Anda di halaman 1dari 35

LAPORAN PENDAHULUAN

I. KONSEP DASAR

1. DEFINISI
Istilah meningioma pertama kali dipopulerkan oleh Harvey Cushing pada
tahun 1922. Meningioma merupakan tumor jinak ekstra-aksial atau tumor
yang terjadi di luar jaringan parenkim otak yaitu berasal dari meninges
otak. Meningioma tumbuh dari sel-sel arachnoid cap dengan
pertumbuhan yang lambat (Al-Hadidy, 2007).

Meningioma adalah salah satu tumor yang tumbuh dari membran


protektif, disebut meninges, yang mengelilingi otak dan syaraf tulang
belakang. Kebanyakan meningioma bersifat benign (bukan kanker) tetapi
beberapa dapat menjadi malignan (Mayfield Clinic, 2009).

2. ETIOLOGI
penyebab meningioma adalah trauma (Pada penyelidikan dilaporkan 1/3
dari meningioma mengalami trauma. Pada beberapa kasus ada hubungan
langsung antara tempat terjadinya trauma dengan tempat timbulnya
tumor), kehamilan (meningioma sering timbul pada akhir kehamilan,
reseptor hormon progesterone dan estrogen diperkirakan berperan dalam
perkembangan meningioma, walaupun belum dapat dijelaskan), virus
(pada penyelidikan dengan light microscone ditemukan virus like
inclusion bodies ini adalah proyeksi cytoplasma yang berada dalam
membran inti), pancaran radiasi (pasien yang mendapatkan radiasi dosis
kecil untuk tinea kapitis dapat berkembang menjadi meningioma dan
radiasi kepala dengan dosis besar, dapat menimbulkan meningioma dalam
waktu singkat) dan kelainan genetik (umumnya abnormalitas kromosom
juga menjadi penyebab. Orang-orang dengan kelainan genetik yang
dikenal sebagai neurofibromatosis tipe 2 (NF2) lebih mungkin untuk
terjadinya meningioma). (www.abta.org).
3. TANDA DAN GEJALA
Gejala meningioma dapat bersifat umum (disebabkan oleh tekanan tumor
pada otak dan medulla spinalis) atau bisa bersifat khusus (disebabkan oleh
terganggunya fungsi normal dari bagian khusus dari otak atau tekanan
pada nervus atau pembuluh darah). Secara umum, meningioma tidak bisa
didiagnosa pada gejala awal (www.cancer.net). Gejala umumnya seperti :
3.1 Sakit kepala, dapat berat atau bertambah buruk saat beraktifitas atau
pada pagi hari.
3.2 Perubahan mental
3.3 Kejang (manifestasi klinis akibat lepasnya muatan listrik yang
berlebihan di sel neuron otak karena gangguan fungsi pada neuron
tersebut baik berupa fisiologi, biokimia maupun anatomi).
3.4 Mual muntah (gejala dari kondisi penyakit lain yang perlu dicari
penyebabnya)
3.5 Perubahan visus, misalnya pandangan kabur.
PATHWAY MENINGIOMA

Faktor keturunan/genetik Radiasi Trauma/virus

Kromosom membelah abnormal

Gangguan neurogenik Tumor

Hambatan mobilitas fisik Tulang tengkorak tidak dapat meluas

Mendesak ruang intrakranial Muntah


Gangguan kesadaran
Peregangan dura&pembuluh darah Peningkatan TIK Oklusi vena sentral

Nyeri Penekanan jaringan otak Gangguan Vokal Papil


edema
Massa menekan pembuluh
darah otak
Spinal cord Foramen magnum
Pembuluh darah terjepit
Paraparesis
Nyeri (kekuatan otot yang berkurang
pada kedua
anggota bawah)
Gangguan suplai darah arteri
Bedrest/imobilisasi

Ketidakefektifan perfusi
Kerusakan jaringan kulit
cerebral

Modifikasi : Mansjoer Arif (2001), Brunner dan Sudart (2001), dan Luhulima (2003)
4. PATOFISIOLOGI
Seperti banyak kasus neoplasma lainnya, masih banyak hal yang belum
diketahui dari meningioma. Tumor otak yang tergolong jinak ini secara
histopatologis berasal dari sel pembungkus arakhnoid (arakhnoid cap
cells) yang mengalami granulasi dan perubahan bentuk. Patofisiologi
terjadinya meningioma sampai saat ini masih belum jelas. Kaskade
eikosanoid diduga memainkan peranan dalam tumorogenesis dan
perkembangan edema peritumoral.

5. PEMERIKSAAN PENUNJANG
5.1 Foto polos
Hiperostosis adalah salah satu gambaran mayor dari meningioma
pada foto polos. Diindikasikan untuk tumor pada mening. Tampak
erosi tulang dan dekstruksi sinus sphenoidales, kalsifikasi dan lesi
litik pada tulang tengkorak. Pembesaran pembuluh darah mening
menggambarkan dilatasi arteri meningea yang mensuplai darah ke
tumor. Kalsifikasi terdapat pada 20-25% kasus dapat bersifat fokal
maupun difus (Fyann, 2004).
5.2 CT scan
Meningioma mempunyai gambaran yang agak khas tetapi tidak
cukup spesifik apabila diagnosis tanpa dilengkapi pemeriksaan
angiografi dan eksplorasi bedah.
a. CT tanpa kontras
Kebanyakan meningioma memperlihatkan lesi hiperdens yang
homogen atau berbintik-bintik, bentuknya reguler dan berbatas
tegas. Bagian yang hiperdens dapat memperlihatkan gambaran
psammomatous calcifications. Kadang-kadang meningioma
memperlihatkan komponen hipodens yang prominen apabila
disertai dengan komponen kistik, nekrosis, degenerasi lipomatous
atau rongga-rongga (Fyann, 2004).
b. CSF yang loculated.
Sepertiga dari meningioma memperlihatkan gambaran isodens
yang biasanya dapat dilihat berbeda dari jaringan parenkim di
sekitarnya dan, hampir semua lesi-lesi isodens ini menyebabkan
efek masa yang bermakna. (Fyann, 2004).
c. CT dengan kontras :
Semua meningioma memperlihatkan enhancement kontras yang
nyata kecuali lesi-lesi dengan perkapuran. Pola enhancement
biasanya homogen tajam (intense) dan berbatas tegas. Duramater
yang berlanjut ke lesinya biasanya tebal, tanda yang relative
spesifik karena bisa tampak juga pada glioma dan metastasis
(Fyann, 2004). Di sekitar lesi yang menunjukkan enhancement,
bisa disertai gambaran hypodense semilunar collar atau
berbentuk cincin. Meningioma sering menunjukkan enhancement
heterogen yang kompleks. (Fyann, 2004).

6. KOMPLIKASI
Komplikasi operasi termasuk kerusakan jaringan otak di sekitarnya yang
normal. Perdarahan dan infeksi. Tumor akan dapat datang kembali, risiko
ini tergantung pada seberapa banyak tumor yang telah dioperasi dan
apakah itu jinak, atipikal, atau ganas. Jika tumor tidak dihilangkan
sepenuhnya dengan operasi, terapi radiasi sering direkomendasikan
setelah operasi untuk mengurangi risiko itu datang kembali (Park, 2012).

7. PENATALAKSANAN MEDIS
7.1 Penanganan medis secara simptomatis diberikan berdasarkan gejala
yang timbul, pemberian kortikosteroid sebelum dan sesudah operasi
secara bermakna menurunkan angka mortalitas dan morbiditas,
sehubungan dengan reseksi bedah (Haddad, 2002), untuk
penanganan medis terhadap meningioma sendiri dapat diberikan
mifepriston dan idroxyurea, sebagai antiprogesteron. (Black, 1995).
Pemberian inhibitor COX-2 dan inhibitor 5-LO masih dalam
penelitian (Nathoo, 2004). Kemoterapi berupa pemberian
Temozolomide pada pasien dengan meningioma rekuren dan reseksi
inkomplit, masih dalam fase II. (Chamberlain, 2004). Penggunaan
interferon  sebagai angiostatik juga dapat dipertimbangkan (Muhr,
2001). Indikasi radiasi pada meningioma ialah meningioma yang
tidak memungkinkan untuk reseksi total, recurrent, tidak mungkin
dioperasi dan meningioma yang secara histologis ganas. Angka
berulangnya meningioma yang tidak direseksi total cukup tinggi
yaitu 55%, dan 20% pada reseksi total. Dewasa ini dikembangkan
radiosurgery, yaitu suatu teknik radiasi non operatif dan non
invasive yang dapat memberikan radiasi dosis tinggi pada jaringan
tumor, tapi jaringan normal sekitarnya menerima dosis minimal
radiasi, sehingga teknik ini lebih aman. Ada 2 jenis radiosurgery
yaitu fractionated stereotactic radiosurgery dan gamma knife
radiosurgery (GKS) (Chang, 2003).
7.2 Dalam penanganan operatif, jika memungkinkan semua jaringan yang
terkena atau hiperostosis tulang harus dikeluarkan. Dura yang
terkena harus direseksi, untuk ini dianjurkan untuk dilakukan
duraplasti. Dural tail yang telihat pada MRI juga harus dikeluarkan.
Pada pasien diberikan kortikosteroid sebagai antiudema. Untuk
mencegah peningkatan tekanan intrakranial karena batuk dan
mengedan, maka diberikan antitusif dan laxative. Karena terdapat
meningioma pada beberapa tempat, maka tidak mungkin dilakukan
reseksi pada semua tempat, sehingga perlu dilanjutkan dengan
radioterapi dan pemberian modulasi hormon. Diharapkan dengan
radiasi dan pemberian modulasi hormon, tumor yang tersisa tidak
bertambah besar, tidak bertambah banyak, dan tidak berulang. Bila
reseptor progesteron pada jaringan tumor tinggi, pasien ini dapat
diberikan antiprogesteron. Pasien juga harus diberitahu untuk tidak
menggunakan kontrasepsi hormonal. Sebelum dilakukan reseksi
tumor dilakukan ligasi feeding artery, yang tujuannya untuk
mencegah komplikasi perdarahan saat dilakukan reseksi tumor.
Komplikasi operasi termasuk kerusakan jaringan otak di sekitarnya
yang normal, perdarahan, dan infeksi. Sekitar 20 persen orang yang
tidak memiliki serangan sebelum operasi akan mengembangkan
mereka setelah operasi. Obat anti kejang biasanya dianjurkan setelah
operasi, dan secara perlahan dihentikan setelah operasi jika kejang
tidak terjadi. Setelah operasi, beberapa orang mengalami masalah
neurologis, seperti kelemahan otot, masalah bicara, atau kesulitan
dengan koordinasi. Gejala-gejala ini tergantung pada tempat tumor
berada. Setelah operasi, ada kemungkinan bahwa tumor akan
kembali. Risiko ini tergantung pada seberapa banyak tumor yang
telah dioperasi dan apakah itu jinak, atipikal, atau ganas. Jika tumor
tidak dihilangkan sepenuhnya dengan operasi, terapi radiasi sering
direkomendasikan setelah operasi untuk mengurangi risiko itu
datang kembali (Park, 2012).
Terapi radiasi dengan menggunakan energi tinggi sinar X untuk
merusak sel tumor. Sinar-x secara hati-hati ditujukan pada daerah
otak yang terkena tumor. Tidak seperti sel normal, sel tumor kurang
mampu memperbaiki kerusakan yang disebabkan oleh radiasi.
Terapi radiasi sering direkomendasikan setelah operasi atau jika
operasi tidak mungkin. Jika operasi dilakukan, terapi radiasi
biasanya dimulai setelah orang tersebut telah sepenuhnya pulih dari
operasi. Pengobatan dengan radiasi dapat diberikan dalam beberapa
dosis kecil. Ini disebut terapi radiasi difraksinasi. Hal ini dilakukan
lima hari per minggu selama lima sampai enam minggu, dan setiap
perlakuan hanya berlangsung beberapa detik (Park, 2012).
7.3 Radioterapi
Radioterapi proton dan ion carbon. Radioterapi ini dengan cara
mengkombinasikan carbon ion dengan partikel proton. Responnya
dilihat dengan menggunakan CT Scan, MRI, dan PET imaging.
Perencanaan pengobatan didasarkan pada CT 3mm leburan irisan
dengan kontras agen yang disempurnakan dengan menggunakan
MRI. Pada pemeriksaan meningioma, DOTATOC- PET/CT
digunakan untuk mengidentifikasi jaringan metabolik tumor yang
aktif dengan menggunakan rasio lesi-versus-normal. Ukuran tumor
itu sendiri tidak menjadi factor yang menentukan ketika
mengalokasikan pasien untuk pengobatan dengan menggunakan
partikel. Namun multifocality atau metastasis sistemik misalnya
melalui penyebaran CSF yang dianggap sebagai kontraindikasi
untuk iradiasi partikel yang umumnya ada ketika terjadi
kekambuhan. Toksisitanya sedang, mengakibatkan kelelahan, gejala
terputusnya saraf kranial dan kejang. Penambahan kemoterapi
ditoleransi dengan baik dan tidak meningkatkan toksisitas
pengobatan. Usia dan jenis kelamin merupakan indikator respon dari
keberhasilan terapi ini (Rieken, 2012).

7.4 Radiasi Stereotaktik


Sumber energi yang digunakan didapat melalui teknik yang
bervariasi, yang paling sering digunakan adalah sinar foton yang
berasal dari Co gamma (gamma knife) atau linear accelerators
(LINAC) dan partikel berat (proton, ion helium) dari cyclotrons.
Semua teknik radioterapi dengan stereotaktik ini dapat mengurangi
komplikasi, terutama pada lesi dengan diameter kurang dari 2,5 cm
(Andrew, 2007). Jenis-jenis meningioma yang sering ditargetkan
oleh SRS adalah dasar tengkorak dan parasagittal, karena mikro di
daerah-daerah ini dapat dikaitkan dengan risiko tinggi dari saraf
kranial, batang otak, dan kerusakan pembuluh darah. Steiner dan
koleganya menganalisa pasien meningioma yang diterapi dengan
gamma knife dan diobservasi selama 5 tahun. Mereka menemukan
sekitar 88% pertumbuhan tumor ternyata dapat dikontrol.
Kondziolka dan kawan-kawan memperhitungkan pengontrolan
pertumbuhan tumor dalam 2 tahun pada 96 % kasus. Baru-baru ini
peneliti yang sama melakukan studi dengan sampel 99 pasien yang
diikuti selama 5 hingga 10 tahun dan didapatkan pengontrolan
pertumbuhan tumor sekitar 93 % kasus dengan 61 % massa tumor
mengecil. Kejadian defisit neurologis baru pada pasien yang diterapi
dengan stereotaktik tersebut kejadiannya sekitar 5 % (Andrew,
2007). Toksisitas dari radiosurgery meningioma sebagian besar
berasal dari gejala edema atau kerusakan pada saraf kranial yang
terletak di dasar tengkorak. Oklusi pembuluh darah setelah
radiosurgery jarang tetapi telah didokumentasikan dalam
pengobatan meningioma sinus kavernosa, dengan kejadian 1 sampai
2% (Andrew, 2007).
7.5 Kemoterapi
Modalitas kemoterapi dengan regimen antineoplasma masih belum
banyak diketahui efikasinya untuk terapi meningioma jinak maupun
maligna. Kemoterapi sebagai terapi ajuvan untuk rekuren
meningioma atipikal atau jinak baru sedikit sekali diaplikasikan
pada pasien, tetapi terapi menggunakan regimen kemoterapi (baik
intravena atau intraarterial cis-platinum, decarbazine (DTIC) dan
adriamycin) menunjukkan hasil yang kurang memuaskan (DeMonte
dan Yung), walaupun regimen tersebut efektifitasnya sangat baik
pada tumor jaringan lunak. Laporan dari Chamberlin pemberian
terapi kombinasi menggunakan cyclophosphamide, adriamycin, dan
vincristine dapat memperbaiki angka harapan hidup dengan rata-rata
sekitar 5,3 tahun. Dilaporkan pada satu kasus pemberian
hydroxyurea ini memberikan efek pada pasien-pasien dengan
rekurensi dan meningioma yang tidak dapat direseksi. Pemberian
Alfainterferon dilaporkan dapat memperpanjang waktu terjadinya
rekurensi pada kasus meningioma yang agresif. Dilaporkan juga
terapi ini kurang menimbulkan toksisitas dibanding pemberian
dengan kemoterapi (Park, 2012)
II. Rencana Asuhan Klien dengan meningoma

2.1 Pengkajian
2.1.1 Riwayat keperawatan
Data klien : nama, umur, jenis kelamin, agama, suku bangsa, status
perkawinan, pendidikan, pekerjaan, golongan darah, penghasilan,
alamat, penanggung jawab, dll, keluhan utama, riwayat kesehatan
sekarang, riwayat kesehatan lalu
2.1.2 Pemeriksaan fisik: data focus
2.1.2.1 Saraf : kejang, tingkah laku aneh, disorientasi, afasia,
penurunan/kehilangan memori, afek tidak sesuai, berdesis.
2.1.2.2 Penglihatan : penurunan lapang pandang, penglihatan kabur
2.1.2.3 Pendengaran : tinitus, penurunan pendengaran, halusinasi
2.1.2.4 Jantung : bradikardi, hipertensi
2.1.2.5 Sistem pernafasan : irama nafas meningkat, dispnea,
potensial obstruksi jalan nafas, disfungsi neuromuskuler
2.1.2.6 Sistem hormonal : amenorea, rambut rontok, diabetes
melitus
2.1.2.7 Motorik : hiperekstensi, kelemahan sendi
2.1.3 Pemeriksaan Penunjang
2.1.3.1 Foto polos
Hiperostosis adalah salah satu gambaran mayor dari
meningioma pada foto polos. Diindikasikan untuk tumor
pada mening. Tampak erosi tulang dan dekstruksi sinus
sphenoidales, kalsifikasi dan lesi litik pada tulang
tengkorak. Pembesaran pembuluh darah mening
menggambarkan dilatasi arteri meningea yang mensuplai
darah ke tumor. Kalsifikasi terdapat pada 20-25% kasus
dapat bersifat fokal maupun difus (Fyann, 2004).
2.1.3.2 CT scan
Meningioma mempunyai gambaran yang agak khas tetapi
tidak cukup spesifik apabila diagnosis tanpa dilengkapi
pemeriksaan angiografi dan eksplorasi bedah.
a. CT tanpa kontras
Kebanyakan meningioma memperlihatkan lesi hiperdens
yang homogen atau berbintik-bintik, bentuknya reguler
dan berbatas tegas. Bagian yang hiperdens dapat
memperlihatkan gambaran psammomatous
calcifications. Kadang-kadang meningioma
memperlihatkan komponen hipodens yang prominen
apabila disertai dengan komponen kistik, nekrosis,
degenerasi lipomatous atau rongga-rongga (Fyann,
2004).
b. CSF yang loculated.
Sepertiga dari meningioma memperlihatkan gambaran
isodens yang biasanya dapat dilihat berbeda dari
jaringan parenkim di sekitarnya dan, hampir semua lesi-
lesi isodens ini menyebabkan efek masa yang bermakna.
(Fyann, 2004).
c. CT dengan kontras :
Semua meningioma memperlihatkan enhancement
kontras yang nyata kecuali lesi-lesi dengan perkapuran.
Pola enhancement biasanya homogen tajam (intense)
dan berbatas tegas. Duramater yang berlanjut ke lesinya
biasanya tebal, tanda yang relative spesifik karena bisa
tampak juga pada glioma dan metastasis (Fyann, 2004).
Di sekitar lesi yang menunjukkan enhancement, bisa
disertai gambaran hypodense semilunar collar atau
berbentuk cincin. Meningioma sering menunjukkan
enhancement heterogen yang kompleks (Fyann, 2004

2.2 Diagnosa Keperawatan


2.2.1 Diagnosa 1: Nyeri Akut (Diagnosis keperawatan 2015-2017)
2.2.1.1 Definisi
Pengalaman sensori dan emosional tidak menyenangkan
yang muncul akibat kerusakan jaringan yang aktual atau
potensial atau yang digambarkan sebagai kerusakan
(International Association For the study of Pain) ;
awitan yang tiba-tiba atau lambat dari intensitas ringan
hingga berat dengan akhir yang dapat diantisipasi atau
diprediksi.
2.2.1.2 Batasan karakteristik
a. Bukti nyeri dengan menggunakan standar daftar
periksa nyeri untuk pasien yang tidak dapat
mengungkapkannya (misal : Neonatal infant pain,
Scale, Pain Assessment Cheklist for Senior with
limited Ability to Communicate).
b. Diaforesis
c. Dilatasi pupil
d. Ekspresi wajah nyeri (misal : mata kurang
bercahaya, tampak kacau, gerakan mata berpencar
atau tetap pada satu fokus, meringis)
e. Fokus menyempit (misal : persepsi waktu, proses
berpikir, interaksi dengan orang dan lingkungan)
f. Fokus pada diri sendiri
g. Keluhan tentang intensitas menggunakan standar
skala nyeri (misal : skala wong-Baker FACES,
skala analog visual, skala penilaian numerik).
h. Keluhan tentang karakteristik nyeri dengan
menggunakan standar instrumen nyeri (Misal :
McGill Pain Questionnaire, Brief Pain Inventory)
i. Laporan tentang perilaku nyeri/perubahan aktivitas
(misal : anggota keluarga, pemberi asuhan)
j. Mengekspresikan perilaku (misal : gelisah,
merengek, menangis, waspada)
k. Perilaku distraksi
l. Perubahan pada parameter fisiologis (misal :
tekanan darah, frekuensi jantung, frekuensi
pernafasan, saturasi oksigen dan endtidal karbon
dioksida [CO2]).
m. Perubahan posisi untuk menghindari nyeri.
n. Perubahan selera makan.
o. Putus asa
p. Sikap melindungi area nyeri
q. Sikap tubuh melindungi
2.2.1.3 Faktor yang berhubungan
a. Agen-agen cedera biologis (misal : infeksi, iskemia,
neoplasma).
b. Agen-agen cedera fisik (misal : abses, amputasi, luka
bakar, terpotong, mengangkat berat, prosedur bedah,
trauma, olahraga berlebihan).
c. Agens cedera kimiawi (misal : luka bakar, kapsaisin,
metilen klorida, agens mustard).

2.2.2 Diagnosa 2: Hambatan mobilitas fisik (Diagnosis keperawatan


2015-2017)
2.2.2.1 Definisi
Keterbatasan dalam gerakan fisik atau satu atau lebih
ekstremitas secara mandiri dan terarah.
2.2.2.2 Batasan Karakteristik
a. Dispnea setelah beraktivitas
b. Gangguan sikap berjalan
c. Gerakan lambat
d. Gerakan spastik
e. Gerakan tidak terkoordinasi
f. Instabilitas postur
g. Kesulitan membolak-balik posisi
h. Keterbatasan rentang gerak
i. Ketidaknyamanan
j. Melakukan aktivitas lain sebagai pengganti
pergerakan (misal meningkatkan perhatian pada
aktivitas orang lain, mengendalikan perilaku fokus
pada aktivitas sebelum sakit).
k. Penurunan kemampuan melakukan keterampilan
motorik halus.
l. Penurunan kemampuan melakukan keterampilan
motorik kasar
m. Penurunan waktu reaksi
n. Tremor akibat bergerak
2.2.2.3 Faktor yang berhubungan
a. Agens farmaseutikal
b. Ansietas
c. Depresi
d. Disuse
e. Fisik tidak bugar
f. Gangguan fungsi kognitif
g. Gangguan metabolisme
h. Gangguan muskuloskeletal
i. Gangguan neuromuskular
j. Gangguan sensori perseptual
k. Gaya hidup kurang gerak
l. Indeks masa tubuh diatas persentil ke-75 sesuai usia
m. Intoleran aktivitas
n. Kaku sendi
o. Keengganan memulai pergerakan
p. Kepercayaan budaya tentang aktivitas yang tepat
q. Kerusakan integritas struktur tulang
r. Keterlambatan perkembangan
s. Kontraktur
t. Kurang dukungan lingkungan( misal : fisik atau
sosial)
u. Kurang pengetahuan tentang nilai aktivitas fisik
v. Malnutrisi
w. Nyeri
x. Penurunan kekuatan otot
y. Penurunan kendali otot
z. Penurunan ketahan tubuh
aa. Penurunan massa otot
bb. Program pembatasan gerak

2.2.3 Diagnosa 3: Gangguan perfusi serebral berhubungan dengan


gangguan aliran darah di otak (Wilkinson, ett. Buku Saku
Diagnosis Keperwatan. 2012. Hal: 806-820)
2.2.3.1 Definisi
Penurunan oksigen yang mengakibatkan kegagalan
pengiriman nutrisi ke jaringan pada tingkat kapiler.
2.2.3.2 Batasan karakteristik
Objektif
a. Perubahan status mental
b. Perubahan perilaku
c. Perubahan respons motorik
d. Perubahan reaksi pupil
e. Kesulitan menelan
f. Kelemahan atau parilisis ekstremitas
g. Paralisis
h. Ketidaknormalan dalam berbicara
2.2.3.3 Faktor yang berhubungan
a. Perubahan afinitas hemoglobin terhadap oksigen
b. Penurunan konsentrasi hemoglobin dalam darah
c. Keracunan enzim
d. Gangguan pertukaran
e. Hipervolemia
f. Hipoventilasi
g. Gangguan transport oksigen melalui alveoli dan
membrane kapiler
h. Gangguan aliran arteri atau vena
i. Ketidaksesuaian antara ventilasi dan aliran darah

2.3 Intervensi Keperawatan


2.3.1 Diagnosa 1: Nyeri akut
2.3.1.1 Hasil & NOC:
a. Tingkat kenyamanan: tingkat persepsi positif
terhadap kemudahan fisik psikologis
b. Pengendalian nyeri: tindakan individu untuk
mengendaikan nyeri
c. Tingkat nyeri: keparahan nyeri yang dapat diamati
atau dilaporkan

Tujuan/criteria hasil:
a. Memperlihatkan pengendaian nyeri, yang dibuktikan
oleh indicator sebagai berikut:
1) tidak pernah
2) jarang
3) kadang-kadang
4) sering
5) selalu

Indikator 1 2 3 4 5
Mengenali awitan nyeri
Menggunakan tindakan
pencegahan
Melaporkan nyeri dapat
dikendaikan

b. Menunjukan tingkat nyeri, yang dibuktikan oleh


indikator sebagai berikut:
1) sangat berat
2) berat
3) sedang
4) ringan
5) tidak ada

Indikator 1 2 3 4 5
Ekspresi nyeri pada wajah
Gelisah atau ketegangan otot
Durasi episode nyeri
Merintih dan menangis
Gelisah

c. Memperlihatkan teknik relaksasi secara individual


yang efektif untuk mencapai kenyamanan
d. Mempertahankan nyeri atau kurang (dengan skala 0-
10)
e. Melaporkan kesejahteraan fisik dan psikologis
f. Mengenali faktor penyebab dan menggunakan
tindakan untuk memodifikasi faktor tersebut
g. Melaporkan nyeri kepada pelayan kesehatan
h. Melaporkan pola tidur yang baik

2.3.1.2 Intervensi NIC


Pengkajian:
a. Gunakan laporan dari pasien sendiri sebagai pilihan
pertama untuk mengumpulkan informasi pengkajian
b. Minta pasien untuk menilai nyeri dengan skala 0-10.
c. Gunakan bagan alir nyeri untuk memantau peredaan
nyeri oleh analgesic dan kemungkinan efek
sampingnya
d. Kaji dampak agama, budaya dan kepercayaan, dan
lingkungan terhadap nyeri dan respon pasien
e. Dalam mengkaji nyeri pasien, gunakan kata-kata
yang sesuai usia dan tingkat perkembangan pasien
f. Manajemen nyeri:
1) lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif
meliputi lokasi, karakteristik, awitan dan durasi,
frekuensi, kualitas, intensitas atau keparahan
nyeri dan faktor presipitasinya
2) Observasi isyarat nonverbal ketidaknyamanan,
khususnya pada mereka yang tidak mampu
berkomunikasi efektif

Penyuluhan untuk pasien/keluarga


a. Sertakan dalam instruksi pemulangan pasien obat
khusus yang harus diminum, frekuensi, frekuensi
pemberian, kemungkinan efek samping,
kemungkinan interaksi obat, kewaspadaan khusus
saat mengkonsumsi obat tersebut dan nama orang
yang harus dihubungi bila mengalami nyeri
membandel.
b. Instruksikan pasien untuk menginformasikan pada
perawat jika peredaan nyeri tidak dapat dicapai
c. Informasikan kepada pasien tentang prosedur yang
dapat meningkatkan nyeri dan tawarkan strategi
koping yang ditawarkan
d. Perbaiki kesalahan persepsi tentang analgesic
narkotik atau oploid (resiko ketergantungan atau
overdosis)
e. Manajemen nyeri:
1) Berikan informasi tentang nyeri, seperti
penyebab nyeri, berapa lama akan berlangsung,
dan antisipasi ketidaknyamanan akibat prosedur
2) Ajarkan penggunaan teknik nonfarmakologi
(relaksasi, distraksi, terapi)
Aktivitas kolaboratif:
a. Kelola nyeri pasca bedah awal dengan pemberian
opiate yang terjadwal (missal, setiap 4 jam selama 36
jam) atau PCA
b. Manajemen nyeri:
1) Gunakan tindakan pengendalian nyeri sebelum
nyeri menjadi lebih berat
2) Laporkan kepada dokter jika tindakan tidak
berhasil atau jika keluhan saat ini merupakan
perubahan yang bermakna dari pengalaman nyeri
pasien dimasa lalu

Perawatan dirumah:
a. Intervensi di atas dapat disesuaikan untuk perawatan
dirumah
b. Ajarkan klien dan keluarga untuk memanfaatkan
teknologi yang diperlukan dalam pemberian obat

Untuk bayi dan anak-anak:


a. Waspadai bahwa sama halnya dengan orang dewasa,
bayi pun sensitive terhadap nyeri, gunakan anastetik
topical sebelum melakukan pungsi vena, untuk bayi
baru lahir gunakan sukrosa oral
b. Untuk mengkaji nyeri pada anak yang masih kecil,
gunakan skala nyeri wajah atau skala nyeri
bergambar lainnya

Untuk lansia:
a. Perhatikan bahwa lansia mengalami peningkatan
sensitivitas terhadap efek analgesic opiate, dengan
efek puncak yang lebih tinggi dan durasi peredaan
nyeri yang lebih lama
b. Perhatikan kemungkinan interaksi obat-obat dan obat
penyakit pada lansia, karena lansia sering mengalami
penyakit multiple dan mengonsumsi banyak obat
c. Kenali bahwa nyeri bukan bagian dari proses norma
penuaan
d. Pertimbangkan untuk menurunkan dosis opioid dari
dosis biasanya untuk lansia, karena lansia lebih
sensitive terhadap opioid
e. Hindari penggunaan meperidin (demerol) dan
propoksifen (darvon) atau obat lain yang
dimetabolisme di ginjal
f. Hindari penggunaan obat dengan waktu paruh yang
panjang karena yang meningkatkan kemungkinan
toksisitas akibat akumulasi obat
g. Ketika mendiskusikan nyeri, pastikan pasien dapat
mendengar suara saudara dan dapat melihat tulisan
yang ada diskala nyeri
h. Ketika memberikan penyuluhan mengenai medikasi,
ulangi informasi sesering mungkin, tinggalkan
informasi tertulis untuk pasien
i. Kaji interaksi obat termasuk obat bebas

2.3.2 Diagnosa 2: Hambatan mobilitas fisik


2.3.2.1 Hasil & NOC
a. Ambulasi; kemampuan untuk berjalan dari satu
tempat ketempat lain secara mandiri atau dengan alat
bantu
b. Ambulasi: kursi roda; kemampuan untuk berjalan
dari satu tempat ketempat lain dengan kursi roda
c. Keseimbangan; kemampuan untuk mempertahankan
keseimbangkan postur tubuh
d. Performa mekanika tubuh; tindakan individu untuk
mempertahankan kesejajaran tubuh yang sesuai dan
untuk mencegah peregangan otot skeletal
e. Gerakan terkoordinasi; kemampuan otot untuk
bekerjasama secara volunteer dalam menghasilkan
suatu gerakan yang terarah
f. Pergerakan sendi: aktif (sebutkan sendinya); rentang
pergerakan sendi aktif dengan gerakan atas inisiatif
sendiri
g. Mobilitas; kemampuan untuk bergerak secara terarah
dalam lingkungan sendiri dengan atau tanpa alat
bantu
h. Fungsi skeletal; kemampuan tulang untuk
menyokong tubuh dan memdasilitasi pergerakan
i. Performa berpindah; kemmapuan untuk mengubah
letak tubuh secara mandiri atau dengan alat bantu.

Tujuan atau criteria evaluasi:

a. Memperlihatkan mobilitas, yang dibuktikan oleh


indikator sebagai berikut:
1) gangguan eksterm
2) berat
3) sedang
4) ringan
5) tidak mengalami gangguan

Indikator 1 2 3 4 5
Keseimbangan
Koordinasi
Performa posisi tubuh
Pergerakan sendi dan otot
Berjalan
Bergerak dengan mudah

Pasien akan:
a. memperlihatkan penggunaan alat bantu secara benar
dengan pengawasan
b. meminta bantuan untuk aktivitas mobilitas jika perlu
c. melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari secara
mandiri dengan alat bantu
d. menyangga berat badan
e. berjalan dengan menggunakan langkah-langkah yang
benar
f. berpindah dari dan ke kursi atau dari kursi
g. menggunakan kursi roda secara efektif

2.3.2.2 Intervensi NIC


Pengkajian merupakan proses yang kontinu untuk
menentukan tingkat performa hambatan mobilitas
pasien.
Aktivitas keperawatan tingkat 1
a. Kaji kebutuhan terhadap bantuan pelayanan
kesehatan dirumah dan kebutuhan terhadap peralatan
pengobatan yang tahan lama
b. Ajarkan pasien tentang dan pantau penggunaan alat
bantu mobilitas
c. Ajarkan dan bantu pasien dalam proses berpindah
d. Rujuk keahli terapi fisik untuk program latihan
e. Berikan penguatan positif selama aktivitas
f. Bantu pasien untuk menggunakan alas kaki antiselip
yang mendukung untuk berjalan
g. Pengaturan posisi (NIC):
1) Ajarkan pasien bagaimana menggunakan postur
dan mekanika tubuh yang benar pada saat
melakukan aktivitas
2) Pantau ketepatan pemasangan traksi

Aktivitas keperawatan tingkat 2


a. Kaji kebutuhan belajar pasien
b. Kaji terhadap kehutuhan bantuan layanan kesehatan
dari lembaga kesehatan dirumah dan alat kesehatan
yang tahan lama
c. Ajarkan dan dukung pasien dalam latihan ROM aktif
atau pasif untuk mempertahankan atau meningkatkan
kekuatan dan ketahanan otot
d. Instruksikan dan dukung pasien untuk menggunakan
trapeze atau pemberat untuk meningkatkan serta
mempertahankan kekuatan ekstremitas atas
e. Ajarkan tehnik ambulasi dan berpindah yang aman
f. Instruksikan pasien untuk menyangga berat badannya
g. Instruksikan pasien untuk mempertahankan
kesejajaran tubuh yang benar
h. Gunakan ahli terapi fisik dan okupasi sebagai suatu
sumber untuk mengembangkan perencanaan dan
mempertahankan atau meningkatkan mobilitas
i. Berikan penguatan positif selama aktivitas
j. Awasi seluruh upaya mobilitas dan bantu pasien, jika
perlu
k. Gunakan sabuk penyokong saat memberikan bantuan
ambulasi atau perpindahan

Aktivitas keperawatan tingkat 3 dan 4


a. Tentukan tingkat motivasi pasien untuk
mempertahankan atau megambalikan mobilitas sendi
dan otot
b. Gunakan ahli terapi fisik dan okupasi sebagai suatu
sumber untuk mengembangkan perencanaan dan
mempertahankan atau meningkatkan mobilitas
c. Dukung pasien dan keluarga untuk memandang
keterbatasan dengan realitas
d. Berikan penguatan positif selama aktivitas
e. Berikan analgesik sebelum memulai latihan fisik
f. Penguatan posisi (NIC):
1) Pantau pemasangan alat traksi yang benar
2) Letakkan matras atau tempat tidur terapeutik
dengan benar
3) Atur posisi pasien dengan kesejajaran tubuh yang
benar
4) Letakkan pasien pada posisi terapeutik
5) Ubah posisi pasien yang imobilisasi minimal
setiap 2 jam, berdasarkan jadwal spesefik
6) Letakkan tombol pengubah posisi tempat tidur dan
lampu pemanggil dalam jangkauan pasien
7) Dukung latihan ROM aktif datau pasif jika perlu

Perawatan dirumah
a. Kaji lingkungan rumah terhadap kendala dalam
mobilitas
b. Rujuk untuk mendapat layanan kesehatan dirumah
c. Rujuk ke layanan fisioterapi untuk memperoleh
latihan kekuatan, keseimbangan dan cara berjalan
d. Rujuk kelayanan ke terapi okupasi untuk alat bantu
e. Anjurkan untuk berlatih bersama anggota keluarga
atau teman
f. Ajarkan cara bangun dari tempat tidur secara
perlahan

Untuk bayi dan anak-anak


a. Pantau komplikasi imobilitas
b. Evaluasi adanya depresi dan gangguan kognisi
c. Pantau hipotensi ortostatik; saat membantu klien
bangun dari tempat tidur, minta klien untuk duduk
menjuntaikan kakinya sebelum berdiri.

Diagnosa 3 : Resiko ketidakefektifan perfusi serebral berhubungan dengan


gangguan aliran darah di otak
2.3.1 Tujuan dan Kriteria hasil (outcomes criteria): berdasarkan NOC (lihat
daftar rujukan)
Pasien akan menunjukkan kognisi, yang dibuktikan dengan indicator :
2.3.1.1 Pasien dapat berkomunikasi dengan jelas dan sesuai dengan
usia serta kemampuan
2.3.1.2 Dapat mengolah informasi
2.3.1.3 Mnunjukkan perhatian/konsentrasi
2.3.2 Intervensi keperawatan dan rasional: berdasarkan NIC (lihat daftar
rujukan)
Promosi perfusi serebral, antaralain:
2.3.2.1 Pantau tanda-tanda vital
2.3.2.2 Pantau TIK dan respons neurologis pasien terhadap aktivitas
keperawatan
2.3.2.3 Minimalkan stimulus lingkungan
2.3.2.4 Tinggikan bagian kepala tempat tidur
2.3.2.5 Berikan obat-obatan untuk meningkatkan volume
intravaskuler sesuai program

8. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Resiko ketidakefektifan Perfusi serebral berhubungan dengan
tumor di otak.
2. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan
gangguan pergerakan dan kelemahan
3. Gangguan rsa nyaman, nyeri berhubungan dengan peningatan
tekanan intrakranial
9. ANALISA DATA
No Data Etiologi Masalah
1. DS : Tumor otak Resiko
ketidakefektifan
Keluarga klien mengatakan klien Perfusi serebral
masih sakit kepala,tengkuk sakit, berhubungan
bahu kram, pandangan kurang jelas Mendesak ruang dengan gangguan
TIK aliran darah di
DO : otak.

- Klien tampak lemah


Kebutuhan O2
semakin
- pandangan kabur tampak pada saat meningkat
melihat buku,pusing

- klien tampak memegang kepala


yang sakit Resiko
ketidakefektifan
- TTV : perfusi serebral

- T : 36,8OC

- N : 90x/menit

- RR : 27x/menit

- TD : 130/90 mmHg
2. DS : Gangguan Hambatan
pergerakan dan Mobilitas fisik
1. - Keluarga klien mengatakan klien kelemahan
agak sulit begerak
2.
3. - Keluarga klien mengatakan hanya
bisa menggerakan ekstremitas
bagian kanan.

DO :

1. - Keadaan klien tampak lemah dan


lemas.
- Kelemahan anggota gerak
2. - Saat diminta menggerakkan kaki
bagian kiri klien tampak belum
mampu
3. - Kesadaran pasien Apatis
GCS : E3, V5, M4
4. TTV
T : 36.8 oC
N : 90 x/menit
RR : 27 x/menit
TD: 130/90 mmHg

5. Skala otot
44 5
4444 5555
44 5
4444 5555
- Klien hanya berbaring di tempat
tidur
3. DS : Tumor otak Gangguan rasa
nyaman, nyeri
Pasien mengeluh nyeri berhubungan
Mendesak ruang dengan
P : nyeri di bagian kepala TIK peningatan
tekanan
Q : Nyeri terasa senut-senut intrakranial
Kompensasi
R : nyeri di area pembedahan
akibat peningkatan
TIK
S : skala 4

T : nyeri sewaktu-waktu
Menekan saraf
DO : bebas

1. Klien tampak lemah


2. Klien hanya berbaring ditempat
tidur Nyeri
3. Klien tampak menahan rasa
nyeri,pusing
4. TTV
T : 36.8 oC
N : 95 x/menit
RR : 27x/menit
TD : 130/90 mmHg
10. NURSING CARE PLANNING
Diagnosa
No NOC NIC
Keperawatan
1 Resiko Setelah dilakukan tindakan 1. Pantau status neurologis
1. ketidakefektifan keperawatan 2x9 jam diharapkan dengan teratur dan
Perfusi serebral keefektikan perfusi jaringan bandingkan dengan
berhubungan dengan Kriteria hasil keadaan normal seperti
gangguan aliran Indikator IR ER GCS
darah di otak di 1. - Tekanan systole 3 5 2. Pantau frekuensi irama
tandai dengan : dan diastole jantung
dalam rentang 3. Pantau suhu juga atur
DS : Keluarga klien yang di harapkan suhu lingkungan sesuai
mengatakan klien 3 5 kebutuhan
masih sakit kepala, 2. - Hipetrensi 4. Pantau masukan dan
tengkuk sakit, bahu pengeluaran, catat
kram, pandangan - Tidak ada karakteristik urine, turgor
kurang jelas tanda-tanda 3 5 kulit, dan keadaan
peningkatan membran mukosa
DO : intrakranial 5 5. Kolaborasi pemberian
(tidak lebih obat sesuai indikasi
- Klien tampak lemah dari 150 5
mmhg)
- Pandangan kabur
tampak pada saat
melihat buku,pusing

- klien tampak
memegang kepala
yang sakit
Keterangan :
- TTV : 1. Keluhan ekstrim
2. Keluhan berat
T : 36,8OC 3. Keluhan sedang
4. Keluhan ringan
N : 90x/menit 5. Tidak ada keluhan

RR: 27x/menit

TD:130/90mmHg
2. Hambatan mobilitas Setelah dilakukan asuhan 1. Monitor tanda-tanda
fisik berhubungan keperawatan selama 3x24 jam, vital
dengan penurunan diharapkan klien mampu 2. Kaji kemampuan klien
gangguan pergerakan Kriteria hasil : dalam mobilisasi
dan kelemahan di 3. Bantu klien mengubah
tandai dengan : posisi tidur
DS : Indikator I 4. Ajarkan
E keluaraga
IR ER untuk melakukan
- Keluarga klien latihan gerak aktif dan
Keseimbangan 3 5
mengatakan klien fasif pada ekstrimitas
agak sulit begerak Koordinasi 3 5 yang sakit
5. Kolaborasi dengan
- Keluarga klien Performa posisi tubuh 3 5 fisioterapi
mengatakan hanya 6. Kolaborasi pemberian
bisa menggerakan 3 obat dengan dokter
ekstremitas bagian Pergerakan sendi dan
3 5
kanan. otot

DO : 3 5
Berjalan
- Keadaan klien
tampak lemah dan Bergerak dengan 3 5
lemas.
mudah
- Kelemahan anggota
gerak
3
- Saat diminta
menggerakkan kaki
bagian kiri klien Keterangan:
tampak belum 1. Gangguan ekstrim
mampu 2. Berat
3. Sedang
- Kesadaran pasien 4. Ringan
Apatis 5. Tidak mengalami gangguan

GCS: E3, V5, M4

- TTV

T : 36.8 oC

N : 90 x/menit

RR : 27 x/menit

TD : 130/90 mmH
- Skala otot

5555 4444 5555

4444 5555

- Klien hanya
berbaring di tempat
tidur
3 Gangguan rasa Setelah dilakukan tindakan 1. Berikan lingkungan yang
3. nyaman, nyeri keperawatan selama 2x9 jam, tenang
berhubungan dengan diharapkan nyeri dapat berkurang 2. Tingkatkan tirah
peningatan tekanan dan terasi dengan kriteria : baring,bantu perawatan
intrakranial di tandai diri pasien
dengan : - Skala nyeri berkurang 3. Dukung klien untuk
menemukan posisi yang
DS : - Pasien terlihat rileks nyaman
4. Berikan rom aktif/fasif
Pasien mengeluh - Melaporkan nyeri hilang / 5. Kolaborasi pemberian
nyeri terkontrol obat analgetik

P : nyeri di bagian Kriteria Hasil :


kepala
Indikator IR ER
Q : Nyeri terasa 3 4
senut-senut  Ekspresi
wajah
R : nyeri di area 3 4
pembedahan  Gelisah
atau
S : skala 3
ketegangan
3 4
T : nyeri sewaktu- otot
waktu  Durasi

DO : episode
3
nyeri
- Klien tampak lemah 4
 Merintih
- Klien hanya dan
berbaring ditempat menangis 3
tidur 4
 Gelisah
- Klien tampak
menahan rasa
nyeri,pusing Keterangan:
1. Sangat berat
- TTV 2. Berat
3. Sedang
T : 36.8 oC 4. Ringan
5. Tidak ada
N : 95 x/menit

RR : 27x/menit

TD : 130/90 mmHg
Daftar Pustaka
Andrew E H, Elia M.D, Helen A Shih, Jay S Loeffler. 2007. Stereotactic
radiation treatment for benign meningiomas. Journal Of Neurosurgery.
Vol. 23 No. 4.

Chang JH, Chang JW, Choi JY, Park YG, Chung SS. Complications after
gamma knife radiosurgery for benign meningiomas. J Neurol
Neurosurg Psychiatry 2003;74:226-30.

Focusing on tumor meningioma[ cited 2012 Maret 28]. Availble from:


http://www.abta.org/meningioma.pdf

Fyann E, Khan N, Ojo A. Meningioma. In: SA Journal of Article Radiology.


SA: Medical University of Southern Africa; 2004. p. 3-5.

Park John K, Peter McLaren Black, Helen A Shih. 2012. Patient information:
Meningioma (Beyond the Basics). UpToDate Marketing Professional.
LAPORAN PENDAHULUAN
MENINGIOMA DI RUANG NUSA INDAH
RSUD Dr. DORIS SYLVANUS PALANGKA RAYA

GI ILMU
NG K
TI
ES
H
SEKOLA

S T I K E S E HATAN
C

SA

A
H G
B AY
A BAN
A
NJ IN
ARMAS

OLEH :

AGUSTINA TARIHORAN,S.Kep

NIM. 19.31.1335

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS

STIKES CAHAYA BANGSA BANJARMASIN

TAHUN 2019-2020
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN PENDAHULUAN

MENINGIOMA DI RUANG NUSA INDAH


RSUD Dr. DORIS SYLVANUS PALANGKA RAYA

GI ILMU
NG K
TI

ES
H
SEKOLA

E HATAN
S T I K E S
C

A
H SA
B AY G
A BAN
A
NJ IN
ARMAS

OLEH :

AGUSTINA TARIHORAN,S.Kep

NIM. 19.31.1335

Palangka raya, 03 Januari 2020

Mengetahui,

Preseptor Akademik Preseptor Klinik

( ) ( )

Anda mungkin juga menyukai