Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

Stevens Johnson Syndrome (SJS) pertama diketahui pada 1922 oleh dua
dokter, dr. Stevens dan dr. Johnson, pada dua pasien anak laki-laki. Namun dokter
tersebut tidak dapat menentukan penyebabnya Stevens Johnson Syndrome
dijelaskan pertama kali pada tahun 1922, Stevens Johnson Syndrome merupakan
hipersensitivitas yang dimediasi kompleks imun yang merupakan ekspresi berat
dari eritema multiforme. Stevens Johnson Syndrome (SJS) (ektodermosis erosiva
pluriorifisialis, sindrom mukokutaneaokular, eritema multiformis tipe Hebra,
eritema multiforme mayor, eritema bulosa maligna) adalah sindrom kelainan kulit
berupa eritema, vesikel, bula, dapat disertai purpura yang mengenai kulit, selaput
lendir orifisium, dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari baik sampai
buruk.1

SJS merupakan reaksi mukokutaneus akut yang mengancam jiwa berupa


nekrosis yang ekstensif dan lepasnya epidermis. SJS ditandai dengan adanya
makula eritem yang luas atau lesi target atipikal dan erosi membran mukosa yang
berat. Penyebab pasti dari Sindrom Stevens Johnson saat ini belum diketahui namun
ditemukan beberapa hal yang memicu timbulnya Sindrom Stevens Johnson seperti
obat-obatan atau infeksi virus. Mekanisme terjadinya sindroma pada Sindrom
Stevens Johnson adalah reaksi hipersensitif terhadap zat yang memicunya.2,3

Angka kejadian SJS di dunia diperkirakan sebanyak 1,2–6 kasus/juta


penduduk/tahun. SJS dapat terjadi pada berbagai usia, tetapi lebih sering terjadi
pada usia di atas 40 tahun. Prevalensi perempuan lebih banyak daripada laki-laki
dengan perbandingan 1,5:1. Di Indonesia sendiri tidak terdapat data pasti mengenai
morbiditas terjadinya Stevens Johnson Syndrome. Namun, berdasarkan data oleh
Djuanda beberapa obat yang sering menyebabkan SJS di Indonesia adalah obat
golongan analgetik/antipiretik (45%), karbamazepin (20%), jamu (13.3%) dan
sisanya merupakan golongan obat lain seperti amoksisilin, kotrimoksasol, dilantin,
klorokuin, dan seftriakson.1,4

Selain dari anamnesis dan pemeriksaan fisik, seluruh kasus yang


disangkakan SJS harus dikonfirmasi melalui pemeriksaan biopsi kulit untuk
histopatologi dan pemeriksaan immunofluoresence. Segera setelah diagnosis SJS
telah ditetapkan, tingkat keparahan dan prognosis penyakit harus ditentukan untuk
menentukan manajemen lebih lanjut. Untuk mengevaluasi prognosis pada pasien
SJS dapat digunakan sistem skor keparahan penyakit SCORTEN. Pasien dengan
skor SCORTEN 3 atau lebih harus dikelola di unit perawatan intensif jika
memungkinkan.1,5
BAB II
ISI

A. Definisi
Stevens-Johnson Syndrome atau sindrom Stevens-Johnson (SJS)
merupakan suatu penyakit akut yang dapat mengancam jiwa yang ditandai
dengan nekrosis dan pelepasan epidermis yang dikenal dengan trias kelainan
pada kulit vesikobulosa, mukosa orifisium dan mata disertai gejala umum
berat.6
Berdasarkan Dorland edisi 32 tahun 2012 SJS adalah kumpulan gejala
penyakit sebagai bentuk berat dari eritema multiformis. Dengan gejala
prodromal terkait patologi respirasi disertai ciri khas lesi pada kulit dan
mukosa. Lesi yang luas pada kulit dan oronasal, genital dan membran mukosa
menjadi makula dan nekrotik, krusta hemoragik pada bibir. Lesi okular seperti
konjungtivitis, iritis, keratosis dan perforasi kornea. Pulmo, kardia dan renal
dan sistem gastrointestinal dapat ditemukan kelainan, terkadang disertai
prognosis buruk.7
SJS adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh alergi atau infeksi.
Sindrom tersebut mengancam kondisi kulit yang mengakibatkan kematian sel-
sel kulit sehingga epidermis mengelupas dan memisahkan dari dermis.
Sindrom ini dianggap sebagai hipersensitivitas kompleks yang mempengaruhi
kulit dan selaput lendir. SJS adalah sindroma yang mengenai kulit, selaput
lendir orifisium dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari ringan sampai
berat. Kelainan pada kulit berupa eritema, vesikel, bula dapat disertai purpura.1
SJS adalah bentuk penyakit mukokutan dengan tanda dan gejala
sistemik yang parah berupa lesi target dengan bentuk yang tidak teratur,
disertai macula, vesikel, bula, dan purpura yang tersebar luas terutama pada
rangka tubuh, terjadi pengelupasan epidermis kurang lebih sebesar 10% dari
area permukaan tubuh, serta melibatkan membran mukosa dari dua organ atau
lebih.1
B. Epidemiologi
Angka kejadian SJS di dunia diperkirakan sebanyak 1,2–6
kasus/juta penduduk/tahun. SJS dapat terjadi pada berbagai usia, tetapi lebih
sering terjadi pada usia di atas 40 tahun. Prevalensi perempuan lebih banyak
daripada laki-laki dengan perbandingan 1,5 : 1. SSJ juga telah dilaporkan
lebih sering terjadi pada ras Kaukasia. Dengan tingkat kejadian yang lebih
rendah dilaporkan di Asia. Insidensi SSJ diperkirakan 2-3% per juta
populasi setiap tahun di Eropa dan Amerika Serikat. Di Amerika jenis obat
NSAID dan sulfonamide banyak ditemukan pada pasien yang mengalami
SSJ.1,3
Mortalitas tergantung dari luas area tubuh yang terlibat dan keadaan
lain yang menyertai, seperti infeksi sekunder dan sepsis. rerata kematian
pada SSJ adalah 5% - 12%, penyakit infeksius juga dapat berdampak pada
insidensi terjadinya TEN, yaitu pada pasien HIV dapat meningkat 100 kali
lipat dibandingkan populasi umum, dengan jumlah hampir 1 kasus/seratus
orang/tahun pada populasi HIV positif. Perbedaan regional pada peresepan
obat, latar belakang genetik dari pasien (HLA, enzim metabolism),
koeksistensi kanker, atau bersama dengan radioterapi dapat berdampak pada
insidensi SSJ dengan kematian lebih tinggi pada pasien kulit hitam, pasien
lebih tua, sepsis, dan infeksi HIV. adalah 23% pada enam minggu, 28%
pada tiga bulan dan 34% pada satu tahun. Bertambahnya usia, komorbiditas
yang signifikan, yang luasnya permukaan tubuh yang terlibat berkaitan
dengan prognosis yang buruk. Di Amerika Serikat, evaluasi dari kematian
menunjukkan resiko tujuh kali lebih tinggi pada orang kulit hitam
dibandingkan dengan kulit putih. Angka kematian SSJ dapat diprediksi
dengan penilaian prognostik SCORTEN.1
Berdasarkan data oleh Djuanda beberapa obat yang sering
menyebabkan SJS di Indonesia adalah obat golongan analgetik/antipiretik
(45%), karbamazepin (20%), jamu (13.3%) dan sisanya merupakan
golongan obat lain seperti amoksisilin, kotrimoksasol, dilantin, klorokuin,
dan seftriakson.1,4
Berdasarkan Jurnal Kedokteran Methodist pada tahun 2017 di
Indonesia, angka kematian di Rumah Sakit (RS) Dr. Kariadi Semarang
14,6%, RS DR. Soetomo Surabaya 5,1%, RS Dr. Sardjito Yogyakarta 7,0%
RS Wangaya Denpasar 9% dan RS Denpasar 20% sedangkan di RS Dr.
Cipto Mangunkusumo 4%. Laporan terakhir dari RS Dr. Saiful Anwar,
Malang 8,7%. Sedangkan di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo hanya 1%
(57 kasus).8

C. Etiologi
1. Obat
Obat merupakan penyebab utama SJS (50% - 80% kasus) dan
TEN (hingga 80% kasus); infeksi atau kombinasi infeksi dan obat, serta
keganasan juga dapat sebagai penyebab. Telah ditemukan lebih dari 100
jenis obat sebagai penyebab SJS atau TEN. Efek obat biasanya muncul
setelah 8 minggu pertama konsumsi obat, tergantung dosis. Antibiotik
paling banyak menyebabkan SJS/TEN. diikuti analgetik, obat batuk-
pilek, NSAID, psikoepileptik, dan antigout. Pada golongan antibiotik,
penisilin dan sulfonamid adalah yang paling sering, mencapai 26%
kasus. Sedangkan golongan antikonvulsan adalah fenitoin, lamotrigin,
karbamazepin, asam valproat, oxkarbazepin, dan barbiturat;
antikonvulsan dapat mencetuskan SJS dalam 60 hari pertama
pemakaian. Obat antiretrovirus sebagai penyebab SJS adalah nevirapin.
Beberapa obat yang juga telah dilaporkan menjadi penyebab SJS adalah
modafinil, allopurinol dosis lebih besar atau sama dengan 200 mg per
hari, mirtazapin, TNF alfa antagonis, kokain, sertralin, pantoprazol,
tramadol.11
Gambar. 1 Tingkatan obat yang memiliki resiko 11
2. Infeksi
Infeksi Infeksi adalah penyebab kedua tersering setelah obat.
Virus yang telah banyak dilaporkan sebagai penyebab SJS adalah:
Herpes simplex virus (19,7% kasus),4 cytomegalovirus, HIV,
Coxsackie virus, influenza, hepatitis, smallpox, dan mumps. Pada anak,
Epstein-Barr virus dan enterovirus mungkin juga menjadi penyebab.
Infeksi/bakteri yang dikaitkan dengan SJS adalah Streptokokus grup A
beta hemolitik, difteri, brucellosis, lymphogranuloma venerum,
mikobakteria, Mycoplasma pneumonia, rickets, tularemia, tifoid.
Infeksi jamur penyebab SJS adalah paracoccidiomycosis,
dermatofitosis, dan histoplasmosis. Sebagian besar pasien yang
didiagnosis SJS, dilaporkan mengalami infeksi saluran pernapasan atas
sebelumnya. 11
3. Genetik
Genetik Human leukocyte antigen yang diduga menjadi penyebab
SJS antara lain:3 „ HLA-B*1502, berkaitan dengan peningkatan risiko
terhadap karbamazepin, fenitoin, lamotrigin
- HLA-B*5802, berkaitan dengan peningkatan risiko terhadap
karbamazepin
- HLA-A*3101, berkaitan dengan peningkatan risiko terhadap
karbamazepin8
- HLA-B*5801, berkaitan dengan peningkatan risiko terhadap
allopurinol1
- HLA-B*44, ras putih yang memiliki gen ini lebih berisiko untuk
mengalami SJS
- HLA-A29, berkaitan dengan peningkatan risiko terhadap
sulfonamid
- HLA-B12, berkaitan dengan peningkatan risiko terhadap
sulfonamid dan NSAID
- HLA-DR7, berkaitan dengan peningkatan risiko terhadap
sulfonamid
- HLA-A2, berkaitan dengan peningkatan risiko terhadap NSAID
- HLA-A*0206, memiliki hubungan yang kuat dengan SJS dan
komplikasi pada mata
- HLA-DQB1*0601, memiliki hubungan yang kuat dengan SJS dan
komplikasi pada mata
- Beberapa jenis gen HLA tersebut berkaitan dengan peningkatan
risiko SJS jika terpapar dengan obat spesifik. 11
4. Keganasan
Keganasan terkait Karsinoma Penyakit Hodgkins, limfoma, myeloma,
dan polisitemia. 1
5. Idiopatik11
D. Manifestasi Klinis
Gejala awal SJS mungkin tidak spesifik dan termasuk gejala seperti
demam, mata menyengat dan ketidaknyamanan setelah menelan. Biasanya,
gejala-gejala ini mendahului manifestasi kulit oleh beberapa hari. Lokasi
awal keterlibatan kulit adalah wilayah presternal dari batang dan wajah,
tetapi juga telapak tangan dan kaki. Keterlibatan (eritema dan erosi) dari
bukal, alat kelamin dan / atau mukosa mata terjadi pada lebih dari 90% dari
pasien, dan dalam beberapa kasussistempernapasan dan pencernaan juga
dipengaruhi.1
Keterlibatan okular akibat timbulnya penyakit sering terjadi, dan
dapat berkisar dari akut konjungtivitis, edema kelopak mata, eritema, krusta,
dan okular debit, ke membran konjungtiva atau pseduomembrane
pembentukan atau erosi kornea, dan, pada kasus yang berat, untuk
cicatrizing lesi, symblepharon, forniks foreshortening, dan ulserasi kornea.1
Pada fase kedua, sebagian besar kawasan pelepasan epidermal
berkembang. Dengan tidak adanya pelepasan epidermal, pemeriksaan kulit
yang lebih rinci harus dilakukan oleh mengerahkan tekanan mekanik
tangensial pada beberapa zona eritematosa (Nikolsky sign).1
- SSJS - Surface area of epidermal detachment dibandingkan
dengan detached dermis iaitu sebanyak <10%.
- Sindron Steven Johnson dan TEN - Surface area of epidermal
detachment dibandingkan dengan detached dermis iaitu
sebanyak <10-30%.
- TEN - Surface area of epidermal detachment dibandingkan
dengan detached dermis iaitu sebanyak >30%.10
Gambar 2. Perbedaan SSJ, SSJ-TEN, TEN berdasarkan manifestasi klinis11

Adapun 3 kelainan utama yang muncul pada SJS, antara lain:


1. Kelainan pada kulit
Kelainan yang dapat terjadi pada kulit penderita sindrom
Stevens-Johnson, antara lain timbulnya ruam yang berkembang
menjadi eritema, papula, vesikel, dan bula. Sedangkan tanda
patognomonik yang muncul adalah adanya lesi target atau
targetoid lesions.c
Berbeda dengan lesi target pada eritema multiforme, lesi
target pada sindrom Stevens-Johnson merupakan lesi atipikal
datar yang hanya memiliki 2 zona warna dengan batasan yang
buruk. Selain itu, makula purpura yang banyak dan luas juga
ditemukan pada bagian tubuh penderita sindrom Stevens-
Johnson. Lesi yang muncul dapat pecah dan meninggalkan kulit
yang terbuka. Hal tersebut menyebabkan tubuh rentan terhadap
infeksi sekunder. 1
Pengelupasan kulit umum terjadi pada sindrom ini,
ditandai dengan tanda Nikolsky positif. Pengelupasan paling
banyak terjadi pada area tubuh yang tertekan seperti pada bagian
punggung dan bokong. Apabila pengelupasan menyebar kurang
dari 10% area tubuh, maka termasuk sindrom Stevens-Johnson.
Jika 10-30% disebut Stevens Johnson Syndrome – Toxic
Epidermal Necrolysis (SJS-TEN). Serta jika lebih dari 30% area
tubuh, maka disebut Toxic Epidermal Necrolysis (TEN). 1
2. Kelainan pada mukosa
Kelainan pada mukosa sebagian besar melibatkan mukosa
mulut dan esofageal, namun dapat pula melibatkan mukosa pada
paru-paru dan bagian genital. Adanya kelainan pada mukosa
dapat menyebabkan eritema, edema, pengelupasan, pelepuhan,
ulserasi, dan nekrosis. Pada mukosa mulut, kelainan dapat
berupa stomatitis pada bibir, lidah, dan mukosa bukal mulut.
Stomatitis tersebut diperparah dengan timbulnya bula yang dapat
pecah sewaktu-waktu. Bula yang pecah dapat menimbulkan
krusta atau kerak kehitaman terutama pada bibir penderita.
Selain itu, lesi juga dapat timbul pada mukosa orofaring,
percabangan bronkitrakeal, dan esofagus, sehingga
menyebabkan penderita sulit untuk bernapas dan mencerna
makanan. Serta pada saluran genitalurinaria sehingga
menyulitkan proses mikturia atau buang air kecil. 1
3. Kelainan pada mata
Kelainan pada mata yang terjadi dapat berupa hiperemia
konjungtiva. Kelopak mata dapat melekat dan apabila
dipaksakan untuk lepas, maka dapat merobek epidermis. Erosi
pseudomembran pada konjungtiva juga dapat menyebabkan
sinekia atau pelekatan antara konjungtiva dan kelopak mata.
Seringkali dapat pula terjadi peradangan atau keratitis pada
kornea mata. 1

Anda mungkin juga menyukai