Anda di halaman 1dari 12

HUKUM KONTRAK/HUKUM PERJANJIAN

BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Hukum kontrak merupakan bagian dari hukum perikatan karena setiap orang yang
membuat kontrak terikat untuk memenuhi kontrak tersebut. Era reformasi adalah era perubahan.
Perubahan disegala bidang kehidupan demi tercapainya kehidupan yang lebih baik. Salah
satunya adalah dibidang hukum. Dalam bidang hukum, diarahkan pada pembentukan peraturan
perundang-undangan yang memfasilitasi kehidupan berbangsa dan bernegara. Seperti kita
ketahui bahwa banyak peraturan perundang-undangan kita yang masih berasal dari masa
pemerintahan Hindia Belanda.
Hukum kontrak kita masih mengacu pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau
Burgerlijk Wetboek Bab III tentang Perikatan (selanjutnya disebut buku III) yang masuk dan
diakui oleh Pemerintahan Hindia Belanda melalui asas Konkordansi yaitu asas yang menyatakan
bahwa peraturan yang berlaku di negeri Belanda berlaku pula pada pemerintahan Hindia Belanda
(Indonesia), hal tersebut untuk memudahkan para pelaku bisnis eropa/ Belanda agar lebih mudah
dalam mengerti hukum.
Dan seiring berjalannya waktu maka pelaku bisnis lokal pun harus pula mengerti isi
peraturan dari KUHPerdata terutama Buku III yang masih merupakan acuan umum bagi
pembuatan kontrak di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN

1.1 Pengertian Hukum Kontrak/Hukum perjanjian


Hukum kontrak dalam bahasa inggris adalah Contract of law, sedangkan dalam bahsa
Belanda disebut dengan istilah overeenscomstrecht.
Menurut Lawrence M. Friedman, hukum kontrak adalah perangkat hukum yang hanya
mengatur aspek tertentu dari pasar dan mengatur jenis perjanjian tertentu.
Michael D. Bayles mengartikan hukum kontrak sebagai “Might then be taken to be the
law pertaining to enporcement of promise or agreement.” (aturan hukum yang berkaitan dengan
pelaksanaan perjanjian atau persetujuan).
Charles L. Knapp and Nathan M. Crystal mengartikan, “Law of contract is: Our society’s
legal mechanism for protecting the expectations thst arise from the making of agreemenets for
the future exchange of various types of performance, such as the compeyance of property
(tangible and untangible), the performance of services, and the payment of money.”3 (Hukum
kontrak adalah mekanisme hukum dalam masyarakat untuk melindungi harapan-harapan yang
timbul dalam pembuatan persetujuan demi perubahan masa datang yang bervariasi kinerja,
seperti pengangkutan kekayaan (yang nyata maupun yang tidak nyata), kinerja pelayanan, dan
pembayaran dengan uang).
Suharnoko mengatakan, suatu kontrak atau perjanjian harus memenuhi syarat sahnya
perjanjian, yaitu kata sepakat, kecakapan, hal tertentu, dan sebab yang halal. Dengan memenuhi
keempat syarat tersebut, kontrak menjadi sah dan mengikat secara hukum bagi para pihak yang
membuatnya.
Rumusan tentang kontrak atau perjanjian dalam BW terdapat dalam Pasal 1313, yaitu
“Suatu Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan
dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.”
Dengan mencermati pendapat-pendapat para ahli di atas, penulis memilih pandangan
mengenai arti Hukum Kontrak adalah aturan yang membahas mengenai tata cara membuat suatu
kesepatan antara kedua belah pihak yang mana mereka mengikatkan dirinya dengan ithikad baik,
suatu hal tertentu dan dikemudian hari akan menimbulkan akibat hukum apabila salah satu
diantaranya melakukan wanprestasi.

1.2 Sahnya Hukum Kontrak


Untuk mengetahui apakah suatu perjanjian adalah sah atau tidak sah, maka perjanjian
tersebut harus diuji dengan beberapa syarat. Terdapat 4 syarat keabsahan kontrak yang diatur
dalam pasal 1320 KUH Perdata, yang merupakan syarat pada umumnya, sebagai berikut

 Syarat sah yang subyekif berdasarkan pasal 1320 KUH Perdata

Disebut dengan syarat subyektif karena berkenaan dengan subyek perjanjian. Konsekuensi
apabila tidak terpenuhinya salah satu dari syarat subyektif ini adalah bahwa kontrak tersebut
dapat “dapat dibatalkan” atau “dimintakan batal” oleh salah satu pihak yang berkepentingan.
Apabila tindakan pembatalan tersebut tidak dilakukan, maka kontrak tetap terjadi dan harus
dilaksanakan seperti suatu kontrak yang sah.

1. Adanya kesepakatan kehendak (Consensus, Agreement)


Dengan syarat kesepakatan kehendak dimaksudkan agar suatu kontrak dianggap saah oleh
hukum, kedua belah pihak mesti ada kesesuaian pendapat tentang apa yang diatur oleh kontrak
tersebut. Oleh hukum umumnya diterima teori bahwa kesepakatan kehendak itu ada jika tidak
terjadinya salah satu unsur-unsur sebagai berikut.
a) Paksaan (dwang, duress)
b) Penipuan (bedrog, fraud)
c) Kesilapan (dwaling, mistake)
Sebagaimana pada pasal 1321 KUH Perdata menentukan bahwa kata sepakat tidak sah
apabila diberikan karena kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan.
2. Wenang / Kecakapan berbuat menurut hukum (Capacity)
Syarat wenang berbuat maksudnya adalah bahwa pihak yang melakukan kontrak haruslah
orang yang oleh hukum memang berwenang membuat kontrak tersebut. Sebagaimana pada pasal
1330 KUH Perdata menentukan bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan,
kecuali undang-undang menentukan bahwa ia tidak cakap. Mengenai orang-orang yang tidak
cakap untuk membuat perjanjian dapat kita temukan dalam pasal 1330 KUH Perdata, yaitu
a) Orang-orang yang belum dewasa
b) Mereka yang berada dibawah pengampuan
c) Wanita yang bersuami. Ketentuan ini dihapus dengan berlakunya Undang-Undang No.1
tahun 1974 tentang perkawinan. Karena pasal 31 Undang-Undang ini menentukan bahwa hak
dan kedudukan suami istri adalah seimbang dan masing-masing berhak untuk melakukan
perbuatan hukum.

 Syarat sah yang objektif berdasarkan pasal 1320 KUH Perdata


Disebut dengan syarat objektif karena berkenaan dengan obyek perjanjian. Konsekuensi
hukum apabila tidak terpenuhinya salah satu objektif akibatnya adalah kontrak yang dibuat batal
demi hukum. Jadi sejak kontrak tersebut dibuat kontrak tersebut telah batal.

3. Obyek / Perihal tertentu


Dengan syarat perihal tertentu dimaksudkan bahwa suatu kontrak haruslah berkenaan
dengan hal yang tertentu, jelas dan dibenarkan oleh hukum. Mengenai hal ini dapat kita temukan
dalam pasal 1332 ddan1333 KUH Perdata.
Pasal 1332 KUH Perdata menentukan bahwa
“Hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja dapat menjadi pokok suatu perjanjian”
Sedangkan pasal 1333 KUH Perdata menentukan bahwa
“Suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan
jenisnya Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu, asal saja jumlah itu
terkemudian dapat ditentukan / dihitung”

4. Kausa yang diperbolehkan / halal / legal


Maksudnya adalah bahwa suatu kontrak haruslah dibuat dengan maksud / alasan yang
sesuai hukum yang berlaku. Jadi tidak boleh dibuat kontrak untuk melakukan hal-hal yang
bertentangan dengan hukum. Dan isi perjanjian tidak dilarang oleh undang-undang atau tidak
bertentangan dengan kesusilaan / ketertiban umum (Pasal 1337 KUH Perdata). Selain itu pasal
1335 KUH Perdata juga menentukan bahwa suatu perjanjian yang dibuat tanpa sebab atau dibuat
karena suatu sebab yang palsu atau terlarang adalah tidak mempunyai kekuatan hukum.

Atau ada pula agar suatu kontrak dapat dianggap sah oleh hukum, haruslah memenuhi
beberapa persyaratan yuridis tertentu. Terdapat 4 persyaratan yuridis agar suatu kontrak
dianggap sah, sebagai berikut:
1. Syarat sah yang obyektif berdasarkan pasal 1320 KUH Perdata
a) Objek / Perihal tertentu
b) Kausa yang diperbolehkan / dihalalkan / dilegalkan
2. Syarat sah yang subjektif berdasarkan pasal 1320 KUH Perdata
a) Adanya kesepakatan dan kehendak
b) Wenang berbuat
3. Syarat sah yang umum di luar pasal 1320 KUH Perdata
a) Kontrak harus dilakukan dengan I’tikad baik
b) Kontrak tidak boleh bertentangan dengan kebiasaan yang berlaku
c) Kontrak harus dilakukan berdasarkan asas kepatutan
d) Kontrak tidak boleh melanggar kepentingan umum
4. Syarat sah yang khusus
a) Syarat tertulis untuk kontrak-kontrak tertentu
b) Syarat akta notaris untuk kontrak-kontrak tertentu
c) Syarat akta pejabat tertentu (selain notaris) untuk kontrak-kontrak tertentu
d) Syarat izin dari pejabat yang berwenang untuk kontrak-kontrak tertentu
1.3 Batal dan Pembatalan Hukum Kontrak
Pasal 1320 KUH Perdata (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) menyatakan : Untuk
sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat :

1. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.


2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
3. suatu hal tertentu.
4. suatu sebab yang halal.

Berkaitan dengan syarat-syarat untuk sahnya suatu perjanjian tersebut, apabila suatu
syarat obyektif, yaitu berkaitan dengan hal tertentu atau causa yang halal tidak terpenuhi, maka
perjanjiannya adalah batal demi hukum (null and void). Yang berarti bahwa dari semula
dianggap tidak ada suatu perjanjian yang terjadi, dan tidak ada pula suatu perikatan antara orang-
orang yang bermaksud membuat perjanjian itu. Dengan demikian antara satu pihak dengan pihak
yang lain tidak dapat mengadakan tuntutan hukum, karena dianggap dasar hukumnya tidak ada.

Sedangkan apabila dalam pembuatan suatu perjanjian, tidak terpenuhi syarat subyektif-
nya yaitu berkaitan dengan kesepakatan dan kecakapan dalam membuat perjanjian, maka
perjanjian tersebut tidak batal demi hukum, melainkan dapat dimintakan pembatalan (canceling)
oleh salah satu pihak, yaitu pihak yang tidak cakap menurut hukum (orang tua atau walinya,
ataupun ia sendiri apabila ia sudah cakap).

Kedua hal tersebut (syarat obyektif dan syarat syubyektif, harus dibedakan karena suatu
perjanjian yang tidak mengandung atau tidak menyebutkan sesuatu hal tertentu, dapat dikatakan
bahwa perjanjian tersebut tidak dapat dilaksanakan, karena tidak terang atau jelas apa yang
diperjanjikan oleh masing-masing pihak. Sedangkan perjanjian yang isinya tidak halal, sudah
dapat dipastikan bahwa perjanjian tersebut tidak boleh dilaksanakan karena melanggar hukum
dan kesusilaan. Dari sudut keamanan dan ketertiban, jelaslah bahwa perjanjian-perjanjian seperti
itu harus dicegah. Hal demikian dapat dengan seketika diketahui oleh hakim, apabila salah satu
atau kedua belah pihak mengajukan tuntutan hukum di pengadilan.

Dalam hal adanya tuntutan hukum dari salah satu pihak, mengenai tidak terpenuhinya
syarat-syarat subyektif dalam perjanjian, maka para pihak harus bisa membuktikan hal tersebut,
karena hakim tidak begitu saja bisa mengetahuinya. Oleh kerena itu, dalam hal adanya
kekurangan mengenai syarat subyektif dalam perjanjian, undang-undang menyerahkan kepada
pihak yang berkepentingan, apakah ia menghendaki pembatalan perjanjian atau tidak. Jadi
perjanjian yang demikian itu bukan batal demi hukum, tetapi dapat dimintakan pembatalan.

Persetujuan kedua belah pihak yang merupakan kesepakatan, harus diberikan secara bebas.
Dalam Hukum Perjanjian ada tiga sebab yang membuat persetujuan (ijin) tidak bebas, yaitu :

1. Paksaan, yang dimaksud adalah paksaan rohani atau paksaan jiwa (psychis), bukan paksaan
fisik. Misalnya : salah satu pihak karena diancam atau ditakut-takuti terpaksa menyetujui
suatu perjanjian.
2. Kekhilafan atau kekeliruan, dapat terjadi apabila salah satu pihak khilaf tentang hal-hal yang
pokok dari apa yang diperjanjikan atau tentang sifat-sifat yang penting dari barang yang
menjadi obyek perjanjian, ataupun mengenai orang dengan siapa diadakan perjanjian itu.
Kekhilafan atau kekeliruan tersebut harus sedemikian rupa, sehingga apabila ia tidak khilaf
mengenai hal-hal tersebut, ia tidak akan memberikan persetujuannya.
3. Penipuan, terjadi apabila satu pihak dengan sengaja memberikan keterangan-keterangan yang
palsu atau tidak benar disertai dengan tipu muslihat untuk membujuk pihak lawannya
memberikan persetujuan (perijinan)-nya. Pihak yang menipu itu bertindak secara aktif untuk
menjerumuskan lawannya. Menurut yurisprudensi, tidak cukuplah seseorang itu hanya
melakukan kebohongan mengenai sesuatu hal saja, paling tidak sedikitnya harus ada suatu
rangkaian kebohongan atau suatu perbuatan yang dinamakan tipu muslihat.

Dengan demikian, maka ketidakcakapan seseorang dan ketidakbebasan dalam memberikan


persetujuan (perijinan) pada suatu perjanjian, memberikan hak kepada pihak yang tidak cakap
hukum dan pihak yang tidak bebas (di bawah ancaman) dalam memberikan sepakatnya itu untuk
meminta pembatalan perjanjiannya. Hak meminta pembatalan hanya ada pada satu pihak saja,
yaitu pihak yang oleh undang-undang diberi perlindunganitu. Dalam pasal 1454 KUH Perdata,
meminta pembatalan atas suatu perjanjian dibatasi sampai suatu batas waktu tertentu, yaitu 5
tahun. Batas waktu tersebut mulai berlaku :

 dalam hal ketidakcakapan salah satu pihak, berlaku sejak orang tersebut menjadi cakap
menurut hukum.
 dalam hal paksaan, berlaku sejak hari dimana paksaan (ancaman) tersebut berhenti.
 dalam hak kekhilafan atau penipuan, berlaku sejak hari diketahuinya kekhilafan atau
penipuan itu.

Ada dua cara meminta pembatalan pada hakim :

1. Pihak yang berkepentingan secara aktif sebagai penggugat meminta kepada hakim supaya
perjanjian tersebut dibatalkan.
2. Menunggu sampai ia digugat di depan hakim untuk memenuhi perjanjian tersebut. Di
depan pengadilan itulah, ia sebagai tergugat mengemukakan pada hakim bahwa
perjanjian tersebut telah disetujuinya ketika ia belum cakap hukum atau karena ia
dibawah ancaman atau ia khilaf mengenai obyek perjanjian atau karena ia kena tipu. Atas
alasan tersebut ia memohon pada hakim untuk meminta pembatalan atas perjanjian
tersebut. Meminta pembatalan secara pembelaan ini tidak ada batas waktunya.

Perjanjian timbal balik. Sedangkan dalam perjanjian timbal balik, di mana prestasi masing-
masing pihak bertalian erat satu dengan yang lainnya, pembatalan perjanjiannya diatur dalam
pasal 1266 KUH Perdata, yang berbunyi :

1. Syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan-persetujuan yang bertimbal


balik, manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya.
2. Dalam hal yang demikian persetujuan tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus
dimintakan kepada hakim.
3. Permintaan ini juga harus dilakukan, meskipun syarat batal mengenai tidak dipenuhinya
kewajiban dinyatakan di dalam perjanjian.
4. Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam persetujuan, hakim adalah leluasa untuk,
menurut keadaan, atas permintaan si tergugat, memberikan suatu jangka waktu untuk
masih juga memenuhi kewajibannya, jangka waktu mana namun itu tidak boleh lebih dari
satu bulan.

Pasal 1266 KUH Perdata tersebut menentukan adanya tiga syarat untuk terlaksananya
pembatalan suatu perjanjian, yaitu :

1. Harus ada perjanjian timbal balik.


2. Harus ada ingkar janji.
3. Putusan hakim. Untuk batalnya suatu perjanjian timbal balik, harus ada putusan hakim.

Dalam perjanjian timbal balik berlaku asas, bahwa apabila salah satu pihak dalam perjanjian
timbal balik tidak berprestasi, pihak lainpun tidak perlu memenuhi prestasinya. Yang dalam
perkembangannya kemudian, asas tersebut dalam KUH Perdata menjadi suatu asas, yaitu syarat
yang membatalkan, sebagaimana ketentuan pasal 1266 KUH Perdata tersebut. Sehingga
mengenai syarat batal tersebut, biasanya tercantum dalam kesepakatan-kesepakatan kedua belah
pihak dan tercantum secara tertulis maupun secara lisan. Dalam hal kesepakat para pihak untuk
membatalkan perjanjian, maka keadaan akan kembali seperti semula, seperti sebelum mereka
membuat perjanjian.

Apabila kreditur menuntut pembatalan perjanjian timbal balik kepada hakim, maka putusan
hakim di pengadilan bersifat dua macam, yaitu :
1. Putusan Declaratoir.
Maksudnya adalah bahwa batalnya perjanjian terjadi karena ingkar janji, sedangkan hakim
hanya menyatakan bahwa perjanjian tersebut batal, sesuai dengan permintaan pihak kreditur.
Yurisprudensi berpegang kepada keputusan yang sifatnya declaratoir ini. Pendapat ini didasarkan
pada pasal 1266 ayat (1) KUH Perdata tersebut.
Jika dikaitkan dengan ketentuan pasal 1266 ayat (2) KUH Perdata tersebut, yang juga dianut oleh
Yurisprudensi, di mana perjanjian timbal balik tidak batal demi hukum tapi harus dengan
putusan hakim, pendirian Yurisprudensi menjadi aneh karena juga menganut pasal 1266 ayat (1)
KUH Perdata, yang menyatakan bahwa batalnya perjanjian atas dasar adanya ingkar janji, bukan
oleh putusan hakim.

2. Putusan Konstitutif.
Maksudnya adalah bahwa batalnya perjanjian disebabkan oleh putusan hakim. Hakim dalam
memutuskan pembatalan suatu perjanjian timbal balik, mesti menilai terlebih dahulu adanya
ingkar janji (wanprestasi). Jadi keputusan tersebut merupakan keputusan yang berdiri sendiri dan
ia tidak perlu terikat atau menurut pada permintaan pihak kreditur. Sebagian besar sarjana
menganut putusan yang sifatnya konstitutif.
Dalam putusan konstitutif ini terlihat bahwa kekuasaan hakim sangat besar, karena hakim dapat
memutuskan :
1. Menolak permintaan pembatalan dari kredirut. Dengan pertimbangan, hakim menilai
bahwa wanprestasi-nya kecil atau bahkan tidak ada wanprestasi, dan atau debitur
beritikad baik sebagaimana dimaksud dalam pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata.
2. Membatalkan perjanjian sesuai dengan permintaan kreditur. Hakim menilai bahwa
debitur melakukan wanprestasi dan atau sikap dan tindakannya beritikad tidak baik, serta
melanggar ketentuan pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata.
3. Memberi kesempatan kepada debitur untuk melaksanakan perjanjian dalam batas waktu
tidak boleh lebih dari 30 hari. Hakim menilai bahwa debitur mempunyai etikad baik,
hanya saja karena faktor tertentu, ia tidak dapat memenuhi perjanjian tersebut.

Oleh karena kekuasaan hakim yang sangat besar itu, dikatakan bahwa hakim mempunyai
kekuasaan discretionair, yang dengan kekuasaan tersebut hakim berwenang menilai suatu ingkar
janji (wanprestasi).
Putusan hakim adalah konstitutif (dalam perjanjian timbal balik) berdasarkan, bahwa :

1. Batalnya suatu perjanjian, terjadi karena putusan hakim (pasal 1266 ayat (2) KUH
Perdata).
2. Ingkat janji (wanprestasi) tidak demi hukum membatalkan suatu perjanjian (pasal 1266
ayat (2) KUH Perdata).
3. Hakim berwenang memberikan waktu kesempatan kepada debitur untuk melaksanakan
perjanjian, yang artinya perjanjian belum batal.
4. Kreditur masih mungkin untuk menuntut pemenuhan perjanjian.

1.4 Anatomi Kontrak

Salah satu unsur yang paling penting dalam merancang kontrak, yaitu si perancang harus
memperhatikan struktur dan anatomi kontrak yang dibuat atau yang akan dirancang. Struktur
kontrak adalah susunan dari kontrak yang akan dibuat atau dirancang. Adapub anatomi kontrak
berkaitan dengan letak dan hubungan antara bagian-bagian yang satu dengan bagian yang
lainnya.

Para ahli berbeda pandangan tentang hal-hal apa saja yang menjadi struktur dan anatomi kontrak.
Charles R. Calleros mengemukakan struktur dan anatomi kontrak, yaitu:

1. Identifikasi para pihak yang mengadakan transaksi


2. Deskripsi tentang hak dan kewajiban para pihak
3. Ttanda tangan para pihak yang mengadakan kontrak)
4. Latar belakang dibuatnya kontrak

Scott J. Burnham, mengemukakan bahwa setiap kontrak dibangun dengan kerangka sebagai
berikut:

1. decription of instrument (bagian pembuka)


2. caption (identitas para pihak)
3. transition (transisi/peralihan)
4. recital (latar belakang)
5. definition ( definisi)
6. operative language (klausul transaksi)
7. closing (penutup). (Scott J. Burnham, tt: 175)

Ray wijaya mengemukakan bahwa ada tujuh anatomi kontrak/akta, yaitu:

1. judul (heading)
2. pembukaan
3. komparisi
4. premis (recital)
5. isi perjanjian
6. penutup (clocure/closing)
7. tanda tangan (attestation)

Sutarno juga mengemukakan struktur dan anatomi kontrak, khususnya perjanjian kredit, yaitu:

1. judul
2. kepala
3. komparisi
4. konsiderans atau pertimbangan
5. definisi
6. isi pokok (substansi perjanjian
7. bagian penutup

Hikmahanto Juwana mengemukakan bahwa ada tiga bagian utama dari kontrak, khususnya
kontrak bisnis, yaitu (1) bagian pendahuluan, (2) isi, (3) penutup.

Bagian pendahuluan dibagi menjadi tiga subbagian, sebagai berikut:

1. 1. subbagian pembuka (description of the instrument). Subbagian ini memuat tiga hal
berikut, yaitu:
1. sebutan atau nama kontrak dan penyebutan selanjutnya (penyingkatan) yang
dilakukan
2. tanggal dari kontrak yang dibuat dan ditandatangani
3. tempat dibuat dan ditandatanginya kontrak

1. 2. subbagian pencantuman identitas para pihak. Dalam subbagian ini dicantumkan


identitas para pihak yang mengikatkan diri dalam kontrak dan siapa-siapa yang
menandatangani kontrak tersebut. Ada tiga hal yang perlu diperhatikan tentang identitas
para pihak, yaitu:
2. para pihak harus disebutkan secara jelas
1. orang yang menandatangani harus disebutkan kapasitasnya sebagai apa
2. pendefinisian pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak
1. 3. subbagian penjelasan. Pada subbagian ini diberikan alasan/penjelasan mengapa para
pihak mengadakan kontrak (sering disebut bagian premis, witnesseth, whereby, recital,
menerangkan lebih dahulu, dan lain-lain).

Ada empat hal yang tercantum dalam bagian isi, sebagai berikut:

1. 1. klausul definisi (definition)

dalam klausul ini biasanya mencantumkan berbagai definisi untuk keperluan kontrak. Definisi ini
hanya berlaku pada kontrak tersebut dan dapat mempunyai arti khusus dari pengertian umum.
Klausul definisi pentig dalam rangka mengefisienkan klausul-klausul selanjutnya karena tidak
perlu diadakan pengulangan.

1. 2. klausul transaksi (operative language)

adalah klausul-klausul yang berisi tentang transaksi yang akan dilakukan. Misalnya, dalam jual
beli aset, harus diatur tentang objek yang akan dibeli dan pembayarannya. Demikian pula dengan
suatu kontrak patungan, perlu diatur tentang kesepakatan para pihak dalam kontrak tersebut.

1. 3. klausul spesifik

mengatur hal-hal yang spesifik dalam suatu transaksi. Artinya klausul tersebut tidak terdapat
dalam kontrak dengan transaksi yang berbeda.

1. 4. klausula ketentuan umum

adalah klausul yang sering kali dijumpai dalam berbagai kontrak dagang maupun kontrak
lainnya. Klausula ini antara lain mengatur tentang domisili hukum, penyelesaian sengketa,
pilihan hukum, pemberitahuan, keseluruhan dari perjanjian, dan lain-lain.

Ada dua hal yang tercantum pada bagian penutup, yaitu:

1. subbagian kata penutup (closing). Kata penutup biasanya menerangkan bahwa perjanjian
tersebut dibuat dan ditandatangani oleh pihak-pihak yang memiliki kapasi
2. tas untuk itu atau para pihak menyatakan ulang bahwa mereka akan terikat dengan isi
kontrak.
3. subbagian ruang penempatan tanda tangan adalah tempat pihak-pihak menandatangani
perjanjian atau kontrak dengan menyebutkan nama pihak yang terlibat dalam kontrak,
nama jelas orang yang menandatangani dan jabatan dari orang yang menandatangani.

Berdasarkan hasil analisis terhadap berbagai kontrak yang berdimensi nasional, maka kita dapat
memilah struktur kontrak menjadi 12 (dua belas) hal pokok. Kedua belas hal itu meliputi: [10]

1. Judul kontrak
2. Pembukaan kontrak
3. Komparisi
4. Resital (konsiderans atau pertimbangan)
5. Definisi
6. Pengaturan hak dan kewajiban (substansi kontrak)
7. Domisili
8. Keadaan memaksa (force majeure)
9. Kelalaian dan pengakhiran kontrak
10. Pola penyelesaian kontrak
11. Pola penyelesaian sengketa
12. Penutup
13. tanda tangan
Daftar Pustaka
https://www.google.com/search?client=firefox-b&q=anatomi+kontrak
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl3520/batalnya-suatu-perjanjian
http://legalstudies71.blogspot.com/2015/07/batal-dan-pembatalan-suatu-perjanjian.html
http://www.pengertianpakar.com/2015/04/pengertian-hukum-kontrak-atau-perikatan.html

Anda mungkin juga menyukai