Anda di halaman 1dari 7

Gerakan Non Blok

GNB (Gerakan Non-Blok) menjadi wadah bagi negara-negara yang tidak ingin terlibat dalam
konfrontasi Perang Dingin. Indonesia menjadi salah satu negara yang ingin menunjukkan
kenetralannya saat itu. Politik luar negeri bebas dan aktif yang dianut oleh Indonesia secara tidak
langsung mengisyaratkan adanya peran Indonesia dalam GNB.
Sejarah Pembentukan GNB (Gerakan Non-Blok)
Gerakan Non Blok lahir pada tanggal 1 September 1962. GNB muncul setelah dilaksanaknnya
Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung, Indonesia. Hal ini diawali saat Perdana Menteri
Negara India, Jawaharlal Nehru, memperkenalkan istilah Non Blok. Saat itu ia sedang berpidato
yang bertempatkan di Kota Colombo, Sri Lanka pada tahun 1954. Jawaharlal Nehru pada
pidatonya mengemukakan 5 poin yang menjadi landasan dasar hubungan kerja sama Sino-India.
Kelima poin tersebut kemudian diberi julukan Panchsheel atau bisa diartikan sebagai 5
pengendali.
Panchscheel kemudian menjadi dasar yang diterapkan sebagai landasan dasar Gerakan Non-
Blok. Inti dari kelima poin pengendali tersebut adalah (1) Menghormatai kedaulatan & integritas
territorial; (2) Perjanjian Non-agresi; (3) Menghormati serta tidak mencampuri urusan negara
lain untuk menyelesaikan masalah yang terjadi di dalam negerinya sendiri; (4) Kesetaraan dan
kesejahteraan bersama; dan (5) Berpartisipasi aktif dalam menjaga perdamaian.

GNB bukanlah sebuah organisasi yang berwujud lembaga, sepertihalnya PBB atau ASEAN.
Satu-satunya pengurus dalam GNB adalah seorang ketua yang dijabat oleh kepala negara/
pemerintah yang menjadi tuan rumah Konferensi Tingkat Tinggi GNB (KTT GNB). KTT GNB
dilaksanakan setiap 3 tahu sekali. Negara manapun dapat diterima menjadi anggota GNB dengan
syarat sebagai berikut:

 Negara tersebut menganut politik bebas dan berdasarkan hidup berdampingan secara damai.
 Negara tersebut mendukung berbagai gerakan kemerdekaan nasional.
 Bukan merupakan anggota salah satu pakta militer yang dibentuk oleh kedua Blok dalam Perang
Dingin.

Peran Indonesia dalam GNB (Gerakan Non-Blok) yakni sebagai berikut:

1. Salah satu pemrakarsa GNB (Gerakan Non-Blok)


Indonesia menjadi salah satu negara yang memprakarsai pendirian Gerakan Non-Blok. Hal
tersebut diwakili oleh Presiden Soekarno selaku pemimpin negara pada saat itu. Selain Indonesia,
terdapat empat negara lainnya yang mempelopori pendirian GNB. Keempat negara tersbeut
adalah Mesir (Gamal Abdul Nasser), Yugoslavia (Josip Broz Tito), India (Pandit Jawaharlal
Nehru), dan Ghana (Kwame Nkrumah). Para pemimpin negara tersebut melaksanakan
pertemuan di Kota Belgrade, Yugoslavia pada tahun 1961. Pertemuan ini meresmikan
didirikannya Gerakan Non Blok. Pemimpin pertama GNB ini diberikan kepada Presiden
Yugoslavia, yakni Josip Broz Tito.
2. Pemimpin Gerakan Non-Blok pada tahun 1991
Indonesia pernah menjadi pemimpin gerakan ini pada tahun 1991. Presiden Soekarno selaku
Presiden RI saat itu terpilih menjadi ketua GNB.

3. Penyelenggara KTT X Gerakan Non-Blok


Pada saat Indonesia menjabat pemimpin GNB, Indonesia berhasil menyelenggarakan KTT X
GNB. KTT tersebut bertempat di Jakarta, Indonesia dan dihadiri oleh 106 negara. KTT X GNB
dilaksanakan pada tanggal 1 – 6 September 1992 dengan Ketua Presiden Soeharto. Terdapat
beberapa isu yang muncul dalam KTT X GNB di Jakarta, yakni sebagai berikut:

 GNB mendukung perjuangan Palestina yang perumusannya terdapat dalam Pesan


Jakarta atau Jakarta Message.
 GNB menyesalkan tindakan Amerika Serikat yang membantu Israel dalam melakukan
pembangunan permukiman Yahudi di wilayah milik Palestina.
 Kegagalan dalam memasukkan masalah sanksi PBB kepada Irak & Libia menunjukkan
masih lemahnya GNB dalam mengatasi perbedaan pendapat di kalangan anggota.
 Para pemimpin dari negara-negara anggota Gerakan Non Blok (GNB) mengakhiri KTT
ini dengan melahirkan sebuah “Jakarta Message” (Pesan Jakarta). Pokok-pokok penting
dari Pesan Jakarta adalah:

1) GNB berhasil membantu memperbaiki iklim politik internasional pada akhir Perang
Dingin, yakni dengan mempertahankan “validitas dan relevansi” Non-Blok. Dialog
dan kerja sama akan memproyeksikan gerakan sebagAi sebuah semangat, komponen
yang saling bergantung yang konstruktif dan sungguh-sungguh dari arus hubungan
internasional.
2) Dunia masih menghadapi berbagai rintangan yang berbahaya untuk menyeleraskan
hal-hal seperti konflik kekerasan, agresi, pencaplokan negara lain, perselisihan antar
etnik, rasisme dalam bentuk baru, ketidaktoleransian agama, dan nasionalisme yang
diartikan dengan sempit.
3) GNB akan membentuk kelompok untuk memainkan peran penting dalam
membangkitkan kembali reinstrukturisasi, dan demokratisasi PBB. Para anggota
mendesak agar anggota tetap Dewan Keamanan PBB membuang hak veto. Selain itu,
mereka juga mengatakan bahwa keanggotaan DK PBB harus didefinisikan kembali
supaya mencerminkan perubahan setelah berakhirnya Perang Dingin.
4) Menyatakan perang terhadap keadaan di bawah perkembangan, kebodohan, dan
kemiskinan. Mereka harus menghancurkan beban utang (luar negeri), proteksionisme,
rendahnya harga-harga komoditas, dan mengecilkan gangguan arus uang negara-
negara miskin.
5) Hal tersebut melahirkan kekhawatiran tentang kegagalan dalam menyelesaikan
perundingan perdagangan multilateral dan menyerukan negara-negara maju untuk
menguatkan penyelesaian yang memuaskan Putaran Uruguay.
6) Dalam rangka meningkatkan kerja sama Selatan-Selatan, GNB mendesak kerja sama
yang konkrit dan praktis dalam produksi makanan, penduduk, perdagangan, dan
investasi demi memahami rasa percaya diri bersama-sama.
7) Koordinasi dari upaya dan strategi dengan kelompok 77 (forum ekonomi negara-
negara berkembang) berkaitan dengan kepentingan yang mendesak melalui komite
koordinasi gabungan yang mantap.
8) Selain itu, GNB juga menyerukan “Persekutuan-persekutuan Global yang baru dalam
menyeimbangkan sumber keuangan bagi negara-negara miskin dan alih teknologi
lingkungan lebih besar.”
9) Pernyataan dukungan yang pantang mundur kepada rakyaT Palestina untuk
berusaha menentukan nasib sendiri dan mengakhiri diskriminasi rasial di Afrika
Selatan.
10) Melarang setiap negara dalam menggunakan kekuatannya untuk memaksakan
konsep-konsep demokrasi dan hak-hak asasi manusia yang dianutnya kepada negara
lain atau menerapkannya sebagai syarat (pemberian bantuan).
11) Berjanji untuk memegang teguh komitmen dalam rangka mengupayakan sebuah
dunia yang bebas nuklir. Pernyataan keprihatinan yang dalam perihal pemakaian dana
secara besar-besaran untuk persenjataan, padahal dana tersebut dapat disalurkan
untuk pembangunan.

4. Memecahkan masalah-masalah dunia berdasar pada asas keadilan


Indonesia menjadi negara yang juga ikut memecahkan masalah-masalah dunia berdasarkan
perdamaian dunia. Selain itu, Indonesia juga memperjuangkan Hak Asasi Manusia, dan tata
ekonomi dunia yang berdasarkan pada asas keadilan. Salah satunya adalah peran penting
Indonesia dalam meredakan ketegangan di kawasan bekas Yugoslavia pada tahun 1991.
Peran Indonesia Tengahi Konflik Moro
Pertempuran sengit yang kembali meletus antara pasukan Moro National Liberation
Front (MNLF) pimpinan Nur Misuari dan militer Filipina di Provinsi Zamboanga
memaksa pemerintahan Pre¬siden Benigno Aquino III meminta bantuan pemerintah
Indonesia. Bantuan itu yakni untuk kembali memprakarsai pembicaraan damai tripartit
antara pemerintah Filipina, MNLF, dan RI selaku mediator dan fasilitator. Permintaan
itu dikemukakan Teresita ’’Ging’’ Deles, penasihat presiden urusan proses perdamaian,
di Manila (SM, 19/9/13).

Permintaan tersebut tentu tidak berlebihan. Pasalnya, pertempuran terkini yang mulai
pecah pada 10 September itu sudah menelan banyak korban tewas (86 geril¬yawan
MNLF, 14 tentara pemerintah, dan 4 penduduk sipil). Banyaknya nyawa yang
tereng¬gut hanya dalam tempo sepekan menandakan betapa sengit pe¬rang antara
gerilyawan MNLF dan militer Filipina.

Pada pertengahan 1990-an pemerintah RI pernah berkontri¬busi penting mengatasi


masalah konflik bangsa Moro di Filipina Selatan. Kala itu, tahun 1995 pemerintah Orde
Baru di bawah Presiden Soeharto menawarkan jasa baik menengahi konflik itu.
Ta¬waran direspons positif oleh Misuari dan pemerintah Filipina di bawah Presiden
Fidel Ramos. Perundingan penjajakan menghasilkan kesepakatan yang memungkinkan
MNLF bisa berdamai dengan pemerintah Filipina.

Maka, perundingan MNLF dengan penguasa di Manila berlanjut dengan ditengahi


Indonesia. Klimaksnya, pada 30 Agustus 1996 kedua pihak yang bertikai mencapai
perjanjian damai. Dokumen perdamaian tersebut ditandatangani Misuari dan Ramos di
Istana Merdeka Jakarta disaksikan Presiden Soeharto. Salah satu poin terpenting dari
perjanjian itu adalah MNLF bersedia menghentikan perlawanan militer¬nya.

Sebagai imbalan, penguasa di Manila memberi otonomi khusus kepada masyarakat


Moro yang mayoritas beragama Islam dan mendiami Kepulauan Mindanao beserta
gugusannya di Filipina selatan. Peng¬implementasikan dari kesepakatan dama tersebut
dijabarkan dalam aturan-aturan yang dibuat dan ditetapkan kemudian. Otonomi khusus
bagi masyarakat Moro mulai diberlakukan tahun 2000.

Pertanyaannya, mengapa perang antara gerilyawan MNLF pimpinan Misuari dan


militer Filipina kembali pecah? Apakah sekarang pemerintah RI juga kembali sukses
dalam menengahi konflik tersebut?

Semua Kelompok

Sedari dulu berbagai organisasi perlawanan masyarakat Moro, termasuk MNLF,


terhadap pemerintah Filipina, tidak ada yang solid terkait dengan persatuan dan
kesatuan mereka. Kelompok MNLF yang berideologi nasionalis-sekuler adalah
sempalan dari Moro Liberation Front (MLF) yang didirikan tahun pada 1971. Di luar
MNLF, ada Moro Islamic Liberation Front (MILF) pimpinan Salamat Hashim yang
juga menyempal dari MLF. Kelompok MILF berideologi Islam, bertujuan mendirikan
sebuah negara Islam di Filipina Selatan.

Lebih ’’payah’’ lagi, MNLF pimpinan Misuari juga pecah. Tahun 1981 berdiri MNLF
Reformis pimpinan Dimas Pundato, dan tahun 1993 berdiri kelompok Abu Sayyaf
pimpinan Abdurazak Janjalani. Di luar itu semua masih ada kelompok perlawanan lain,
semisal Muslim Independent Movement (MIM) yang didirikan tahun 1968 dan Anshar
al-Islam. Seperti halnya MILF dan kelompok Abu Sayyaf, keduanya menginginkan
pula pembentukan sebuah negara Islam di Filipina Selatan.

Fakta banyaknya front perlawanan Mo¬ro yang masih menginginkan pembentukan


sebuah negara Islam di Filipina selatan itu pantas diduga menjadi salah satu faktor
penyebab pecahnya kembali perang antara gerilyawan MNLF dan militer Filipina.
Faktor penyebab lain adalah ketidakpuasan Misuari atas implementasi otonomi khusus
masyarakat Moro selama 12 tahun terakhir ini.

Karena itu, apabila pemerintah RI kembali menjadi penengah dalam perundingan damai
untuk mengatasi masalah perlawanan Moro, seyogianya dari front perlawanan Moro
yang diikutsertakan dalam perundingan dengan pemerintah Filipina tidak hanya MNLF
kubu Misuari. Indonesia harus bisa mengondisikan dan mendorong segenap kelompok
perlawanan yang ada untuk mengirimkan perwakilannya dalam negosiasi itu.

Perundingan secara lengkap itu dimak¬sud¬kan guna menjamin keberlangsungkan


keterciptaan perdamaian yang hakiki di Fili¬pina selatan, dan semua pihak berharap
tercapai perdamaian abadi. Hasil perundingan itu akan berbeda dari perundingan yang
ha¬nya melibatkan satu kelompok perlawanan.

Memang tidak mudah mengupayakan sebuah perundingan yang bisa melibatkan semua
kelompok perlawanan tersebut. Namun, kita berharap pemerintah RI dengan
menugaskan negosiator andal semisal mantan wakil presiden Jusuf Kalla bisa
mengemban misi itu dengan sukses.
Mempelopori Berdirinya ASEAN
Didirikannya Organisasi ASEAN mempunyai tujuan dalam bidang ekonomi, keamanan, dan
kerjasama lainnya terhadap anggota-anggotanya. ASEAN (Association of Southeast Asian Nations)
adalah organisasi geo-politik dan ekonomi dari negara-negara di kawasan Asia Tenggara.
Didirikan di Bangkok, 8 Agustus 1967 berdasarkan Deklarasi Bangkok oleh 5 Negara yaitu
Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand.

Seperti yang sudah disinggung diatas bahwa ada 5 negara yang mendirikan ASEAN. Nah kelima
negara ini diwakili oleh menteri luar negeri dari masing-masing negara, yaitu:

1. Adam Malik, wakil dari Indonesia.


2. Tun Abdul Razak, wakil dari Malaysia.
3. Sinnathamby Rajaratnam, wakil dari Singapura.
4. Thanat Khoman, wakil dari Thailand.
5. Narsisco Ramos, wakil dari Filipina.

8 Agustus 1967, 5 menteri luar negeri tersebut menandatangani kesepakatan yang dikenal
sebagai Deklarasi Bangkok. Sejak saat itulah berdiri ASEAN dan pembukaan calon anggota baru.

Diluar kelimat negara diatas, Brunei Darussalam menjadi negara pertama yang masuk menjadi
anggota ASEAN pada tanggal 7 Januari 1987 .

Kemudian disusul Vietnam di tanggal 28 Juli 1995 menjadi anggota ke tujuh. Lalu Laos dan
Myanmar menjadi anggota ASEAN yang kedelapan dan kesembilan di tanggal 23 Juli 1997,
disusul oleh Kamboja pada tanggal 16 Desember 1998.

Latar belakang berdirinya ASEAN tak lepas dari adanya persamaan antara negara-negara di Asia
Tenggara. Berikut adalah persamaan-persamaan tersebut.

1. Persamaan Geografis

Semua negara yang ada di Asia Tenggara sama-sama terletak di antara dua benua,
keduanya adalah Benua Asia serta Australia. Selain itu, negara-negara Asia Tenggara
juga terletak di antara dua samudra, yaitu Samudra Hindia serta Pasifik.

2. Persamaan Budaya

Tiap negara di Asia Tenggara memiliki dasar kebudayaan, tata kehidupan, bahasa serta
pergaulan yang nyaris sama. Wajar saja karena semua negara ini umumnya adalah
pewaris dari peradaban rumpun Melayu Austronesia.

3. Persamaan Nasib
Negara-negara di Asia Tenggara sama-sama pernah merasakan masa penjajahan oleh
bangsa Barat, kecuali negara Thailand. Hal ini yang akhirnya memunculkan rasa
kesetiakawanan di antara negara-negara Asia Tenggara.

4. Persamaan Kepentingan di Berbagai Bidang

Latar belakang berdirinya ASEAN tak bisa dilepaskan pula dari kepentingan di berbagai
bidang seperti sosial budaya, ekonomi, keamanan serta politik. Tempat yang jadi pintu
gerbang perdagangan dunia pun ada di Asia Tenggara, yaitu Selat Sunda serta Selat Mala.

Di dalam Deklarasi Bangkok pada tanggal 8 Agustus 1967, lahirlah tujuan ASEAN
sebagai berikut:

1. Mempercepat pertumbuhan, kemajuan sosial dan pertumbuhan kebudayaan di kawasan


Asia Tenggara.
2. Memelihara perdamaian dan stabilitas dengan menjunjung tinggi hukum dan hubungan
Negara di Asia Tenggara.
3. Meningkatkan kerja sama yang aktif dan saling menolong dalam bidang ekonomi, sosial,
budaya, teknologi dan administrasi.
4. Saling membagikan bantuan dalam bidang fasilitas latihan dan penelitian di bidang
pendidikan, teknik, kejuruan, dan administrasi.
5. Bekerja sama lebih efektif untuk menggapai daya guna lebih besar di bidang industri,
pertanian, dan perkembangan perdagangan. Di dalamnya juga termasuk pendalaman
dalam hal perdagangan komoditi internasional, perbaikan pengangkutan dan fasilitas
komunikasi plus meningkatkan taraf hidup rakyat.
6. Meningkatkan pendalaman tentang masalah-masalah di Asia Tenggara.
7. Memelihara kerja sama yang erat dan bermanfaat dengan berbagai organisasi
internasional dan regional lain yang memiliki tujuan sama dan mencari kesempatan
untuk menjalin kerja sama dengan mereka.

Anda mungkin juga menyukai