Anda di halaman 1dari 19

Makalah Sejarah

Kebudayaan Islam

Peperangan Yang Di Lakukan


oleh Pahlawan Indonesia
Tuanku Imam Bonjol

Oleh: Kelompok 1 7c

1.Dewi Nur Auliya

2.Nur Diana Faroh Aini

3.Uzlatun Nikmah
4.Khafidhah Dwi Sholehah
Tuanku Imam Bonjol

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Tuanku Imam Bonjol (lahir di Bonjol, Pasaman, Sumatera Barat, Indonesia


1772 - wafat dalam pengasingan dan dimakamkan di Lotak, Pineleng,
Minahasa, 6 November 1864), adalah salah seorang ulama, pemimpin dan
pejuang yang berperang melawan Belanda dalam peperangan yang dikenal
dengan nama Perang Padri pada tahun 1803-1838.[1] Tuanku Imam Bonjol
diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan SK Presiden RI
Nomor 087/TK/Tahun 1973, tanggal 6 November 1973.[2]

Daftar isi

 1 Nama dan gelar


 2 Riwayat perjuangan
 3 Penangkapan dan pengasingan
 4 Penghargaan
 5 Rujukan
 6 Pranala Luar

Nama dan gelar

Nama asli dari Tuanku Imam Bonjol adalah Muhammad Shahab, yang lahir di
Bonjol pada tahun 1772. Dia merupakan putra dari pasangan Bayanuddin (ayah)
dan Hamatun (ibu). Ayahnya, Khatib Bayanuddin, merupakan seorang alim
ulama yang berasal dari Sungai Rimbang, Suliki, Lima Puluh Kota.[3] Sebagai
ulama dan pemimpin masyarakat setempat, Muhammad Shahab memperoleh
beberapa gelar, yaitu Peto Syarif, Malin Basa, dan Tuanku Imam. Tuanku nan
Renceh dari Kamang, Agam sebagai salah seorang pemimpin dari Harimau nan
Salapan adalah yang menunjuknya sebagai Imam (pemimpin) bagi kaum Padri
di Bonjol. Ia akhirnya lebih dikenal dengan sebutan Tuanku Imam Bonjol.

Riwayat perjuangan

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Perang Padri

Tak dapat dimungkiri, Perang Padri meninggalkan kenangan heroik sekaligus


traumatis dalam memori bangsa. Selama sekitar 18 tahun pertama perang itu
(1803-1821) praktis yang berperang adalah sesama orang Minang dan
Mandailing atau Batak umumnya.

Pada awalnya timbulnya peperangan ini didasari keinginan dikalangan


pemimpin ulama di kerajaan Pagaruyung untuk menerapkan dan menjalankan
syariat Islam sesuai dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah (Sunni) yang berpegang
teguh pada Al-Qur'an dan sunnah-sunnah Rasullullah shalallahu 'alaihi
wasallam. Kemudian pemimpin ulama yang tergabung dalam Harimau nan
Salapan meminta Tuanku Lintau untuk mengajak Yang Dipertuan Pagaruyung
beserta Kaum Adat untuk meninggalkan beberapa kebiasaan yang tidak sesuai
dengan Islam (bid'ah).

Dalam beberapa perundingan tidak ada kata sepakat antara Kaum Padri
(penamaan bagi kaum ulama) dengan Kaum Adat. Seiring itu dibeberapa nagari
dalam kerajaan Pagaruyung bergejolak, dan sampai akhirnya Kaum Padri
dibawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang Pagaruyung pada tahun 1815,
dan pecah pertempuran di Koto Tangah dekat Batu Sangkar. Sultan Arifin
Muningsyah terpaksa melarikan diri dari ibukota kerajaan ke Lubukjambi.

Pada 21 Februari 1821, kaum Adat secara resmi bekerja sama dengan
pemerintah Hindia-Belanda berperang melawan kaum Padri dalam perjanjian
yang ditandatangani di Padang, sebagai kompensasi Belanda mendapat hak
akses dan penguasaan atas wilayah darek (pedalaman Minangkabau).[4]
Perjanjian itu dihadiri juga oleh sisa keluarga dinasti kerajaan Pagaruyung di
bawah pimpinan Sultan Tangkal Alam Bagagar yang sudah berada di Padang
waktu itu.

Campur tangan Belanda dalam perang itu ditandai dengan penyerangan


Simawang dan Sulit Air oleh pasukan Kapten Goffinet dan Kapten Dienema
awal April 1821 atas perintah Residen James du Puy di Padang, Dalam hal ini
Kompeni melibatkan diri dalam perang karena "diundang" oleh kaum Adat.

Perlawanan yang dilakukan oleh pasukan padri cukup tangguh sehingga sangat
menyulitkan Belanda untuk menundukkannya. Oleh sebab itu Belanda melalui
Gubernur Jendral Johannes van den Bosch mengajak pemimpin Kaum Padri
yang waktu itu telah dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol untuk berdamai
dengan maklumat Perjanjian Masang pada tahun 1824. Hal ini dimaklumi
karena disaat bersamaan Batavia juga kehabisan dana dalam menghadapi
peperangan lain di Eropah dan Jawa seperti Perang Diponegoro. Tetapi
kemudian perjanjian ini dilanggar sendiri oleh Belanda dengan menyerang
nagari Pandai Sikek.

Namun, sejak awal 1833 perang berubah menjadi perang antara kaum Adat dan
kaum Paderi melawan Belanda, kedua pihak bahu-membahu melawan Belanda,
Pihak-pihak yang semula bertentangan akhirnya bersatu melawan Belanda.
Diujung penyesalan muncul kesadaran, mengundang Belanda dalam konflik
justru menyengsarakan masyarakat Minangkabau itu sendiri. [5] Bersatunya
kaum Adat dan kaum Padri ini dimulai dengan adanya kompromi yang dikenal
dengan nama Plakat Puncak Pato di Tabek Patah yang mewujudkan konsensus
Adat basandi Syarak, Syarak basandi Kitabullah (Adat berdasarkan Agama,
Agama berdasarkan Kitabullah (Al-Qur'an)).

Rasa penyesalan Tuanku Imam Bonjol atas tindakan kaum Padri atas sesama
orang Minang, Mandailing dan Batak, terefleksi dalam ucapannya Adopun
hukum Kitabullah banyak lah malampau dek ulah kito juo. Baa dek kalian?
(Adapun banyak hukum Kitabullah yang sudah terlangkahi oleh kita.
Bagaimana pikiran kalian?).[5]

Penyerangan dan pengepungan benteng kaum Padri di Bonjol oleh Belanda dari
segala jurusan selama sekitar enam bulan (16 Maret-17 Agustus 1837)[6] yang
dipimpin oleh jenderal dan para perwira Belanda, tetapi dengan tentara yang
sebagian besar adalah bangsa pribumi yang terdiri dari berbagai suku, seperti
Jawa, Madura, Bugis, dan Ambon. Dalam daftar nama para perwira pasukan
Belanda, terdapat Mayor Jendral Cochius, Letnan Kolonel Bauer, Mayor Sous,
Kapten MacLean, Letnan Satu Van der Tak, Pembantu Letnan Satu Steinmetz.
dan seterusnya, tetapi juga terdapat nama-nama Inlandsche (pribumi) seperti
Kapitein Noto Prawiro, Inlandsche Luitenant Prawiro di Logo, Karto Wongso
Wiro Redjo, Prawiro Sentiko, Prawiro Brotto, dan Merto Poero.

Terdapat 148 perwira Eropa, 36 perwira pribumi, 1.103 tentara Eropa, 4.130
tentara pribumi, Sumenapsche hulptroepen hieronder begrepen (pasukan
pembantu Sumenep, Madura). Serangan terhadap benteng Bonjol dimulai
orang-orang Bugis yang berada di bagian depan dalam penyerangan pertahanan
Padri.

Dari Batavia didatangkan terus tambahan kekuatan tentara Belanda, dimana


pada tanggal 20 Juli 1837 tiba dengan Kapal Perle di Padang, Kapitein
Sinninghe, sejumlah orang Eropa dan Afrika, 1 sergeant, 4 korporaals dan 112
flankeurs. Yang belakangan ini menunjuk kepada serdadu Afrika yang direkrut
oleh Belanda di benua itu, kini negara Ghana dan Mali. Mereka juga disebut
Sepoys dan berdinas dalam tentara Belanda.

Penangkapan dan pengasingan

Setelah datang bantuan dari Batavia, maka Belanda mulai melanjutkan kembali
pengepungan, dan pada masa-masa selanjutnya, kedudukan Tuanku Imam
Bonjol bertambah sulit, namun ia masih tak sudi untuk menyerah kepada
Belanda. Sehingga sampai untuk ketiga kali Belanda mengganti komandan
perangnya untuk merebut Bonjol, yaitu sebuah negeri kecil dengan benteng dari
tanah liat yang di sekitarnya dikelilingi oleh parit-parit. Barulah pada tanggal 16
Agustus 1837, Benteng Bonjol dapat dikuasai setelah sekian lama dikepung.

Dalam bulan Oktober 1837, Tuanku Imam Bonjol diundang ke Palupuh untuk
berunding. Tiba di tempat itu langsung ditangkap dan dibuang ke Cianjur, Jawa
Barat. Kemudian dipindahkan ke Ambon dan akhirnya ke Lotak, Minahasa,
dekat Manado. Di tempat terakhir itu ia meninggal dunia pada tanggal 8
November 1864. Tuanku Imam Bonjol dimakamkan di tempat pengasingannya
tersebut

Penghargaan

Perjuangan yang telah dilakukan oleh Tuanku Imam Bonjol dapat menjadi
apresiasi akan kepahlawanannya dalam menentang penjajahan,[7] sebagai
penghargaan dari pemerintah Indonesia yang mewakili rakyat Indonesia pada
umumnya, Tuanku Imam Bonjol diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia
sejak tanggal 6 November 1973.

Selain itu nama Tuanku Imam Bonjol juga hadir di ruang publik bangsa sebagai
nama jalan, nama stadion, nama universitas, bahkan pada lembaran Rp 5.000
keluaran Bank Indonesia 6 November 2001.[8]

Perang Padri adalah peperangan yang berlangsung di Sumatera Barat dan


sekitarnya terutama di kawasan Kerajaan Pagaruyung dari tahun 1803 hingga
1838.[1] Perang ini merupakan peperangan yang pada awalnya akibat
pertentangan dalam masalah agama sebelum berubah menjadi peperangan
melawan penjajahan.

Perang Padri dimulai dengan munculnya pertentangan sekelompok ulama yang


dijuluki sebagai Kaum Padri terhadap kebiasaan-kebiasaan yang marak
dilakukan oleh kalangan masyarakat yang disebut Kaum Adat di kawasan
Kerajaan Pagaruyung dan sekitarnya. Kebiasaan yang dimaksud seperti
perjudian, penyabungan ayam, penggunaan madat, minuman keras, tembakau,
sirih, dan juga aspek hukum adat matriarkat mengenai warisan, serta longgarnya
pelaksanaan kewajiban ritual formal agama Islam.[2] Tidak adanya kesepakatan
dari Kaum Adat yang padahal telah memeluk Islam untuk meninggalkan
kebiasaan tersebut memicu kemarahan Kaum Padri, sehingga pecahlah
peperangan pada tahun 1803.
Hingga tahun 1833, perang ini dapat dikatakan sebagai perang saudara yang
melibatkan sesama Minang dan Mandailing. Dalam peperangan ini, Kaum Padri
dipimpin oleh Harimau Nan Salapan sedangkan Kaum Adat dipimpinan oleh
Yang Dipertuan Pagaruyung waktu itu Sultan Arifin Muningsyah. Kaum Adat
yang mulai terdesak, meminta bantuan kepada Belanda pada tahun 1821.
Namun keterlibatan Belanda ini justru memperumit keadaan, sehingga sejak
tahun 1833 Kaum Adat berbalik melawan Belanda dan bergabung bersama
Kaum Padri, walaupun pada akhirnya peperangan ini dapat dimenangkan
Belanda.

Perang Padri termasuk peperangan dengan rentang waktu yang cukup panjang,
menguras harta dan mengorbankan jiwa raga. Perang ini selain meruntuhkan
kekuasaan Kerajaan Pagaruyung, juga berdampak merosotnya perekonomian
masyarakat sekitarnya dan memunculkan perpindahan masyarakat dari kawasan
konflik.

Latar belakang

Perang Padri dilatarbelakangi oleh kepulangan tiga orang Haji dari Mekkah
sekitar tahun 1803, yaitu Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang yang
ingin memperbaiki syariat Islam yang belum sempurna dijalankan oleh
masyarakat Minangkabau.[3] Mengetahui hal tersebut, Tuanku Nan Renceh
sangat tertarik lalu ikut mendukung keinginan ketiga orang Haji tersebut
bersama dengan ulama lain di Minangkabau yang tergabung dalam Harimau
Nan Salapan.[4]

Harimau Nan Salapan kemudian meminta Tuanku Lintau untuk mengajak Yang
Dipertuan Pagaruyung Sultan Arifin Muningsyah beserta Kaum Adat untuk
meninggalkan beberapa kebiasaan yang bertentangan dengan ajaran agama
Islam. Dalam beberapa perundingan tidak ada kata sepakat antara Kaum Padri
dengan Kaum Adat. Seiring itu beberapa nagari dalam Kerajaan Pagaruyung
bergejolak, puncaknya pada tahun 1815, Kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku
Pasaman menyerang Kerajaan Pagaruyung dan pecahlah peperangan di Koto
Tangah. Serangan ini menyebabkan Sultan Arifin Muningsyah terpaksa
menyingkir dan melarikan diri dari ibu kota kerajaan.[5] Dari catatan Raffles
yang pernah mengunjungi Pagaruyung pada tahun 1818, menyebutkan bahwa ia
hanya mendapati sisa-sisa Istana Kerajaan Pagaruyung yang sudah terbakar.[6]

Keterlibatan Belanda

Karena terdesak dalam peperangan dan keberadaan Yang Dipertuan Pagaruyung


yang tidak pasti, maka Kaum Adat yang dipimpin oleh Sultan Tangkal Alam
Bagagar meminta bantuan kepada Belanda pada tanggal 21 Februari 1821,
walaupun sebetulnya Sultan Tangkal Alam Bagagar waktu itu dianggap tidak
berhak membuat perjanjian dengan mengatasnamakan Kerajaan Pagaruyung.[7]
Akibat dari perjanjian ini, Belanda menjadikannya sebagai tanda penyerahan
Kerajaan Pagaruyung kepada pemerintah Hindia-Belanda, kemudian
mengangkat Sultan Tangkal Alam Bagagar sebagai Regent Tanah Datar.[8]

Keterlibatan Belanda dalam perang karena diundang oleh kaum Adat, dan
campur tangan Belanda dalam perang itu ditandai dengan penyerangan
Simawang dan Sulit Air oleh pasukan Kapten Goffinet dan Kapten Dienema
pada bulan April 1821 atas perintah Residen James du Puy di Padang.[9]
Kemudian pada 8 Desember 1821 datang tambahan pasukan yang dipimpin oleh
Letnan Kolonel Raaff untuk memperkuat posisi pada kawasan yang telah
dikuasai tersebut.

Fort van der Capellen

Pada tanggal 4 Maret 1822, pasukan Belanda dibawah pimpinan Letnan


Kolonel Raaff berhasil memukul mundur Kaum Padri keluar dari Pagaruyung.
Kemudian Belanda membangun benteng pertahanan di Batusangkar dengan
nama Fort Van der Capellen, sedangkan Kaum Padri menyusun kekuatan dan
bertahan di Lintau.[10] Pada tanggal 10 Juni 1822 pergerakan pasukan Raaff di
Tanjung Alam dihadang oleh Kaum Padri, namun pasukan Belanda dapat terus
melaju ke Luhak Agam. Pada tanggal 14 Agustus 1822 dalam pertempuran di
Baso, Kapten Goffinet menderita luka berat kemudian meninggal dunia pada 5
September 1822. Pada bulan September 1822 pasukan Belanda terpaksa
kembali ke Batusangkar karena terus tertekan oleh serangan Kaum Padri yang
dipimpin oleh Tuanku Nan Renceh.

Setelah mendapat tambahan pasukan pada 13 April 1823, Raaff mencoba


kembali menyerang Lintau, namun Kaum Padri dengan gigih melakukan
perlawanan, sehingga pada tanggal 16 April 1823 Belanda terpaksa kembali ke
Batusangkar. Sementara pada tahun 1824 Yang Dipertuan Pagaruyung Sultan
Arifin Muningsyah kembali ke Pagaruyung atas permintaan Letnan Kolonel
Raaff, namun pada tahun 1825 raja terakhir Minangkabau ini wafat dan
kemudian dimakamkan di Pagaruyung.[11] Sedangkan Raaff sendiri meninggal
dunia secara mendadak di Padang pada tanggal 17 April 1824 setelah
sebelumnya mengalami demam tinggi.[12]

Sementara pada bulan September 1824, pasukan Belanda di bawah pimpinan


Mayor Frans Laemlin telah berhasil menguasai beberapa kawasan di Luhak
Agam di antaranya Koto Tuo dan Ampang Gadang. Kemudian mereka juga
telah menduduki Biaro dan Kapau, namun karena luka-luka yang dideritanya di
bulan Desember 1824, Laemlin meninggal dunia di Padang.[13]

Gencatan senjata

Perlawanan yang dilakukan oleh Kaum Padri cukup tangguh sehingga sangat
menyulitkan Belanda untuk menundukkannya. Oleh sebab itu Belanda melalui
residennya di Padang mengajak pemimpin Kaum Padri yang waktu itu telah
dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol untuk berdamai dengan maklumat
"Perjanjian Masang" pada tanggal 15 November 1825.[2] Hal ini dimaklumi
karena disaat bersamaan Pemerintah Hindia-Belanda juga kehabisan dana dalam
menghadapi peperangan lain di Eropa dan Jawa seperti Perang Diponegoro.

Selama periode gencatan senjata, Tuanku Imam Bonjol mencoba memulihkan


kekuatan dan juga mencoba merangkul kembali Kaum Adat. Sehingga akhirnya
muncul suatu kompromi yang dikenal dengan nama "Plakat Puncak Pato" di
Bukit Marapalam, Kabupaten Tanah Datar yang mewujudkan konsensus
bersama Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah yang artinya adat
Minangkabau berlandaskan kepada agama Islam, sedangkan agama Islam
berlandaskan kepada Al-Qur'an.[14]

Tuanku Imam Bonjol

Tuanku Imam Bonjol, salah seorang pemimpin Perang Padri, yang diilustrasikan
oleh de Stuers pada tahun 1820.
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Tuanku Imam Bonjol

Tuanku Imam Bonjol yang bernama asli Muhammad Shahab muncul sebagai
pemimpin dalam Perang Padri setelah sebelumnya ditunjuk oleh Tuanku Nan
Renceh sebagai Imam di Bonjol.[15] Kemudian menjadi pemimpin sekaligus
panglima perang setelah Tuanku Nan Renceh meninggal dunia.[16]

Pada masa kepemimpinannya, ia mulai menyesali beberapa tindakan kekerasan


yang dilakukan oleh Kaum Padri terhadap saudara-saudaranya, sebagaimana
yang terdapat dalam memorinya. Walau di sisi lain fanatisme tersebut juga
melahirkan sikap kepahlawanan dan cinta tanah air.[5]

Peperangan jilid kedua

Setelah berakhirnya perang Diponegoro dan pulihnya kekuatan Belanda di


Jawa, Pemerintah Hindia-Belanda kembali mencoba untuk menundukan Kaum
Padri. Hal ini sangat didasari oleh keinginan kuat untuk penguasaan penanaman
kopi yang sedang meluas di kawasan pedalaman Minangkabau (darek). Sampai
abad ke-19, komoditas perdagangan kopi merupakan salah satu produk andalan
Belanda di Eropa. Christine Dobbin menyebutnya lebih kepada perang dagang,
hal ini seiring dengan dinamika perubahan sosial masyarakat Minangkabau
dalam liku-liku perdagangan di pedalaman dan pesisir pantai barat atau pantai
timur. Sementara Belanda pada satu sisi ingin mengambil alih atau monopoli.[11]

Selanjutnya untuk melemahkan kekuatan lawan, Belanda melanggar perjanjian


yang telah dibuat sebelumnya dengan menyerang nagari Pandai Sikek yang
merupakan salah satu kawasan yang mampu memproduksi mesiu dan senjata
api. Kemudian untuk memperkuat kedudukannya, Belanda membangun benteng
di Bukittinggi yang dikenal dengan nama Fort de Kock.

Persiapan pasukan Belanda di Fort de Kock

Pada awal bulan Agustus 1831 Lintau berhasil ditaklukkan, menjadikan Luhak
Tanah Datar berada dalam kendali Belanda. Namun Tuanku Lintau masih tetap
melakukan perlawanan dari kawasan Luhak Limo Puluah. Sementara ketika
Letnan Kolonel Elout melakukan berbagai serangan terhadap Kaum Padri
antara tahun 1831–1832, ia memperoleh tambahan kekuatan dari pasukan
Sentot Prawirodirdjo, salah seorang panglima pasukan Pangeran Diponegoro
yang telah membelot dan berdinas pada Pemerintah Hindia-Belanda setelah usai
perang di Jawa. Namun kemudian Letnan Kolonel Elout berpendapat, kehadiran
Sentot yang ditempatkan di Lintau justru menimbulkan masalah baru. Beberapa
dokumen-dokumen resmi Belanda membuktikan kesalahan Sentot yang telah
melakukan persekongkolan dengan Kaum Padri sehingga kemudian Sentot dan
legiunnya dikembalikan ke Pulau Jawa. Di Jawa, Sentot juga tidak berhasil
menghilangkan kecurigaan Belanda terhadap dirinya, dan Belanda pun juga
tidak ingin ia tetap berada di Jawa dan mengirimnya kembali ke Sumatera.
Namun di tengah perjalanan, Sentot diturunkan dan ditahan di Bengkulu, lalu
ditinggal sampai mati sebagai orang buangan. Sedangkan pasukannya
dibubarkan kemudian direkrut kembali menjadi tentara Belanda.

Sentot Prawirodirdjo, yang diilustrasikan oleh G. Kepper.

Pada bulan Juli 1832, dari Jakarta dikirim pasukan infantri dalam jumlah besar
di bawah pimpinan Letnan Kolonel Ferdinand P. Vermeulen Krieger, untuk
mempercepat penyelesaian peperangan. Dengan tambahan pasukan tersebut
pada bulan Oktober 1832, Luhak Limo Puluah telah berada dalam kekuasaan
Belanda bersamaan dengan meninggalnya Tuanku Lintau.[17] Kemudian Kaum
Padri terus melakukan konsolidasi dan berkubu di Kamang, namun seluruh
kekuatan Kaum Padri di Luhak Agam juga dapat ditaklukkan Belanda setelah
jatuhnya Kamang pada akhir tahun 1832, sehingga kembali Kaum Padri
terpaksa mundur dari kawasan luhak dan bertahan di Bonjol.

Selanjutnya pasukan Belanda mulai melakukan penyisiran pada beberapa


kawasan yang masih menjadi basis Kaum Padri. Pada awal Januari 1833,
pasukan Belanda membangun kubu pertahanan di Padang Mantinggi, namun
sebelum mereka dapat memperkuat posisi, kubu pertahanan tersebut diserang
oleh Kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Rao yang mengakibatkan banyak
korban di pihak Belanda.[18] Namun dalam pertempuran di Air Bangis, pada
tanggal 29 Januari 1833, Tuanku Rao menderita luka berat akibat dihujani
peluru. Kemudian ia dinaikkan ke atas kapal untuk diasingkan. Belum lama
berada di atas kapal, Tuanku Rao menemui ajalnya. Diduga jenazahnya
kemudian dibuang ke laut oleh tentara Belanda.[19]

Perlawanan bersama
Kaum Adat

Sejak tahun 1833 mulai muncul kompromi antara Kaum Adat dan Kaum
Padri.[20] Di ujung penyesalan muncul kesadaran, mengundang Belanda dalam
konflik justru menyengsarakan masyarakat Minangkabau itu sendiri. Hampir
selama 20 tahun pertama perang ini (1803–1823), dapatlah dikatakan sebagai
perang saudara melibatkan sesama etnik Minang dan Batak.

Pada tanggal 11 Januari 1833 beberapa kubu pertahanan dari garnisun Belanda
diserang secara mendadak, membuat keadaan menjadi kacau;[21] disebutkan ada
sekitar 139 orang tentara Eropa serta ratusan tentara pribumi terbunuh. Sultan
Tangkal Alam Bagagar yang sebelumnya ditunjuk oleh Belanda sebagai Regent
Tanah Datar, ditangkap oleh pasukan Letnan Kolonel Elout pada tanggal 2 Mei
1833 di Batusangkar atas tuduhan pengkhianatan. Kemudian Belanda
mengasingkannya ke Batavia, walau dalam catatan Belanda Sultan Tangkal
Alam Bagagar menyangkal keterlibatannya dalam penyerangan beberapa pos
Belanda, namun pemerintah Hindia-Belanda juga tidak mau mengambil risiko
untuk menolak laporan dari para perwiranya. Kedudukan Regent Tanah Datar
kemudian diberikan kepada Tuan Gadang di Batipuh.[7]

Menyadari hal itu, kini Belanda bukan hanya menghadapi Kaum Padri saja,
tetapi secara keseluruhan masyarakat Minangkabau. Maka Pemerintah Hindia-
Belanda pada tahun 1833 mengeluarkan pengumuman yang disebut "Plakat
Panjang" berisi sebuah pernyataan bahwa kedatangan Belanda ke Minangkabau
tidaklah bermaksud untuk menguasai negeri tersebut, mereka hanya datang
untuk berdagang dan menjaga keamanan, penduduk Minangkabau akan tetap
diperintah oleh para penghulu mereka dan tidak pula diharuskan membayar
pajak. Kemudian Belanda berdalih bahwa untuk menjaga keamanan, membuat
jalan, membuka sekolah, dan sebagainya memerlukan biaya, maka penduduk
diwajibkan menanam kopi dan mesti menjualnya kepada Belanda.

Serangan ke Bonjol
Letnan Kolonel Raaff dan pasukannya, dilukiskan oleh G. Kepper. Raaff
meninggal dunia sebelum berakhirnya Perang Padri.

Romantisme kepahlawanan dalam Perang Padri, diilustrasikan oleh G. Kepper.

Lamanya penyelesaian peperangan ini, memaksa Gubernur Jenderal Hindia-


Belanda Johannes van den Bosch pada tanggal 23 Agustus 1833 pergi ke
Padang untuk melihat dari dekat proses operasi militer yang dilakukan oleh
pasukan Belanda.[22] Sesampainya di Padang, ia melakukan perundingan dengan
Komisaris Pesisir Barat Sumatera, Mayor Jenderal Riesz dan Letnan Kolonel
Elout untuk segera menaklukkan Benteng Bonjol, pusat komando pasukan
Padri. Riesz dan Elout menerangkan bahwa belum datang saatnya yang baik
untuk mengadakan serangan umum terhadap Benteng Bonjol, karena kesetiaan
penduduk Luhak Agam masih disangsikan dan mereka sangat mungkin akan
menyerang pasukan Belanda dari belakang. Tetapi Van den Bosch bersikeras
untuk segera menaklukkan Benteng Bonjol paling lambat tanggal 10 September
1833, kedua opsir tersebut meminta tangguh enam hari sehingga jatuhnya
Bonjol diharapkan pada tanggal 16 September 1833.

Taktik serangan gerilya yang diterapkan Kaum Padri kemudian berhasil


memperlambat gerak laju serangan Belanda ke Benteng Bonjol, bahkan dalam
beberapa perlawanan hampir semua perlengkapan perang pasukan Belanda
seperti meriam beserta perbekalannya dapat dirampas. Pasukan Belanda hanya
dapat membawa senjata dan pakaian yang melekat di tangan dan badannya.
Sehingga pada tanggal 21 September 1833, sebelum Gubernur Jenderal Hindia-
Belanda digantikan oleh Jean Chrétien Baud, Van den Bosch membuat laporan
bahwa penyerangan ke Bonjol gagal dan sedang diusahakan untuk konsolidasi
guna penyerangan selanjutnya.

Kemudian selama tahun 1834 Belanda hanya fokus pada pembuatan jalan dan
jembatan yang mengarah ke Bonjol dengan mengerahkan ribuan tenaga kerja
paksa. Hal ini dilakukan untuk memudahkan mobilitas pasukannya dalam
menaklukkan Bonjol. Selain itu pihak Belanda juga terus berusaha menanamkan
pengaruhnya pada beberapa kawasan yang dekat dengan kubu pertahanannya.

Pada tanggal 16 April 1835, Belanda memutuskan untuk kembali mengadakan


serangan besar-besaran untuk menaklukkan Bonjol dan sekitarnya. Operasi
militer dimulai pada tanggal 21 April 1835, pasukan Belanda dipimpin oleh
Letnan Kolonel Bauer, memecah pasukannya menuju Masang menjadi dua
bagian yang bergerak masing-masing dari Matur dan Bamban. Pasukan ini
mesti menyeberangi sungai yang saat itu tengah dilanda banjir, dan terus masuk
menyelusup ke dalam hutan rimba; mendaki gunung dan menuruni lembah;
guna membuka jalur baru menuju Bonjol.

Pada tanggal 23 April 1835 gerakan pasukan Belanda ini telah berhasil
mencapai tepi Batang Gantiang, kemudian menyeberanginya dan berkumpul di
Batusari. Dari sini hanya ada satu jalan sempit menuju Sipisang, daerah yang
masih dikuasai oleh Kaum Padri. Sesampainya di Sipisang, pecah pertempuran
sengit antara pasukan Belanda dengan Kaum Padri. Pertempuran berlangsung
selama tiga hari tiga malam tanpa henti, sampai banyak korban di kedua belah
pihak. Akhirnya dengan kekuatan yang jauh tak sebanding, pasukan Kaum
Padri terpaksa mengundurkan diri ke hutan-hutan rimba sekitarnya. Jatuhnya
daerah Sipisang ini meningkatkan moralitas pasukan Belanda, kemudian daerah
ini dijadikan sebagai kubu pertahanan sambil menunggu pembuatan jembatan
menuju Bonjol.[23]

Walau pergerakan laju pasukan Belanda menuju Bonjol masih sangat lamban,
hampir sebulan waktu yang diperlukan untuk dapat mendekati daerah Alahan
Panjang. Sebagai front terdepan dari Alahan Panjang adalah daerah Padang
Lawas yang secara penuh masih dikuasai oleh Kaum Padri. Namun pada
tanggal 8 Juni 1835 pasukan Belanda berhasil menguasai daerah ini.[24]

Selanjutnya pada tanggal 11 Juni 1835 pasukan Belanda kembali bergerak


menuju sebelah timur Batang Alahan Panjang dan membuat kubu pertahanan di
sana, sementara pasukan Kaum Padri tetap bersiaga di seberangnya.

Pasukan Belanda berhasil mendekati Bonjol dalam jarak kira-kira hanya 250
langkah pada tengah malam tanggal 16 Juni 1835, kemudian mereka mencoba
membuat kubu pertahanan. Selanjutnya dengan menggunakan houwitser, mortir
dan meriam, pasukan Belanda menembaki Benteng Bonjol. Namun Kaum Padri
tidak tinggal diam dengan menembakkan meriam pula dari Bukit Tajadi.
Sehingga dengan posisi yang kurang menguntungkan, pasukan Belanda banyak
menjadi korban.

Pada tanggal 17 Juni 1835 kembali datang bantuan tambahan pasukan sebanyak
2000 orang yang dikirim oleh Residen Francis di Padang dan pada tanggal 21
Juni 1835, dengan kekuatan yang besar pasukan Belanda memulai gerakan maju
menuju sasaran akhir yaitu Benteng Bonjol di Bukit Tajadi.

Benteng Bonjol

Lukisan Bonjol pada tahun 1839.

Benteng Bonjol terletak di atas bukit yang hampir tegak lurus ke atas, dikenal
dengan nama Bukit Tajadi. Tidak begitu jauh dari benteng ini mengalir Batang
Alahan Panjang, sebuah sungai di tengah lembah dengan aliran yang deras,
berliku-liku dari utara ke selatan. Benteng ini berbentuk segi empat panjang,
tiga sisinya dikelilingi oleh dinding pertahanan dua lapis setinggi kurang lebih 3
meter. Di antara kedua lapis dinding dibuat parit yang dalam dengan lebar 4
meter. Dinding luar terdiri dari batu-batu besar dengan teknik pembuatan
hampir sama seperti benteng-benteng di Eropa dan di atasnya ditanami bambu
berduri panjang yang ditanam sangat rapat sehingga Kaum Padri dapat
mengamati bahkan menembakkan meriam kepada pasukan Belanda.[25]

Semak belukar dan hutan yang sangat lebat di sekitar Bonjol menjadikan kubu-
kubu pertahanan Kaum Padri tidak mudah untuk dilihat oleh pasukan Belanda.
Keadaan inilah yang dimanfaatkan dengan baik oleh Kaum Padri untuk
membangun kubu pertahanan yang strategis, sekaligus menjadi markas utama
Tuanku Imam Bonjol.[26]

Pengepungan Bonjol
Kejatuhan Bukit Tajadi, diilustrasikan oleh G. Kepper.

Melihat kokohnya Benteng Bonjol, pasukan Belanda mencoba melakukan


blokade terhadap Bonjol dengan tujuan untuk melumpuhkan suplai bahan
makanan dan senjata pasukan Padri. Blokade yang dilakukan ini ternyata tidak
efektif, karena justru kubu-kubu pertahanan pasukan Belanda dan bahan
perbekalannya yang banyak diserang oleh pasukan Kaum Padri secara gerilya.
Di saat bersamaan seluruh pasukan Kaum Padri mulai berdatangan dari daerah-
daerah yang telah ditaklukkan pasukan Belanda, yaitu dari berbagai negeri di
Minangkabau dan sekitarnya. Semua bertekad bulat untuk mempertahankan
markas besar Bonjol sampai titik darah penghabisan, hidup mulia atau mati
syahid.

Usaha untuk melakukan serangan ofensif terhadap Bonjol baru dilakukan


kembali setelah bala bantuan tentara yang terdiri dari pasukan Bugis datang,
maka pada pertengahan Agustus 1835 penyerangan mulai dilakukan terhadap
kubu-kubu pertahanan Kaum Padri yang berada di Bukit Tajadi, dan pasukan
Bugis ini berada pada bagian depan pasukan Belanda dalam merebut satu
persatu kubu-kubu pertahanan strategis Kaum Padri yang berada disekitar Bukit
Tajadi.[27] Namun sampai awal September 1835, pasukan Belanda belum
berhasil menguasai Bukit Tajadi, malah pada tanggal 5 September 1835, Kaum
Padri keluar dari kubu pertahanannya menyerbu ke luar benteng
menghancurkan kubu-kubu pertahahan Belanda yang dibuat sekitar Bukit
Tajadi. Setelah serangan tersebut, pasukan Kaum Padri segera kembali masuk
ke dalam Benteng Bonjol.

Pada tanggal 9 September 1835, pasukan Belanda mencoba menyerang dari


arah Luhak Limo Puluah dan Padang Bubus, namun hasilnya gagal, bahkan
banyak menyebabkan kerugian pada pasukan Belanda. Letnan Kolonel Bauer,
salah seorang komandan pasukan Belanda menderita sakit dan terpaksa dikirim
ke Bukittinggi kemudian posisinya digantikan oleh Mayor Prager.

Blokade yang berlarut-larut dan keberanian Kaum Padri, membangkitkan


semangat keberanian rakyat sekitarnya untuk memberontak dan menyerang
pasukan Belanda, sehingga pada tanggal 11 Desember 1835 rakyat Simpang
dan Alahan Mati mengangkat senjata dan menyerang kubu-kubu pertahanan
Belanda. Pasukan Belanda kewalahan mengatasi perlawanan ini. Namun setelah
datang bantuan dari serdadu-serdadu Madura yang berdinas pada pasukan
Belanda, perlawanan ini dapat diatasi.

Kemenangan Belanda dalam Perang Padri, yang diilustrasikan oleh G. Kepper.

Frans David Cochius, komandan penaklukan Benteng Bonjol.

Hampir setahun mengepung Bonjol, pada tanggal 3 Desember 1836, pasukan


Belanda kembali melakukan serangan besar-besaran terhadap Benteng Bonjol,
sebagai usaha terakhir untuk penaklukan Bonjol. Serangan dahsyat ini mampu
menjebol sebagian Benteng Bonjol, sehingga pasukan Belanda dapat masuk
menyerbu dan berhasil membunuh beberapa keluarga Tuanku Imam Bonjol.
Tetapi dengan kegigihan dan semangat juang yang tinggi Kaum Padri kembali
berhasil memporak-porandakan musuh sehingga Belanda terusir dan terpaksa
kembali keluar dari benteng dengan meninggalkan banyak sekali korban jiwa di
masing-masing pihak.
Kegagalan penaklukan ini benar-benar memukul kebijaksanaan Gubernur
Jenderal Hindia-Belanda di Batavia yang waktu itu telah dipegang oleh
Dominique Jacques de Eerens, kemudian pada awal tahun 1837 mengirimkan
seorang panglima perangnya yang bernama Mayor Jenderal Cochius untuk
memimpin langsung serangan besar-besaran ke Benteng Bonjol untuk kesekian
kalinya.[28] Cochius merupakan seorang perwira tinggi Belanda yang memiliki
keahlian dalam strategi perang Benteng Stelsel.

Selanjutnya Belanda dengan intensif mengepung Bonjol dari segala jurusan


selama sekitar enam bulan (16 Maret–17 Agustus 1837)[29] dipimpin oleh
jenderal dan beberapa perwira. Pasukan gabungan ini sebagian besar terdiri dari
berbagai suku, seperti Jawa, Madura, Bugis dan Ambon. Terdapat 148 perwira
Eropa, 36 perwira pribumi, 1.103 tentara Eropa, 4.130 tentara pribumi,
termasuk di dalamnya Sumenapsche hulptroepen hieronder begrepen (pasukan
pembantu Sumenap alias Madura). Dalam daftar nama para perwira pasukan
Belanda tersebut di antaranya adalah Mayor Jendral Cochius, Letnan Kolonel
Bauer, Mayor Sous, Mayor Prager, Kapten MacLean, Letnan Satu van der Tak,
Pembantu Letnan Satu Steinmetz, dan seterusnya. Kemudian ada juga nama
Inlandsche (pribumi) seperti Kapitein Noto Prawiro, Indlandsche Luitenant
Prawiro di Logo, Karto Wongso Wiro Redjo, Prawiro Sentiko, Prawiro Brotto,
Merto Poero dan lainnya.

Dari Batavia didatangkan terus tambahan kekuatan tentara Belanda, dimana


pada tanggal 20 Juli 1837 tiba dengan Kapal Perle di Padang, sejumlah orang
Eropa dan Sepoys, serdadu dari Afrika yang berdinas dalam tentara Belanda,
direkrut dari Ghana dan Mali, terdiri dari 1 sergeant, 4 korporaals dan 112
flankeurs, serta dipimpin oleh Kapitein Sinninghe.

Serangan yang bergelombang serta bertubi-tubi dan hujan peluru dari pasukan
artileri yang bersenjatakan meriam-meriam besar, selama kurang lebih 6 bulan
lamanya, serta pasukan infantri dan kavaleri yang terus berdatangan. Pada
tanggal 3 Agustus 1837 dipimpin oleh Letnan Kolonel Michiels sebagai
komandan lapangan terdepan mulai sedikit demi sedikit menguasai keadaan,
dan akhirnya pada tanggal tanggal 15 Agustus 1837, Bukit Tajadi jatuh, dan
pada tanggal 16 Agustus 1837 Benteng Bonjol secara keseluruhan dapat
ditaklukkan. Namun Tuanku Imam Bonjol dapat mengundurkan diri keluar dari
benteng dengan didampingi oleh beberapa pengikutnya terus menuju daerah
Marapak.

Perundingan

Dalam pelarian dan persembunyiannya, Tuanku Imam Bonjol terus mencoba


mengadakan konsolidasi terhadap seluruh pasukannya yang telah bercerai-berai
dan lemah, namun karena telah lebih 3 tahun bertempur melawan Belanda
secara terus menerus, ternyata hanya sedikit saja yang tinggal dan masih siap
untuk bertempur kembali.

Dalam kondisi seperti ini, tiba-tiba datang surat tawaran dari Residen Francis di
Padang untuk mengajak berunding. Kemudian Tuanku Imam Bonjol
menyatakan kesediaannya melakukan perundingan. Perundingan itu dikatakan
tidak boleh lebih dari 14 hari lamanya. Selama 14 hari berkibar bendera putih
dan gencatan senjata berlaku. Tuanku Imam Bonjol diminta untuk datang ke
Palupuh, tempat perundingan, tanpa membawa senjata. Tapi hal itu cuma
jebakan Belanda untuk menangkap Tuanku Imam Bonjol, peristiwa itu terjadi di
bulan Oktober 1837 dan kemudian Tuanku Imam Bonjol dalam kondisi sakit
langsung dibawa ke Bukittinggi kemudian terus dibawa ke Padang, untuk
selanjutnya diasingkan. Namun pada tanggal 23 Januari 1838, ia dipindahkan ke
Cianjur, dan pada akhir tahun 1838, ia kembali dipindahkan ke Ambon.
Kemudian pada tanggal 19 Januari 1839, Tuanku Imam Bonjol kembali
dipindahkan ke Manado, dan di daerah inilah setelah menjalani masa
pembuangan selama 27 tahun lamanya, pada tanggal 8 November 1864, Tuanku
Imam Bonjol menghembuskan nafas terakhirnya.[26]

Akhir peperangan

Monumen Perang Padri yang dibangun pada masa Hindia-Belanda

Meskipun pada tahun 1837 Benteng Bonjol dapat dikuasai Belanda, dan Tuanku
Imam Bonjol berhasil ditipu dan ditangkap, tetapi peperangan ini masih
berlanjut sampai akhirnya benteng terakhir Kaum Padri, di Dalu-Dalu (Rokan
Hulu), yang waktu itu telah dipimpin oleh Tuanku Tambusai jatuh pada 28
Desember 1838.[30] Jatuhnya benteng tersebut memaksa Tuanku Tambusai
mundur, bersama sisa-sisa pengikutnya pindah ke Negeri Sembilan di
Semenanjung Malaya, dan akhirnya peperangan ini dianggap selesai kemudian
Kerajaan Pagaruyung ditetapkan menjadi bagian dari Pax Netherlandica dan
wilayah Padangse Bovenlanden telah berada di bawah pengawasan Pemerintah
Hindia-Belanda.

Warisan sejarah
Pengaruh dari peperangan ini menumbuhkan sikap patriotisme kepahlawanan
bagi masing-masing pihak yang terlibat. Selepas jatuhnya Benteng Bonjol,
pemerintah Hindia-Belanda membangun sebuah monumen untuk mengenang
kisah peperangan ini.[25] Kemudian sejak tahun 1913, beberapa lokasi tempat
terjadi peperangan ini ditandai dengan tugu dan dimasukan sebagai kawasan
wisata di Minangkabau.[31] Begitu juga selepas kemerdekaan Indonesia,
pemerintah setempat juga membangun museum dan monumen di Bonjol dan
dinamai dengan Museum dan Monumen Tuanku Imam Bonjol.

Perjuangan beberapa tokoh dalam Perang Padri ini, mendorong pemerintah


Indonesia kemudian menetapkan Tuanku Imam Bonjol dan Tuanku Tambusai
sebagai Pahlawan Nasional.

Pelajaran yang dapat di petik adalah: Kita bisa belajar pantang menyerah , ulet
dalam berjuang atau membela Kebenaran...

Menerapkan pelajaran tersebut di kehidupan sehari hari: Menjaga tanah


kemerdekaan ini dengan Belajar lebih giat , karna tugas seorang pelajar adalah
belajar ...

Anda mungkin juga menyukai