Anda di halaman 1dari 10

KARAKTERISTIK TEORI RELATIF PEMIDANAAN

DALAM HUKUM PIDANA

Diajukan Sebagai Tugas Akhir Semester Mata Kuliah Teori Hukum

Oleh:
RAHMA YUNITA
(02012681923020)

DOSEN PEMBIMBING:
Dr. Muhammad Syaifuddin, S.H., M.Hum

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
PALEMBANG
2019
Teori relatif (deterrence) memandang pemidanaan bukan sebagai pembalasan

atas kesalahan si pelaku, tetapi sebagai sarana mencapai tujuan bermanfaat untuk

melindungi masyarakat menuju kesejahteraan. Dari teori ini muncul tujuan

pemidanaan sebagai sarana pencegahan, yaitu pencegahan umum yang ditujukan

pada masyarakat. Berdasarkan teori relatif, hukuman yang dijatuhkan untuk

melaksanakan maksud atau tujuan dari hukuman itu, yakni memperbaiki

ketidakpuasan masyarakat sebagai akibat kejahatan itu. Tujuan hukuman harus

dipandang secara ideal, selain dari itu, tujuan hukuman adalah untuk mencegah

(prevensi) kejahatan.1

Lahirnya teori relatif merupakan suatu bentuk negasi terhadap teori absolut,

walaupun secara historis teori ini bukanlah suatu bentuk penyempurnaan dari teori

absolut yang hanya menekankan pada pembalasan dalam penjatuhan hukuman

terhadap penjahat. Teori yang juga dikenal dengan nama teori nisbi ini menjadikan

dasar penjatuhan hukuman pada tujuan dan maksud hukuman sehingga ditemukan

manfaat dari suatu penghukuman (nut van destraf).

Teori relatif berprinsip penjatuhan pidana guna menyelenggarakan tertib

masyarakat yang bertujuan membentuk suatu prevensi kejahatan. Wujud pidana ini

berbeda-beda yaitu seperti menakutkan, memperbaiki, atau mebinasakan. Lalu

dibedakan prevensi umum dan khusus. Prevensi umum menghendaki agar orang-

orang pada umumnya tidak melakukan delik. Pada prevensi khusus, tujuan

pemidanaan ditujukan kepada pribadi si penjahat agar ia tidak lagi mengulangi

perbuatan yang dilakukannya.

1 Leden Marpaung, 2009, Asas-Teori-Praktek Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta.


Menurut Leonard, teori relatif pemidanaan bertujuan mencegah dan

mengurangi kejahatan. Pidana harus dimaksudkan untuk mengubah tingkah laku

penjahat dan orang lain yang berpotensi atau cederung melakukan kejahatan. Tujuan

pidana adalah tertib masyarakat, dan untuk menegakan tata tertib masyarakat itu

diperlukan pidana.2

Pidana bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan

kepada orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan-

tujuan tertentu yang bermanfaat. Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai, tetapi

hanya sebagai sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat. Dasar pembenaran

pidana terletak pada tujuannya adalah untuk mengurangi frekuensi kejahatan. Pidana

dijatuhkan bukan karena orang membuat kejahatan, melainkan supaya orang jangan

melakukan kejahatan. Sehingga teori ini sering juga disebut teori tujuan.

Adapun ciri pokok atau karakteristik teori relatif, yaitu :3

1. Tujuan pidana adalah pencegahan (prevention) ;

2. Pencegahan bukan tujuan akhir tetapi hanya sebagai sarana untuk mencapai

tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan masyarakat ;

3. Hanya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan kepada si

pelaku saja (misal karena sengaja atau culpa) yang memenuhi syarat untuk

adanya pidana ;

2 Ibid
3 Dwidja Priyanto, 2009, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia, PT. Rafika
Aditama, Bandung.
4. Pidana harus ditetapkan berdasar tujuannya sebagai alat untuk pencegahan

kejahatan ;

5. Pidana melihat ke muka (bersifat prospektif), pidana dapat mengandung unsur

pencelaan, tetapi unsur pembalasan tidak dapat diterima apabila tidak

membantu pencegahan kejahatan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat.

Karateristik Teori Relatif dalam Hukum Pidana, yaitu :

1. Simplicity

Seluruh teori hukum mempunyai satu rangkaian ide yang khusus.

Keseluruhan komponen ide tersebut bekerja membentuk sebuah sistem dan

mencapai tujuan sistem hukum.

Menurut Lawrence M. Friedman sebagaimana dikutip Mardjono

Reksodiputro, unsur- unsur sistem hukum itu terdiri dari struktur hukum (legal

structure), substansi hukum (legal substance) dan budaya hukum (legal

culture). Struktur hukum meliputi badan eksekutif, legislatif dan yudikatif serta

lembaga- lembaga terkait. Substansi hukum adalah mengenai norma, peraturan

maupun undang-undang. Serta budaya hukum adalah meliputi pandangan,

kebiasaan maupun perilaku dari masyarakat mengenai pemikiran nilai-nilai dan

pengharapan dari sistim hukum yang berlaku, dengan perkataan lain, budaya

hukum itu adalah iklim dari pemikiran sosial tentang bagaimana hukum itu

diaplikasikan, dilanggar atau dilaksanakan.4

4 Mardjono Reksodiputro, Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Melihat Kejahatan dan


Penegakan Hukum dalam Batas-batas Toleransi, Pusat Keadilan dan Pengabdian Hukum, Jakarta,
1994, hlm.17.
Teori Relatif bersifat sederhana, teori ini berpokok pada dasar bahwa

pidana adalah alat untuk menegakkan tata tertib (hukum) dalam masyarakat.

Dasar pemikirannya adalah penjatuhan pidana mempunyai tujuan untuk

memperbaiki sikap mental atau membuat pelaku pidana tidak berbahaya lagi,

dibutuhkan proses pembinaan sikap mental. Teori ini menunjukkan tujuan

pemidanaan sebagai sarana pencegahan, baik pencegahan khusus (speciale

preventie) yang ditujukan kepada pelaku maupun pencegahan umum (general

preventie) yang ditujukan ke masyarakat.

2. Explanatory of Power

Teori hukum mempunyai kekuatan untuk menjelaskan, selain itu teori

hukum juga mempunyai kekuatan untuk mempediksi hukum dalam norma

maupun fakta. Norma dan fakta tersebut yang akan dianalisis berdasarkan teori

hukum sehingga mempengaruhi proses pembentukan hukum

Teori relatif mempunyai kekuatan dalam menjelaskan bahwa pemidanaan

yang dijatuhkan bukan merupakan suatu balas dendam, akan tetapi merupakan

suatu pembinaan supaya kelak kemudian hari tidak mengulangi perbuatannya

atau dalam cakupan yang lebih luas supaya tidak melakukan perbuatan yang

melanggar atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Selain itu

tujuan pembinaan bukan sebagai unsur balas dendam akan tetapi bertujuan

sebagai sarana pembinaan bagi terdakwa agar dapat memperbaiki sikap tingkah

laku dan perbuatannya di kemudian hari sehingga dapat diterima lagi oleh

masyarakat dan mencapai ketentraman dan keadilan dalam masyarakat. Tujuan

dasarnya yaitu menegakan hukum dalam masyarakat.


3. Depth of Constructivity

Suatu teori hukum mampu menganalisis sampai pada makna terdalam,

berawal dari nilai yang kemudian asas lalu norma dan terakhir yaitu dalam

pratek atau kenyataan hukum.

Teori relatif mempunyai tujuan dasar yaitu menegakkan tata tertib

(hukum) dalam masyarakat. Dalam menegakan hukum tersebut teori relatif ini

berasas pada tiga tujuan utama pemidanaan yaitu preventif, detterence, dan

reformatif. Tujuan preventif (prevention) untuk melindungi masyarakat dengan

menempatkan pelaku kejahatan terpisah dari masyarakat. Tujuan menakuti

(detterence) untuk menimbulkan rasa takut melakukan kejahatan, baik bagi

individual pelaku agar tidak mengulangi perbuatanya, maupun bagi publik

sebagai langkah panjang. Sedangkan tujuan perubahan (reformation) untuk

mengubah sifat jahat si pelaku dengan dilakukannya pembinaan dan

pengawasan, sehingga nantinya dapat kembali melanjutkan kebiasaan hidupnya

sehari-hari sebagai manusia yang sesuai dengan nilai-nilai yang ada di

masyarakat. Lebih lanjut dalam penerapan teori relatif tersebut dimuat dalam

peraturan perundang-undangan yang dalam prakteknya diharapkan dapat

memberikan pemidanaan yang tidak hanya bertitik tolak pada pembalasan

semata, namun juga dalam pecegahan terjadinya kejahatan tersebut.5

4. Fertility and Extencibility

5 Dwidja Priyanto, Op.Cit.


Salah satu karakteristik dari teori hukum yaitu teori tersebut dipergunakaan

secara berkelanjutan. Seperti dalam teori relatif/ teori tujuan yang berpokok

pada tujuan pemidanaan tidak hanya untuk pembalasan namun juga pencegahan

dan pembinaan. Oleh sebab itu dalam beberapan peraturan perundang-

undangan telah memuat secara ekspilisit mengenai teori relatif seperti dalam

undang-undang serta terdapat beberapa hakim yang dalam menjatuhkan

hukumnya didasarkan pada teori relatif/ teori tujuan pemidanaan.

Perkembangan dari teori relatif ini yaitu teori gabungan dalam sistem

pemidanaan. Teori gabungan adalah kombinasi dari teori absolut dan teori

relatif. Menurut teori gabungan, tujuan pidana selalu membalas kesalahan

penjahat juga dimaksudkan untuk melindungi masyarakat dengan mewujudkan

ketertiban dengan ketentuan beratnya pidana tidak melampaui batas pembalasan

yang adil.

5. Internal Consistency and Logic

Teori hukum haruslah bersifat kosisten dan rasional. Dalam kandungan

teori hukum tersebut tidak terdapat kontradiksi yaitu bertentangan dengan

logika.

Teori relatif mempunyai 3 cara memperbaiki si penjahat, yaitu perbaikan

yuridis, perbaikan intelektual, dan perbaikan moral. Perbaikan yuridis mengenai

sikap si penjahat dalam hal menaati undang-undang. Perbaikan intelektual

mengenai cara berfikir si penjahat agar ia insyaf akan jeleknya kejahatan.


Sedangkan perbaikan moral mengenai rasa kesusilaan si penjahat agar ia

menjadi orang yang bermoral tinggi.

Seperti dalam pelaksanaan sistem pemidanaan anak yang didasarkan pada

konsep restorative justice yaitu memperbaiki kerusakan sosial yang diakibatkan

pelaku, mengembangkan pemulihan bagi korban dan masyarakat, serta

mengembalikan pelaku kepada masyarakat yang memperhatikan bahwa dalam

perlindungan anak diadakan untuk kepentingan anak dan keputusan mengenai

anak hanya dapat diambil demi kepentingan anak. Kegiatan perlindungan anak

merupakan suatu tindakan hukum yang membawa akibat hukum, dalam

penerapan sanksi pada anak harus mempertimbangkan perkembangan anak,

sehingga anak dapat tumbuh dan berkembang sesuai fisik, mental dan sosial.

Hal tersebut tidaklah bertentangan dengan logika, dikarena seseorang yang

pernah melalukan kejahatan dan telah mengisyafi perbuatannya harus dibantu

agar orang tersebut mampu bersosialisasi dan melanjutkan kehidupan di

masyarakat.

6. Falsicability

Ilmu bersifat tentatif, salah satu sifat teori hukum yaitu dapat dibuktikan

kelemahan dari teori tesebut. Kebenaran teori hukum bersifat sementara hingga

teori tersebut dapat dibandah. Sebelum ada teori yang menyatakan salah, maka

teori tersebut dianggap benar.

Seiring perkembangan zaman, apa yang menjadi substansi tujuan

pemidanaan sebagaimana yang terurai dalam prevensi umum teori telatif


menuai kritikan. Salah satu kritikan yang paling mendasar dapat penulis

perlihatkan berdasarkan pendapat Dewey yang menyatakan banyak pelaku

kejahatan tidak mempertimbangkan hukuman. Terkadang karena mereka

mengalami sakit jiwa atau berbuat dibawah tekanan emosi yang berat.

Terkadang ancaman hukuman itu menjadikan mereka seolah-olah dibujuk.

Banyak tahanan yang mengemukakan reaksi kejiwaaannya dikala proses dari

pelanggaran undang-undang. Semua ini memperlihatkan bahwa sesungguhnya

hanya sedikit yang mempertimbangkan undang-undang sebagai sarana

penghukuman.

Kelemahan dari teori relatif yaitu :6

a. Dapat menimbulkan ketidakadilan . Misalnya untuk mencegah

kejahatan itu dengan jalan menakut-nakuti, maka mungkin pelaku

kejahatan yang ringan dijatuhi pidana yang berat sekadar untuk

menakut-nakuti saja, sehingga menjadi tidak seimbang. Hal mana

bertentangan dengan keadilan.

b. Kepuasan masyarakat diabaikan. Misalnya jika tujuan itu semata-mata

untuk memperbaiki sipenjahat, masyarakat yang membutuhkan

kepuasan dengan demikian diabaikan.

c. Sulit untuk dilaksanakan dalam peraktek. Bahwa tujuan mencegah

kejahatan dengan jalan menakut-nakuti itu dalam praktek sulit

dilaksanakan. Misalnya terhadap residive.

6 No name, 2013, Teori-Teori Pemidanaan Dan Tujuan Pemidanaan, diakses pada


https://thezmoonstr.blogspot.com/2013/07/teori-teori-pemidanaan-dan-tujuan.html
Oleh sebab itu, munculnya teori gabungan dalam sistem pemidanaan sebagai

pelengkap dari teori relatif/ tujuan pemidanaan.

Anda mungkin juga menyukai