Anda di halaman 1dari 26

PROPOSAL SKRIPSI

KUARSA SEBAGAI PENGEMBAN BESI OKSIDA:


KAJIAN AKTIVASI PADA KUARSA DAN PENGARUH pH SERTA
KONSENTRASI ION Fe2+ TERHADAP PROSES PENGEMBANAN

OLEH
IKE YUSNIATI INDRIASARI
M0301027

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM


UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2005
PERSETUJUAN

Proposal Skripsi Mahasiswa


Ike Yusniati Indriasari
NIM. M0301027

Dengan Judul :
i
KUARSA SEBAGAI PENGEMBAN BESI OKSIDA: KAJIAN AKTIVASI
ii
PADA KUARSA DAN PENGARUH pH SERTA KONSENTRASI ION Fe 2+
iii
TERHADAP PROSES PENGEMBANAN
1
1
Disetujui oleh pembimbing untuk dikerjakan :
2
2
Surakarta, Desember 2005
3
3
Pembimbing I, Pembimbing II,
4
4
5
5
Khoirina D.N,Msi Dian Maruto W,Msi 13
NIP. 132 258 052 NIP. 132 258 053
14
Mengetahui,
Ketua Jurusan Kimia 15
15
10
11
11
Drs. Sentot Budi Rahardjo,PhD
NIP 131 570 162 13
13
DAFTAR ISI
14
16
17
17
19

20
Halaman Judul
………………………………………………………………………..
Halaman Persetujuan
…………………………………………………………………
Daftar Isi

……………………………………………………………………………...
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang …………………..………...
……………………………
B. Perumusan Masalah ………………….
…………………………………
1. Identifikasi Masalah ……………………………..
…………………
2. Batasan Masalah
……………………………………………………
3. Rumusan Masalah …………………………………………..
………
C. Tujuan Penelitian
…………………………………………………….....
D. Manfaat Penelitian ………………………………………..
……………
BAB II. LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka ………………..
………………………………………
B. Kerangka Pemikiran …………………………………………..
………..
C. Hipotesis …………………………………………..
……………………
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN
A. Metode Penelitian …………………………………………..
…………..
B. Tempat dan Waktu Penelitian 15
…………………………………………. 15
C. Alat dan Bahan ………………………………………….. 15
…………….. 16
1. Alat ………………………………………….. 16
…………………….. 17
2. Karakterisasi.................................................................................... 19
3. Bahan ………………………………………….. 20
…………………... 21
D. Cara Kerja ……………………………………..……………..
…………
E. Teknik Pengumpulan Data
……………………………………………..
F. Teknik Analisis Data ………………………........................................
DAFTAR PUSTAKA
………………………………………………………………...

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Besi merupakan logam yang memiliki potensi melimpah di alam dan
mudah dalam pemanfaatan. Potensi penyebaran mineral besi di Indonesia antara
lain terdapat di: Sumatera, Lombok, Sumbawa, Sumba dan Flores. Menurut data
statistik tahun 2003, produksi besi di Indonesia mencapai lebih dari 1.000.000
ton. Pemanfaatan besi di Indonesia yang selama ini dilakukan adalah untuk
keperluan industri logam, misal: pembuatan paduan logam antara besi dan baja
(alloy) dan untuk membuat peralatan rumah tangga (www.tekmira.esdm.go.id).
Potensi besi yang melimpah tersebut mendorong pemanfaatannya tidak hanya
sebatas untuk keperluan industri, tetapi juga dikembangkan untuk keperluan
penelitian sebagai semikonduktor besi oksida. Semikonduktor besi oksida
memiliki kelebihan antara lain memiliki stabilitas termal yang tinggi, mudah
dalam pembuatan dan bersifat nontoksik (tidak beracun) (Mann, 2002). Besi
oksida sebagai Fe2O3, juga dapat memiliki absorptivitas pada daerah cahaya
tampak (UV-visible), sehingga dapat digunakan sebagai fotokatalis, meskipun
daya absorptivitas belum efektif (Cherepy, Liston, Lovejoy, Deng dan Zhang,
1998).
Salah satu cara untuk meningkatkan efektivitas fotokatalitik besi oksida
dengan mengembankan partikel besi oksida tersebut ke dalam material berpori.
Penelitian yang dilakukan oleh Yee dan Yaacob (2003) menunjukkan bahwa
pengembanan dapat meningkatkan luas permukaan pada besi oksida yang
teremban dalam zeolit (material berpori), sehingga meningkatkan
keefektifannya sebagai fotokatalis. Penelitian yang dilakukan Wahyuni,
Arryanto, Setiaji, Sastrohamidjojo, Anusorn dan Webb (2001) juga
menunjukkan besi oksida dapat diembankan ke dalam zeolit secara efektif.
Material berpori lain yang dapat digunakan adalah kuarsa, namun selama ini
belum dilaporkan pemanfaatannya sebagai pengemban.
Kuarsa merupakan mineral batuan yang terbentuk dari proses pelapukan
batuan yang juga tersedia melimpah di Indonesia. Potensi penyebaran kuarsa
terbesar di Indonesia terdapat di Sumatra Barat, Kalimantan Barat, Jawa Barat,
Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan, dan Pulau Bangka Belitung. Menurut
data statistik tahun 2003, produksi kuarsa di Indonesia mencapai lebih dari
6.000.000 ton (www.tekmira.esdm.go.id). Potensi yang melimpah ini umumnya
dimanfaatkan untuk keperluan industri terutama industri kaca. Kuarsa ditinjau
dari karakter kimia fisiknya merupakan material berpori dan memiliki stabilitas
termal yang tinggi (Considine dan Considine, 1984), sehingga dapat
dimodifikasi. Modifikasi yang mungkin dilakukan antara lain dengan
penggerusan, aktivasi dan pengembanan.
Berdasarkan uraian di atas akan dilakukan penelitian untuk
memanfaatkan kuarsa sebagai material pengemban. Di sisi lain juga dilakukan
penelitian untuk mempelajari proses pengembanan besi oksida pada kuarsa dan
faktor-faktor yang mempengaruhinya.

B. Perumusan masalah
1. Identifikasi masalah
Potensi besi di Indonesia sangat melimpah namun jarang dimanfaatkan
untuk pembuatan semikonduktor besi oksida sebagai fotokatalis. Keefektifan
besi oksida sebagai fotokatalis dapat ditingkatkan dengan mengembankan pada
material berpori yaitu kuarsa. Potensi kuarsa juga melimpah dan tersebar di
Indonesia, namun belum dimanfaatkan secara optimal, terutama sebagai
material pengemban.
Modifikasi pada kuarsa yaitu dengan penggerusan dan aktivasi untuk
meningkatkan sifat kimia fisiknya. Aktivasi dapat meliputi : pemanasan pada
suhu tinggi dan penggunaan larutan asam atau basa. Aktivasi menggunakan
larutan asam dilakukan untuk membentuk situs (ruang), misal: situs aktif yang
dapat dipergunakan untuk modifikasi selanjutnya yaitu: pengembanan.
Pengembanan besi oksida pada kuarsa dapat dilakukan dengan beberapa
metode antara lain : metode pencampuran secara fisik (physical mixture),
pertukaran ion (ion exchange) dan impregnasi. Penelitian terdahulu
menunjukkan metode pertukaran ion cukup efektif mengembankan besi oksida
dalam zeolit. Proses pengembanan besi oksida pada material berpori dapat
dipengaruhi beberapa faktor diantaranya konsentrasi ion Fe2+, temperatur, waktu
dan pH. Hasil penelitian menunjukkan bahwa temperatur yang tinggi, waktu
lama dan pH rendah, dapat mengurangi keefektifan pengembanan besi oksida
pada zeolit, karena terjadi kerusakan struktur zeolit. Pengaruh konsentrasi ion
Fe2+ terhadap pengembanan tergantung dari banyak sedikitnya interaksi antara
ion Fe2+ dengan ion-ion pada kerangka zeolit. Faktor-faktor yang mempengaruhi
pengembanan pada kuarsa belum diketahui dan akan dilakukan pada penelitian
ini.
Karakterisasi kuarsa sebelum dan sesudah dimodifikasi. Karakterisasi
tersebut dapat meliputi luas permukaan, keasaman permukaan, gugus fungsi,
komposisi mineral dan komposisi kimia unsur.

2. Batasan Masalah
a) Besi yang digunakan dalam bentuk larutan ion Fe2+.
b) Kuarsa yang digunakan sebagai material pengemban berasal dari Bangka.
c) Aktivasi menggunakan larutan asam HF dilakukan untuk membentuk situs
aktif pada kuarsa yang dipergunakan untuk pertukaran ion.
d) Metode pengembanan besi oksida pada kuarsa menggunakan pertukaran
ion.
e) Faktor-faktor yang mempengaruhi pengembanan besi oksida pada kuarsa
dibatasi pada pH dan konsentrasi ion Fe2+.
f) Karakterisasi kuarsa menggunakan XRD dan gravimetri.
g) Penelitian yang akan dilakukan dibatasi pada aktivasi dan pengembanan.

3. Perumusan Masalah
a) Apakah situs aktif dapat terbentuk pada kuarsa setelah aktivasi?
b) Apakah kuarsa dapat digunakan sebagai material pengemban besi oksida?
c) Apakah proses pengembanan besi oksida pada kuarsa dipengaruhi faktor
pH dan konsentrasi ion Fe 2+?

C. Tujuan Penelitian
1) Mengetahui adanya situs aktif yang terbentuk pada kuarsa setelah aktivasi.
2) Melakukan pengembanan besi oksida pada kuarsa.
3) Mengkaji pengaruh pH dan konsentrasi ion Fe 2+ terhadap proses
pengembanan besi oksida pada kuarsa.

D. Manfaat Penelitian
1) Secara teoretis, penelitian ini dapat memberikan informasi tentang aktivasi
pada kuarsa, pengembanan serta pengaruh pH dan konsentrasi ion Fe2+
terhadap proses pengembanan besi oksida pada kuarsa.
2) Secara praktis, penelitian ini dapat menambah manfaat kuarsa sebagai
material pengemban besi oksida.

BAB II
LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka
1. Kuarsa
Kuarsa memiliki struktur kristal heksagonal (Considine dan Considine,
1984). Struktur kuarsa terdiri dari gabungan SiO4 tetrahedral yaitu setiap atom
Si berikatan dengan empat atom oksigen dan tiap atom oksigen diikat oleh 2
atom silikon seperti yang terlihat pada gambar 1(a), sehingga menghasilkan
struktur kerangka tiga dimensi silikat ( Smyth, 1998).
O

Si
Gambar 1(a). Struktur kerangka 1(b). Struktur tetrahedral kuarsa
kuarsa

Gambar 1(a) menunjukkan setiap atom silikon berbagi dengan empat


atom oksigen untuk saling berikatan membentuk tetrahedral dan setiap
tetrahedral 1(b) saling berikatan pada sudut untuk membentuk kerangka tiga
dimensi tetrahedral silikat (http://www.tamu-commerce.edu), sehingga kuarsa
diklasifikasikan sebagai tektosilikat atau kerangka silikat ( Smyth, 1998).
Struktur kristal kuarsa dapat dikarakterisasi menggunakan difraksi sinar
X (XRD), seperti yang dinyatakan dalam gambar 2. Metode analisis yang sering
digunakan adalah metode Hanawalt. Metode ini didasarkan pada jarak d dari
tiga intensitas puncak tertinggi dari pola difraksi suatu senyawa
(http://capsicum.me.utexas.edu).

k
k

Gambar 2. Pola difraksi sinar X pada sampel kuarsa (Smyth, 1998)


Puncak-puncak yang terdapat pada pola difraksi sampel tersebut
dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif melalui perbandingan data puncak
sampel tersebut dengan data JCPDS (Joint Committee on Powder Diffraction
Standards) dalam bentuk JCPDS Powder Diffraction File untuk kuarsa. Hasil
analisis menunjukkan 3 puncak tertinggi pada 2θ 20,82°, 26,62° dan 50,10°,
serta d(Å) 4,263, 3,346 dan 1,189 merupakan puncak dari kuarsa (Smyth, 1998).
Kuarsa merupakan mineral yang sangat umum terdapat dalam bumi
dan merupakan kelompok mineral yang cukup dominan. Golongan mineral ini
diperkirakan membentuk hampir 64% dari kerak bumi. Kuarsa merupakan
mineral yang terbentuk karena panas dan tekanan yang ada di dalam
bumi(Considine dan Considine, 1984). Mineral silikat padat seperti kuarsa
umumnya mempunyai struktur yang seragam, berpori, dan partikelnya
mempunyai diameter 3,5 atau 10 µm (Skoog, D.A., Holler, F.J., and Nieman,
T.A., 1998). Komposisi kuarsa terdiri dari SiO 2 sebagai komposisi utama dan
kation oksida logam seperti Na, K dan Ca pada permukaan kuarsa.
Sifat-sifat fisik kuarsa adalah sebagai berikut :
1. Berwarna putih , kuning, ungu, merah muda, coklat, kehijauan hingga tak
berwarna.
2. Nilai kekerasannya < 7,0 Mohs.
3. Berat jenis atau bobot isi 2,6 – 2,7 g/cc.
4. Titik lebur 1650 (±75) °C dan titik didih 2230 °C.
(Considine dan Considine, 1984).
Kuarsa dapat diklasifikasikan dalam dua kelompok, yaitu:
1. Kuarsa Kristalin
Kuarsa kristalin adalah kuarsa yang terjadi dalam kristal-kristal yang
berbeda. Hal tersebut terjadi pada sejumlah kristal yang sejenis yang
dibedakan oleh warna. Kelompok kuarsa kristalin antara lain sebagai
berikut: rock crystal (kuarsa tak berwarna), amethyst (kuarsa violet atau
ungu), rose quartz (kuarsa merah jambu), citrine (kuarsa kuning), smoky
quartz (kuarsa coklat kehitaman), milky quartz (kuarsa putih susu),
aventurine quartz, rutilated quartz, ametrine (kombinasi dari amethyst dan
citrine), dan vermarine (prasiolite atau amethyst hijau).

2. Kuarsa Kriptokristalin
Kuarsa kriptokristalin adalah kuarsa yang kristalnya berukuran
mikroskopis dan bisa tidak tembus cahaya atau juga tembus cahaya. Jenis
kuarsa kriptokristalin antara lain : agate, basanite, bloodstone, carnelian
atau cornelian, chalcedony, chert, chrysoprase, flint, heliotrope, jasper,
moss agate, onyx, plasma, prase, sard, sardonyx, chrysocolla quartz, fire
agate, picture jasper atau scenic jasper, petrified dinosaur bone, petrified
wood, tigereye dan turritella.

Kuarsa juga memiliki dua bentuk karena adanya pengaruh suhu yaitu :
1. Low quartz (α-quartz), terbentuk pada suhu rendah (<573oC).
2. High quartz (β-quartz), terbentuk pada suhu tinggi (573 oC - 870 oC)
(Considine dan Considine, 1984)
Keasaman kuarsa berkaitan dengan situs asam Brönsted dan situs asam
Lewis dari suatu senyawa. Keasaman suatu padatan ditentukan oleh
kemampuannya mengubah basa organik netral menjadi bentuk asam
konjugasinya. Amonia (NH3) digunakan sebagai molekul uji keasaman suatu
padatan, dengan basa organik teradsorp pada padatan yang terjadi melalui
transfer proton dari situs asam Brönsted ke adsorbat membentuk NH 4+, atau
melalui transfer pasangan elektron dari molekul adsorbat ke situs asam Lewis
(Satterfield, 1980). Keasaman kuarsa dapat ditentukan secara kuantitatif dengan
metode adsorpsi uap amonia secara gravimetri.
Keasaman suatu mineral (kuarsa) dapat ditingkatkan dengan aktivasi.
Aktivasi biasanya digunakan untuk melarutkan pengotor baik pengotor organik
maupun anorganik yang menempel pada permukaan mineral. Larutnya pengotor
organik dan anorganik menyebabkan permukaan mineral menjadi bersih dan
luas. Aktivasi mineral biasanya dilakukan dengan larutan asam. Aktivator asam
yang sering digunakan adalah HCl, H2SO4, HNO3 dan HF. Pada mineral
aluminosilikat (misal: zeolit), aktivasi dapat menyebabkan dealuminasi dari
kerangka aluminosilikat, yang akan membentuk SiOH (Breck, 1974). Seperti
halnya mineral aluminosilikat, aktivasi pada kuarsa dapat membentuk situs aktif
karena terputusnya kerangka silikat membentuk SiO-. Kerangka silikat yang
terputus dan membentuk SiO- tersebut kemudian berikatan dengan H+ dari
larutan asam membentuk SiOH. Kation (H+) yang berasal dari SiOH yang
berfungsi sebagai kation penukar.
Penelitian mengenai aktivasi pada alofan dan zeolit telah dilakukan oleh
Prowida (2003) dan Sulistiyono (2003). Aktivator yang digunakan adalah asam
HCl. Hasilnya menunjukkan sifat-sifat kimia fisik yang lebih baik dibandingkan
tanpa aktivasi. Peningkatan tersebut meliputi luas permukaan spesifik dan
keasaman serta pengurangan pengotor organik yang menyebabkan pori-pori
pada zeolit lebih bersih dan terbuka. Penelitian lain yang telah dilakukan
Haryanti (2005), dengan melakukan aktivasi lempung jenis montmorillonite.
Aktivasi dilakukan dengan asam H2SO4 pada montmorillonite sebelum dipilar.
Hasilnya menunjukkan aktivasi dapat meningkatkan sifat kimia fisik
montmorillonite dibandingkan tanpa aktivasi, serta dapat membuka pori dan
menghomogenkan kation pada montmorillonite. Kajian aktivasi pada alofan
telah dilakukan Adeleida (2003) dengan menggunakan HCl dan HF. Hasilnya
menunjukkan aktivasi dengan asam HCl lebih efektif pada konsentrasi tinggi,
sedangkan aktivasi dengan asam HF lebih efektif pada konsentrasi rendah.
Penelitian yang dilakukan Saraswati (2003), dengan menggunakan asam HF
sebagai aktivator zeolit, pada konsentrasi rendah. Hasilnya menunjukkan sifat
kimia fisik yang lebih baik dibandingkan tanpa aktivasi.
Mineral jenis aluminosilikat (misal: zeolit) memiliki situs silikat dan
situs aluminat. Situs aluminat pada permukaan mineral aluminosilikat, lebih
mudah terhidrolisis dalam asam kuat dibandingkan dengan situs silikat (Casey,
et all, 1991). Seperti halnya aluminosilikat, mineral silikat (kuarsa) memiliki
situs silikat yang tidak mudah terhidrolisis dalam asam kuat. Selain itu HF
merupakan asam pengaktif yang cukup kuat dan lebih sesuai untuk kuarsa dari
asam mineral yang lain karena silika lebih reaktif terhadap larutan HF tetapi
relatif tidak reaktif dengan asam pengaktif lain (Cotton, F.A., Wilkinson, G., dan
Gaus, P.L., 1995). Oleh karena itu digunakan asam HF dalam penelitian, sebagai
aktivator kuarsa. Hasil penelitian Adeleide (2003) dan Saraswati (2003) juga
menunjukkan bahwa asam HF dapat digunakan sebagai aktivator mineral pada
konsentrasi rendah. Dalam penelitian digunakan asam HF dengan konsentrasi
1M yang mewakili aktivator pada konsentrasi rendah, sedangkan asam HF
dengan konsentrasi 4M mewakili aktivator pada konsentrasi tinggi.
Kristalinitas material silikat sebagai pengemban, dapat dipengaruhi oleh
pH. Berdasarkan penelitian Baes dan Mesmer (1976) dalam Wahyuni, dkk
(2001) dengan menggunakan material zeolit sebagai pengemban besi oksida
menunjukkan pada daerah pH asam, terjadi penurunan kristalinitas zeolit,
sedangkan pH netral dan basa relatif tidak terjadi penurunan kristalinitas zeolit.
Pada penelitian ini, dengan menggunakan material kuarsa sebagai pengemban
besi oksida, digunakan pH 5 yang mewakili pH asam, sedangkan pH 7 dan 9
mewakili pH netral dan basa. pH yang digunakan bekerja dalam sistem buffer,
agar pH yang digunakan lebih stabil. Pemilihan komposisi buffer untuk pH 5, 7
dan 9 didasarkan pada komposisi buffer tersebut masuk range pH yang
digunakan (Dean, 1992), serta buffer tidak membentuk kompleks logam dengan
ion Fe2+ (Vogel, 1979).
Berdasarkan uraian di atas, kuarsa merupakan salah satu material
pengemban yang dapat digunakan sebagai pengemban logam besi dalam bentuk
besi oksida.
2. Besi oksida
Besi merupakan unsur terbanyak keempat yang terkandung dalam kerak
bumi.
Sifat sifat fisik besi antara lain:
1. Logam berwarna putih keperakan
2. Nomor atom 26 dan termasuk golongan logam transisi (golongan VIII)
dalam SPU.
3. Berat atom 55,847 g/mol.
4. Titik leleh 1536oC dan titik didih + 3000 oC.
5. Densitas 7,874 g/cm3 untuk padatan murni.
Besi dalam larutan dapat berada dalam bentuk ion Fe(II) dan Fe(III)
(Considine dan Considine, 1984).
Garam-garam besi (II) diturunkan dari besi (II) oksida atau FeO. Garam-
garam ini dalam larutan mengandung kation Fe2+ dan berwarna agak hijau. Ion
besi (II) dapat mudah dioksidasikan menjadi besi (III), sehingga merupakan zat
pereduksi kuat. Semakin kurang asam larutan itu, semakin nyata efek tersebut
baik dalam suasana basa, netral atau oksigen dari atmosfer, sehingga akan
mengoksidasikan ion besi (II). Oleh karena itu larutan besi (II) harus sedikit
asam bila akan disimpan atau digunakan dalam jangka waktu lama (Vogel,
1979). Besi (II) akan membentuk endapan besi (II) hidroksida dalam suasana
basa dan reaksinya :
Fe2+ + 2OH-  Fe(OH)2  2Fe(OH)3  Fe2O3 + 3H2O
Endapan Fe(OH)2 membentuk FeO pada suhu rendah , reaksinya :
Fe(OH)2  FeO + H2O
FeO dapat teroksidasi sebagian menjadi Fe3O4 dan oksida tersebut stabil
pada suhu tinggi, reaksinya :
4FeO  Fe3O4 + Fe (Patnaik, 2003)
Garam-garam besi (III) diturunkan dari besi (III) oksida atau Fe2O3.
Garam ini bersifat lebih stabil daripada garam besi (II). Garam tersebut dalam
larutan berwarna kuning muda karena mengandung kation Fe3+.
Besi (III) akan membentuk endapat besi (III) hidroksida dalam suasana
basa, reaksi yang terjadi adalah :
Fe3+ + 3OH-  Fe(OH)3
Fe(OH)3 Fe2O3 + 3H2O
Fe2O3 + 6H+  2Fe3+ + 3H2O (Vogel, 1979)
Mineral oksida besi yang sering ada dalam tanah adalah geotit (-
FeOOH), lepidokrosit (-FeOOH), hematit (-Fe2O3), maghemit (-Fe2O3), dan
ferihidrit (5Fe2O3.9H2O) (Huang dan Schnitzer, 1986).
Reaksi pembentukan besi oksida dari ion logam besi dapat dipengaruhi
beberapa faktor diantaranya pH dan konsentrasi ion logam besi dalam larutan.
Reaksi pembentukan besi oksida dari larutan ion logam Fe 2+ melalui
pembentukan Fe(OH)2. Pembentukan ini hanya dapat berlangsung dalam
suasana basa atau netral. Hal yang membedakan adalah pada suasana basa akan
membentuk endapan Fe(OH)2 yang berwarna hijau kehitaman, sedangkan pada
suasan netral hanya akan membentuk larutan berwarna kehijauan (green rust).
Dalam suasana asam tidak dapat terbentuk Fe(OH)2 karena reaksi pembentukan
besi oksida pada suasana asam hanya mungkin melalui larutan ion logam Fe 3+.
Banyak sedikitnya ion logam besi baik sebagai ion Fe 2+ maupun Fe3+ dalam
larutan yang dapat membentuk besi oksida, tergantung dari besarnya
kemampuan ion logam besi tersebut untuk bereaksi dengan ion OH - dalam
larutan. Semakin pekat konsentrasi, semakin besar kemampuan untuk bereaksi.
Ion besi sebagai Fe2+ dalam reaksi pembentukan besi oksida dapat memberikan
efek yang berbeda dalam suasana asam, netral maupun basa, sehingga pengaruh
pH dapat dikaji dengan lebih jelas. Garam besi (II) sebagai FeCl2, karena
memiliki kestabilan ikatan yang lebih rendah dibandingkan dengan FeSO4,
dengan urutan kekuatan ion yaitu Cl- < SO42-, sehingga ikatan FeCl2 lebih
mudah putus dan reaksi pembentukan besi oksida lebih mudah berlangsung
(Rochelle, Cornell dan Schwertmann, 2003). Konsentrasi ion Fe2+ yang
digunakan dalam penelitian berdasarkan harga Ksp Fe(OH)2 sebesar 4,8x 10-16
(Vogel, 1979), dengan memperhitungkan pada suasana netral belum terjadi
pembentukan endapan besi hidroksida.
Penelitian mengenai pengembanan besi oksida ke dalam material yang
memiliki kerangka aluminosilikat telah banyak dilakukan, diantaranya
pengembanan dalam material zeolit. Spesies besi oksida yang teremban dalam
zeolit tersebut antara lain FeO dan FeOOH (Wahyuni, dkk, 2001) dan Fe 2O3
(Bovin, Carlsson, Karlsson, Oku, Okamoto, Ohnishi dan Terasaki, 1999). Proses
pengembanan besi oksida ke dalam material yang memiliki kerangka
aluminosilikat dan silikat dapat melalui beberapa tahapan dengan metode
pengembanan yang sesuai. Metode yang dapat dilakukan untuk proses
pengembanan, salah satunya adalah pertukaran ion.
Pertukaran ion (ion exchange) adalah proses pertukaran kation-kation
dalam pori kristal pengemban dengan katalis logam dari larutannya. Interaksi
antara pengemban dengan larutan yang mengandung ion logam akan membuat
ion logam tersebut tertarik ke dalam sistem pori (Augustine, 1996). Pertukaran
ion merupakan tahapan awal dalam proses pengembanan. Salah satu reaksi
pertukaran ion yang terjadi pada material jenis zeolit (Z-) adalah sebagai berikut
Na+(Z-) + Fe(OH)+ ↔ Fe(OH)+(Z-) + Na+ (Wahyuni, dkk, 2001)
Pendistribusian logam yang diembankan agar merata dilakukan dengan
tahapan pengeringan, kalsinasi, oksidasi dan reduksi. Pengeringan bertujuan
untuk menghilangkan pelarut yang digunakan pada tahapan deposisi prekursor
(penempelan logam pada permukaan pengemban). Kalsinasi dimaksudkan untuk
membersihkan sampel dari pengotor organik dan air. Sampel yang masih
mengandung air, akan mengakibatkan pertumbuhan kristal pada saat reduksi dan
dapat mengganggu dalam proses pengembanan. Oksidasi bertujuan agar logam
(yang diembankan) akan membentuk oksida yang terdistribusi lebih baik dalam
pengemban, karena pada saat kalsinasi, kemungkinan masih terjadi penumpukan
logam, yang menyebabkan dispersi logam tidak merata. Reduksi dapat
mengubah logam-logam yang telah teremban yang masih berupa senyawa-
senyawa oksida maupun senyawa garamnya menjadi logam murni. (Augustine,
1996).
Karakterisasi besi oksida yang teremban dalam material berpori dapat
ditentukan dengan beberapa metode antara lain dengan menggunakan difraksi
sinar X (XRD) seperti pada gambar 3 dan 4.

Gambar 3. Perbandingan pola difraksi sinar X pada (a) zeolit Na-Y murni
dengan zeolit teremban besi oksida, pada berbagai variasi
konsentrasi NaOH (b) 1M, (c) 2M, (d) 5M, (e) 10M dan (f) 12,5M
(Yee dan Yaacob, 2003)
Gambar 4. Perbandingan pola difraksi sinar X pada zeolit teremban besi
oksida pada konsentrasi NaOH (a) 10M dan (b) 12,5M.

Hasil analisis data XRD tersebut menunjukkan bahwa nanopartikel besi


oksida dapat diembankan pada zeolit. Hal ini diketahui dengan hilangnya
puncak dari zeolit (gambar 3 dan 4). Hilangnya puncak zeolit ini disebabkan
besi oksida yang terbentuk pada pori zeolit, mendesak kerangka aluminosilikat
pada zeolit. Puncak baru yang muncul (gambar 4) terkarakterisasi sebagai besi
oksida, yang teremban pada zeolit (Yee dan Yaacob, 2003).

B. Kerangka Pemikiran
Kuarsa merupakan material berpori yang memiliki struktur kerangka tiga
dimensi berbentuk tetrahedral silikat. Pengembanan pada kuarsa dilakukan
dengan terlebih dahulu melakukan aktivasi untuk membentuk situs aktif pada
kuarsa. Aktivasi dilakukan pada suasana asam menggunakan HF. Adanya
aktivasi akan memutus kerangka silikat pada kuarsa, sehingga terbentuk SiO -.
SiO- kemudian berikatan dengan H+ dari larutan asam membentuk SiOH.
Semakin banyak SiOH yang terbentuk maka keasaman akan semakin
meningkat. Kation (H+) yang berasal dari SiOH dipertukarkan dengan ion Fe2+,
sehingga ion Fe2+ dapat teremban pada kuarsa. Ion Fe2+ yang teremban pada
kuarsa diharapkan membentuk besi oksida.
Proses pengembanan besi oksida dalam kuarsa dapat dipengaruhi
beberapa faktor, diantaranya pH dan konsentrasi ion Fe 2+ yang diembankan.
Pada pH asam diperkirakan dapat menurunkan kristalinitas material pengemban,
sedangkan pH netral dan basa relatif tidak terjadi penurunan kristalinitas
material pengemban. Pada pH asam, kecil kemungkinan terjadi pembentukan
besi oksida karena dalam suasana asam, pembentukan besi oksida hanya berasal
dari ion Fe3+. Pada pH netral, Fe(OH)2 yang membentuk besi oksida
diperkirakan lebih banyak di pori, jika terjadi pertukaran antara ion Fe2+ dan
kation (H+) dari situs aktif pada kuarsa. Pada pH basa, Fe(OH) 2 yang terbentuk
berupa endapan, sehingga besi oksida yang terbentuk diperkirakan lebih banyak
di permukaan kuarsa. Pengaruh ion Fe2+ yang diembankan tergantung dari
interaksi antara ion Fe2+ dengan kation (H+) dari situs aktif pada kuarsa.
Semakin banyak ion-ion yang saling berinteraksi maka semakin besar
kemungkinan terjadi pertukaran ion yang berarti proses pengembanan dapat
berlangsung dan dapat terjadi pembentukan besi oksida pada kuarsa.

C. Hipotesis
1) Situs aktif dapat terbentuk pada kuarsa setelah aktivasi.
2) Besi oksida dapat diembankan pada kuarsa.
3) Proses pengembanan besi oksida pada kuarsa dipengaruhi faktor pH dan
konsentrasi ion Fe 2+ yang diembankan.

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

A. Metode Penelitian
Metode penelitian yang dilakukan adalah metode eksperimental di
laboratorium. Penelitian ini meliputi tiga tahap. Tahap pertama yaitu preparasi
dan karakterisasi sampel awal. Tahapan ini mengacu pada penelitian Borg dan
Steen (2001) untuk preparasinya, sedangkan karakterisasinya mengacu pada
Smyth (1998). Tahap kedua yaitu aktivasi kuarsa beserta karakterisasi. Tahapan
ini mengacu pada penelitian Wijaya (2004) untuk preparasinya, sedangkan
karakterisasinya mengacu pada Yee dan Yaacob (2003). Tahap ketiga yaitu
pengembanan besi oksida pada kuarsa beserta karakterisasi. Tahapan ini
mengacu pada penelitian Wahyuni, dkk (2001) untuk preparasinya dengan
beberapa modifikasi. Modifikasi tersebut antara lain : pemilihan variasi pH
berdasar pada Baes dan Mesmer (1976) dalam Wahyuni, dkk (2001), pembuatan
buffer berdasar pada Dean (1992), pemilihan ion Fe2+ sebagai FeCl2.4H2O
berdasar pada Yee dan Yaacob (2003), variasi konsentrasi ion Fe 2+ berdasarkan
harga Ksp Fe(OH)2 dari Vogel (1979) dan pemanasan pada suhu 200oC berdasar
pada Patnaik (2003). Karakterisasi untuk tahap ketiga juga mengacu pada Yee
dan Yaacob (2003).

B. Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilakukan di sub laboratorium Kimia dan Fisika, UPT
Pusat MIPA Kimia Universitas Sebelas Maret mulai bulan Desember 2005
sampai Agustus 2006.

C. Alat dan Bahan


1. Alat
Preparasi bahan :
a) Lumpang dan mortar porselen
b) Pengayak
c) Furnace Thermolyne 48000
d) Desikator
e) Krus dan tang krus
f) pH meter 430 Corning
g) Neraca Analitis Sartorius AND GF-300 (max: 310 g; min: 0,02 g; e:
0,01 g; d: 0,001 g)
h) Magnetic Stirrer Cole Parner Model 4658
i) Gas N2 dan Regulator Lab Dasar Kimia F MIPA UNS
j) Seperangkat alat gelas dan plastik

2. Karakterisasi
a) Difraktometer Sinar-X Philips Model MMCR Shimadzu

3. Bahan

a) Sampel kuarsa dari Bangka


b) HF 40% p.a Merck
c) FeCl2.4H2O p.a Merck
d) HCl 37% p.a Merck
e) AgNO3 p.a Merck
f)Kertas whatmann 42
g) BaCl2 p.a Merck
h) Air bebas ion Pasca Sarjana UGM
i) Akuades
j) NH3 25% p.a Riedel-de Haen
k) CH3COONa anhidrat p.a Merck
l) CH3COOH glasial 100% p.a Merck
m) KH2PO4 p.a Merck
n) Na2B4O7.10H2O p.a Merck

D. Cara Kerja
1. Preparasi dan karakterisasi sampel kuarsa awal
a) Preparasi
Sampel kuarsa yang digunakan adalah sampel yang telah
mengalami preparasi awal. Preparasi ini meliputi pengayakan sampel
dengan ayakan 200 mesh. Sampel selanjutnya diberi notasi Kawal.
b) Karakterisasi
Sampel kuarsa yang lolos ayakan 200 mesh kemudian
dikarakterisasi menggunakan XRD. Karakterisasi dilakukan dengan
metode bubuk yang diradiasi oleh CuK.
Prosedurnya adalah sebagai berikut : sampel awal sebanyak 1 gram
dimasukkan ke dalam tempat sampel, kemudian dibuat difraktogramnya
pada sudut 2 = 3-90o, radiasi : Cu (1,54060 Å), tegangan: 40 kV, arus :
30 mA dan waktu tiap pengukuran : 0,200 s.

2. Aktivasi kuarsa
a) Aktivasi menggunakan asam HF beserta optimasi
Kuarsa sebanyak 20 g ditambahkan ke dalam 100 ml HF dengan
konsentrasi 1 M sambil diaduk menggunakan pengaduk magnet selama
15 menit. Kuarsa disaring dengan kertas saring whatmann 42 dan dicuci
dengan akuades sampai terbebas ion F- (uji negatif terhadap BaCl2).
Kuarsa selanjutnya dikeringkan pada suhu 105° C selama 3 jam dan
didinginkan dalam desikator. Kuarsa kering teraktivasi asam digerus dan
diayak. Kuarsa tersebut selanjutnya diberi notasi K1M-15menit. Cara yang
sama dilakukan untuk HF dengan konsentrasi 1 M dan variasi waktu
yang lain yaitu 30 menit, 60 menit, 90 menit dan 1440 menit (24 jam),
sedangkan untuk HF dengan konsentrasi 4 M, variasi waktu 15 menit, 30
menit, 60 menit, 90 menit dan 1440 menit (24 jam).
b) Karakterisasi
Karakterisasi mineral kuarsa teraktivasi asam menggunakan XRD,
sedangkan keasaman menggunakan gravimetri.
Prosedur penentuan keasaman dengan gravimetri adalah sebagai
berikut : krus kosong ditimbang dan krus tersebut diisi 0,1 g sampel
kuarsa kemudian ditimbang lagi. Krus berisi sampel dipanaskan pada
suhu 120°C selama 2 jam dan ditimbang lagi. Setelah itu dimasukkan
dalam desikator yang ditengah-tengahnya diletakkan piringan kecil
berisi amonia kemudian desikator ditutup rapat selama semalam. Tutup
desikator dibuka dan dibiarkan selama 2 jam agar uap amonia yang tidak
terserap menguap di udara terbuka. Setelah itu ditimbang dan akan
diperoleh berat basa yang teradsorp pada permukaan kuarsa.

3. Pengembanan besi oksida pada kuarsa


a) Preparasi larutan ion besi Fe2+ dan buffer pH
1) Ion Fe2+ yang digunakan berasal dari FeCl2.4H2O dengan konsentrasi
0,2 M.
2) Buffer pH yang digunakan yaitu untuk pH 5 menggunakan campuran
komposisi CH3COOH dan CH3COONa, sedangkan pH 7 dan 9
menggunakan campuran komposisi KH2PO4 dan Na2B4O7.10H2O.
b) Pengembanan besi oksida beserta faktor yang mempengaruhi
1) Pengembanan Fe2+ dengan konsentrasi 0 M
Kuarsa teraktivasi asam kondisi optimum sebanyak 5 gram
ditambahkan ke dalam 50 ml FeCl2.4H2O 0 M pH 5 tersebut sambil
diaduk dengan pengaduk magnet dan dialiri gas N2 selama 45 menit.
Campuran disaring dengan kertas saring whatmann 42. Campuran
tersebut dikeringkan pada suhu 120°C selama 1 jam, dilanjutkan
pemanasan pada suhu 200°C selama 1 jam. Setelah itu campuran
didinginkan dalam desikator kemudian digerus dan diayak,
kemudian diberi notasi K5-0M. Cara yang sama dilakukan untuk pH 7
dan 9.
2) Pengembanan Fe2+dengan konsentrasi 0,001M, 0,005 M dan 0,01 M
Kuarsa teraktivasi asam kondisi optimum sebanyak 5 gram
ditambahkan ke dalam 50 ml FeCl2.4H2O 0,001 M pH 5 tersebut
sambil diaduk dengan pengaduk magnet dan dialiri gas N2 selama 45
menit. Campuran disaring dengan kertas saring whatmann 42 dan
dicuci dengan air bebas ion sampai terbebas dari klorida (uji negatif
terhadap AgNO3). Campuran tersebut dikeringkan pada suhu 120°C
selama 1 jam, dilanjutkan pemanasan pada suhu 200°C selama 1
jam. Setelah itu campuran didinginkan dalam desikator kemudian
digerus dan diayak, kemudian diberi notasi K5-0,001M. Cara yang sama
dilakukan untuk pH 5 dengan variasi konsentrasi yang lain yaitu
0,005 M dan 0,01 M, sedangkan untuk pH 7 dan 9 variasi kosentrasi
yang digunakan adalah 0,001 M, 0,005 M dan 0,01 M.
c) Karakterisasi
Karakterisasi mineral kuarsa teremban besi oksida menggunakan
XRD.

E. Teknik Pengumpulan Data


Komposisi mineral penyusun sampel awal dilakukan dengan XRD. Cara
yang sama digunakan untuk kuarsa teraktivasi asam HF dan teremban besi
oksida. Keasaman kuarsa teraktivasi asam HF dilakukan dengan gravimetri.
Penentuan keadaan optimum aktivasi dilakukan dengan memvariasi
konsentrasi asam HF dan waktu kontak. Pengaruh faktor pH dan konsentrasi ion
Fe2+ terhadap proses pengembanan besi oksida pada kuarsa dilakukan dengan
memvariasi pH dan konsentrasi ion Fe2+ sebagai FeCl2.4H2O.

F. Teknik Analisis Data


Teknik analisis data yang digunakan secara kualitatif dan kuantitatif
menggunakan XRD untuk kuarsa awal. Analisis kualitatif dengan
mengidentifikasi jenis mineral pada kuarsa dengan cara membandingkan data
difraktogram sampel dengan JCPDS standard (lampiran 2). Analisis kuantitatif
dengan menghitung kandungan mineral pada kuarsa hasil identifikasi. Cara
yang sama dilakukan pada kuarsa teraktivasi asam HF dan teremban besi oksida.
Pengaruh aktivator (asam HF) diketahui dari analisis kuantitatif data
XRD. Caranya dengan membandingkan kandungan kuarsa total, pengotor dan
besi oksida untuk variasi waktu pada setiap konsentrasi HF. Keasaman
digunakan untuk mengetahui terjadinya peningkatan keasaman kuarsa karena
pengaruh aktivasi dan mengetahui kondisi optimum aktivasi dapat dicapai.
Keasaman dapat diperoleh melalui perhitungan sebagai berikut :
Rumus: Ka = (A-B)x 1000 mmol/gram sampel
BM NH3 x 0,1 gram sampel
Keterangan : Ka : keasaman permukaan kuarsa (mmol/gram sampel)
A : berat krus kosong + sampel setelah adsorpsi
B : berat krus kosong + sampel semula
Analisis dilakukan dengan membandingkan harga keasaman total dari
kuarsa awal sampai kuarsa teraktivasi asam HF. Analisis kualitatif data XRD
kuarsa teraktivasi asam HF digunakan untuk mengetahui terjadinya penurunan
kristalinitas kuarsa karena adanya aktivasi dengan asam.
Pengaruh pH dan konsentrasi ion Fe2+ terhadap pengembanan besi oksida
pada kuarsa diperoleh dari hasil analisis dengan menggunakan XRD. Analisis
kuantitatif meliputi : kandungan kuarsa total setelah teremban dan mineral besi
oksida total digunakan untuk mengetahui seberapa besar kerusakan struktur
kristal akibat adanya pengaruh pH dan konsentrasi ion Fe 2+ serta kandungan
mineral besi oksida yang teremban pada kuarsa, serta dapat digunakan juga
untuk mengetahui besi oksida yang kemungkinan terbentuk dapat menurunkan
kristalinitas kuarsa seiring dengan naiknya kosentrasi ion Fe2+ yang
diembankan. Analisis kualitatif digunakan untuk mengindikasikan kemungkinan
terbentuknya puncak baru yang diperkirakan sebagai besi oksida juga jenis besi
oksida yang teremban.

DAFTAR PUSTAKA

Augustine, R.L. 1996. Heterogenous Catalyst for The Synthetic Chemist.


Marcel-Dekker Inc. New York

Adeleide, Maya. 2004. Kajian Aktivasi Alofan oleh Asam Klorida (HCl) dan
Asam Florida (HF) serta Kemampuan Alofan untuk Mensorpsi Ion
Logam Cd dalam Limbah Pabrik Cat. Skripsi S-1. Jurusan Kimia.
FMIPA UNS. Surakarta.

Borg, G.C. dan Bengt Steen. 2001. Availability of Metals in The Earth’s Crust-
Leaching Tests on Silicate Minerals. Chalmers University of Technology.
Sweden.

Bovin, J.O., et all. 1999. “The Structure of an Iron Oxide Cluster Incorporated
into Zeolite Y, Determined by HRTEM and SAED”. The European
Physical Journal. D.9. 623-626.

Breck, D.W. 1974. Zeolite Molecular Sieves: Structure, Chemistry and Use.
John Willey and Sons. New York.
Casey, W.H., et all. 1991. “Dissolution Rates of Plagioclase at pH 2 and 3”.
American Mineralogist. V.76. 211-217.

Cherepy, N.J., et all. 1998. “Ultrafast Studies of Photoexcited Electron


Dynamics in γ- and α-Fe2O3 Semiconductor Nanoparticles”. Chemistry
Physical Journal. B.102. 770-776.

Considine, G. dan Considine. 1984. Encyclopedia of Chemistry. 4th edition. Van


Nostrand. Reinhold Company. USA.

Cotton, et all. 1995. Basic Inorganic Chemistry. 3th edition. John Wiley & Sons.
Inc. New York.

Dean, J.A. 1992. Lange’s Handbook of Chemistry. 14th edition. Mc Graw-Hill.


USA.

Haryanti, Yunita. 2005. Studi Ketahanan Termal Lempung Teraktivasi H2SO4


dan Terpilar TiO2. Skripsi S-1. Jurusan Kimia. FMIPA UNS. Surakarta.

Huang,P and Schnitzer. 1986. Interaksi Mineral Tanah dengan Organik Alami
dan Mikroba. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.

Mann, Jeremiah. 2002. Investigating the Band Gap and Flat Band Potential of
Fe2O3 Doped with Ti, Ta, Sn and Zn. University of California at Santa
Cruz. Colorado. USA.

Patnaik, Pradyot, Ph.D. 2003. Handbook of Inorganic Chemicals. Mc Graw-Hill


Handbooks Company. USA.

Prowida, Dini. 2003. Karakterisasi Alofan Alam yang Diaktivasi dengan HCl
sebagai Adsorben Limbah Logam Berat Seng (Zn). Skripsi S-1. Jurusan
Kimia. FMIPA UNS. Surakarta.

Rochelle, M., et all. 2003. The Iron Oxides : Structures, Properties, Reactions,
Occurences and Uses. Willey-VCH.

Saraswati, T.E. 2003. Efektivitas Zeolit-TiO2 sebagai Fotokatalis dalam Reaksi


Fotodegradasi Larutan Zat Warna Metilen Biru. Skripsi S-1. Jurusan
Kimia. FMIPA UNS. Surakarta.

Satterfield, C.N. 1980. Heterogenous Catalyst in Practise. Mc Graw-Hill Book


Company. New York.

Skoog, et all. 1998. Principles Of Instrumental Analysis. 5th edition. Thomson


Learning. Inc. USA.
Smyth, J.R. 1998. “Quartz : Adopt a Mineral Project”. Example Paper.

Sulistiyono. 2003. Karakterisasi Zeolit Alam Asal Ponorogo dan Zeolit Alam
Asal Wonosari yang Diaktivasi dengan Perlakuan Asam untuk Menyerap
Limbah Logam Berat Seng (Zn). Skripsi S-1. Jurusan Kima. FMIPA
UNS. Surakarta.

Vogel. 1979. Buku Teks Analisis Anorganik Kualitatif Makro dan Semimikro.
Edisi ke-5. Loggman Group Limited. London. Direvisi : G.Svehla.

Wahyuni, T.E., dkk. 2001. Sintesis Novel Oksida Besi di dalam Struktur Zeolit.
Seminar Nasional Kimia IX: Kimia Anorganik dalam Pemanfaatan
Sumber Daya Alam Indonesia. Yogyakarta.

West, A.R.1984. Solid State Chemistry and It's Applications. John Willey and
Sons. New York.

Wijaya, Karna, dkk. 2004. “Sintesis Komposit Oksida-Besi Montmorilonit dan


Uji Stabilitas Strukturnya Terhadap Asam Sulfat”. Indonesian Journal of
Chemistry. V. 4(1). 33-42.

Yee, M. dan Iskandar I. Yaacob. 2003. Synthesis and Characterization of Iron


Oxide Nanostructured Particles in Na-Y Zeolite Matrix. Department of
Mechanical Engineering. Faculty of Engineering. University of Malaya.
Kuala Lumpur. Malaysia.

http://capsicum.me.utexas.edu (Diakses oleh Ike pada : 02/10/2006)


http://www.tamu-commerce.edu (Diakses oleh Ike pada : 06/09/2006)
www.tekmira.esdm.go.id (Diakses oleh Ike pada : 19/11/2006)

Anda mungkin juga menyukai