Anda di halaman 1dari 41

REFERAT

KARSINOMA NASOFARING

Disusun oleh:
Desi Tahari 1102014068

Pembimbing:
dr. Jon Prijadi , SpTHT-KL

BAGIAN/DEPARTEMEN THT-KL
RSUD KABUPATEN BEKASI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
2019
BAB I
PENDAHULUAN
Karsinoma Nasofaring (KNF) adalah karsinoma sel skuamosa yang
timbul dari lapisan epitel nasofaring. Neoplasma ini dapat timbul dari bagian
manapun di nasofaring dan lebih sering terlihat di dinding lateral, dari fossa
Rosenmuleryaitu reses terletak medial ke crura medial dari muara tuba
Eustachius.
Karsinoma nasofaring adalah penyakit ganas yang relatif jarang
terjadi di sebagian besar negara dengan insidensinya dengan usia kurang dari 1
per 100.000, hanya merupakan 0,7% dari semua kanker, dan memiliki
peringkat kanker baru ke-23 di dunia. KNF sering terjadi di Alaska dan etnis
Cina di bagian selatan Cina, terutama dari provinsi Guangdong. Insiden terbaru
KNF yang dilaporkan di antara pria dan wanita di Hong Kong, bagian selatan
provinsi Guangdong, masing-masing adalah 17,8 per 100.000 dan 6. 7 per
100.000. Ini menunjukkan bahwa faktor genetik, etnis, dan lingkungan dapat
berperan dalam etiologi penyakit.
Salah satu faktor etiologi dari KNF yang sering disebut adalah Virus
Epstein-Barr (EBV) karena genom EBV sering terdeteksi dalam spesimen
biopsi KNF. Selain itu. pasien yang menderita KNF juga memiliki titer
antibodi EBV lebih tinggi daripada kontrol, terutama antibodi IgA terhadap
antigen kapsid virus dan antigen dini. Faktor genetik memiliki peran penting
dalam etiologi KNF.
Insidensi KNF yang tinggi di Indonesia, etiopatogenesis dan faktor
risiko yang khas pada populasi tertentu, serta gejala awal yang tidak khas
membuat diperlukannya pemahaman yang mendalam mengenai keganasan
kepala leher terbanyak ini. Pemahaman dokter umum yang baik diharapkan
dapat mendukung deteksi dini dan pencegahan KNF di fasilitas pelayanan
kesehatan tingkat pertama sehingga mampu menurunkan kejadian KNF di
Indonesia.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 ANATOMI NASOFARING
Nasofaring adalah jaringan fibromromuskular yang terletak pada basis
cranii. Batas-batas nasofaring adalah sebagai berikut:

- Anterior : Choana

- Posterior : Otot prevertebral

- Superior : Lantai sinus sphenoid dan clivus;

- Inferior : Palatum mole dan orofaring setinggi ismus faring

- Lateral : Ruang parapharyngeal

Gambar 1. Nasofaring sisi sinistra dilihat dengan scope

Pada kedua dinding lateral nasofaring terdapat ostium tuba Eustachius


dengan tonjolan tulang rawan di bagian superoposterior yang disebut torus
tubarius. Di bagian posterior torus tubarius ini terdapat lekukan kecil yang agak
datar disebut resesus faringeal lateralis atau fosa Rosenmuller, merupakan
tempat tersering awal mula kanker nasofaring. Tepi atas dari torus tubarius
adalah tempat melekatnya muskulus levator veli palatini. Perluasan tumor pada
KNF akan mengganggu fungsi dari muskulus ini untuk membuka ostium tuba.

Gambar 2 : Anatomi Nasofaring potongan sagital


Gambar 3: MRI Nasoaring potongan sagittal, Panah putih tebal
menunjukan sinus sphenoidalis, panah putih tipis menunjukan clivus, panah
hitam menunjukan platum molle

Bangunan yang penting pada nasopharing

• Ostium tuba eustachii pars pharyngeal


Tuba eustachii merupakan kanal yang menghubungkan kavum
nasi dan nasopharyng dengan rongga telinga tengah. Mukosa
ostium tuba tidak datar tetapi menonjol seperti menara, disebut
torus tubarius.
• Torus tubarius
• Fossa rosen mulleri
Adalah dataran kecil dibelkang torus tubarius. Daerah ini
merupakan tempat predileksi karsinoma nasofaring, suatu tumor
yang mematikan nomor 1 di THT.
• Fornix nasofaring
Adalah dataran disebelah atas torus tubarius, merupakan tempat
tumor angiofibroma nasopharing
• Adenoid= tonsil pharyngeal=luskha
• Secara teoritis adenoid akan hilang setelah pubertas karena
adaenoid akan mencapai titik optimal pada umur 12-14 tahun.
Lokasi pada dinding superior dan dorsal nasopharing sebelah
lateral bursa pharyngea. Fungsinya sebagai mekanisme pertahanan
tubuh terhadap kuman- kuman yang lewat jalan napas hidung.
Dinding nasofaring diliputi oleh mukosa dengan banyak lipatan
atau kripta. Secara histologis mukosa nasofaring dibentuk oleh epitel
berlapis silindris bersilia atau pseudostritified ciliated columnar
epithelium yang kearah orofaring akan berubah menjadi epitel gepeng
berlapis atau stratified squamous epithelium. Diantara pertemuan atap
nasofaring dan dinding lateral di daerah fosa Rosenmuller terdapat epitel
peralihan atau transitional epithelium yang menjadi tempat asal dari
tumbuhnya tumor nasofaring.17
Gambar 4. Anatomi Nasofaring tampak posterior

Gambar 5. MRI Nasofaring potongan coronal


Kepala panah putih menunjukan fossa Rosenmüller kanan,
panah putih menunjukan muara tuba eustachia, panah hitam
jaringan adenoid normal

Dinding nasofaring diliputi oleh mukosa dengan banyak lipatan


atau kripta. Secara histologis mukosa nasofaring dibentuk oleh epitel
berlapis silindris bersilia atau pseudostritified ciliated columnar
epithelium yang kearah orofaring akan berubah menjadi epitel gepeng
berlapis atau stratified squamous epithelium. Diantara pertemuan atap
nasofaring dan dinding lateral di daerah fosa Rosenmuller terdapat epitel
peralihan atau transitional epithelium yang menjadi tempat asal dari
tumbuhnya tumor nasofaring.17

Nasofaring mempunyai pleksus submukosa limfatik yang luas.


Kelompok pertama adalah kelompok nodul pada daerah retrofaringeal
yang terdapat pada ruang retrofaring antara dinding posterior nasofaring,
fasia faringobasilar dan fasia prevertebra. Pada dinding lateral di daerah
tuba Eustachius paling kaya akan pembuluh limfe. Aliran limfe berjalan
kearah anterosuperior dan bermuara di kelenjar retrofaringeal atau
kelenjar yang paling proksimal dari masing-masing sisi rantai kelenjar
spinal dan jugularis interna, rantai kelenjar ini terletak di bawah otot
sternokleidomastoideus. Pembuluh limfe di daerah nasofaring sangat
kompleks dan membentuk pleksus yang saling menyilang melewati garis
tengah. Aliran getah bening menuju arah posterior, selanjutnya ke
kelenjar getah bening Rouviere di ruang retrofaring bagian lateral dan
retro parotis kemudian menuju ke rangkaian kelenjar getah bening di
sekitar vena jugularis interna bagian superior, terutama kelompok jugulo
digastrik.17
Gambar 6. Sistem Limfatik daerah leher
Gambar 7. Level Sistem Limfatik daerah leher
2.2 DEFINISI
Karsinoma nasofaring (KNF) adalah keganasan yang berasal dari
epitel nasofaring. Titik tengah tumor di dalam wilayah nasofaring paling
sering dijumpai di fossa Rosenmuller, dimana tumor dapat menginvasi
ruang atau organ anatomi yang berdekatan.1 Karsinoma nasofaring (KNF)
adalah karsinoma sel squamosa yang berkembang dari epitel nasofaring.2
WHO mendefinisikan KNF sebagai karsinoma yang berasal di
mukosa nasofaring yang menunjukkan bukti diferensiasi skuamosa dari
ultrastruktur atau pemeriksaan mikroskopi cahaya. Definisi ini tidak
mengikutsertakan adenokarsinoma dan karsinoma tipe kelenjar saliva.20
Komite Penaggulangan Kanker Nasional dalam Pedoman Nasional
Pelayanan Kedokteran Kanker Nasofaring juga mendefinisikan
karsinoma nasofaring sebagai keganasan yang muncul pada daerah
nasofaring (area di atas tenggorok dan di belakang hidung). Tipe KNF
terbanyak adalah keganasan sel skuamosa.1

2.3 EPIDEMIOLOGI
Pada tahun 2012 diperkirakan terdapat 86.700 kasus baru KNF dan
50.800 kematian akibat KNF, keduanya mewakilkan sekitar 0,6% dari
semua kasus keganasan, sehingga karsinoma ini dapat dikatakan relatif
langka. Jumlah penderita KNF laki-laki lebih banyaak dibanding
perempuan (rasio 2,3:1).5 Distribusi KNF berbeda signifikan menurut
kondisi geografis dan sumber daya, dengan 92% kasus baru terjadi di
negara berkembang, dan insidensi tertinggi di populasi Asia Tenggara,
yaitu mencapai setidaknya dua kali insidensi area lain. Tiga negara
dengan insidensi nasional tertinggi ada di Malaysia, Indonesia, dan
Singapura, dengan angka tertinggi pada populasi Tionghoa dan Melayu.6
Insidensi tinggi juga dilaporkan di Cina Tenggara, termasuk Hong
Kong dan Guangdong, Filipina, India, Thailand, Mikronesia, Asia Timur,
dan Afrika Utara. Populasi lain dengan insidensi relatif tinggi adalah
etnis Inuit di Alaska, Greenland, dan Kanada Utara, serta etnis Tionghoa
dan Filipina di Amerika Serikat. Indisendi keganasan ini lebih rendah
pada sebagian besar populasi yang tinggal di tempat lain di Amerika dan
Eropa.6
Angka mortalitas KNF tertinggi pada tahun 2012 ditemukan di
Hong Kong, yaitu 4,51 per 100.000 laki-laki dan 1,15 per 100.000
perempuan. Penurunan angka mortalitas dari tahun 2002 diamati di
beberapa negara dan diduga karena perubahan pola makan ikan asin dan
makanan yang diawetkan, serta perbaikan penatalaksanaan penyakit.
Perbedaan antarjenis kelamin diduga disebabkan oleh perbedaan
prevalensi merokok dan konsumsi alkohol.21
Karsinoma nasofaring merupakan keganasan terbanyak (28,35%)
dari seluruh kasus keganasan kepala leher di Indonesia, dengan 1.121
kasus dilaporkan selama periode 1995-2005.4 Penelitian di RSUPN Cipto
Mangunkusumo mencatat terdapat 167 kasus KNF pada tahun 2010
dengan keluhan utama pada saat datang yaitu massa di leher dan hidung
tersumbat.16 Semua penelitian menemukan KNF lebih banyak terjadi
pada laki-laki.4,16

2.4 ETIOLOGI DAN FAKTOR RESIKO


Etiologi karsinoma nasofaring dipengaruhi oleh berbagai faktor
yang saling berinteraksi. Disparitas antarkelompok dengan faktor risiko
tertentu telah dicatat bahkan sejak konferensi IARC tahun 1978, dimana
diduga terdapat suatu agen yang memengaruhi populasi Tionghoa di
Singapura, tetapi tidak mampu memberikan dampak pada populasi India
dan Pakistan.22 Literatur terbaru telah menemukan berbagai faktor risiko
termasuk genetik, diet, higienitas, pekerjaan, medikasi, dan infeksi virus
Epstein-Barr.7,9

1. Infeksi virus Epstein-Barr dan HPV


Infeksi virus Epstein-Barr (EBV) mungkin adalah faktor etiologi
karsinoma nasofaring yang paling banyak dipelajari. Berdasarkan teknik
hibridisasi in-situ terhadap RNA terkode EBV, virus tersebut terdeteksi
hanya dalam sel tumor, tetapi tidak dalam epitel nasofaring normal.3
Meskipun berbagai penelitian menemukan hubungan kuat antara infeksi
EBV dan KNF, peran infeksi EBV dalam patogenesis KNF masih belum
jelas.7
Secara histopatologi, infeksi EBV memiliki hubungan dengan
karsinoma nonkeratinisasi subtipe terdiferensiasi dan tak terdiferensiasi,
tetapi hubungan dengan karsinoma keratinisasi hanya ditemukan pada
daerah berisiko tinggi. Pada KNF, virus berada pada fase laten, hanya
terdapat pada sel tumor, dan tidak ditemukan di jaringan limfoid
sekitar.15
Selama fase laten, EBV mengekspresikan beberapa gennya untuk
menghindari deteksi sistem imun. Ekspresi gen laten pada sel terinfeksi
EBV berada di bawah regulasi epigenetik. Beberapa tipe profil ekspresi
gen laten di sel terinfeksi EBV telah diidentifikasi. Latensi tipe 0 dikenali
pada sel B memori, dimana ekspresi gen EBV terbatas pada EBV-
encoded small RNAs (EBER) tanpa adanya ekspresi protein EBV; EBV
nuclear antigen 1 (EBNA1) hanya diekspresikan di sel B memori yang
mengalami divisi. Pada KNF ditemukan virus dalam latensi tipe II.14
Ekspresi gen pada infeksi EBV laten tipe II mencakup EBER,
EBNA1, LMP1, LMP2, BARF1, BARTs, dan BART-miRNAs. Secara
umum ekspresi gen tersebut memengaruhi proliferasi sel, invasi virus,
keberlangsungan hidup virus, perbaikan DNA, modulasi imunitas
bawaan, resistensi terhadap apoptosis, checkpoint siklus sel, potensi
invasi dan metastasis sel karsinoma, dan transformasi sel nonmaligna.14
Etiologi viral lainnya yang dihubungkan dengan karsinoma
nasofaring adalah human papillomavirus (HPV). Koinfeksi HPV dan
EBV dapat memberikan dampak terhadap perubahan sel menjadi
malignan. Infeksi HPV onkogenik yang didapat secara vertikal dari ibu
ditemukan berperan penting sebagai agen etiologi KNF.3,23
2. Genetik
Peran kerentanan genetik individu terhadap patogenesis KNF
diindikasikan oleh insidensi KNF yang tinggi pada etnis tertentu. Hal ini
lebih mencolok karena generasi kedua dan ketiga dari penduduk daerah
berisiko tinggi yang telah emigrasi dan berasimilasi dengan budaya yang
berbeda masih memiliki risiko KNF lebih tinggi dibanding penduduk
sekitar.3,7
Kerentanan genetik terhadap KNF pada populasi berisiko tinggi
telah dilaporkan, terutama berhubungan dengan gen HLA kelas I di lokus
MHC kromosom 6p21. Gen HLA kelas I mengode protein yang dapat
mengidentifikasi dan mempresentasikan antigen asing (termasuk peptida
hasil kode EBV) kepada sel T sitotoksik untuk memicu respon imun
terhadap sel yang terinfeksi virus.7
Beberapa penelitian kasus-kontrol telah menemukan hubungan
antara polimorfisme genetik dan risiko KNF, dengan memengaruhi
kerentanan genetik terhadap infeksi EBV dan/atau transformasi sel
terinduksi karsinogen kimiawi. Peningkatan risiko KNF ditemukan
berhubungan dengan polimorfisme genetik yang terlibat dalam
metabolisme nitrosamin (CYP2E1, CYP2A6), detoksifikasi elektrofil
karsinogenik (GSTM1), perbaikan DNA (XRCC1, hOGG1, NBS1,
RAD51L1), jalur masuk EBV ke epitel nasofaring (PIGR), regulasi
checkpoint siklus sel (MDM2, TP53), adhesi dan migrasi sel (MMP2),
interleukin (IL1A, IL1B, IL2, IL8, dan IL10), toll-like receptors (TLR3,
TLR4, TLR10).3,7
3. Lingkungan
Studi epidemiologi skala besar mengusulkan adanya hubungan
beberapa kebiasaan diet dan sosial dengan peningkatan risiko karsinoma
nasofaring.3 Salah satu faktor yang paling sering disebut adalah riwayat
konsumsi ikan asin.3,7 Karsinogen yang berperan adalah senyawa volatil
N-nitrosamin yang dapat menginduksi kerusakan DNA dan inflamasi
kronik mukosa nasofaring.3,7 Konsumsi nitrosamin selama periode anak-
anak dapat menyebabkan akumulasi lesi genetik aberan dan
perkembangan jaringan rentan karsinoma di nasofaring, yang pada
gilirannya meningkatkan kerentanan infeksi EBV dan meningkatkan
risiko KNF.7
Konsumsi makanan lain yang ditemukan berhubungan dengan
kejadian KNF adalah asinan sayur, makanan yang diawetkan, teh herbal,
sup slow-cooked, alkohol, produk hewani, karbohidrat, dan asam lemak
tak jenuh.3,9,10 Selain diet, faktor lingkungan lain yang dianggap
berpengaruh adalah higienitas oral, inhalasi debu kayu, asap,
formaldehida, dan bahan kimia.7,11 Beberapa literatur berbeda pendapat
mengenai inhalasi debu kayu sebagai faktor risiko karsinoma nasofaring.7
Inhalasi debu kayu dianggap berhubungan dengan adenokarsinoma
hidung, tetapi tidak dengan karsinoma nasofaring.12 Penelitian lain
menemukan bahwa aspirin memiliki efek protektif terhadap karsinoma
nasofaring.13

2.5 PATOFISIOLOGI
Keganasan pada umumnya dapat terjadi melalui dua mekanisme:
pemendekan waktu siklus sel sehingga menghasilkan lebih banyak sel
yang diproduksi dalam satuan waktu; dan penurunan jumlah kematian sel
akibat gangguan pada proses apoptosis. Gangguan pada berbagai
protoonkogen dan gen penekan tumor (tumor suppresor genes) yang
menghambat penghentian proses siklus sel.24
Pada keadaan fisiologis proses pertumbuhan, pembelahan, dan
diferensiasi sel diatur oleh gen yang disebut protoonkogen yang dapat
berubah menjadi onkogen bila mengalami mutasi. Onkogen dapat
menyebabkan kanker karena memicu pertumbuhan dan pembelahan sel
secara patologis.24
Perkembangan lesi dimulai dari adanya lesi prakanker (field
cancerization). Pada KNF, lesi prakanker ini dapat terbentuk di usia
muda akibat konsumsi karsinogen nitrosamin. Lesi prakanker ini sendiri
merupakan faktor predisposisi infeksi EBV yang akan lebih lanjut
menyebabkan inflamasi dan alterasi genetik. Infeksi laten EBV
menyebabkan displasia yang semakin parah. Berbagai faktor ekspresi gen
EBV menyebabkan perkembangan lesi menjadi karsinoma in-situ dan
akhirnya kanker invasif.14

Gambar 6. Model tumorigenesis patogenesis karsinoma nasofaring terkait


EBV.7
Gambar 7. Peran EBV dalam patogenesis KNF.14
2.6 HISTOPATOLOGI
Sel-sel epitel KNF adalah sel-sel poligon besar dengan karakter syncytial
denan inti bulat atau oval dengan sedikit kromatin dan nukleolus beragam. Sel-
sel sering bercampur dengan sel limfoid di nasofaring, sehingga sering disebut
dengan istilah lymphoepithelioma.

Klasifikasi histologis KNF menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)


pada tahun 1978 mengkategorikan tumor menjadi tiga kelompok:

1. Tipe I termasuk keratinisasi khas yang terlihat dengan adanya


jembatan antar sel, mirip dengan yang ditemukan pada saluran
pencernaan atas
Gambar 8. Karsinoma nasofaring terkeratinisasi, tampak sel tumor
berukuran besar dengan sitoplasma eosinophilik disertai keratinisasi
2. Tipe II termasuk karsinoma epidermoid non-keratin. Tampak
pematagan tetapi tanpa diferensiasi skuamosa.
Gambar 9. Karsinoma nasofaring nonkeratinisasi, tampak Sel-sel
tumor memiliki konfigurasi papiler dan tampak lebih hiperkromatik
daripada karsinoma yang tidak berdiferensiasi. Nukleus di pinggir
menunjukkan palisading
3. Tipe III termasuk karsinoma tidak berdiferensiasi atau karsinoma
berdiferensiasi buruk. Sel-sel memiliki batas sel tidak jelas dengan
inti hiperkromatik.

Gambar 10. Karsinoma nasofaring yang tidak terdiferensiasi. Sel-sel


tumor biasanya terdiri dari sarang atau pulau sel poligon pleomorfik
dengan inti vesikular besar yang menonjol. Sarang tumor sering
dikelilingi oleh stroma limfoid, yang merupakan bagian dari stroma
nasofaring.

Di Amerika Utara, sekitar 25% pasien memiliki tumor dengan histologi


Tipe I, 12% dengan Tipe II, dan 63% dengan Tipe III. Distribusi histologis
pada pasien di Cina selatan masing-masing adalah 3%, 2%, dan 95%.
Secara klinis, biopsi yang diperoleh dari pasien yang menderita KNF
kadang-kadang menunjukkan pola histologis campuran. Klasifikasi WHO
baru-baru ini telah mempertimbangkan pola campuran ini serta hubungan EBV
dengan tumor Tipe II dan III. Jenis histologis KNF diklasifikasikan menjadi
dua kelompok; kelompok pertama terdiri dari KSS atau karsinoma non-keratin,
dan kelompok kedua dibagi lagi menjadi karsinoma yang berdiferensiasi dan
tidak berdiferensiasi. Klasifikasi baru ini juga telah terbukti memiliki
prognostik; karsinoma yang tidak berdiferensiasi memiliki tingkat kontrol
tumor lokal yang lebih tinggi dengan radioterapi (RT) dan insiden yang lebih
tinggi dari metastasis jauh.

Variasi angka pelaporan subtipe mengindikasikan batasan


antarkelompok tidak selalu jelas. Kesalahan pengambilan sampel merupakan
masalah signifikan akibat ukuran biopsi kecil dan reprodusibilitas klasifikasi
belum optimal. Beberapa peneliti menganggap bahwa karsinoma sel skuamosa
terkeratinisasi dan karsinoma nonkeratinisasi hanya variasi dari kelompok
tumor homogen.20

2.7 MANEFESTASI KLINIS


Tumor di nasofaring dapat menyebabkan gejala obstruksi dan
pengeluaran hidung. Dengan tumor kecil obstruksi dapat terjadi unilateral dan
dengan pertumbuhan tumor gejalanya dapat bilateral. Ketika tumor mengalami
ulserasi, pasien dapat mengalami epistaksis. Jumlah perdarahan biasanya
sedikit dan yang sering ditemukan adalah adanya darah dan postnasal drip,
terutama di pagi hari.

Massa tumor di nasofaring dengan atau tanpa ekstensi posterolateral ke


dalam ruang paranasofaring sering dikaitkan dengan disfungsi tuba Eustachius.
Hal ini dapat menyebabkan pengumpulan cairan di telinga tengah dan pasien
dapat mengalami tuli konduktif unilateral dan gejala otologis lainnya seperti
otalgia dan tinnitus. Ketika seorang pasien dewasa Cina datang dengan otitis
media serosa, ahli THT harus mempertimbangkan kemungkinan KNF.
Ketika tumor tumbuh kearah superior dan masuk ke dasar tengkorak,
pasien akan mengalami sakit kepala. Ketika peningkatan tumor mempengaruhi
sinus kavan dan dinding lateral, saraf kranial III, IV, dan VI dapat terpengaruh
dan pasien akan mengalami diplopia. Ketika tumor meluas melibatkan foramen
ovale, saraf kranial V mungkin terpengaruh ditandai adaya nyeri wajah dan
rasa baal pada wajah. Selain diplopia, neuralgia terminal juga merupakan
gejala yang sering ditemukan oleh ahli saraf jika belum terdapat keluhan lain
yang berarti. Proses karsinoma yang lanjut akan mengenai saraf otak ke IX, X,
XI, dan XII jika penjalaran melalui foramen jugulare. Gangguan ini sering
disebut dengan sindrom Jackson. Keterlibatan saraf kranial pada pasien KNF
terdapat 13% hingga 30% tergantung pada stadium penyakit.

KNF sering bermetastasis ke kelenjar getah bening cervikal, sehingga


sering muncul gejala muncul massa leher yang tidak nyeri,di leher atas, tidak
jarang ditemukan pasien dengan pembesaran kelenjar getah bening cervikal
bilateral. Jarang dijumpai metastasis jauh pada KNF. Metastasis jauh yang
umum ditemukan adalah pada vertebra, hati dan paru-paru.

Sifat nonspesifik dari gejala hidung dan gejala aural tidak mencolok
seperti pembesaran kelenjar getah bening cervikal tanpa rasa sakit, sebagian
besar pasien KNF sering terdiagnosa ketika tumor mereka telah mencapai
stadium lanjut. Sebuah analisis retrospektif dari 4, 768 pasien menunjukkan
bahwa gejala pada presentasi adalah massa leher pada 76%, gejala hidung pada
73%, gejala aural pada 62%, dan kelumpuhan saraf kranial pada 20% pasien.
Dalam sebagian besar laporan, rasio pria : wanita adalah 3: 1, dan usia rata-rata
adalah 50 tahun.

2.8 DIAGNOSIS

Ketika pasien datang dengan gejala KNF, seperti pembesara kelenjar


getah bening leher, cairan di telinga tengah, dan gejala parase saraf kranial.
Pemeriksaan tidak langsung pada nasofaring harus dilakukan walaupun, pada
beberapa pasien memiliki variasi anatomi nasofaring menghalangi evaluasi.
Investigasi lain terhadap diagnosis KNF adalah estimasi tingkat antibodi
terhadap EBV, studi pencitraan dan pemeriksaan endoskopi nasofaring dan
biopsy.

Penegakkan diagnosis karsinoma nasofaring memerlukan anamnesis,


pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang lainnya. Deteksi dini di
fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama melalui anamnesis yang cermat
sangat diperlukan untuk meningkatkan kemungkinan prognosis pasien yang
baik.

1. Anamnesis
Manifestasi klinis karsinoma nasofaring bergantung pada luas lesi
primer atau nodus.3 Gejala awal karsinoma nasofaring tidak
spesifik. Massa di nasofaring dapat menyebabkan gejala obstruksi
nasal, awalnya unilateral kemudian bisa bilateral jika massa
membesar. Gejala lain yang harus diwaspadai adalah hidung
beringus, epistaksis, post-nasal drip. Gejala awal yang penting lain
adalah gejala disfungsi tuba Eustachius akibat obstruksi mekanis
ataupun ekstensi posterolateral. Obstruksi tersebut dapat
menyebabkan tuli konduktif unilateral, otalgia, dan tinnitus.26
2. Pemeriksaan fisik
1) Pemeriksaan status generalis dan status lokalis
2) Pemeriksaan nasofaring:
a) Rhinoskopi anterior dan posterior
b) Nasofaringoskopi (fiber/rigid)

3. Pemeriksaan penunjang
1) Pemeriksaan nasoendoskopi dengan NBI (Narrow Band
Imaging) memainkan peran kunci dalam deteksi awal lesi
KNF untuk melihat mukosa dengan kecurigaan kanker
nasofaring, sebagai panduan lokasi biopsi, dan follow up
terapi pada kasus-kasus dengan dugaan residu dan residif.1,26
2) Pemeriksaan radiologik
a) CT Scan
Pemeriksaan radiologik berupa CT Scan nasofaring
mulai setinggi sinus frontalis sampai dengan klavikula,
potongan koronal, aksial, dan sagital, tanpa dan dengan
kontras. Computed tomography (CT) dapat
menunjukkan ekstensi jaringan lunak di nasofaring dan
lateral ke dalam ruang paranasopharyngeal. Sangat
sensitif dalam mendeteksi erosi tulang terutama pada
dasar tengkorak. Perluasan tumor intrakranial melalui
foramen ovale dengan penyebaran perineural juga dapat
dideteksi dan ini memberikan bukti keterlibatan sinus
kavernosa tanpa erosi dasar tengkorak. Informasi yang
diberikan melalui CT scan penting untuk penentuan
stadium dan juga pilihan tindakan terapeutik untuk
beberapa pasien. CT scan mampu menunjukkan
regenerasi tulang setelah terapi dan ini menunjukkan
eradikasi total tumor. Secara umum CT scan kurang
baik dalam menilai perkembangan tumor dan
sebaliknya magnetic resonance imaging (MRI)
memiliki spesifisitas jaringan lunak yang lebih baik.
MRI lebih baik daripada CT scan dalam menilai
diferensiasi tumor dan inflamasi jaringan lunak,
terutama pada sinus paranasal. MRI juga lebih sensitif
dalam mengevaluasi metastasis nodal retrofaringeal dan
leher dalam. MRI mampu mendeteksi infiltrasi sumsum
tulang oleh tumor, sementara CT scan hanya dapat
mendeteksi infiltrasi jenis ini ketika ada erosi tulang
yang terkait.
Gambar 11. CT scan KNF tahap awal. A: Axial dan (B) diformat ulang dengan
kontras coronal CT gambar CT menunjukkan KNF sisi kiri (panah hitam).
Peningkatan jaringan lunak menginfiltrasi anatomi normal jaringan lunak di
dekat pangkal tengkorak, melenyapkan bidang normal yang masih dapat dilihat
di sebelah kanan.
Gambar 12. C: Erosi clivus (panah putih) paling baik terlihat pada CT scan
bone window
Gambar 13. MRI dari NPC tingkat lanjut. A: T1-welghted tanpa aksial, (B)
aksial T2-welghted, (B) aksial lemak pascakontrastif T1-welghted, dan (D)
sagital unenhanced T1-welghted Gambar dari nasofaring menunjukkan tumor
besar (panah) ) yang telah menghancurkan sebagian besar dasar tengkorak
pusat. Tumor itu lsodense ke otak (A), tetapi gelap pada T2 (B) karena rasio
sitoplasmik nuklirnya yang tinggi. Tumor ini meningkat secara seragam (C),
meskipun banyak NPC besar memiliki nekrosis sentral yang mengakibatkan
peningkatan heterogen. Ada keterlibatan luas struktur sekitarnya seperti karotis
karotis (kepala panah di A), pterygopalatine dan fossa Infratemporal (kepala
panah di B), sinus kavernosa (kepala panah di C), clivus (panah di D), dan
sinus sphenoid (panah di D).
B. Endoskopi
Konfirmasi diagnosis adalah NPC membutuhkan biopsi positif yang diambil
dari tumor di nasofaring. Nasofaring dapat diperiksa dengan adekuat dengan
anestesi topikal dengan endoskopi. Endoskop dimasukkan di belakang palatu
molle memungkinkan visualisasi nasofaring dan kedua muara tabung
Eustachius. Endoskopi kaku berdiameter 3-4 mm ini tidak memiliki saluran
isap atau biopsi. Darah dan lendir yang menutupi tumor harus diangkat dengan
kateter isap (suction) yang terpisah agar terdapat pandangan patologi yang
jelas. Tang biopsi juga harus dimasukkan bersama endoskop untuk mengambil
biopsi tumor. Endoskopi fleksibel memungkinkan pemeriksaan menyeluruh
seluruh nasofaring bahkan ketika dimasukkan melalui satu rongga hidung.

Gambar 13. Endoskop (00) Dimasukkan melalui rongga hidung kanan


menunjukkan tumor berdaging di nasofaring.
Gambar 14. Endoskopi (700) dimasukkan melalui rongga mulut, memeriksa
nasofaring dari bawah. Tepi posterior septum hidung (S). Orifisium tuba
Eustachius kanan (panah) dan tumor nasofaring dapat terlihat memanjang dari
dinding lateral kanan ke atap nasofaring (Tumor).

C. Foto Thoraks
Pemeriksaan foto thoraks dilakukan untuk melihat adanya nodul di paru atau
apabila dicurigai adanya kelainan maka dilanjutkan dengan CT Scan Toraks
dengan kontras.

D. Bone Scan
Pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat metastasis pada tulang.1

E. Pemeriksaan patologi anatomi


Diagnosis pasti ditegakkan berdasarkan pemeriksaan patologi anatomi dengan
spesimen dari biopsi nasofaring. Penegakkan diagnosis dengan patologi
anatomi bukan dengan spesimen dari biopsi aspirasi jarum halus (fine needle
aspiration biopsy/FNAB). Biopsi nasofaring dilakukan dengan tang biopsi
lewat hidung atau mulut dengan tuntunan rhinoskopi posterior atau
nasofaringoskopi rigid/fiber.
F. Pemeriksan laboratorium
Hematologi (darah perifer lengkap, LED, hitung jenis), alkali fosfatase, LDH,
SGOT-SGPT

G. Pemeriksaan serologi
Beberapa penelitian berusaha menemukan pemeriksaan yang efektif
sebagai alat deteksi dini KNF. Salah satu penelitian menemukan bahwa analisis
DNA EBV di sampel plasma (pEBV) dapat digunakan sebagai alat skrining
KNF asimtomatik.27 Penanda pEBV juga memiliki nilai prognosis dimana
pEBV digunakan dalam menyeleksi pasien KNF risiko tinggi untuk diberikan
terapi ajuvan.8 Penelitian lain menemukan bahwa uji cepat menggunakan NPC
test strip tidak direkomendasikan karena sensitivitas dan spesifisitas yang
rendah.28 Meskipun beberapa penelitian merekomendasikan penanda serologis
sebagai alat skrining KNF, telaah Cochrane tidak dapat menilai efektivitas
skrining karena belum ada penelitian randomized controlled trial yang
membandingkan kelompok skrining dan tanpa skrining.29

EBV mempengaruhi manusia dalam berbagai bentuk, dan juga ditemukan


berhubungan dengan limfoma Burkitt. EBV termasuk dalam keluarga virus
herpes, dan antigen spesifik EBV dapat dikelompokkan menjadi antigen
replikatif awal, antigen fase laten, dan antigen lanjut. Pada pasien yang
menderita KNF, antibodi imunoglobulin A (IgA.) respon terhadap EA dari
kelompok pertama, dan VCA dari kelompok ketiga telah terbukti memiliki
nilai diagnostik. Ketika spektrum antibodi terhadap salah satu antigen fase
laten, antigen nuklir yang diasosiasikan dengan EBV (EBNA) dievaluasi, baik
spesifisitas dan sensitivitas tes melebihi 92%.
Gambar 14. Algoritma diagnosis dan tatalaksana KNF1
DIAGNOSIS BANDING
1. Hiperplasia adenoid
Biasanya terdapat pada anak-anak, jarnag pada orang dewasa, pada anak-anak
hyperplasia ini terjadi Karena infeksi berulang. Pada foto polos akan terlihat
suatu massa jaringna lunak pada aatap nasofaring umunya berbatas tegas dan
umunya simetris serta struktur-struktur sekitarnya tak tampak tanda- tanda
infiltrasi seprti tampak pada karsinoma.

2. Angiofibroma juenilis
Baisanya ditemui pada usia relative muda dengan gejala-gejala menyerupai
KNF. Tumor ini kaya akan pembuluh darah dan biasnya tidak infiltrative.
Pada foto polos akan didapat suatu massa pada atap nasofairng yang berbatas
tegas. Proses dapat meluas seperrti pada penyebaran karsinoma, walaupun
jarang menimbulkan destruksi tulang hanay erosi saja karena penekanan tumor.
Biasanya ada pelengkungan ke arah depan dari dinding belakang sinus
maksilarisyang dikenals ebgai antral sign. Karena tumor ini kaya akan vascular
maka arterigrafi carotis eksterna sangat diperlukan sebab gambaranya sangat
karakteristik. Kadang-kadang sulit pula membedakan angiofibroma juvenils
dengan polip hidung pada foto polos.
3. Tumor sinus sphenooidalis
Tumor ganas primer sinus sphenoidalis adalah sangat jarang dan biasanya
tumor sudah sampai stadium agak lanjut waktu pasien dating untuk
pemeriksaan pertama.

4. Neurofibroma
Kelompok tumor ini sering timbul pada ruang faring lateral sehingga
menyerupai keganasan didnding lateral nasofaring. secara C.T. Scan,
pendesakan ruang para faring kea rah medial dapat membantu mebedakan
kelompok tumor ini dengan KNF.

5. Tumor kelenjar parotis


Tumor kelenjar parotis terutama yang berasal dari lobus yang terletak agak
dalam mengenai ruang para faring dan menonjol kearah lumen nasofaring.
pada sebagian besar kasus terlihat pendesakan ruang parafaring kea rah medial
yang tampak pada pemeriksaan C.T.Scan.

6. Chordoma
Walaupun tanda utama chordoma adalah destruksi tulang, tetapi mengingat
KNF pun sering menimbulkan destruksi tulang, maka sering timbul kesulitan
untuk membedakanya. Dengan foto polos, dapat dilihat kalsifikasi atau
destruksi terutama di daerah clivus. CT dapat membantu ,elihat apakah ada
pembesaran kelenjar cervical bagian atas karena chordoma umunya tidak
memperhatikan kelainan pada kelenjar tersebuts edangkan KNF sering
bermetastasis ke kelenjar getah bening.

7. Menigioma basis kranii


Walaupun tumor ini agak jarang tetapi gambaranya kadang-kadang meyerupai
KNF dengan tanda-tanda sklerotik pada daerah basis kranii. Ganbaran CT
meningioma cukup karakteristikk yaitu sedikit hiperdense sebelum
penyuntikanzat kontras dan akan menjadi sangat hiperdense setelah pemberian
zat kontras intravena. Pemeriksaan arteiografi juga sangat membantu diagnosis
tumor ini.
2.9 STAGING
Sistem pentahapan klinis untuk KNF sangat penting untuk perencanaan
perawatan dan evaluasi hasil terapi. Selama bertahun-tahun, beberapa sistem
pementasan digunakan untuk KNF; sistem Union International Contre le
Cancer (UICC) dan American Joint Committee on Cancer Staging (AJCC)
lebih disukai di Eropa dan Amerika, sedangkan sistem Ho sering digunakan di
Asia.

Baik UICC dan AJCC menilai tingkat tumor di nasofaring dengan


mempertimbangkan jumlah bagian yang terkena tumor nasofaring. Sistem Ho
mengklasifikasikan semua tumor yang terbatas pada nasofaring sebagai
penyakit T1. UICC dan sistem AJCC telah bersatu sejak 1992. Dalam sistem
staging terbaru tahun 2009, tahap Tl mencakup semua tumor yang terbatas
pada nasofaring atau meluas secara lokal seperti inferior ke orofaring atau
anterior ke rongga hidung. Tahap T2 termasuk tumor yang telah meluas ke
ruang paranasopharyngeal. T3 meliputi tumor yang melibatkan dasar tengkorak
atau sinus paranasal. Tumor T4 adalah yang telah meluas ke fossa
infratemporal, orbit, hipofaring. dan kranium, atau telah mempengaruhi saraf
kranial.

Pengukuran 6 cm adalah satu-satunya faktor untuk ukuran lateralitas


dan lokasi keterlibatan seperti daerah retrofaringeal dan fossa supraklavikula
adalah faktor penting lainnya dalam menentukan stadium N. Di bawah sistem
saat ini, Nl merujuk pada keterlibatan nodus unilateral dengan diameter kurang
dari 6 cm dan tidak mencapai fossa supraklavikula. Nodus rettopharyngeal
bilateral selama kurang dari 6 cm masih Nl. Penyakit nodal serviks bilateral
yang belum mencapai N3, terlepas dari ukuran, jumlah dan lokasi
diklasifikasikan N2. Stadium N3 merujuk ke kelenjar getah bening yang lebih
besar dari 6 cm (N3a), atau kelenjar yang telah meluas ke fossa supraklavikula
(N3b). Untuk staging-M, M1 mewakili metastasis jauh, termasuk keterlibatan
kelenjar getah bening di bawah klavikula. Sistem staging terpadu saat ini telah
memungkinkan pasien untuk diagnosis lebih tepat dan sederhana, juga
dianggap sebagai prediktor yang lebih baik dari prognosis.

Penentuan stadium karsinoma nasofaring digunakan sistem TNM


menurut AJCC 2010:1
Tumor Primer (T)
Tx : Tumor primer tidak dapat dinilai
T0 : Tidak tampak tumor
T 1s : Karsinoma in situ
T1 : Tumor terbatas di nasofaring
T2 : Tumor meluas ke jaringan lunak
T 2a : Perluasan tumor ke orofaring dan / atau rongga hidung tanpa
perluasan ke parafaring
T 2b : Disertai perluasan ke parafaring
T3 : Tumor menginvasi struktur tulang dan / atau sinus paranasal
T4 : Tumor dengan perluasan intrakranial dan / atau terdapat
keterlibatan saraf kranial, fossa infratemporal, hipofaring, orbita atau
ruang mastikator

Kelenjar Getah Bening (KGB) Regional (N)


Nx : Pembesaran KGB regional tidak dapat dinilai
N0 : Tidak ada pembesaran
N1 : Metastasis kelenjar getah bening unilateral, dengan ukuran
terbesar kurang atau sama dengan 6 cm, di atas fossa supraklavikula
N2 : Metastasis kelenjar getah bening bilateral, dengan ukuran
terbesar kurang atau sama dengan 6 cm, di atas fossa supraklavikula
N3 : Metastasis kelenjar getah bening bilateral dengan ukuran lebih
besar dari 6 cm, atau terletak di dalam fossa supraklavikula
N 3a : ukuran lebih dari 6 cm
N 3b : di dalam fossa supraklavikula
Metastasis Jauh (M)
Mx : Metastasis jauh tidak dapat dinilai
M0 : Tidak ada metastasis jauh
M1 : Terdapat metastasis jauh
Tabel. Stadium KNF1
Stadium T N M
Stadium 0 T 1s N0 M0
Stadium I T 1s N0 M0
Stadium IIA T 2a N0 M0
Stadium IIB T1 N1 M0
T 2a N1 M0
T 2b N0, N1 M0
Stadium III T1 N2 M0
T 2a , T 2b N2 M0
T3 N2 M0
Stadium IVa T4 N0 , N1 , N2 M0
Stadium IVb semua T N3 M0
Stadium IVc semua T semua N M1

2.10 TATALAKSANA
Terapi dapat mencakup radiasi, kemoterapi, kombinasi keduanya,
dan didukung dengan terapi simptomatik sesuai dengan gejala.25

Tabel. Modalitas Terapi KNF Menurut Stadium1

Stadium Modalitas Terapi


Stadium I Radioterapi
Stadium II Kemoradiasi
Stadium III Kemoradiasi
Stadium IV dengan N <6 cm Kemoradiasi
Stadium IV dengan N >6 cm Kemoterapi dosis penuh
dilanjutkan kemoradiasi

1. Radioterapi
Radiasi diberikan dengan sasaran radiasi tumor primer dan KGB
leher dan supraklavikula kepada seluruh stadium (I, II, III, IV lokal).
Radiasi dapat diberikan dalam bentuk: radiasi eksterna yang mencakup
gross tumor (nasofaring) beserta kelenjar getah bening leher, dengan dosis
66 Gy pada T1-2 atau 70 Gy pada T3-4; disertai penyinaran kelenjar
supraklavikula dengan dosis 50 Gy; radiasi intrakaviter sebagai radiasi
booster pada tumor primer tanpa keterlibatan kelenjar getah bening,
diberikan dengan dosis (4x3 Gy), sehari dua kali; bila diperlukan
booster pada kelenjar getah bening diberikan penyinaran dengan
elektron. Penggunaan teknik Intensity Modulated Radiation Therapy
(IMRT) telah menunjukkan penurunan dari toksisitas kronis pada kasus
karsinoma orofaring, sinus paranasal, dan nasofaring dengan adanya
penurunan dosis pada kelenjar-kelenjar ludah, lobus temporal, struktur
pendengaran (termasuk koklea), dan struktur optik.1

Obat-obatan Simptomatik

a) Reaksi akut pada mukosa mulut, berupa nyeri untuk mengunyah


dan menelan : obat kumur yang mengandung antiseptik dan
astringent, diberikan 3 – 4 kali sehari)

b) Tanda-tanda moniliasis : antimikotik

c) Nyeri menelan : anestesi lokal

d) Nausea, anoreksia : terapi simptomatik

2. Kemoterapi

Kombinasi kemoradiasi sebagai radiosensitizer terutama


diberikan pada pasien dengan T2-T4 dan N1-N3. Kemoterapi sebagai
radiosensitizer diberikan preparat platinum based 30-40 mg/m2
sebanyak 6 kali, setiap minggu sekali 2,5 sampai 3 jam sebelum
dilakukan radiasi. Kemoterapi kombinasi/dosis penuh dapat diberikan
pada N3 > 6 cm sebagai neoadjuvan dan adjuvan setiap 3 minggu
sekali, dan dapat juga diberikan pada kasus rekuren/metastatik.1

Terapi sistemik pada karsinoma nasofaring adalah dengan


kemoradiasi dilanjutkan dengan kemoterapi adjuvan, yaitu Cisplatin +
RT diikuti dengan Cisplatin/5-FU atau Carboplatin/5-FU. Dosis
preparat platinum based 30-40 mg/m2 sebanyak 6 kali, setiap seminggu
sekali.1

2. Edukasi
Ada beberapa hal yang perlu diedukasikan kepada pasien yakni
seperti yang tercantum pada tabel berikut.

Tabel. Edukasi pasien KNF1

Kondisi Informasi dan Anjuran saat Edukasi


1. Radioterapi Efek samping radiasi akut yang dapat muncul
(xerostomia, gangguan menelan, nyeri saat
menelan), maupun lanjut (fibrosis, mulut kering)
Anjuran untuk selalu menjaga kebersihan mulut
dan perawatan kulit (area radiasi) selama terapi
2. Kemoterapi Efek samping kemoterapi yang mungkin muncul
(mual, muntah, dsb)
3. Nutrisi Edukasi jumlah nutrisi, jenis dan cara pemberian
nutrisi sesuai dengan kebutuhan
4. Metastasis pada Kemungkinan fraktur patologis sehingga pada
tulang pasien yang berisiko diedukasi untuk berhati-hati
saat aktivitas atau mobilisasi
Mobilisasi menggunakan alat fiksasi eksternal
dan/atau dengan alat bantu jalan dengan
pembebanan bertahap
5. Lainnya Anjuran untuk kontrol rutin pasca pengobatan
- anjuran untuk menjaga pola hidup yang sehat

2.11. PROGNOSIS

Prognosis pada pasien keganasan paling sering dinyatakan sebagai


kesintasan (tingkat kelangsungan hidup) 5 tahun. Kesintasan relatif 5 tahun
pada pasien dengan KNF stadium I hingga IV secara berurutan sebesar 76,9%,
56%, 38,4%, dan 16,4%.25

2.12 KOMPLIKASI

1. Petrosphenoid sindrom

Tumor tumbuh ke atas ke dasar tengkorak lewat foramen laserum


sampai sinus kavernosus menekan saraf N. III, N. IV, N.VI juga menekan N.II.
yang memberikan kelainan :

• Neuralgia trigeminus ( N. V ) : Trigeminal neuralgia merupakan suatu


nyeri pada wajah sesisi yang ditandai dengan rasa seperti terkena aliran
listrik yang terbatas pada daerah distribusi dari nervus trigeminus.

• Ptosis palpebra ( N. III )

• Ophthalmoplegia ( N. III, N. IV, N. VI )

2. Retroparidean sindrom

Tumor tumbuh ke depan kearah rongga hidung kemudian dapat


menginfiltrasi ke sekitarnya. Tumor ke samping dan belakang menuju ke arah
daerah parapharing dan retropharing dimana ada kelenjar getah bening. Tumor
ini menekan saraf N. IX, N. X, N. XI, N. XII dengan manifestasi gejala :

• N. IX : kesulitan menelan karena hemiparesis otot konstriktor superior


serta gangguan pengecapan pada sepertiga belakang lidah

• N. X : hiper / hipoanestesi mukosa palatum mole, faring dan laring


disertai gangguan respirasi dan saliva

• N XI : kelumpuhan / atrofi oto trapezius , otot SCM serta hemiparese


palatum mole
• N. XII : hemiparalisis dan atrofi sebelah lidah.

• Sindrom horner : kelumpuhan N. simpaticus servicalis, berupa


penyempitan fisura palpebralis, onoftalmus dan miosis.

3. Sel-sel kanker dapat ikut mengalir bersama getah bening atau darah,
mengenaiorgan tubuh yang letaknya jauh dari nasofaring. Yang sering adalah
tulang, hati dan paru. Hal ini merupakan hasil akhir dan prognosis yang buruk.
Dalam penelitian lain ditemukan bahwa karsinoma nasofaring dapat
mengadakan metastase jauh, ke paru-paru dan tulang, masing-masing 20 %,
sedangkan ke hati 10 %, otak 4 %, ginjal 0.4 %, dan tiroid 0.4 %.

2.13. Follow-up

Kontrol rutin dilakukan meliputi konsultasi dan pemeriksaan fisik. Pada


tahun pertama tiap 1-3 bulan; tahun kedua tiap 2-6 bulan; tahun ketiga sampai
kelima tiap 4-8 bulan; setelah tahun kelima tiap 12 bulan.2

Follow-up imaging terapi kuartif dilakukan minimal tiga bulan paska


terapi, yaitu MRI dengan kontras sekuens T1, T2, Fatsat, DWI + ADC; dan
Bone scan untuk menilai respons terapi terhadap lesi metastasis tulang. Follow-
up imaging terapi paliatif dengan terapi kemoterapi, yaitu CT Scan pada siklus
pertengahan terapi untuk melihat respon kemoterapi terhadap tumor; atau Bone
scan untuk melihat metastasis tulang.2
BAB III
SIMPULAN

Karsinoma nasofaring merupakan keganasan di bidang kepala leher


terbanyak di Indonesia. Prevalensi KNF tinggi pada populasi dengan faktor
risiko genetik dan lingkungan tertentu, seperti etnisitas tertentu dan konsumsi
ikan asin.
Diagnosis dini KNF tidak mudah karena gejala awal nonspesifik,
mencakup gangguan tuba Eustachius, hidung tersumbat, dan sekret. Sebagian
besar pasien datang ketika sudah teraba massa di leher, yang berarti telah
terjadi penyebaran lesi keganasan ke leher. Kegagalan diagnosis pada stadium
awal memperburuk prognosis pasien.
Patogenesis KNF yang melibatkan berbagai faktor risiko, serta perlunya
deteksi dini untuk prognosis pasien yang lebih baik, merupakan bagian dari
tanggungjawab dokter yang bekerja di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat
pertama. Dokter harus mampu mengidentifikasi faktor risiko dari anamnesis
pasien dan mengeliminasi faktor risiko tersebut, serta cermat mendeteksi
gejala-gejala awal keganasan pada KNF sehingga mampu merujuk.
DAFTAR PUSTAKA
1. Bailey's, 2014. Head and Neck Surgery: OTOLARYNGOLOGY
FIFTH EDITION, Capture II.
2. Adham M, Gondhowiardjo S, Soediro R, Jack Z, Lisnawati, Witjaksono F,
Manikam NRM, et al. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Kanker
Nasofaring. Jakarta: Komite Penanggulangan Kanker Nasional, 2015
3. Simo R, Robinson M, Lei M, Sibtain A, Hickey S. Nasopharyngeal
carcinoma: United Kingdom National Multidisciplinary Guidelines. J Laryngol
Otol, 2016; 130 (Suppl. S2): S97-103
4. Chua MLK, Wee JTS, Hui EP, Chan ATC. Nasopharyngeal Carcinoma.
Lancet, 2015: doi: 10.1016/S0140-6736(15)00055-0
5. Adham M, Kurniawan AN, Muhtadi AI, Roezin A, Hermani B,
Gondhowiardjo S, Tan IB, et al. Nasopharyngeal carcinoma in Indonesia:
epidemiology, incidence, signs, and symptoms at presentation. Chin J Cancer,
2012; 31(4): 185-96
6. Ferlay J, Soerjomataram I, Dikshit R, Eser S, Mathers C, Rebelo M, Parkin
DM, et al. Cancer incidence and mortality worldwide: sources, methods and
major patterns in GLOBOCAN 2012. Int J Cancer ‘Accepted Article’: doi:
10.1002/ijc.29210
7. Torre LA, Bray F, Siegel RL, Ferlay J, Lortet-Tieulent J, Jemal A. Global
Cancer Statistics, 2012. CA Cancer J Clin, 2015; 000:000-000
8. Tsao SW, Yip YL, Tsang CM, Pang PS, Lau VMY, Zhang G, Lo KW.
Etiological factors of nasopharyngeal carcinoma. Oral Oncol, 2014; 50: 330-8
9. Hui EP, Ma BBY, Allen Chan KC, Chan CML, Wong CSC, To KF, Chan
AWH. Clinical Utility of Plasma Epstein-Barr Virus DNA and ERCC1 Single
Nucleotide Polymorphism in Nasopharyngeal Carcinoma. Cancer, 2015: doi:
10.1002/cncr.29413
10. Edefonti V, Nicolussi F, Polesel J, Bravi F, Bosetti C, Garavello W, La
Vecchia C, et al. Nutrient-based dietary patterns and nasopharyngeal cancer:
evidence from an exploratory analysis. Br J Cancer, 2015; 112: 446-54
11. Yong SK, Ha TC, Yeo MCR, Gaborieau V, McKay JD, Wee J.
Associations of lifestyle and diet with the risk of nasopharyngeal carcinoma in
Singapore: a case-control study. Chin J Cancer, 2017; 36: 3
12. Liu Z, Chang ET, Liu Q, Cai Y, Zhang Z, Chen G, Xie SH, et al. Oral
Hygiene and Risk of Nasopharyngeal Carcinoma – A Population-Based Case-
Control Study in China. Cancer Epidemiol Biomarkers Prev, 2016; 25(8): doi:
10.1158/1055-9965.EPI-16-0149
13. Siew SS, Martinsen JI, Kjaerheim K, Sparen P, Tryggvadottir L,
Weiderpass E, Pukkala E. Int J Cancer ‘Accepted Article’: doi :
10.1002/ijc.31015
14. Di Maso M, Bosetti C, Vecchia CL, Garavello W, Montella M, Libra
M, Serraino D, et al. Regular aspirin use and nasopharyngeal cancer risk: A
case-control study in Italy. Cancer Epidemiol, 2015:
http://dx.doi.org/10.1016/j.canep.2015.04.012
15. Tsang CM, Tsao SW. The role of Epstein-Barr virus infection in the
pathogenesis of nasopharyngeal carcinoma. Virologica Sinica, 2015; 30(2):
107-21
16. Young LS, Dawson CW. Epstein-Barr virus and nasopharyngeal
carcinoma. Chin J Cancer, 2014; 33(12): 581-90
17. Jayalie VF, Paramitha MS, Jessica, Liu CA, Ramadianto AS,
Trimartani, Adham M. Profile of Nasopharyngeal Carcinoma in Dr. Cipto
Mangunkusumo National Hospital, 2010. eJKI, 2016; 4(3): 156-62
18. Snell RS. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran, ed. 6. Jakarta:
EGC, 2012
19. Head&Neck Cancer Guide. Nasopharyngeal Cancer.
http://headandneck cancerguide.org. diunduh tanggal 13 September 2017
20. University of Iowa Health Care. Iowa Head and Neck Protocols.
https://medicine.uiowa.edu. diunduh tanggal 13 September 2017
21. Chan JKC, Bray F, McCarron P, Foo W, Lee AWM, Yip T, Kuo TT.
Nasopharyngeal Carcinoma. WHO, 2012
22. Carioli G, Negri E, Kawakita D, Garavello W, La Vecchia C, Malvezzi
M. Global trends in nasopharyngeal cancer mortality since 1970 and
predictions for 2020: focus on low-risk areas. Int J Cancer ‘Accepted Article’:
doi: 10.1002/ijc.30660
23. de The G, Ito Y, Davis W (Eds.). Nasopharyngeal carcinoma: etiology
and control. Lyon: International Agency for Research on Cancer, 1978
24. Chan YH, Lo CM, Lau HY, Lam TH. Vertically transmitted
nasopharyngeal infection of the human papillomavirus: Does it play an
aetiological role in nasopharyngeal cancer? Oral Oncol, 2014: doi:
10.1016/j.oraloncology.2013.12.025
25. Zeng MS, Zeng YX. Pathogenesis and Etiology of Nasopharyngeal
Carcinoma. dalam: Lu JJ, Cooper JS, Lee AWM (Eds.). Nasopharyngeal
Cancer Multidisciplinary Management. Springer, 2010: 9-25
26. Roezin A, Adham M. Karsinoma Nasofaring. dalam: Soepardi EA,
Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD (Eds.). Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher, ed. 7. Jakarta: FKUI, 2012
27. Wijaya FO, Soeseno B. Deteksi Dini dan Diagnosis Karsinoma
Nasofaring. CDK-254, 2017; 44(7): 478-81
28. Allen Chan KC, Woo JKS, King A, Zee BCY, Jacky Lam WK, Chan
SL, et al. Analysis of Plasma Epstein-Barr Virus DNA to Screen for
Nasopharygeal Cancer. N Engl J Med, 2017; 377(6): 513-22
29. Nazaruddin H, Savitri E, Akil MA, Carolina J. Validitas pemeriksaan
rapid test immunochromatography berbasis EBV pada penderita karsinoma
nasofaring di Makassar. ORLI, 2012; 42(1): 40-7
30. Yang S, Wu S, Zhou J, Chen XY. Screening for nasopharyngeal cancer.
Cochrane Database of Systematic Reviews, 2015; 11: CD008423

Anda mungkin juga menyukai