Anda di halaman 1dari 11

Nama : TANJUNG RUDY GUNAWAN S.H.,M.

H
NPM : 16011865057
Kuliah : Budaya Politik dan Politik Indonesia
Jurusan : Ilmu Politik Pascasarjana

PEMIKIRAN HATTA TENTANG DEMOKRASI

A. Pendahuluan
Jika ada pemimpin Indonesia yang hampir sempurna dalam karakter dan
integritas pribadi, maka Mohammad Hatta (Hatta) adalah salah satu yang paling
menonjol. Wawasan intelektualnya sangat jauh ke depan, sementara moral politiknya
yang prima dan anggun banyak diakui kawan dan lawan. Dalam suasana sengketa politik
dengan Bung Karno, komunikasi persaudaraan antara keduanya tidak pernah putus,
walaupun watak keras Hatta dalam politik tersebut sempat mengecewakan generasi muda
karena kegagalannya dalam membujuk Hata agar jangan meninggalkan kursi wakil
presiden.1
Jaman pendudukan Jepang (tahun 1942-1945) bagi Mohammad Hatta, merupakan
sebuah ujian besar, yang hanya dapat diatasinya karena keteguhan iman dan
optimismenya akan tercapainya cita-cita Indonesia merdeka. Dalam pada itu beliau
mempunyai keyakinan bahwa Perang Pasifik akan membawa perubahan bagi bangsa
Indonesia. Hatta tidak percaya bahwa Jepang akan menang dengan Amerika/Sekutu yang
mempunyai productie-potential begitu hebat. Tetapi berhubung dengan keuntungan
permulaan yang diperoleh Jepang, perang tidak akan bisa selesai dalam tiga tahun. Masa
perang itu bagi Hatta harus dipergunakan untuk mempersiapkan tenaga perjuangan
rakyat, yang nantinya sanggup memikul kemerdekaan apabila Jepang sudah kalah.2 Kalau
tidak bisa dielakkan maka kerjasama dengan pemerintah militer Jepang itu, menurut
pertimbangan Hatta, bisa berarti untuk meringankan banyak sedikitnya penderitan yang
ditimpakan pemerintah militer Jepang kepada bangsa Indonesia. Selama pendudukan

1
Ahmad Syafii Maarif, Nasionalisme, Demokrasi, dan Keadilan Sosial. Yogyakarta:
Perpustakaan Yayasan hatta, 1999, h.1.
2
Mohammad Hatta, Portrait of a Patriot. Alih bahasa Deliar Noer, The Hauge Paris: Mouton
Publisher, 1972. Lihat pula Hatta, Kumpulan Karangan Jilid I. Jakarta: Bulan Bintang, 1953, h.19.

1
Jepang, Hatta jarang berbicara di depan umum, kalaupun berbicara lebih sering sekedar
memberikan obat pelipur lara dalam jiwa rakyat yang sedang tertekan.
Ketika Jepang menyerah pada bulan Agustus 1945, maka meletuslah amarah orang-
orang Indonesia terhadap Jepang, dan timbulah dorongan aktif untuk merebut kekuasaan
dari Jepang. Pandangan Hata yang jauh ke depan mengatakan pendiriannya bahwa Jepang
yang kalah tidak menjadi soal lagi. Soal yang paling penting adalah menghadapi tentara
Sekutu yang akan mengembalikan kekuasaan Pemerintah Belanda di Indonesia. Oleh
sebab itulah Hatta menyusun siasat antara perang dan damai untuk mencapai pengakuan
Indonesia merdeka. Kemudian Hatta memilih damai. Akan tetapi seperti seringkali
diucapkannya “kita cinta perdamaian, akan tetapi lebih cinta kepada kemerdekaan.3
Kemerdekaan Indonesia diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 oleh
Sukarno dan Mohammad Hatta, di Jalan Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta.4 Semenjak
itu Hatta berperan aktif memimpin negara RI sebagai wakil presiden., dan dalam keadaan
yang sangat sulit Hatta harus merangkap sebagai Perdana Menteri tahun 1948-1949.
Politik yang diperjuangkannya akhirnya mencapai tujuan dengan diakuinya
Indonesia sebagai negara berdaulat yang terdiri atas bekas wilayah kekuasaan Hindia
Belanda pada Konferensi Meja Bundar tahun 1950. Pada waktu Republik Indonesia
Serikat berdiri, Hatta yang menjadi Perdana Menteri pertama dan terakhir. Setelah Negara
Kesatuan Republik Indonesia terbentuk sesuai amanat proklamasi, Hatta terpilih sebagai
wakil presiden oleh parlemen.5 Beranjak dari kenyataan di atas, makalah ini bertujuan
menganalisis pemikiran Hatta tentang Demokrasi dan Kebangsaan.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan atas jasa-jasanya terhadap bangasa Indonesia, Mohammad Hatta
termasuk pemikir Indonesia yang mempunyai pendapat bahwa perkembangan suatu
masyarakat memerlukan perencanaan yang rasional. Mohammad Hatta memilih cara
yang bertahap namun nyata. Hal ini tercermin jauh sebelum Indonesia merdeka.
Pemikiran Mohammad Hatta tentang demokrasi berwatak sosialis, didasari pada
sifatnya yang kritis tetapi rasional terhadap demokrasi barat. Sebelumnya Mohammad

3
Ibid, h.18.
4
A.H. Nasution, Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia Jilid I. Bandung: Disjarah Angkatan
darat dan Angkasa, 1977, h.208.
5
Hatta, op.cit., h.20.

2
Hatta berpendapat bahwa demokrasinya berbeda dengan demokrasi barat. Berbeda
dengan sudut pandang Syahrir yang secara menyeluruh menerima demokrasi barat atau
Soekarno yang secara tegas menolak adanya demokrasi barat. Menurut Mohammad Hatta
demokrasi sebenarnya memiliki tujuan yang mulia, yaitu kemerdekaan, persamaan, dan
persaudaraan seperti yang terdapat dalam semboyan Revolusi Prancis 1789.6
Setelah mengenl sosok Hatta dalam sepak terjangnya maka, dari sini penulis akan
membahas tentang pemikiran bung Hatta. Bung Hatta terkenal atau dikenal dengan
pemikiran akan demokrasinya. Untuk itu maka, penulis akan membahasnya sebagai
fokusan masalah pada makalah ini. adapun yang menjadi pertanyaan dalam makalah ini:
1. Bagaimana pemikiran Bung Hatta tentang Demokrasi ?

C. Landasan Teori
1. Demokrasi
Pengertian demokrasi secara etimologi adalah demokrasi terdiri dari dua kata
Yunani, yaitu demos, yang berarti rakyat atau penduduk suatu tempat, dan cratein atau
cratos, yang berarti kekuasaan atau kedaulatan. Gabungan dua kata demos-cratein atau
demos-cratos (demokrasi)7 memiliki arti suatu sistem pemerintahan dari, oleh, dan untuk

rakyat48. Demokrasi pada dasarnya suatu model pemerintahan yang melibatkan rakyat

dalam menjalankan dan mengawasi pemerintahan.


Sedangkan pengertian secara terminologi (istilah) demokrasi adalah, pemerintahan
di tangan rakyat yang mengandung pengertian tiga hal: pemerintahan dari rakyat
(government of the people), pemerintahan oleh rakyat (government by the people), dan
pemerintahan untuk rakyat (government for the people)8. Oleh karenanya beberapa pakar
mengungkapkan arti istilah demokrasi sebagai berikut:9
a. Joseph A. Schmeter, mengungkapkan bahwa demokrasi merupakan suatu
perencanaan institusional untuk mencapai keputusan politik dimana individu-

6
Hatta, M. 1976. Kumpulan Karangan Jilid I. Jakarta: Bulan Bintang. h.11.
7
Masykuri Abdillah, Demokrasi di Persimpangan Makna; Respon Intelektual Muslim Indonesia
terhadap Konsep Demokrasi 1966-1930 , Tiara Wacana, Yogyakarta, 1999, h. 7
8
A. Ubaedillah dan Abdul Rozak, Pendidikan Kewargaan (Civic Education) Demokrasi, Hak
Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani, Edisi Ketiga, ICCE UIN syarif Hidyatullah, Jakarta, 2008,
Hlm. 36
9
Ibid

3
individu memperoleh kekuasaan untuk memutuskan cara perjuangan kompetitif
atas suara rakyat;
b. Sidnet Hook, berpendapat bahwa demokrasi adalah, bentuk pemerintahan
dimana keputusan-keputusan pemerintah yang penting secara langsung atau
tidak langsung didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang diberikan secara
bebas dari rakyat dewasa;
c. Philippe C. Schmitter dan Terry Lynn Karl menyatakan bahwa deokrasi
langsung adalah, suatu siste pemerintahan dimana pemerintah dimintai tanggung
jawab atas tindakan-tindakan mereka diwilayah publik oleh warga negara, yang
bertindak secara tidak langsung melalui kompetisi dan kerjasama dengan para
wakil mereka yang terpilih;
d. Sedangkan Henry B. Mayo menyatakan bahwa demokrasi sebagai sistem politik
merupakan suatu sistem yang menunjukan bahwa kebijakan umum ditentukan
atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat
dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan
politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik.
Berdasakan uraian secara etimologis dan terminologis demokrasi diatas dapat
disimpulkan definisi demokrasi adalah negara dimana dalam sistem pemerintahanya
kedaulatan berada ditangan rakyat, kekuasaan tertinggi dalam keputusan bersama rakyat,
rakyat berkuasa, pemerintahan rakyat, kekuasaan untuk rakyat, dan untuk rakyat. Artinya,
kekuasaan itu pada pokoknya diakui berasal dari rakyat, dan karena itu rakyatlah yang
sebenarnya menentukan dan memberikan arah serta yang sesungguhnya
menyelenggarakan kehidupan kenegaraan.
Keseluruhan sistem penyelenggaraan negara itu pada dasarnya juga diperuntukan
bagi seluruh rakyat itu sendiri. Bahkan negara yang baik diidealkan pula agar
diselenggarakan bersama-sama dengan rakyat dalam arti dengan melibatkan masyarakat
dalam arti yang seluas-luasnya. Keempat ciri itulah yang tercakup dalam pengertian
demokrasi, yaitu bahwa kekuasaan tertinggi ada ditangan rakyat, diselenggarakan oleh
rakyat dan untuk rakyat sendiri, serta dengan terus membuka diri dengan melibatkan
seluas mungkin peran rakyat dalam penyelenggaraan negara.10 Secara garis besar bahwa

10
Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara & Pilar-pilar Demokrasi, Sinar Grafika,
Jakarta Timur, Hlm. 241-242

4
demokrasi adalah pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat, namun hanya dari
pengertian saja demokrasi tidak dapat dipahami secara komprehensif.
1.2 Konsepsi Demokrasi
Konsepsi demokrasi selalu menempatkan rakyat pada posisi yang sangat strategis
dalam sistem ketatanegaraan, walaupun pada tataran implementasinya terjadi perbedaan
antara negara yang satu dengan negara yang lain. Karena berbagai varian implementasi
demokrasi tersebut, maka di dalam literatur kenegaraan dikenal beberapa istilah
demokrasi yaitu demokrasi konstitusional, demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin,
demokrasi Pancasila, demokrasi Islam, demokrasi rakyat, demokrasi soviet, demokrasi
nasional, dan lain sebagainya11. Semua konsep ini memakai istilah demokrasi, yang
menurut asal kata “rakyat berkuasa” atau government or rule by the people (kata Yunani
demos berarti rakyat, kratos/kratein berarti kekuasaan/berkuasa)12.
Hal ini berarti dapat dipahami secara seksama bahwa pada tingkat terakhir rakyat
memberikan ketentuan dalam masalah-masalah pokok mengenai kehidupan mereka,
termasuk dalam menilai kebijaksanaan negara yang turut menentukan kehidupan mereka
tersebut. Oleh karena itu, demokrasi sebagai suatu gagasan politik di dalamnya
terkandung 5 (lima) kriteria, yaitu:
1. Persamaan hak pilih dalam menentukan keputusan kolektif yang mengikat;
2. Partisipasi efektif, yaitu kesempatan yang sama bagi semua warga negara
dalam proses pembuatan keputusan secara kolektif,
3. Pembeberan kebenaran, yaitu adanya peluang yang sama bagi setiap orang
untuk memberikan penilaian terhadap jalannya proses politik dan pemerintahan
secara logis,
4. Kontrol terakhir terhadap agenda, yaitu adanya keputusan eksklusif bagi
masyarakat untuk menentukan agenda mana yang harus dan tidak harus
diputuskan melalui proses pemerintahan, termasuk mendelegasikan kekuasaan
itu pada orang lain atau lembaga yang mewakili masyarakat,

11
Moh. Koesnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, Cetakan ke-2, Gaya Media
Pratama, Jakarta, 1988, h.167-191
12
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Cetakan ke-7, Gramedia, Jakarta,
1996. h.50

5
5. Pencakupan, yaitu terliputnya masyarakat mencakup semua orang dewasa
dalam kaitannya dengan hukum13.
Berlainan dengan itu kriteria demokrasi secara komprehensif dikemukakan oleh
Gwendolen M. Carter, John H. Herz, dan Henry B. Mayo, Carter dan Herz
mengkoseptualisasikan demokrasi sebagai pemerintahan yang dicirikan oleh dan
dijalankanya melalui prinsip-prinsip:14
1. Pembatasan terhadap tindakan pemerintah untuk memberikan perlindungan bagi
individu dan kelompok dengan jalan menyusun pergantian pimpinan secara
berkala, tertib dan damai, dan melalui alat-alat perwakilan rakyat yang efektif;
2. Adanya sikap toleransi terhadap pendapat yang berlawanan
3. Persamaan di depan hukum yang diwujudkan dengan sikap tunduk kepada rule
of law tanpa membedakan kedudukan politik
4. Adanya pemilihan yang bebas dengan disertai adanya model perwakilan yang
efektif
5. Diberinya kebebasan partisipasi dan beroposisi bagi partai politik, organisasi
kemasyarakatan, masyarakat dan perseorangan serta prasarana pendapat umum
semacam pers dan media massa
6. Adanya penghormatan terhadap hak rakyat untuk menyatakan pandangannya
betapa pun tampak salah dan tidak populernya pandangan itu
7. Dikembangkannya sikap menghargai hak-hak minoritas dan perorangan dengan
lebih mengutamakan penggunaan cara-cara persuasif dan diskusi daripada
koersif dan represif.
Itulah pijakan mekanisme kekuasaan dalam konsepsi demokrasi, yang
mendasarkan pada persamaan hak antar sesama warga negara yang dimana konsepsi
demokrasi adalah sebagai alat untuk mencapai tujuan bersama rakyat yakni,
kesejahteraan dan ketertiban umum. Mengutip teori Jean Jaques Rousseau, demokrasi
adalah sebuah tahapan atau sebuah proses yang harus dilalui sebuah negara untuk
mendapatkan kesejahteraan.15

13
Muntoha, Demokrasi dan Negara Hukum, Jurnal Hukum, No. 3, Vol. 16 , Juli 2009, h.381
14
Ibid
15
HM. Thalhah, Teori Demokrasi dalam Wacana Ketatanegaraan Perspektif Pemikiran Hans
Kelsen, Bojonegoro, Jawa Timur, Jurnal Hukum, No. 3 Vol. 16 Juli 2009, h. 414-415

6
D. Pembahasan
1. Pandangan Hatta Tentang Demokrasi
Cita-cita tentang keadilan sosial adalah sari pati dari nilai-nilai timur dan barat
yang mengkristal dan membentuk visi Hatta mengenai masalah-masalah politik
kenegaraan. Hatta sangat percaya bahwa demokrasi adalah hari depan sistem politik
Indonesia. Kepercayaan yang mendalam kepada prinsip demokrasi inilah yang pernah
menempatkan Hatta pada posisi yang berseberangan dengan Bung Karno ketika masa
Demokrasi Terpimpin (1959-1966). Hatta menilai sistem ini sebagai sistem
otoriterian yang menindas demokrasi. Sekalipun pendapatnya berbenturan dengan
Bung Karno, Hatta tetap saja memberikan fair chance kepada presiden untuk
membuktikan dalam realitas.
Sekalipun tertindas, di mata Hatta demokrasi tidak akan pernah lenyap dari bumi
Indonesia.16 Menurut Hatta ada tiga sumber pokok demokrasi yang mengakar di
Indonesia. Pertama, sosialisme Barat yang membela prinsip-prinsip humanisme,
sementara prinsi-prinsip ini dinilai juga sekaligus sebagai sebagai tujuan. Kedua, ajaran
Islam memerintahkan kebenaran dan keadilan Tuhan dalam masyarakat. Ketiga, pola
hidup dalam bentuk kolektivisme sebagaimana terdapat di desa-desa wilayah Indonesia.
Ketiga sumber inilah yang akan menjamin kelestarian demokrasi di Indonesia.17 Baginya,
suatu kombinasi organik antara tiga sumber kekuatan yang bercorak sosio religius inilah
yang memberi keyakinan kepada Hatta bahwa demokrasi telah lama berakar di Indonesia
tidak terkecuali di desa-desa. Bila di desa yang menjadi tempat tinggal sekitar 70% rakyat
Indonesia masih mampu bertahan, maka siapakah yang meragukan hari depan demokrasi
di Indonesia.18
Tetapi memang sia-sia, sistem feodal sering mengganjal perkembangan
demokrasi di Indonesia pada berbagai periode sejarah Indonesia modern. Periode
demokrasi terpimpin dan periode demokrasi Pancasila (Orde Baru) sama-sama ditandai
oleh berlakunya sistem politik otoriterian dengan topangan subkultur neofeodalisme.
Hatta sangat prihatin melihat perkembangan politik yang tidak sehat, tetapi regim
menciptakan kedua sistem tersebut tidak mau ‘mendengar’ nasehat Hatta. Akhirnya
mereka hancur lewat cara yang destruktif. Sebelum wafat (14 Maret 1980), Hatta

16
Moh. Hatta, Kumpulan Pidato II. Jakarta: Idayu Press, 1983, h.106
17
A. Syafii Maarif, 1999, op.cit, h.2.
18
Moh. Hatta, 1983, op.cit, h.13.

7
tampaknya sangat kecewa melihat perkembangan politik yang semakin lepas kendali.
Dalam kesempatan lain Bung Hatta mengatakan telah lama makan hati melihat keadaan
yang menjauhkan bangsa bagi terwujudnya keutuhan Bangsa. Kasus korupsi dalam tubuh
Pertamina awal tahun 1970-an yang dibongkar Mochtar Lubis melalui koran Indonesia
Raya sangat menyakitkan Hatta. Lubis menulis “Betapa Hati Bung Hatta amat Gundah
Melihat Perkembangan yang terjadi di Pertamina, dan dengan Kasus Korupsi lainnya di
tanah air”.19
Pemikiran Bung Hatta yang sangat komprehensif tentang keadilan sosial dapat
dilihat dan ditelusuri pada saat ia berbicara tentang Pancasila, suatu dasar yang dibelanya
secara sungguh-sungguh baik dalam teori maupun praktek. Bagi Hatta sila Ketuhanan
Yang Maha Esa merupakan prinsip pembimbing bagi cita-cita kenegaraan di Indonesia.
Prinsip spiritual dan etik ini memberikan bimbingan kepada semua pihak yang baik bagi
rakyat dan bangsa. Sejalan dengan prinsip dasar ini, sila kemanusiaan yang adil adan
beradab adalah kelanjutan dari sila pertama dalam praktik. Begitu pula sila ketiga dan
keempat. Sedangkan sila kelima, “Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”,
menjadi tujuan tera khir dari ideologi Pancasila.20 Hatta juga menegaskan bahwa di
bawah bimbingan sila pertama, sila Ketuhanan Yang Maha Esa, kelima sila itu saling
mengikat.21 Dalam praktik politik Indonesia selama hampir 40 tahun, gagasan-gagasan
besar dan otentik dari Hatta itu telah dilecehkan oleh sebagian besar elit politik Indonesia,
hingga jadilah bangsa Indonesia seperti sekarang ini, penuh ketidakpastian politik dan
ekonomi, sementara utang luar negeri sudah semakin menggunung.
Semakin kita perdalam gagasan Bung Hatta tentang berbagai masalah mendasar
yang dihadapi bangsa ini, kadang-kadang terasa suasana hati ini semakin ciut dan hambar,
apakah kita pada akhirnya mampu mengurus kemerdekaan ini. Selama hampir empat
dekade elite politik kita telah “menipu” bangsa ini, sebuah tipuan yang dibungkus dalam
retorika politik yang tidak jujur. Keserakahan terhadap kekuasaan telah mematikan
sebagian nurani sebagian kita. Pada sisi lain yang juga sangat menyedihkan adalah
kenyataan bahwa memori kolektif kita sering tidak berfungsi untuk belajar dari masa

19
Mochtar Lubis, “Bung Hatta Manusia Berdisiplin”, d alam Mutia Farida Swasono (ed),
Bung Hatta Pribadinya Dalam Kenangan. Jakarta: Sinar Harapan dan Universitas Indonesia,
1980,h.582.
20
A. Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi Tentang Percaturan dalam
Konstituante. Jakarta: LP3ES, 1987, h.155.
21
Mohammad Hatta, Pengertian Pancasila. Jakarta: Idayu Press, 1977, h.20.

8
lampau, hingga tipuan politik sering dianggap sebagai sebuah kebenaran. Hasil pemilu
1999 adalah di antara bukti-bukti tentang betapa mudahnya rakyat ditipu. Untunglah
Bung Hatta tidak menyaksikan lagi semua drama dan akrobat politik yang memuakkan
ini.
Namun dalam perspektif Bung Hatta, orang tidak boleh larut dalam kehambaran,
sebab sebuah bangunan demokrasi yang sehat pasti akan terwujud asalkan kita punya
tekad untuk memperjuangkannya. Hatta adalah sosok pemimpin yang tidak pernah takut
berhadapan dengan situasi terburuk sekalipun. Hatta pada dasarnya adalah seorang
demokrat yang cinta damai dalam memperjuangkan perubahan. Tetapi bila jalan buntu,
kekerasanpun bukanlah halangan demi mencapai kebenaran dan keadilan, seperti pada
masa revolusi. Hatta menyampaikan pidatonya sebagai ketua Perhimpunan Indonesia di
Negeri Belanda pada tanggal 17 Januari 1926, pada waktu usianya menginjak 24 tahun,
“Aku telah menyebutkan bahwa imperialisme Barat ha rus disudahi untuk
kepentingan kemanusiaan dan setiap bangsa yang terjajah mempunyai
kewajiban untuk memerdekakan diri. Dan karena itu Indonesia harus
mencapai kemerdekaannya atas dasar kemanusiaan dan peradaban. Dan
aku kuatir bahwa satu-satunya jalan untuk melaksanakan itu … tidak lain
kekerasan”22
Pada waktu pidato itu disampaikan, penjajahan itu asing atau Barat sifatnya. Bung
Hatta memang belum pernah mengatakan bahwa penjajahan itu dapat juga berasal dari
kalangan bangsa sendiri, tergantung pada substansinya. Dalam perspektif ini tidaklah
salah untuk berkata bahwa penjajahan itu dapat saja bersifat domestik bila di sana terdapat
substansinya berupa dominasi, eksploitasi, dan diskriminasi penguasa terhadap rakyat
atau golongan atas golongan yang lain. Jadi redefinisi tentang hakekat penjajahan itu, jika
kita memang ingin melihat bangsa kita menjadi bangsa yang benar-benar merdeka secara
keseluruhan, perlu kita sosialisasikan. Bila tidak demikian, kemerdekaan itu pada
akhirnya hanyalah menjadi milik sekelompok kecil manusia. Hatta ingin agar
kemerdekaan itu menjadi milik semua, tanpa melihat perbedaan suku, agama, dan latar
belakang sejarah. Dengan demikian nasionalisme Indonesia jika ingin difungsikan dalam
kenyataan tidak harus ditujukan untuk melawan eksploitasi dan dominasi asing dalam

22
Mohammad hatta, Momoir. Jakarta: Tintamas, 1978, h.195.

9
politik, ekonomi, dan budaya, tetapi juga harus dihadapkan kepada unsur kolonial
domestik.

E. Kesimpulan
Menurut Bung Hatta demokrasi haruslah terkandung tiga unsur penting yaitu
sosialisme yang berprinsip humanisme, ajaran agama, dan juga perilaku yang kolektiv.
Selain itu menurut Bung Hatta demokrasi sudah lama dilakukan di masyarakat desa,
dimana kehidupan dimasyarakat desa dalam memilih pemimpin terdapat nilai-nilai
penting yaitu rapat, mufakat, gotong royong, hak mengadakan rapat bersama, dan hak
menyabut kekuasaan absolut.
Bagi hatta prinsip demokrasi sangat penting untuk ditancapkan dalam kehidupan
bernegara. Bagi Hatta, demokrasi tidak dapat membebaskan bangsa ini dari jerat
kemiskinan dan menempatkan persamaan serta persaudaraan. Karena itu, Hatta
menempatkan pentingnya Demokrasi Sosial yang berangkat dari tradisi masyarakat yang
menjadi modal sosial. Dia mencontohkan tradisi gotong-royong yang memudahkan
segala usaha yang berat yang tidak dapat dikerjakan sendiri.
Hatta juga lebih menekankan pentingnya proses dalam pengambilan keputusan,
bukan sekedar suara mayoritas dalam sebuah rapat, atau tak semata-mata setengah plus
satu suara. Namun, juga menekankan mekanisme. Jika akhirnya kesepakatan tak dapat
ditetapkan, maka barulah menggunakan mekanisme suara terbanyak dalam pengambil
keputusan. Meski menolak suara terbanyak, Hatta menganggap hal itu lebih baik daripada
pemufakatan semu seperti terjadi di negara-negara totaliter.
Hatta juga tidak yakin rakyat dapat bebas dari ketimpangan ekonomi jika hanya
diberikan hak politik saja. Namun, rakyat juga harus diberikan hak dalam bidang
ekonomi. Keputusan yang ditetapkan harus mencerminkan demokrasi ekonomi. Dengan
demikian maka demokrasi dan paham kebangsaan akan berjalan indah di Indonesia.

10
F. Daftar Pustaka
A.H. Nasution, 1977. Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia Jilid I. Bandung:
Disjarah Angkatan darat dan Angkasa.
A. Ubaedillah dan Abdul Rozak. 2008. Pendidikan Kewargaan (Civic Education)
Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani, Edisi Ketiga, Jakarta:
ICCE UIN syarif Hidyatullah.
Ahmad Syafii Maarif, 1999. Nasionalisme, Demokrasi, dan Keadilan Sosial.
Yogyakarta: Perpustakaan Hatta.
Ahmad Syafii Maarif, 1996. Demokrasi dan Nasionalisme Pengalaman Indonesia.
Yogyakarta: IKIP Yogyakarta.
Jimly Asshiddiqie.2012. Hukum Tata Negara & Pilar-pilar Demokrasi, Jakarta: Sinar
Grafika.
Masykuri Abdillah.1999. Demokrasi di Persimpangan Makna; Respon Intelektual
Muslim Indonesia terhadap Konsep Demokrasi 1966-1930. Yogyakarta: Tiara
Wacana.
Miriam Budiardjo.1980. Dasar-dasar Ilmu Politik, Cetakan ke-7. Jakarta:
Gramedia.
Mochtar Lubis, 1980. “Bung Hatta Manusia Berdisiplin”, dalam Meutia Farida Swasono
(ed), Bung Hatta Pribadinya dalam Kenangan. Jakarta: Sinar Harapan dan
Universitas Indonesia.
Moh. Koesnardi dan Bintan R. Saragih. 1988. Ilmu Negara, Cetakan ke-2. Jakarta: Gaya
Media Pratama.
Mohammad Hatta, 1953. Kumpulan Karangan Jilid I. Jakarta: Bulan Bintang.
Mohammad Hatta, 1977. Pengertian Pancasila. Jakarta: Idayu Press.
Mohammad Hatta, 1978. Memoir. Jakarta: Tintamas.
Mohammad Hatta, 1972. Portrait of Patriot. Alih bahasa Deliar Noer. The Hauge Paris:
Mouton Publishers.
Mohammad Hatta, 1983. Kumpulan Pidato II. Jakarta: Idayu Press.

11

Anda mungkin juga menyukai