asosiasi somatosensori terletak pada korteks serebri sehingga bila
terdapat gangguan sensorik maka kemungkinan lesi di korteks serebri.2
Kelemahan pada tungkai kanan dan lengan kanan dirasakan sama berat,
kemungkinan lesi terletak di subkorteks serebri ataupun kapsula interna. karena di
tingkat kapsula interna kawasan serabut kortikospinal yang menyalurkan impuls
untuk gerakan tungkai dan lengan diperdarahi oleh satu arteri yang sama yaitu arteri
lentikulostriata, sehingga derajat kelumpuhan pada tungkai dan lengan sama berat.
Sehari-hari penderita bekerja menggunakan tangan kanan. Penderita masih
dapat mengungkapkan isi pikirannya secara lisan, tulisan, dan isyarat. Penderita
masih dapat mengerti isi pikiran orang lain yang diungkapkan secara lisan, tulisan,
dan isyarat. Hal ini menyingkirkan kemungkinan lesi di korteks serebri yang dapat
mempengaruhi pusat bicara di area Broca dan Wernicke yang terdapat pada
hemispher dominan. Area Broca sendiri merupakan pusat bicara motorik yang
terletak pada lobus prefrontal, sedangkan area Wernicke merupakan pusat sensorik
dari bicara pada lobus temporalis.2
Saat berbicara mulut penderita mengot dan bicara pelo. Hal ini menunjukkan
bahwa pada kasus ini terdapat lesi pada nervus fasialis (N.VII) dan nervus
hypoglossus (N.XII). Hal ini juga menunjukkan bahwa kemungkinan lesi terletak
pada kapsula interna, di mana kapsula interna menyalurkan impuls untuk gerakan
otot wajah dan pergerakan lidah.
Saat serangan penderita tidak mengalami jantung yang berdebar-debar
disertai sesak napas. Hal ini menunjukkan bahwa kemungkinan stroke pada kasus
ini tidak disebebakn oleh emboli serebri, karena pada stroke emboli serebri terjadi
karena adanya gumpalan darah atau bekuan darah yang berasal dari jantung,
kemudian menyumbat aliran darah otak. Bekuan darah dari jantung ini biasanya
terbentuk akibat kelainan irama jantung, kelainan otot jantung, dan infeksi di dalam
jantung.7
Penderita sering mengeluh sakit kepala bagian belakang yang timbul pada
pagi hari dan berkurang pada malam hari. Riwayat darah tinggi ada sejak ±5 tahun
yang lalu, penderita tidak rutin mengonsumsi obat darah tinggi, obat hanya
dikonsumsi jika keluhan sakit kepala dirasakan sangat berat. Penderita memiliki
86

riwayat merokok ±8-10 batang setiap hari sejak ±30 tahun lalu. Riwayat kencing
manis tidak ada dan riwayat trauma kepala tidak ada. Pada kasus ini, faktor risiko
terjadinya stroke adalah hipertensi. Hipertensi dapat menyebabkan perubahan
struktur pembuluh darah serebral, perubahan aliran darah serebral, stres oksidatif,
peradangan, dan disfungsi barorefleks arteri. Barorefleks menjadi kurang peka
terhadap perubahan tekanan darah yang terjadi, sehingga dapat mempengaruhi
fungsi autoregulasi dari aliran darah otak. Ketika terjadi peningkatan tekanan darah
yang cepat dapat menyebabkan rupturnya pembuluh darah otak yang berakibat pada
terjadinya stroke perdarahan.16
Penyakit ini diderita untuk yang pertama kalinya. Prognosis pada kasus ini
lebih baik jika dibandingkan stroke yang berulang. Stroke berulang merupakan
penyebab penting kesakitan dan kematian yang tinggi sebanyak 1,2% sampai 9%.
Stroke berulang sering mengakibatkan status fungsional yang lebih buruk daripada
stroke pertama.
Berdasarkan hasil anamnesis didapatkan kemungkinan etiologi dari kasus
adalah stroke hemoragik. Hal ini juga didapatkan berdasarkan perhitungan skor
siriraj dan skor gajah mada yang menunjukkan hasil stroke hemoragik. Pada
pemeriksaan neurologi didapatkan kelainan pada hasil pemeriksaan nervus fasialis
dan nervus hypoglossus serta kekuatan otot lengan kanan dan tungkai kanan
bernilai 3, hipertonus, hiperrefleks pada refleks fisiologis. Hal ini terjadi akibat
kerusakan upper motor neuron. Hal ini sesuai dengan teori bahwa pada stroke
penurunan aliran darah serebral mengakibatkan defisit neurologi sehingga
mengakibatkan kerusakan neuron motorik yaitu pada kasus ini upper motor neuron.
Pada pemeriksaan CT-Scan ditemukan perdarahan intraserebral di capsula interna
kiri. Pada kasus terdapat hemiparese dextra, hemiparese ini terjadi kontralateral
dengan letak lesi.
87

3.1. Diagnosa Banding Klinis

LMN (Perifer) UMN(Sentral)/ Pada penderita ditemukan


FLAKSID SPASTIK gejala
Hipotonus Hipertonus Hipertonus
Hiporeflexi Hiperrefleks Hiperrefleks
Refleks patologis (-) Refleks patologis (+/-) Refleks patologis (-)

Atrofi otot (+) Atrofi otot (-) Atrofi otot (-)


Jadi, tipe kelemahan yang dialami penderita yaitu tipe spastik

3.2. Diagnosa Banding Topik


Lesi di subkorteks hemisfer serebri: Pada penderita ditemukan gejala:
- Defisit motorik - Hemiparese dextra tipe spastik
- Afasia motorik subkortical - Tidak ada afasia
- Kelemahan lengan dan tungkai sama - Terdapat kelemahan sama berat pada
berat lengan dan tungkai
Jadi kemungkinan lesi di subcortex cerebri dapat disingkirkan.

Lesi di korteks hemisfer serebri: Pada penderita ditemukan gejala:


- Defisit motorik - Hemiparese dextra tipe spastik
- Gejala iritatif - Tidak terdapat gejala iritatif berupa
kejang
- Gejala fokal (kelemahan lengan dan - Tidak terdapat gejala fokal berupa
tungkai tidak sama berat) kelumpuhan lengan dan tungkai yang
tidak sama berat
- Gejala defisit sensorik pada sisi yang - Tidak terdapat gejala sensorik pada sisi
lemah kanan
- Afasia motorik kortikal - Tidak ada afasia motoric kortikal
Jadi kemungkinan lesi di korteks serebri tidak dapat ditegakkan.
88

Lesi di kapsula interna hemisfer: - Pada penderita ditemukan gejala:


- Gejala defisit motorik - Hemiparese dextra tipe spastik
- Parese N. VII - Terdapat parese N. VII tipe sentral
- Parese N. XII - Terdapat parese N. XII tipe sentral
- Kelemahan di lengan dan tungkai sama - Terdapat kelemahan di lengan dan
berat tungkai yang sama berat
Jadi kemungkinan lesi di kapsula interna dapat ditegakkan karena hanya memenuhi
4 penilaian.
Kesimpulan: diagnosa topik pada penderita lesi di kapsula interna hemispherium
cerebri.

3.3 Diagnosa Banding Etiologi


Diagnosis Banding Etiologi
1) Emboli Cerebri Pada penderita ditemukan gejala :
- Kehilangan kesadaran < 30 menit - Tidak ada kehilangan kesadaran
- Didahului jantung berdebar - Tidak terdapat jantung berdebar
- Terjadi saat aktifitas - Terjadi saat aktivitas
Jadi, kemungkinan etiologi emboli dapat disingkirkan karena dari 3 penilaian
tidak ada kriteria yang terpenuhi.
2) Trombosis serebri Pada penderita ditemukan gejala
- Tidak ada kehilangan kesadaran - Tidak ada kehilangan kesadaran
- Terjadi saat istirahat - Terjadi saat aktivitas
Jadi, kemungkinan etiologi trombosis dapat disingkirkan.
3) Hemorrhagic Pada penderita ditemukan gejala :
- Kehilangan kesadaran > 30 menit - Tidak ada kehilangan kesadaran
- Terjadi saat aktivitas - Terjadi saat aktivitas
- Didahului sakit kepala, mual dan - Didahului sakit kepala, tanpa mual dan
atau tanpa muntah muntah
- Riwayat Hipertensi - diketahui adanya riwayat hipertensi

Jadi, kemungkinan etiologi hemoragik dapat ditegakkan karena memenuhi 3 dari 4


kriteria.

Kesimpulan: diagnosa etiologi pada pasien adalah CVD hemoragik.


89

Selama dirawat di bangsal saraf RSUD Palembang Bari, Tn. S diberikana


perawatan dan juga obat-obatan berupa bed rest, O2 3 L/menit nasal canule, IVFD
RL gtt 20x/menit, Drip Nicardipin 2 ampul dalam 100 cc NaCl 0,9% 100 cc mulai
dari gtt 10x/menit (mikro) target tekanan darah sistolik 160 mmHg, Drip manitol
250 cc habis dalam 30 menit selanjutnya 4x125 cc, Inj. Citicolin 2x500 mg, Inj.
Ranitidin 2x1 ampul, Inj. Ceftriaxone 2x1 g i.v skin test, Inj. Asam tranexamat
3x500 mg, Candesartan 1x16 mg, Amlodipin 1x10 mg, Neurodex 1x1 tab, dan
Paracetamol 3x500 mg tab.
Nicardipin diberikan untuk menatalaksana hipertensi pada stroke akut, pada
pasien stroke perdarah intraserebral akut, apabila tekanan darah sistolik >200
mmHg atau Mean Arterial Pressure (MAP) >150 mmHg, tekanan darah diturunkan
dengan menggunakan obat antihipertensi intravena secara kontinu dengan
pemantauan tekanan darah setiap 5 menit. Pemakaian obat antihipertensi parenteral
golongan penyekat beta (labetolol dan esmolol), penyekat kanal kalsium
(nikardipin dan diltiazem) intravena, digunakan dalam upaya di atas. Penurunan
tekanan darah pada stroke akut dapat dipertimbangkan hingga lebih rendah dari
target di atas pada kondisi tertentu yang mengancam target organ lainnya. Target
penurunan adalah 15-25% pada jam pertama, dan tekanan darah sistolik 160/90
mmHg dalam 6 jam pertama.
Manitol diberikan untuk pengendalian peninggian tekanan intrakranial.
Manitol diberikan dengan dosis Manitol 0,25 – 0,50 g/kgBB, selama >20 menit,
diulangi setiap 4-6 jam dengan target ≤310 mOsm/L. Manitol bertujuan untuk
mengurangi tekanan intrakranial dengan cara mengurangi edema otak. Cairan
osmotik ini akan mempengaruhi osmolaritas tubuh, dengan membuat gradien
osmorik melewati sawar darah otak.
Citicoline diberikan untuk memperbaiki sel-sel saraf. Hal ini sesuai dengan
teori yang menyatakan bahwa citicoline diberikan untuk memperbaiki membran
saraf lewat sintesis fosfatidikolin dan perbaikan neuron kolinergik yang rusak
sehingga terjadi peningkatan pembentukan dari retikular dalam otak khususnya
pada aktivasi sistem retikuler asending yang erat kaitannya dengan tingkat
kesadaran pasien.
90

Gambar 3.2 Mekanisme kerja citicoline17

Injeksi ranitidin diberikan untuk profilaksis antagonis H2 reseptor untuk


mengurangi komplikasi sistemik akibat stroke termasuk perdarahan gastro
intestinal/stress ulcer. Pada Tn. S juga diberikan obat antihipertensi berupa
amlodipine dan candesartan. Polifarmasi antihipertensi ini sesuai dengan Pedoman
Tatalaksana Hipertensi pada Penyakit Kardiovaskular. Pada pasien hipertensi stage
2 tekanan darah ≥ 160/100 mmHg diberikan kombinasi antihipertensi golongan
CCB (Calcium Channel Blocker) atau Thiazide ditambah dengan ACE-i
(Angiotensin Converting Enzym-inhibitor) atau ARB (Angiotensin Reseptor
Blocker). Amlodipin merupakan dihidropyridine calcium channel antagonist yang
menghambat masuknya kalsium ekstraseluler menuju otot polos pembuluh darah
melalui blokade dari kalsium yang menyebabkan relaksasi dari otot pembuluh
darah yang menyebabkan penurunan tekanan darah. Dosis amlodipin pada pasien
dengan hipertensi adalah 5-10 mg/hari secara oral satu kali pemberian. Candesartan
merupakan obat golongan angiotensin reseptor bloker. Bekerja pada reseptor
angiotensin sehingga dapat menghambat efek dari angiotensin II yang
mengakibatkan tekanan darah menjadi turun dan meningkatkan pasokan oksigen ke
jantung. Dosis Candesartan pada kasus hipertensi adalah 16 mg/oral.
91

Neurodex diberikan sejak hari pertama perawatan hingga hari terakhir.


Neurodex penting diberikan pada pasien dengan kasus ini karena mengandung
suplemen vitamin B kompleks (vitamin B1, B6, B12) yang berfungsi sebagai
neurotropik (nutrisi sel saraf) untuk melindungi dan menjaga fungsi saraf. Asam
tranexamat merupakan golongn antifibnolitik, obat ini diberikan untuk
menghambat fibrinolisis dengan menggeser plasminogen dari fibrin sehingga
mencegah lisisnya bekuan darah, jadi mencegah terjadinya perdarahan berulang.
Prognosis stroke pada kasus ini adalah dubia ad bonam. Berdasarkan faktor
usia, jenis kelamin dan menilai dari faktor risiko pada pasien yaitu hipertensi,
apabila pasien ditatalaksana sesuai teori yang ada, prognosis pasien akan lebih baik.
Fungsi neurologik dan fungsi aktivitas hidup sehari-hari pasca stroke dapat pulih
dalam waktu yang bervariasi. Pulihnya pasien dari stroke biasanya masih terdapat
gejala sisa seperti kesemutan, baal, dll.
Edukasi yang dapat diberikan pada pasien adalah minum obat secara teratur
terkait dengan faktor risikonya yaitu hipertensi, pola makan yang sehat dengan diet
rendah garam, melakukan fisioterapi atau latihan dirumah secara teratur,
menghindari hal-hal yang dapat mencegah stroke berulang seperti minum obat
hipertensi secara teratur, dan pada keluarga diharapkan dapat memberikan motivasi
karena pada penderita stroke biasanya mengalami ketidakstabilan emosional.

Anda mungkin juga menyukai