Anda di halaman 1dari 34

PERLAWANAN PEREMPUAN DALAM DWILOGI NOVEL SLINDET

KARYA KEDUNG DARMA ROMANSA

Oleh :

Agus Budiman

201814153013

MAGISTER KAJIAN SASTRA DAN BUDAYA

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA

2019

1
Proposal Tesis ini telah disetujui untuk diujikan pada Pra-Proposal Tesis
Tanggal ...............

Oleh
Pembimbing 1

Dr. Ida Nurul Chasanah, S.S., S. Hum


NIP.196911141994032003

MAGISTER KAJIAN SASTRA DAN BUDAYA

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA

2019

2
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perlawanan perempuan bermula dari adanya kelompok-kelompok

dominan yang melakukan penindasan terhadap kelompok yang terdominasi.

Kalau dianalisis dalam hal seksualitas bahwa peradaban-peradaban patriarki

masih melekat pada diri laki-laki yang menganggap bahwa kedudukan laki-

laki lebih tinggi dibanding perempuan. Praktek-praktek patriarki ini dapat kita

temui dibeberapa tempat Mall-mall besar, pemilik perusahaan masih

menggunakan pola parkir khusus laki-laki dan perempuan. biasanya parkir

perempuan lebih luas dan lebih mudah, sedangkan parkir laki-laki lebih rumit

dan padat. Hal ini menggambarkan laki-laki memiliki derajat lebih mulia

dibanding dengan perempuan. laki-laki memiliki kontrol penuh di masyarakat

baik itu secara sosial, politik maupun ekonomi. Batasan-batasan peran

perempuan yang terkungkung budaya patriarki membuat perempuan menjadi

lemah dan sering mendapatkan preesing dari kelompok dominan, dengan

wacana perlakuan diskriminasi-deskriminasi sosial. Fenomana inilah

menjadikan perempuan diletakkan pada posisi inferior. Asumsi-asumsi diatas

menjadikan laki-laki lebih unggul dibanding perempuan, sehingga terkadang

akhirnya memengaruhi munculnya kekerasan-kekerasan terhadap kelompok

yang terdominasi.

3
Selain muncul dalam kehidupan nyata, budaya-budaya patriarki ini juga

ditampilkan dalam karya sastra. Sastra merupakan produk masyarakat yang

berupa tulisan dan tidak bisa dilepaskan dari manusia sebagai penulisnya.

Sehingga terkadang di dalamnya terdapat standar tersendiri tentang

menggambarkan budaya-budaya patriarki yang terdapat pada teks sastra.

Kekerasan – kekerasan maupun eksploitasi perempuan dihadirkan sebagai

bentuk dominasi kelompok laki-laki. Hal inilah yang menjadikan perlawanan

perempuan mencuat seiring dengan semangat perempuan dalam

memperjuangkan kesetaraan gender. Pembahasan terkait budaya patriarki dan

Perlawanan-perlawanan perempuan hadir pada dwilogi novel karya sastra

karya Kedung Darma Romansa, atau biasa disebut dwilogi novel slindet.

Dwilogi novel slindet berisikan dua novel. Pertama, novel yang berjudul kelir

slindet ini diterbitkan pada tahun 2014 oleh PT. Gramedia Pustaka utama.

Novel kelir slinder merupakan gambaran kehidupan masayarakat kota

indramayu pada masa orde baru (sebelum reformasi), dimana budaya budaya

patriarki cukup dominan sebagaiamana program yang dirancang pemerintah

era Pemerintah Soeharto.

Wacana keluarga dan perkawinan merupakan hal yang sentral selama

tahun-tahun Orde Baru, ketika Presiden Soeharto mengonsolidasikan

wewenangnya dengan memproyeksikan dirinya sebagai Bapak bangsa.

Paradigma maskulinisme dipromosikan melalui Gerakan Kesejahteraan

Keluarga (PKK) pemerintah yang dirumuskan pada tahun 1973, dan Dharma

Wanita (organisasi wanita dengan keanggotaan wajib untuk istri pegawai

4
negeri sipil), serta menetapkan tugas perempuan dalam hal melayani keluarga.

Munculnya beberapa tokoh laki-laki superior yang dihadirkan pengarang

dalam novel kelir slindet menggambarkan kokohnya budaya patriarki pada

zaman itu, sehingga perempuan dalam novel tersebut terlihat lemah dan

patuh. Faktor inilah yang menyebabkan munculnya perlawanan-perlawanan

perempuan untuk menghancurkan dominasi maskulinitas.

Berbeda dengan novel pertama, novel kedua yang berjudul telembuk yang

diterbitkan di Indie Book Corner pada 2017, menggambarkan kehidupan

Kota Indtramayu pada masa setelah reformasi. Ide-ide feminis hadir secara

blak-blakan dan menantang gagasan yang mendominasi cara berpikir orang

Indonesia. Novel tersebut menggambarkan semangat zamannya perempuan

untuk menentang, menyerukan hak-hak kesetaraan gender. Tokoh-tokoh

perempuan yang dihadirkan pengarang lebih mendominasi dan memliki peran

kebebasan dalam hidup. Teks dalam novel tersebut menggambarkan

pergeseran hubungan seksual dan seksualitas, bahwa politik hasrat lebih

terbuka daripada sebelumnya. Seksualitas tidak hanya melayani tujuan

reproduksi dan hubungan seksual yang terbatas pada perkawinan saja. Teks-

teks tersebut menggarisbawahi bahwa seksualitas adalah bagian integral dari

kondisi manusia dan bahwa laki-laki dan perempuan setara dalam menikmati

kenikmatan seksual sebagai ekspresi keintiman fisik. Perlawan-perlawanan

perempuan dihadirkan secara berulang-ulang untuk melunturkan dominasi-

dominasi patriarki yang terbingkai dalam sebuah gerakan yang disebut

Feminisme.

5
Alasan memilih dwilogi novel slindet karya Kedung Darma Romansa

menjadi objek kajian yang menarik untuk saya teliti karena terlihat adanya

pergeseran budaya. Budaya-budaya patriarki yang cukup dominan pada masa

orde baru, mulai bergeser dengan hadirnya perlawanan-perlawnan perempuan

sebagai dorongan tentang keseteraan gender. Perlawanan perempuan hadir

sebagai respon semangat zamannya, ketika pemerintah Soeharto atau biasa

disebut pasca reformasi lengser dari jabatanya. Perempuan-perempuan mulai

berani tampil di masyarakat umum, dan menjadi tokoh senral dalam sebuah

karya satra. Dalam menghadirkan perlawanan perempuan dalam teks satra

diperlukan pembacaan sebagai perempuan. Dalam melakukan membacaan

sebagai perempuan peneliti memposisikan diri sebagai perempuan dengan

merasakan segala keberadaan dan ketakberdayaannya akan membuat kita

berhasil membaca teks dalam sebuah karya sastra perempuan. Apabila

pembaca hanya menempatkan diri sebagai ”pembaca” maka ia tidak akan

dapat menangkap pesan dan gagasan tersebut. Sebaliknya mereka hanya

berkutat pada pemahaman serta persepsi masyarakat secara umum yang masih

didominasi kultur patriarki.

Selain itu, dalam penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan dwilogi

novel slindet karya Kedung Darma Romansa, peneliti sebelumnya sebagian

besar memaparkan permasalahan tentang kekerasan dan eksploitasi

perempuan. peneliian-penelitian sebelumnya menghadirkan ketimpangan

gender dan lemahnya kelompok perempuan yang selalu tertindas.

Penggambaran ketertindasan, kekerasan, bentrok kekuasaan serta eksploitasi

6
membawa suasana chaos dalam sebuah cerita. Padahal dalam dwilogi novel

tersebut muncul perlawan-perlawanan yang dihadirkan perempuan dalam

melawan dominasi patriarki. Perlawanan-perlawan inilah yang ingin saya

hadirkan dalam penelitian ini sebagai bentuk pendekontruksian suasana cerita

yang telah dihadirkan peneliti sebelumnya. Sehingga penelitian ini terbilang

menarik karena menyajikan hal-hal yang baru yang sebelumnya belum pernah

di sajikan peneliti lainnya dalam meneliti dwilogi novel slindet karya Kedung

Darma Romansa.

Berdasarkan asumsi dan permasalahan dalam dwilogi novel tersebut,

unrtuk memahami dan mencari bentuk perlawanan yang dilakukan

perempuan, maka penelitian ini berfokus pada penggunaan konsep Strutural

Robert Stanton. Penggunanaan strukturalal Robert Stanton sebagai teori

untuk menjemabntai penetian ini, dengan pencarian tokoh dan penokohan

dalam dwilogi karya kedung darma Romanasa. Proses ini ditujukan untuk

mengurai pada level struktur khususnya tentang tokoh dan penokohan yang

terdapat pada dwilogi novel Slindet. Pembedahan tahap ini difokuskan pada

hasil yang didapatkan dari tahapan analisis aspek struktur naratif, kemudian

akan digunakan teori tambahan dengan menggunakan pemikiran junathan

culler yang berjudul reading as a women untuk merumuskan konsep

pembacaan posisi perempuan yang terdapat dalam dwilogi novel slindet karya

Kedung Darma Romansha. Dalam melakukan membacaan sebagai

perempuan peneliti memposisikan diri sebagai perempuan dengan merasakan

segala keberadaan dan ketakberdayaannya akan membuat kita berhasil

7
membaca teks dalam sebuah karya sastra perempuan. Apabila pembaca hanya

menempatkan diri sebagai ”pembaca” maka ia tidak akan dapat menangkap

pesan dan gagasan tersebut. Teori inilah nantinya akan menghadirkan bentuk-

bentuk perlawanan perempuan yang terdapat dalam dwilogi novel Slindet

tersebut.

8
1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Bagaimanakah bentuk perlawanan perempuan dalam dwilogi Novel

Slindet ?

1.2.2 Bagaimana konsep Reading as Women pada tokoh Perempuan dalam

dwilogi Novel Slindet?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Menunjukan bagaimana bentuk kekerasan dalam dwilogi Novel Slindet?

1.3.2 Menunjukan konsep Reading as a Women pada tokoh Perempuan dalam

dwilogi Novel Slindet ?

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian yang menarik adalah penelitian yang mampu memberikan

manfaat teorits maupun praktis. Penelitian ini diharapkan mampu

menghasilkan manfaat, baik manfaat teoritis maupun manfaat praktis.

Manfaat teoritis antara lain adalah menerapkan teori Robert Stanton dalam

mendeskripsikan karakter, tokoh dan penokohan pada dwilogi novel Slindet.

Tujuan analisis struktural adalah membongkar dan memaparkan secermat

mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua anasir dan aspek karya sastra

yang menghasilkan makna menyeluruh (Teeuw, 1984:136). Dalam hal ini,

pembahasan memiliki fokus terhadap unsur dan fungsi karakter yang

berkiatan tokoh dan penokohan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat

memberikan jembatan untuk mempermudah peneliti dalam menggunakan

9
Teori Reading as a Women yaitu membaca perempuan dalam teks sastra.

Sedangkan untuk manfaat praktis, secara praktisnya penelitian ini diharapkan

dapat memberikan pengetahuan sekaligus gambaran tentang perlawanan

perempuan yang terdapat dalam dwilogi novel Slindet. Selain itu, penelitian

ini diharapkan mampu meningkatkan apresiasi masyarakat dalam memahami

karya sastra, khususnya novel.

1.5 Sistematika Penyajian

Penelitian ini disusun dalam enam bab yang masing-masing di dalamnya

berisi sebagai berikut:

1. Bab I merupakan pendahuluan, berisi latar belakang masalah, rumusan

masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematik penyajian.

2. Bab II merupakan kajian pustaka, berisi penelitian terdahulu, batasan

konseptual, dan landasan teori.

3. Bab III berisi metode penelitian meliputi tahap penentuan dan pemahaman

objek, tahap pengumpulan dan pemahaman data, serta tahap analisis dan

pemaknaan data.

4. Bab IV berisi bentuk perlawanan perempuan dalam dwilogi novel Slindet

menggunakan teori struktural Robert Stanton dan Reading as a Women

Junathan Culler. Bab ini dibagi menjadi tiga subbab yang masing-masingnya

adalah pembahasan untuk menghadirkan karakter tokoh dan penokohan serta

pembacaan perempuan dalam dwilogi novel Slindet karya Kedung Darma

Romansa

10
5. Bab V berisi perumusan bentuk-bentuk perlawanan perempua dalam dwilogi

novel Slindet karya Kedung Darma Romansa

6. Bab VI adalah penutup yang berisi kesimpulan dan saran dari semua analisis

yang dibahas pada bab-bab sebelumnya.

11
BAB II

KAJIAN PUSTAKA

Berdasarkan penelusuran pustaka, ditemukan banyak penelitian terkait

dengan fokus kajian penelitian ini, baik kesamaan dalam objek formal

maupun material. Penelitian ini merupakan salah satu penelitian yang

mengedepankan bahasan terkait perlawanan perempuan. Oleh karena itu,

beberapa penelitian sebelumnya yang terkait dikaji dalam rangka

menentukan posisi penelitian ini.

2.1 Penelitian Sebelumnya

Putri Ayuni Gamas dalam jurnalnya yang berjudul “Perlawanan

Perempuan Akibat Ketidakadilan gender Dalam Novel Entrok Karya Okky

Madasari”, penelitian ini menitik beratkan pada permasalahan

ketidaksetaraan gender yang dialami oleh tokoh perempuan, hal ini karena

budaya patriarki yang cukup , selain itu juga bagaimana tokoh perempuan

melakukan perlawanan atas ketidakadilan tersebut. Teori yang digunakan

dalam penelitian ini adalah kritik sastra feminis dengan mengkhususkan pada

teori feminis radikal. Feminis radikal menekankan bahwa akar opresi

terhadap perempuan berasal dari seks dan gender yang dikonstruksi oleh

budaya patriarki.

Penelitian ini berfokus pada gerakan-gerakan perlawan perempuan melalui

gerakan feminis radikal, dalam memahami feminis radikal yang perlu

12
diperhatikan adalah pembagian wilayah seks dan gender. Pembgian wilayah

inilah yang menjadikan fokus penelitian terkait seks yang berkaitan jenis

kelamin dan gender yang berkiatan dengan feminis dan maskulin.

Ketidakadilan yang menimpa kelompok perempuan disebabkan karena

kelompok patriarkal menggunakan konsep gender secara kaku, untuk

memastikan bahwa perempuan bersifat pasif. Asumsi inilah yang membuat

perempuan melakukan perlawanan. Perlawanan-perlawanan perempuan

tersebut dimplimentasikan dalam bentuk seksualitas dan kemandirian

perempuan.

Ida Bagus Made Wisnu Parta (2006) dalam jurnalnya yang berjudul

Representasi Perlawanan Perempuan Terhadap Hegemoni Laki Laki Dalam

Teks Geguritan Maniguna. Penelitian ini dianalisis dengan menggunakan

teori Kritik Sastra Feminis dengan penekanan pada konsep Kritik Sastra

Feminis Sosialis-Marxis. Feminis Marxis cenderung untuk menunjukan

penghargaan mereka langsung kepada marx, engels dan pemikir abad 19 lain.

Mereka cenderung mengidentifikasi kelasisme dan bukan seksisme sebagai

penyebab utama operasi terhadap perempuan. Sebaliknya feminis sosialis

tampaknya lebih dipengaruhi oleh pemikir abad 20 an, seperti althusser dan

habermas. Feminis sosialis cenderung mengidentifikasi penyebab operasi

perlawanan perempuan bukanlah kelasisme mapun seksisme melainkan suau

keterkaitan yang sangat rumit anatara kapitaslisme dan patriarki. Feminis

Marxis dan sosialis sepakat bahwa perlawanan perempuan bukanlah hasil

13
tindakan individu, melainkan produk dari struktur politik, sosial, dan

ekonomi.

Berdasarkan analisis Geguritan Maniguna ditemukan, bentuk hegemoni

laki – laki terhadap perempuan, yaitu (1) bentuk utama yaitu

memperjuangkan harkat dan martabat hidup perempuan, dan (2) bentuk

penunjang, seperti: (a) loyalitas, kesetiaan kepada suami dan (b) solidaritas,

perasaan senasib yang tertindas untuk membangun kekuatan dalam keluarga.

Norannabiela (2013) dalam skripsinya yang berjudul Perlawanan

Perempuan Lajang Terhadap Norma Budaya Patriarkat Kajian Feminis

Terhadap Nayla Tokoh Utama Novel Nayla Karya Djenar Maesa Ayu.

penelitian ini mengungkap bentuk-bentuk persoalan gender dan bentuk-

bentuk perlawanan terhadap norma budaya patriarkat dalam novel Nayla.

Penulis menggunakan teori struktural, teori feminisme, dan teori kelamin dan

gender untuk mengetahui adanya persoalan dan perlawanan terhadap norma

budaya patriarkat secara lebih lanjut. Analisis srtruktural novel Nayla, yakni

alur dan pengaluran, tokoh dan penokohan, latar, tema, dan amanat. Alur dan

pengaluran yang pengarang gunakan yakni, alur tunggal adalah pengarang

hanya berpusat pada satu tokoh yakni Nayla, dan pengaluran flashback

digunakan untuk memaparkan cerita dari masa lalu, masa sekarang, dan

kembali ke masa lalu. Tokoh utama dalam novel, yakni Nayla, tokoh yang

melakukan perlawanan terhadap budaya patriarkat.

Fitayah Fatimah Ramadhani dkk (2015) dalam jurnalnya yang berjudul

Kekerasan Verbal Pada Novel Kelir Slindet Karya Kedung Darma Romansha

14
Dan Kelayakannya. Dalam penelitian ini adalah kekerasan verbal dalam

novel Kelir Slindet karya Kedung Darma Romansha. Tujuan dari penelitian

ini untuk mendeskripsikan jenis-jenis kekerasan verbal yaitu, tindak tutur

kekerasan tidak langsung, tindak tutur kekerasan langsung, tindak tutur

kekerasan represif, dan tindak tutur alienatif yang terdapat pada novel Kelir

Slindet dan kelayakannya sebagai bahan ajar di SMA. Hasil penelitian

menunjukan bahwa di dalam novel ini pengarang tidak menggunakan

keempat jenis kekerasan verbal pada setiap tokoh. Hanya tokoh Saritem yang

menggunakan keempat jenis kekerasan verbal dalam tuturannya dan novel

Kelir Slindet layak gunakan sebagai bahan ajar di SMA.

Dalam penelitian ini peneliti berfokus pada kekerasan - kekersan

kekerasan yang dihadirkan kelompok dominan dalam mendominasi kelompo

tertindas. Dalam penelitian ini ada batasan-batasan dalam menghadirkan

kekerasa-kekerasan verbal pada tokoh yang ada dalam novel Slindet. Hanaya

ada satu tokoh yang menggunakan keempat jenis kekerasan verbal anatara

lain Tindak Tutur Kekerasan Tidak Langsung, Tindak Tutur Kekerasan

Langsung, Tindak Tutur Kekerasan Represif dan Tindak Tutur Kekerasan

Alienatif.

Muhammad Rafi’i dalam jurnalnya yang berjudul Budaya Patriarkhi dan

Perjuangan Perempuan dalam Novel Pesan Cinta Dari Hujan Karya Erni

Aladjai. Penelitian ini menggambarkan Budaya patriarkhi tertuang dalam

sikap, perilaku, dan tindakan tokoh-tokoh laki-laki terhadap tokohtokoh

perempuan. Pendekatan yang dipakai untuk menelusuri budaya patriarki dan

15
perjuangan perempuan dalam novel adalah feminis. Temuan-temuan

menunjukkan bahwa budaya patriarkhi terwujud dalam bentuk kekerasan

dalam rumah tangga atau perempuan, kekerasan pada pendidikan dan

pembentukan karakter anak, kekerasan untuk memberikan ruang dan gerak

mengaktualisasikan diri. Perjuangan oleh tokohtokoh perempuan terhadap

budaya patriarkhi dengan ketabahan, air mata, dan lari.

Dalam penelitian ini peneliti berfokus pada faktor-faktor yang

melatarbelkangi terjadinya perlawanan-perlawanan perempuan. Salah satu

faktor yang cukup dominan dalam hal ini adalah tentang dominasi budaya

patriarki. Dalam penelitian ni peneliti menggambarkan dominasi budaya

patriarki dalam hal sikap, perilaku, dan tindakan tokoh-tokoh laki-laki

terhadap tokohtokoh perempuan. Sedangkan perjuangan ataupun perlawanan

perempuan dianalisis dengan menggunakan pendekatan feminisme.

Moh. Muzakka dalam jurnalnya yang berjudul Perjuangan Kesetaraan

Gender dalam Karya Sastra Kajian terhadap Novel Perempuan Berkalung

Sorban dan Gadis Pantai. Penelitian ini mencoba mengkaji perjuangan gender

dalam dua novel Indonesia, yaitu novel Perempuan Berkalung Sorban karya

Abidah ElKhalieqy dan novel Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer.

Pemilihan kedua novel tersebut berdasarkan pada potensi teks dan

penulisnya. Novel pertama ditulis oleh perempuan berlatar belakang

pesantren (santri) dan novel kedua ditulis oleh laki-laki berpaham nasionalis-

realismesosialis. Untuk menganalisis kedua novel tersebut digunakan

pendekatan sosiologi sastra dengan perspektif kritik sastra feminis.

16
Achmad Munif (2006) dalam jurnalnya yang berjudul Perlawanan

Perempuan Terhadap Ketidakadilan Gender Dalam Novel “Perempuan

Jogja”. penelitian ini berpijak pada sebuah realita atas praktik kehidupan yang

belum menempatkan kaum perempuan pada posisi setara dengan kaum laki-

laki. Kaum perempuan hidup dalam ketidakadilan. Pendekatan yang

digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan sosiologi karya sastra.

Pendekatan sosiologi karya sastra dalam penelitian ini digunakan sebagai titik

tolak dalam mengkaji karya sastra yang terkait dengan masalah-masalah

sosial masyarakat. Dari analisis penelitian dapat disimpulkan: (1) bentuk

perlawanan perempuan merupakan suatu usaha yang dilakukan kaum

perempuan untuk melepaskan diri dari ketidakadilan gender, (2) fungsi

perlawanan prempuan sebagai penyadaran agar kaum perempuan diberikan

peran serta fungsi yang sama dengan laki-laki untuk mencapai kesetaraan

gender, (3) makna perlawanan perempuan sebagai rekonstruksi budaya atas

budaya patriarkhi yang menempatkan kaum perempuan pada posisi yang

kurang menguntungkan. Dengan demikian, telah terjadi “Counter Budaya”

atas hegemoni yang selama ini terjadi pada perempuan.

U’um Qomariyah dalam jurnalnya yang berjudul Citra Perempuan Kuasa

Dalam Perspektif Kritik Sastra Feminis Novel Perempuan Berkalung Sorban

Karya Abidah El-Khalieqy. penelitian ini mencoba melihat bagaimana citra

perempuan kuasa dalam novel PBS. Permasalah yang diangkat mencakup

manifestasi budaya patriarki terhadap kedudukan peempuan, dominasi dan

kekerasan terhadap perempuan, dan citra perempuan kuasa dalam novel PBS.

17
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan kritik sastra

feminis. Hasil menunjukkan bahwa, pertama manifestasi budaya patriarki

terlihat dalam beberapa hal misalnya dalam tradisi keluarga pesantren yang

sepertinya membuat perbedaan antara kedudukan laki-laki dan perempuan;

tradisi perjodohan yang tidak memberikan pilihan bagi perempuan untuk

memilih pasangan hidupnya sendiri; tradisi berpendapat yang menafikan

peran perempuan karena perempuan dihegemoni untuk bisa nrimo ing

pandum.

Kedua, perempuan dalam PBS ternyata mengalami dominasi dan

kekerasan. Kekerasan itu dimanifestasikan dalam bentuk fisik dan psikis.

Tokoh perempuan dalam novel ini, Annisa, mengalami kekerasan fisik dan

psikis dari suami dan keluarganya. Perannya benar-benar dimimalisir hanya

karena dia seorang perempuan. Ketiga, manifestasi budaya patriarki dan

dominasi serta kekerasan yang dialami Annisa tidak menyebabkan ia menjadi

perempuan yang lemah dan menerima begitu saja akan nasib yang

menimpanya.

Wiyatmi (2010) dalam jurnalnya yang berjudul Citraan Perlawanan

Simbolis Terhadap Hegemoni Patriarki Melalui Pendidikan Dan Peran

Perempuan Di Arena Publik Dalam Novel- Novel Indonesia. Penelitian ini

bertujuan untuk mengidentifikasi citra simbolik simbolik resistensi dominasi

patriarkal melalui pendidikan dan peran perempuan dalam ranah publik dan

dalam novel-novel Indonesia. Penelitian ini menggunakan kritik sastra

feminisme. Hasil penelitian menunjukkan resistensi terhadap hegemoni

18
patriarki dalam bentuk perjuangan perempuan untuk mendapatkan

kesempatan untuk tetap menggunakan pendidikan mereka untuk

mempersiapkan tugas-tugas domestik, sebagai ibu rumah tangga, pendidikan

untuk wanita yang mempersiapkan diri untuk bekerja di sektor publik,

terutama sebagai guru, melanjutkan dengan masuknya perempuan yang

dididik dalam organisasi perempuan ke emansipasi perempuan dan

perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia.

Burhan Nurgiyantoro dalam jurnalnya yang berjduul Citra Wanita Dalam

Novel Indonesia Sebelum Perang. Penelitian ini bertujuan untuk

mendeskripsikan: (a) citra perwatakan tokoh wanita dalam novel Indonesia

sebelum perang, (b) kedudukan tokoh wanita dalam dalam perbandingannya

dengan tokoh pria, (c) masalah yang diperjuangkan tokoh wanita, dan (d)

factor yang bersifat menghalangi perjuangan tokoh wanita. Penelitian ini

menggambarkan hubungan tokoh pria. Peran dan kedudukan tokoh wanita

dicitrakan dalam 5 kategori: dominasi pria kuat,dominasi pria tak kuat, pria

wanita sederajat, dominasi wanita terhadap pria dan dominasi wanita terhadap

wanita. Lebih lagi separuh wanita masih didominasi pria. Masalah yang

diperjuangkan tokoh wanita mencangkup: kebebasan memilih jodoh,

penolakan tradisi, persamaan hak, pengakuan martabat, elurusan sikap pria

dan kejujuran. Masalah yang paling banyak dituntut adalah tiga yang pertama

dan yang berhasil sebesar 51%. Masalah yang menghalangi perjuangan tokoh

wanita meliputi:tradisi/adat, status social, harta, kesombongan sikap,

kejahatan, takdir, ketertutupan hati dan keterbelakagan.

19
2.2 Batasan Konseptual

Kekerasan dan ketertindasan gender merupakan faktor yang menyebabkan

perempuan melakukan perlawanan. Kalau dilihat irisan dari konsep seks dan

gender dapat digambarakan bahwa, seks merupakan hal yang berkaitan

dengan kodrati manusia seperti, menstruasi, melahirkan, menyusuai. Hal-hal

tersebut merupakan kodrat perempuan yang tidak bisa diwakilkan pada laki-

laki, sedangkan gender berkutat pada kultur maupun kontruksi sosial yang

berdasarkan kesepakatan bukan kodrat. Misalnya dalam hal pekerjaan, baik

laki-laki maupun perempuan memliki hak yang sama dalam bekerja

berdasarkan kesepakatan bersama. Konsep inilah yang yang menjadi kajian

penelitian ini yang fokus pada wilayah seks dan gender. Perlawanan-

perlawanan yang dihadrikan tokoh dalam dwilogi novel Slindet mengacu

pada wiliyah seks dan gender.

2.3 Landasan Teori


Dalam landasan teori ini, dipaparkan teori struktural Robert Stanton, teori

kritik sastra feminis yang berfokus pada teori Junathan Culler berjudul

Reading as a Women. Teori struktural Robert Stanton berfungsi untuk

menganalisis sebuah karya sastra dengan memperhatikan tokoh dan

penokohan yang terkandung dalam struktur dalam sebuah karya sastra. Teori

Reading as a Women Jonathan Culler berfungsi pembacaan perempuan dalam

teks sastra, hal in bertujuan untuk membongkar hal yang berkaitan dengan

perlawanan maupun ketertindasan tokoh Safitri dalam novel tersebut

20
2.3.1 Teori Strukturalisme Robert Stanton

Adapun teori struktural yang digunakan untuk menganalisis adalah teori

struktural Robert Stanton. Stanton membagi unsur intrinsik fiksi menjadi dua

bagian, yaitu: fakta cerita dan sarana cerita. Ia membagi unsur fakta cerita

menjadi empat, yaitu alur, tokoh, latar, dan tema. Sedangkan sarana cerita

terdiri dari judul, sudut pandang, gaya bahasa dan nada, simbolisme, dan

ironi. Dalam penelitian ini penlitia hanya fokus pada fakta cerita yang ada

pada dwilogi novel kelir Slindet.

Fakta Cerita

Alur, karakter, dan latar merupakan fakta-fakta cerita. Elemen-elemen ini

berfungsi sebagai catatan kejadian imajinatif dari sebuah cerita. Jika

dirangkum menjadi satu, semua elemen ini dinamakan „struktur faktual‟ atau

„tingkatan faktual cerita. Struktur faktual merupakan salah satu aspek cerita.

Struktur faktual adalah cerita yang disorot dari satu sudut pandang (Stanton,

2007:22). Unsur-unsur yang berkaitan dengan fakta cerita adalah sebagia

berikut:

1. Alur

Alur merupakan tulang punggung cerita. Berbeda dengan elemen-elemen

lain, alur dapat membuktikan dirinya sendri meskipun jarang diulas panjang

lebar dalam sebuah analisis. Sebuah cerita tidak akan pernah seutuhnya

dimengerti tanpa adanya pemahaman terhadap peristiwa-peristiwa yang

mempertautkan alur, hubungan kausalitas, dan keberpengaruhannya. Sama

21
halnya dengan elemen-elemen lain, alur alur memiliki hukum-hukum sendir;

alur hendaknya memiliki bagian awal, tengah, dan akhir yang nyata,

meyakinan dan logis, dapat menciptakan bermacam-macam kejutan, dan

memunculkan sekaligus mengakhiri ketegangan-ketegangan (Stanton,

2007:28). Dua elemen dasar yang membangun alur adalah ‟konflik‟ dan

‟klimaks‟. Konflik utama selalu bersifat fundamental, membenturkan ‟sifat-

sifat‟ dan ‟kekuatan-kekuatan‟ tertentu. (Stanton, 2007:32).

Pada tahap ini, setiap karya fiksi setidak-tidaknya memoliki ‘konflik

internal’ (yang tampak jelas) yang hadir melalui hasrat dua orang karakter

atau hasrat orang karakter dengan lingkungannya. Konflik-konflik spesifik ini

merupakan subordinasi satu ‘konflik utama’ yang bersifat eksternal, internal

atau dua-duanya. Klimaks adalah saat ketika konflik terasa sanngat intens

sehingga endingna tidak dapat dihindari lagi. Klimaks merupakan titik yang

mempertemukan kekuatan-kekauatan konflik dan menentukan bagaimana

oposisi tersebut dapat terselesaikan.

2. Tokoh atau Karakter


Tokoh atau biasa disebut „karakter‟ biasanya dipakai dalam dua konteks.

Konteks pertama, karakter merujuk pada individu-individu yang muncul

dalam cerita. Konteks kedua, karakter merujuk pada berbagai percampuran

dari berbagai kepentingan, keinginan, emosi, dan prinsip moral dari individu-

individu tersebut. Dalam sebagian besar cerita dapat ditemukan satu “tokoh

utama‟ yaitu tokoh yang terkait dengan semua peristiwa yang berlangsung

22
dalam cerita. Alasan seorang tokoh untuk bertindak sebagaimana yang

dilakukan dinamakan „motivasi‟ (Stanton, 2007:33).

Dalam tahap ini tema ‘karakter’ biasanya dipakai dalam dua konteks.

Konteks pertama, karakter merujuk pada individu-individu. Konteks kedua,

karakter merujuk pada percampuran dari berbagai kepentingan, keinginan,

emosi, dan prinsip moral dari individu-individu. Dalam sebagian besar cerita

dapat ditemukan satu ‘karakter utama’ yaitu karakter yang terkait dengan

semua peristiwa yang berlangsung dalam cerita. Biasanya, peristiwa-peristiwa

ini menimbulkan perubahan pada diri sang karakter atau pada sikap kita

terhadap karakter tersebut. Pada kasus lain, bunyi yang diartikulasikan dari

nama karakter tertentu juga dapat mengarahkan kita pada sifat karakter itu.

Bukti lain yang tidak kalah penting adalah deskripsi eksplisit dan komentar

pengarang tentang karakter bersangkutan.

3. Latar
Latar adalah lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita,

semesta yang berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa yang sedang

berlansung. Latar dapat berwujud dekor. Latar juga dapat berwujud waktu-

waktu tertentu. Latar terkadang berpengaruh pada karakter-karakter. Latar

juga terkadang menjadi contoh representasi tema. Dalam berbagai cerita

dapat dilihat bahwa latar memiliki daya untuk

memunculkan tone dan mode emosional yang melingkupi sang

karakter. Toneemosional ini disebut dengan istilah „atmosfer‟. Atmosfer bisa

23
jadi merupakan cermin yang merefleksikan suasana jiwa sang karakter

(Stanton, 2007:35-36).

Dalam tahap ini latar adalah lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa

dalam cerita, semesta yang berinteraksi dengan peristiwa-peristwa yang

sedang berlangsung. Latar juga dapat berwujud waktu-waktu tertentu (hari,

bulan, dan tahun) cuaca, atau periode sejarah. Dalam berbagai cerita dapat

dilihat bahwa latar memiliki daya untuk memunculkan tone dan mood

emosional yang melingkupi sang karakter.

4. Tema

Tema merupakan aspek cerita yang sejajar dengan makna dalam pengalaman

manusia yaitu sesuatu yang menjadikan suatu pengalaman begitu diingat

(Stanton, 2007:36). Tema membuat cerita lebih terfokus, menyatu,

mengerucut, dan berdampak. Bagian awal dan akhir akan menjadi pas, sesuai,

dan memuaskan berkat keberadaan tema (Stanton, 2007:37).

Tema hendaknya memenuhi kriteria-kriteria sebagai berikut:

a. Interpretasi yang baik hendaknya selalu menpertimbangkan berbagai detail

menonjol dalam sebuah cerita. Kriteria ini adalah yang paling penting.

b. Interpretasi yang baik hendaknya tidak terpengaruh oleh berbagai detail

cerita yang saling berkontradiksi.

c. Interpretasi yang baik hendaknya tidak sepenuhnya tidak bergantung pada

bukti-bukti yang tidak secara jelas diutarakan (hanya secara implisit).

24
d. Terakhir, interpretasi yang dihasilkan hendaknya diujarkan secara jelas

oleh cerita bersangkutan (Stanton, 2007:44-45)

Dalam tahapan ini tema merupakan aspek cerita yang sejajar dengan

‘makna’ dalam pengalaman manusia, sesuatu yang menjadikan suatu

pengalaman begitu diingat. Oleh karena tema merupakan pernyatan

generalisasi, akan sangat tidak tepat diterapkan untuk cerita-cerita yang

mengolah emosi karakter-karakternya. Kita akan menggunakan tiga istilah

yaitu ‘tema’, ‘gagasan utama’, dan ‘maksud utama’ secara fleksibel,

tergantung pada konteks yang ada. Pengarang adalah pencerita, tetapi agar

tidak menjadi sekadar anekdot, cerita rekaannya harus memiliki maksud.

Maksud inilah yang dinamakan tema. Fungsi tema telah sepenuhnya

diketahui, namun identitas tema sendiri masih kabur dari pandangan. Tema

dapat diibaratkan ‘maksud’ dalam sebuah gurauan, setiap orang paham

‘maksud’ sebuah gurauan, tetapi tetap mengalami kesulitan ketika diminta

untuk menjelaskannya.

2.3.2 Teori Kritik Sastra Feminis : Reading as a Women

Menurut Lenser (2014 : 12) Kritik satra Feminis akan membuat dirinya

sadar akan pertanyaan sosial feminis dengan sengaja (kembali) menempelkan

diri pada gerakan perempuan di dalam dan di luar akademi, suatu gerakan di

mana beberapa dari kita mungkin telah berhenti bergantung sejauh bidang

lektur telah menyambut kami. Ketika apa yang disebut masalah non-sastra

muncul di ruang kelas kita, apakah kita terburu-buru untuk membuat siswa

25
kembali "ke jalurnya," atau apakah kita mengeksplorasi hubungan antara

masalah ini dan apa yang kita pelajari? Selama dimungkinkan untuk

"melakukan" kritik feminis tanpa menjadi seorang feminis aktif, perusahaan

yang kritis hanya akan menjadi kritis bagi komunitas ilmiah kita sendiri.

Namun, keterikatan kembali dengan gerakan feminis tidak akan membawa

kita jauh jika "wanita" membawa kepada kita kesederhanaan narsisistik dari

citra media "post-feminis": dalam wanita penulis atau pembaca yang

dibayangkan berpendidikan, mungkin santai, setidaknya berlipat ganda

istimewa. Substitusi semacam itu memperjelas sejauh mana perubahan yang

ditimbulkan oleh feminisme, seperti perubahan yang ditimbulkan oleh kritik

feminis, telah menguntungkan kelas elit yang kebanyakan wanita kulit putih

dengan mengorbankan komunitas yang jauh lebih besar, lebih miskin, dan

lebih beragam ras. Kita kemudian perlu untuk menantang kecenderungan

feminisme AS sendiri untuk mengkompromikan program radikal untuk jenis

keberhasilan tertentu: kita mungkin, misalnya, bertanya-tanya apa yang

sebenarnya dipertaruhkan ketika publikasi feminis nasional meminta

penerimaan yang berkontribusi untuk menghapus kata "lesbian" dari bagian

halaman depan artikelnya karena kata itu akan membahayakan.

2.3.3 Reading as a Women : Jonathan Culler

“Reading as A Woman” yang diangkat Culler adalah salah satu cara Culler

menjelaskan tentang kritik sastra feminis. Menurut Culler, tidak semua sastra

yang mengandung banyak aspek perempuan di dalamnya adalah sastra yang

mendukung perempuan, atau bahkan fokus pada perempuan dalam sebuah

26
sastra dapat menjadi sebuah ‘male gaze’. Menurut Goffman (1988), male

gaze adalah cara melihat perempuan sebagai objek semata, yang biasanya

mayoritas diasumsikan oleh kalangan laki-laki. Memposisikan diri sebagai

perempuan dengan merasakan segala keberadaan dan ketakberdayaannya

akan membuat kita berhasil membaca teks dalam sebuah karya sastra

perempuan. Karya sastra yang ditulis oleh penulis perempuan biasanya

menghadirkan pesan dan gagasan yang berlawanan dengan sistem patriarkat.

Apabila pembaca hanya menempatkan diri sebagai ”pembaca” maka ia tidak

akan dapat menangkap pesan dan gagasan tersebut. Sebaliknya mereka hanya

berkutat pada pemahaman serta persepsi masyarakat secara umum yang

masih didominasi kultur patriarki. Culler memikirkan beberapa arah yang

dapat menjadi acuan kritik feminis.

Penjelasan Culler ada pada tiga arah:

1. Pengetahuan perempuan akan memengaruhi cara mereka membaca sebuah

karya sastra. Maksudnya adalah, pengalaman dan pengetahuan mereka

sebagai perempuan adalah sumber jelas dari respon mereka terhadap

pembacaan. Culler menjelaskan juga, bahwa pada poin ini, dapat terjadi bias

dan kritik terhadap karya sastra yang memiliki figur pria yang dominan.

Dalam hal arah ini menganggap bahwa arah pertama menyatakan bahwa

pengalaman hidup perempuan meluas ke bacaan sastra mereka. Ini berarti

bahwa pengalaman mereka sebagai seorang wanita adalah sumber otoritas

bagi "respons pembaca" dari pembacaan feminin. Sikap ini berarti perempuan

membaca secara berbeda dari laki-laki, menjadikan teks ini landasan yang

27
tidak netral sebagaimana yang dipikirkan oleh kritik sastra tradisional. Kritik

semacam itu, kata Culler, sebagian besar akan berurusan dengan tema dalam

literatur dominan. Mereka akan mengkritik sastra dominan pria dan

mengekspos bias maskulin.

2. Perempuan diposisikan membaca tidak sebagai perempuan. Hal ini, menurut

Kolodny dalam Culler, membaca adalah suatu aktivitas yang dipelajari dan

tidak dapat dijauhkan dari pengaruh gender dan kelamin (Culler, 1982, hal.

51). Karya sastra lahir karena pengaruh suatu budaya, terutama budaya

patriarki akan menciptakan sebuah karya sastra sebagai pembacaan laki-laki

terlepas dari apapun ceritanya. Sedangkan pembaca wanita ini akan

mengaitkan karakter wanita dalam karya sastra berdasarkan realitas

kehidupan dunia nyata yang dialaminya. Dalam arah ini menganggap bahwa

wanita dikondisikan untuk membaca sebagai pria. Pandangan ini berpendapat

bahwa pembacaan maskulin harus ditentang oleh pembentukan pembacaan

feminin (yang tidak diberikan, seperti dalam pendekatan pertama yang

dijelaskan Culler). Dalam pengertian ini membaca sebagai seorang wanita

berarti tidak membaca sebagai seorang pria. Ini jelas mempertahankan oposisi

biner antara pria dan wanita dan hanya mencoba untuk menggeser

keseimbangan.

3. Culler menjelaskan bahwa kritik feminis ini melawan konsep, kategori, dan

perbedaan-perbedaan yang ditunjukkan oleh karya sastra dan melabeli

mereka sebagai sesuatu yang maskulin. Poin yang ini mencoba

mendekonstruksi perbedaan antara pembacaan feminin dan maskulin. Dalam

28
arah terkahir ini yang dijelaskan Culler adalah pendekatan post-struktural

yang berpendapat bahwa konsep, kategori, dan perbedaan yang digunakan

dalam kritik sastra adalah maskulin (dan ini termasuk dua tren sebelumnya).

Upaya di sini adalah untuk mendekonstruksi perbedaan antara pembacaan

maskulin dan feminin.

Posisi Culler di akhir "Membaca sebagai seorang Wanita" adalah bahwa

pengalaman feminin memiliki posisi ganda. Di satu sisi Culler berpendapat

bahwa menjadi seorang wanita adalah prasyarat untuk membaca sebagai

seorang wanita. Di sisi lain posisi ini harus dibangun dan ditetapkan. Ini

adalah semacam jalan tengah antara berbagai posisi yang dijelaskan dalam

artikel Culler. Ini bukan posisi esensialis tetapi masih posisi yang menarik

bagi realitas di luar teori.

29
BAB III

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan dengan meggunakan metode kualitatif

deskriptif. Objek material dalam penelitian ini adalah dua kumpulan novel

karya Kedung Darma Romansa yakni kelir Slindet dan Telembuk sebagai

objek dalam penelitian ini. Adapun objek formal dalam penelitian ini adalah

teori struktural Robert Stanton dan Reading as a Women Junathan Culler.

3.1 Sumber Data

Penelitian ini menggunakan objek material berupa dwilogi novel slindet

karya Kedung Darma Romansa. Novel pertama berjudul kelir slindet yang

diterbitkan pada tahun 2014 oleh PT. Gramedia Pustaka utama dengan 256

halaman. Novel kelir slinder merupakan gambaran kehidupan masayarakat

kota indramayu pada masa orde baru (sebelum reformasi), dimana budaya

budaya patriarki cukup dominan sebagaiamana program yang dirancang

pemerintah era Pemerintah Soeharto. Sedangkan novel kedua berjudul

Telembuk yang diterbitkan di Indie Book Corner dengan jumlah halaman

414. Novel ini menggambarkan kehidupan Kota Indtramayu pada masa

setelah reformasi. Ide-ide feminis hadir secara blak-blakan dan menantang

gagasan yang mendominasi cara berpikir orang Indonesia. Novel tersebut

menggambarkan semangat zamannya perempuan untuk menentang,

menyerukan hak-hak kesetaraan gender. Tokoh-tokoh perempuan yang

dihadirkan pengarang lebih mendominasi dan memliki peran kebebasan

30
dalam hidup. Selain itu, buku –buku mendunkung yang berkaitan dengan

analisis ini. Peneliti memilih sumber data novel- novel tersebut atas beberap

pertimbangan. Pertama, novel-novel karya kedung darma romansa merupakan

novel yang baru, sehingga masih jarang peneliti-peneliti sastra melakukan

penelitian novel tersebut.

Kedua, Novel Kedung Darma Romansha ini bercerita tentang dunia

prostitusi, panggung dangdut, pergaulan para pemabuk dan tukang kelahi.

Adegan seks dan kata-kata kasar bertaburan. Namun uniknya, novel ini tidak

terkesan vulgar. penulisan dan posisi Narator berada pada posisi netral, dia

tidak memberi penilaian moral apapun, baik dalam arti menghakimi perilaku

tertentu, maupun sebaliknya, yaitu merayakan atau membela perilaku yang

berada di luar standar moralitas yang menjadi pegangan mayoritas orang

Indonesia. Dari penyataan tersebut muncul penindasan dan perlawanan

perempuan dalam wujud yang variasi.

3.2 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling utama dalam

penelitian karena tujuan utama dari penelitian adalah mendaptakan data.

Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka, yaitu dengan teknik baca

dan catat. Kegiatan pertama yang dilakukan adalah dengan membaca novel

pertama setalah itu dilanjut dengan novel yang kedua secara cermat dan

tuntas. Setelah melakukan proses pembacaan, peneliti menemukan adanya

hal-hal yang senantiasa berulang dalam dwilogi novel karya Kedung Darma

Romansa terkait dengan perlawanan perempuan. Karena penelitian ini juga

31
memanfaatkan hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh peneliti,

peneliti juga cukup dipermudah dengan hasil temuan berupa “bentuk

kekerasan-kekersan terhadap perempuan” Perulangan-perulangan yang

terdapat dalam dwilogi novel tersebut kemudian disesuaikan dengan konsep –

konsep feminisme lalu dikategorikan berdasarkan aspek-aspek yang secara

umum sama. kemudian dianalisis sesuai dengan muatan-muatan yang

terdapat dalam setiap novel.

Data yang dikumpulkan dari objek material adalah berupa kutipan berupa

kata, frasa, klausa, dan kalimat yang terdapat dalam dwilogi novel Slindet

yang menunjukkan perlawanan-perlawanan perempuan dalam dwilogi noverl

tersebut. Perlawanan perempuan yang dimaksud di sini adalah perlawanan

yang hadirkan para tokoh perempuan dalam dwilogi novel tersebut, sebagai

bentuk perlawan terhadap dominasi-dominasi patriarki. Data yang

menunjukkan perlawanan perempuatersebut harus didukung lebih lanjut

dengan data dominasi patriarki, sehingga tidak hanya diketahui faktor-fator

yang menyababkan perempuan melakukan perlawanan. Selanjutnya yang

juga penting ditemukan adalah tentang membaca sebagai perempuan yang

mana adalah konsep utama dari kritik sastra feminis ; Reading as a women

Junathan Culler dalam dwilogi novel tersebut.

32
3.3 Teknik Analsis Data

Tahap selanjunya adalah analisis data dwilogi novel slindet karya

Kedung Darma Romansa. Dalam tahapan ini saya melakukan dua tahap

pelaksanaan. Pertama, tahap analisis tekstual terhadap unsur-unsur intrinsik

yang terdapat pada dwilogi novel. Tahap identifikasi tokoh dan penokohan

yang terdapat pada dwilogi novel slindet karya Kedung Darma Romansa.

Tokoh dan penokohan pada dua novel tersebut akan disajikan dalam

pembahasan. Kedua, setelah menyelesaikan tahap identifikasi tokoh dan

penokohan dalam setiap novel, tahap penelitian selanjutnya adalah proses

perumusan pembacaan tokoh perempuan dalam masing-masing novel dan

bentuk –bentuk perlawanan perempuan dalam karya Kedung Darma

Romansa.

33
DAFTAR PUSTAKA

Culler, Jonathan. 1983. On Deconstruction : Theory and Criticism After


Strukturalism. London : Routledge dan Keagan Paul.

Dahlan, Muhidin M. 2004. Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur! Memoar


Luka Seorang Muslimah. Jakarta : Melibas.

Faruk. 2017. Pengantar Sosiologi Sastra; Dari Strukturalisme Genetik sampai


Post-Modernisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Jabrohim. 1996. Pasar dalam perspektif Greimas. Yogyakarta: Pustaka


Pelajar.
------------. 2002. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Hanindita Graha
Widya.
Lanser, Susan s. 2014. Feminist Literary Criticism: How Feminist? How
Literary? How Critical.
Nurgiyantoro, Burhan. 2017. Teori pengkajian Fiksi. Gadjah mada :
University Press

Pradopo, Rachmat Djoko. 2008. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan
Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Stanton, Robert. 2012. Teori Fiksi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sugihastuti dan Suhatono. 2010. Kritik Sastra Feminisme, Teori dan
Aplikasinya, Yogyakarta : Pustaka Pelajar

Teeuw, A. 1988. Sastra dan Ilmu Sastra : Pengantar Teori Sastra. Jakarta:
Pustaka Jaya.

34

Anda mungkin juga menyukai