Mutu Sekolah
Jaap Scheerens
MUTU SEKOLAH
til
Jaap Scheerens
Peningkatan
MUTU SEKOLAH
J A A ' ; ¿ ^ (_•* t)
L 0 HO S
WACANAILMU DAN PEMIKIRAN
¿- \m,i
I.I.E.P. - 1.1.P.E.I
9,mft.Drloc;Qu7SO^ PARIS
2 3. JUIN 2006
C E N T R E DE
DOCUMENTATION
PENINGKATAN M U T U SEKOLAH
Jaap Scheerens
Judul Asli:
Improving School Effectiveness
Buku Asli Diterbidcan tahun 2000 oleh United Nations
Educational, Scientific and Cultural Organization
7 place de Fontenoy, F 75352 Paris 07 SP
LWI 096
Jaap Scheerens
Peningkatan Mutu Sekolah/ Jaap Scheerens;
penerjemah, Abas al-Jauhari; penyunting, Achmad Syahid,--
Jakarta : Logos, 2003
xxvi + 150 ; 14,5x21 cm
371.2
IV
Fundamentals of
Educational Planning
(Dasar-dasar Perencanaan Pendidlkan)
v
studi dalam bidang yang berbeda, menatap masa depan, serta
menggulirkan debat publik tentang dasar-dasar untuk memandu
kebijakan pendidikan dan pembuatan keputusan bahkan menjadi
lebih penting daripada sebelumnya.
Ruang lingkup perencanaan pendidikan telah diperluas. Di
samping sistem pendidikan formai, juga kini diterapkan pada segala
usaha pendidikan penting lain dalam setting pendidikan non-for-
mal. Perhatian terhadap pertumbuhan dan perluasan sistem pendi-
dikan bertambah, dan bahkan terkadang digantikan oleh tumbuh-
nya perhatian terhadap kualitas seluruh proses pendidikan, serta
kontrol atas hasil-hasilnya. Paraperencana dan administrator akhir-
nya menjadi semakin sadar akan pentingnya strategi implementasi
dan peran pelbagai mekanisme pengaturan yang berbeda dalam
hai ini: pilihan metode pembiayaan, ujian dan prosedur sertifikasi
atau pelbagai aturan dan struktur insentif lainnya. Perhatian para
perencana ada dua: mencapai suatu pemahaman yang lebih baik
mengenai validi tas pendidikan dalam dimensinyayang khusus yang
terobservasi secara empiris dan membantu dalam menentukan
strategi-strategi perubahan yang tepat.
vi
para anggotanya telah mengidentìfìkasi topik-topik penting yang
akan diulas dalam isu-isu mendatang dengan judul-judul berikut:
vu
Dalam kajian yang kaya ini, Jaap Scheerens lebih melihat
pada aspek-aspek dari panorama efektivitas sekolah, dengan
demikian, ia menyediakan sebuah telaah menyeluruh yang
berguna bagi para perencana pendidikan.
Pengarang menggunakan basis pengetahuan tentang efek-
tivitas sekolah untuk menguji pendekatan-pendekatan yang
relevan dalam meningkatkan efektivitas, meskipun tidak pernah
kehilangan pandangan pada fakta bahwa tiap situasi memiliki
kekhususan tersendiri. Dia mengakui bahwa tampaknya lebih
terbuka peluang untuk melakukan aksi bagi seseorang yang
terdekat dengan level sekolah, dengan demikian, menjadi sulit
bagi pihak-pihak yang berada pada level di atas sekolah untuk
melakukan perencanaan tentang efektivitas. Dengan berpijak
pada pemikiran di atas, dia menyarankan bahwa pendekatan-
pendekatan yang bersifat multi-level barangkali sangat sesuai,
terutama bagi negara-negara yang sedang berkembang. Penting-
nya evaluasi diri sekolah ditekankan, karena kenyataan bahwa
proses evaluasi itu sendiri dapat menyumbang bagi peningkat-
an efektivitas. Atas dasar pada buklet ini, para perencana tenni
saja akan lebih terlengkapi dalam mendiskusikan berbagai faktor
berbeda yang terlibat dalam peningkatan efektivitas sekolah.
Gudmund Hemes
Direktur H E P
Vili
Komposisi Dewan Editor
Kenneth N. Ross
HEP
Perancis
Richard Sack
Association for the Development of
Education
in Africa (ADEA)
Perancis
IX
Pengantar
XI
disiapkan jika Kementrian Pendidikan menghendaki faktor-
faktor tersebut ada di semua sekolah. J u g a ada problem
tambahan bahwa sekolah memiliki banyak mata pelajaran yang
berbeda dan sasaran akhir yang bennacam-macam: kognitif,
afektif, dan sosial. Apakah suatu faktor atau variabel hanya mem-
pengaruhi satu bidang mata pelajaran atau seperangkat sasaran
akhir, atau apakah ia dapat mempengaruhi semuanya?
Seluruh bidang jenis pemikiran dan penelitian ini ditandai
oleh banyaknya pendekatan, konsep, dan model, bahkan sulit
bagi mereka yang terlibat untuk menangkap gambaran yang
jelas mengenai pro dan kontra terhadap berbagai jenis pemikir-
an dan penelitian tersebut.
International Institute for Educational Planning (HEP)
mengundangjaab Scheerens dari Universitas Twente, Belanda,
seorang yang sangat otoritatif dibidang managemen sekolah dan
pendidikan efektif yang diakui, untuk menulis boklet-boklet
singkat yang menjelaskan bidang yang rumit ini kepada para
perencana pendidikan. Prof. Scheerens tidak hanya menggam-
barkan cara-cara yang berbeda bagaimana istilah 'efektif digu-
nakan, melainkan juga 'konsep' dan 'model' berbeda yang di-
gunakan dalam tipe penelitian ini. Dia kemudian mengaitkan
temuan-temuan penelitian dalam bidang ini dengan perenca-
naan synoptic, teori pilihan, dan perencanaan retroactive. Akhir-
nya, dia mengetengahkan sekumpulan temuan dalam bidang
ini namun pembaca dan pengguna yang hati-hati akan bertindak
secara tepat ketika melakukan adaptasi.
Xll
bekerja dengan cara mereka sendiri melalui tìpa-tìpe penelitìan
yang berbeda, melainkan akan mendorong mereka melakukan
penelitìan mereka sendiri seperti itu.
T. Neville Posdethwaite
Wakil Editor Umum
xiii
Daftar Isi
Pengantar xi
Pendahuluan 1
xv
Rancangan menyeluruh tentang kajian efektivitas
pendidikan 27
Bagian 1. Bukti dari Negara-negara Industri 29
Hasil Yang Diperoleh Diberbagai Rangkaian
Penelitian Tentang Efektivitas-Pendidikan 29
Integrasi 49
Ringkasan Meta-analisis 53
Bagian 2. Bukti dari Negara-negara Sedang
Berkembang 56
Studi Fungsi Produksi di Negara-negara Sedang
Berkembang 56
Review tentang Penelitian tentang Efektivitas
Sekolah di Negara-negara Sedang Berkembang.... 60
Lingkup dan Pembatasan Model Efektivitas Sekolah
bagi Perencana Pendidikan 65
Ringkasan dan Kesimpulan 71
XVI
Pendidikan Lebih Lanjut 104
Konteks Evaluatif. 104
Tingkat Agregasi 106
Time-frame 107
Fungsi Indikator bagi Proses Pendidikan 107
Contoh-contoh Berbagai Indikator Proses Sekolah 110
Evaluasi Diri Sekolah 112
Definisi 113
Jenis Evaluasi Din Sekolah (School Self-
Evaluation) 114
Taksonomi Evaluasi Sekolah, Metode, Aktor
dan Obyek yang Berbeda-beda 124
Ringkasan dan Kesimpulan; Apa yang Dapat
Diterapkan di Negara-negara Sedang Berkembang 126
Mempertimbangkan Kembali Dimensi
Internal/Eksternal 126
Dukungan Ehternal 128
Aspek biaya 130
Politik Mikro Evaluasi 131
Indikator Proses yang Diilhami Efektivitas Sekolah
Dipertimbangkan Kembali 133
Indeks 151
xvu
Pendahuluan
1
Oleh karena itu, tujuan kajian ini adalah sebagai berikut:
# Menyediakan dasar konseptual untuk mendefinisikan efek-
tivitas sekolah;
* Menggambarkan variabel tingkat sekolah dan kelas yang
diharapkan 'bekerja' dalam pendidikan serta tercermin pada
bagaimana cara agar kebijakan bisa meningkadcan efektivi-
tas sekolah;
* Menelaah bukti penelitian yang ada berkenaan dengan hu-
bungan antara kondisi perangkat lunak tertentu dengan
prestasi pendidikan;
# Menggambarkan model-model teoritis yang digunakan un-
tuk menjelaskan mengapa faktor-faktor tertentu harus
bekerja serta melihat model-model mana saja yang bisa
menghasilkan pengaruh yang dapat dipraktekkan untuk
meningkadcan efektivitas sekolah;
• Menunjukkan penerapan praktis dasar pengetahuan efekti-
vitas sekolah bagi para perencana pendidikan.
Pada bab pertama, konsep efektivitas sekolah didefinisikan.
Definisi-definisi yang dikemukakan dalam penelitian efektivi-
tas sekolah empiris ini dibandingkan dengan definisi-definisi da-
lam lapangan ekonomi dan organisasi. Hal ini mengarahkan
pada peta konseptual, di mana 'sebab' atau maksud, dan 'pe-
ngaruh' atau capaian tujuan pendidikan, dibedakan sebagai dua
faktor dasar bagi efektivitas sekolah. Aspek penting lain yang
akan diperhatikan adalah konsep 'nilai tambah' pendidikan yang
diterima di sekolah serta kenyataan bahwa kriteria yang digu-
nakan untuk menilai apakah sekolah-sekolah tersebut efektif
bersifat relatif dan bukan absolut.
Pada bab kedua, akan ditelaah ulang dasar pengetahuan
yang dihasilkan dari berbagai kumpulan penelitian tentang efek-
tivitas pendidikan. Perhatian khusus diberikan kepada kajian-
2
kajian yang dilakukan di negara-negara sedang berkembang.
Walaupun telaah ulang mengenai bukti penelitian yang lebih
kualitatif cenderung sepakat dengan seperangkat faktor yang
dapat meningkatkan efektivitas, namun síntesis penelitian
kuantitatif dan kajian perbandingan international menyisakan
keüdakpastian yang patut dipertimbangkan mengenai dampak
dan penyamarataan sebagian besar faktor-faktor tersebut, teru-
tama sekali faktor irc/>«£-sumberdaya dan kondisi organisasi se-
kolah.
Pada bab ketiga, bukti penelitian itu dihubungkan dengan
teori ilmiah sosial yang lebih mapan dalam rangka menemukan
mekanisme yang mendasari tentang apa yang membuat pendi-
dikan yang diterima di sekolah efektif. Tiga penafsiran berbeda
mengenai prinsip rasionalitas dibahas di bab ini: perencanaan
synoptic, implikasi teori pilihan-publik; dan perencanaan retroac-
tive. Walaupun bukti penelitian itu biasanya mendukung pan-
dangan bahwa rasionalitas yang meningkat menjelaskan efekti-
vitas sekolah, namun kesimpulan ini ditafsirkan bertentangan
dengan kenyataan bahwa sebagian besar bukti itu didasarkan
pada sistem pendidikan di mana kondisi sumberdaya manusia
dan materi dasar tersedia dengan baik.
3
dikator-indikator proses dalam konteks sistem indikator nasio-
nal dan evaluasi-diri sekolah.
Fada bab singkat terakhir, disimpulkan secara ringkas
implikasi-implikasi bagi para perencana pendidikan yang ada.
4
I. Konseptualisasi: Perspektif
tentang Efektivitas Sekolah 1
Pengantar
Definisi umum
'Sebagian bab ini adalah versi yang diperbaharui dari Bab 1 Scheerens
(1992), Effective schooling. Research theory and practice, diterbitkan Cassell (Lon-
don).
5
output sekolah tersebut, yang pada gilirannya diukur sesuai de-
ngan prestasi rata-rata murid pada akhir masa pendidikan for-
mal mereka di sekolah tersebut. Persoalan efektivitas sekolah
menarik karena secara umum dapat diketahui bahwa kinerja
sekolah itu berbeda-beda. Persoalan berikutnya adalah sejauh-
mana kinerja sekolah itu berbeda, atau, lebih tepatnya, sejauh-
mana sekolah-sekolah berbeda ketika kemampuan bawaan dan
latar belakang sosio-ekonomi murid-murid sekolah itu sedikit
banyak sama.
Pemyataan yang agak berbeda mengenai prinsip perban-
dingan yang 'fair' antara sekolah dapat dibuat dengan menilai
nilai tambah selama masa pendidikan yang dia peroleh. Ini berarti
menilai dampak pendidikan yang diterima di sekolah pada
prestasi para murid, ketika prestasi tersebut secara khas dapat
dihubungkan dengan sekolah A setelah diselesaikan dan bukan
sekolah B. Akan tetapi, dalam penelitian tentang efektivitas se-
kolah, menilai perbedaan nilai tambah atau nilai 'bersih' (net)
antar sekolah tidaklah cukup. Dalam cabang penelitian pendi-
dikan ini, pertanyaan yang benar-benar menarik bermula ketika
kita menetapkan bahwa ada perbedaan penting: mengapa seko-
lah A lebih baik dibanding sekolah B, jika perbedaannya tidak
berkaitan dengan perbedaan populasi siswa di dua sekolah itu?
6
pengintegrasian berikutnya ke dalam kajian-kajian tentang efek-
tivitas pendidikan di berbagai level dan di berbagai disiplinnya,
sedikit karakteristik dasar dari definisi efektivitas sekolah yang
muncul harus digarisbawahi.
7
tuk dicatat bahwa efektivitas sekolah itu merupakan sebuah
konsep kausal. Oleh karena itu, beberapa pengarang membuat
perbedaan tegas antara penelitian tentang kefektifan sekolah pada
satu sisi dan penelitian tentang pengaruh sekolah pada sisi lain
(dikutip dari Purkey dan Smith, 1983). Dalam penelitian ten-
tang efektivitas sekolah tidak hanya perbedaan kinerja secara
keseluruhan saja yang dinilai, melainkan juga pertanyaan
tambahan mengenai hubungan sebab akibat yang muncul: ka-
rakteristik-karakteristik sekolah mana saja yang menghasilkan
kinerja yang relatif lebih tinggi, terutama, ketika karakteristik-
karakteristik populasi siswa sebaliknya justru konstan?
Dalam bab berikut akan digambarkan secara lebih rinci
berbagai rangkaian penelitian tentang efektivitas pendidikan
yang telah menyumbang kepada konseptualisasi tentang efekti-
vitas sekolah di berbagai level dan di berbagai disiplin ilmu
dewasa ini.
Singkatnya, efektivitas sekolah dilihat sebagai gelar untuk
mana saja sekolah-sekolah yang telah mencapai tujuannya, kalau
dibandingkan dengan sekolah-sekolah lain yang 'setara', menu-
rut jumlah siswa yang diterima {student-intake) dengan jalan
memanipulasi kondisi-kondisi tertentu yang dilakukan oleh se-
kolah itu sendiri atau karena konteks yang melingkupi sekolah
tersebut.
8
tentu yang ada pada mereka, serta semua bantuan keuangan
dan materi pada mereka. Output meliputi prestasi yang dicapai
raurid pada akhir masa pendidikannya. Proses atau alur masuk
[throughput) perubahan yang terjadi dalam suatu sekolah itu da-
pat dipahami sebagai keseluruhan metode pengajaran, pilihan
kurikulum dan prasyarat organisasi yang memungkinkan bagi
para murid untuk memperoleh pengetahuan. Output jangka. pan-
jang ditunjukkan dengan istilah ''outcome, lihat Tabel 7.
9
dividu (misalnya, mobilitai sosial, pendapatan, produktivitas
kerja)" (ibid., him. 2). Jika seseorang menggabungkan dua
dimensi ini, maka empat tipe output sekolah dapat dibedakan
(lihat TabelZ).
10
karakterisasi ekonomi mengenai efektìvitas sekolah yang disebut-
kan di atas secara kaku juga akan menghadapai banyak masa-
lah.
Analisis mengenai efisiensi dan efektìvitas tersebut dimulai
dengan pertanyaan tentang bagaimana kita hams mendefinisi-
kan 'output yang diinginkan' dari suatu sekolah, sekalipun kita
berkonsentrasi pada pengaruh jangka pendek. Misalnya,
'produksi' atau hasil sekolah menengah dapat diukur dengan
jumlah murid yang berhasil mendapatkan ijazah yang diserah-
kan sekolah. Dengan begitu, unit pengukurannya adalah murid
setelah lulus ujian akhir. Akan tetapi, sering kali kita mencari
pengukuran yang lebih tepat, yang dalam kasus ini, relevan untuk
melihat, misalnya, pada peringkat yang dicapai para murid da-
lam berbagai mata pelajaran ujian mereka. Ditambah lagi, ada
berbagai pilihan yang dibuat berkenaan dengan lingkup peng-
ukuran efektìvitas. Apakah hanya prestasi ketrampilan dasar saja
yang harus dikaji? Apakah juga mungkin memperhatikan proses
kognitif yang lebih tinggi? Dan tidakkah juga hasil afektif dan/
atau sosial dalam pendidikan dapat dinilai sedemikian rupa?
Permasalahan lain sehubungan dengan análisis ekonomi me-
ngenai sekolah meliputi kesulitan menentukan nilai moneter dari
input dan proses, serta tidak adanya kejelasan umum tentang
bagaimana proses produksi beroperasi (justru pengukuran teknis
dan prosedural diperlukan untuk mencapai oul/>ul maksimum).
11
cara langsung. Melainkan, beragam sikap merupakan hai yang
biasa berkenaan dengan penafsiran terhadap konsep yang sedang
dibicarakan ini. Dengan demikian, diasumsikan bahwa
penafsiran yang dipilih tergantung pada teori organisasi dan
kepentìngan kelompok tertentu yang mengajukan masalah efek-
tìvitas (Cameron dan Whetten, 1983, 1985; Faerman dan Quinn,
1985). Oleh karena ini, model-model organisasi utama yang di-
gunakan sebagai latar belakang bagi bermacam-macam definisi
efektìvitas akan ditelaah secara singkat.
Rasionalitas ekonomi
Definisi ekonomi tentang efektìvitas sebagai disebutkan di
atas diperoleh dari gagasan bahwa organisasi berfiingsi secara
rasional - maksudnya, memiliki tujuan tertentu. Tujuan yang
dapat dioperasionalisasikan sebagaimana outputyang akan diraih
merupakan dasar untuk memilih kriteria pengaruh (kriteria pe-
ngaruh adaiah variabel yang digunakan untuk mengukur pe-
ngaruh, seperti prestasi siswa, kesejahteraan para murid, dll.).
Ada bukti dari rasionalitas ekonomi ketika tujuan-tujuan diru-
muskan sebagai output dari proses produksi utama sekolah ter-
sebut. Dalam mengfungsikan suatu sekolah secara keseluruhan,
sekolah lain, sekolah berbeda dan tujuan juga dapat memain-
kan sebagaian peran, seperti halnya kebijakan yang jelas dan
tegas untuk meningkatkan jumlah pendaftaran. Bahkan berke-
naan dengan tipe sasaran ini, suatu sekolah dapat beroperasi
secara rasional, walaupun dia jatuh di luar penafsiran spesifik
yang diberikan oleh rasionalitas ekonomi. Efektìvitas yang di-
definisikan menurut rasionalitas ekonomi juga dapat diidenti-
fikasi sebagai produktivitas organisasi. Tyler (1950) memberi-
kan contoh yang baik sekali mengenai model rasional atau model
yang berorientasi tujuan, yang digunakan baik untuk pengem-
bangan kurikulum maupun untuk evaluasi pendidikan. Jika se-
seorang mempertimbangkan model-model organisasi lainnya,
12
untuk dibahas secara singkat, maka model rasionalitas ekonomi
boleh jadi ditolak baik karena simplistik juga karena di luar
jangkauan. Sudah sangat terkenal dalam bidang pengajaran be-
tapa sulit mencapai kesamaan pandangan tentang tujuan, ba-
gaimana cara menerapkan dan bagaimana pula mengukurnya.
Ditinjau dari sudut bahwa nilai-nilai lain di luar produktivitas
adalah juga sama pentingnya bagi organisasi untuk berfungsi,
maka model rasional dianggap simplistik.
13
sektor publik, terutama yang ditargetkan dapat memaksimal-
kan anggaran dan bahwa ada insentif eksternal yang tidak
mencukupi bagi organisasi-organisasi tersebut -termasuk seko-
lah—Itulah yang mendorong efektivitas dan efísiensi. Dalam
konteks ini menarik untuk diperiksa apakah aktivitas pengum-
pulan daña sekolah sebagian besar didorong oleh adanya kebu-
tuhan akan fasilitas yang dibutuhkan [inpuij atau penyajian data
output seperti hasil-hasil ujian pada tahun-tahun sebelumnya.
Akhirnya, harus juga disebutkan bahwa walaupun model
sistem organik cenderung ke arah input, tetapi hai ini tidak mesti
harus meniadakan perhatian untuk memuaskan outputs. Ini
mungkin kasus dalam situasi di mana lingkungan membuat
ketersediaan input bergantung pada kuantitas dan/atau kualitas
prestasi sebelumnya (output).
14
Birokrasi
Masalah terpenting berkenaan dengan administrasi dan
struktur organisasi, khususnya organisasi seperti sekolah yang
mempunyai banyak sub-unit relatif otonom, adalah bagaimana
cara menciptakan keseluruhan organisasi harmonis. Cara un-
tuk ini dapat diberikan melalui interaksi sosial yang sesuai dan
kesempatan untuk pengembangan profesional dan personal (lihat
pendekatan hubungan manusia). Cara kedua diberikan melalui
pengaturan, penetapan secara jelas dan formalisasi hubungan-
hubungan sosial tersebut. Prototipe suatu organisasi di mana
posisi dan tugasnya diorganisir secara formal adalah 'birokrasi'.
Dari perspektif ini, kepastian dan kesinambungan struktur or-
ganisasi yang ada merupakan kriteria efektivitas. Sudah sangat
dikenal bahwa organisasi birokratis cenderung menghasilkan
birokrasi yang lebih besar. Motif yang mendasari di balik ini
adalah untuk memastíkan kesinambungan itu atau, masih lebih
baik, jika untuk pertumbuhan salah satu departemennya. Motif
kesinambungan ini dapat mulai beroperasi sebagai kriteria pe-
ngaruh dalam dirinya.
15
bisa j adi berupa badán pengelola sekolah, orang tua, dan/atau
masyarakat bisnis lokal.
Sudan disebutkan bahwakonsep efektìvitas organisasì tìdak
hanya bergantung pada jawaban teoritìs atas pertanyaan bagai-
mana organisasì 'disatukan' tetapi juga pada posisi golongan yang
mengajukan pertanyaan efektìvitas itu. Pada tìtik ini ada perbe-
daan antara lima pandangan tentang efektìvitas organisasì ini.
Berkenaan dengan model sistem organik dan rasionalitas eko-
nomi, manajemen organisasi merupakan 'aktor' utama yang
mengajukan pertanyaan efektìvitas itu. Sepanjang model lain-
nya diperhatikan, pimpinan departemen dan para pekerja indi-
vidu merupakan aktor-aktor yang berupaya mencapai penga-
ruh tertentu.
Dalam Tabel 3 di bawah disimpulkan karakteristìk utama
model-model teoritìs yang berbeda mengenai efektìvitas seko-
lah.
Tabel 3. Model-model efektìvitas organisasi
16
Teori birokrasi; Kesinambungan Organisasi + Struktur formal
teori anggota individual
sistem; teori
sosia!, psikologi,
homeostatic
17
Mode-mode Pendidikan yang diterima di sekolah, sebagai jalan
masuk untuk meningkatkan efektivitas
18
Kondisi-kondisi yang mendahului ini akan dirujuk sebagai
mode pendidikan yangditerima di sekolah [modes of schooling. Mode-
mode dianggap sebagai kondisi yang, pada prinsipnya, dapat
digerakkan oleh sekolah itu sendiri atau para agen di luar seko-
lah yang mengendalikan sekolah itu. Penyamaan efektivitas se-
cara keseluruhan, yang terdiri dari kondisi-kondisi yang
mendahului pada satu sisi dan pengaruh pada sisi lain, dapat
dilukiskan seperti dalam Gambar 7.
Gambar 1. Gambaran skematik efektivitas sekolah
• Tujuan
• Aufbau •»
Struktur Kriteria normatif
• Ablauf J
• Kultur
• Lingkungan
• Proses dasar
19
konsep efektivitas organisasi. Pertanyaannya adalah apakah
sebuah organisasi memilih tujuan atau sasaran yang 'benar' da-
pat dilihat sebagai pertanyaan pokok yang harus didahulukan
daripada pertanyaan rasionalitas instrumental, mengenai pen-
capaian sasaran yang sudah 'given'. Dalam hai ini pembedaan
yang sudah dikenal antara 'melakukan sesuatu yang benar' de-
ngan 'melakukan sesuatu dengan benar' menjadi taruhannya.
Pada gilirannya, pertanyaan tentang 'kebenaran' dari pilihan
tertentu dari tujuan-tujuan organisasional yang ada dapat dilihat
sebagai instrumen untuk memenuhi permintaan stakeholder da-
lam lingkungan ekstemal organisasi. Dalam kasus sekolah, mi-
salnya, hal-hal tersebut mungkin merupakan tuntutan dari ma-
syarakat lokal atau dari asosiasi-asosiasi orangtua.
Pilihan-pilihan lebih lanjut menurut tujuan yang ada ada-
lah:
20
fenomena penyatuan tujuan sub-unit organisasi (yaitu departe-
men dan para guru itu sendiri, dalam kasus sekolah) dikenal
dengan 'koordinasi tujuan'.
Tentu saja, bukan kapasitas ruang lingkup monografi ini
untuk mendiskusikan berbagai mode pendidikan di sekolah se-
cara rinci. Tabel 4 memberikan ikhtisar skematik dari sub-
kategori-sub-kategori yang paling penting. Penyajian lebih
terperinci dapat ditemukan dalam Scheerens dan Bosker (1997,
Bab 1).
Tujuan
• Tujuan menurut berbagai kriteria efektivitas
Prioritas dalam penentuan tujuan (kognitif - non-kognitif)
Aspirasi menurut tingkat pencapaian dan distribusi pencapaian
Koordinasi tujuan
21
* Pengelompokan para guru dan siswa
Manajemen umum
• Manajemen produksi Perencanaan
• Manajemen pemasaran Koordinasi
• Manajemen personalia (di antarnya hrm, hrd) Pengendalian
Manajemen keuangan dan administratif Penilaian
• Kerjasama
Kultur
Pengukuran tìdak langsung
• Pengukuran langsung
Lingkungan
Pertukaran rutin (arus sumber daya, penyerahan produk)
• Penyangga
Manipulasi aktif
Proses dasar
Pilihan kurikuler
Penyejajaran kurikulum
Kurikulum sesuai dengan prestrukturisasi proses pengajaran
Seleksi murid
Tingkat individualisasi dan diferensiasi
Pengaturan pengajaran berkenaan dengan strategi mengajar dan
organisasi kelas
22
terkonsentrasi pada manajemen produksi, kerjasama, aspek-
aspek kultur dan semua sub-kategori dari proses dasar.
Seperangkat mode yang lebih lengkap, yang diperoleh dari teori
organisasi, dianggap berguna untuk memberikan gambaran se-
lengkap mungkin mengenai kondisi-kondisi yang bisa diguna-
kan sebagai jalan bagi peningkatan sekolah.
23
Jika efektivitas diakui sebagai konsep kausal secara esensial,
di mana hubungan maksud-hingga-tujuan {means-to-endrelation-
ship serupa dengan hubungan sebab-akibat [cause-effect relation-
ship, maka kita bisa mempertimbangkan bahwa ada üga kom-
ponen utama dalam studi tentang efektivitas organisasi:
• Cakupan pengaruh;
Kesempatan aksi yang digunakan untuk mencapai penga-
ruh tertentu (ditandai sebagai mode pendidikan);
Fungsi-fungsi dan mekanisme yang mendasari yang menje-
laskan mengapa tindakan tertentu mendorong ke arah
pencapain-pengaruh.
Dalam bab ini mode pendidikan di sekolah digambarkan
dengan menggunakan kategori-kategori utama anatomi organi-
sasi berikut sebagai kerangka dasar:
Tujuan;
Struktur organisasi, baik yang berhubungan dengan struktur
posisi maupun dengan struktur prosedur (mencakup fungsi
manajemen);
Kultur;
Lingkungan;
Proses dasar/teknologi.
Masing-masing kategori utama ini diperlakukan sebagai
bidang yang, pada prinsipnya, bisa digerakkan atau dipenga-
ruhi oleh sekolah atau agen perubahan ekstemal. Atas perban-
dingan daftar mode dengan praktek penelitian tentang efektivi-
tas sekolah yang empiris dewasa ini, nampak bahwa struktur
prosedural (khususnya manajemen sekolah), seperti juga kon-
disi kultur dan pengajaran, yang banyak mendapatkan perha-
tian.
24
Van Kesteren (1996, him. 94) memasukkan sebagian besar
perspektif yang telah dibahas dalam bab ini dalam definisinya
mengenai efektivitas organisasi:
"Efektivitas organisasi adalah hadar yang dimiliki sebuah orga-
nisasi, yang didasarkan atas manajemen yang kompeten, sambil meng-
hindari usahayang tidakperlu, di dalam lingkungan tempat di mana
organisasi beroperasi yang kurang lebih kompleks, mengelola untuk
mengontrol kondisi internal dan lingkungan organisasi, dalam rangka
menunjukkan, demi proses transformasi dirinya sendiri, demi output
yangdiharapkan oleh konstituen eksternaF (diterjemahkan dari Van
Kesteren, 1996, him. 94).
Jelaslah bahwa dari definisi ini, sebagaimana dari pemba-
hasan dalam keseluruhan bab ini, bahwa efektivitas sekolah pada
intinya dilihat sebagai pokok persoalan sekolah itu sendiri
(perspektif manajemen sekolah). Pada saat yang sama, peneli-
tian yang mempertimbangkan pendidikan di sekolah dan faktor-
faktor lainnya yang dihubungkan dengan kineija 'nilai tambah'
yang relatif tinggi, ketika digeneralisasikan pada sekolah itu
sendiri, diasosiasikan dengan performa yang relatif mempunyai
"nilai tambah" yang tinggi. Berdasarkan p a d a pola-pola
sentralisasi dan desentralisasi di suatu negara (yang mungkin
berbeda untuk ranah berfungsinya pendidikan yang berbeda,
seperti kurikulum atau pembiayaan), tingkat administratif seko-
lah di atas atau konstituen-konstituen lainnya yang mempunyai
kekuasaan untuk mengambil keputusan atas beberapa kondisi-
kondisi yang mampu meningkatkan efektivitas. Dari perspektif
perencanaan pendidikan di tingkat nasional, penting memper-
timbangkan isu (de)sentralisasi fungsional. Misalnya, berdasar-
kan pada kondisi kultural, struktural dan kebijakan secara kese-
luruhan, harus diputuskan, apakah model-model peningkatan
efektivitas pendidikan di sekolah yang menentukan diserahkan
sepenuhnya secara 'bebas' ke sekolah itu sendiri atau tidak, atau
apakah langkah-langkah dorongan pusat lebih baik.
25
II. Penelltian: Telaah atas
Bukti dari Negara Maju
dan Negara Berkembang
Pendahuluan:
Rancangan menyeluruh kajian efektivitas pendidikan
27
Gambar 2. Model sistem dasar berfungsinya sekolah
Level Sekolah
Level Kelas
28
Di negara-negara sedang berkembang terdapat keunggulan
dari kajian yang kuat mengenai tipe fungsi produksi pendidik-
an. Sedikit dari kajian tersebut relatif telah diperluas hingga
meliputi variabel penga) aran dan organisasi sekolah.
29
Coleman ada kritik umum mengenai penafsiran terbatas atas
karakteristik sekolah. Dalam banyak kasus, hanya karakteristik
material yang diacu, seperti jumlah buku di perpustakaan seko-
lah, umur bangunan, pelatihan para guru, gaji guru dan besaran
belanja per murid. Meskipun demikian, karakteristik lain
dimasukkan dalam survei Coleman, seperti sikap kepala seko-
lah dan guru terhadap para murid dan sikap guru terhadap pen-
didikan terpadu, yaitu pengajaran multirasial dan tanpa perbe-
daan golongan (dalam pengertian sosial).
Kajian lain berskala besar juga terfokus terutama sekali pada
penyediaan data tentang persamaan kesempatan, seperti kajian
Hauser, Sewell dan Alwin (1976). Yang terakhir ini juga menun-
jukkan korelasi relatif tinggi antara karakteristik sosio-ekonomi
dan keluarga etnik pada satu sisi, dan pencapaian pembelajaran
pada sisi lain, yang dibandingkan dengan pengaruh kecil atau
bahkan tak berarti dari karakteristik sekolah dan pengajaran.
Hasilnya dikritik oleh para pendidik karena pilihan karakteris-
tik sekolah yang agak terbatas, dan juga alasan-alasan metodo-
logis (dikutip dari Aitkin dan Longford, 1986), yaitu karena
asosiasi multi-level tidak dianalisis dan dimodelkan secara tepat
30
produksi pendidikan'. Model penelitian untuk studi produksi
yang berkaitan dengan ekonomi hampir tidak berbeda dengan
jenis penelitian tentang efektivitas lainnya: hubungan antara
karakteristik lunak sekolah dan prestasi yang dikaji di mana
pengaruh dari kondisi latar belakang sosial seperti kelas sosial
dan kecerdasan murid dihapuskan sejauh mungkin. Sifat spesifik
penelitian fungsi produksi adalah konsentrasi pada apa yang
dapat ditafsirkan dengan pengertian lebih harfiah sebagai ka-
rakteristik input hubungan guru/murid, pelatihan guru, penga-
laman guru, gaji guru dan belanja per murid. Pengamatan tera-
khir dalam jenis penelitian ini cenderung mengemukakan bah-
wa predictor efektivitas yang dikenali dari penelitian psikologi
pendidikan parut diperhitungkan (Hanushek, 1986). Haruslah
dicatat bahwa laporan Coleman (Coleman et al., 1966) sering
dimasukkan dalam kategori studi input-output. Mengingat pene-
kanannya pada karakteristik sekolah yang lebih material, maka
penggabungannya merupakan satu hai yang nyata.
31
label 5, dikutìp dari Hanushek, 1997, menyajikan ikhtisar
'hitungan suara' yang paling mutakhir tentang studi-studi fungsi
produksi pendidikan.
Tabel 5. Distribusi persentase estimasi pengaruh sumber daya kunci pada
prestasi siswa, berdasarkan pada 377 studi
(dikutip dari Hanushek, 1997, him. 144)
Agrégat keuangan
• Gaji guru 119 20% 7% 25% 20% 28%
• Belanja per murid 163 27 7 34 19 13
32
menaruh perhatian pada fakta bahwa faktor input sumber daya
tertentu menunjukkan asosiasi positif yang signifikan dengan
prestasi murid atau hasil pendidikan lainnya, yang paling penting
dari hai tersebut sebagai berikut: Card dan Krueger ( 1992), yang
menunjukkan asosiasi positif antara sumber daya sekolah dan
perbedaan pendapatan antara para pekerja; Hedges, Laine dan
Greenwald (1994) yang melakukan meta-analisa Statistik tentang
sub-set perangkat data data Hanushek 1979 dan menemukan
pengaruh signifikan bagi beberapa variabel input sumber daya,
yang di antaranya pengaruh positif agak besar dari belanja per
murid; Ferguson (1991), yang terutama sekali menemukan pe-
ngaruh variabel yang besar yang berhubungan dengan kualifi-
kasi guru (khususnya skor uji resertifikasi guru); dan Achilles
(1996) yang melaporkan pengaruh terus-menerus dari ukuran
kelas yang dikurangi (14-16 dibandingkan dengan 22-24) di
taman kanak kanak dan tiga pertama nilai sekolah dasar) pada
prestasi siswa.
33
Tabel 6. Sumbangan Verstegen dan King (1998) terhadap tabulasi
Hanushek (1997, him. 144)
Agrégat keuangan
• Gaji guru 32 74 26
• Belanja per murid 55 79 21
34
siswa, dan indikator outcome 'nilai tambah' digunakan, tnaka
jumlah pengaruh positif menurun.
Jika data pada tìngkat agregasi tinggi (misalnya negara itu
sendiri) digunakan, maka bias salah spesifikasi mungkin akan
menghasilkan pernyataan yang berlebihan mengenai pe-
ngaruh (kritik ini akan berlaku bagi studi Ferguson dan Card
dan Krueger). Masalah ini sering terjadi untuk variabel
belanja per murid yang biasanya hanya didefinisikan di
tingkat daerah.
Dalam meta-analisa Statistik hipótesis null (gagal) adalah bah-
wa perbedaan sumber daya atau belanja, di bawah kondisi
apapun juga, tidak pemah mempengaruhi prestasi siswa;
dengan jelas hipótesis ini akan ditolak, bahkan pada kasus
di mana hanya sebagian kecil studi yang menunjukkan
asosiasi positif yang signifikan dengan variabel outcome.
Banyak tinjauan ulang terbaru atas bukti penelitian tentang
studi fungsi produksi pendidikan menyebutkan perlunya men-
cari jawaban atas pertanyaan 'mengapa uang berarti atau tidak
berarti', misalnya dengan mencari kombinasi dan interaksi antara
tingkat input sumber daya dan variabel pengajaran serta organi-
sasi sekolah. Dalam koleksi artikel terbaru tentang ukuran kelas
(Galton, 1999), acuan dibuat bagi perbedaan antara kultur pen-
didikan dengan sejuhmana kelas yang besar dianggap suatu
beban bagi para guru.
Perluasan lain yang diinginkan dari jenis studi mengenai
fungsi produksi pendidikan dasar adalah membicarakan masa-
lah efektivitas biaya lebih secara langsung, yang membanding-
kan rasio efektivitas biaya atau bahkan cost-benefit bagi peng-
ukuran kebijakan yang berbeda. Perbandingan studi fungsi
produksi pendidikan antara negara industri dengan negara
sedang berkembang terutama sekali menarik, karena fenomena
'pembatasan jarak' (misalnya, sedikitnya perbedaan gaji guru
35
antar sekolah) mungkin akan menekan pengaruh pada sistem
persekolahan yang relatif homogen. Hasil dari studi tentang
fungsi produksi pendidikan pada negara-negara yang sedang
berkembang akan disajikan dalam bagian berikut.
36
yang bisa dibentuk. Ada perdebatan yang hangat di seputar
bagaimana studi evaluasi yang ada hams ditafsirkan.
Pertanyaan kuncinya adalah: apakah hasil-hasil studi terse-
but dapat secara realistis diharapkan dari ganti rugi pendidikan,
memberi pengaruh yang dominan pada akhirnya latar belakang
keluarga dan keserasian teori pada üngkatan pencapaian mu-
riti? Scheerens (1987, p. 95) menyimpulkan bahwa kesan umum
yang disajikan oleh evaluasi program kompensatori adalah bah-
wa kemajuan kecil di dalam capaian dan pengembangan teori
dapat dibedakan dengan seketika setelah suatu program selesai.
Umumnya, efek jangka panjang dari program ganti rugi tidak
bisa dibentuk. Lebih dari itu, sekali-kali ditunjukkan bahwa itu
'secara moderat' kurang beruntung karena kebanyakan keun-
tungannya diambil dari program-program yang ada, sedangkan
para murid yang secara pendidikan kurang beruntung dapat
membuat kurang maju.
37
tama sekolah dasar) dari keluarga besar kelas yang berfungsi
secara menguntungkan.
38
• Lingkungan yang rapi dan aman;
Harapan pencapaian murid yang tinggi;
• Penilaian tentang kemajuan murid.
Dalam khazanah literatur, persoalan ini kadang-kadang
diidentifikasi sebagai 'model lima faktor efektivitas sekolah'.
Haruslah disebutkan bahwa penelitian tentang sekolah yang
efektif sebagian besar dilakukan untuk sekolah dasar, sedang-
kan pada saat yang sama studi kebanyakan telah diselenggara-
kan di dalam kota dan terutama di kelas-kelas tetangga kota
yang berfungsi.
Dalam kontribusi yang lebih mutakhir, penelitian tentang
sekolah yang efektif telah diintegrasikan dengan fungsi produksi
pendidikan dan penelitian tentang efektivitas pengajaran, yang
berarti bahwa campuran kondisi anteseden dimasukkan. Studi
sudah meningkat dari studi kasus komparatif ke studi survei,
dan modeling konseptual dan multi-level analitis telah diguna-
kan untuk menganalisis dan menginterpretasikan hasil-hasil riset
tersebut. Banyak studi yang bersifat review terhadap efektivitas
sekolah telah diterbitkan sejak akhir tujuhpuluhan. Misalnya oleh
Purkey dan Smith (1983) serta Ralph dan Fennessey (1983). Studi
review yang lebih mutakhir dilakukan oleh Levine dan Lezotte
(1990), Scheerens (1992), Creemers (1994), Reynolds et. al.
(1993), Sammons et. al. (1995), dan Cotton (1995).
39
ketika seseorang membandingkan lebih awal dengan review-
review yang lebih mutakhir.
Tabel 7meringkas karakteristik yang didaftar dalam review
yang dilakukan oleh Purkey dan Smith (1983), Scheerens (1992),
Levine dan Lezotte (1990), Sammons et al. (1995), dan Cotton
(1995).
Kebijakan Budaya dan Iklim Tekanan untuk Rencana dan Berbagi Tujuan
Berorientasi yang produktif b e rp restasi Tujuan belajar dan Visi
40
Waktu tugas, Aransemen Pengajaran Manajemen Pengajaran
penguatan, pengajaran terstruktuí, kelas dan bertujuan
beni rutan efektif waktu pembelajaran organisasi,
efektif, kesempatan pengajaran
belajar
Interaksi
sekolah-distrik
Equity
Program khusus
Stimuli ekstemal
untuk membuat
sekolah efektif
Karakteristik
material dan fisik
sekolah
Pengalaman guru
Karakteristik-
karakteristik
dalam konteks
sekolah
41
• waktu, kesempatan belajar dan 'struktur' sebagai kondisi
pengajaran utama.
Konsensus tentang karakteristik umum ini menyembunyi-
kan penyimpangan yang pantas dipertimbangkan dalam
operasionalisasi nyata tiap-tiap kondisi. Dengan jelas konsep
seperti 'produktif, iklim berorientasi prestasi' dan 'kepemimpinan
pendidikan' adalah kompleks, dan studi individu boleh jadi
beragam fokus mereka.
Scheerens dan Bosker (1997, Bab 4) memberikan suatu
analisa atas faktor yang dipertimbagkan bekerja dalam pendi-
dikan, sebagaimana nampak dari daftar pertanyaan yang nyata
dan skala yang digunakan dalam 10 studi empiris efektivitas se-
kolah.
Tabel ringkasan mereka, di mana komponen utama dari 13
faktor umum disebutkan, dikutip di bawah sebagai Tabel 8.
Faktor Komponen
42
Konsensus dan * Jenis dan frekuensi pertemuan-pertemuan dan
kohesi antar staf konsu Itasi
* muatan kerjasama
* kepuasan tentang kerjasama
* arti penting yang berhubungan dengan kerjasama
* indikator kerjasama yang sukses
43
* memelihara arsip tentang kineija murid
* kepuasan dengan aktivitas evaluasi
44
kelompok kawan sebaya {peer), dan lingkungan rumah (misal-
nya, nonton televisi), yang diberi judul 'produktivitas pendidik-
an'.
Pada 1960-an dan 1970-an efektivitas karakteristik pribadi
tertentu dari para guru diberi perhatian khusus. Medley dan
Mitzel, 1963; Rosenshine dan Fürst, 1973 dan Gage, 1965 ter-
masuk dari mereka yang meninjau ulang temuan penelitian itu.
Dari ini muncul bahwa hampir tidak ada konsistensi apa pun
yang ditemukan antara karakteristik pribadi guru seperti ramah
atau sikap kaku pada satu sisi, dan prestasi murid pada sisi lain.
Ketika mempelajari gaya mengajar (Davies, 1972), sekumpulan
perilaku guru biasanya dilihat lebih dari aspek yang dapat dilacak
akar-akarnya secara mendalam dari kepribadian mereka. Di
dalam kerangka 'penelitian tentang pengajaran', di situ mengikuti
suatu période selama banyak perhatian dicurahkan untuk me-
ngamati perilaku guru selama pelajaran berlangsung. Bagaima-
napun, hasil pengamatan ini jarang mengungkapkan suatu hu-
bungan dengan prestasi murid (lihat, misalnya, Lortie, 1973).
Dalam tahap berikutnya, perhatian lebih eksplisit diberikan
kepada hubungan antara prestasi murid dan perilaku guru yang
diamati. Penelitian ini telah diidentifikasi dalam literatur seba-
gai 'studi proses-produk belajar'. Variabel yang 'betul-betul'
muncul di berbagai studi adalah sebagai berikut (Weeda, 1986,
hlm.68):
45
Tugas yang berhubungan dan/atau perilaku praktis: mengarah-
kan murid untuk melengkapi tugas, kewajiban, laühan dan
lain-lain dengan cara praktis;
• Kritik: banyak kritik négatif juga berpengaruh négatif pada
prestasi murid;
Aktivitas tidak langsung: memungut gagasan, menerima pe-
rasaan murid serta merangsang aktivitas individu;
Memberi kesempatan para murid untuk mempelajari kriterai
materi- yaitu, korespondensi yang jelas antara apa yang
diajarkan di kelas dengan apa yang diujikan dalam pengujian
dan penilaian;
• Menggunakan komentar yang merangsang. mengarahkan
pikiran murid untuk bertanya, meringkas suatu diskusi,
menunjukkan awal atau akhir suatu pelajaran, menekankan
corak tertentu materi kursus;
Mengubah tingkat pertanyaan kognitif dan interaksi kognitif.
Dalam studi mutakhir tentang waktu pengajaran yang efektif
menjadi faktor utama. Titik anjak teoritis ini dapat ditelusuri
akar-akamya pada model pengajaran-pembelajaran Carroll
(Carroll, 1963). Adapun aspek-aspek utama pada model ini a-
dalah:
• Waktu belajar bersih (nel) yang nyata dilihat sebagai hasil
dari ketekunan dan kesempatan untuk belajar;
Waktu belajar bersih (neíj yang diperlukan sebagai hasil dari
keserasian murid, mutu pendidikan dan kemampuan mu-
rid untuk memahami pengajaran.
Model pembelajaran penguasaan yang dirumuskan oleh
Bloom pada 1976 sebagian besar diilhami oleh model Carroll,
dan itu juga sesuai dengan konsep 'pengajaran langsung' (direct
teaching).
46
Doyle (1985) melihat efektìvitas pengajaran langsung, yang
dia defìnisikan sebagai berikut:
• Tujuan pengajaran dirumuskan dengan jelas;
Maten mata pelajaran yang akan diikuti secara hati-hati
dipecah menjadi tugas belajar dan ditempatkan secara
berurutan;
Guru menjelaskan dengan jelas apa yang harus dipelajari
para murid;
Guru secara teratur mengajukan pertanyaan untuk mengu-
kur tingkat kemajuan apa yang sedang diraih murid dan
apakah mereka sudali memahami;
• Para murid mempunyai waktu yang besar untuk berlatih
apa yang telah diajarkan, dengan menggunakan 'belajar
cepat' [prompt dan umpan balik (feedbacfy;
Ketrampilan dilatihkan sampai penguasaannya bersifat
otomatis;
• Guru secara teratur menguji para murid dan menyerukan
mereka bertanggung jawab atas hasil pekerjaan mereka.
Pertanyaan apakah jenis pengajaran sangat terstruktur ini
bekerja sama baik untuk memperoleh proses kognitif yang rumit
di pendidikan lanjutan perihal penguasaan ketrampilan dasar
di tingkat sekolah dasar telah dijawab secara afirmatif (menurut
Brophy dan Good, 1986). Namun, dalam setting demudan, ke-
majuan melalui matapelajaran dapat diambil dengan langkah-
langkah lebih besar, pengujian tidak perlu begitu sering dilaku-
kan dan di sana harus ada ruang yang diberikan untuk mene-
rapkan strategi pemecahan masalah secara fleksibel. Doyle (ibid.)
menekankan pentingnya tugas belajar yang bermacam-macam
dan menciptakan situasi belajar yang menantang secara intelek-
tual. Ini dapat diproduksi melalui iklim evaluatif dalam kelas, di
47
mana metode ambii resiko (risk-takin¿¡ disarankan, bahkan de-
ngan tugas yang rumit.
Dalam domain organisasi kelas, meta-analisis Bangert, Kulik
dan Kulik (1983) mengungkapkan bahwa pengajaran indivi-
dualistik pada pendidikan tingkat lanjutan hampir tidak men-
dorong prestasi yang lebih tinggi dan tidak punya pengaruh
apapun juga pada faktor seperti self-esteem dan sikap para mu-
rid. Model 'síntesis bukti-terbaik' (best-evidence-syntheses) oleh
Slavin (1996) menunjukkan pengaruh positif belajar kerjasama
secara signifikan di tingkat sekolah dasar.
Meta-analisis Walberg (1984) dan Fraser et. al. (1987) me-
nemukan pengaruh paling signifikan untuk kondisi pengajaran
sebagai berikut:
• Penguatan;
Program khusus bagi anak-anak berbakat;
• Belajar membaca terstruktur;
Isyarat dan umpan balik;
Penguasaan belajar ilmu fisika;
• Bekerja bersama dalam kelompok kecil.
Haruslah dicatat bahwa perspektif teori yang dikembang-
kan baru-baru ini dan, khususnya, perspektif konstruktivis ten-
tang pembelajaran dan pengajaran, menghadapi tantangan pen-
dekatan yang berorientasi behaviouristik dan hasil-hasil dari
tradisi penelitian proses-produk (Duffy dan Jonassen, 1992;
Brophy, 1996). Menurut pendekatan konstruktivis, belajar
mandili, meta-kognisi (misalnya, belajar untuk belajar), 'belajar
aktif, belajar untuk meniru 'perilaku tenaga ahli' ('cognitive ap-
prenticeship1) dan belajar dari situasi kehidupan riil i?situated cog-
nition) harus ditekankan, walaupun efektivitas pengajaran dan
pembelajaran menurut prinsip ini belum dengan kuat ditetap-
48
kan. Bagaimanapun, pengarang yang sudah membicarakan per-
soalan ini (Scheerens, 1994; De Jong dan Vanjoolingen, 1998),
menunjukkan bahwa perbandingan secara langsung dengan
pendekatan pengajaran lebih terstruktur mungkin rumit, karena
pengajaran konstruktivis menekankan tujuan kognitif yang ber-
beda, pada tatanan yang lebih tinggi. Lebih dari itu, pengajaran
terstrukur versus 'terbuka' dan 'aktif mungkin lebih baik
dipahami sebagai rangkaian dari campuran aspek-aspek yang
terstruktur dan 'terbuka', dan bukan sebagai dikotomi.
Integrasi
Dari limajenis penelitian pendidikan yang berorientasi efek-
tívitas yang telah diünjau, dua di antaranya terfokus pada ka-
rakteristik sekolah 'material' (seperti gaji guru, fasilitas bangunan
dan perbandingan guru/murid). Hasilnya agaknya mengecewa-
kan karena tidak ada korelasi positif yang substansial dari
investasi material dan prestasi pendidikan ini bisa dibangun
dengan cara konsisten menurut studi itu sendiri. Atas dasar studi
yang lebih mutakhir agaknya kesimpulan pesimistis ini telah
ditantang, walaupun kritik metodologis padanya menunjukkan
bahwa kesimpulan pesimistis yang lebih awal itu justru lebih
realistis. Studi proses mendalam yang dihubungkan dengan eva-
luasi besar-besaran atas program kompensatori menunjukkan
bahwa program yang menggunakan pendekatan pengajaran
langsung, yaitu terstruktur, lebih unggul daripada pendekatan
lebih 'terbuka'. Gerakan penelitian yang dikenal dengan pene-
litian tentang sekolah efektif teladan (atau penelitian sekolah
efektif) lebih terfokus pada fungsi internal sekolah ketimbang
tradisi lebih awal studi input-output.
49
dan penilaian kemajuan murid yang sering menandakan seko-
lah efektif tidak biasa.
Hasil-hasil riset dalam bidang efektivitas pengajaran
diütikberatkan pada seputar tiga faktor utama: waktu belajar
efektif, pengajaran terstruktur dan kesempatan untuk belajar,
dalam pengertian suatu penjajaran yang dekat an tara materi yang
diajarkan dengan materi yang diujikan.
50
d. Sekolah karakteristik Tingkat Pendidikan Studi kasus
yang efektif 'proses' sekolah prestasi interdisipliner
51
Gambar 3. Model Efektivitas Sekolah yang Terpadu (dari Scheerens, 1990)
Konteks
• Stimulan berprestasi dan tingkat administratif yang lebih tinggi
• Pengembangan konsumerisme pendidikan
• 'covariables', seperti ukuran sekolah, komposisi OSIS [student-body), kategori sekolah, kota/desa.
Tingkat Sekolah
Input Output
* Tingkat kebijakan berorientasi
* pengalaman guru Prestasi siswa,
prestasi
* belanja per-murid yang disesuaikan
* Kepemimpinan pendidikan
* dukungan orang tua dengan:
* Konsensus, perencanaan kerjasa-ma
• prestasi sebe-
para guru
lumnya
* Mutu curricula sekolah dalam
* kecerdasan
kaitannya dengan cakupan isi, dan
•SES
structur formal
• Atmosfir yang rapì
* potensi evaluatif
Tingkat Kelas
• waktu tugas (mencakup pekerjaan
rumah)
pengajaran terstrukhir
kesempatan untuk belajar
harapan kemajuan murid yang tinggi
tingkat evaluasi dan monitoring
kemajuan murid
penguatan
52
Ringkasan Meta-analisis
53
pengaruh besar. Kesimpulan mengenai faktor input-sumber daya
agaknya mungkin perlu dimodifikasi dan agak 'sedikit berbeda',
yang memberikan hasil studi lebih mutakhir sebagaimana
ditunjukkan di atas, misalnya hasil eksperimen STAR menge-
nai pengurangan ukuran-kelas.
Ada perbedaan menarik antara ukuran pengaruh yang
relatif kecil untuk variabel tingkat sekolah yang dilaporkan da-
lam meta-analisis dan tingkat kepastian dan konsensus menge-
nai relevansi faktor ini dalam review penelitian yang lebih
kualitatif.
Haruslah dicatat bahwa tiga blök variabel bergantung pada
metode penelitian yang digunakan: studi fungsi produksi pen-
didikan bergantung pada data Statistik dan administratif dari
sekolah atau unit administratif lebih tinggi, seperti pemerintah
daerah atau negara bagian; studi efektivitas sekolah terfokus pada
faktor tingkat sekolah yang biasanya dilakukan sebagai studi
lapangan dan survei; studi tentang efektivitas pengajaran biasa-
nya didasarkan pada rancangan eksperimental. Yang tak berarti
untuk pengaruh yang sangat kecil ditemukan dalam análisis ulang
atas seperangkat data IEA yang agaknya mungkin sebagian
melekat pada cara 'mewakili' dan superfisial di mana variabel
yang dipermasalahkan dioperasionalisasikan sebagai item
kuesioner. Suatu temuan tambahan dari studi perbandingan in-
ternasional (tidak ditunjukkan dalam tabel ini) adaiah
inkonsistensi yang relatif dari signifikansi correlate efektivitas se-
kolah lintas negara, lihat juga Scheerens, Vermeulen dan Pelgrum
(1989) dan Postlethwaite dan Ross (1992).
54
Tabel 10. Tinjauan atas Bukti dari Tinjauan kualitatif, Studi Internasional
dan Sintesis Penelitian
Kondisi pengajaran:
Kesempatan untuk belajar + 0.15 0.09
Waktu tugas/pekerjaan rumah + 0.00/-0.01(n.s .) 0.019/0.06
Monitoring pada tingkat kelas + - 0.01 ( n.s.) 0.11 (n.s.)
55
BAGIAN 2. BUKTI DARI NEGARA-NEGARA
SEDANG BERKEMBANG
Dalam bagian bab ini, bukti tentang kondisi yang mening-
katkan efektivitas bagi pendidikan di negara sedang berkem-
bang akan ditinjau ulang. Tinjauan ulang ini berangkat dengan
mengacu pada artikel tinjauan ulang lebih awal, khususnya oleh
Hanushek (1995) dan Fuller dan Clarke (1994). Studi yangbela-
kangan memasukkan hasil review yang dilakukan Fuller (1987),
Lockhee dan Hanushek (1988), serta Lockheed dan Verspoor
(1991). Gambaran skematik berikutnya tentang 13 studi yang
dilakukan setelah pada 1993 disajikan. Kesimpulan ditarik dari
state of art penelitian tentang efektivitas pendidikan di negara
sedang berkembang, dalam kaitannya dengan jenis faktor mana
yang kebanyakan dipelajari, bagaimana hasilnya dibandingkan
dengan di negara-negara industri, dan apa implikasi dan inovasi
penelitian yang relevan bagi aplikasi kebijakan dan praktisnya.
56
Tabel 11. Ringkasan 96 Studi tentang Estimasi Pengaruh Sumber Daya
pada Pendidikan di Negara-negara Sedang Berkembang
(dikutip dari Hanushek, 1995)
Signifikan Tïdak
Secara Statistik Sinifikan
Rasio guru/murid 30 8 8 14
Pendidikan guru 63 35 2 26
Pengalaman guru 46 16 2 28
Gaji guru 13 4 2 7
Fasilitas 34 22 3 9
57
Relevansi fasilitas-fasilitas sekolah di negara-negara sedang
berkembang, tidak ditunjukkan dal am perbandingan ini,
berjumlah tidak kurang dari 70 fasilitas ketika dinyatakan de-
ngan persentase studi positif yang signifikan.
Dampak lebih besar dari faktor input sumber daya ini di
negara-negara sedang berkembang dapat dihubungkan dengan
p e r b e d a a n lebih besar antara variabel d e p e n d e n dan
independen. Sumber daya manusia dan material dalam pendi-
dikan di negara-negara industri didistribusikan dengan cara
relatif homogen antar sekolah, yaitu sekolah tidak berbeda amat
banyak pada variabel ini. Mengenai variabel hasil [outcome) [mi-
salnya prestasi pendidikan], Riddell (1997) menunjukkan bah-
wa sekolah-sekolah di negara-negara sedang berkembang ber-
beda-beda pada rata-rata 40 persen (skor kasar) dan 30 persen
(skor yang disesuaikan untuk variabel masukan). Ini merupa-
kan variasi lebih besar sekali dibanding variasi yang biasa dite-
mukan di negara-negara industri, di mana nilai perbedaan 10
persen sampai 15 persen antara sekolah tentang hasil yang dise-
suaikan nilai yang dipatok lebih umum (cf. Bosker dan Scheerens,
1999).
58
berikan ekstra pembiayaan dan sekolah menanggung semua
biaya tersebut. Pritchett dan Filmer (1997) menunjukkan keun-
tungan politis dari pengeluaran untuk sumber daya manusia
(mengurangi ukuran kelas khususnya) dibandingkan dengan
pengeluaran untuk materi pengajaran, meskipun efìsiensi jauh
lebih besar dari pendekatan yang dilakukan belakangan, sedang
Picciotto (1996) mengkritik seperangkat ukuran kinerja pendi-
dikan yang sempit yang digunakan dalam kebanyakan peneli-
tían tentang fungsi produksi pada pendidikan dan menyatakan
bahwa "disain program harus diberitahukan melalui penilaian
terhadap keseluruhan kinerja pendidikan terhadap sasaran ke-
masyarakatan; dengan mengevaluasi terhadap relevansi sasaran
itu sendiri dan oleh perancangan yang bijaksana oleh institusi
untuk menyediakan jasa yang diperlukan" (ibid. him. 5). Teori
ekonomi mikro membuat dugaan menarik berkenaan dengan
mekanisme kontrol dalam pendidikan juga; argumennya ada-
lah bahwa ukuran kontrol birokratis adalah salah dan mahal
dan bahwa keterlibatan masyarakat dan 'demokrasi langsung'
akan menyajikan suatu alternatif yang lebih baik. Sekarang ini,
dugaan ini harus dihargai karena fungsi heuristiknya yang me-
rangsang bagi penelitian lebih lanjut. Bagaimanapun, bukti bu-
kanlah kesimpulan yang cukup untuk memungkinkan keselu-
ruhan penilaian tentang kontrol birokratis versus berbasis
konsumen. Lebih dari itu, hasil kemungkian lebih tergantung
pada faktor situational lainnya, seperti struktur tradisional sis-
tem pendidikan dan aspek budaya.
59
daya pada umumnya yang lebih rendah dan variabilitas input
sekolah yang lebih besar.
Tabel 13. input Sekolah dan Variabel Proses yang Menunjukkan Asosiasi
Positif yang Signifikan dengan Prestasi dalam Sedikitnya 50 persen Studi di
Negara-negara Sedang Berkembang, dianalisis oleh Fuller dan Clarke, 1994*
Pengeluaran sekolah
Belanja per murid 3/6 3/5
Total belanja sekolah 2/5 -
Input sekolah spesifik
Rata-rata ukuran kelas 9/26 2/22
Ukuran sekolah 7/8 1/5
Ketersediaan buku teks 19/26 7/13
Buku bacaan tambahan 1/1 2/2
Buku latihan 3/3 -
Pedoman mengajar 0/1 -
Desk 4/7 0/1
Media pengajaran 3/3 -
Mutu fasilitas 6/8 1/1
Perpustakaan sekolah 16/18 3/4
Laboratorium ilmu pengetahuan 5/12 1/1
Ilmu gizi anak dan feeding 7/8 1/1
Atribuí guru
Total tahun pendidikan 9/18 5/8
Prestasi yang diukur lebih awal 1/1 1/1
60
Tersier atau college guru 21/37 8/14
In-service training guru 8/13 3/4
Pengetahuan matapelajaran guru 4/4 -
Jenis kelamin guru (perempuan) 1/2 2/4
Pengalaman guru 13/23 1/12
Tingkat gaji guru 4/11 2/11
Kelas sosial guru 7/10 -
Pedagogi kelas dan organisasi
Waktu pengajaran 15/17 12/16
Monitoring prestasi murid yang sering 3/4 0/1
Waktu persiapan kelas 5/8 1/2
Pekerjaan rumah yang sering 9/11 2/2
Efficacy guru 1/1 0/1
Tugas belajar bersama bagi siswa - 3/3
Manajemen sekolah
Keanggotaan cluster sekolah 2/2 -
Penilaian staf kepala sekolah 3/4 0/1
Tingkat pelatihan kepala sekolah 3/4 1/2
Kunjungan pemeriksaan sekolah 2/3 0/1
Pekerjaan mengikuti jalan atau segregasi murid 1/1
Sumber: Fuller dan Clarke, 1994.
Tinjauan ulang ini mempertimbangkan sekitar 100 studi dan menggambarkan tinjauan
ulang lebih awal oleh Fuller (1987), Lockheed dan Hanushek (1988), Lockheed dan
Verspoor (1991) dan análisis atas 43 studi dalam période 1988-1992 yang dilakukan
para pengarang itu sendiri.
61
Dominannya karakteristik input yang dinilai relatif lebih
mudah ini juga terbaca jelas pada Tabel 14, yang menunjukkan
variabel waktu tertentu yang tercakup dalam total 43 studi.
Tabel 14. Jumlah Waktu dari Total 43 Studi yang Dilakukan antara 1988 dan
1992 (sekolah dasar dan menengah diambil bersama-sama) Jenis Input
Sekolah Tertentu atau Variabel Proses Diinvestigasi
Pendaftaran/staf
Ukuran sekolah 6
Ukuran kelas 25
Variabel guru
Pelatihan guru 24
Gaji guru 3
Pengalaman guru 9
Persiapan guru 1
Kemanjuran guru 1
Jenis kelamin guru 5
In-service training 7
Pengajaran
Waktu pengajaran 13
Pekerjaan rumah 3
Pedagogi spesifik 12
Ujian murid 5
Organisasi sekolah
Negeri/Swasta 4
Tracking 1
Supervisi kepala sekolah 3
62
Atas dasar review mereka tentang pengaruh positif yang
signifìkan, Fuller dan Clarke (ibid.) menyimpulkan bahwa pe-
ngaruh sekolah yang agak konsisten dapat ditemukan dalam tiga
area utama: ketersediaan buku teks, materi bacaan tambahan, dan
kualitasgu.ru (misalnya, pengetahuan yang dimiliki guru menge-
nai materi pokok dan kecakapan lisan mereka) dan waktupenga-
jaran dan tuntutan kerja yang ditempatkan pada siswa.
Faktor kebijakan yang relevan menunjukkan inkonsistensi
atau ketiadaan pengaruh nampaknya adaiah ukuran kelas dan
gaji guru.
Temuan yang diringkas dalam label 13 dan 14, sekali lagi,
menyoroti dominannya jenis fungsi produksi dari studi tentang
efektivitas di negara-negara sedang berkembang. Riddell (1997),
dalam suatu review-nya yang lebih berorientasi pada metodo-
logis, mengamaü bahwa 'gelombang ketiga' penelitian tentang
efektivitas sekolah di negara-negara sedang berkembang ada-
iah "dalam bahaya hilang tanpa pernah menyelidiki". Dengan
gelombang ketiga ini dia sedang mengacu pada apa yang pe-
ngarang gambarkan sebagai 'studi efektivitas sekolah yang
terpadu', yang berisikan input sumber daya, faktor organisasi
dan karakterístik pengajaran, di mana peragaan multi-level
merupakan prasyarat metodologis yang vital.
63
(a) Tingkat keluarga lokal yang membutuhkan pendidikan di
sekolah;
(b) Kapasitas organisasi sekolah dalam merespon tuntutan ke-
luarga "seraya memberikan format pengetahuan yang tidak
ada hubunganya dengan pengetahuan asli masyarakat itu
sendiri" (Fuller dan Clarke, 1994);
(c) Pilihan dan kapasitas guru dalam menggunakan alat penga-
jaran;
(d) Tingkat persetujuan antara perilaku pedagogis guru dan
norma-norma lokal mengenai otoritas orang dewasa, penga-
jaran didaktis dan partisipasi sosial di sekolah (ibid., him.
136).
Gagasan-gagasan tersebut, dan juga gagasan tentang
perlunya menanggulangi kelemahan studi tentang efektivitas
sekolah lainnya (tidak adanya análisis untung rugi, kekurangan
studi yang dirancang secara membujur), berimplikasi adanya
tuntutan adanya disain studi baru. Menurut Riddell (1997), Fuller
dan Clarke gagal menyajikan alternatif penelitian yangjelas.
64
nyatakan bahwa "variasi dalam praktek pengajaran di negara-
negara sedang berkembang hanya jarang ditemukan untuk
dihubungkan dengan variasi dalam pembelajaran siswa". Ke-
mungkinan budaya, seperti diacu oleh Fuller dan Clarke, atau
tidak adanya variasi dalam praktek pengajaran di beberapa
negara sedang berkembang, bisa ditawarkan sebagai penjelas-
an hipoteüs untuk hasil ini.
1. Fokus model ini pada tingkat sekolah itu sendiri, dan tidak
membicarakan isu penting mengenai berfungsinya sistem
pendidikan nasional yang sesuai; saya akan mengacu pada
model ini sebagai pembatasan agregasi. Ketika subsidiarily1
diterapkan dan sekolah otonom, pembatasan ini diimbangi
sampai batas tertentu, karena, menurut defînisi, sekolah
mempunyai tanggung jawab formal lebih besar.
2. Model ini mempunyai fokus yang betul-betul instrumental,
yang memperlakukan tujuan dan sasaran pendidikan seba-
gai hai yang sebagian besarnya 'given'. Memperluas model
ini menurut perspektif efektivitas organisasi yang lebih besar,
sebagaimana secara singkat diacu pada Bagian I, sebagian
dapat mengimbangi pembatasan ini dengan memperhitung-
kan respon sekolah ketika berhadapan dengan perubahan
batasan lingkungan. Juga, ia tergantung pada pola desen-
tralisasi fungsional dalam sistem pendidikan dengan seja-
uhmana mekanisme adaptasi di tingkat sekolah dianggap
penting jika dibandingkan dengan ketetapan di tingkat
65
makro. Kita akan mengacu pada pembatasan ini sebagai
pembatasan instrumentalitas.
3. Walaupun model ini memungkinkan dimasukkannya yang
masalah keadilan dan efisiensi, namun praktek penelitian
sebenarnya belum berbuat sesuai dengan harapan dalam
area ini. Lebih dari itu, bagaimana penelitian efektivitas se-
kolah berhadapan dengan isu ini juga ditentukan oleh dua
pembatasan lainnya: tingkat agregasi dan instrumentalitas.
Argumennya adalah bahwa, terutama sekali di negara-
negara sedang berkembang, isu ini patut dihadapkan de-
ngan perspektif yang lebih luas ketimbang dengan model
efektivitas sekolah tersebut. Pembatasan ini akan diacu se-
bagai orientasi kualitas yang relatif sempit.
Pembatasan agregasi
Sebagaimana dinyatakan dalam Gambar 3, yang menun-
jukkan suatu model 'terpadu', efektivitas sekolah dilihat sebagai
mencakup kondisi-kondisi lunak pada berbagai tingkat sistem
pendidikan, walaupun sebagian besar kondisi lunak ini
terkondisikan pada tingkat sekolah. Fokus ini barangkali boleh
juga dilihat sebagai pembatasan penelitian tentang efektivitas
sekolah secara empiris. Komponen yang meliputi kondisi
kontekstual kurang dikembangkan dengan baik. Komponen ini
terkonsentrasi pada kondisi kontekstual yang dapat dihubungkan
dengan rangsangan orientasi prestasi di tingkat sekolah. Con-
tohnya adalah pengaturan standar prestasi dan rangsangan
konsumerisme pendidikan. Praktek melaporkan capaian seko-
lah melalui media publik, menghubungkan keduanya. Maka
'pengaturan standar' dan akuntabilitas yang merangsang, dengan
memperkenalkan mekanisme evaluasi dan umpan balik, meru-
pakan ukuran yang harus tercakup dalam model efektivitas se-
kolah 'terpadu'. Jelas, dalam hai ini, tìdak semua perencana pen-
66
didikan nasional dapat berbuat untuk merangsang keseluruhan
mutu pendidikan. Adapun isu-isu utama lainnya meliputi:
Privatisasi dan desentralisasi;
Menciptakan koordinasi vertikal antar tingkat pendidikan
(misalnya dalam tingkat yang ada di IS CED);
Menentukan standar pelatihan guru dan menyelenggarakan
pelatihan guru;
Menyediakan akses yang cukup ke pendidikan (yang boleh
melibatkan trade-offuntara 'kuantitas' dan 'kualitas' pendi-
dikan di negara-negara sedang berkembang) dan menye-
diakan distribusi yang parut dari sumber daya pendidikan
yang langka.
Isu desentralisasi parut mendapat beberapa perhatian lebih
lanjut dalam konteks ini, sebab ia menunjuk pada konteks di
mana pentingnya kondisi tingkat sekolah ditingkatkan. Rondisi
lunak yang diidentifikasi oleh penelitian efektivitas sekolah de-
ngan begitu memperoleh relevansinya. Pertama, konsep 'desen-
tralisasi fungsionaP dan 'subsidiaritas' akan diperjelas. Konsep
ini menyediakan suatu dasar untuk menentukan pentingnya
sekolah secara relatif sebagai tingkat pengambilan keputusan
dalam sistem pendidikan, dan, lebih dari itu, menyediakan
jawaban berbeda atas pertanyaan ini yang bergantung pada
ranah pengambilan keputusan tertentu.
67
Iah korporasi berbasis golongan agama tertentu atau kelompok
anggota penekan dalam bidang pendidikan. 'Subsidiarität' ada-
iah istilah yang lebih disukai oleh denominasi Katolik Roma,
sedangkan kaum Protestan menyatakan 'kedaulatan di dalam
lingkaran diri sendiri'. Leune (1987,379-380) menunjukkan sifat
korporatis konsep semacam ini. Menurut prinsip subsidiaritas,
negara hanya mengambil kendali hanya ketika diperlukan saja.
Contoh sederhana subsidiaritas adaiah instruktur pengemudi,
yang mengambil alih kemudi kendaraan hanya ketika peserta
pelatihan melakukan kesalahan, tetapi dalam semua kasus lain
dia hanya dengan tenang mengamati tanpa ikut campur tangán
secara langsung. Dalam konteks Komisi Eropa, istilah
subsidiaritas digunakan untuk menyatakan prinsip bahwa apa
yang dapat dipenuhi oleh anggota negara harus tidak dilaksa-
nakan oleh badan pusat Perserikatan.
68
• Pengendalian muta.
Pola desentralisasi fungsional yang terkenal adalah
liberalisasi keuangan (misalnya block grani), manajemen (cf. 'ma-
najemen berbasis sekolah'), dan metode pengajaran, yang di-
sertai kurikulum inti dari pusaL Dalam praktek nyata, tampak-
nya sulit untuk mengurangi peraturan pusat mengenai kondisi
kerja personil pendidikan, yang ditetapkan melalui perundingan
secara kolektif oleh serikat kerja.
Mengenai tingkat desentralisasi, penting diingat bahwa unit-
unit pemerintah kadang-kadang disebarkan ('dekonsentrasi'),
dan otoritas pengambilan keputusan kadang-kadang hanya se-
bagian dilimpahkan ('pendelegasian') sedangkan dalam kasus
lainnya sama sekali diserahkan kepada badán lokal ('devolusi')
(cf. Gemerisik, 1994).
69
Ringkasnya, bagian ini telah menggarisbawahi bahwa ada
kategori-kategori pentìng dari ukuran terhadap kebijakan pen-
didikan level-sistem yang tidak dicakup oleh model efektivitas
sekolah. Sehingga pendekatan efektivitas sekolah tidak harus
secara pasti dilihat sebagai obat mujarab bagi semua permasa-
lahan pendidikan yang ada, terutama sekali sejauh negara-negara
sedang berkembang diperhatikan.
Pembatasan Instrumentalitas
Aspek lain dari model efektivitas sekolah adalah orientasi
'tujuan-imanen'. Fungsi 'pendeteksian tujuan' atau adaptasi
tujuan menurut kondisi masyarakat yang senantiasa berubah dan
kondisi kontekstual menjadi hilang. Ketika model efektivitas
sekolah diperluas ruang lingkupnya dengan memperhatikan
ukuran tambahan seperti kemampuan reaksi, kepuasan peserta
dan struktur formal (cf. Faerman dan Quinn, 1985), maka situasi
ini bertambah baik. Di negara-negara sedang berkembang, du-
kungan material dari masyarakat lokal tampak menjadi sangat
penting, dan sebagian sekian usaha-usaha sekolah harus dicu-
rahkan untuk memperoleh dukungan ini.
70
Juga, di negara-negara sedang berkembang, 'kemampuan
beradaptasi' dan ketetapan kondisi yang menciptakan insentif
bagi capaian yang baik juga patut diatasi di tingkat makro.
71
setelah meninjau ulang sebagian besar penelitìan, adaiah bah-
wa di negara-negara maju dampak faktor i'n/>«f-sumber daya
relatif kecil. Hasil ini ditafsirkan berlawanan dengan latar bela-
kang variasi yang relatif kecil dalam variabel ini di negara-negara
maju. Atas dasar studi mutakhir, bagaimanapun, input sumber
daya manusia, terutama sekali kualifikasi guru, dan ukuran kelas
patut mendapat pertimbangan ulang. Di negara-negara sedang
berkembang, signifikansi faktor in/>«i-sumber daya telah dite-
tapkan dalam proporsi besar studi. Beberapa penulis resensi buku
menunjukkan perbedaan lebih besar antar-sekolah di negara-
negara sedang berkembang (Bosker dan Witziers, 1996; Riddell,
1997^, yang bisa menjelaskan perbedaan antara negara-negara
maju dan negara-negara sedang berkembang dalam hasil pene-
litìan ini.
Program kompensatori, proyek-proyek peningkatan sekolah
dan studi-studi tentang sekolah efektif yang tidak biasa di negara-
negara maju dikonsentrasikan pada seperangkat variabel orga-
nisai sekolah relevan yang serupa. Para penelaah sepakat pada
relevansi faktor-faktor seperti: kebijakan sekolah yang berorien-
tasi prestasi, kepemimpinan pendidikan, konsensus dan kerja-
sama antar staf, kesempatan bagi pengembangan profesional
staf dan keterlibatan orangtua. Ketika diberlakukan pada meta-
analisis Statistik, maka dampak faktor organisasi sekolah ini relatif
kecil hingga sedang. Di negara-negara sedang berkembang,
faktor ini jarang dipelajari dan hasil yang ada menunjukkan
dampak yang tidak substansial.
72
lajaran selain berdasarkan pada subjek sekolah tradisional saja.
Pada sisi lain, sasaran pembelajaran seperti itu kemungkinan
tetap relevan dan hasil ini, yang mendukung penafsiran
behaviouristik, cukup kuat dipandang di samping perspektif
konstruktivis tentang pembelajaran dan pengajaran. Juga, hasil-
nya kebanyakan tergantung pada studi-studi yang dilakukan di
negara-negara sedang berkembang. Dan sejumlah studi terbatas
di negara-negara sedang berkembang yang menjadi pertimbang-
an dalam buku ini, tidak tampak dampak substansial faktor
pengajaran. Penelitian yang akan datang perlu mempertimbang-
kan secara lebih terperinci dan studi mendalam tentang varia-
bel pengajaran dalam konteks negara-negara sedang berkem-
bang, yang juga mempertimbangkan faktor latar belakang
budaya, seperti diusulkan Fuller dan Clarke (1994).
Dalam bab ini beberapa keterbatasan temuan penelitian
juga telah ditunjukkan, termasuk berkenaan dengan penafsiran
dan penggunaan temuan ini di negara-negara sedang berkem-
bang. Masalah kekuatan basis pengetahuan tentang efektivitas
sekolah, sekali lagi, perlu dipertimbangkan.
73
ngan kondisi lunak pendidikan yang dianggap sebagai variabel
'independen'. Dalam studi Brandsma (1993), studi efektivitas
sekolah 'terpadu' yang apikal, yang memuat varibel tingkat kelas
dan sekolah, proporsi relevannya sekitar 60 persen. Hal ini
berarti bahwa proporsi perbedaan antar-sekolah yang relatif
besar (katakan variasi antara skor rata-rata sekolah tentang ujian
prestasi tertentu) dijelaskan dengan variabel terpilih atas dasar
model efektivitas sekolah. Bagaimanapun, seperti dinyatakan
di atas, perbedaan antar-sekolah ini biasanya hanya merupakan
proporsi relatif kecil dari total perbedaan prestasi murid (rata-
rata sekitar 10 persen di negara-negara industri dan jauh lebih
besar (hingga 30-40 persen) di negara-negara sedang berkem-
bang. Sumber alternatif penting perbedaan adalah pengaruh
'kontekstual' misalnya rata-rata kecerdasan awal siswa. Di da-
lam batas perbedaan kecil antara sekolah di negara-negara maju,
hai ini tampaknya cukup mendukung variabel yang diusulkan
seperti kondisi-kondisi yang dapat meningkatkan efektivitas
hipotetis.
Di negara-negara sedang berkembang, penelitian tampak-
nya mendukung ide common sense yang menyatakan bahwa ke-
tetapan sumber daya dasar, terutama sekali bagi sekolah yang
sangat kekurangan, membuat banyak perbedaan. Dalam kon-
teks ini tantangan masa depan terletak pada mendalam dan
seringnya studi mengenai kondisi pengajaran.
Pengamatan terakhir mengenai dampak dari faktor-faktor
yang terkait sangat erat dengan proses pembelajaran dan penga-
jaran yang nyata dibandingkan dengan faktor-faktor lebih 'jauh
dari inti pembelajaran' {¿distal) seperti kondisi lingkungan dan
organisasi sekolah. Dari perspektif perencanaan dan pengam-
bilan kebijakan nasional, hasil ini harus dipertimbangkan demi
efisiensi dalam melakukan perubahan pada tingkat lebih tinggi
dalam sistem itu (yang memuat beberapa unit). Jika ada bukti
dampak positif yang signifikan, meskipun kecil, dari gaya kepe-
74
mimpinan sekolah tertentu, kepemimpinan 'pendidikan' atau
'pengajaran' seperti ditunjukkan literatur penelitian ini, maka
kursus pelatihan bagi guru kepala bisa lebih cost-effective
dibanding pelatihan semua guru yang ada di seluruh pelosok
negeri.
Menafsirkan faktor-faktor yang dipertimbangkan dalam
berbagai untaian penelitian tentang efektivitas pendidikan se-
bagai 'pengaruh' bagi perubahan dan peningkatan memerlu-
kan eksplorasi teori yang relevan, yang akan menjadi subyek
bab berikutnya.
75
IQ. Teori: EfektMtas Sekolah
dan Perspektif tentang
Perencanaan
77
Prinsip dasar paradigma rasionalitas adalah:
• Perilaku berorientasi tujuan;
Pilihan optimal antara sarana alternatif untuk mencapai
tujuan yang ada;
Mengakui bahwa garis pilihan individu dan tujuan organi-
sasi merupakan isu utama dalam penentuan organisasi.
Pembedaan penting yang bertalian dengan pertanyaan
apakah tujuan dianggap sebagai sesuatu 'yang diberikan' [given)
kepada perencana sosial atau designer, atau apakah proses me-
milih tujuan tertentu dilihat sebagai bagian dari proses perenca-
naan secara umum. Dalam kasus pertama pendekatannya ada-
lah 'instrumental', sedangkan istilah 'rasionalitas substansial'
(Morgan, 1986, him. 37) kadang-kadang digunakan untuk yang
terakhir. Dinyatakan lebih populer, bahwa pendekatan instru-
mental inheren dalam ungkapan 'melakukan sesuatu hai secara
benar' sedangkan perspektìf substansial meminta pertanyaan
tambahan 'melakukan hai yang benar'.
78
Biasanya, dalam penelitian tentang efektivitas sekolah,
penafsiran instrumental paradigma rasionalitas secara implisit
dipilih, dengan pertimbangan karena kompetensi sekolah dasar
yang akan diperoleh para murid biasanya dianggap sebagai
ukuran yang diberikan bagi evaluasi terhadap efektivitas.
Semata-mata mengklasifikasi penelitian tentang efektivitas
sekolah dalam kaitannya dengan paradigma rasionalitas itu
sendiri, juga tidak banyak membantu kita dalam mencari prinsip-
prinsip yang mendasari atau mekanisme yang bisa menjelaskan
mengapa kondisi atau faktor tertentu tampak 'bekerja' dalam
pendidikan. Bagaimanapun, harus dicatat, bahwa paradigma
rasionalitas bukan hanya suatu alat analitis untuk menggambar-
kan kenyataan sosial, tetapi juga mempunyai konotasi preskriptif
yang sangat kuat. Bergantung pada penafsiran tertentu terha-
dap keseluruhan paradigma, prinsip spesifìk ditekankan karena
menghasilkan peningkatan bagi berfungsinya organisasi secara
efektif. Tiga prinsip ini akan dibahas dan dapat disebutkan se-
bagai berikut:
• 'perencanaan synoptic dan struktur formal';
• 'menyejajarkan tujuan individu dan organisasi dengan men-
ciptakan kondisi pasar';
'perencanaan retroactive dengan menggunakan evaluasi dan
umpan balik yang sesuai'.
Jenis organisasi yang dihubungkan dengan tiga prinsip ini
adalah, berturut-turut: birokrasi, sekolah otonomi atau sekolah
'yang diswastakan' (privativa), dan sekolah sebagai organisasi
pembelajaran. Latar belakang teoritisnya adalah: teori perenca-
naan 'klasik' dan manajemen secara ilmiah, teori pilihan publik,
dan siberneük.
79
Perencanaan Synoptic dan Strukturisasi Birokrasi
80
Menurut Cohen et al., pengambilan keputusan dalam
anarki-anarki yang terorganisir lebih seperti rasionalisasi setelah
sesuatu dilakukan dibanding perencanaan berorientasi tujuan
yang rasional. Mereka melihat organisasi-organisasi pendidik-
an tampaknya sebagai calon bagi jenis pengambilan keputusan
ini. Dalam kaitan dengan koordinasi, anarki-anarki yang teror-
ganisir mempunyai suatu struktur otoritas yang tidak jelas dan
kapasitasnya kecil saja untuk merumuskan mekanisme
standarisasi.
Implikasi lain adalah koneksi yang lepas antara tindakan
individu dan tindakan organisasi, karena tindakan individu in-
ternal mungkin dipandu oleh prinsip selain dari produksi hasil
substantif (misalnya alokasi status, mendefinisikan kebenaran
dan kebajikan organisasi).
Meskipun adanya semua pembatasan-pembatasan ini me-
ngenai kenyataan deskriptif dari pengambilan keputusan yang
bersifat rasional dan perencanaan dalam sebuah organisasi, bah-
kan sebagian besar análisis kritis meninggalkan beberapa ruang
bagi kemungkinan membentuk kenyataan sesuai dengan prinsip
inti ini. Jenis aktivitas pertama yang bisa menyebabkan hai ini
adalah perencanaan 'synoptic'.
Idealnya, tujuan perencanaan synoptic adalah untuk
mengkonseptualisasikan spektrum luas tujuan jangka panjang
dan sarana yang memungkinkan dalam mencapai tujuan ini.
Pengetahuan ilmiah tentang hubungan instrumental dianggap
memainkan peran yang penting dalam pemilihan alternatif.
Gagasan Campbell (1969) tentang reformasi sebagai eksperimen
mengkombinasikan pendekatan perencanaan rasional dalam
inovasi sosial (misalnya pendidikan) dengan pendekatan ilmiah
quasi-eksperimentasi. Gagasan umum menghubungkan peneli-
tian tentang efektivitas sekolah dengan peningkatan sekolah, di
mana hasil penelitian tentang efektivitas sekolah dilihat sebagai
81
petunjuk bagi proyek peningkatan sekolah, juga sesuai dengan
gagasan rasional, perencanaan synoptic sungguh baik. Aplikasi
pendidikan lain dan gagasan perencanaan synoptic adalah model
preskriptif dari rancangan pengajaran, seperti model Tyler yang
terkenal itu (Tyler, 1950), dan model offspring? seperti yang di-
kembangkan Gage, model pengajaran seperti model 'pengajar-
an langsung' (lihat Creemers, 1994) dan kerangka untuk peren-
canaan pengembangan sekolah (Hargreaves dan Hopkins, 1991).
Karakteristik utama dari perencanaan synoptic sebagai
prinsip preskriptif yang kondusif bagi berfungsinya organisasi
yang efektif, ketika diterapkan pada pendidikan, adalah:
82
pengawasannya diberi bentuk. 'Struktur mekanistik', 'manaje-
men secara ilmiah' dan 'birokrasi mesin' adalah anting-anting
struktural organisasi dalam perencanaan rasional (cf. Morgan,
1986, Bab 2). Ide dasar konsep ini bisa dirunut kembali pada
Max Weber, yang menyatakan prinsip birokrasi sebagai "suatu
format organisasi yang menekankan pada ketepatan, kecepat-
an, kejelasan, keteraturan, keandalan, dan efìsiensi yang dicapai
melalui penciptaan suatu pembagian tugas yang ditetapkan,
pengawasan hirarkis, serta aturan dan peraturan yang terperinci".
Organisasi-organisasi pendidikan, yaitu sekolah-sekolah dan
universitär, biasanya dianggap sebagai bukan yang mengepas
keseluruhan gambaran mengenao mesin birokrasi. Mintzberg
(1979), sesungguhnya menguraikan suatu varian birokrasi klasik,
yakni birokrasi profesional, yang secara spesifik diilhami oleh
organisasi-organisasi pendidikan. Dalam birokrasi profesional,
formalisasi dan standarisasi menurut peraturan, pengawasan
hirarkis melekat dan spesifikasi pekerjaan menit diterapkan de-
ngan standarisasi melalui pelatihan dan norma-norma profesio-
nal.
Jika seseorang menggambarkan suatu perbandingan antara
bagaimana cara perencanaan synoptic menentakan berfungsinya
organisasi yang efektif dan faktor-faktor yang diidentifikasi da-
lam penelitian tentang efektivitas sekolah secara empiris (misal-
nya Sammons et al., 1995), beberapa faktor tampaknya sesuai
dan yang lain tidak. Sesungguhnya, apa yang sedang membentur
dari sekitar daftar faktor-faktor ini (lihat label 7), adalah campuran
unsur-unsur baik berdasarkan pada prinsip birokratis maupun
mekanistik dengan unsur-unsur yang sesuai dengan gambaran
organisasi yang lebih 'kultural', organik dan partisipatoris. 'Ke-
pemimpinan perusahaan dan penuh arti', 'kesatuan tujuan',
'konsistensi praktek', 'maksimalisasi waktu belajar', 'penekanan
akademis', 'fokus pada prestasi', 'organisasi yang efìsien',
'kejelasan tujuan', 'pelajaran terstruktur', 'disiplin yangjelas dan
fair', 'umpan balik', 'monitoring capaian murid' dan 'evaluasi'
83
semuanya merupakan faktor yang sesuai dengan model peren-
canaan rasional dan birokratìs, sedangkan yang lainnya seperti
'kolegialitas', 'kerja sama' dan 'harapan tinggi' lebih sejalan de-
ngan struktur partisipatoris dan organik.
Dalam model-model konseptual tentang efektivitas seko-
lah lainnya, misalnya model Creemers (1994), ide penting se-
perti konsistensi, konsensus dan kontrol menyerupai prinsip yang
menolak struktur tertata yang inneren dalam gambaran
birokratìs. Prinsip Rosenshine (1987) tentang 'pengajaran lang-
sung^ seperti 'berproses dalam langkah kecil' dan 'memberikan
instruksi terperinci dan berlebih', memberikan kasus lain yang
tepat. Dalam studi Belanda, di mana perencanaan pelajaran dan
pengembangan sekolah yang sistematis secara spesifik dipelajari
bagi potensi peningkatan efektivitas yang memungkinkan, hasil
mengecewakan atau ambigu ditemukan (Van der Werf, 1988;
Friebel, 1994).
Sebagian kerja k o n s e p t u a l yang m e m p e s o n a dan
penyelidikan empiris yang berkaitan diberikan dalam uraian
Stringfìeld tentang 'organisasi yang keandalannya tinggi'
(Stringfield, 1995; Stringfìeld, Bedinger dan Herman, 1995).
Karakteristik yang mendefinisikan organisasi yang
keandalannya tinggi (contoh baik pabrik daya nuklir dan sistem
penerbangan) adalah sebagai berikut:
Gagasan bahwa kegagalan dalam organisasi akan celaka;
Kejelasan mengenai tujuan dan perasaan kuat akan misi
utama organisasi dipegang oleh staf;
Penggunaan prosedur operasi standar (misalnya 'catatan');
* Pentingnya rekruitmen dan pelatihan intensif;
* Prakarsa yang mengidentifikasi kekurangan (misalnya, moni-
toring sistem);
84
• Perhatian sungguh-sungguh yang diberikan pada capaian,
evaluasi, and análisis untuk meningkatkan proses organi-
sasi;
* Monitoring dilihat sebagai hai bersama, tanpa kehilangan
counter-productive terhadap keseluruhan otonomi dan keper-
cayaan;
Siap terkejut atau tergelincir (ide bahwa kegagalan kecil bisa
menyebabkan terperosok ke dalam kegagalan sistem utama);
Struktur hirarkis, memungkinkan pengambilan keputusan
secara kolektif selama jam beban maksimum;
Peralatan dirawat dengan aturan kerja paling tinggi;
Fakta bahwa organisasi yang keandalannya tinggi tak ter-
elakkan dihargai oleh organisasi mereka yang mengawasi;
Ide bahwa "efisiensi jangka pendek mengambil suatu tem-
pat duduk belakang ke keandalan tinggi" (dari Stringfield,
1995, him. 83-91).
Baik dalam evaluasi terhadap proyek peningkatan berorien-
tasi efektivitas yang terbesar di Amerika Serikat maupun eva-
luasi terhadap program sekolah dasar yang sangat terstruktur
(proyek sekolah Calvert-Barclay), bukti yang ditemukan men-
dukung validitas gambaran organisasi yang keandalannya tinggi.
Proyek Calvert-Barclay terutama sekali sangat ilustratif. la meng-
gambarkan implementasi program sekolah swasta yang secara
akademis berorientasi tradisional dan sangat terstruktur dalam
sebuah sekolah bagian tertua suatu kota. Keberhasilan program
dalam dua settingyang sangat berbeda ini memberikan dukung-
an tambahan bagi kemampuan generalisasi dari pendekatan
terstruktur ini.
85
pendidikan (misalnya, Lotto dan Clark, 1986), contoh yang
disebut belakangan ini menunjukkan bahwa suatu permohon-
an dapat dibuat untuk program-program pendidikan yang for-
mal, yang didukung oleh struktur yang menekankan tatanan,
koordinasi dan kesatuan maksud. Tantangan terbesar sepertinya
menekankan pada bagaimana secara efektif mengkombinasikan
prosedur-prosedur yang terstandardisasi dan mekanistik parsial
yang distrukturkan dengan kondisi-kondisi yang meskipun de-
mudan cukup memotivasi kepada para profesional bidang pen-
didikan dan masih membutuhkan tilikan (insighi) yang kreatif
dari semua anggota organisasi tersebut.
86
tugas) dan tiap-tiap jenis aktor utama dalam suatu organisasi
sekolah dapat dimasukkan sebagai salah satu variabel penjelas
dalam fungsi produksi pendidikan. Secara alternatif, penting-
nya pencapaian pengaruh dapat menentukan kegunaan usaha
yang terkait dengan tugas dari individu tertentu. Dari perspektif
ini pertanyaan tentang bagaimana cara meningkatkan efektivi-
tas organisasi sekarang dapat dinyatakan menurut kondisi-kon-
disi yang menyumbang untuk merangsang dan memberi peng-
hargaan kepada anggota organisasi karena perilaku mereka selalu
mencerminkan tugas [task-related behavior).
Dalam teori pilihan-publik, tidak adanya kontrol yang
efektif dari badan-badan yang dipilih secara demokratis atas
organisasi-organisasi sektor-publik menandai bahwa organisasi-
organisasi ini sebagai terutama sekali cenderung ke perilaku yang
tidak efísien, ini secara esensial disebabkan oleh waktu luang
yang berikan kepada para manajer dan para petugas untuk
mencapai tujuan mereka sendiri di sela-sela melayani misi utama
organisasi mereka. 3
Teori pilihan-publik menyajikan hasil diagnosa terhadap
kejadian ketidakefektifan organisasi, seperti penggantian tujuan,
produksi jasa berlebihan, perilaku counterproductive yang
keterlaluan, 'membuat bekerja' (yaitu para pejabat yang men-
ciptakan kerjasama kerja satu sama lain), waktu dan agenda ter-
sembunyi - d a n energi- mengkonsumsi pemisah antara sub-sub
unit yang ada. Ketika waktu luang dengan kebebasan untuk
menentukan unit-unit bawahan berjalan bergandengan dengan
teknologi belum jelas, ini menambah keseluruhan tanah subur
bagi berfungsinya organisasi tidak efísien: lihat Cohen, March
dan model bak sampah pengambilan keputusan organisasi me-
nurut Olsen, yang telah disebutkan lebih awal (Cohen et al.,
1972). Tidak hanya departemen-departemen pemerintah tetapi
3
Uraian mengenai implikasi teori pilihan publik yang lebih ekstensif bagi
penelitìan efektivitas sekolah telah diberikan di tempat lain, Scheerens, 1992,
Bab2.
87
juga universitas-universitas sering disebut sebagai contoh dari
jenis organisasi di mana gejala tersebut mungkin terjadi.
Secara teoritis, perbaikan untuk jenis malfungsi organisasi
ini akan menjadi suatu kelurusan yang dekat, dan idealnya bah-
kan suatu perserikatan, individu, sub-unit dan tujuan organisasi
yang lengkap. Pendekatan praktis pada ini, seperti ditawarkan
teori pilihan-publik, adalah untuk menciptakan kondisi ekstemal
yang setidaknya akan menekan sebagian penyimpangan tidak
efisien antara tingkat individu dan rasionalitas organisasi dari
sistem itu. Untuk ini, pengaruh yang sesuai adalah penciptaan
mekanisme pasar yang mampu menggantikan kontrol adminis-
tratif. Persaingan yang menghasilkan kondisi pasar ini dengan
begitu menjadi insentif penting untuk membuat organisasi sektor-
publik menjadi lebih efisien. Esensi pilihan sebagai alternatif bagi
kontrol birokratis yang menghasilkan demokrasi keterwakilan,
adalah bahwa jenis demokrasi yang lebih 'lokal' yang sama sekali
berbeda dituntut. Dalam kasus terakhir, sebagian besar otoritas
diberikan secara langsung kepada sekolah, orang tua dan siswa
(Chubb dan Moe, 1990, him. 218). Dalam 'proposal reformasi'
mereka, para pengarang ini menarik suatu gambaran sistem
pendidikan di mana ada banyak kebebasan untuk menemukan
sekolah, suatu sistem pembiayaan yang sebagian besar
bergantung pada sukses sekolah dalam persaingan bebas bagi
para siswa, kebebasan memilih bagi orang tua, dan kebebasan
bagi sekolah untuk mempunyai kebijakan izin masuknya sendiri.
88
nisme tersebut secara teoritís bisa digunakan secara serempak.
Walaupun berfungsinya birokrasi internal (dalam pengertian
telah digambarkan dalam bagian sebelumnya) kemungkinan
besar akan dilihat sebagai melekat pada organisasi negara atau
pusat yang lebih besar, hai ini tidak perlu menjadi kasus.
89
'biaya tak terduga' (shirking) pada satu sisi, dan perilaku
terkait dengan tugas pada sisi lain.
• Keempat dan terakhir, teori pilihan-publik menawarkan
penjelasan umum bagi hasil perbandingan antara sekolah
swasta dan negeri. Biasanya di negara-negara maju, seko-
lah swasta tampaknya lebih efekuf, bahkan di negara-negara
di mana sekolah swasta dan negeri dibiayai oleh negara,
seperti kasus di Belanda (Dijkstra, 1992).
Penjelasan bagi keunggulan sekolah swasta yang dinyatakan
itu adalah bahwa (a) orang tua yang mengirimkan anak-anak
mereka ke sekolah ini merupakan konsumen pendidikan yang
lebih aktif dan membuat permintaan khusus atas filsafaf pendi-
dikan sekolah; dan (b) sekolah swasta mengambil manfaat dari
demokrasi internal lebih besar (kesimpulan terakhir ini digam-
barkan atas dasar studi empiris oleh Hofman et al. (1995)). Pen-
jelasan lebih membumi (down-to-earth) adalah bahwa sekolah-
sekolah swasta biasanya lebih kecil dan lebih kohesif dibanding
sekolah-sekolah negeri. Bukti keunggulan dari sekolah-sekolah
yang lebih otonom (dengan mengabaikan denominasi keaga-
maan atau status swasta/negeri) bagaimanapun tidaklah terlalu
k u a t Walaupun Chubb dan Moe (1990) mengklaim telah mem-
buktikan hai ini, hasil penelitian mereka dikritik karena alasan-
alasan metodologis (Witte, 1990). Di tingkat makro, tidak ada
bukti yang jelas bahwa sistem pendidikan nasional dengan
otonomi yang lebih bagi sekolah melaksanakan lebih baik da-
lam area kompetensi dasar (Meuret dan Scheerens, 1995). Para
pengarang ini membandingkan indikator prestasi, seperti rata-
rata prestasi dalam melek huruf antar negara-negara dengan ber-
macam-macam tingkat otonomi sekolah mulai dari tingkat dasar-
menengah, dan tidak menemukan tanda asosiasi positif apapun
antara tingkat otonomi sekolah dengan prestasinya.
90
rasio nautas synoptic dan asumsi birokrasi yang menyatakan bah-
wa semua unit dan individu bersama-sama mengejar tujuan or-
ganisasi. Argumen dan bukti mengenai hasil diagnosa (inefisiensi
disebabkan oleh penyejajaran yang gagal antara rasionalitas
tingkat organisasi dan individu) lebih meyakinkan dibanding
perawatan (privatisasi, pilihan) sejauh efektivitas sekolah
diperhatikan. Faktor kritis tampak bahwa kekuatan pasar (mi-
salnya pilihan sekolah orangtua) mungkin tidak dipandu oleh
pertimbangan mengenai capaian sekolah, bahwa sekolah terse-
but mungkin 'dihadiahi' karena selain dari capaian berorientasi
tujuan yang efisien.
Walaupun di negara-negara industri ada kecenderungan ke
arah desentralisasi dan otonomi sekolah yang meningkat, namun
bagi pendidikan dasar dan menengah kecenderungan ini lebih
kuat berada di domain keuangan dan manajemen sekolah
dibanding berada di domian kurikulum (Meuret dan Scheerens,
1995). Kerajaan Inggris adalah contoh, di mana manajemen lokal
sekolah dikombinasikan dengan kurikulum nasional dan pro-
gram penilaian nasional. Juga, dalam studi kasus 'restrukturi-
sasi' program di Amerika Serikat dan Kanada (Leithwood et al.,
1995), otonomi sekolah yang meningkat terkonsentrasi dalam
manajemen (berbasis-sekolah) dan 'pemberdayaan guru' di mana
kebutuhan kurikulum dan standar dipelihara atau bahkan
diartikulasikan lebih lanjut di tingkat sekolah atas.
91
dan menengah, karena pemerintah biasanya melihat perlunya
standarisasi tertentu dalam wilayah-wilayah kunci dari kuriku-
lum dalam rangka menampilkan basis umum bagi pendidikan
lebih lanjut. Pada saat yang sama, perilaku 'pilihan' konsumen
pendidikan boleh jadi berbeda-beda menurut sasarannya da-
lam merangsang sekolah untuk meningkatkan performanya, dan
berbagai efek samping yang tidak diinginkan (yang lebih tidak
seimbang) tidak bisa dikesampingkan. Faktor kritis tersebut
menjadi muncul karena sekolah mengalami tekanan ekstemal
dan ini merupakan insentif guna meningkatkan capaian menu-
rut wilayah-wilayah kunci dalam kurikulum. Konsumen pendi-
dikan, jika dengan baik diberitahukan, boleh jadi merupakan
salah satu sumber untuk menciptakan kondisi ini, tetapi bukan
satu-satunya sumber. Dari perspektif ini, dan bertentangan de-
ngan kepercayaan penganut aliran 'pilihan' yang kuat,
konsumerisme bisa dilihat dengan baik sebagai hai yang selaras
dengan kebutuhan akan akuntabilitas dari tingkat pendidikan
lebih tinggi, sebagaimana mekanisme evaluasi-umpan balik yang
sesuai, yang dimulai dari tingkat administratif lebih tinggi, mun-
gkin juga 'mengerjakan tugas'. Kondisi-kondisi eksternal yang
berbeda ini yang dapat merangsang capaian sekolah yang selama
ini belum menjadi obyek dari banyak studi empiris (dengan
perkecualian berikut: Kyle, 1985; Coleman dan LaRoque, 1990;
Hofman et al., 1995) dan patut diselidiki lebih lanjut, termasuk
dalam konteks perbandingan internasional. Sebagai area kedua
bagi penelitian lebih lanjut, statemen tentang berfungsinya or-
ganisasi sektor publik yang secara internal 'jelek' disimpulkan
dari teori pilihan-publik boleh jadi digunakan sebagai petunjuk
dalam mengkaji sekolah-sekolah yang luar biasa tidak efektif.
92
dakan yang berorientasi peningkatan atau korektif. Dalam pe-
rencanaan kasus yang mungkin mengambil lebih 'secara berta-
hap', orientasi inkremental, dan 'tujuan' atau harapan diberi
fungsi standar u n t u k menafsirkan informasi evaluatif.
Ketidaksesuaian antara harapan dan prestasi nyata-nyata men-
ciptakan dinamika yang pada akhirnya bisa mendorong ke arah
efektivitas yang lebih besar.
93
"Sistem hams mempunyai kapasitas untuk merasakan, me-
monitor dan meneliü aspek signifikan dari lingkungan me-
reka;
Mereka harus mampu menghubungkan informasi ini de-
ngan norma yang berlaku yang memandu perilaku sistem;
Sistem harus mampu mendeteksi penyimpangan yang sig-
nifikan dari norma-norma tersebut;
Mereka harus mampu memulai tindakan korektif ketika
ketidaksesuaian terdeteksi".
Dalam berbagai statemen Morgan tentang prinsip kunci
ini, siklus evaluasi —> umpan balik — > tindakan korektif mem-
punyai orientasi ekstemal ('membaca lingkungan'). Orientasi ini
lebih mendekati gagasan tentang responsifitas organisasi terha-
dap batasan lingkungan dibanding terhadap efektivitas dalam
pengertian produktivitas dan pencapaian tujuan.
Tanpa mengabaikan pembedaan antara responsifitas ter-
hadap batasan lingkungan dan efektivitas instrumental, harus
dicatat bahwa evaluasi à umpan balik à tindakan korektif dan
siklus pembelajaran terdiri dari empat tahap:
94
Dalam konsepsi organisasi pembelajaran, pertanyaan me-
ngenai pengaturan struktural mana yang kondusif bagi evaluasi
—> umpan balik —> siklus peningkatan didekati dari perspektif
responsifìtas terhadap lingkungan. Beberapa kondisi organisasi
yang dianggap penting dalam konteks ini, bagaimanapun, juga
tampaknya diterapkan pada efektivitas instrumental. Contoh-
nya adalah: dorongan keterbukaan dan reflektivitas, pengenalan
tentang pentingnya menyelidiki sudut pandang berbeda, dan
menghindarkan sikap bertahan terhadap prosedur akuntabilitas
birokratis (Morgan, 1986, him. 90).
Model organisasi pembelajaran telah dikembangkan dalam
konteks "dunia bisnis yang bergerak cepat sekarang ini" (Rist
and Joyce, 1995, him. 131). Keharusan bertahan dalam suatu
perubahan lingkungan yang cepat membutuhkan tingkat
fleksibilitas dan kapasitas yang tinggi untuk dapat mengantisi-
pasi masa depan secara kreatif. Walaupun beberapa pengarang
juga (misalnya Simons, 1989; Murphy, 1992; Southworth, 1994)
menemukannya hai yang sungguh menarik untuk merujuk pada
sekolah sebagai 'organisasi pembelajaran', namun ide bahwa
model ini memang bisa dilihat sebagai jenis struktur organisasi
sekolah yang ideal hams tidak diterima tanpa kritik. Persoalan
pokok mengenai ketepatan metafor ini bagi sekolah merupa-
kan kompleksitas lingkungan yang dinamis itu. Dalam hai ini
ada pembedaan penting antar tingkat pendidikan. Dalam pen-
didikan dasar dan menengah, tingkat standarisasi yang sung-
guh-sungguh berkaitan dengan pencapaian pendidikan yang
diinginkan diperlukan untuk memberikan dasar pijakan umum
bagi pendidikan lebih lanjut. Tetapi dalam area pendidikan
kejuruan tingkat menengah dan tinggi, juga, ada perdebatan yang
berlangsung tentang apakah menggunakan seperangkat umum
kualifikasi kunci, atau kurikulum lain yang akan lebih disesuai-
kan secara langsung dengan, misalnya, kebutuhan industri lokal.
Bahkan di sektor sistem pendidikan tinggi ini pun, sejumlah
standarisasi penting dalam output, kemungkinan besar hadir. De-
95
ngan adanya stabilitas relatif yang ada dalam area lingkungan
sekolah tertentu, kebutuhan untuk melakukan revisi atas standar
dan norma-norma yang tetap tampaknya tak beralasan, seba-
gaimana kasus dengan karakteristik struktural organisasi pem-
belajaran yang terkait.
Maka, barangkali penafsiran yang lebih sederhana menge-
nai model organisasi pembelajaran itu lebih sesuai. 'Sederhana'
di sini berarti seperangkat corak seperti konsentrasi pada opti-
misasi siklus evaluasi — > umpan balik — > tindakan korektif,
yang memberikan seperangkat standarisasi prestasi yang relatif
stabil, penciptaan peluang yang cukup bagi pengembangan staf,
dan konsultasi yang berorientasi kerja antara staf.
Pengaruh yang menguntungkan dari 'monitoring kemaju-
an siswa yang sering' merupakan bagian dari pengetahuan yang
sudah diketahui umum sebagai proses-proses sekolah yang da-
pat meningkatkan efektivitas. Monitoring seperti itu juga telah
mendapat beberapa dukungan dari penelitian tentang efektivi-
tas sekolah secara empiris, walaupun juga ada beberapa studi di
mana faktor ini tidak bisa ditunjukkan dengan berasosiasi seca-
ra positif dengan prestasi. Meta-analisis yang diringkas dalam
Bab 2 menunjukkan keseluruhan korelasi positif 0.15.
96
Potensi tindakan, atau potensi bagi peningkatan sekolah
yang menghasilkan perbandingan standar dan capaian nyata,
merupakan faktor pokok dalam model sistem dinamis seperti
model yang diperkenalkan Clauset dan Gaynor (1982) dan De
Vos (1989). Dapat disimpulkan bahwa studi empiris mendalam
mengenai evaluasi berbasis sekolah dan monitoring murid, ber-
hubungan dengan prosedur evaluasi dan dampaknya pada
berfungsinya organisasi sekolah, patut mendapat tempat yang
tinggi pada agenda penelitian tentang efektivitas sekolah yang
dijalankan atas dasar teori.
97
tar sekolah menjadi terlembagakan sedemikian rupa dan pola-
pola (de)sentralisasi fungsional dalam sistem itu.
Ketika membandingkan penafsiran pertama dan ketiga,
yaitu perencanaan synoptic versus retroactive, maka perencanaan
retroactive kurang menuntut dan lebih sederhana dalam membi-
carakan correlate pendidikan di sekolah yang efektif sebagai cetak
biru bagi praktek pendidikan yang ada. Dengan adanya keti-
dakpastian tentang soliditas basis pengetahuan tentang efektivi-
tas sekolah dan keterbatasan dalam fokus sebagian besar pene-
litìan empiris (lihat presentasi perspeküf yang lebih luas tentang
efektivitas organisasi dalam bab pertama), penafsiran lebih se-
derhana ini tampaknya lebih bijaksana. Oleh karena itu, dalam
bab terakhir, yang mendiskusikan aplikasi, penggunaan temuan-
temuan penelitìan tentang efektivitas sekolah akan digambar-
kan dalam kerangka merancang sistem dan instrumen untuk
kepentingan monitoring dan evaluasi terhadap sistem pendidik-
an yang ada.
Seseorang tidak harus menerima tanpa kritis kesimpulan
yang dinyatakan di atas, yaitu bahwa rasionalisasi dan semua
kelengkapannya, seperti prestrukturisasi dan menciptakan me-
kanisme pasar serta sistem evaluasi, merupakan prinsip dasar
bagi peningkatan efektivitas pendidikan. Terutama sekali ketika
aplikasi di negara-negara sedang berkembang diperhatikan, bias
budaya dalam temuan penelitìan tidak harus dilewatkan. Bias
budaya ini bukan sesuatu yang misterius, tetapi semata-mata
fakta bahwa temuan-temuan penelitìan tentang efektivitas se-
kolah secara empiris sebagian besar seringkali diperoleh dalam
setting di mana ketentuan pendidikan dasar menurut fasilitas,
peralatan dan bahan latihan bagi guru yang telah disiapkan.
Temuan studi tentang efektivitas sekolah secara empiris di
negara-negara sedang berkembang menggarisbawahi penting-
nya ketentuan pendidikan dasar ini, yang harus didahulukan
daripada penerapanya berdasarkan pada pertimbangan teknis.
98
IV. Aplikasi: Penggunaan
Dasar Pengetahuan tentang
Efektivitas Sekolah bagi
Prosedur Monitoring dan
Evaluasi
Pengantar
99
aplikasi di negara-negara sedang berkembang, tampaknya lebih
baik berkonsentrasi penggunaan lebih bijaksana, yang turun
menggunakan dasar pengetahuan tentang efektivitas sekolah
untuk menyusun prosedur monitoring dan evaluasi. Inilah jenis
aplikasi yang akan dielaborasi dalam bab ini.
Meskipun demikian, karena prinsip umum yang muncul
dari lebih dari tiga dekade penelitian tentang efektivitas pendi-
dikan agak solid, maka aplikasi proaktif yang lebih ambisius
akan bertahan sementara.
Dari prinsip-prinsip umum tersebut maka saran-saran
tentatif berikut ini penting bagi proyek pendidikan di negara-
negara sedang berkembang yang bisa diderivasi dari:
• Menggambarkan kondisi umum pendidikan atas dasar
seperangkat indikator inti, meliputi kondisi kemiskinan per
daerah, rata-rata partisipasi dan ketersediaan sumber daya
dasar;
Pada tahap awal, pengembangan menekankan pada kon-
disi yang merangsang tingkat partisipasi yang diharapkan
dan sumber daya dasar serta fasilitas (misalnya bangunan,
kelas);
• Investasi dalam program pendidikan substantif yang berisi
empat bagian yang terintegrasi secara baik: ujian nasional
atau program penilaian, prioritas kurikulum nasional da-
lam subjek inti, pelatihan guru (yang dipusatkan pada pe-
nguasaan pada materi-bahan ajar dan prinsip-prinsip penga-
jaran) dan sistem monitoring secara nasional;
• Manajemen sekolah yang didesentralisasi secara fungsional,
dan juga menciptakan peluang bagi partisipasi lokal dan
kontrol atas kondisi keuangan dan kondisi tenaga kerja guru;
Menggunakan media berbeda (pendidikan berjenjang,
kursus latihan, kurikulum model, evaluasi diri sekolah
100
sendiri) untuk meningkatkan manajemen kelas, waktu pem-
belajaran yang efektif dan pengajaran terstruktur (dengan
hasil diagnosa, umpan balik dan tindakan perbaikan segera
pada inti nya) dan untuk merangsang pembelajaran yang
aktif;
Menyesuaikan kondisi instruksional umum ini dengan aspek
budaya lokal.
Dalam sisa bab ini, aplikasi evaluatif akan difokuskan. In-
dikator pendidikan dan evaluasi diri sekolah sendiri akan diper-
timbangkan sebagai kategori utama. Selama presentasi ini men-
jadi jelas bahwa ada banyak format cangkokan (hybrid) dan ber-
bagai kemungkinan kombinasi antara evaluasi internal dan
eksternal dan bahwa sinergi bisa dibangun antara monitoring
üngkat-sistem, evaluasi program skala luas dan evaluasi diri se-
kolah sendiri. Berbagai indikator proses sekolah, dipilih dengan
menggunakan dasar pengetahuan tentang efektivitas sekolah,
telah mereka tempatkan di tiap-tiap format evaluasi tersebut.
Indikator-indikator
101
• Syarat bahwa indikator-indikator yang ada menunjukkan
semacam mutu pendidikan di sekolah yang memadai, yang
menyiratkan bahwa indikator-indikator yang ada adalah
Statistik yang telah menjadi titik acuan (atau standar) di mana
pertimbangan nilai dapat dibuat.
Biasanya pembuatan kebijakan di tingkat nasional diang-
gap sebagai sumber utama bagi aplikasi indikator-indikator ter-
sebut (sistem indikator sebagai sistem informasi kebijakan). Ba-
gaimanapun, pandangan tentang aplikasi indikator ini harus
diperluas, karena konsumen dan 'kelompok ketiga' seperti
industri swasta, juga dapat dilihat sebagai pemakai informasi
yang disediakan oleh sistem indikator. Demikian juga, sistem
pendidikan di tingkat administratif lokal dan bahkan sekolah
itu sendiri juga dapat menggunakan indikator tersebut untuk
mendukung pembuatan kebijakan (sistem indikator sebagai sis-
tem informasi manajemen).
102
Jika kita menoleh perkembangan indikator-indikator pen-
didikan di Pusat Nasional Statistik Departemen Pendidikan
Amerika Serikat, kita dapat membedakan kecenderungan kedua.
Pada mulanya pusat ini menawarkan Statistik deskriptif tentang
keadaan sistem pendidikan, termasuk data tentang input dan
sumber daya. Sejak 1982, data 'outcome' dan 'konteks' telah
diberi tempat lebih terhormat, dan dalam suatu proposal yang
merancang kembali sistem data pendidikan, aspek 'proses' bagi
berfungsinya sistem pendidikan juga dimasukkan (Stern, 1986;
Taeuber, 1987). Dengan demikian, kecenderungan kedua ini
dapat ditandai sebagai gerakan menuju sistem indikator yang
lebih menyeluruh, pertama-tama melalui penambahan peng-
ukuran output dan pengukuran konteks sampai pengukuran yang
lebih tradisional terhadap input dan sumber daya, dan kedua
dengan menumbuhkan minat terhadap 'faktor-faktor inputyang
lunak' dan karakteristik proses.
103
dalam penelitian tentang efektivitas pendidikan, merupakan
skema analitik terbaik untuk mensistemaüsasikan pemikiran ten-
tang indikator-indikator pendidikan.
Konteks
Input
1
Pro»« Output Outcome
Konteks Evaluatif
Ada tiga konteks evaluatif berbeda di mana indikator pen-
didikan dapat digunakan:
(a) Monitoring keadaan pendidikan di tingkat nasional atau
distrik;
(b) Evaluasi program;
(e) Èvaluasi diri sekolah;
104
Kadang-kadang indikator dapat digunakan untuk lebih dari
satu konteks aplikasi pada saat yang bersamaan. Bagaimana cara
indikator-indikator OECD digunakan adalah contoh monitor-
ing di tingkat sistem nasional dengan keuntungan tambahan yang
menarik dari informasi komparatif internasional, yang dapat
digunakan sebagai 'standar tertinggi untuk mengetahui tingkat
kualitas' ('benchmarks).
105
níngkatkan fungsi evaluasi di suatu negara, dengan demudan
menyumbang bagi peningkatan sektor pendidikan.
TingkatAgregasi
106
kan landasan yang baku untuk menjawab pertanyaan kausal
tentang efektivitas program.
Keuntungan tambahan terakhir adaiah bahwa relevansi sis-
tem indikator bagi tingkat administratif yang lebih rendali (mi-
salnya distrik sekolah atau sekolah itu sendiri) meningkat ketika
data disaggregate tersedia.
Time-frame
107
yang merupakan perangkat lunak dan, dengan demikian, meru-
pakan subyek kebijakan yang aktif untuk meningkatkan pendi-
dikan.
108
dapat menimbulkan pertimbangan nilai tentang mutu pen-
didikan bahkan dalam absennya data output.
Dalam konteks evaluasi program, indikator-indikator proses
kadang-kadang didefinisikan sebagai alat perikasa atas imple-
mentasi aktual program. Tafsir atas indikator-indikator proses
dengan mudah dapat didamaikan dengan satu penafsiran yang
digunakan dalam bagian ini. Pemeriksaan atas implementasi
merupakan hai yang sangat mendasar dan merupakan jenis ad-
ministratif monitoring, sedangkan indikator-indikator proses,
sebagaimana didefinisikan di atas, mengacu pada proses kausal
yang lebih umum mengenai berfungsinya organisasi serta penga-
jaran dan pembelajaran. Ketika indikator proses telah diguna-
kan dan penerapannya di atas di periksa, indikator-indikator
tersebut akan memberi banyak informasi tentang mengapa pro-
gram (yang diimplementasikan) itu dapat bekerja. Gambar 5
mengilustrasikan hai ini.
Tingkat Proses
Input Program
implementasi transformasi
input-input yang
program mengikuti
program
109
Contoh-contoh Berbagai Indikator Proses Sekolah
Keterlibatan masyarakat
Tingkat keterlibatan nyata orangtua dalam berbagai kegiat-
an sekolah (proses pengajaran dan pembelajaran, kegiatan
ekstra-kurikuler dan kegiatan yang mendukung)* ;
Prosentase total anggaran sekolah tahunan yang diperoleh
dari masyarakat lokal* *;
Sejumlah dewan sekolah lokal yang secara bijaksana mem-
perhatikan kondisi kerja guru.
110
Kepemimpinan Pendidikan
Jumlah waku yang habiskan kepala sekolah untuk mengu-
rus masalah pendidikan, dibandingkan dengan tugas admin-
istratif dan lainnya*;
• Apakah kepala sekolah menghargai kinerja guru** atau
tidak;
• Jumlah waktu yang didedikasikan bagi isu-isu instruksional
selama pertemuan staf*.
Ill
Kesempatan untuk Belajar
Ratingguxu atau murid tentang apakah masing-masing item
uji prestasi diajarkan atau tidak.
112
luasi diri sekolah sendiri berkenaan dengan jenis evaluasi pen-
didikan di tingkat sekolah yang diprakarasi dan setidaknya
sebagiannya dikontrol oleh sekolah itu sendiri.
Defittisi
Ada empat kategori utama aktor di semua jenis evaluasi, terma-
suk evaluasi sekolah:
A. Kontraktor, pemberi dana dan pemrakarsa evaluasi;
B. Staf (profesional) yang melakukan evaluasi;
C. Individu-individu dalam situasi obyek, yang memberikan
data;
D. Klien atau pengguna atau audiens hasil evaluasi.
Kategori A dan D sebagiannya ada yang tumpang tindih,
dalam pengertian bahwa kontraktor juga hampir selalu adalah
'pengguna', meskipun mereka boleh jadi bukanlah satu-satunya
kategori pengguna. Misalnya, departemen tertentu di Kemen-
terian Pendidikan boleh jadi adalah kontraktor dan pengguna
evaluasi program tertentu, meskipun kelompok penting lainnya,
seperti anggota parlemen dan pembayar pajak, juga bisa diang-
gap sebagai audiens yang relevan.
113
(b) Ketika unit yang dievaluasi memprakarsai dan mengontrak
evaluasi ke evaluator eksternal, dan penggunanya boleh jadi
baik internal secara eksklusif maupun internal dan eksternal
dari obyek yang dievaluasi.
Perlu dicatat bahwa pembedaan antara evaluasi internal
dengan unit evaluasi internal yang terspesialisasi, dan evaluasi
eksternal di mana unit (sekolah) yang memprakarsai evaluasi
itu, adalah semata-mata bergantung pada í£#ínginstitusional dari
evaluator.
114
nya' ('spin-offs') dengan evaluasi eksternal atau sepenuhnya
ditentukan secara internal. Kategori-kategori berikut dapat
dìbedakan, yang berubah-ubah dari eksternal ke internai:
• Evaluasi diri sekolah (school self-evaluation) yang merupakan
hai yang tidak ada hubungannya (spin-offs) dari program
penilaian tingkat nasional atau distrik, di mana hasil belajar
di sekolah merupakan umpan balik terhadap sekolah itu
sendiri;
• Evaluasi diri sekolah (school self-evaluation) yang menyajikan
kegunaan internal dan eksternal dan tunduk pada meta-eva-
luasi oleh inspektorat;
• Evaluasi diri sekolah (school self-evaluation) yang secara eks-
plisit bertujuan memberi informasi kepada konstituen
eksternal dan juga bagi proses peningkatan sekolah;
Evaluasi diri yang merupakan bagian dari program pening-
katan yang melibatkan sejumlah sekolah (evaluasi mungkin
mempunyai tujuan tambahan untuk menilai pengaruh
proyek peningkatan sekolah secara keseluruhan);
• Evaluasi diri yang dirancang oleh sekolah itu sendiri.
West dan Hopkins (1997) mendefinisikan lebih jauh tentang
orientasi evaluasi bagi peningkatan sekolah. Keduanya
membedakan antara:
Evaluasi dari peningkatan sekolah. Dalam kasus ini outcome
dari usaha-usaha peningkatan atau kejituan dari implemen-
tasi proses dilakukan fokus. Evaluasi sekolah mempunyai
orientasi sumatif.
• Evaluasi ¿agi peningkatan sekolah. Dalam kasus ini evaluasi
digunakan selama proses peningkatan sekolah dalam rangka
membentuk proses ini lebih jauh. Orientasi ini bersifat
formatif dan bukan sumatif.
115
Evaluasi sebagai peningkatan sekolah. Dalam kasus ini eva-
luasi dan proses peningkatan adalah satu dan sama. Barang-
kali istilah 'action research' merupakan ekspresi terbaik dari
orientasi ini. Penulis akan menafsirkannya dengan meng-
eksploitasi potensi refleksif dari proses evaluasi. Misalnya,
semata fakta bahwa team-team sekolah melihat pada prio-
ritas dan metode untuk menearía kekuatan dan kelemahan
dari berfungsinya sekolah, yang dapat mengarah pada pe-
ningkatan rasa kesadaran yang meningkat akan tujuan pen-
didikan dan kerjasama antar staf.
Gambar 6 menggabungkan lima orientasi internal/eksternal
dengan pembedaan West dan Hopkins sebagaimana telah
disajikan di atas.
116
Evalua» diri yang dirancang bagi Evaluasi peningkatan sekolah
Bagi masing-masing sekolah (satu sekolah)
117
Gambar 7. Tipologi model efektivitas.
Kualitas
output
Internal Eksternal
Kontrol
Model Proses Internal Model Tujuan Rasional
118
kin memerlukan pendekatan pengajaran yang berbeda dan
rancangan organisasional sekolah yang berbeda-beda dibanding
variabel-variabel proses yang ditunjukkan pada perkara dalam
model efeküvitas sekolah tradisional (Scheerens, 1994).
Menurut Goodlad dan Anderson (1987), multi-age dan in-
ter-age grouping memiliki keuntungan meningkatkan pengem-
bangan sosial dan emosional dan juga efektif dalam merealisa-
sikan tujuan pendidikan tradisional. Kerugian dari suasana yang
berorientasi prestasi yang kompetitif harusnya dimodifikasi oleh
rancangan organisasional tersebut, sementara kerugian motiva-
sional promoting dan non-promoting sebagaimana dalam sistem
yang bertingkat {gradea) dicegah. Non-grade\dness dan team-teach-
ing dilihat sebagai cara merealisasikan pengajaran yang bersifat
adaptif dan terpadu, rute pembelajaran yang terus-menerus.
Pendekatan seperti itu dianggap dapat menyumbang pada
tingkat kenyamanan dan kebahagiaan siswa di sekolah.
119
• Interaksi profesional yang bersifat mendorong dan sering di antara
kelompok/wr (misalnya kerja bersama/hubungan kolegial)
dalam sekolah;
Struktur dan prosedur yang menyumbang kepada rasa
kemanjuran yang ünggi (misalnya, mekanisme yang memung-
kinkan guru mendapat umpan balik akurat dan sering tentang
kinerja mereka dan pengaruh spesifik dari kinerja mereka
pada pembelajaran siswa) ;
• Kesempatan untuk menggunakan pengetahuan dan ketrampilan
yang ada secara maksimal dan serta memperoleh pengetahu-
an dan ketrampilan baru (pengembangan diri); kesempat-
an untuk bereksperimen;
Sumber daya yang memadai untuk melakukan pekerjaan;
lingkungan kerja fisik yang teratur dan nyaman dihuni [pleas-
anij;
Rasa kecocokan antara tujuan personal dengan tujuan sekolah
(alienasi yang rendah).
Faktor lainnya yang juga mungkin menyumbang pada
kepuasan guru adalah diferensiasi tugas, kemungkinan promosi
yang jelas (sungguhpun hai ini biasanya terbatas) dan insentif
keuangan, meskipun pendekatan ini terbukti counter-productive,
menurut beberapa pengarang (McLaughlin dan Meiling Yee,
1988).
Model sistem terbukamenekaiikaxi responsivitas sekolah sesuai
dengan kondisi lingkungan yang mengitarinya. Ini berarti, di
satu sisi, organisasi sekolah dapat menciptakan tiang penyangga
{buffer) yang efektif terhadap ancaman eksternal dan di sisi lain,
bahwa sekolah dapat memanipulasi lingkungan mereka sampai
tingkatan bahwa berfungsinya mereka sendiri tidak hanya
terlindungi melainkan juga ditingkatkan. Di beberapa negara
(misalnya Belanda) regulasi eksternal bagi sekolah sangat longgar
dan otonomi sekolah ditingkatkan. Keadaan masalah ini mem-
120
berikan kemungkinan bam, tetapi juga mengkonfrontasikan se-
kolah dengan keperluan baru, seperti melakukan kebijakan ke-
uangan mereka sendiri.
Perkembangan demografis (beberapa orang) mungkin me-
maksa sekolah untuk aktif mendorong pendaftaran siswa dan
'pemasaran sekolah'. Perkembangan dalam teknologi pendidik-
an, inisiatif bagi inovasi pendidikan dan tingkat administrasi lebih
tinggi dan juga keperluan akuntabilitas dapat dilihat sebagai
kekuatan eksternal tambaban yang menantang kesiapan seko-
lah untuk berubah.
121
Keterlibatan orangtua yang kuat;
Posisi batas-jangkauan {boundary-spanning);
Dukungan agen perubahan ekstemal.
Indikator yang mewakili keberhasilan responsivitas adalah
jumlah pendaftaran dan karakteristik bangunan serta peralatan.
Sementara model hubungan manusia menekankan diri pada
aspek sosial dan kultural dari 'apa yang dipertahankan organi-
sasi secara bersama-sama', model proses internalyang mencermin-
kan keasyikan dengan formalisasi dan struktur. Dari perspektif
ini, faktor-faktor berikut ini sangat menarik:
Dokumen perencanaan yang eksplisit (seperti kurikulum
sekolah, rencana pengembangan sekolah);
Aturan disiplin yang jelas;
• Formalisasi posisi;
Kontinuitas dalam kepemimpinan dan staffing,
Kurikulum terpadu (koordinasi lintas tingkat kelas {over
grades)).
Indikator-indikator yang mewakili stabilitas organisasi
sekolah adalah rata-rata tingkat kehadiran, jumlah période
pengajaran yang tidak diberikan, dan gambaran tentang konti-
nuitas dalam staffing
Indikator-indikator Kualitas
Gagasan tentang indikator-indikator proses tambahan yang
didasarkan pada treatmentyang lebih komprehensif tentang efek-
tivitas organisasi diringkas dalam Gambar 8 (indikator-indikator
proses yang disimpulkan dari model penelitian tentang efektivi-
tas sekolah yang lebih sempit juga dimasukkan).
122
Gambar 8. Faktor-faktor Tambahan bagi indikator-indikator proses yang di-
hasilkan dari kerangka Quinn dan Rohrbaugh
123
Taksonomi Evaluasi Sekolah, Metode, Aktor4 dan Obyek yang
Berbeda-beda
Ketika evaluasi sekolah dalam pengertian luas - bukan eva-
luasi diri sekolah [school self-evaluation) yang eksklusif-dipertim-
bangkan, dan ketika metode dibedakan atas dasar aktor dan
obyek evaluasi, seperangkat pendekatan lebih yang ekstensif
dapat dibedakan menjadi:
4
Aktor ditunjukkan di antara tanda kurung persegi
124
Evaluasi guru dengan menggunakan observasi kualitas
instruksi [manajemen sekolah senior];
Ratingkualitas pengajaran oleh siswa [siswa].
125
Metode Evaluasi, Ketika Sistem Sekolah adaiah Obyek:
• Penilaian nasional [pemerintah nasional];
Evaluasi program [pemerintah nasional] ;
Proyek indikator pendidikan [pemerintah nasional].
126
eksteraal dihadirkan sekaligus. Dalam semua kasus jaringan se-
kolah dikolaborasikan dalam kegiatan evaluasi (diri) sekolah.
Sebagian besar prakarsa berasal dari unit-unit sekolah di atas,
otoritas pendidikan di tingkat lokal, di kotamadya atau agen
pendukung di tingkat regional. Di semua kasus sekolah-sekolah
memperoleh dukungan eksternal dan biasanya menggunakan
instrumen yang dikembangkan secara eksternal. Dalam
sebagaian kecil kasus sekolah-sekolah mengadaptasi instrumen-
instrumen yang dikembangkan secara eksternal atau mengem-
bangkan instrumennya sendiri dengan bantuan para ahli
eksternal.
5
Hasil ini hingga tingkat tertentu mencerminkan fokus, atau bias sam-
pling, dari studi ini dimana EEDS dan INAP menarik sampel proyek evaluasi
diri, sedangkan EVA menarik sampel sekolah itu sendiri di masing-masing
negara Uni Eropa.
127
dengan para ahli eksternal untuk menentukan skala prioritas dan
standar bagi evaluasi diri sekolah (school self-evaluation) (MacBeath,
1999; Schreens, 1999). Contoh terakhir ini cenderung ke arah
apa yang digambarkan West dan Hopkins dengan evaluasi seba-
gai metode peningkatan sekolah (West dan Hopkins, 1997).
Relevansi pengalaman ini bagi negara-negara sedang
berkembang ada dua:
Dukungan Eksternal
Dalam semua kasus yang digambarkan dalam studi Uni
Eropa, ada beberapa macam dukungan eksternal bagi sekolah
yang berpartisipasi dalam proyek evaluasi diri sekolah. Jenis
dukungan yang diperlukan, seperti hai yang memang sudah
selayaknya, bergantung pada jenis evaluasi diri sekolah yang
dipilih. Dua area dukungan utama adalah dukungan teknis dan
manajemen, karena penciptaan dan pemeliharaan kondisi or-
ganisasi diperlukan bagi penggunaan evaluasi diri yang efektif.
128
Dalam kasus di mana evaluasi diri sebagian besarnya merupa-
kan sesuatu yang terpisah (spin-off) dari evaluasi eksternal yang
melibatkan banyak sekolah, data akan diproses dan dianalisis
secara eksternal. Upaya khusus perlu dibuat untuk menarik data
umpan balik ke sekolah itu sendiri dengan cara yang dapat
diakses dan dipahami. Dalam situasi seperti ini, sekolah juga
akan memerlukan beberapa petunjuk untuk dapat menafsirkan
hasil serta aplikasi standar dan benchmark.
129
substantif dalam menafsirkan hasil dan merancang tindakan
korektif dan remedial untuk meningkatkan berfungsinya seko-
lah di daerah-daerah yang lemah. Pasti ada bahaya dalam men-
ciptakan sebuah informasi evaluatìf yang berlebihan yang tidak
sepenuhnya dieksplorasi demi tindakannya yang potensial. Se-
cara berbeda dapat dikatakan, bahwa evaluasi diri tidak harus
berhenti pada diagnosis namun hendaknya digunakan secara
aktif sebagai 'terapi'.
Aspek biaya
Perlunya dukungan ekstemal dan petunjuk akan bergantung
pada tingkat masing-masing sekolah mengembangkan pende-
katan 'rancangan'-nya ^tailor-made) sendiri bagi evaluasi diri
sekolah [school self-evaluation).
130
kapasitas lokal. Karena hai ini mendorong ketrampilan praktis
yang langsung diperlukan ketika menciptakan sekolah-sekolah
yang dapat menangani otonomi dan peningkatan sekolah.
131
seorang akan berharap bahwa pemahaman tentang evaluasi yang
lebih kuat dalam suatu konteks akuntabilitas ketimbang dalam
konteks peningkatan. Dalam praktik nyata, setìdaknya di Eropa,
evaluasi diri sekolah {school self-evaluation) acapkali muncul se-
bagai suatu konsekuensi belaka, terpisah [spin-off atau meng-
imbangi terhadap penilaian yang berorientasi akuntabilitas.
Rekonsiliasi dan integrasi yang berorientasi akuntabilitas dan
peningkatan kemungkinan lebih besar ketika elemen kontrol
eksternal, khususnya sebagian besar menggunakan sangsi,
kurang keras. Di Eropa ada contoh di mana penilaian yang ber-
orientasi akuntabilitas eksternal, seperti produksi league tables,
secara aktual berfungsi sebagai insentif utama bagi sekolah un-
tuk menaikkan jenis evaluasi diri yang memperhatikan spektrum
yang luas dari aspek-aspek berfungsinya sekolah.
Namun, bahkan ketika tidak ada akuntabilitas ada pada
tiang pancangnya, dan evaluasi diri sekolah [school self-evalua-
tion) dirancang dari atas, isu-isu bahwa guru menjadi merasa
terancam muncul. Oleh karena itu, penting bahwa evaluasi diri
sekolah [school self evaluation) secara jelas dan eksplisit diperke-
nalkan kepada seluruh stakeholder dan partisipan dan bahwa
kegiatan yang pada awalnya dialami karena memberi penghar-
gaan secara intrinsik dan profesional. Pada akhirnya relevansi
dan penggunaan data serta aplikasi standar bagi semua staf se-
kolah hams berfungsi sebagai insentif yang utama bagi evaluasi
diri sekolah [school self-evaluation) secara berkelanjutan.
Politik mikro evaluasi sekolah ada kemungkinan berbeda-
beda menurut struktur dan budaya pendidikan dari suatu negara
yang bersangkutan. Oleh karena itu, tidak ada petunjuk yang
dapat diaplikasikan secara umum yang bisa diberikan di negara-
negara sedang berkembang melainkan rekomendasi kuat yang
tidak mengabaikan berbagai aspek politik dan semua reaksi yang
mereka miliki terhadap isu-isu koleksi data yang dapat
diandalkan [reliable), keserupaan hasil-hasil, fasilitasi database
132
yang terangkai dengan baik dan kerjasama profesional yang baik
antara para guru, kepala sekolah dan staf pendukung.
Ketika menerapkan evaluasi diri sekolah [school self-evalua-
tion) di negara-negara sedang berkembang, pengalaman Eropa
mengenai bentuk-bentuk cangkokan dari evaluasi sekolah in-
ternal dan eksternal bisa dilihat sebagai contoh positif dan bukan
négatif.
133
oleh aktor-aktor yang relevan untuk tujuan-tujuan reformasi dan
peningkatan.
134
V. Kesimpulan: Implikasi bagi
Para Perencana Pendidikan
135
substansial dibanding faktor-faktor yang lebih jauh dari, hai
ini tìdak harus mengecilkan haü upaya-upaya dan tingkat
sekolah yang di atas untuk meningkatkan sekolah, terutama
sekali ketika hai ini dirancang sebagai pengukuran tidak lang-
sung untuk meningkatkan kondisi efektivitas di dalam seko-
lah;
• Meskipun adanya konsensus dalam rieview yang lebih
kualitatif terhadap bukü penelitian tersebut, namun síntesis
penelitian kuantitatif dan studi perbandingan intemasional
menunjukkan ketidakmenentuan yang sungguh-sungguh
tentang generalisibilitas dan ukuran pengaruh aktual dari
faktor-faktor yang dianggap bisa bekerja; hai ini menghasil-
kan rekomendasi bahwa para perencana pendidikan belum
menggunakan seperangkat faktor-faktor tersebut sebagai
cetak bini preskriptif secara seragam mengenai apa yang
terjadi di sekolah.
Paradigma rasionalitas, prinsip meta ilmiah sosia! yang sung-
guh-sungguh familiar bagi para perencana, digunakan sebagai
prinsip yang mendasari dalam menjelaskan mengapa seperangkat
faktor yang diidentifikasi harus bekerja. Tiga penafsiran berbeda
mengenai paradigma rasionalitas yang masuk pertimbangan
menghasilkan tiga impératif berbeda:
136
manusia hams ditempatkan sebelum meningkatnya teknik ra-
sional dapat dianggap mulai membuat perbedaan.
Ide tentang sekolah sebagai organisasi semi-otonom yang
memiliki sejumlah kontrol tertentu atas efektivitasnya sendiri
sesuai sangat baik dengan kebijakan desentralisasi fungsional
yang telah diterapkan di banyak negara. Prinsip subsidiaritas,
yang menyatakan bahwa semua yang dapat dilakukan di tingkat
lebih rendah tidak mesti bisa dipakai pada tingkat yang lebih
tinggi, permintaan untuk kontrol yang minimal dari level yang
lebih tinggi. Pola desentralisasi fungsional tampaknya berbeda-
beda di antara sektor pendidikan yang ada; yakni, misalnya,
sangat mungkin bahwa kurikulum dan fungsi penilaian akan
dikontrol secara terpusat pada pendidikan tingkat dasar di ban-
ding pada pendidikan kejuruan tingkat menengah-atas. Men-
ciptakan kondisi lokal yang mendorong keterlibatan orangtua
dan masyarakat, serta meningkatkan fungsi evaluasi, dilihat se-
bagai contoh kontrol minimal dan kontrol tidak langsung.
137
Daftar Pustaka
Achilles, C. M., 1996, "Student Achieve More in Smaller Classes", in Educa-
tional Leadership, 53, pp. 76-77
Aitkin, M.; Longford, N., 1986, "Statistical Modelling Issues in School Effec-
tiveness Studies", ini TheJournal of the Royal Statistical Society, Series A
(General), 149, Part 1, pp. 1-43
Anderson, L. W.; Ryan, D. W.; Shapiro, B.J., 1989, The IEA Classroom Envi-
ronment Study. Oxford: Pergamon Press
Bloom, B., 1976, Human Characteristics and School Learning. New York: McGraw
Hill
Bosker, R. J.; Witziers, B., 1996, The Magnitude of School Effects. Or: Does it
Really Matter which School a Student Attends?'New York: AERA paper
139
Bosker, R. J.; Scheerens,J., 1999, "Openbare Prestatiegegeven van Scholen;
Nutügheid en Validiteit", in Pedagogische Studien, 76 (1), pp. 61-73
Brookover, W. B.; Beady, C ; Flood, P., et. al., 1979, School Social Systems and
Student Achievement-Schools Can Make a Difference. New York: Praeger Pub-
lishers
Brophy, J., 1996, Classroom Management as Socializing Students Into Clearly Ar-
ticulated Roles. New York: AERA paper
Caplan, N. 1982. "Social research and public policy at the national level", In
D. B. P. (Ed.), Social Science Reseach and Public Policy-Making: a Reappraisal.
Windsor, U.K.: NFER-Nelson.
Card, D.; Krueger, A.B. 1992."Does school quality matter? Returns to educa-
tion and the characteristics of public schools in the United States", in
Journal ofPolitical Economy, WO, PP. 1-40.
Carroll,J. B. 1963. "A model of School Learning", In Teacher College Record, 64,
PP. 722-733.
140
Cheng, Y. C. 1993. Conceptualization and Measurement ofSchool Effectiveness: an
Organizational Perspective. Atlanta: AERA paper.
ChubbJ. E.; Moe, T. M., 1990. Politics, Markets and American Schools". In Wash-
ington D. C : Brookings Institute.
Cohen, J. 1969. Statistical Power Analysis for the Behavioral Sciences (2* ed.)
Hillsdele, NJ: Lawrence Erlbaum Associates.
Cohen, M.D.; March,J.G.; Olsen, 1972. "A Garbage can Model or Organiza-
tional Choice", In, Administrative Science Quarterly, 17, PP. 1-25.
Davies, J.K. 1972. "Style and effectiveness in education and training: a model
for organizing, teaching and learning", In Instructional Science, 2.
141
Dijkstra, A.B. 1992. De Religìeuze Factor. Onierwijskansen en Godsdienst: een
Vergelijkend Onderzpek Naar Gereformecrd-Vrijgemaakte Scholen. Nijmgen:
ITS.
Duffy, Th.M.; Jonassen, D.H. 1992. Constructivism and the Technology ofInstruc-
tion: a Conversation. Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum Ass.
Faerman, S.R.; R.E. Quinn. 1985. "Effectiveness: the Perspective from Orga-
nization Theory", In The Review of Higher Education, 9, PP. 83-100.
Ferguson, R.F. 1991. "Paying for Public Education: New Evidence on How
and Why Money Matters". HarvardJournal on Legislation, 28, PP. 465-
498.
Fraser, B J.; Walberg, HJ.; Welch, W.W. ; Hattie, J.A. 1987. "Syntheses of
Educational Productivity Research"{Special Issue}. InternationalJournal
of Educational Research
Fuller, B. 1987. " What school factors raise achivement in the Third World ?"
In Review of Educational Research, 57(3), pp. 255-292.
Fuller, B.; Clarke, P. 1994. "Raising School Effects While Ignoring Culture?
Local Conditions and the Influence of Clasroom Tools, Rules and Peda-
gogy", In Review ofEducational Research, 64{\), pp. 119- 157.
142
Gooren, W.AJ. 1989. "Kwetsbare en weerbare scholen en het welbevinden
van de leraar", Inj. Scheerens andJ.C.Verhoeven (Eds.), SchoolorganisatU,
Beleid en Onderwijskwaliteit. Lisse: Swets and Zeidinger.
Grisay, A. 1996. Evolution des Acquis Cognitifi et Socio-Affectifs des Eleoes au Cours
des Années de College. Liege: Universite de Liege.
Hill, P. W.; Rowe, K.J.; Jones, T. 1995. SJIS: School Improvement Information
Service: Version 1.1. October 1995. Melbourne: The University of
Melbourne: Center for Applied Educational Research
Hingel, A. J.; Jakobson, L. B., 1998. EVA Newsletter 3, November 1998. Brus-
sels: European Commission
143
Hirsch, D. 1994. School: A Matter of Choice. Paris: OECD/CERI.
Jimenez, E.; Paquea, V. 1996, "Do Local Contributions Affect the Effective-
ness of Public Schools?", in Economics of Education Review, 15, pp. 377-
386
Kyle, M.J. (ed). 1985. Reaching for Excellence: An Effective Schools Sourcebook.
Washington, D.C.: U.S. Government Printing Office
Levine, D.U.; Lezotte, L.W. 1990. Unussually Effective Schools: a Review and
Analysis of Research and Practice. Madison, Winconsin: National Center
for Effective Schools Research and Development.
144
Lockheed, M.; Hanushek, E. 1988. "Improving Educational Efficiency in
Developing Countries: What do We Know?" in Compare, 18, (1), pp. 21-
38
Louis, K.S.; Smith, B.A. 1990. "Teachers' Work: Current Issues and Prospects
for Reform", in P. Rayes (ed.), Productivity and Performance in Educational
Organizations, pp. 23-47. Newburry Park: SAGE
March, J.T.; Olsen, J.P. 1976. Ambiguity and Choice in Organization. Bergen,
Norway: Universitetforlagest.
145
Morgan, G. 1986. Images of Organization. London: Sage
Mortìmore, P.: Sammons, P.; StoU, L.; Lewis, D.; Ecob, R. 1988. School Mat-
ters: TheJunior Years. Somerset: Open Books
Pfeffer, J.; Salancik, G.R. 1978. The External Control of Organizations: A Resource
Dependence Perspective. New York: Harper and Row.
Pritcett, L.; Filmer, D. 1997. What Educational Production Functions Really Show:
A Positive Theory of Education. World Bank: Policy Research Working Paper
of the Development Research Group on Poverty and Human Resources
Purkey, S.C.; Smith, M.S. 1983. "Effective Schools: A Review", in The El-
ementary Schooljournal, 83, pp. 427-452
146
Ralph, J.H.; Fannessey, J. 1983. "Science of Reform: Some Qustìons About
the Effective Schools Model", in Phi Delta Kappan, 64 (10), pp. 689-694
Riley, D.D. 1990. "Should Market Forces Control Educational Decision Mak-
ing?" in American Political Science Review, 84, pp. 554-558
147
Scheerens,J. Praag, B.M.S. van (ed.), 1998. Micro-.Economic Theory and Educa-
tional Effectiveness. Enschede/Amsterdam: Universiteit Twente, OCTO/
Universiteit van Amsterdam, SEO
Simons, P.RJ. 1989. "Leren Leren: Naar een Nieuwe Didactische Aanpak"
(Learning to Learn: Towards a New Didactice Approach), in P.RJ.
Simons and J.G.G. Zuylen (ed.), Handboek Huiswerkdidactiek en
GeintegreerdStudievaardighedsonderwijs (Handbook for Homework Didac-
tics and Learning How to Learn). Heerlen: Meso Consult
Slavin, R.E. 1996. Education for AIL Laise: Swets and Zeitlinger
Stebbins, L.B.; St. Pierre, R.G.; Proper, E.C.; Anderson, R.R.; Cerva, T.R.
1977. "An Evaluation of Follow Through", Education as Experimentation:
A Planned Variation Model, Vol IV-A. Cambridge, Mass.: Abt Associates
Ine
Stem, J.D. 1986. The Educational Indicators Project at the U.S. Departement of
Education. Center for Statistics, U.S. Departement of Education
148
Stringfìeld, S.C.; Slavin, R.E. 1992. "A Hierarchical Longitudinal Model for
Elementary School Effects", in B.P.M. Creemers and GJ. Reezigt (ed.),
Evaluation ofEffectiveness. ICO-Publication 2
Taeuber, R.C. (ed.), 1987. "Educational Data System Redesign" [Special Is-
sue]. InternationalJournal ofEducational Research. 11 (4),
Wang, M.C.; 1999. Community for Learning: Questions and Answers. Paper Pre-
sented at ICSEI Conference, San Antonio
Weiss, C.H.; Bucuvalas, M J . 1980. "Truth Tests and Utility Tests: Decision-
Makers' Kramers of Reference for Social Science Research", in American
Sociological Review, 45. Pp. 303-313
Werf, M.P.C, van der. 1988. Het Schoolwerkplan in het Basisonderwijs (School
Development Plans in Primary Education). Lisse: Swets and Zeitlinger
149
Wets, M.; Hopkins, D. 1997. Using Evaluation Data in Improve the Quality of
Schooling. Frankfurt, Germany: ECER-Conference
Witte, J.F. 1990. Understanding High School Achievement: After a Decade of Re-
search, Do Wee Have Any Confident Policy Recommendation?'San Fransisco:
AERA paper
150
Indeks
A c
Achilles 33 Calvert-Barclay 85
administratif lokal 102 Campbell 81, 107
Aitkin 30 Card 33
akuntabilitas 131 Carroll 44,46
akuntabilitas birokratis 95 Cheng 23
Alwin 30 Chubb 90
Amerika Serikat 71, 85, 91 Clarke 56, 60, 65, 73
análisis untung rugi 10 Clauset 97
Anderson 64, 119 Cohen 80, 87
anggaran sekolah 110 Coleman 29,30,31,38
aritmaaka 1, 7 Cotton 39,40
asosiasi; positif 57; i Creemers 39,51
tua 20
D
B
Data disaggregate 106, 107
Bedinger 84 demokrasi keterwakilan 88
Belanda 67, 84, 120, 121 desentralisasi 67,91;
benchmark 129 __fungsional 69, 137
birokrasi profesional 131 dewan sekolah lokal 110
Bloom 46 diri sekolah 129, 137
Bosker 17,21,42 Doyle 47
Brandsma 52, 74
151
E fungsi-fungsi produksi pendidik-
an 1
Efektivitas 9; biaya 35; Fürst 45
guru 72; organisasi
11,15-17,20,23-25,65,87, G
96,98,117,122,135;
pendidikan 2,6-8,22, Gaynor 97
25, 27, 28, 34, 36,40, 51, 56, Goodlad 119
64, 71, 75, 88, 98, 100, 104, Gooren 121
135; pengajaran 1, 39, Greenwald 33, 53
44, 47, 48, 50, 51, 54; Grisay 52
sekolah 1, 2, 3, 5- 8, 10, guru 111
11,16-19,21-25,27,29,30,
38, 39, 42, 51, 52, 54, 59, H
63-67, 70, 71, 73, 74, 77-79, Hanushek 31, 32, 34, 53
81, 83, 84, 87, 89, 91, 96-101, Hauser 30
108, 112, 117-119, 122, 123, Hedges 33,53
126, 134, 135, 137; seko- Herman 84
lah terpadu 66; sosial 9; Hopkins 115, 116, 128
teknis 9; sekolah 27
ekonomimikro 59 I
Eropa 126
etnik siswa 29 indikator; output 108;
evaluasi; berbasis stakeholder pendidikan 101, 105,
93; diri 132; diri 107; proses 107, 108,
sekolah 101, 112, 114, 126, 134; proses sekolah 101;
127, 128, 129, 130, 131, 133; sosial pendidikan 102;
internal 114; pembe- indikator proses 118,
lajaran kognitif 96; pen- 126, 133, 134; evaluatif
didikan 12; program 93
109; sekolah 113 input; non-moneter 23;
perangkat lunak 30;
F sumber daya 6, 35, 58,
63; sumber daya 53,54,
Ferguson 33 61,72
Filmer 59 Itali 126
Fraser 48,53
Fuller 56, 60, 65, 73
152
J M
Jenck 38 Magari 31
maksimalisasi waktu belajar 83
K malfungsi organisasi 88
manajemen sekolah 70
Kapasitas sekolah 121
March 80, 87
karakteristik; pribadi guru
mastery learning 44
45; sekolah 31;
matematika 1, 7, 37, 53
sosio-ekonomi 30
metode pengajaran 9,38, 68,
kebijakan publik 77
69,82
Kementerian Pendidikan 113
Mintzberg 14,83
kepemimpinan; instruksional
model; __hubungan manusia
89; pendidikan 72;
117,119,122; pengajar-
sekolah 74
an-pembelajaran Carroll
Kerajaan Inggris 91
46; produktivitas 78;
Kesteren, Van 25
proses internal 117,122;
ketersediaan buku teks 63
rasionalitas yang murni
keunggulan sekolah swasta 90
80; 'síntesis buktì-terbaik
keuntungan efisiensi 58
48; sistem terbuka 117,
King 32
120;tujuan rasional 117, 118
KomisiEropa 68
Moe 90
Konsumen pendidikan 92
monitoring; capaian murid
konsumerisme 69; pendidik-
83; kemajuan siswa 72;
an 66
pendidikan 3
kontrol birokratìs 59
Morgan 94
Krueger 33
Mortimore 52
Kulik 48
multi-level pendidikan 135
kurikulum model 100; pasio-
nal 100
N
L nilai; 'bersih' (net) 6;
_ _ t a m b a h 6, 25
Laine 33, 53
Leune 68 Niskanen 13
Levine 40
Lezotte 40
O
Longford 30 Olsen 80, 87
organisasi pembelajaran 95, 96
153
orientasi prestasi 89 Pilipina 58
otonomi sekolah 91 Postlethwaite 54
otoritas 81; pendidikan 127 predictor efektivitas 31
outcome pendidikan 28 Presiden Johnson 36
output 9; pendidikan 28; prestasi; belajar 29; latar
sekolah 6, 9, 10, 17, 71 belakang keluarga siswa 61;
pendidikan 2, 7, 49, 58;
P siswa 12
Prinsip; subsidiaritas 137;
Paradigma rasionalitas 77, 136
subsidiaritas 67
pelajaran terstruktur 83
Pritchett 59
Pelgrum 54
Privatisasi 67
pembatasan; agregasi 65;
produksi; pendidikan 35, 87,
instrumentalitas 66
108; pendidikan dasar
pembelajaran kognitif 96
35
pencapaian tujuan 7
produktivitas pendidikan 1, 45
pendekatan; konstruktivis
Program; compensatory 28, 36;
48; terstruktur 85
penilaian 100; pe-
penelitian tentang pengajaran
ningkatan sekolah 99;
45
Sukses 37
pengajaran; konstruktivis 49;
proses 133; bottom-up 129
langsung 44, 46, 82;
Protestan 68
yang efektif 46
Proyek; EEDS 126; EVA
pengukuran; efektivitas 11;
127; Inovasi Amsterdam
konteks 103; output
36
27
Purkey 39, 40
peningkatan sekolah 115
perencana; pendidikan 136;
R
sosial 78
perencanaan; rasional 82; rasionalitas; ekonomi 12, 78,
Retroactive 92; re- 82; substansial 78;
troactive 3, 79, 93, 97, 98, synoptic 91
136, 137; Synoptic 80; reformasi sistem 105
synoptic 3, 79, 81-86, retroactive 93
88, 92, 93, 96, 98, 136; Reynolds 39
'synoptic 81 Riddell 58, 64
perilaku berorientasi-tugas 77 Roma 68
perspektif substansial 78 Rosenshine 45
Picciotto 59 Ross 54
154
Ryan 64 sumber daya 33; material
136
S synoptic 81
sains 7 T
Sammons 39, 40
Scheerens 17,21, 39, 40, 42, 54 Teori; ekonomi mikro 58,
sektor pendidikan 106 59; ilmiah sosial 3;
Sewell 30 pilihan-publik 87,90
Shapiro 64 tiga blök variabel 54
Simon 80 time-frame proyek 105
sistem; akuntabilitas nasional tingkat; agregasi 66, 77;
97; indikator 103; desentralisasi 69;
informasi kebijakan otonomi sekolah 90;
102; pendidikan 3,59, sekolah 135
65-67, 88, 92, 97, 98, 100, transformasi pendidikan 107
101-105, 108, 111, 112, 114, Tyler 12
140; pendidikan nasio-
nal 90 u
skor prestasi 34
UniEropa 128
Skotlandia 126
Utrecht 36
Slavin 51
Smith 39,40 V
social desirability 134
Spanyol 126 Van Kesteren 25
stakeholder 20, 69, 132; variabel; keuangan 61 ;
eksternal 23 pengajaran 35; seko-
Stallings 44 lah 61; __tingkat sekolah
standarisasi prestasi 96 2,54; waktu 62
status sosio-ekonomi 71 Vermeulen 54
Stringfield 51,84 Verstegen 32
Struktur; mekanistik 83;
parüsipatoris 84 w
studi input-output 49
Walberg 48, 53
subsidiaritas 67
Weber,Max 83
subsidiarity 65
Welch 53
sukses sekolah 88
West 115, 116, 128
155
Buku ini diterbitkan sebagai upaya untuk
memonitor evolusi dan perubahan
dalam kebijakan pendidikan, serta pe-
ngaruhnya terhadap kebutuhan peren-
canaan pendidikan; menyoroti isu-isu
mutakhir mengenai perencanaan pen-
didikan dan menganalisisnya dalam
konteks latar historis dan kemasyara-
katannya; dan menyebarkan metodologi
perencanaan yang dapat diterapkan pa-
da konteks, baik negara maju maupun
negara sedang berkembang.
1979-626-141-3
L 0 MO S
v
WACANA ILMU DAN PEMIKIRAN