Pengantar: Mountzine #4
AYO PEJALAN,
BERGERAK!
Bahagia bisa berkumpul di satu ruang bernama Mountzine, bersama
para pejalan-pejalan progresif; perusak standar majalah yang baik;
pembunuh televisi dan pe-dislike youtube pejalan mainstream; sur-
vivor sejati di sunyi-nya counter culture dunia petualangan hari ini.
Sadar? kita para pejalan dijadikan salah satu alat memperkosa alam.
Remaja yang tanpa sengaja menonton channel petualangan goblok
di tivi atau youtube pun tahu; kebutuhan hiburan dan wisata orang-
orang di dunia belahan ketiga yang super sibuk seperti Indonesia ini
adalah seolah primer hari ini. Realitas itu adalah satu dari beberapa
bahan retoris negara untuk mengubah Cagar Alam yang harus be-
bas dari kepentingan wisata dan komersial menjadi berstatus Taman
wisata alam, mengubah gunung menjadi mall outdoor, hutan menjadi
pabrik, laut diuruk dan menjadi wahana mandi bola plastik.
2 MOUNTZINE
PENCINTA ALAM DAN
PARADIGMA GERAKAN
LINGKUNGAN
Oleh: Iden Wildensyah
Pencinta alam di Indonesia saat ini belum dirasakan sebagai salah satu akar
gerakan lingkungan, terbukti dalam korelasinya saat ini dengan menjamurnya
perhimpunan pencinta alam seiring pula dengan kerusakan yang tidak
PEJALAN BERGERAK 3
terkendali. Dimanakah letak penyimpangan ini karena keberadaan pencinta
alam dalam tataran yang ideal dapat menumbuhkembangkan generasi yang
peduli lingkungan. ini patut dikembangkan baik dalam pola gerakan mau-
pun pengembangan organisasinya. Namun dalam tataran real tidak bisa di
bedakan antara pencinta alam dan penggiat alam terbuka karena keduanya
hampir tidak bisa dibedakan mana yang penggiat dan mana pencinta alam.
Model gerakan lingkungan yang berasal dari pencinta alam pada periode
kelahirannya lebih menekankan pada kecintaan terhadap alam yang di-
wujudkan dengan naik gunung, camping, pelatihan konservasi, dan peng-
hijauan di lereng-lereng gunung. Selain kecintaan terhadap alam, mereka
—ornop dan sebagian pencinta alam—masih terkonsentrasi pada model
pembangunan. Karena mereka masih meyakini kebenaran model pemben-
gunan berkelanjutan dengan standar kemajuan ekonomi yang sesungguh-
nya menimbulkan dampak.
Simpulan Paradigma
Dua nama, pencinta alam dan penggiat alam terbuka seolah-olah merupakan
satu kesatuan utuh yang tidak bisa dipisahkan antara keduanya. Namun ka-
lau dilihat secara etimologi kata dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia akan
nampak kelihatan bahwa keduanya tidak ada hubungan satu sama lainnya.
Dalam KBBI, pencinta (alam) ialah orang yang sangat suka akan (alam), se-
dangkan petualang ialah orang yang suka mencari pengalaman yang sulit-
sulit, berbahaya, mengandung resiko tinggi dsb. Dengan demikian, secara
etimologi jelas disiratkan dimana keduanya memiliki arah dan tujuan yang
berbeda, meskipun space, ruang gerak aktivitas yang dipergunakan kedua-
nya sama, alam.
Dilain pihak, perbedaan itu tidak sebatas lingkup “istilah” saja, tetapi juga
langkah yang dijalankan. Seorang pencinta alam lebih populer dengan gera-
kan enviromentalisme-nya, sementara itu, petualang lebih aktivitasnya lebih
4 MOUNTZINE
lekat dengan aktivitas-aktivitas petualangan seperti pendakian gunung, pe-
manjatan tebing, pengarungan sungai dan masih banyak lagi kegiatan yang
menjadikan alam sebagai medianya.
PEJALAN BERGERAK 5
dengan penggiat alam terbuka terdapat kesamaan pula dengan media yang
sama untuk itu bukanlah suatu kemustahilan keduanya bersatu untuk masa
depan lingkungan hidup Indonesia sehingga terciptanya lingkungan hidup
yang seimbang, stabil dan bermanfaat bagi kehidupan sekarang dan masa
depan.
“Peringatan” itu berisi bahwa umat manusia dan alam berada pada arah
yang bertabrakan. Kegiatan manusia mengakibatkan kerusakan besar pada
lingkungan dan sumber daya yang sangat penting yang seringkali tidak dapat
dipulihkan. Jika tidak dikaji, banyak dari kegiatan kita skang yang ini me-
nempatkan masa depan pada keadaan yang sangat beresiko, sehingga kita
menghadapi realitas masyarakat manusia dan alam tumbuhan dan hewan
dan mungkin juga dunia tempat kita hidup ini berubah sedemikian rupa,
sehingga tidak dapat lagi mendukung kehidupan menurut cara yan kita
kenal. Perubahan fundamental adalah urgen jika kita ingin menghindarkan
6 MOUNTZINE
benturan dalam arah perjalanan kita yang sekarang ini terjadi. (”World sci-
entist Warning to Humanity“, Pernyataan siaran pers diterbitkan 18 Novem-
ber 1992 oleh The Union of Concerned Scientist.)
PEJALAN BERGERAK 7
terutama dalam menentukan kebijakan yang berkaitan dengan ekploita-
si hutan. Organisasi non politik yang concern pada lingkungan pada masa
itu pun di arahkan langsung oleh Emil Salim—waktu itu menjabat Menteri
Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup—untuk tidak mengikuti taktik
Green Peace ataupun The German Green yang bisa masuk mengkritisi setiap
kebijakan pemerintah yang tidak memperhatikan dampak lingkungan hidup
terhadap alam ataupun masyarakat.
8 MOUNTZINE
Gambar: Greenpeace ketika melakukan gerakan di tongkang pengangkut batu bara
PEJALAN BERGERAK 9
Epilog
Iden Wildensyah, saat ini tercatat mahasiswa UPI Bandung aktif di KPALH Gandawesi
serta relawan lingkungan di Bandung pernah menjadi peserta PEKA (pelatihan kon-
servasi dan advokasi) PA region jawa di WALHI D.I.Y
Bacaan:
Philif Shobecof,1998. Sebuah Nama Baru Untuk Perdamaian. Yayasan Obor Indonesia.Jakarta.
Jurnal WACANA Edisi12,Tahun III,2002 Lingkungan Versus Kapitalisme Global, INSIST Press
Isola Magazine, media Unit Pers Mahasiswa UPI edisi I,Juli – September 2003
10 MOUNTZINE
MENYESAP KOPI DAN
SENJAKALA NEGARA
Oleh: Terapi Minor
Hari ini, kegiatan pendakian gunung dan aktivitas meminum kopi menjadi
tren yang semakin disenangi, khususnya bagi khayak muda. Terlepas dari se-
buah tren, meminum kopi adalah hal lumrah sedari dulu, mengingat kondisi
geografis dan historis Indonesia yang lekat dengan prinsip komunal (ber-
kumpul). Selain dari meningkatnya produksi kopi karena tuntutan zaman,
aktivitas ekonomi pun punya dampak yang besar akan hal ini. Dalam rentang
tahun 2000 – 2016 tercatat kenaikan produksi kopi bertambah.
PEJALAN BERGERAK 11
Pada 2000, konsumsi kopi Indonesia baru mencapai 1,68 juta bags
(bungkus), namun pada 2016 telah mencapai 4,6 juta bags, atau me-
lonjak lebih dari 174 persen. Bahkan sejak 2011, konsumsi kopi selalu
mengalami pertumbuhan hingga 2016.
Sumber: https://databoks.katadata.co.id
Mungkin ini terdengar seperti berita bagus untuk kita, namun nyatanya ini
bukan berarti berita baik bagi masyarakat atau petani kopi. Dilansir dari hala-
man aksipost.com;
Selain dari monopoli kopi, dampak paling berbahaya lainnya adalah produksi
sampah pembungkus kopi, berdasarkan hasil riset yang ditulis dalam artikel
indopos.co.id Indonesia menghasilkan 2,13 juta ton sampah plastik dan ini
sudah pasti termasuk kemasan kopi.
Kita baru membahas kopi dalam industri pabrik, belum lagi sampah bekas
minuman kopi yang dihasilkan kedai-kedai kopi hari ini yang semakin men-
jamur. Dilansir dari halaman wartakota.tribunnews.com pada tahun 2018,
sudah ada sekitar 1.500 kedai kopi yang terdaftar di daerah Jakarta, belum
12 MOUNTZINE
Gambar: Sampah produksi kedai kopi memenuhi spot-spot sampah di Inggris
lagi kedai kopi yang belum terdaftar serta franchise kedai kopi yang menye-
diakan take away dengan kemasan plastik.
Mari kita bayangkan jika para pendaki gunung ini terbiasa menkonsumsi
kopi dengan kemasan plastik ada berapa banyak sampah plastiknya? Tempo.
co pernah menuliskan bahwa ada 600 orang yang mendaki gunung Gede se-
tiap harinya, kita bisa membayangkan berapa banyak sampah yang dihasil-
kan pendaki ditambah kebiasaan menggunakan plastik entah di gunung atau
di kota, entah sampah bekas kopi, makanan, atau yang lain.
PEJALAN BERGERAK 13
Tapi kita tidak perlu terlalu pesimis, sebab kegiatan alam nyatanya juga me-
numbuhkan sikap-sikap aktivisme, seperti yang dilakukan oleh organisasi
seperti, Nusalayaran yang berorientasi dalam area konservasi, ataupun Pe-
jalan Bergerak yang berorientasi dalam ranah ekologi, agraria, dan banyak
organisasi lainnya.
Ini adalah salah satu bukti nyata bahwa kegiatan alam menumbuhkan satu
hal penting; kesadaran ekologi, dimana ada ribuan korporasi besar yang
sudah siap menggerus lingkungan dengan sifat ekspansi-nya. Lingkaran-
lingkaran kecil inilah yang bertugas untuk menyadarkan masyarakat dari ba-
hayanya kerusakan lingkungan yang akan dihasilkan korporasi, bahkan atas
nama negara sekalipun.
Jika dilihat secara detail, alam bebas bukanlah area otoritas negara, me-
ngapa begitu ? Karena sejatinya, tak ada satupun manusia yang mampu
menaklukkan alam, sekalipun negara. Negara hanya sekedar membuat batas
teritori dan aturan yang dikontrol korporasi, hal ini memang sesuai dengan
teori kapitalisme klasik Adam Smith, bahwasanya kapitalisme akan langgeng
dibawah legalitas negara.
Hal ini terbukti, bahwa kita pada dasarnya tidak mutlak membutuhkan in-
strumen negara di alam bebas, uang tak berlaku. Uang adalah salah satu
properti negara yang tak pernah benar-benar laku di alam bebas, kita lebih
membutuhkan air dan makanan yang sejatinya sudah tersedia di alam bebas.
Belum lagi pembangunan skala besar atas nama kemajuan dan negara, mari
mengintip catatan maladministrasi di Kendeng, Kulonprogo, cagar alam Ka-
mojang, reklamasi Bali, Urutsewu, Papua dan ribuan tempat lain. Kontradik-
si ini nyata, dikala 17 Agustus kita menjadi nasionalis dadakan yang bangga
mengibarkan bendera yang biasa menumbalkan nyawa dan ruang hidup.
14 MOUNTZINE
Gambar: Demonstrasi aliansi pejalan mendesak cabut SK25 MenLHK
Soviet, dengan mimpi merebut negara dan dikuasai kaum buruh, ini malah
menjadi ajang perputaran kekuasaan dan balas dendam yang melahirkan
diktator atas nama rakyat yang menewaskan jutaan orang dengan cara sadis,
dan pastinya tetap memiskinkan masyarakat.
PEJALAN BERGERAK 15
Seperti halnya patriarki, tidak akan pernah hilang tanpa dukungan negara,
begitupula dengan ekosistem alam yang semakin rusak akibat ekspansi ne-
gara. Perlu diketahui, hal-hal yang terjadi di sekitar kita ; ketimpangan sosial,
penghancuran hutan, pemerkosaan membabi-buta, kriminalisasi, dll adalah
sebuah tindakan struktural yang dilakukan negara, mengapa begitu? Karena
setiap kejahatan yang terorganisir, besar, dan massif memerlukan bantuan
otoritas yang selalu mengontrol dan mengendalikan hukum, maka dari itu,
sebutan “oknum” sudah terlalu basi untuk dikatakan, karena segala apa yang
terjadi memang terstruktur.
Hal ini juga yang terjadi di Sumatera atau Kalimantan yang belakangan ini
terkena bencana kebakaran hutan besar, lihat cara kerjanya ; luas, massif,
ekspansif, dan tak digubris oleh hukum. Ini adalah salah satu tanda bagaima-
na negara bekerja dibalik setiap kerusakan alam.
16 MOUNTZINE
negara, maka dari itu narasi-narasi nasionalisme / mencintai negara di-
pertahankan oleh kapitalis, begitu juga dengan negara yang selalu me-
mentingkan para kapitalis, karena mereka punya sebuah kepentingan
relasi kuasa, atau simbiosis mutualisme (saling menguntungkan).
Jadi, jika ada narasi “Bangun negara yang kuat”, “Masyarakat harus
mencintai negara dan ikut membangun negara dengan kerja keras”,
“Pembangunan untuk kepentingan masyarakat”. Ini adalah narasi
pengecoh yang di budayakan pemerintah dan segala institusinya
untuk mempertahankan kekuasaan, padalah jika ada narasi “Rakyat
harus kerja keras agar negara maju jangan malas”, adalah sebuah
kedunguan, mengapa begitu ? Sebab hampir segala macam barang
yang kita beli memberi keuntungan untuk negara, contoh; membeli
nasi di warteg, beras yang dibeli koki warteg sudah ditambah potong-
an pajak, bangunan warteg setiap tahun wajib bayar pajak, motor si
koki setiap tahun wajib pajak, bensin motor si koki juga sudah ditam-
bah pajak, biji kopi dibeli dari coffeshop sudah ditambah pajak, fresh-
milk, dll, kita bekerja di perusahaan pun gajinya sebagian dipotong
untuk pajak, yang dikalkulasikan setiap tahun maka dari itu pekerja
wajib punya NPWP.
PEJALAN BERGERAK 17
Jika pemerintah mengatakan bahwa kita harus bekerja lebih keras
agar negara maju, adalah sebuah kebodohan! Semakin kita konsumtif
saja, semakin menambah keuntungan berbagai pihak, salah satunya
negara, jika di-negasikan ke praktik ideologi, hal semacam ini adalah
sebuah sistem nasionalisme yang tanpa kita sadari dipaksakan dan
dibudayakan. Memang segala sesuatu perlu biaya, termasuk pem-
buatan negara sendiri yang pada dasarnya bersifat kolektif, namun
tak kita rasakan dampak nyata dari kolektif itu, padahal harusnya se-
cara ekonomi yang ideal, kita juga berhak untuk merasakan hasil dari
kolektif itu sendiri, namun pada kenyataannya tidak.
Saya akan memberi tambahan definisi beberapa kata yang maknanya kerap
dicampur aduk :
18 MOUNTZINE
Maka dari, selain anasionalisme, pendaki, pegiat alam, pecinta alam, atau
kata ganti lainnya, juga perlu menimbang ulang makna kapitalisme, karena
mereka yang dekat dengan alam sudah seharusnya mencintai alamnya, den-
gan tidak merusak, menjaga, melestarikan, membudayakan praktik ekologis,
yang bertentangan dengan praktik kapitalisme. Sudah sewajarnya pegiat
alam peka terhadap bahaya kapitalisme dan negara, sebab merekalah yang
hari ini menciderai, merusak, dan menghancurkan alam atas nama ekonomi,
pembangunan, kemajuan negara, dll.
Karena alam sudah terlalu sakit dengan manusia, ditambah dengan eksploi-
tasi habis-habisan, entah skala industri atau pariwisata, keduanya tetap
merusak hanya berbeda kuantitas saja, kita perlu tahu siapa musuh kita, dan
siapa kawan kita, kita perlu tahu apa yang harus kita lakukan, dan tidak kita
lakukan.
Jika ingin ikut lebih dalam soal praktik ekologis, kawan-kawan dari @pe-
jalanbergerak bisa membantu kalian, mulai dari mengganti botol minuman
plastik dengan tumbler, memiliki asbak portable yang bisa dibawa kemana-
mana, menggunakan sabun DIY yang ramah lingkungan, membuat makanan
& minuman organik, mengelola sampah secara mandiri, selain teori diatas,
beberapa praktik yang saya sebutkan ini ada baiknya dipelajari sebelum kita
jauh menelusuri tebing-tebing, hutan-hutan, gunung-gemunung, lembah,
dan tempat lainnya.
PEJALAN BERGERAK 19
PAKET UNTUK
TRASHBAG COMMUNITY.
(KRITIK DAN APRESIASI)
Oleh: Jazuli Imam
Sebab yang wajib dari pertemuan adalah kita harus saling mengingatkan,
sepenggal lirik dari Sombanusa tersebut saya pilih sebagai pengantar pa-
ket ini, sebuah kotak berisi marah dan cinta, kenangan dan harapan. Nona/
bung/sedulur kader-kader TC (Trashbag Community)—atau yang sering dise-
but; kerabat— silahkan terima ini sebagai asupan memualkan yang berakhir
pada muntahan amarah atau langsung berakhir di tempat sampah. Atau jika
saya beruntung, para kerabat akan memperlakukan paket ini laiknya mar-
tabak terang bulan--yang mungkin tidak dapat dilahap seluruhnya, namun
tetap dapat mengambil potongan-potongan yang mereka suka.
20 MOUNTZINE
KRITIK
Paket ini dimulai dari 23 Juni 2019, saya melayangkan sebuah postingan in-
stagram berisi narasi dan capture TC X Danone. Disana saya muat agiprop
kepada kader-kader daerah dan kritik untuk elit TC (re: pengurus pusat).
Sebelum akhirnya mimpi buruk itu terjadi, Tim pusat, petinggi, atau
orang-orang atas atau apalah namanya, saya sebut saja; elit Pusat
TC, di 2016/2017 memutuskan untuk bekerja sama dengan Danone
Aqua dalam aktivitas, yang sebagian orang menyebutnya CSR, seba-
gian menyebutnya aktivitas marketing, ada pula yang menyebut itu
aktivitas pembungkaman aktivis.
PEJALAN BERGERAK 21
Kala itu, Elit berkisah, TC ingin mendekat ke korporasi agar kelak bisa
mencari solusi dari dalam. Kita tentu tahu seorang aktivis muda (16
tahun) Swedia yang tidak hanya memboikot organisasinya, melain-
kan memboikot sekolahnya sendiri oleh sebab sikapnya melawan
para penjahat lingkungan, Greta Ernman Thurnberg, katanya; Solusi
dari dalam tidak mungkin ditemukan, kita harus merubah sistem itu
sendiri. Greta melangkah keluar dari sekolah, ia datang dan meng-
hampiri negara untuk mendorong mereka dan korporasi menghenti-
kan perusakan lingkungan.
---
22 MOUNTZINE
cinta ala jargon blablabla harga mati yang diajar negara. Cinta tidak hanya
anggukan kepala. Separuh dari cinta ini adalah akal dan pikiran. Agitasi dan
propaganda ini adalah manifestasi cinta paling sederhana yang bersumber
dari sana. Jika kritik tidak dilihat sebagai cinta, tidakkah seharusnya kita lebih
mencintai Wiranto dari pada Virgiawan Listanto (Iwan Fals)?.
PEJALAN BERGERAK 23
Gambar: Kill the Dj (Rapper, ‘aktivis’) yang menjadi bintang dalam iklan Aqua.
24 MOUNTZINE
publiknya (para aktivis lingkungan ). Aqua membalik isu yang seha-
rusnya kecaman terhadap dirinya , dengan menciptakan kegiatan-
kegiatan semacam sapu jagad, air bersih dan csr / teknik marketing
lainnya, yang pada muaranya adalah mendapatkan citra yang baik
dari masyarakat.
APRESIASI
PEJALAN BERGERAK 25
Sebelum menulis ini, saya telah beberapa kali berdiskusi dengan beberapa
orang lama di TC daerah. Satu dari beberapa orang itu bahkan lebih dari tiga
kali saya temui dan membicarakan TC. Ini saya sampaikan sebab kritik saya
terhadap TC bukan semata sentimen pribadi yang bermaksud merusak or-
ganisasi TC. TC terbelah sebab masuknya Danone pada Sapujagad saja sudah
cukup membuat dada saya sesak, apalagi jika organisasi penyeimbang dunia
pendaki itu bubar, Danone sungguh menang banyak. Kritik saya terhadap TC
adalah tuntutan tanggung jawab moral dan dorongan agar-agar para karib
saya di internal TC melakukan perubahan di tubuh TC.
• Sapu Jagad 2019 bersih dari sponsorhip (tidak hanya berlaku un-
tuk Danone), pembiayaan kembali ke jalur mandiri dan kolektif.
26 MOUNTZINE
Gambar: Gerakan serentak dan terbuka - Sapu Jagad, Trashbag Community
Berbeda dalam kritik, sub apresiasi ini secara ekpslisit saya nyatakan bahwa;
ayo, kita dukung kembali TC. Kritik sudah disampaikan dan sikap sudah di-
dapatkan. Mari ambil peran dalam pengurangan masalah gunung, salah sa-
tunya menjadi bagian dari semangat #bawaturunsampahmu.
Ini kali, tidak perlu ragu untuk bergabung di barisan Sapu Jagad 2019 ini.
TC bebas dari Danone, bahkan dari korporasi lain. Jangan takut, kita diga-
ransi oleh kerabat dan orang lama TC Daerah. Usai desakan dan pengalaman
pahit paska berangkulnya mereka dengan Danone, TC pusat telah belajar
banyak. Menjadi lebih dinamis dan terbuka. Beri TC kesempatan, ayo ramai-
kan lagi barisan itu. Sapujagad 2019, serentak di banyak gunung Indonesia,
7-10 November 2019.
PEJALAN BERGERAK 27
KILL “KILL THE DJ!”
Oleh: Kill the kikil - konterkultur.com
Kawan saya keceplosan. Sepertinya dia iri karena karir musiknya tak seberun-
tung Kill The DJ (KTDJ), musisi asal Jogja yang karirnya sedang naik pohon.
Padahal kawan saya ini telah lebih dari 15 tahun totalitas teriak-teriak, baik
saat tampil di sebuah gigs maupun saat konser di kamar mandi, tapi belum
pernah sekalipun di-shooting kamera TV terkecuali kamera TV buat kawinan
yang dirilis secara DIY dan sangat anti komersialisasi.
Sudah kalah kelas di musik, kawan saya ini juga hancur lebur dalam bidang
aktivitas sosial-politik. Itu gara-gara: Pertama, dia polos sebagai seorang
non-partisan. Kedua, dia bego karena anti publikasi. Ketiga, dia budek kare-
na belum pernah dengar idiom ‘tidak ada makan siang gratis’. Jadi ya akti-
vitas sosial dengan menjadi pengacara jalanan buat orang-orang kecil cuma
28 MOUNTZINE
buat senang-senang dia saja. Nggak minta balas budi, nggak dapat ongkos,
sama nggak cari nama.
Gimana nggak gregetan. Sebagai teman, saya pun ikut kesal juga sama dia.
Rasanya pingin saya gunduli rambutnya biar otaknya bisa cepat panas. Ya ja-
man sekarang gitu lho. Mau makan pakai idealisme??? Terus pas lihat teman
musisi lainnya pada masuk TV dan terkenal, dia malah uring-uringan. Salah
sendiri…
Coba contohlah KTDJ. Dia juga aktivis walaupun beda segmen, yaitu dunia
ngajar mengajar. Saya kurang tahu persis apa yang diajarkan. Tapi kalau lihat
di TV, Mas KTDJ sedang mengajarkan aljabar tingkat dasar (+ – x : ) kepada
anak-anak SD. Di lain kesempatan dia juga mengajari bule-bule berbahasa
Jawa, mungkin supaya bisa nawar kalau mau beli bakpia. Sungguh, betapa
mulianya Kill The DJ ini.
Harus kita akui, Kill The DJ memang sosok yang cerdas. Selain artis, dia juga
sosok yang memiliki kepekaan sosial tinggi. Dan jangan lupa, dia juga sangat
merakyat karena sosoknya sebagai petani. Jaman sekarang, nggak meraky-
at nggak eksis bro!. Sebagai orang Jawa tulen, saya yakin KTDJ memegang
teguh sebuah filsafat Jawa yang berbunyi “Urip iku mung mampir ngombe”
(hidup cuma mampir minum). Makannya, nggak heran kalau Aqua-Danone,
perusahaan minuman spesialis pengubah mata air jadi air mata, memilih
KTDJ sebagai bintang iklan (applaus yang meriah).
Terbukti, KTDJ adalah sebuah pilihan tepat bagi sebuah korporat yang masih
percaya bahwa Indonesia masih produktif menghasilkan manusia-manusia
PEJALAN BERGERAK 29
paling penurut sedunia. KTDJ dinilai mampu menutupi aib Aqua terutama
karena KTDJ seorang yang terkenal amat humanis.
Bagi KTDJ mungkin ini tidak jadi masalah. Karena hidup cuma sekali, dan seka-
linya itu hanya dipakai untuk mampir minum, ya boleh-boleh saja kalau orang
minum sampai kembung. Namanya juga aji mumpung. Jaga-jaga kalau nanti
waktu mampirnya sudah habis, bisa buat sangu perjalanan selanjutnya.
“Dan kamu…” kata saya ke kawan saya ini, “Udah kalah telak sama dia. Kayak
dipantatin. hahaha”.
Sontak kawan saya ini naik pitam. “Apa lo bilang?!” serunya sambil banting
remote. “Gue emang nggak terkenal. Tapi gue bukan tukang jual diri! Pengen
gue injek-injek rasanya ngeliat orang rakus,”.
Saya cuma bisa menghibur. “Tenang kawan, tenang…Kamu harus lebih giat
berlatih. Kamu juga harus pintar cari peluang. Sukses adalah hak kamu.
Tinggal memilih, mau sukses atau mau begitu-begitu aja,” ujar saya seperti
seorang motivator ternama berambut mohawk. Dia pun menjadi tenang se-
hingga saya urung membawanya terapi kejiwaan ke Mak Erot.
Memang begitulah kehidupan. Ada yang hoki dan ada yang apes. Sementara
KTDJ masuk kategori hoki, dan kawan saya ini kategori apes, stadium akhir.
Selamat buat Mas Marzuki (KTDJ). Semoga makin banyak rezeki! :’D
30 MOUNTZINE
MASYARAKAT DIAM
DALAM PETAKA DI
MUSIM LUKA
oleh: X Aransaef
Babak Pertama
Saya rasa lagu itu cocok untuk kita dengarkan akhir-akhir ini dan lebih-lebih
diresapi juga renungi, entah secara solitude ataupun dalam perkumpulan.
Sebagaimana kita tahu bahwa Sisir Tanah dengan lagu-lagunya mampu
merawat, merangkul dan bahkan menjadi stimulan atas keresahan-keresa-
han hidup yang kita rasakan dan akan lalui sebagai manusia dengan berjejal
persoalan yang tak kunjung reda. Di dalam dan di luar sana, di dekat dan
di kejauhan sana konflik selalu hadir bergemuruh tak ada usainya. Padahal
dalam potongan-potongan rapal kita—pernah dan mungkin selalu— me-
nyelipkan bahagia, kedamaian, tentram, aman, sehat dan sejahtera untuk
keberlanjutan hidup ini, sedangkan konflik-konflik lebih nyata, gencar dan
tersuguh di hadapan kita. Masihkah kita tak sadar? Atau takut untuk sadar?
Akhir-akhir ini telah banyak terjadi aksi turun kejalan. Ada yang dengan
metode aksi damai, ada juga yang dengan lawan balik: terjadi sebuah keru-
suhan atas perlakuan represif dari beberapa pihak aparat dan tuntutan yang
belum terpenuhi. Sebab musababnya tentu telah kita ketahui bersama, atau
malah ada yang belum tahu? Tak apa, hidup adalah life dan dikarenakan
realitas sungguh kompleks hingga menggerogoti ke acuhan.
PEJALAN BERGERAK 31
Masalah ekologi, RKUHP, UU KPK, RUU PKS, RUU Pertambangan dan Miner-
ba dan Negara yang kian beringas. Itulah masalahnya, sebab massa turun ke
jalan. Namun, anehnya adalah diluar sana ada beberapa orang yang kontra
dengan aksi turun kejalan/demo dan ada juga beberapa lainnya mengecam
aksi tersebut dengan berbagai macam alasan. Lalu, sisanya beberapa dari
mereka memilih diam. Iya hanya diam, seoalah tak mau ikut andil. Baiklah,
itu keputusan mereka, dan saya tidak ada hak untuk menyalahkan keputu-
san itu. Yang saya tahu oleh mereka sebagaimana kontra sekaligus menge-
cam aksi turun kejalan tersebut dengan berbagai alasan;
Alasan-alasan itu adalah alur logika yang keliru. Mengapa demikian? Sebab
begini (kita pakai logika sederhana saja), jika alasan mereka adalah meng-
ganggu jalannya transportasi dan kepentingan umum, maka yang dimaksud
32 MOUNTZINE
dengan ‘kepentingan umum’ itu yang seperti apa? Menurut hemat saya, ke-
pentingan umum yang mereka yakini itu hanyalah ilusi. Kepentingan umum
yang nyata adalah kedamaian, ketentraman, kebahagiaan, kesejahteraan,
rasa aman, kesehatan, ruang hidup, hak atas tanah dan kelestarian lingkung-
an alam. Artinya, jika kesemuanya itu atau salah satu dari itu dimonopoli
oleh segelintir orang atau elitis dan pihak-pihak kapitalis yang bersahabat
dengan pemerintah, maka kita sebagai manusia harus menghentikan itu.
Memutus mata rantai eksploitasi itu. Lantas, masihkah belum jelas? Saya
tidak berharap banyak pada siapapun, hanya satu: Janganlah bebal.
Maka oleh itu, dengan turun kejalan, bisa kita katakan itu semacam mem-
buat ruang demokrasi disana atau merebut demokrasi dari segelintir elitis
PEJALAN BERGERAK 33
yang duduk manis. Sekali lagi jika masih ada yang berangapan bahwa kita
bisa melakukan demokrasi tanpa harus kejalan, tanpa harus mogok kerja,
mogok kuliah, mogok sekolah itu hanyalah ilusi. Kita haruslah menjadi pe-
main demokrasi, tetapi perlu diingat, bukan jadi berarti beberapa dari kita
naik pada tampuk kekuasaan menggantikan mereka sebagai elitis baru. Yang
harus dilakukan adalah memutus rantai penindas dan tertindas, memutus
rantai kelas yang kaya dan yang miskin, yang mengeksploitasi dan dieksploi-
tasi. Kita hapus sistem jahanam itu.
Saya sadar itu tidak cepat, itu suatu hal yang jauh dan panjang. Tetapi bu-
kan suatu hal yang utopis, sayang. Kita bisa bersama-sama saling merangkul
dan mendukung, saling memberi atensi dan afeksi pada sesama. Membuka
kesadaran akan perspektif baru perihal dunia yang lebih baik kepada yang
lainnya.
34 MOUNTZINE
MASYARAKAT DIAM
DALAM PETAKA DI
MUSIM LUKA
oleh: X Aransaef
Babak Kedua
Susi, sadarkah kau bahwa ini adalah musim luka. Semenjak segala kebi-
jakan itu telah dilegitimasi dan diberjalankan oleh Negara, kita harus saling
berkabar pada yang lain bahwa petaka tengah menyala. Kita harus saling
erat menjaga, merangkul, meminjamkan pundak-pundak kita untuk kepala-
kepala yang ingin bersandar dan bahkan menangis. Tak usah balas bicara
soal keluh kesah orang-orang sekeliling kita. Kita siapkan kuping lebar-lebar,
kita kawani mereka, Sus. Masalah bertumpuk banyak, kehidupan semakin
tidak aman. Makan hari ini adalah menahan lapar. Kehidupan bertambah
pelik, orang-orang bekerja secara terpaksa. Sebab, ketika mataku bertemu
dengan matanya—salah satu dari mereka—, tak kutemukan telaga bahagia,
tak kutemukan sinar-sinar cinta dari matanya. Upahnya hanya cukup untuk
makan besok hari, tak ada tabungan yang tersisa lagi. Selalu ludes untuk
iuran BPJS, angsuran kendaraan dan kontrakan. Tak ada uang untuk jalan-
jalan, tak ada uang untuk ia membelikan kado di hari ulang tahun ibu dan
bapaknya, membelikan kado di hari ulang tahun kekasihnya.
Kau tahu Susi, ia tak punya pilihan lain selain terpaksa bekerja hanya un-
tuk bertahan hidup. Kita harus mengkawaninya, sayang. Jangan biarkan ia
merasa sendirian dan pasrah lantas memilih menjadi submisif, kita yakinkan
bahwa sistem negara dan kapitalisme harus dilawan balik. Harus dihancur-
kan. Ini adalah akibat kebijakan yang berpihak pada kalangan elitis bisnis
PEJALAN BERGERAK 35
untuk mempermudah memeras tenaga buruh dan mengupahnya rendah.
Disamping itu untuk buruh perempuan, mereka tidak mendapatkan hak un-
tuk cuti disaat sedang haid. Aku tak bisa membayangkan betapa sakit rasan-
ya menjadi perempuan. Ini adalah kejahatan negara.
Tak hanya berhenti disitu, pintu investasi yang dibuka lebar-lebar oleh
pemerintah justru malah semakin menambah krisis ekologi. Segalanya yang
ada di alam, bilamana menghasilkan sebuah cuan, disitulah sasaran empuk
pengeksploitasian selanjutnya. Perihal perijinan dan Amdal, itu bisa lewat
pintu belakang. Seperti yang telah kita saksikan Sus, di gunung sekarang
telah menjadi wahana rekreasi. Coba bayangkan bagaimana bisa di gunung
di bangun sebuh eskalator? Kapitalis bisa membuat segalanya menjadi
36 MOUNTZINE
ladang uang, mudah baginya untuk membangun sebuah eskalator di gu-
nung, sebuah eskalator yang menghubungkan villa satu dengan villa lainnya.
Krisis ekologi hari ini bebarengan dengan pesatnya teknologi. Dan masyara-
kat diam akan krisis ekologi ini Sus.
Namun, selain krisis ekologi, kita juga dilanda musim luka lainnya. Yaitu ba-
nyaknya kasus pelecehan terhdap perempuan. Perempuan diperkosa,
perempuan yang dipidana. Lelaki selalu dinarasikan superior dan perem-
puan inferior. Susi, aku tahu kamu selalu menangis dan marah setiap kali
melihat dan mendengar berita soal perempuan diperkosa dan dibunuh. Se-
tiap kali perempuan dimonopoli haknya, setiap kali perempuan tidak diberi
keadilan yang sama seperti lelaki. aku tahu kamu marah, matamu berair lan-
tas memerah. Setelah itu kau mengutuk semua lelaki.
Kau pernah bilang pada ku susi, bahwa kau ingin beteriak pada masyarakat
yang diam ini, bahwa bersikap diam dalam ketertindasan adalah kesalahan
dan bunuh diri. Jika ukurannya adalah darah, maka lebih baik mati dalam per-
ang melawan ketertindasan daripada diam tunduk seperti kawanan domba.
Manusia pada dasarnya memang lemah, tetapi bukan berarti itu menjadikan
manusia menyerah terhadap kehidupan itu sendiri. Jika masyarakat yang
diam ini masih menunggu belas kasih Tuhan, maka aku juga akan berteriak
pada mereka Sus, akan aku terikan firman Allah dalam Q.S Ar-Ra’d : 11,
Di akhir malam yang khusyu’ dalam sisa-sisa nafas itu kamu nyeletuk,”Joni,
sampai kapankah masyarakat akan terus bersikap diam?” aku tak menjawab,
yang kuyakini adalah kita harus tetap saling menjaga, saling merangkul satu
PEJALAN BERGERAK 37
sama lain, saling membangun kesadaran, bahwa kita tak boleh tinggal diam.
Bahwa kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh segelintir elitis harus kita lawan
secara bersama-sama. Bahwa masyarakat bisa hidup tanpa harus ada negara
tanpa harus ada aparat, masyarakat haruslah bersama-sama menumbang-
kan kapitalisme. Masyarakat bisa saling bekerja sama sebagaimana manusia
saling membutuhkan bisa saling menjaga satu sama lainnya. Properti dike-
lola secara bersama, semua mendapatkan hak yang sama sesuai porsi. Ha-
rus tetap ada keterbukaan dalam berkomunikasi. Dengan begitu masyarakat
harus menghapus kelas antara yang kaya dan yang miskin, yang menindas
dan tertindas, yang superior dan inferior, antara buruh dan bos. Semua ha-
rus dilenyapkan dan kita kembali sebagai masyarakat yang satu, masyarakat
manusia.
38 MOUNTZINE
art: Semburats
Melihat yang terjadi soal bengisnya negara dan para konstitusinya dewasa
ini, membuat individu dan atau kelompok yang masih meletakkan diri mere-
ka pada sisi alam pun kemanusiaan geram. Negara selalu membawa dalih
keadilan dan kepentingan rakyat secara luas dalam upayanya menghantam
masyarakat di dalamnya. Alih-alih menaruh keberpihakan pada rakyat, nega-
ra malah datang sebagai alat untuk membatasi hingga merampas hak-hak
rakyat. Bahkan di banyak kasus, perampasan hak-hak rakyat adalah sebuah
jalan yang negara ambil, untuk melanggengkan pengertian; bahwa negara
harus selalu diikuti dan dituruti apapun perintahnya. Tentu saja dengan
PEJALAN BERGERAK 39
segala kewenangan berupa kuasa atas hukum, militer dan alat-alat pem-
bungkaman rakyat lainnya, mereka membawa kawan pemodal rakus untuk
melancarkan segala upaya maupun tindakan saling melanggengkan kapasi-
tas kuasa masing-masing sebagai alat penindas alam dan kemanusiaan. Tak
henti-henti, sampai kapanpun, negara adalah sumber perusakan, ketidak
adilan, dan penindasan.
Jangan lalu kita bicara menang kalah, mari kita bicara soal merawat. Semi-
nimal-minimalnya, ada kesadaran individu disetiap diri kita untuk bersikap,
lantas berkumpul dengan individu lain dalam satu lingkaran, tanpa perang
bendera. Kibarkan masing-masing bendera kita, dalam diri kita sendiri.
Setelahnya, mari melingkar, kita rawat kobaran semangat itu, cinta itu, ber-
sama-sama, hanya dengan satu bendera; alam dan kemanusiaan!
-----------------
-----------------
40 MOUNTZINE
Begitu juga yang terjadi di Temon, Kulon Progo. Hak-hak rakyat sengaja di-
ambil dengan atau tanpa ganti rugi, untuk disulap menjadi induk percepatan
pasar kapitalis, yaitu Bandara NYIA. Negara selalu menyepelekan tindakan
yang diambil, bahwa ketika hanya nominal ganti rugi atas tanah saja sebagai
cara penguasaan tanah, itu sudah selesai dengan urusan rakyat terdampak.
Sejauh itu saja. Tentu permasalahan rakyat tidak seperti keputusan negara
yang dangkal. Dangkalnya negara dalam konteks ini sangat merusak tatanan
yang sebelumnya lestari di tanah Temon, Kulon Progo. Dan ini terjadi di ham-
pir semua upaya negara dalam membangun sesuatu di banyak titik lokasi.
Jika ada anggapan negara tidak dangkal, hanya ada satu alasan lain yang
menjadikannya demikian; negara sengaja melakukannya, bahwa nominal
ganti rugi merupakan langkah awal strategi untuk menciptakan konflik hor-
isontal sesama rakyat, dan membunuhnya secara perlahan.
Pada 9 September 2012, WTT lahir sebagai respon penolakan bandara. Hing-
ga selama 2013-2014 warga memblokir jalan Desa Palihan sebagai respon
penolakan upaya pematokan lahan sepihak PT. AP I dan mencabut patok ba-
tas bandara di Balai Desa Glagah. Pada 23 September 2014 warga dihadang
1000 lebih aparat gabungan militer, polisi dan SATPOL PP saat menghadiri
sosialisasi rencana pembangunan bandara oleh Pemda dan PT. AP.I di Balai
PEJALAN BERGERAK 41
Desa Glagah. Warga kecewa, dan memblokir Jalur Lintas Selatan Jawa sepan-
jang 4 km yang berujung bentrok. Pada 30 September, warga menyegel Balai
Desa karena Kepala Desa kabur saat ditanya tentang alasan aparat hadang
warga hadiri sosialisasi rencana pembangunan bandara. Pada 19 Desember
2014, 4 orang petani dikriminalisasi dengan ditetapkan sebagai tersangka
penyegelan Balai Desa Glagah, yaitu Sarijo, Wakidi, Tri Marsudi, dan Wasio.
Pada 25 Mei 2015, keempat petani tersebut divonis 4 bulan masa tahan-
an dari 8 bulan tuntutan hukum. Sepanjang perjuangannya, selain represi
aparat, warga yang tidak mau melepas tanah telah mengalami banyak in-
timidasi dan ancaman, mulai dari tanah akan diminta paksa, anak tidak bisa
sekolah, listrik dicabut, jalan ditutup dan lain sebagainya.
Akhir tahun 2016 hingga awal tahun 2017, warga melakukan reorganisasi
internal dan memutuskan untuk membentuk organisasi baru yang berbeda
dengan WTT bernama PWPP-KP (Paguyuban Warga Penolak Penggusuran -
Kulon Progo) yang didukung oleh PPLP-KP (Paguyuban Petani Lahan Pantai
– Kulon Progo), yaitu sesama kelompok petani yang secara geografis terletak
berdekatan dan bertetangga dengan PWPP-KP dan telah berjuang melawan
pembangunan tambang pasir besi selama 11 tahun; lingkar-lingkar solidari-
tas warga di kota Jogja; dan kelompok-kelompok lingkungan lainnya. Bahwa
mereka mempunyai pandangan hidup yang sama; menjaga tanah, air, dan
udara untuk keberlangsungan hidup sesama.
42 MOUNTZINE
konsinyasi. Ini berarti, walaupun warga tidak pernah menjual tanahnya atau-
pun memberikan sertifikat tanah yang mereka miliki, atas nama ‘kepentin-
gan umum’ tanah tersebut menjadi milik PT. AP I dan warga dapat mengam-
bil uang ganti rugi di pengadilan setempat.
Apabila melihat desain dari PT. AP I dan GVK, bandara sebagai infrastruktur
pusat dari kota bandara (Aero City) akan dihubungkan dengan zona-zona eko-
nomi melalui pembangunan infrastruktur pendukung seperti jalan tol dan
jalur kereta api. Pembangunan infrastruktur pendukung dapat berpotensi
menjadi penggusuran-penggusuran warga berikutnya. Selain itu sektor jasa
dan pariwisata yang menjadi sasaran pembangunan di wilayah Jogja akan
membuat pembangunan properti komersil (hotel, pusat perbelanjaan, pusat
hiburan, dll) ikut marak, investor semakin banyak masuk. Perampasan ruang
hidup dan krisis lingkungan(krisis air khususnya) warga DIY sangat mungkin
terjadi. Pembangunan infrastruktur maupun properti membutuhkan tanah
dan dalam konteks ini pemilik tanah, atau setidaknya yang mengklaim seb-
agai pemilik tanah, yang paling besar adalah yang paling diuntungkan, yaitu
Kesultanan dan Kadipaten. Saat ini, telah terdapat data inventarisasi tanah-
tanah SG dan PAG di seluruh DIY, bahkan hingga tingkat kelurahan, meski-
PEJALAN BERGERAK 43
pun tidak dijelaskan inventarisasi tersebut berlandaskan pada peta apa dan
kapan. Dan jangan lupakan bahwa itu sebenarnya bukan tanah mereka,
melainkan tanah pinjaman kolonial dan menjadi tanah rakyat yang diatur
oleh negara paska kemerdekaan. Tapi saat ini negara justru semakin ngawur
dengan megaproyek-megaproyek industri untuk kemajuan pasar melalui
UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum.
Pentingnya pembangunan bandara baru dianggap untuk kepentingan umum
meskipun mereka yang paling diuntungkan adalah pihak swasta (baca: inves-
tor) dan sekelompok kecil orang. UUPA 1960 adalah titik penting redistribusi
tanah yang bervisi keadilan dan kemakmuran bersama bagi masyarakat ben-
tukan kelompok-kelompok progresif Indonesia masa itu, namun tak pernah
diaplikasikan sampai sekarang karena mengakarnya dan diwariskannya pola
pikir Orde Baru yang membuka ruang seluas-luasnya investasi bagi kepen-
tingan swasta terutama asing dan dilakukan melalui cara koersi, kekerasan,
monopolistik dengan membentuk kroni-kroni selama puluhan tahun.
44 MOUNTZINE
“Mereka dikawal 400 personil meliputi Satpol PP, Aparat Kepolisian,
Militer, dan beberapa tidak berseragam/berbaju sipil. Mereka—AP I,
dikawal aparat gabungan— mengancam untuk mengosongkan
rumah warga. Kemudian salah satu pihak kepolisian memerintahkan
anggotanya dan beberapa orang berbaju sipil, salah satunya meng-
gunakan penutup muka, untuk menyerang rumah kami. Mereka
mendobrak pintu rumah dengan tendangan, linggis, dan palu. Seke-
tika, pintu dan jendela rumah kami hancur. Merobohkan pepohonan,
merusak halaman rumah, merusak pintu rumah, jendela, menggali
lubang di sekeliling rumah, memutus aliran listrik. aktivitas merusak
terus dilakukan, kali ini yang menjadi sasaran adalah tempat ibadah
kami- Masjid, mereka memutuskan aliran listrik salah satu masjid
kami. Pemutusan listrik untuk Desa Palihan dilakukan langsung oleh
PLN Kulon Progo. Bagi kami, menolak proyek bandara dan memper-
tahankan tanah kami adalah jihad”
PEJALAN BERGERAK 45
penopang hidup warga. beberapa lahan mulai hancur tak peduli itu tanah
bersertifikat atau tidak, tak peduli warga sudah menerima ganti rugi atas ta-
nah atau tidak, semua dipukul rata, tanpa melihat sisi kemanusiaan. Semua
demi pembangunan!
Dan untuk menghindari represivitas pihak tertentu, yang bias terjadi kapan-
pun, dimanapun, dan pada siapapun, rumah-rumah warga yang bertahan
dijadikan pos perjuangan. Dengan pos pusat Masjid Al-Hidayah desa Palihan,
46 MOUNTZINE
Temon. Dengan datangnya relawan— lingkaran dan/atau individu perger-
akan—, yang terus bertambah dan bergantian, pos-pos atau rumah warga
inilah yang berfungsi untuk tempat singgah para relawan bersama warga
agar tindakan intimidatif aparat dapat ditekan. Termasuk ketika AP. I melaku-
kan tindakan perusakan lahan atau rumah warga yang masih bertahan.
Dan jika AP.I melakukan upaya perusakan lahan dengan alat berat yang juga
dikawal aparat gabungan dan terjadi bentrok, setidaknya dengan adanya re-
lawan bersama warga, upaya perusakan lahan dapat di tekan.
Tak sedikit juga kawan-kawan relawan berhenti pada resah mereka masing-
masing terhadap satu atau banyak hal dengan tanpa atau belum ada jalan
PEJALAN BERGERAK 47
ke penyelesaian dari keresahan itu sendiri. Dan jika membicarakan suatu
pergerakan apapun, sekecil apapun, ini adalah kelemahan, dan bijaknya,
bagaimana kita tidak hanya berhenti pada resah itu sendiri. Analoginya,
ibarat sebuah gelas, kita isi dengan air putih, kita tahu kapan harus berheni
menuangkannya air putih iu sendiri, dan ada waku untuk meminumnya. Jika
kita masih haus, kita isi lagi gelas itu, dan dengan kesadaran kita harus ber-
henti mengisi sejenak untuk kita minum isi dari gelas itu, seterusnya. Bahwa
gelas sebagai alam pikiran dan isi hati kita, air sebagai keresahan, dan tin-
dakan yang dimaksud adalah ketika kita meminum air dalam gelas hingga
habis. Jikapun tidak mampu kita habiskan sendiri, kita masih bisa berbagi air
dengan orang disekeliling kita. Dan mempercayai bahwa ada waktu ketika
segerombolan bandit berdasi ketakutan dengan habisnya air pada tenggu-
kan terakhir disetiap gelas.
Berawal dari sebuah lingkaran kecil dalam salah sau pos rumah warga, ber-
bicara kemungkinan apa-apa yang bisa dilakukan unuk mendukung perju-
angan warga, lingkaran tadi menginisiasikan sebuah wadah produktif dalam
bentuk warung atau kedai kopi. Kedai Teman Temon—yang juga salah satu
rumah warga— lahir dimaksudkan untuk membangun ekonomi warga skala
mikro dan berkelanjutan dan sebagai wadah bagi kawan-kawan untuk ber-
bagi ide-gagasan, keresahan atau sharing biasa sesama relawan dan warga.
Yang menjadi prioritas pertama dalam penghasilan dari kedai kopi ini adalah
untuk satu keluarga pemilik rumah yang juga sama halnya dengan warga lain
yang bertahan; pemenuhan kebutuhan ekonomi mendasar. Jika ada pertan-
yaan terkai nasib warga lain konteks “ekonomi”, pembahasan terkait ada di
halaman selanjutnya. Dan peran relawan dalam mengelola hasil laba dari
berjalannya kedai ini, ketika kebutuhan warga pemilik rumah ter”cukup”i,
kemudian akan dialokasikan ke posko utama untuk sebaik-baiknya diguna-
kan bagi warga dalam berjuang. Dan sedikit penegasan bahwa relawan yang
berkaitan dengan kedai Teman Temon, atau sebagai pengelola kedai, tidak
mengambil sedikipun keuntungan dalam bentuk nominal (baca; uang) dari
hasil penjualan produk dalam kedai. Sebab perlu diketahui, yang sering kita
sebut “relawan” disini, sedang belajar untuk sampai pada jarak terdekat
dalam makna sebuah kata relawan itu sendiri.
Kemudian semangat lain sebab berdirinya kedai Teman Temon adalah untuk
bagaimana kita bisa memberi ruang untuk kawan-kawan lintas komunitas
dan/atau individu pergerakan untuk berbagi cerita-pengalaman dan kekua-
tan baik lainnya. Dilain itu, dengan diadakannya kegiatan-kegiaan produktif;
diskusi pergerakan, diskusi pertanaman, diskusi buku, diskusi karya, kelas
puisi, dan lain sebagainya, juga untuk memanage datangnya individu atau
kelompok yang ingin lebih tahu kondisi di lapangan yang sebenarnya. Dari
sini, dengan individu atau kelompok yang datang, juga dengan keresahan
yang baru saja mereka temukan, setidaknya, mereka mengetahui kondisi di-
lapangan yang sebenarnya, lebih dalam lagi, mereka ingin menyelesaikan
resah yang mereka rasakan dengan bidang, disiplin ilmu, ide-gagasan mere-
ka masing-masing. Dan tentu lingkaran baik lainnya akan terlahir lagi untuk
ikut mengkampanyekan perjuangan warga, entah di desa, gunung-gunung,
warung-warung, kota, mana-mana. Sekecil apapun perbuatan, itu telah
membantu perjuangan warga.
PEJALAN BERGERAK 49
menolak NYIA kepada masyaraka yang lebih luas. Dan untuk menunjukkan
eksistensi bahwa warga tetap ada untuk berjuang dan bertahan. Festival
ini juga merupakan respon agar kehidupan di Temon dengan sosial budaya
yang ada dapat terus lestari dan bertahan, dismping itu festival ini bertujuan
sebagai trauma healing bagi warga dan untuk mempertahankan semangat
warga juga relawan dalam berjuang mempertahankan ruang hidup. Pembi-
ayaan yang digunakan untuk menjalankan festival ini dilakukan dengan swa-
daya dan swakelola bentuk solidaritas relawan.
50 MOUNTZINE
ada terlepas dari mata pelajaran yang ada di sekolah formal dan tentu saja
dikemas dengan menyenangkan dan dapat diterima dengan mudah oleh
anak-anak, ada juga kegiaan belajar menulis puisi sederhana, menggambar,
mendongeng dan bermain. Anak-anak dibebaskan unuk mengeksplor diri
mereka masing-masing sesuai dengan minat dan keinginan mereka. Semoga
mereka menemukan diri mereka masing-masing.
Dan sebenarnya, masih banyak hal-hal yang pernah terjadi di Temon, Kulon
Progo terkait perjuangan warga mempertahankan ruang hidupnya, yang sa-
yangnya, tidak muat untuk ditulis dalam catatan singkat ini.
—beberapa sumber dari Booklet Perjuangan Warga PWPP-KP, kanal Persatuan Pemuda
progresif penolak NYIA(Predator YK), Jogja Darurat Agraria (JDA), dan penulis selama di lokasi.
PEJALAN BERGERAK 51
ORANGUTAN
oleh: Sahabat Orangutan
FAKTA ORANGUTAN:
52 MOUNTZINE
go pygmaeus) dan orangutan Sumatra (Pongo abelii).
PEJALAN BERGERAK 53
ORANGUTAN DALAM KONDISI DARURAT
Ancaman terhadap orangutan adalah perubahan fungsi hutan menjadi
ladang atau perkebunan besar, pertambangan dan diambil kayunya. Hu-
tan menjadi semakin sempit dan rusak. Ketersediaan makanan menjadi
berkurang akibatnya banyak orangutan terpaksa memasuki ladang, kebun
masyarakat bahkan perkebunan kelapa sawit untuk mencari makanan. Ma-
nusia kemudian menganggap orangutan sebagai hama. Padahal manusialah
yang mengambil tempat tinggal orangutan.
HEART OF BORNEO
Borneo adalah salah satu dari dua – yang lainnya adalah Pulau Sumatra – di-
mana orangutan, gajah dan badak hidup membagi habitat yang sama. Hidu-
pan liar lainnya di Borneo termasuk macan dahan, beruang madu, gibbon
Borneo, yang tentu saja tidak ada di bagian lain selain di Borneo. Borneo
adalah rumah tinggal bagi 10 spesies primate, lebih dari 350 burung, 150
reptil dan amfibi dan 15.000 lebih spesies tumbuhan.
Borneo terbagi antara Malaysia, Indonesia dan Brunei. Pada tahun 2007,
pemerintah ketiga negara tersebut menandatangani deklarasi bersejarah
untuk melindungi Heart of Borneo. Sebuah wilayah perbatasan, dataran
tinggi hingga dataran rendah yang menyambungkan ketiga negara. WWF
mendukung Malaysia, Indonesia dan Brunei untuk mengonservasi hutan hu-
jan seluas 220.000 km2, yang hampir sepertiga luas Pulau Borneo, melalui
jejaring kawasan lindung dan lahan yang dikelola secara berkelanjutan.
54 MOUNTZINE
Perlindungan Heart of Borneo tidak
hanya memberi manfaat bagi hidupan
liar. Tetapi juga diharapkan dapat mem-
bantu mengurangi kemiskinan dengan
meningkatkan keamanan pangan dan
air serta mempertahankan budaya ma-
syarakat lokal dan masyarakat adat di
Borneo. Dalam jangka panjang upaya
ini diharapkan dapat melindungi Pulau
Borneo dari ancaman deforestasi dan
dampak dari kekeringan dan kebakaran
hutan/lahan. Kunjungi WWF.Panda.org
untuk informasi lebih lanjut mengenai
Heart of Borneo Initiative.
PEJALAN BERGERAK 55