Pendahuluan
Indonesia merupakan Negara yang memiliki masyarakat dengan keberagaman suku, agama
dan ras dan sebagai Negara yang berideologi pancasila dengan sila pertama “Ketuhanan yang
Maha Esa” menjadikan agama sebagai suatu hal yang tidak bisa terlepas dari hidup masyarakat
Indonesia. Banyak aspek dalah hidup masyarakat Indonesia yang terbentuk, terarahkan dan
tercipta karena peran agama yang begitu besar. Salah satunya adalah bagaimana agama berperan
besar dalam mengatur interaksi sosial antara satu individu dengan individu lain, dalam essay ini
secara lebih spesifik membahas pertentangan yang terjadi dalam hubungan (berpacaran) beda
agama. Karena tidak dapat dipungkiri bahwa agama bisa menjadi salah satu faktor timbulnya
konflik yang ada di dalam masyarakat (Tharaba, 2016, p. 51).
Dalam kasus seperti ini perspektif fungsional dan perspektif interaksionis simbolik juga
dapat digunakan, namun perspektif konflik dirasa paling tepat digunakan untuk menjelaskan
realitas sosial yang terjadi. Perspektif konflik digunakan karena perspektif konflik melihat secara
lebih objektif perbedaan dan gesekan yang terjadi dalam masyarakat, sehingga dapat menjelaskan
konflik yang terjadi antara lembaga-lembaga sosial di masyarakat, konflik peran yang dialami
individu dan juga dominasi antara suatu paham yang dianggap paling benar oleh beberapa
golongan secara lebih lengkap dan utuh.
Pembahasan
Relationship atau berpacaran dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan
sebagai hubugan dengan lawan jenis yang tetap dan berdasarkan cinta kasih merupakan suatu hal
umum dan wajar yang dilakukan oleh seorang individu terutama dikalangan remaja ataupun
mahasiswa. Namun hal ini sering menuai pertentangan apabila hubungan tersebut dijalani oleh
dua individu yang berbeda keyakinan atau agama. Sebagai contoh kasus adalah hubungan antara
anak pendeta dengan anak ustad, hubungan itu akan menimbulkan pertentangan, baik pertentangan
antara individu dengan keluarga, individu dengan individu yang lain dan juga individu dengan
batin invidu itu sendiri. Pertentangan ini terjadi anatara tuntutan agama dan keinginan manusia
sebagi makhluk sosial ini terjadi karena para teolog atau individu yang berpegang teguh pada
agama melihat suatu hal dalam kerangka benar atau salah, sesuai atau tidak sesuai dengan ajaran
agama yang dianut, sedangkan sosiologi memandang suatu benar dan salah itu sebagai suatu hal
yang relative.
Pandangan Agama
Dalam kehidupan masyarakat terdapat sejumlah struktur dan pranata yang dipengaruhi
oleh ajaran agama dan dibentuk oleh masyarakat untuk mengatur kehidupannya, seperti pranata
perkawinan, keluarga, pendidikan, struktur keulamaan dan kenegaraan (Lubis, 2015, p. 88).
Ajaran agama yang sangat mempengaruhi masyarakat dan juga pranata keluarga yang kemudian
menjadikan sebagian keluarga sangat eksklusif dan sangat selektif dalam memilih calon anggota
keluarga baru. Keluarga yang berpegang teguh pada agama pasti akan memilih individu yang
memiliki agama yang sama untuk menjadi calon anggota keluarganya, karena hal tersebutlah yang
diajarkan oleh setiap agama.
Dalam agama islam dikatakan :
Perspektif Konflik
Konflik dalam hubungan (berpacaran) beda agama terjadi saat peran orang tua dan juga
pemimpin agama sangat mendominasi dalam pengambilan keputusan individu yang menjalani
hubungan tersebut. Dalam kasus penulis, ayah memiliki dua peran sekaligus yaitu, sebagai
pemimpinan keluarga dan juga pemimpin agama. Dua peran yang dimiliki oleh sang ayah
menjadikan dominasi dalam pengambilan keputusan lebih besar terhadap hubungan penulis. Pihak
yang mendominasi memiliki pandangan bahwa hubungan (berpacaran) yang berbeda agama
merupakan suatu kegiatan yang menyimpang, tidak sesuai dengan norma agama yang berlaku dan
secara tidak langsung telah melakukan justifikasi. Sebagai pemimpinan keluarga ayah secara sadar
merasa memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa calon anggota keluarga baru memiliki
kesamaan dengan keluarganya, baik kesamaan status sosial, strata sosial, tingkat ekonomi, bahkan
hingga kesamaan paham agama dan ideologi. Tuntutan untuk memiliki calon anggota keluarga
yang serba sama ini yang membuat ayah sebagai pemimpina keluarga menjadi sangat pemilih dan
selektif, hingga pada saat ini kita masih sering terjadi praktek perjodohan. Selain alasan diatas,
pandangan masyarakat sekitar juga menjadi pertimbangan yang membuat hubungan (berpacaran)
berbeda agama itu ditentang.
Masyarakat masih memiliki pandangan bahwa hubungan (berpacaran) berbeda agama itu
merupakan kegagalan orang tua dalam melakukan sosialisasi nilai dan norma agama di dalam
keluarga. Ketidakinginan dipandang negatif oleh masyarakat, yang membuat banyak pemimpinan
keluarga menentang hubungan (berpacaran) berbeda agama. Hal ini bisa dikatakan sebagai
keegoisan seorang pemimpin, yaitu tidak ingin memiliki citra yang buruk dimata masyarakat yang
lain. Masyarakat juga memandang hubungan (berpacaran) berbeda agama sebagai suatu
penyimpangan dan patut diberikan sanksi sosial berupa cibiran ataupun digosipkan yang tidak
baik.
Sementara sebagai pemimpinan agama, seorang pendeta memiliki kewajiban untuk
membimbing dan mengarahkan umatnya untuk hidup sesuai dengan ajaran agama yang telah
diajarkan. Dalam kasus ini pemimpinan agama harus mengarahkan umatnya untuk memilih
individu yang memiliki agama yang sama, jika ingin membangun sebuah pranata keluarga. Hal
ini yang membuat hubungan (berpacaran) beda agama menjadi suatu hal yang terlihat salah dalam
kacamata agama.
Sedangkan itu disisi lain penulis sebagai pihak yang merasa ditindas, melihat bahwa tidak
ada yang salah dengan hubungan (berpacaran) berbeda agama. Karena sebagai sosiolog, penulis
melihat bahwa perbedaan yang ada justru akan menciptakan integrasi sosial antara dua pehaman.
Selain itu perbedaan tidak dapat mengartikan bahwa yang berbeda itu salah, karena dalam
sosiologi benar dan salah merupakan hal yang relatif. Setiap kelompok masyarakat memiliki
norma yang berlainan, maka sesuatu yang menyimpang bagi kelompok tertentu belum
menyimpang bagi kelompok lain (Syarbaini, 2013, p. 84). Dalam pandangan penulis, agama
dilihat sebagai hal yang bersifat pribadi dan tidak harus dipamerkan kepada masyarakat luas.
Apapun yang menyangkut agama, baik tata cara ibadah, ketaatan kepada Tuhan dan juga amal
perbuatan bukanlah suatu hal yang harus dijadikan urusan bersama.
Dalam hal ini penulis juga memiliki pandangan bahwa baik dan buruknya seorang individu
tidak dilihat dari apa agama individu tersebut. Suatu hal yang sangat subjektif jika kita sebagi
makhluk sosial hanya menilai baik dan buruknya seorang individu hanya dari apa agamanya saja.
Manusia sebagai makhluk sosial merupakan mahkluk yang kompleks karena perbuatan baik dan
penyimpangan yang dilakukan seorang individu dipengaruhi oleh banyak hal, bukan hanya oleh
satu hal saja. (Damsar, 2015) (I.B.Wirawan, 2014) (Martono, 2016)
Penggabungan dua paham kebenaran yang berbeda dalam satu pranata keluarga bukanlah
hal yang salah. Karena hal ini akan menciptakan rasa toleransi yang tinggi pada generasi
berikutnya, juga akan menambah wawasan yang luas mengenai paham kebenaran dan membuat
seorang individu terbiasa dengan perbedaan, sehingga tidak mudah melakukan labelling atau
justifikasi kepada golongan atau kelompok masyarakat yang lain.
Jika agama diciptakan untuk menghadirkan perdamaian dan persatuan, lalu mengapa
agama justru menimbukan disintegrasi sosial dan perpecahan antara kelompok masyarakat hanya
karena berbeda paham mengenai rasionalisasi suatu kemahakuasaan diluar manusia.
Simpulan
Ilmu Sosiologi membuat kita memiliki banyak pandangan atau perspektif dalam melihat
suatu realitas sosial dan hal itu seringkali bergesekan dengan pehaman mengenai agama. Banyak
hal yang dianggap baik menurut agama tapi menimbulkan disintegrasi dalam masyarakat sosial.
Ada juga hal yang dianggapp baik oleh ilmu sosial tapi dipandang tidak baik oleh pemahaman
agama.
Konflik bukanlah hal yang bisa dihindari, baik konflik agama dengan ilmu sosiologi
maupun konflik antar agama itu sendiri. Namun sebagai makluk sosial dan juga sebagai sosiolog
adalah sebuah hal sangat subjektif bila hanya melihat dari satu sudut pandang saja. Termasuk
dalam kasus pertentangan hubungan (berpacaran) berbeda agama ini. Setiap pihak baik pihak yang
mendominasi ataupun pihak yang didominasi tentu sama-sama memiliki pembenaran mengenai
keputusan yang dipilih. Hanya sangat disayangkan jika suatu hal ditentang hanya karena keegoisan
beberapa pihak saja dan bukan berdasarkan suatu hal yang bersifat prinsipil.
Pertentanga hubungan (berpacaran) berbeda agama menunjukan bahwa masih banyak
pihak yang melihat suatu konflik hanya dari satu sudut pandang saja dan hal ini juga menunjukan
bahwa masih banyak masyarakat Indonesia yang berpikir secara teologis. Jika banyak Negara
maju telah sampai pada tahap positivisme, bukan hal yang salah jika kita mengutamakan cara
berpikir secara teologis namun jangan sampai hal tersebut membuat kita lupa tentang hak-hak
dasar manusia. Kita memang tidak bisa memaksakan pemikiran kita kepada orang lain, kita juga
tidak bisa memaksakan pandangan kita kepada orang lain. Tapi kita dapat berusaha mengerti
pemikiran dan juga cara pandang orang lain, dan kita juga bisa berempati kepada kesedihan orang
lain. Pemahan seperti ini bisa meminimalisir konflik yang terjadi di masyarakat, mengenai hal-
hal semacam ini dan menciptakan keadaan yang lebih baik.
Agama dan ilmu sosial merupakan hal tidak dapat disatukan tapi dapat berjalan beriringan.
Keduanya saling melengkapi, dan memberikan sumbangan pemikiran mengenai kehidupan
seorang individu, kelompok dan juga masyarakat. Jangan sampai hal yang baik ini justru saling
menyanggah dan saling menjatuhkan hanya karena keegoisan beberapa pihak saja.
Daftar Pustaka
I.B.Wirawan. (2014). Teori-Teori Sosial Dalam Tiga Paradigma. Jakarta: Kharisma Putra Utama.