Ihsanuddin-Fitk-Bab 2-5 PDF
Ihsanuddin-Fitk-Bab 2-5 PDF
KAJIAN TEORI
8
9
dengan cita-cita Islam, karena nilai-nilai Islam telah menjiwai dan mewarnai
corak kepribadiannya. Nur Uhbiyati menyatakan, Pendidikan Islam adalah
“suatau system pendidikan yang mencakup seluruh aspek kehidupan yang di
butuhkan oleh hamba Allah ”. oleh karena itu Islam mempedomani seluruh aspek
kehidupan manusia muslim baik di dunia maupun di akhirat.3
Sedangkan menurut Drs. Ahmad Marimba: pendidikan Islam adalah
bimbingan jasmani, rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju
kepada terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam. Dengan
pengertian yang lain sering kali beliau mengatakan kepribadian utama dengan
istilah kepribadian muslim, yaitu kepribadian yang memiliki nilai-nilai agama
Islam.4
Adapun menurut Dr. Ali Ashraf, pendidikan Islam, kata saya dalam kata
pengantar crisis in muslim education-(krisis dalam pendidikan Islam)-adalah
pendidikan yang melatih sensibilitas murid-murid sedemikian rupa, sehingga
dalam perilaku mereka terhadap kehidupan, langkah-langkah dan keputusan
begitu pula pendekatan mereka terhadap semua ilmu pengetahuan mereka diatur
oleh nilai-nilai etika Islam yang sangat dalam dirasakan.5
2. Dasar-dasar Pendidikan Islam
Dalam menetapkan sumber pendidikan Islam dikemukakan tiga dasar
utama dalam pendidikan Islam, adalah:
a. Al-Qur’an
Al-Qur’an sebagai kalam Allah SWT, yang telah diwahyukan kepada Nabi
Muhammad SAW bagi pedoman manusia, merupakan petunjuk yang lengkap
mencakup seluruh aspek kehidupan manusia yang universal yang mana ruang
lingkupnya mencakup ilmu pengetahuan yang luas dan nilai ibadah bagi yang
membacanya yang isinya tidak dapat dimengerti kecuali dengan dipelajari
kandungan yang mulia itu.6
3
Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam , (Bandung: Pustaka Setia, 1999), cet. 1, h. 12
4
Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1998), cet. 2, h. 5
5
Dr. Ali Ashraf, Horison Baru Pendidikan Islam(Putaka Firdaus1996), cet. 3 h.23
6
Manna Al-Qothan, Mabahis Fi Ulum Al-Qur’an, (Mesir: Mansyurat Al-Asyrul Hadits.
T.t), h. 21
10
7
Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqih, (Jakarta: Al-Majelis Al-A’la Al-Indonesia Li
Al- Dakwah Al-Islamiyah, 1972), cet. IX, h. 23
8
Samsul Nizar, Pengantar Dasar-dasr Pemikiran Pendidikan Islam,(Jakarta: Gaya
Media Pratama, 2001), cet. 1, h.97
11
9
Samsul Nizar, Pengantar Dasar-dasr Pemikiran Pendidikan Islam), cet. 1, 100
12
Dari berbagai rumusan di atas, terdapat beberapa tujuan yang asasi bagi
pendidikan Islam adalah sebagai berikut:
a. Tujuan umum, yakni tidak dapat dicapai kecuali setelah melalui proses
pengajaran, pengalaman, penghayatan dan keyakinan akan kebenaran.
b. Tujuan akhir, yaitu insan kamil yang mati dan akan menghadap
tuhannya merupakan tujuan akhir dari proses pendidikan Islam. Dalam
arti bahwa mati dalam keadaan muslim merupakan ujung dari takwa
sebagai akhir dari proses hidup yang pasti berisikan kegiatan
pendidikan.
10
Samsul Nizar, Pengantar Dasar-dasar Pemikiran Pendidikan Islam, h. 105
11
Samsul Nizar, Pengantar Dasar-dasar Pemikiran Pendidikan Islam, h. 106
13
c. Tujuan sementara ialah tujuan yang akan dicapai setelah anak didik
diberi sejumlah pengalaman tertentu yang direncanakan dalam suatu
kurikulum pendidikan formal.
d. Tujuan operasional yaitu tujuan praktis yang hendak dicapai dengan
sejumlah kegiatan pendidikan tertentu, yang menuntut kemampuan dan
keterampilan tertentu yang lebih ditonjolkan pada sifat penghayatan
dan kepribadian.12
Jelaslah bahwa tujuan pendidikan Islam lebih berorientasi kepada nilai-
nilai luhur dari Tuhan yang harus diinternalisasikan ke dalam diri individu anak
didik melalui proses pendidikan.
4. Metode Pendidikan Islam
Dari segi bahasa, metode berasal dari dua kata, yaitu kata “meta” yang
berarti melalui dan kata “hodos” yang berarti jalan, dengan demikian metode
berarti jalan atau cara yang harus dilalui untuk mencapai tujuan tertentu.13
Jalan mencapai tujuan ini bermakna ditempatkan pada posisi sebagai cara
untuk menemukan, menguji dan menyusun data yang diperlukan bagi
pengembangan ilmu atau tersistematisasikannya. Dengan pengertian tersebut
berarti metode lebih memperlihatkan sebagai alat untuk mengolah dan
mengemban suatu gagasan.
12
Samsul Nizar, Pengantar Dasar-dasar Pemikiran Pendidikan Islam, h. 112
13
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), cet.
Ke-1, h. 91
14
a. Keteladanan
Metode teladan atau pemberian contoh merupakan teknik pendidikan yang
efektif karena memberikan cukup besar pengaruh dalam mendidik, sehingga dapat
menterjemahkan dengan tingkah laku, tindak tanduk, ungkapan rasa dan pikiran,
sehingga menjadi dasar dan arti suatu metode. Dengan demikian, suatu
metodologi akan berubah menjadi suatu gerakan. Karena itulah, maka Allah
mengutus Nabi Muhammad SAW menjadi teladan untuk manusia. Dalam diri
beliau Allah menyusun suatu bentuk sempurna, yang mengandung nilai
paedagogis bagi kelangsungan hidup manusia. Seperti ayat yang menyatakan:
Artinya: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang
baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”. (Q.S. Al-
Ahzab: 21)
b. Metode Permisalan
Mendidik dengan menggunakan metode pemberian perumpamaan atau
metode imtsal tentang kekuasaan Tuhan dalam menciptakan hal-hal yang hak dan
hal-hal yang bathil, misalnya sebagai yang digambarkan Allah SWT dalam
firman-Nya sebagai berikut:
15
Artinya: “Allah telah menurunkan air (hujan) dari langit, maka mengalirlah air
di lembah-lembah menurut ukurannya, maka arus itu membawa buih
yang mengambang. dan dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api
untuk membuat perhiasan atau alat-alat, ada (pula) buihnya seperti buih
arus itu. Demikianlah Allah membuat perumpamaan (bagi) yang benar
dan yang bathil. adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu yang tak
ada harganya; adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia
tetap di bumi. Demikianlah Allah membuat perumpamaan-
perumpamaan”. (Q.S. Ar-Ra’d: 17)
c. Metode Motivasi
Yaitu metode yang bersifat mengajar tentang ciri-ciri orang yang beriman
dan bersikap serta bertingkah laku agar mereka dapat mengetahui bagaimana
seharusnya mereka bersikap dan bertingkah dalam kehidupan sehari-hari.
14
Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam 1, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), cet. Ke-2, h.
110
16
Metode tanya jawab sering digunakan oleh Rasulullah SAW dan para Nabi
dalam mengajarkan agama kepada umatnya. Bahkan para ahli pikir dan filosofpun
banyak mempergunakan metode tanya jawab ini. Oleh karenanya, metode ini
adalah yang paling tua dalam dunia pendidikan dan pengajaran di samping metode
ceramah. Namun efektifitasnya lebih besardaripada metode-metode yang lain,
karena dengan tanya jawab, pengertian dan pemahaman seseorang dapat lebih
dimantapkan, sehingga segala bentuk kesalah pahaman, kelemahan daya tangkap
terhadap pelajaran dapat dihindari.15
Artinya: “Dan kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki
yang kami beri wahyu kepada mereka; Maka bertanyalah kepada orang
yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui”. (Q.S. An-
Nahl: 43)
f. Metode Kisah-kisah
15
H. M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islm, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), cet. Ke-4, h. 70
17
diterapkan kapan dan di saat apapun.16 Metode ini juga dicontohkan dalam Al-
Qur’an surat Al-Qashash ayat76:
16
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), cet.
Ke-1, h. 97
18
17
H. M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam; Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan
Pendekatan Interdisipliner, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), cet. Ke-1, h. 30
18
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia(Jakarta: Hidakarya Agung
1979) cet ke-2 h.10
19
19
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia ke-2. h.11
20
kemudian kerajaan Islam Banten pada tahun 1550-1757 M, dan kerajaan Islam
Pajang pada tahun 1568-1586 M dan kerajaan Islam Mataram pada tahun 1575-
1757 M.20
membawa jiwa baru, semangat baru dan cara baru. Pondok-pondok itu didirikan
oleh Ulama besar Indonesia yang kembali dari Mekkah sesudah menunaikan
ibadah Haji dan bermukim disana bertahun-tahun lamanya menuntut ilmu Agama
dan bahasa Arab. Beliau-beliau itulah pembangun dan pembaru pendidikan
pesantren, yang tidak sedikit bilangannya.22
K.H. Hasyim Asy’ari membawa perubahan baru dalam pendidikan Islam
dari Makkah dengan membuka Pesantren Tebuireng di Jombang yang terkenal
sampai sekarang. Dalam Pesantren Tebuireng beliau mengajarkan ilmu-ilmu
agama dan bahasa Arab, mulai dari tingkatan rendah sampai tingkatan tinggi,
sehingga mengeluarkan alim ulama yang tidak sedikit bilangannya. Perubahan itu
berjalan lancar dan tak ada gangguan dari Belanda, karena hanya semata-mata
perubahan dalam ilmu-ilmu agama dan bahasa Arab saja dan tidak mencampuri
politik pemerintah. Padahal dalam ilmu Agama itu telah termaktub soal-soal
politik, sehingga akhirnya menggerakan umat Islam merebut kemerdekaan dari
penjajahan Belanda. Kemudian lahir perubahan baru dalam pendidikan Islam di
daerah-daerah lain.23
Pesantren Tebuireng didirikan pada tanggal 26 Rabiul Awal tahun 1899
M. Pondok Pesantren Tebuireng pada mulanya sederhana saja, sedangkan jumlah
santrinya yang pertama hanya28 orang. Kemudian makin lama, makin bertambah
ramai, akhirnya dibanjiri oleh murid-murid dari seluruh pulau Jawa dan daerah
lain.
Selain mengembangkan ilmu di pesantren Tebuireng maka K.H. Hasyim
Asy’ari membangun perkumpulan Nahdlatul Ulama, bahkan ia sebagi Syehul
Akbar dalam perkumpulan itu. Dengan usaha dan pengaruhnya Nahdlatul Ulama
menjadi bersemarak dan menjadi perkumpulan ulama yang terbesar di Indonesia.
Nahdlatul Ulama didirikan pada tanggal 16 Rajab 1344 H. (31 Januari
1926 M) di Surabaya. Menurut K.H. Hasyim Asy’ari Ahl al-Sunnah adalah
”ulama dalam bidang Tafsir Al-Qur’an, Sunnah Rosul, dan Fiqih yang tunduk
pada tradisi Rosul dan KhulafaurRasyidin.” beliau selanjutnya menyatakan bahwa
22
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, cet ke-2h.229
23
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, cet. Ke-2 h.231
22
24
Lathiful Khuluq, Fajar Kebangunan Ulama ,(Yogyakarta: LKiS 2001), cet 1, h. 46
25
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, cet. Ke-2 h.239-241
23
28
MT. Arifin, Gagasan Pembaharuan Muhammadiyah, h. 114
25
29
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, ke-2 h.268-269
BAB III
BIOGRAFI K.H. HASYIM ASY’ARI DAN K.H. AHMAD DAHLAN
A. K.H.HASYIM ASY’ARI
1. Sejarah Ringkas K.H. Hasyim Asy’ari
K.H.Hasyim Asy‟ari nama lengkapnya adalah Muhammad Hasyim
Asy‟ari ibn Abd al-Halim. Karena peran dan prestasi yang dicapainya ia
mempunyai banyak gelar, seperti pangeran Bona ibn Abd al-Rahman yang
dikenal dengan Jaka Tingkir, Sultan Hadi Wijoyo ibn Abdullah ibn Abdul Aziz
ibn Abd al-Fatih ibn Maulana Ishaq dari Raden Ain al-Yaqin yang disebut dengan
Sunan Giri.1
Ia lahir di Desa Gedang, Jombang Jawa Timur, pada hari selasa kliwon, 24
Dzulqoidah 1287 H. bertepatan dengan tanggal 14 Februari 1871, dan wafatpada
tanggal 35 juli 1947 pukul 03.45 dini hari, bertepatan dengan tanggal 7 Ramadhan
Tahun 1366 dalam usia 79 tahun.
2. Latar Belakang Pendidikan K.H. Hasyim Asy’ari
Semasa hidupnya, ia mendapatkan pendidikan dari ayahnya sendiri,
terutama pendidikan di bidang ilmu-ilmu al-Quran dan literatur agama lainnya.
Setelah itu Ia melanjutkan pendidikannya pada berbagai pondok pesantren
khususnya pada Pulau Jawa, seperti Pondok Pesantren Shona, Siwalan Buduran,
Langitan, Tuban, Demangan, Bangkalan, dan Sidoarjo. Selama pondok Pesantren
Sidoarjo, Kiai Ya‟qub yang memimpin Pondok Pesantren tersebut melihat
1
Abuddin Nata, Tokoh-Tokoh Pembaruan Pendidikan Islam Di Indonesia (Jakarta:Raja
Grapindo Persada 2005), h.113
26
27
2
Suwendi, Konsep Kependidikan KH. M Hasyim Asy’ari., (Jakarta: Lekdis, 2005), h. 16-17
28
3
H. Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam Di Indonesia., (Jakarta: Hidakarya
Agung, 1979),cet ke-2 h. 234
4
Suwendi, Konsep Kependidikan KH. M Hasyim Asy’ari, h. 29-30
5
Lathiful Khuluq, Fajar Kebangunan Ulama, (LKiS Yogyakarta, 2000), h. 41
29
a. Mengajar
Mengajar merupakan profesi yang ditekuni Hasyim Asy‟ari dari sejak
kecil. Sejak masih di pondok pesantren ia sering dipercaya oleh gurunya
menngajar santri-santri yang baru masuk. Bahkan, ketika di Makkah ia membantu
ayahnya mengajar dipondok ayahnya, Pondok Nggedang.
b. Mendirikan Pondok Pesantren
Kehidupan Kiai Hasyim Asy‟ari banyak tersita untuk membina santri-
santrinya itu. Biasanya ia mengajar sejam sebelum dan sejam setelah shalat lima
waktu. Ia terbiasa mengajar sampai larut malam. Pada bulan Ramadhan ia
30
mengajar hadis Bukhori dan Muslim yang diikuti oleh santri dari berbagai
pesantren untuk mendapat ijazahnya. Demikianlah kerja rutin Hasyim Asy‟ari.
Seluruh waktunya untuk aktivitasnya agama dan ilmu.
c. Mendirikan Organisasi
Untuk berjuang untuk mewujudkan cita-citanya termasuk dalam bidang
pendidikan, diperlukan adanya wadah berupa organisasi. Untuk tujuan tersebut,
maka pada tahun 1926 ia bersama dengan K.H. Abdul Wahab Hasbullah dan
sejumlah ulama lainnya di Jawa Timur mendirikan Jamaah Nahdlatul Ulama
(NU). Sejak awal berdirinya Hasym Asy‟ari dipercaya memimpin organisasi itu
sebagai Rois Akbar. Jabatan ini di pegangnya beberapa periode kepengurusan.
Pada tahun 1930, dalam muktamar NU ke-3 Kiai Hasyim Asy‟ari
menyampaikan pokok-pokok pikiran mengenai organisasi NU. Pokok-pokok
pikiran inilah yang kemudian dikenal dengan qonun asasi (Undang-undang dasar
Jamiah NU). Intisari dari qonun asasi itu mencakup: (1) Latar belakang berdirinya
Jamiah NU, (2) hakikat dan jati diri NU, (3)potensi umat yang diharapkan akan
menjadi pendukung NU, (4) perlunya ulama bersatu (ijtihad), saling mengenal
(ta‟aruf), rukun bersatu (ittihad), dan saling mengasihi satu sama lain (ta‟aluf)
didalam satu wadah yang dinamakan NU, dan (5) keharusan warga NU bertaqlid
pada salah satu madzhab yang empat.6
6
Abuddin Nata, Tokoh-tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, h. 121-123.
7
H. Suja, Muhammadiyah dan Pendirinyaa, cet. Ke-2, h. 6.
31
8
Weinata Sairin Mth., Gerakan Pembaruan Muhammadiyah, (Jakarta, P;ustaka Sinar
Harapan, 1995), Cet. Ke-1, h. 38.
32
batastata nilai yang khusus yaitu ketaatan yang tinggi terhadap keyakinan
beragama, dan secara fisik daerah tersebut dibatasi oleh pagar-pagar tembok atau
bangunan permanen yang yang memisahkannya dengan daerah luar.
Muhammad Darwis dibesarkan dalam lingkungan masyarakat kauman,
karena itu ia sangat dipengaruhi oleh tradisi social daerah tersebut. Pengaruh itu
Nampak dari kebiasan-kebiasannya yang ulet dalam memperdalam pengetahuan
keagamaan sejak mulanya. Hal ini dimulai dari pendidikan yang ditempuh serta
anggapan yang melatarbelakangi pendidikan tersebut.
Di masyarakat kauman khususnya ada pendapat umum bahwa barang
siapa yang memasuki sekolah gubernur dianggap kafir atau Kristen. Anggapan ini
sesungguhnya bukan hanya dilandasi oleh pola fikir apriori yan menggambarkan
kebencian terhadap penjajah melainkan pula dilandasi oleh kesadaran bahwa
penjajah Belanda adalah musuh umat Islam daerah kesultanan Yogyakarta.
Karena tu, maka dapat dipahami bahwa prasangka terhadap model-model
kehidupan yang berkaitan dengan system kehidupan penjajah dianggap sebagai
suatu sikap kompromi dengan bagian dari identitas penjajah, termasuk dalam
system pendidikan.9 Oleh karena itu, ketika menginjak usia sekolah, Muhammad
Darwis tidak disekolahkan melainkan diasuh dan dididik mengaji Al-Qur‟an dan
dasar-dasar ilmu Agama Islam oleh Ayahnya sendiri di rumah. Pada usia delapan
tahun ia telah lancer membaca Al-Qur‟an hingga khatam.
2. Latar belakang pendidikan K.H. Ahmad Dahlan
Muhammad Darwis dalam mengecap pendidikan tidak secara formal,
bahkan Muhammad Darwis tidak menuntut ilmu dalam system pendidikan
colonial namun tidak berarti Darwis tidak menuntut pengetahuan. Sebagai
alternative, oleh ayahnya ia dididik sendiri melalui cara pengajian, yaitu
pendidikan dasar keagamaan yang diberikan secara individual dengan menirukan
kalimat-kalimat atau bacaan yang diajarkan oleh ayahnya.
Pada abad ke-19 memang berkembang suatu tradisi mengirim anak kepada
guru untuk menuntut ilmu. Pada masa itu menurut Steenbrink ada lima kategori
9
MT. Arifin, Gagasan Pembaharuan Muhammadiyah, (Jakarta:Dunia Pustaka, 1987), h.
77.
33
guru: guru ngaji Al-Qur‟an, guru kitab, guru tarekat, guru ilmu gaib dan guru
yang tidak menetap disuatu tempat.10 Dari kelima kategori tersebut Darwis belajar
Al-Qur‟an kepada ayahnya sendiri, sedang ia mengaji kitab kepada guru yang lain
seperti ia belajar fiqih (hukum Islam) kepada K.H. Muhammad Shaleh, dan
Nahwu (sintaksis bahasa Arab) kepada K.H. Muhsin. Keduanya adalah kakak Ipar
Muhammad Darwis sendiri. Ia juga berguru kepada K.H. Muhammad Nur, dan
K.H. Abdul Hamid dalam berbagai ilmu.
Dengan mempelajari ilmu-ilmu tersebut maka Darwis telah memasuki
suatu system pendidikan Islam tradisional yang berlangsung pada zaman itu, dan
dengan demikian maka dasar-dasr pemikiran keilmuan yang sesuai dengan system
pengetahuan tersebut telah dikuasai.
Pada tahun 1889 M, ia dikawinkan dengan siti Walidah, putri dari K.H.
Muhammad Fadil, kepala penghulu kesultanan Yogyakarta. Jadi siti Walidah itu
masih sepupu Muhammad Darwis.11 Dari pernikahannya ini Muhammad Darwis
memperoleh empat orang putra dan dua orang putri. Walaupun Muhammad
Darwis pernah menikah dengan empat wanita lainnya yaitu Nyai Abdullah, Nyai
Rum, Nyai Aisiyah, dan Nyai Solihah, namun pernikahannya dengan siti Walidah
inilah yang paling lama, bahkan siti Walidah menjadi pendamping Muhammad
Darwis hingga wafat
Beberapa bulan setelah pernikahannya, atas anjuran ayah bundanya,
Muhammad Darwis menunaikan ibadah haji. Ia tiba di Makkah pada bulan Rajab
1308 H / 1890 M. setelah menunaikan umrah ia bersilaturahmi dengan para ulama
Indonesia maupun Arab yang telah dipesankan ayahnya. Ia juga rajin belajar
menambah ilmu, antara lain kepada K.H. Mahfudz Termas, K.H. Nahrowi
Banyumas, K.H. Muhammad Nawawi Banten, dan juga kepada para ulama Arab
di Masjidil Haram. Ia juga mendatangi ulama mazhab Syafi‟I Bakri Syata‟, dan
mendapat ijazah dengan nama Ahmad Dahlan. Setelah musim haji selesai ia
pulang, dan tiba di Yogyakarta pada minggu pertama bulan Sapar 1309 H / 1891
M. selain berganti nama ia juga mendapat tambahan ilmu. Muhammad Darwis
10
MT. Arifin, Gagasan Pembaharuan Muhammadiyah, h. 78.
11
Yunus Salam, Riwayat Hidup K.H. Ahmad Dahlan, Amal dan Perjuangannya, (Jakarta,
Depot Pengajaran Muhammadiyah, 1968), h. 5.
34
12
H. Suja, Muhammadiyah dan Pendirinya, op. cit., h. 2-4.
35
modal untuk berdagang oleh orang tuanya, namun sebagian uangnya dibelanjakan
untuk membeli kitab-kitab Islam. Dalam perjalanan dagangnya tersebut ia lalu
singgah bersilaturahmi dengan para alim setempat, membicarakan perihal agama
Islam dan masyarakatnya. Ada yang sepikiran, ada pula yang berlainan.
Perjalanan demikian di maksudkan untuk mempelajari sebabnya kemunduran
kaum muslimin dan bagaimana upaya mengatasinya.
3. Karya-karya K.H. Ahmad Dahlan
Karya-karya K.H. Ahmad Dahlan mencakup ketujuh belas ayat al-Qur‟an
dalam bangunan pemikiran K.H. Ahmad Dahlan ini menyemangati dan
menginisasikan perjuangan Muhammadiayah; menjadi pedoman pendiri dan para
pengikut Muhammadiyah, lalu diwariskan kepada generasi-generasi berikutnya.
Ajaran-ajaran K.H. Ahmad Dahlan dipandang sebagai benih dan menjadi lentera
pengembangan pendidikan dalam lembaga pendidikan Muhammadiyah. Semangat
ini selalu dihidupkan oleh warga Muhammadiyah diwariskan dari generasi ke
generasi, agar tidak berhenti memperjuangkan dunia pendidikan yang bersendikan
kepada al-Qur‟an, sunnah Rasulullah, kebangsaan, keilmuan, dan keindonesiaan.
Kelompok Ayat 1.
Membersihkan hati “takutlah menjadi hawa nafsunya sebagi
sesembahannya?” QS al-Jatsiyah: ayat 23, cinta kepada selain Allah itu sama
dengan mencintai Allah ketimbang yang lain” QS at-Taubah ayat 24 dan al-
Baqarah ayat 165. Hawa nafsu ibarat berhala musyrik karena menyesatkan,
membuatnya tidak suka berfikir kebenaran, akibatnya membahayakan baginya.
Maka tafakkur,muhasabah, muraqabah, dan hanya tunduk kepada al-Qur‟an dan
sunnah Rasul, bertakwa kepada Allah, membuang semua kebiasan buruk berupa
amalan, keinginan, perasaan, kepercayaan, pendapat, dan semua yang ada di hati
merupakan jalan membersuhkan jiwa dan melawan hawa nafsu.13
Kelompok Ayat 2
13
Ridjaluddin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Pusat Kajian Islam FAI Uhamka,
2009). Cet 1. h. 441-442
36
Kelompok Ayat 3
Orang yang mendustakan agama. Sebelumnya dijelaskan cara mempelajari
al-Qur‟an. Menurut K.H. Ahmad Dahlan, dimulai membaca satu, dua, tiga ayat
dengan benar, memahami artinya satu demi satu, lalu memahami tafsir dan
keterangan-keterangan didalamnya, mendalami makna yang tersurat-tersirat. Bila
isinya berupa larangan, sesegera mungkin ditinggalkan. Bila di dapati perintah
wajib, sesegera mungkin dilaksanakan sungguh-sungguh.
Orang yang mendustakan agama adalah orang yang menghambakan hawa nafsu,
mencintai harta benda berlebihan, tidak memperhatikan nasib anak yatim dan
enggan membantu orang miskin. Orang itu akan dimasukkan ke neraka, walaupun
telah mengaku melaksanakan shalat dengan baik, QA al-Ma‟un ayat 1-7.14
Kelompok ayat 4
Beragama lurus kepada Allah sebagai kecenderungan ruhani untuk
berpaling meninggalkan nafsu, menjadi suci, bersatu dari tawanan benda-benda,
naik ketingkat kesempurnaan ruhani. Jiwanya menghadap Allah dan berpaling
dari yang lainnya, bersih tanpa terpengaruh apapun hanya tertuju kepada Allah.15
Kelompok ayat 5
Pembebasan kemiskinan penderitaan, diskriminasi. Ayat ini
menggoncangkan hati K.H. Ahmad Dahlan untuk melakukan perubahan besar
dalam dirinya, sekaligus mengorbankan hartanya untuk perubahan besar dalam
dirinya, sekaligus mengorbankan hartanya untuk perubahan dan pembaharuan.
Harta bisa menjadi fitnah atau batu ujian dalam kehidupan dunia akhirat, bisa
14
Ridjaluddin, Filsafat Pendidikan Islam, Cet 1. h. 441-442
15
Ridjaluddin, Filsafat Pendidikan Islam, Cet 1. h. 442
37
menjadi perusak agama, akhlak pribadi, runah tangga, masyarakat dan Negara.
Harta juga bisa menimbulkan kebaikan dan alat untuk mencapai kebahagiaan.16
Kelompok ayat 6
Surat al-Ashr dianggap sangat penting diajarkan sampai 7 bulan kepada
kaum laki-laki tiap jam. 07.00 pagi kepada „Aisyiyah jam 08.00 pagi, setelah
dzuhur kepada para pemudi. Mereka disuruh menulis dan menghapalkannya.
Isinya secara umum adalah pandai mengatur waktu dengan benar, dimulai dengan
memperhatikan waktu sebagai awal dan akhir pekerjaan agar manusia dapat
mencari kenikmatan dunia akhirat.17
Kelompok ayat 7
Iman, Islam dengan benar, bebas dari syirik, bid‟ah, dan khurafat. Iman
akan diuji, iman dihanti mempengaruhi perasaan pikiran, kemauan serta sifat-sifat
utama: melimpahkan budi luhur, mendorong berani berkurban jiwa raga harta
membela agama Allah. Orang mukmin harus sabar, teguh, kuat menerima ujian
dan cobaan.18
Kelompok ayat 8
Beramal shaleh, senantiasa memperhatikan hidup dalam iman, Islam dan
ihsan.19
Kelompok ayat 9
Saling menasihati dalam kebenaran, QS al-Ashr ayat 1-3, bagian-bagian
pentung dalam dirinya, bersama lingkungannya, dan sesamanya. Saling
menasehati dalam kebenaran ini diartikan sebagai upaya untuk melakukan kritik
yang konstruktif, bukan untuk mencari kesalahan orang lain, dalam usaha
16
Ridjaluddin, Filsafat Pendidikan Islam, Cet 1. h. 447
17
Ridjaluddin, Filsafat Pendidikan Islam, Cet 1. h. 448
18
Ridjaluddin, Filsafat Pendidikan Islam, Cet 1. h. 449
19
Ridjaluddin, Filsafat Pendidikan Islam, Cet 1. h. 450
38
Kelompok ayat 10
Wasiat kepada kesabaran disamping iman dan amal shaleh selama tujuh
buah surat al-Ashr ini dibacakan oleh K.H. Ahmad Dahlan dalam setiap
pertemuan dengan siapapun.21
Kelompok ayat 11
Berjihad dengan harta benda dan jiwa demi kemerdekaan Indonesia dari
penjajahan, penindasan, kebodohan dan kemerosotan moral. Jihad adalah
perjuangan meraih sukses hidup di dunia-akhirat dengan selalu menguji kesabaran
dan pahit getirnya perjuangan. Perjuangan yang sungguh-sungguh belum tentu
berhasil, dilakukan tanpa henti, simultan apalagi bila tanpa adanya upaya
secukupnya. Oleh karena itu, jihad dalam hal ini bila tidak seluruhnya dibenarkan,
sekali waktu juga harus dengan menggunakan jiwa raga dan persenjataan bila
perlu.22
Kelompok ayat 12
Masuk dan berada dalam Islam secara penuh. Penyerahan total manusia
kepada Allah itu menjadi syarat mutlak bagi kehidupan umat beragama secara
mutlak seperti yang telah dilakukan nabi Ibrahim, Muhammad dan para sahabat
besar terdahulu.23
Kelompok ayat 13
Berbuat kebajikan kepada seluruh isi alam. Berbuat kebajikan, al-birr,
berarti iman kepada Allah, hari akhir, malaikat, kitab, dan beberapa nabi. Al-Birr,
juga berarti memberikan harta yang dicintainya kepada sanak kerabat, anak yatim,
20
Ridjaluddin, Filsafat Pendidikan Islam, Cet 1. h. 452
21
Ridjaluddin, Filsafat Pendidikan Islam, Cet 1. h. 454
22
Ridjaluddin, Filsafat Pendidikan Islam, Cet 1. h. 455
23
Ridjaluddin, Filsafat Pendidikan Islam, Cet 1. h. 457
39
fakir miskin, ibn sabil para peminta-minta, pembebasa budak. Mendirikan shalat,
membayar zakat, menepati janji, sabar dan lapang dada dari kesempitan.24
Kelompok ayat 14
Perbuatan manusia diikuti oleh balasan kebajikan maupun keburukan
diakherat, al-Qari‟ah, ketika dimaknai “hari kiamat” memberikan konteks bahwa
di ujung kehidupan dunia ini ada lagi kehidupan dunia ini ada lagi kehidupan
yang abadi sebagai tempat menerima sebagai tempat menerima upah kebajikan
maupun keburukan ketika hidup di dunia.25
Kelompok ayat 15
Beramal merupakan kelanjutan dari perbuatan lisan dan pemahaman.
Pemahaman tentang kebenaran, termasuk iman, dimulai dari kesadaran diri
sehubungan dengan perintah-perintah Allah yang harus dikerjakan dan larangan-
larangan Allah yang harus ditinggalkan.26
Kelompok ayat 16
Menjaga diri dari api neraka, tidak boleh lupa melaksanakan kewajiban
dan meninggalkan laranganya baru menyuruh orang lain. Jika hanya pandai
menyuruh tanpa bisa melaksanakannya sendiri, sebenarnya ia lupa diri mengikuti
kesenangan duniawi dan hawa nafsu.27
Kelompok ayat 17
Surat al-Hadid ayat 16. Sudah waktunya mengingat Allah dengan khusyu‟
dalam dzikir, fakir, dan tindakan K.H. Ahmad Dahlan terbebani dengan
pertanyaan-pertanyan yang diajukan oleh al-Qur‟an tersebut dan dicoba dengan
menjatuhi zaman yang terjadi saat beliau hidup.28
24
Ridjaluddin, Filsafat Pendidikan Islam, Cet 1. h. 458
25
Ridjaluddin, Filsafat Pendidikan Islam, Cet 1. h. 458-459
26
Ridjaluddin, Filsafat Pendidikan Islam, Cet 1. h. 459
27
Ridjaluddin, Filsafat Pendidikan Islam, Cet 1. h. 460
28
Ridjaluddin, Filsafat Pendidikan Islam, Cet 1. h. 461
40
K.H. Ahmad Dahlan hidup pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.
Zaman itu merupakan zaman peralihan artinya, kebiasan hidup pada abad ke-19
yang sudah berlalu, ternyata masih berlaku. Pandangan dan kebiasaan pada abad
29
Hamdani Ihsan dan H.A. Fuad Ihsan, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: CV Pustaka
Setia 2007). H. 276
41
ke-20 yang merupakan zaman baru, sudah mulai tampak dan berkembang dalam
masyarakat.30
Pada tahun 1904 K.H. Ahmad Dahlan pulang ketanah air. Hati dan
pikirannya penuh semangat untuk segera membebaskan masyarakat Islam
Indonesia dari berbagai hambatan, seperti kebekuan, kemandekan, dan
kemunduran yang merugikan. 32
4. Mengajar
K.H. Ahmad Dahlan mendirikan persyerikatan Muhammadiyah secara
bertahap dan berencana. Mula-mula K.H. Ahmad Dahlan mempraktikan dahulu
apa yang selalu dikemukakannya. K.H. Ahmad Dahlan selalu menganjurkan agar
pengajaran agama meninggalkan cara lama dan memulai cara baru dan para Kiai
giat mendatangi murid dan tidak hanya menunggu datangnya santri di pesantren
atau suraunya. K.H. Ahmad Dahlan memberi contoh langsung mengajar dasar
agama Islam diberbagai sekolah negeri, seperti Sekolah Guru (Kweekschool) di
Jetis, Yogyakarta, dan sekolah Pamong Praja atau Osvia (Opleiding School Voor
Inlandsche Ambtenaren).
30
Mardanas Safwan dan Sutrisno Kutoyo, K.H. Ahmad Dahlan Riwayat Hidup dan
Perjuangan,(Jakarta: Mutiara Sumber Widya 1999), h. 14
31
Abuddin Nata,Tokoh-tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia,(Jakarta: Raja
Grapindo Persada) h. 99
32
Mardanas Safwan dan Sutrisno Kutoyo , K.H. Ahmad Dahlan Riwayat Hidup dan
Perjuangan, h. 37
42
K.H. Ahmad Dahlan sengaja mengajar para pemuda dan terutama para
pelajar karena mereka di masa depan akan menjadi pemimpin bangsa.33
5. Mendirikan Organisasi
Dalam membahas gerakan pembaruan pendidikan Islam di Jawa dan
Indonesia pada umumnya, gagasan utama K.H. Ahmad Dahlan tidak dapat
dipisahkan dari motivasi didirikannya Muhammadiyah, terutama dengan gagasan
pembaruan organisasi tersebut. Dalam usaha yang dilakukan Dahlan untuk
memasukan pendidikan keagamaan kedalam sekolah sekuler Barat bersamaan
dengan usaahanya memasukan materi pengajaran umum ke pesantren serta
usahanya untuk merintis lembaga pendidikan madrasah. Melalui usaha-usahanya
itu Dahlan mencita-citakan terbentuknya integrasi aqidah dan intelektual dalam
diri anak didik.
Gagasan pembaruan Pendidikan Dahlan itu erat kaitanya dengan gagasan
Muhammadiyah yang lahir dari persoalan adanya kenyataan tentang problematika
pendidikan di kalangan orang pribumi yaitu terjadinya keterbelakangan
pendidikan yang akut karena adanya dualisme model pendidikan yang masing-
masing memiliki akar dan kepribadian yang bertolak belakang. Di satu pihak,
pendidikan Islam yang berpusat di pesantren mengalami kemunduran karena
terisolasi dari perkembangan pengetahuan dan perkembangan masyarakat modern,
di pihak lain sekolah model Barat bersifat sekuler dan a-nasional, mengancam
kehidupan batin para pemuda pribumi karena di jauhkan dari agama dan budaya
negerinya.
33
Mardanas Safwan dan Sutrisno Kutoyo, K.H. Ahmad Dahlan Riwayat Hidup dan
Perjuangan, h. 41
43
telah kita ketahui, ayat Al-Qur‟an yang pertama kali diwahyukan Allah kepada
Muhammad dimulai dengan kata “Iqra”, yang artinya “bacalah”.34
Upaya mewujudkan visi, misi dan tujuan pendidikan sebagaimana tersebut
diatas dilaksanakanlah lebih lanjut melalui organisasi Muhammadiyah yang
didirikannya. Salah satu program unggulan organisasi ini adalah bidang
pendidikan.35
Dari sudut pandang keagamaan sesungguhnya pendirian Muhammadiyah
yang dipetik dari gagasan asli Dahlan adalah:
1. Pendidikan Moral/ akhlaq, yaitu sebagai usaha menanamkan karakter
manusia yang baik berdasarkan Al-Qur‟an dan Sunnah
2. Pendidikan individual, yaitu sebagai usaha untuk menumbuhkan
kesadaran individual yang utuh, yang berkesimbangan antara
perkembangan mental dan jasmani, antara keyakinan dan intelektual,
antara perasaan dengan akal fikiran, serta antara dunia dengan akhirat.
3. Pendidikan kemasyarakatan, yaitu sebagai usaha untuk menumbuhkan
kesediaan dan keinginan hidup bermasyarakat.36
Ada beberapa hal yang melatarbelakangi K.H. Ahmad Dahlan mendirikan
Muhammadiyah ini:
1. Umat Islam tidak memegang tuntunan Al-Qur‟an dan hadits sehingga
menyebabkan perbuatan syirik, bid‟ah, khurafat semakin merajalela
serta mencemarkan kemurnian ajarannya.
2. Keadaan umat Islam sangat menyedihkan akibat penjajahan
3. Kegagalan institusi pendidikan Islam untuk memenuhi tuntutan
kemajuan zaman merupakan akibat dari mengisolasi diri
4. Persatuan dan kesatuan umat Islam sebagai akibat lemahnya organisasi
Islam yang ada
5. Munculnya tantangan dari kegiatan misi Zending yang dianggap mengancam
masa depan umat Islam.37
34
Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta, Departemen Agama RI, I982), h. 359.
35
Abuddin Nata,Tokoh-tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja
Grapindo Persada) h. 103
36
MT Arifin, Gagasan Pembaruan Muhammadiyah, op. cit. h. 205-206.
37
Hasbullah, dasar-dasar Ilmu Pendidikan, (Jakarta:Raja Grafindo Persada). Edisi revisi
h. 270-271
BAB IV
1
Suwendi, Konsep Kependidikan KH. M Hasyim Asy’ari., (Jakarta: Lekdis, 2005), h. 60-
61
44
45
paling mendasar adalah karena ulama sangat dekat (taqwa) dan yang paling takut
(khasyyah) kepada Allah SWT. Selain itu, K.H. Hasyim Asy’ari memaparkan
tingginya penuntut ilmu dan ulama dengan mengetengahkan dalil bahwa Allah
mengangkat derajat orang yang berilmu dan beriman.2
Pemikiran pendidikan K.H. Hasyim Asy’ari dapat dimasukan kedalam
garis mazhab Syafi’iyyah. Bukti kuat untuk menunjukan hal itu adalah K.H.
Hasyim Asy’ari sering kali mengutip tokoh-tokoh Syafi’iyyah, ternasuk imam
Syafi’i sendiri, ketimbang tokoh-tokoh mazhab lain. Menurut Abd al- Muidz
Khan, dengan mengungkapkan ide-ide tokoh mazhab yang dianutnya, hampir
dapat dipastikan itu memberi pengaruh terhadap pemikiran kependidikannya.3
Bagi K.H. Hasyim Asy’ari, keterpengaruhan dirinya terhadap tokoh-tokoh
mazhab Syafi’iyyah agaknya dimungkinkan oleh faktor pengalaman pendidikan,
terutama sebelum keberangkatannya ke Makkah. Sebagaimana tergambarkan
didalam biografi K.H. Hasyim Asy’ari, ia pada mulanya memperoleh pendidikan
keagamaan dari ayahnya, Abd al-Wahid, dan beberapa kyai pesantren di Jawa.
Beberapa kyai itu merupakan penganut mazhab Syafi’i. Dengan demikian, K.H.
Hasyim Asy’ari menganut mazhab Syafiiyah itu sangat dimungkinkan.
Kecenderungan lain dalam pemikiran K.H. Hasyim Asyari adalah
mengetengahkan nilai-nilai estetika yang bernafaskan sufistik. Kecendrungan
kedua tokoh ini dapat terbaca dalam gagasannya, misalnya dalam tujuan menuntut
ilmu dan aspek lainnya. Untuk sekedar meyakinkan hal itu dapat dikemukakan
bahwa bagi k.H. Hasyim Asyari, keutamaan ilmu yang sangat istimewa adalah
bagi orang yang benar-benar Lillahi Taala. Kemudian, ilmu dapat diraih jika jiwa
orang yang mencari ilmu tersebut suci dan bersih dari segala sifat yang jahat dan
aspek-aspek keduniawian.
Kecendrungan ini merupakan wacana umum bagi literatur-literatur kitab
kuning yang tidak bisa dihindari dari persoalan-persoalan sufistik yang secara
umum merupakan bentuk replikasi atas prinsip-prinsip sufisme al-Ghazali.
2
Suwendi, Konsep Kependidikan KH. M Hasyim Asy’ari, h. 65-66
3
Suwendi, Konsep Kependidikan KH. M Hasyim Asy’ari, h. 60-61
46
4
Suwendi, Konsep Kependidikan KH. M Hasyim Asy’ari, h. 61-63
5
Suwendi, Konsep Kependidikan KH. M Hasyim Asy’ari, h. 64
6
Jalaluddin dan Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam,(Jakarta: Raja Grapindo Persada
1996),cet. 2, h. 67
47
sikap dan tingkah laku seseorang atau sekelompok orang dalam usaha
mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan, proses
perbuatan,dan cara-cara mendidik. Secara khusus, penggunaan istilah pendidikan
Islam dalam konteks ini berarti proses pentransferan nilai yang dilakukan oleh
pendidik, yang meliputi proses pengubahan sikap dan tingkah laku serta kognitif
peserta didik, baik secara kelompok maupun individual kearah kedewasaan yang
optimal melibatkan seluruh potensi yang dimilikinya sehingga diharapkan peserta
didik mampu mempungsikan dirinya sebagai hamba maupun khalifah fil ard
dengan tetap berpedoman pada ajaran Islam.7
Secara terminologis, menurut Mohammad Labib an-Najihi, pemikiran
pendidikan Islam adalah aktivitas pikiran yang teratur dengan mempergunakan
metode filsafat. Pendekatan tersebut dipergunakan untuk mengatur,
menyelaraskan, dan memadukan proses pendidikan dalam sebuah sistem yang
integral.
Dengan berpijak pada devinisi diatas, yang dimaksud dengan pemikiran
pendidikan Islam adalah serangkaian proses kerja akal dan qolbu yang dilakukan
secara sungguh-sungguh dalam melihat berbagai persoalan yang ada dalam
pendidikan Islam dan berupaya untuk membangun sebuah paradigma pendidikan
yang mampu menjadi wahana bagi pembinaan dan pengembangan peserta didik
secara paripurna. Melalui upaya ini diharapkan agar pendidikan yang ditawarkan
mampu berapresiasi terhadap dinamika peradaban modern secara adaptik dan
proporsional, tanpa harus melepaskan nilai-nilai Illahiyah sebagai nilai dari warna
dan nilai kontrol. Melalui pendekatan ini dimungkinkan akan menjadikan
pendidikan Islam sebagai sarana efektif dalam mengantarkan peserta didik sebagai
insan intelektual dan insan moral secara kaffah.8
Pendidik adalah orang yang mampu memahami kitab-kitab keagamaan
yang sulit dan mampu mengajarkan kepada pihak lain.9
7
A. Susanto, Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Amzah,2009), cet. 1 h. 3
8
A. Susanto, Pemikiran Pendidikan Islam, cet. 1, h. 3-4
9
A. Susanto, Pemikiran Pendidikan Islam, cet. 1, h. 13
48
10
Ridjaluddin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Pusat Kajian Islam FAI Uhamka,
2009). Cet 1. h. 358-359
49
tujuan pendidikan yang akan dicapai. Oleh karena itu materi kurikulum akan
selalu mengalami perubahan dari masa kemasa. Bahkan untuk setiap bangsa yan
mempunyai tujuan pendidikan yang berbeda, akan memiliki kurikulum
pendidikan yang berbeda pula. Menurut K.H. Hasyim Asy’ari materi-materi ilmu
pengetahuan yang dipelajari secara hirarkis adalah sebagai berikut: al-Qur’an,
tafsir, hadist, Ulumul Hadist, Ushul Fiqih, Nahwu, dan Sorrof. Penyajian materi
demikian sesungguhnya selaras dengan perkembangan pemikiran kependidikan
kontemporer. Sayyid Naquib al- Attas, misalnya, memaparkan bahwa ilmu
pengetahuan terbagi menjadi dua: Pertama, adalah ilmu dasar untuk pembinaan
jiwa, dan ilmu perlengkapan yang digunakan untuk kepentingan dirinya didunia
guna memenuhi tujuan-tujuannya yang pragmatis. Materi al-Qur’an, Hadist, dan
ilmu keagamaan lainnya merupakan materi inti dalam pembentukan jiwa dan
kepribadian manusia yang merupakan jenis pengetahuan yang pertama. Sayyid
Naqaib al-Attas, penggagas islamisasi ilmu pengetahuan dari Malaysia,
menyatakan: ”the holy Qur’an, the Sunnah, The Shariah, Ilmu al-Ladunni and
Hikmah are the essential ellements of the first kind of knowledge”. Kitab suci al-
Qur’an, al-Hadist, Syariah, ilmu al-Ladunni, dan hikmah adalah unsur-unsur
esensial dari pengetahuan macam pertama itu. Bahkan ditegaskan” the holy
Qur’an, the knowledge, par ekselence. Al-Qur’an adalah pengetahuan paling baik.
Jika dilahat dari aspek kandungan dalam kontek pemikiran kependidikan K.H.
Hasyim Asyari, secara esensial dapat disimpulkan bahwa peserta didik harus
mampu mengaplikasikan pengetahuan dengan kesatuan aksi yang menjunjung
tinggi nilai-nilai ahlak yang luhur secara integratif. 11
Bagi K.H. Hasyim Asy’ari, kurikulum yang penting dan mulia haruslah
didahulukan ketimbang kurikulum lainnya. Ini artinya bahwa peserta didik dapat
melakukan kajian terhadap kurikulum secara hirarkis.
Dalam pada itu, K.H. Hasyim Asy’ari memprioritaskan kurikulum al-
Qur’an daripada lainnya. Mengedepankan kurikulum al-Qur’an ini agaknya tepat.
Sebab, sebagaimana pendapat Muhammad Faisal Ali Sa’ud, kurikulum al-Qur’an
merupakan ciri yang membedakan antara kurikulum pendidikan Islam dengan
11
Suwendi, Konsep Kependidikan KH. M Hasyim Asy’ari, h. 76-77
50
kurikulum pendidikan lain. Hal ini dikuatkan oleh Muhammad Fadhil al-Jamili
bahwa ”al-Qur’an al-Karim adalah kitab terbesar yang menjadi sumber filsafat
pendidikan dan pengajaran bagi umat Islam. Sudah seharusnya kurikulum
pendidikan Islam disusun sesuai dengan al-Qur’an al-Karim, dan ditambah
dengan al-Hadits untuk melengkapinya.12
2. Kurikulum Pendidikan Islam menurut K.H. Ahmad Dahlan
Pengertian kurikulum yang dikemukakan oleh para ahli sangat bervariasi,
tetapi dari beberapa definisi itu dapat ditarik benang merah, disatu pihak ada yang
menekankan pada isi pelajaran atau mata kuliah, dan dilain pihak lebih
menekankan pada proses pengalaman belajar.
Pengertian yang lama tentang kurikulum lebih menekankan pada isi
pelajaran atau mata kuliah, dalam arti sejumlah mata pelajaran disekolah atau
perguruan tinggi, yang harus ditempuh untuk mencapai suatu ijazah atau tungkat
juga keseluruhan mata pelajaran yang disajikan oleh suatu lembaga pendidikan.
Menurut al-Syaibany terbatas pada pengetahuan yang dikemukakan oleh guru atau
institusi pendidikan dalam bentuk pelajaran atau kitab karya ulama terdahulu,
yang dikaji begitu lama oleh peserta didik dalam tiap tahap pendidikannya.13
Definisi yang tercantum dalam undang-undang Sisdiknas No. 2/ 1989. Definisi
kukrikulum yang tertuang dalam undang-undang sisdiknas no 20/2003
dikembangkan kearah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi,
dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan
kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.14 Dengan
demikian, ada tiga komponen yang termuat dalam kurikulum, yaitu tujuan, isi dan
bahan pelajaran, serta cara pembelajaran, baik yang berupa strategi pembelajaran
maupun evaluasinya.
Pendidikan yang dikembangkan persyarikatan Muhammadiyah tidak
hanya menitik beratkan segi-segi moral dan keagamaan saja, akan tetapi juga
12
Suwendi, Konsep Kependidikan KH. M Hasyim Asy’ari, h. 101-102
13
Muhaimin, Pengembangan kurikulum Pendidikan Agam Islam Di Sekolah, Madrasah,
Perguruan Tinggi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), h. 1-2.
14
Muhaimin, Pengembangan kurikulum Pendidikan Agam Islam Di Sekolah, Madrasah,
Perguruan Tinggi, h. 2
51
15
Ridjaluddin, Filsafat Pendidikan Islam, Cet 1. h. 370-371
52
terarah bagi guru yang menyebabkan proses belajar mengajar, hingga pengajaran
menjadi berkesan (Mohammad al-Toumy al-Saibany).18
Muhammad al-Toumy al-Syaibany menyodorkan pembagian metode
dalam pendidikan Islam, yakni metode yang umumnya pernah digunakan dalam
pendidikan Islam, antara lain:
a. Metode induksi (pengambilan kesimpulan)
b. Meode Perbandingan (Qiyasiyah)
c. Metode Kuliah
d. Metode Dialog dan Perbincangan
e. Metode Halaqah
f. Metode Riwayat
g. Metode Mendengar
h. Metode Membaca
i. Metode Imla’
j. Metode Hapalan
k. Metode Pemahaman
l. Metode Lawatan untuk menuntut ilmu.
Uraian diatas menunjukan bahwa metode pendidikan Islam memiliki sifat
yang luwes, sesuai dengan kebutuhan anak didik dan lingkungan zamannya.
Namun demikian, yang menjadi pertimbangan pokok, adalah sumbernya tak dapat
dilepaskan dari falsafah pendidikan Islam. Metode pendidikan Islam disusun atas
dasar pertimbangan sumber.19
2. Metode pendidikan menurut K.H. Ahmad Dahlan
Sejauh ini penulis tidak menemukan metode pendidikan menurut Dahlan.
Pendidikan Islam memiliki dampak yang sangat besar dalam menciptakan dan
menemukan metode pengajaran. Hal ini bisa dibuktikan, dari munculnya metode
ceramah dan metode munadharah (dialogis) dalam pengajaran yang diciptakan
para ulama muslim; dan dengan metode ini bisa dilakukan penyesuaian tingkat
kemudahan materi pelajaran, agar sesuai dengan kemampuan intelektualitas
18
Jalaluddin dan Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam, h. 52-53
19
Jalaluddin dan Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam, h. 53
54
20
Ridjaluddin, Filsafat Pendidikan Islam, Cet 1. h. 60-61
21
Athiyah al-Abrasyi, Beberapa Pemikiran Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Titian Ilahi
Press, 1996), cet.ke- 1, h. 52-54.
55
22
A. Susanto, Pemikiran Pendidikan Islam,(Jakarta: Amzah 2009), cet. 1, h.12
56
23
A. Susanto, Pemikiran Pendidikan Islam, cet. 1, h.13-14
57
24
Ridjaluddin, Filsafat Pendidikan Islam, Cet 1. h. 504-505
25
A. Susanto, Pemikiran Pendidikan Islam, cet. 1, h.14-16
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Jika dilahat dari aspek kandungan dalam kontek pemikiran kependidikan
K.H. Hasyim Asyari, secara esensial dapat disimpulkan bahwa peserta didik harus
mampu mengaplikasikan pengetahuan dengan kesatuan aksi yang menjunjung
tinggi nilai-nilai ahlak yang luhur secara integratif.
Konsep pendidikan Islam menurut K.H. Hasyim Asy’ari adalah
mengajarkan ilmu-ilmu agama dan bahasa Arab, mulai dari tingkatan rendah
sampai tingkatan tinggi,ini di buktikan dengan di bangunnya pondok Pesantren
Tebuireng yang menghasilkan para ulama besar.
Sedangkan konsep pendidikan Islam menurut K.H. Ahmad Dahlan adalah
memasukan pendidikan agama Islam ke dalam sekolah-sekolah yang didirkannya.
Ide Dahlan direalisasikan ketika pada tahun 1911 ia membuka sekolah agama di
Kauman dengan metode Barat, yaitu menggunakan kursi, bangku serta kertas,
walaupun penggunaan metode ini bukanlah yang pertama kali. Namun demikian
atas ide Ahmad Dahlan tersebutlah lembaga pendidikan pada waktu itu mulai
mengikuti metode yang diterapkannya, serta memasukan pendidikan agama Islam
sebagai salah satu mata pelajaran yang harus diikuti oleh setiap peserta didik. Hal
tersebut berlangsung hingga sekarang, dimana lembaga-lembaga pendidikan
umum maupun agama menerapkan metode yang diprakarsai oleh K.H. Ahmad
Dahlan yaitu menggunakan kursi serta meja sebagai sarana penunjang belajar.
58
59
B. Saran-saran
1. Penulis menyarankan agar pendidikan agama tidak hanya diutamakan di
pesantren-pesantren tetapi pendidikan agama juga harus mempunyai
kontribusi yang cukup bagi sekolah-sekolah.
2. Untuk para pendidik hendaknya selalu berperan aktif dan bisa menjadi
tauladan dalam menanamkan nilai-nilai religius yang tinggi terhadap para
peserta didik seperti yang telah dilakukan oleh K.H. Hasyim Asy’ari
maupun K.H. Ahmad Dahlan yang telah melahirkan ulama-ulama besar.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, H. M., Ilmu Pendidikan Isalm, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), cet. Ke-4
Arifin, H. M., Ilmu Pendidikan Islam; Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis
Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991),
cet. Ke-1
Ihsan, Hamdani dan Ihsan, H.A. Fuad, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung:
CV Pustaka Setia 2007)
Khalaf, Abdul Wahab, Ilmu Ushul Fiqih, (Jakarta: Al-Majelis Al-A’la Al-
Indonesia Li Al- Dakwah Al-Islamiyah, 1972), cet. IX
60
61
Safwan, Mardanas dan Kutoyo, Sutrisno, K.H. Ahmad Dahlan Riwayat Hidup
dan Perjuangan,(Jakarta: Mutiara Sumber Widya 1999)
Salam, Yunus, Riwayat Hidup K.H. Ahmad Dahlan, Amal dan Perjuangannya,
(Jakarta, Depot Pengajaran Muhammadiyah, 1968)
Uhbiyati, Nur, Ilmu Pendidikan Islam 1, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), cet.
Ke-2