Anda di halaman 1dari 2

MEMBERDAYAKAN KELUARGA DEMI CEGAH STUNTING ANAK BANGSA

HANIN RULIYANI/101911133038
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS AIRLANGGA
Definisi stunting menurut WHO adalah gangguan pertumbuhan dan perkembangan
pada anak-anak yang disebabkan oleh gizi buruk, infeksi berulang, dan stimulasi psikososial
yang tidak memadai. Pada tahun 2011, terdapat 25% jumlah anak bawah lima tahun (balita)
yang mengalami stunting dari seluruh dunia. Jika dikonversikan dengan total penduduk, maka
terdapat 165 juta anak pengidap stunting. Sementara itu, Indonesia menempati urutan kelima
dalam peringkat jumlah anak pengidap atau prevalensi stunting tertinggi di tingkat Asia pada
tahun 2005-2011.
Berdasarkan ketetapan WHO, batas ambang jumlah stunting di suatu negara adalah
20%. Menilik ke keadaan Indonesia, persentase prevalensi anak balita stunting sebesari 37,2%.
Data ini didapat dari hasil Riskesdas 2013. Persentase prevalensi stunting Indonesia tentu dapat
dilihat secara jelas melebihi batas yang ditetapkan WHO sehingga stunting adalah salah satu
masalah kesehatan masyarakat. Isu stunting bahkan menjadi sorotan dan diangkat dalam debat
pemilihan presiden putaran ketiga tahun 2019 yang melibatkan dua calon wakil presiden, yaitu
Ma’ruf Amin dan Sandiaga Uno. Tidak hanya itu, Presiden Joko Widodo juga menyiratkan
keseriusannya dalam mengatasi stunting dengan menyinggung masalah tersebut dalam
pembahasan RAPBN 2020. Stunting menjadi masalah yang patut diberi perhatian karena dapat
menghambat pembangunan karena kualitas sumber daya manusia yang berkurang.
Stunting kerap dihubungkan dengan kondisi kemiskinan. Namun, faktor penyebab dari
stunting tidak hanya itu. Ada lima faktor utama penyebab stunting yaitu kemiskinan, sosial dan
budaya, peningkatan paparan terhadap penyakit infeksi, kerawanan pangan, dan akses
masyarakat terhadap pelayanan kesehatan. Di samping faktor utama, terdapat faktor lain yang
bisa mendukung terjadinya stunting pada anak. Salah satunya adalah kondisi ibu mulai dari
saat mengandung dan pengetahuan kesehatan di keluarga. Oleh karena itu, dapat ditarik sebuah
kesimpulan bahwa semua faktor balita stunting berasal dari keluarga.
Pernyataan di atas bukan tanpa alasan. Mulai dari faktor pertama, yaitu kemiskinan.
Kemiskinan masih menjadi salah satu masalah yang harus menjadi fokus utama pemerintah.
Persentase penduduk miskin pada Maret 2019 sebesar 9,41% dengan jumlah 25,14 juta orang,
menurun 0,25% terhadap September 2019. Walaupun ada penurunan, angka kemiskinan
tersebut masih jauh dari harapan pemerintah. Warga miskin memiliki penghasilan yang rendah
dalam keluarganya. Pekerjaan kepala keluarga dalam golongan ini pun tidak tetap sehingga
akan mengalami kesulitan finansial apabila harus mengusahakan perawatan kepada ibu hamil
dan anak yang sudah dilahirkan nanti. Mereka akan kesulitan untuk memeriksakan kandungan
secara rutin dan mengadakan berbagai makanan bergizi baik untuk ibu maupun anak, seperti
susu, sayur, dan buah-buahan. Dengan demikian, kondisi finansial keluarga berpengaruh
terhadap risiko stunting. Bisa dibilang bahwa faktor kemiskinan juga menjadi tonggak bagi
munculnya faktor-faktor stunting lainnya.
Faktor kedua adalah paparan terhadap penyakit infeksi. Paparan ini bisa berasal dari
lingkungan. Stunting tidak hanya bisa dipicu oleh asupan atau gizi yang kurang baik, tetapi
pengaruh dari lingkungan juga dapat berkontribusi. Sanitasi di sekitar rumah perlu menjadi
perhatian keluarga sang anak. Hal ini disebabkan anak, terutama masih bayi hingga balita
menghabiskan sebagian besar waktunya berada di rumah. Sanitasi yang tidak sesuai dengan
standar kesehatan akan mempengaruhi kesehatan anak dalam seribu hari pertama kehidupan.
Oleh karena itu, keluarga kembali memegang peran penting dalam kondisi anak.
Faktor ketiga adalah pengetahuan kesehatan ibu hamil dan bayi dalam keluarga.
Pengetahuan yang dimaksud bukan sekadar pentingnya menjaga kondisi dari ibu. Namun,
pengetahuan mengenai risiko anak stunting juga perlu. Risiko tersebut seperti keturunan ibu
pendek dan pernikahan dini. Pendidikan kesehatan seperti ini perlu digalakkan kepada
masyarakat.
Dengan demikian, pemerintah hendaknya mulai mencegah stunting melalui fokus lain.
Fokus tersebut adalah memberdayakan keluarga. Individu cenderung lebih percaya kepada
orang terdekatnya. Oleh karena itu, perlu dorongan dan kepedulian dari keluarga untuk
generasi penerusnya. Dorongan dapat diperoleh dari pemerintah yang sudah mencanangkan
progam 1000 HPK. Dengan begitu, diharapkan pengurangan prevalensi stunting dapat
melibatkan banyak elemen masyarakat dan mencapai angka serendah-rendahnya.

KATA KUNCI: Stunting, Ibu Hamil, Balita, Keluarga, Gizi

Aridiyah, F. O., Rohmawati, N. dan Ririanty, M. 2015. Faktor-aktor yang Mempengaruhi


Kejadian Stunting pada Anak Balita di Wilayah Pedesaan dan Perkotaan ( The Factors
Affecting Stunting on Toddlers in Rural and Urban Areas ). e-Journal Pustaka Kesehatan. vol.
3, no. 4. 11 September 2019.

World Health Organization .2012. World Health Statistics 2012 [online].


https://www.apps.who.int. 11 September 2019.
Kementerian Kesehatan RI .2013. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Tahun
2013: Status Gizi Anak Balita [online]. https://www.depkes.go.id. 11 September 2019.

Anda mungkin juga menyukai